SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-53


Betapa pun juga, dua orang wanita itu dengan semangat bernyala-nyala melakukan terus perlawanan dengan gigih. Namun, belum lewat lima puluh jurus, suling di tangan Pek In telah dirampas oleh Sam-ok dan sebelum dara itu dapat menghindarkan diri, ia sudah roboh tertotok oleh Sam-ok.

“Sumoi....!” Hong Bu berseru dan hendak menolongnya.

Akan tetapi tombak Long-ge-pang di tangan Hek-i Mo-ong berkelebat. Hong Bu terkejut sekali. Gerakannya untuk menolong Pek In tadi membuatnya lengah dan posisinya lemah, maka biar pun dia sudah menangkis dengan pedang Koai-liong-kiam, tetap saja ujung tombak Gigi Serigala itu menyerempet pundaknya, merobek pundak sehingga darah mengucur membasahi bajunya yang robek. Terpaksa Hong Bu membalas dengan serangan-serangan dahsyat dan dia tak memiliki kesempatan lagi untuk memperhatikan Pek In karena lawannya benar-benar amat lihai sekali.

Sementara itu, Ji-ok juga sudah mendesak Yu Hwi. Biar pun Yu Hwi telah memutar pedangnya dan mempergunakan Ilmu Kiam-to Sin-ciang yang membuat tangan kirinya dapat memukul seperti tajamnya pedang dan golok, namun karena tingkatnya kalah jauh oleh Ji-ok, nenek yang bertopeng tengkorak itu, maka ia pun didesak terus. Apalagi Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) nenek itu mirip dengan ilmu yang pernah dipelajarinya dari gurunya yang pertama, yaitu Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling.

Akan tetapi, ilmu dari gurunya itu, ialah Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok), tidaklah seganas dan sedahsyat Kiam-ci (Jari Pedang) dari Jahat Nomor Dua ini. Jari tangan nenek itu menyambar dan seolah-olah mengeluarkan sinar maut yang amat hebat. Dan setelah Pek In itu roboh tertotok, hati Yu Hwi menjadi gentar dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ji-ok untuk menendang lututnya. Yu Hwi terpelanting roboh dan Ji-ok mengeluarkan suara ketawa terkekeh, lalu menubruk maju.

Sam-ok mengenal temannya ini. Jika Ji-ok sudah mengeluarkan suara ketawa terkekeh lalu menubruk, berarti nenek itu hendak menurunkan tangan maut membunuh orang. Maka dia pun cepat menubruk dan menangkis tangan Ji-ok yang sudah menyerang ke arah Yu Hwi yang masih rebah miring itu.

“Dukkk....!” Keduanya terpental ke belakang.

“Ji-ci, jangan bunuh, kita tawan saja!”

Akan tetapi Ji-ok telah menjadi marah bukan main. Baginya, menghalangi kehendaknya berarti memusuhinya. Apalagi yang menghalanginya itu adalah Sam-ok yang terhitung ‘adik’ dalam urutan tingkat mereka, maka kemarahannya meluap.

“Sam-te, berani engkau menghalangiku?” Dan nenek itu pun sudah cepat menerjang dan menyerang Sam-ok dengan tusukan-tusukan jari mautnya!

“Eh, apakah engkau sudah gila?” Sam-ok membentak dan mengelak sambil membalas.

Keduanya sudah berkelahi dengan hebatnya! Dan melihat ini, Toa-ok dan Hek-i Mo-ong menjadi marah.

“Sam-te, jangan berkelahi dengan teman sendiri!” kata Toa-ok.

“Ji-ok, tidak boleh membunuh lawan!” Hek-i Mo-ong juga membentak Ji-ok.

Mendengar bentakan mereka itu, Ji-ok dan Sam-ok masing-masing lalu meloncat ke belakang. Kemudian Sam-ok melihat betapa Yu Hwi telah meloncar bangun dan meski terpincang-pincang, nyonya ini sudah siap lagi dengan pedang di tangan. Dia menubruk ke depan, ketika Yu Hwi menggerakkan pedang menusuk, Sam-ok memukulnya dari samping.

“Plakk!” Pedang terpental dan terlepas dari tangan Yu Hwi dan di lain saat, Sam-ok juga sudah berhasil merobohkan Yu Hwi.

“Ji-ci, kau tawan dan jaga yang ini, aku yang itu!” kata Sam-ok.

Sementara itu, Cu Kang Bu dan Sim Hong Bu tentu saja sudah melihat betapa Yu Hwi dan Pek In telah ditawan musuh, maka mereka berdua mengamuk dan memutar senjata dengan sekuat tenaga.

Tiba-tiba kedua pendekar itu mendengar suara Sam-ok yang nyaring, “Ban-kin-sian dan pemuda yang memegang Koai-liong-kiam! Tahan senjata dan menyerahlah, kalau tidak, aku akan membunuh lebih dulu dua orang wanita ini!”

Sim Hong Bu dan Cu Kang Bu meloncat ke belakang dan menoleh. Mereka melihat betapa Yu Hwi dan Pek In telah dibelenggu oleh anak buah Koa-kauwsu, dan sekarang Sam-ok dan Ji-ok mengancam kedua orang wanita itu dengan tangan di atas kepala. Mereka berdua maklum bahwa sekali saja menggerakkan tangan, maka nyawa dua orang wanita itu tidak akan dapat tertolong lagi. Melihat isterinya dan keponakannya diancam, lemaslah rasa tubuh Cu Kang Bu dan dia pun melepaskan senjata sabuk baja.

“Aku menyerah....,” katanya dengan suara lemah.

“Susiok, jangan menyerah!” kata Sim Hong Bu, akan tetapi Kang Bu hanya menggeleng kepala dan mudah saja ketika dia didekati oleh Sam-ok yang kemudian menotoknya dan pendekar ini pun dibelenggu seperti Yu Hwi dan Pek In.

“Keparat engkau Hek-i Mo-ong dan iblis-iblis Im-kan Ngo-ok! Sampai mati aku tidak akan menyerah!” kata Hong Bu dan dia pun sudah menubruk maju dan menyerang Sam-ok yang menotok roboh Kang Bu tadi.

“Orang muda! Kalau engkau tidak menyerah, mereka bertiga ini akan kami bunuh!” teriak Sam-ok sambil meloncat mundur.

“Bunuhlah! Akan tetapi kalian pun akan mampus semua di tanganku!” bentak Sim Hong Bu.

Pemuda ini mengerti bahwa terhadap orang-orang macam mereka itu, tidak mungkin mengharapkan pengampunan. Kalau dia dan Kang Bu menyerah, akhirnya toh mereka itu, juga dia, akan dibunuh. Maka, dari pada mati dalam keadaan tidak berdaya, mati konyol, lebih mati dalam perlawanan!

Melihat betapa Sim Hong Bu nekad melakukan perlawanan, Cu Pek In dan Yu Hwi memandang dengan alis berkerut. Mereka merasa penasaran mengapa pemuda itu nekad melawan. Terutama sekali Pek In memandang dengan mata basah air mata. Salahkah dugaannya selama ini bahwa Hong Bu juga mencintanya? Setelah kini ia terancam maut, mengapa pemuda itu tak mempedulikan ancaman musuh yang hendak membunuhnya dan nekad melawan?

Hanya Cu Kang Bu yang memandang dengan sikap tenang. Dia sendiri menyerah karena dia tahu bahwa kalau dia dan Hong Bu tetap melawan, bukan ancaman kosong belaka kalau pihak musuh hendak membunuh dua orang wanita itu. Akan tetapi setelah dia sendiri menyerah, dia dapat mengerti mengapa Hong Bu tetap melawan dan dia pun dapat membenarkan tindakan pemuda itu.

Memang, jika Hong Bu juga menyerah, apakah dapat dijamin bahwa orang-orang jahat ini mau membebaskan mereka berempat? Setidaknya, setelah dia sendiri menyerah, tentu isterinya dan keponakannya takkan diganggu, dan Hong Bu masih dapat berdaya melawan musuh kalau tidak ikut menyerah. Jadi, masih ada harapan. Maka dia pun hanya mengikuti jalannya pertandingan itu dengan hati tegang walau pun dia nampak tenang saja.

Hong Bu memang nekad. Dia akan melawan sampai mati. Kini, ketiga orang Im-kan Ngo-ok sudah mengepungnya. Toa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok mengeroyoknya dari tiga penjuru. Akan tetapi Hong Bu sekali ini benar-benar memperlihatkan kemampuannya. Tubuhnya lenyap diselimuti sinar biru yang bergulung-gulung dan dari gulungan sinar ini kadang-kadang nampak kilatan biru menyambar ke arah musuh-musuhnya.

Biar pun dikeroyok oleh tiga orang datuk yang sakti itu, Hong Bu tidak menjadi gentar dan permainan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang dimainkan dengan pengerahan seluruh tenaga itu memang dahsyat luar biasa, mengeluarkan suara mengaum-aum seperti seekor naga mengamuk dan juga membawa angin berpusing yang sangat kuatnya. Betapa pun lihainya ketiga orang dari Im-kan Ngo-ok itu, menghadapi ilmu pedang yang demikian hebatnya, mereka tidak dapat mendekati pemuda itu.

Melihat ini, Hek-i Mo-ong merasa penasaran sekali. Dia sendiri pernah dikalahkan oleh pemuda ini yang bekerja sama dengan seorang gadis bersenjata suling. Kini, melihat betapa tiga orang murid keponakannya yang telah memiliki tingkat ilmu yang tidak begitu jauh selisihnya dengan ilmunya sendiri tidak dapat mengalahkan pemuda itu, dia pun kemudian mengeluarkan suara menggereng keras dan tombak Long-ge-pang di tangannya sudah digerakkan dan kakek ini pun menerjang maju ikut mengeroyok Hong Bu!

Sungguh merupakan kejadian yang luar biasa sekali kalau sampai tiga orang pertama dari Im-kan Ngo-ok mengeroyok seorang pemuda, dan lebih lagi tidak mungkin dapat dipercaya orang kang-ouw kalau mendengar bahwa mereka itu bahkan dibantu pula oleh Hek-i Mo-ong mengeroyok seorang pemuda. Akan tetapi kenyataannya demikian dan mereka pun agaknya sudah tidak lagi mempedulikan rasa malu dan harga diri. Mereka hanya ingin menundukkan pemuda yang amat lihai ini.

Cu Kang Bu menonton dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri, penuh dengan kebanggaan akan tetapi juga kekhawatiran. Dia melihat kehebatan Koai-liong Kiam-sut dan merasa bangga bahwa ilmu itu adalah ilmu keturunan nenek moyangnya, dan bahwa pemuda itu adalah murid keponakannya, pewaris dari pusaka neneknya. Dia kagum bukan main, akan tetapi juga khawatir karena maklum betapa lihainya empat orang yang mengeroyok Hong Bu itu. Kekhawatirannya terbukti ketika dia melihat ujung tombak Long-ge-pang di tangan Hek-i Mo-ong menyambar dan menyerempet bahu kiri Hong Bu sehingga bahu itu berdarah dan terluka. Namun Hong Bu masih mengamuk seperti seekor naga.

“Hong Bu larilah engkau!” teriaknya kepada murid keponakan itu.

Hong Bu memang sudah mengerti bahwa kalau dilanjutkan, betapa pun juga dia tidak mungkin dapat menandingi pengeroyokan empat orang itu. Kalau dia melawan terus, dia akan roboh mati dan kematiannya tidak akan ada gunanya bagi tiga orang yang tertawan itu. Kalau dia meloloskan diri dan masih hidup, setidaknya dia masih dapat berdaya-upaya untuk menolong tiga orang itu.

Maka, dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring. Pedangnya bergerak dengan hebatnya, mengeluarkan jurus Naga Siluman Menyemburkan Api. Pedangnya menimbulkan sinar berkeredepan ke arah empat orang lawannya sehingga mereka terkejut dan meloncat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hong Bu untuk meloncat jauh sekali dari tempat itu.

Empat orang itu berloncatan mengejar, akan tetapi Hong Bu telah berlari cepat sekali dan mereka tidak berani untuk mengejar satu-satu, kalau tidak berbarengan karena pemuda itu memang berbahaya sekali. Melihat kekasihnya lari meninggalkan ia dalam tangan musuh, Pek In merasa sedemikian kecewa dan menyesalnya sehingga gadis ini roboh pingsan! Akan tetapi Kang Bu diam-diam bersyukur bahwa murid keponakannya itu tidak sampai tewas di tangan orang-orang yang lihai itu. Bagaimana pun juga, dia akan merasa menyesal kalau sampai murid keponakan itu, pewaris nenek moyangnya, sampai mati konyol.

Empat orang datuk itu tidak mengejar terus. Betapa pun juga, tiga orang anggota keluarga Lembah Suling Emas telah berada di tangan mereka dan melalui tiga orang tawanan ini, mereka dapat menguasai pusaka-pusaka dari lembah itu. Maka, tanpa banyak cakap Hek-i Mo-ong lalu memberi perintah kepada kawan-kawan guru silat Koa untuk mengangkat tiga orang yang sudah tertotok itu dan membawa mereka ke tempat persembunyian mereka, di rumah guru silat Koa Cin Gu.

Hong Bu berlari terus secepatnya, mengerahkan seluruh ilmu ginkang-nya. Dia sudah terluka dan banyak darah mengalir dari pundaknya, tetapi dia harus dapat melarikan diri. Kalau dia sampai tertawan pula, maka habislah harapannya untuk dapat menolong tiga orang itu. Maka, dia memaksa tenaganya yang mulai lemah dan barulah setelah dia melihat bahwa dirinya tidak dikejar musuh, dan dia tiba di lereng sebuah bukit, tubuhnya terguling di bawah sebuah bukit, tubuhnya terguling di bawah pohon besar di mana dia duduk terengah-engah lalu dia bersila dan mengatur pernapasan untuk mengembalikan tenaganya yang hampir habis. Melawan empat orang tadi sungguh terasa amat berat dan dia tadi telah mengerahkan seluruh sinkang-nya sehingga setelah berlari secepat itu, dia merasa tenaganya hampir habis dan napasnya hampir putus.

Setelah bersemedhi kurang lebih satu jam lamanya, barulah pernapasannya menjadi tenang kembali dan perlahan-lahan dia berhasil menghimpun tenaga murni di lereng gunung yang sejuk bersih itu. Tenaganya pun berangsur-angsur pulih kembali dan dia sudah mempergunakan kekuatan dalam untuk menghentikan darahnya yang mengucur keluar. Dalam kedaan hening itu, Hong Bu melupakan segala-galanya, melupakan keadaan tiga orang yang tertawan, karena kalau pikirannya terganggu, tentu dia tidak mungkin dapat mengosongkan dan mengheningkan batinnya.

“Hong Bu....!”

Pemuda itu terkejut. Dalam keadaannya seperti tadi, kalau tiba-tiba yang datang itu musuh dan menyerangnya, dia pasti celaka. Dia cepat membuka mata dan ketika dia melihat siapa orangnya yang datang, hatinya merasa girang sekali dan dia pun segera bangkit.

“Cin Liong....! Ahhh, hanya Tuhan yang membimbingmu datang kepadaku pada saat seperti ini, Cin Liong!” Dia pun memegang tangan bekas lawan yang telah menjadi sahabat baik yang dikaguminya itu.

Sejak dia berlawan tangan dengan jenderal muda ini dan merasakan betapa lihainya jenderal muda ini, ia merasa kagum sekali. Apa lagi setelah ia mendapatkan kenyataan bahwa pertentangan di antara mereka sebagai buronan dan pengejar telah habis dengan adanya pengumuman kaisar baru bahwa pedang pusaka Koai-liong Po-kiam dinyatakan sebagai miliknya yang syah.

Seperti kita ketahui, Cin Liong lari meninggalkan Ci Sian setelah mendapat kenyataan bahwa dara yang dicintanya dan dipinangnya itu ternyata telah jatuh cinta kepada pria lain, bahkan kepada suheng-nya sendiri, Kam Hong, pendekar yang dikaguminya itu. Hal ini dapat dilihatnya dengan jelas ketika gadis itu marah-marah karena lamarannya, marah kepada suheng-nya.

Dia segera dapat menduga apa yang terjadi antara kedua orang suheng dan sumoi itu. Dia tahu bahwa Ci Sian mencinta Kam Hong, dan dia dapat menduga pula dengan hati kagum bahwa Kam Hong juga mencinta sumoi-nya, akan tetapi dengan cinta yang demikian suci murninya, sehingga Kam Hong rela menyampaikan pinangan pria lain kepada sumoi-nya itu. Sikap Kam Hong ini membuat Cin Liong merasa terpukul dan malu kepada diri sendiri, maka dia pun lalu minta maaf dan melarikan diri.

Ketika dia melihat seorang pemuda duduk bersila, dia merasa terheran-heran, lalu didekatinya pemuda itu. Giranglah hatinya ketika dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Sim Hong Bu, sahabat barunya, bekas lawan yang dikaguminya karena kelihaiannya dan juga kejujurannya itu.

“Apakah yang terjadi, Hong Bu? Wajahmu agak pucat dan engkau gelisah.... dan pundakmu luka! Apa yang telah terjadi?” tanya Cin Liong sambil membalas pegangan tangan sahabat barunya itu.

Hong Bu lalu menceritakan tentang Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Pek In yang tertawan oleh empat orang datuk sesat itu. “Aku mohon bantuanmu, Cin Liong. Tanpa bantuanmu, aku tidak tahu bagaimana caranya aku dapat menyelamatkan mereka.” Hong Bu mengakhiri ceritanya.

Cin Liong terkejut bukan main. Tiga orang dari Im-kan Ngo-ok muncul lagi! Dan malah ditambah seorang datuk yang telah lama dikenalnya sebagai seorang penjahat yang sakti, yaitu Hek-i Mo-ong yang pernah menguasai daerah Sin-kiang di barat dengan gerombolannya, yaitu gerombolan Hek-i-mo yang amat terkenal itu.

“Jangan khawatir, Hong Bu. Aku tentu membantumu. Akan tetapi di manakah mereka berada? Dan.... keluarga Cu itu, apakah tidak berbahaya sekali tertawan oleh mereka? Tiga orang dari Im-kan Ngo-ok itu adalah manusia-manusia busuk yang amat kejam.”

“Aku tidak terlalu mengkhawatirkan keadaan mereka,” kata Hong Bu. “Aku tahu bahwa mereka sengaja menawan keluarga Cu karena mereka menghendaki pusaka-pusaka Lembah Naga Siluman. Tentu mereka tidak akan mengganggu keluarga Cu untuk sementara waktu ini. Dan menurut penuturan Sumoi Cu Pek In, agaknya kita akan bisa menemukan tempat persembunyian mereka melalui seorang guru silat bernama Koa Cin Gu yang tinggal di Lo-couw. Mari kita menyelidiki ke sana.”

“Baik, mari kita cepat pergi. Aku khawatir sekali akan keadaan keluarga Cu,” jawab Cin Liong.

Dua orang pemuda perkasa itu, lalu berangkat menuju ke kota Lo-couw yang tidak jauh dari situ letaknya. Dalam perjalanan itu Cin Liong selalu menghibur hati Hong Bu dan mengatakan bahwa dia pasti akan dapat menghancurkan persekutuan penjahat itu dan dia akan minta bantuan pasukan keamanan di kota Lo-couw untuk membantunya mengepung sarang penjahat.

“Tiga orang Im-kan Ngo-ok itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan aku dapat menduga bahwa Hek-i Mo-ong tentu juga lihai sekali.”

“Kakek itu lebih lihai dari pada mereka bertiga,” kata Hong Bu.

“Hemm, mungkin bagi kita berdua tidak akan mudah mengalahkan mereka berempat, akan tetapi dengan bantuan pengepungan pasukan, tentu setidaknya keluarga Cu akan dapat diselamatkan dan dibebaskan.”

“Kalau saja kita dapat lebih dulu membebaskan Cu Kang Bu Susiok, kita bertiga dengan dia tentu akan mampu menandingi mereka berempat.”

“Sebaiknya kita menggunakan siasat memancing harimau-harimau keluar dari sarang, Hong Bu. Biar kukerahkan pasukan untuk menyerbu. Ketika mereka sibuk menghadapi pasukan, kita menyelinap masuk untuk lebih dahulu membebaskan keluarga Cu,” kata Cin Liong.

“Terserah kepadamu, dalam keadaan seperti ini aku hanya dapat mengharapkan bantuanmu.”

Ketika mereka tiba di Lo-couw, Cin Liong langsung mencari markas pasukan keamanan dan menemui komandannya. Ketika komandan mengenal Cin Liong sebagai Jenderal Muda Kao yang terkenal, tentu saja dia terkejut dan menyambut dengan sikap amat hormat. Cin Liong lalu mencari keterangan tentang guru silat Koa Cin Gu dan dengan mudah mendapat keterangan di mana guru silat itu tinggal. Kiranya kehadiran para datuk itu merupakan rahasia dan tidak diketahui orang di Lo-couw.

Cin Liong memerintahkan kepada komandan itu untuk menyiapkan sepasukan prajurit dan mengepung rumah guru silat itu dari jarak agak jauh, menanti tanda darinya, sedangkan dia sendiri berdua dengan Hong Bu lalu melakukan penyelidikan ke rumah guru silat yang cukup besar dan dikelilingi pagar tembok yang tinggi itu.

Senja telah mendatang dan cuaca mulai menjadi gelap ketika mereka tiba di luar pagar tembok, di mana pintu gerbangnya telah tertutup dan tidak nampak seorang pun di luar pintu. Hanya dapat terdengar suara orang-orang di dalam pintu, mungkin suara para anak buah guru silat yang melakukan penjagaan.

Dua orang muda perkasa itu tidak mau lancang turun tangan, karena mereka harus yakin dulu bahwa empat orang datuk itu benar-benar berada di situ, dan terutama sekali bahwa keluarga Cu juga tertawan di tempat itu. Kalau tidak demikian, mereka akan menangkap guru silat Koa dan memaksanya mengaku di mana tawanan disembunyikan dan di mana pula adanya para datuk kaum sesat itu! Dan untuk ini tentu saja tidak perlu dikerahkan pasukan yang telah dipersiapkan itu.

Mereka menanti sampai cuaca menjadi gelap betul dan ketika mereka sedang menyelinap di luar tembok, tiba-tiba mereka melihat berkelebatnya bayangan dua orang di depan. Tentu saja keduanya terkejut melihat betapa cepat dan ringannya gerakan dua orang di depan itu. Karena menduga bahwa tentu dua orang itu adalah dua di antara para datuk yang sedang mereka cari, mereka cepat menyelinap ke depan untuk mengejar. Akan tetapi bayangan dua orang di depan itu telah lenyap, padahal jelas bahwa dua orang itu tadi belum meloncat ke sebelah dalam pagar tembok.

“Aneh,” bisik Hong Bu. “Kalau mereka itu orang dalam, mengapa mereka bergerak di luar pagar tembok, dan bukan langsung masuk melalui pintu gerbang?”

“Siapa pun adanya mereka, kita harus mengetahui dengan jelas sebelum turun tangan,” bisik Cin Liong.

Karena dua orang itu lenyap, Hong Bu dan Cin Liong melanjutkan perjalanan mereka untuk memeriksa keadaan sekeliling pagar tembok itu, untuk mencari jalan masuk yang baik dan tepat sambil menanti cuaca sampai gelap benar. Akan tetapi, ketika mereka melalui semak-semak tiba-tiba ada dua sosok tubuh orang menerjang mereka dari balik semak-semak itu. Gerakan dua orang itu demikian cepatnya sehingga Hong Bu dan Cin Liong terpaksa bergerak cepat pula. Sambil mengerahkan tenaga mereka menangkis lengan dua orang itu yang bergerak untuk menotok.

“Dukkk!”

“Desss....!”

Empat orang itu terdorong mundur dan semua merasa kaget bukan main saat mendapat kenyataan betapa kuatnya tenaga pihak lawan. Akan tetapi, mereka menjadi semakin kaget, heran dan juga gembira setelah saling mengenal. Kiranya dua orang itu bukan lain adalah Kam Hong dan Ci Sian! Melihat mereka seketika wajah Cin Liong menjadi kemerahan karena merasa malu, akan tetapi sebaliknya Hong Bu menjadi girang bukan main.

Di lain pihak, Kam Hong dan Ci Sian juga terkejut melihat dua orang pemuda itu yang baru mereka kenal setelah mereka bertanding tangan tadi karena cuaca sudah mulai gelap.

“Saudara Sim Hong Bu dan Kao Cin Liong!” seru Kam Hong dengan mata terbelalak lebar. “Kiranya kalian berdua! Kami sangka peronda!”

Sementara itu, Ci Sian hanya memandang kepada dua orang pemuda itu dengan wajah kemerahan. Dua orang pemuda yang baru saja mengajukan pinangan kepadanya!

“Mari kita bicara agak jauh dari sini,” bisik Hong Bu sambil meloncat pergi dan yang lain mengikutinya.

Setelah tiba di tempat agak jauh dari pagar tembok, Hong Bu lalu menjura kepada Kam Hong dan Ci Sian, lalu berkata, “Sungguh beruntung sekali aku dapat bertemu dengan Ji-wi di sini, seolah-olah Ji-wi dituntun oleh Tuhan untuk membantuku, setelah Jenderal Kao Cin Liong juga datang membantuku.” Lalu dengan singkat namun jelas Hong Bu menceritakan tentang rombongannya yang berjumpa dengan tiga orang datuk Im-kan Ngo-ok dan Hek-i Mo-ong dan betapa keluarga Cu telah ditawan oleh empat orang datuk sesat itu.

“Aku seorang diri tidak mampu melawan mereka dan terpaksa melarikan diri,” Hong Bu mengakhiri ceritanya, “Dan kebetulan sekali aku berjumpa dengan Cin Liong. Malam ini kami melakukan penyelidikan untuk melihat apakah benar empat orang datuk itu berada di sini dan apakah keluarga Cu ditawan di tempat ini. Pada saat melihat bayangan Ji-wi, kami mengira Ji-wi adalah dua orang di antara mereka.”

“Dan bagaimanakah Kam-taihiap dan Nona Bu juga dapat berada di sini?” Cin Liong bertanya.

Melihat sikap kedua orang pemuda itu biasa saja, seolah-olah tidak ada kandungan penyesalan hati sedikit pun tentang peristiwa penolakan pinangan mereka terhadap Ci Sian, hati Kam Hong merasa girang dan juga kagum sekali. Mereka sungguh patut menjadi pendekar-pendekar muda yang gemblengan, tidak mudah menaruh dendam pribadi. Juga Ci Sian merasa lega melihat sikap mereka.

“Kebetulan sekali ketika kami lewat di sini, kami melihat berkelebatnya bayangan Hek-i Mo-ong memasuki rumah ini. Kami merasa curiga dan terheran-heran bagaimana datuk itu tiba-tiba muncul di tempat ini, maka kami lalu mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan, kalau perlu membasmi kakek iblis itu. Dan baru saja kami melakukan penyelidikan, kami melihat kalian berdua dan mengira bahwa kalian adalah peronda atau anak buah Koa-kauwsu,” Kam Hong menjelaskan.

“Janganlah khawatir, Hong Bu. Aku akan membantumu menghadapi iblis-iblis itu dan membebaskan keluarga Cu!” kata Ci Sian dan suaranya kini biasa kembali terhadap Hong Bu, mengingatkan pemuda ini ketika mereka berdua dahulu pernah bekerja sama menghadapi Hek-i Mo-ong yang lihai. Maka gembiralah hatinya.

“Terima kasih, terima kasih!” katanya gembira dan kini dia tidak merasa ragu lagi bahwa dia akan dapat menyelamatkan keluarga Cu, terutama Pek In yang dicintanya. Tanpa ragu-ragu lagi dia pun berkata melanjutkan, “Kini aku yakin bahwa tunanganku akan dapat diselamatkan!”

Kam Hong dan Ci Sian memandang dengan mata terbelalak, dan Cin Liong sendiri pun bertanya, “Tunanganmu....? Ahh, kiranya engkau telah bertunangan dengan Nona Cu Pek In? Bagus! Selamat, Hong Bu!”

Kam Hong dan Ci Sian juga memberi selamat yang diterima dengan gembira oleh Hong Bu. “Sekarang belum waktunya kita bergembira,” tiba-tiba Cin Liong mengingatkan, “Yang penting sekarang adalah rencana penyerbuan untuk menyelamatkan keluarga Cu. Setelah Kam-taihiap dan Nona Bu hadir, hatiku tidak khawatir lagi. Kami berempat kiranya akan sanggup menghadapi mereka berempat. Betapa pun juga, yang paling perlu adalah membebaskan keluarga Cu yang tertawan. Maka, menurut pendapatku, harus digunakan siasat untuk memberi kesempatan kepada Hong Bu untuk menyelinap ke dalam dan membebaskan mereka.”

Jenderal muda ini kemudian menjelaskan siasatnya dan tiga orang pendekar yang mendengarkan dengan penuh perhatian hanya mengangguk menyetujui karena mereka tahu bahwa Kao Cin Liong, selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga adalah seorang ahli siasat perang sehingga tentu saja lebih ahli dalam melakukan penyerbuan seperti itu.

Tak lama kemudian, sesuai dengan rencana yang diatur oleh Kao Cin Liong, sepasukan prajurit penjaga keamanan kota Lo-couw telah mengepung rumah perguruan silat itu, dipimpin oleh Jenderal Kao Cin Liong sendiri yang ditemani oleh Kam Hong dan Ci Sian. Pintu gerbang digedor dari luar dan dengan suara lantang seorang prajurit pelapor meneriakkan kepada guru silat Kao Cin Gu untuk membuka pintu gerbang karena komandan pasukan keamanan kota Lo-couw hendak bicara.

Tentu saja para penghuni perguruan itu menjadi panik ketika mereka mengintai dari balik pintu gerbang dan melihat bahwa tempat mereka sedang dikepung pasukan pemerintah yang bersenjata lengkap! Dengan wajah pucat terpaksa Koa Cin Gu keluar setelah pintu gerbang dibuka. Dia mengenal komandan Thio yang mengepalai pasukan keamanan kota itu, maka segera dia menghadap Thio-ciangkun yang berdiri di sebelah kiri Cin Liong yang tidak dikenalnya karena pemuda ini mengenakan pakaian biasa.

“Thio-ciangkun, ada terjadi apakah maka malam-malam Ciangkun datang bersama para pasukan?” Koa Cin Gu bertanya, sedapat mungkin mengambil sikap tenang.

“Koa Cin Gu, tak perlu engkau menutup-nutupi dosamu!” berkata Thio-ciangkun dengan suara galak. “Kami memperoleh keterangan bahwa engkau menyembunyikan tokoh-tokoh penjahat besar yang terkenal dengan nama Hek-i Mo-ong, Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Suruh mereka segera keluar. Kalau tidak, engkau akan kami anggap sebagai pemberontak dan sekalian penghuni rumah ini akan kami tangkap sebagai anggota-anggota pemberontak!”

Bukan main kagetnya hati Koa-kauwsu mendengar ucapan ini. Akan tetapi sebelumnya tadi dia memang sudah berunding dengan empat orang tamunya itu, maka kini sesuai dengan rencana mereka tadi, Koa-kauwsu berkata, “Ah, Thio-ciangkun.... bagaimana Ciangkun dapat mempercayai fitnah seperti itu? Ciangkun sudah mengenal baik siapa saya. Saya tanggung bahwa tidak ada penjahat di sini. Harap Ciangkun suka menarik kembali pasukan dan besok saya akan menghadap Ciangkun untuk bicara soal ini.” Di balik kata-katanya itu seperti biasa tersembunyi maksud, yaitu bahwa dia hendak membereskan persoalan ini dengan hadiah atau sogokan!

Akan tetapi biar pun komandan itu bukan seorang pejabat yang tidak biasa menerima sogokan macam itu, kini di depan seorang jenderal yang terkenal dari kota raja, tentu saja dia menjadi marah sekali. “Koa Cin Gu, jangan engkau main-main! Hayo cepat suruh empat orang itu keluar, kalau tidak, terpaksa kami akan mengerahkan pasukan untuk menangkap semua orang dan menggeledah ke dalam!”

Melihat bujukannya tidak berhasil, orang she Koa itu lalu berkata, “Ciangkun, memang benar saya mempunyai empat orang tamu, akan tetapi mereka adalah para Locianpwe yang datang memberi petunjuk-petunjuk ilmu silat, sama sekali bukan penjahat. Semua itu adalah fitnah belaka.”

“Tidak peduli mereka itu pendekar atau penjahat, suruh mereka keluar supaya dapat menemui dan bicara dengan kami!” kata pula Thio-ciangkun.

Karena tidak melihat jalan lain, sesuai dengan rencana mereka, Koa Cin Gu terpaksa lalu menghadap ke dalam rumah dan berseru, “Harap Cu-wi Locianpwe suka keluar menemui Thio-ciangkun!”

“Ciangkun, kami adalah orang baik-baik, mengapa….?”

Akan tetapi ucapan Sam-ok yang menjadi juru bicara mereka itu tertahan dan matanya terbelalak ketika dia mengenal Kam Hong, Ci Sian, dan Jenderal Muda Kao Cin Liong. Juga Hek-i Mo-ong mengenal Kam Hong dan Ci Sian, maka kakek ini pun tahu bahwa dia telah berhadapan dengan musuh yang pandai, maka tangannya bergerak dan senjata Long-ge-pang telah berada di tangannya.

“Ah, kiranya kalian bocah-bocah setan yang datang mengacau!” katanya dan langsung saja Hek-i Mo-ong menerjang maju.

Kam Hong menyambutnya, dengan suling emas yang sudah dicabutnya, sebab maklum betapa dahsyatnya serangan kakek raksasa berambut putih dan berpakaian serba hitam itu.

Tiga orang dari Im-kan Ngo-ok yang juga mengenal tiga orang muda perkasa itu maklum bahwa tidak ada gunanya lagi berpura-pura dan bahwa untuk menyelamatkan diri mereka harus mempergunakan kekerasan. Maka mereka bertiga pun segera menerjang ke depan, disambut oleh Kao Cin Liong dan Ci Sian. Melihat ini, guru silat Koa Cin Gu juga mengerti bahwa rahasianya telah terbongkar, maka dia pun menjadi nekat. Dengan teriakan nyaring dia pun memimpin anak buahnya untuk mencegah pasukan memasuki rumahnya. Terjadilah pertempuran hebat di pekarangan depan rumah itu.

Sementara itu, Cu Kang Bu, Yu Hwi, Cu Pek In ditahan dalam kamar-kamar terpisah-pisah. Mereka dalam keadaan tertotok dan dibelenggu tangan mereka, rebah di atas dipan dalam kamar tahanan masing-masing, dan setiap orang dijaga oleh dua orang anak buah Koa-kauwsu.

Para anak buah Koa-kauwsu bukanlah orang-orang baik. Koa-kauwsu sendiri biar pun seorang guru silat, akan tetapi dia adalah orang yang berkecimpung dalam dunia hitam sehingga para muridnya tentu saja terdiri dari tukang-tukang pukul dan penjahat-penjahat yang ingin memperkuat dirinya. Ketika semua orang menyerbu keluar untuk menyambut musuh, enam orang yang bertugas jaga itu ditinggal berdua saja dengan masing-masing tawanan mereka. Kesempatan ini menimbulkan niat yang keji dalam benak mereka yang menjaga Yu Hwi dan Pek In.

Dua orang wanita ini adalah wanita-wanita yang tergolong cantik, maka melihat di situ tidak ada orang-orang lain, para penjaga dua orang tawanan wanita ini timbul niat yang kotor untuk mengganggu dua orang tawanan mereka. Mereka mulai mendekati tawanan masing-masing yang rebah terbelenggu dan tertotok di atas dipan, memandang dengan mulut menyeringai dan berliur.

Dua orang yang menjaga Cu Pek In sudah mendekati gadis itu. Cu Pek In merasa bulu romanya meremang ketika melihat sikap mereka berdua itu. Akan tetapi ia tidak mampu bergerak karena telah tertotok jalan darahnya. Andai kata tidak tertotok, biar pun kaki tangannya terbelenggu, tentu ia dapat bergerak dan berdaya untuk melawan. Akan tetapi, kini ia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak ketika dua orang itu mendekatinya dan terkekeh-kekeh.

“Heh-heh, kita tidak bisa maju berbareng, harus antri. Siapa yang lebih dulu?” kata yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.

“Kita undi saja!” kata kawannya yang bermata juling.

“Kita main bertanding jari saja, siapa menang boleh maju lebih dulu dan yang lain menjaga di luar kamar menanti giliran!” kata Si Tinggi Besar.

Dua orang itu tertawa-tawa dan bermain jari. Ternyata Si Tinggi Besar yang menang dan dengan muka kecewa Si Mata Juling lalu keluar dari kamar itu, meninggalkan kawannya dan berjalan di luar. Daun pintu ditutupkan, akan tetapi Si Mata Juling itu mengintai dari celah-celah daun pintu.

Cu Pek In memandang dengan mata terbelalak, melihat betapa sambil terkekeh dan menyeringai menyeramkan, Si Muka Hitam yang tinggi besar itu mulai menanggalkan pakaiannya sendiri. Wajah Pek In menjadi pucat dan mulutnya berbisik, “Jangan.... ah, jangan....!”

“Ha-ha-ha diamlah, manis,” kata Si Tinggi Besar yang kini melangkah mendekati dipan, membuat Pek In merasa ngeri dan takut sehingga hampir ia roboh pingsan.

Akan tetapi pada saat jari tangan Si Tinggi Besar menyentuh pakaian Pek In, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar pintu. Daun pintu terbuka. Si Tinggi Besar menoleh dan seketika mukanya menjadi pucat ketika dia melihat temannya, Si Mata Juling itu sudah roboh mandi darah di depan pintu. Sebelum dia sempat menguasai hatinya, sesosok bayangan berkelebat dan Hong Bu telah menghantamnya dengan telapak tangan kanan.

Si Tinggi Besar tak sempat lagi berteriak karena terdengar suara keras ketika kepalanya kena ditampar. Tubuhnya terpelanting dan kepalanya retak, mengeluarkan darah dan otaknya. Dia tewas seketika tanpa sekarat lagi.

Hong Bu cepat membebaskan totokan Pek In, kemudian mematahkan belenggu kaki tangannya.

“Engkau tidak apa-apa, In-moi....?” tanyanya.

“Ahh.... Bu-ko....!” Pek In merangkul dan menangis di dalam pelukan pemuda itu. Pek In melirik ke arah tubuh telanjang yang kepalanya retak itu dan menggigil. “Untung engkau segera datang, Buko....,” katanya dan hatinya lega sekali karena rasa penasaran dan duka karena ditinggal lari oleh Hong Bu itu kini terobati dengan munculnya kekasihnya yang telah menyelamatkannya.

Sebelum menolong Pek In, Hong Bu tadi telah memasuki kamar tahanan Cu Kang Bu, merobohkan dua orang penjaganya dan membebaskan Cu Kang Bu. Dan begitu bebas, Kang Bu segera minta kepada Hong Bu untuk menolong Pek In di kamar sebelah kanan sedangkan dia sendiri cepat lari ke kamar sebelah kiri di mana dia tahu isterinya ditawan. Dia memandang daun pintu itu dan dapat dibayangkan betapa marahnya saat dia melihat ada dua orang penjaga sedang menggerayangi tubuh isterinya dalam usaha mereka untuk melepaskan pakaian isterinya yang tertotok dan terbelenggu tak mampu melawan itu.

“Keparat!” bentak Cu Kang Bu dan sekali loncat dia sudah tiba di belakang dua orang penjaga yang kurang ajar itu.

Mereka membalikkan tubuh, akan tetapi tahu-tahu rambut kepala mereka telah dijambak oleh Cu Kang Bu dan sekali menggerakkan kedua tangannya, pendekar tinggi besar dari Lembah Naga Siluman itu sudah membenturkan dua buah kepala itu.

“Prokk!” terdengar suara, dan dua buah kepala itu pecah berhamburan!

Ketika Kang Bu membebaskan isterinya dan mereka berdua keluar dari dalam kamar itu, mereka bertemu dengan Hong Bu yang juga sudah berhasil membebaskan Pek In.

“Di luar sana aku dibutuhkan, harap Susiok bertiga suka membantu pasukan dari dalam. Aku sendiri harus membantu mereka menghadapi empat iblis itu!” Setelah berkata demikian, Hong Bu meloncat keluar dengan cepat sekali.

Kang Bu tadi telah diberi tahu oleh Hong Bu bahwa yang dimaksudkan dengan ‘mereka’ itu adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong dan Pendekar Suling Emas Kam Hong beserta sumoi-nya, Bu Ci Sian. Dengan singkat dia pun memberi tahu kepada isterinya dan keponakannya, lalu mereka bertiga juga menyerbu keluar dan mengamuk, menyerang para anak buah guru silat Koa dari sebelah dalam. Tentu saja anak buah Koa-kouwsu menjadi terkejut dan semakin panik karena mereka pun sudah terdesak oleh pasukan keamanan yang menyerbu dari luar.

Perkelahian antara Kam Hong melawan Hek-i Mo-ong masih berlangsung dengan amat serunya, tetapi Cin Liong dan Ci Sian yang bekerja sama menghadapi pengeroyokan tiga orang Im-kan Ngo-ok terdesak hebat. Mereka berdua itu hanya mampu memutar senjata untuk melindungi diri belaka, tanpa mempunyai banyak kesempatan untuk membalas. Tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Hong Bu sudah menerjang dan membantu mereka berdua.

Melihat betapa Koa-kauwsu dan anak buahnya sudah roboh semua karena amukan Cu Kang Bu bertiga, dan melihat betapa mereka berempat sudah terkurung oleh pasukan dan di situ terdapat orang-orang muda yang amat lihai itu, Hek-i Mo-ong maklum bahwa kalau terjadi pertempuran keroyokan tentu pihaknya akan mengalami kerugian karena kalah banyak, maka tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan berseru dengan lantang, “Tahan senjata! Kami hendak bicara!”

Empat orang pendekar muda itu menahan senjata mereka dan Kam Hong mewakili teman-temannya, sambil melintangkan suling emas di depan dada dia pun menegur, “Hek-i Mo-ong, engkau hendak bicara dan menggunakan kecurangan apa lagi?”

Wajah kakek itu berubah merah. Teringat dia bahwa dia pernah melukai pemuda luar biasa ini, akan tetapi hal itu dilakukannya karena dia main curang, yaitu pada saat Kam Hong melawan delapan orang muridnya, ialah Hek-i Pat-mo dan ketika pendekar ini terdesak delapan orang itu, dia turun tangan membantu murid-muridnya sehingga Kam Hong menderita luka dalam yang cukup parah.

“Bocah she Kam! Kalau memang kalian adalah orang-orang muda yang gagah perkasa dan mengaku sebagai pendekar-pendekar sakti, mari kita melakukan pertandingan satu lawan satu tanpa pengeroyokan dan tanpa mengandalkan bantuan. Kita masing-masing mengadakan pertandingan satu lawan satu sampai mati dan tidak boleh ada orang lain yang membantu. Nah, bagaimana? Apa kalian berempat berani menyambut tantangan kami berempat?”

Kam Hong mengerutkan alis dan memandang kepada tiga orang kawannya. Dia melihat betapa Ci Sian, Hong Bu, dan Cin Liong mengangguk kepadanya, dan dia sendiri pun percaya sepenuhnya bahwa ketiga orang muda itu cukup tangguh dan kuat untuk melawan tiga orang datuk dari Im-kan Ngo-ok, maka ia pun menjawab dengan lantang,

“Baik, Hek-i Mo-ong. Kami berempat menerima tantangan kalian!”

Thio-ciangkun lalu membuat lingkaran dengan pasukannya, lingkaran yang cukup luas di pekarangan rumah itu, dan memasang obor yang cukup banyak sehingga tempat itu menjadi terang dan merupakan gelanggang pertandingan yang dipagari pasukan. Cu Kang Bu dan Yu Hwi yang sudah selesai membasmi Koa-kauwsu dan anak buahnya itu pun kini berdiri menonton dengan penuh kepercayaan terhadap empat orang muda yang sakti itu, hanya Cu Pek In yang mengerutkan alisnya dan merasa khawatir.

“Bagus! Kami akan mengajukan jago pertama kali. Sam-ok, kau majulah!” berkata Hek-i Mo-ong.

Sam-ok Ban-hwa Sengjin, bekas Koksu Nepal yang nama aslinya Lakshapadma itu segera melangkah maju ke tengah lapangan. Dia pun maklum bahwa jalan keluar tidak ada, maka tindakan Hek-i Mo-ong itu dianggapnya tepat. Hanya melalui pertandingan perorangan maka mereka mendapat kesempatan untuk lolos, asal dapat memenangkan lawan. Dan bagaimana pun lihainya, empat orang lawan itu hanyalah orang-orang muda yang tentu masih jauh kurang pengalamannya dibandingkan deagan mereka berempat.

Dia maju dengan tenang. Kakek raksasa yang kepalanya botak ini nampak gagah dengan mantelnya yang merah, dan kini dia menanggalkan mantel merahnya dan melemparkan mantel itu kepada Ji-ok. Dia sendiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua lututnya agak ditekuk dan kedua lengannya membuat silang di depan dada, yang kanan miring di depan dahi, yang kiri miring di depan dada, sikapnya seperti seorang pendeta sedang melakukan sembahyang dengan sikap aneh.

“Biar aku yang menghadapi tua bangka Nepal ini!” kata Kao Cin Liong dan majunya Cin Liong melegakan hati Kam Hong.

Dibandingkan dengan Cin Liong, mungkin sumoi-nya masih kalah, dan biar pun di pihak musuh Sam-ok merupakan orang terakhir, namun dia tahu bahwa bekas Koksu Nepal ini mempunyai banyak tipu muslihat sehingga kalau Ci Sian yang melayani dia, hal itu amat berbahaya. Berbeda kalau Cin Liong yang menyambut kakek itu, karena biar pun masih muda, namun Cin Liong juga seorang yang memiliki banyak pengalaman dan mengenal banyak siasat-siasat licik pihak musuh.

“Baiklah, Saudara Kao Cin Liong. Kau lawan Sam-ok dan hati-hatilah terhadap akal busuk!” kata Kam Hong.

Cin Liong melangkah maju dengan tenang. Di bawah sinar obor yang banyak dinyalakan itu, pemuda ini nampak tegap dan gagah perkasa sekali. Wajahnya yang bundar itu nampak halus dan tampan, sepasang matanya yang lebar bersinar-sinar dan tahi lalat kecil di bawah telinga kirinya itu menambah kewibawaannya. Ketenangan pemuda ini nampak pada senyumnya, seolah-olah dia sama sekali tidak merasa jeri menghadapi lawan yang sudah amat tersohor karena kelihaiannya ini. Masih begitu muda sudah memperoleh kepercayaan Kaisar, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya pemuda ini.

Sam-ok juga merasa agak terkejut ketika melihat bahwa jenderal muda itu yang maju. Dia tahu akan kelihaian pemuda ini. Baru mengingat bahwa pemuda ini adalah putera tunggal dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir saja sudah membuat dia menjadi agak ngeri. Akan tetapi, dia segera dapat mengusir perasaan ini dengan keyakinan akan kepandaian sendiri. Betapa pun juga, pemuda ini bukanlah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, pikirnya, melainkan seorang yang masih muda dan tentu masih hijau pula dalam pengalaman.

“Ha-ha-ha!” Sam-ok tertawa bergelak untuk membesarkan hati. “Inikah Jenderal Muda Kao Cin Liong yang terkenal itu? Ha-ha-ha, orang muda, sudah rela benarkah engkau untuk mati konyol maka engkau berani melawanku?”

“Ban-hwa Sengjin! Engkau telah berdosa terhadap pemerintah dan negara ketika engkau menjadi Koksu Nepal, dan engkau berdosa terhadap rakyat ketika engkau menjadi Sam-ok. Dosamu sudah terlampau bertumpuk, terlampau banyak maka sudah sewajarnyalah kalau kini engkau menerima hukuman dari tanganku sendiri! Majulah!”

Sebelum maju tadi Cin Liong telah menitipkan pedangnya kepada Hong Bu dan kini dia menghadapi lawan dengan tangan kosong. Dia tahu bahwa Sam-ok adalah seorang yang memiliki ilmu silat yang sudah agak tinggi tingkatnya, maka datuk ini tidak lagi mengandalkan senjata. Dan karena dia sendiri pun murid ayah kandungnya yang memiliki ilmu silat tangan kosong pula, maka dia menghadapi lawan dengan tangan kosong.

Dia berdiri tegak lurus, mula-mula kedua lengannya tergantung lurus di kanan kiri, lalu diangkatnya sampai ke pinggang dengan jari-jari terbuka dan ibu jari ditekuk ke telapakan. Perlahan-lahan lengannya diangkat ke atas, lalu setelah sampai di atas kepala ditarik ke bawah sambil mengerahkan tenaga sinkang. Kedua lengannya itu nampak tergetar halus, dan kini tubuhnya penuh dengan saluran sinkang yang dahsyat!

Sam-ok mengeluarkan suara menggereng dan oleh karena gerengan ini mengandung getaran tenaga khikang yang amat kuat, maka para prajurit yang mengepung tempat itu untuk nonton perkelahian itu menjadi terkejut dan tubuh mereka menggigil. Sam-ok menyusul gerengannya ini dengan terjangan dahsyat, kedua lengannya yang panjang dan besar itu bergerak cepat. Tahu-tahu dia telah mengirim serangan beruntun sampai empat kali, memukul dengan kedua tangan dari atas ke bawah disusul cengkeraman dari kanan kiri.

Cin Liong juga bergerak cepat. Dua lengannya sudah menangkis dua pukulan pertama dan menghadapi cengkeraman dari kanan kiri itu dia meloncat ke belakang sambil membalik dan tiba-tiba saja tubuhnya berputar dan dia pun sudah membalas dengan sebuah tendangan kilat yang mengarah dagu lawan.

Ketika Sam-ok menggerakkan tangan hendak menangkap kaki yang menendangnya, Cin Liong menarik kembali kakinya dan tubuhnya meluncur ke depan, tangan kanan menotok ke arah pusar dan tangan kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala botak itu! Dia telah mulai menggunakan jurus-jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat yang hebat. Karena dia tahu bahwa lawannya adalah seorang yang lihai, maka pemuda ini tidak mau membuang waktu dengan mengeluarkan ilmu silat lain, melainkan langsung mengeluarkan ilmu ciptaan kakek gurunya, yaitu Si Dewa Bongkok itu.

Sesungguhnya Ilmu Sin-liong Ciang-hoat asalnya adalah ilmu ciptaan Dewa Bongkok yang khas, yaitu untuk seorang yang berlengan tunggal. Akan tetapi Kao Kok Cu, Si Naga Sakti Gurun Pasir telah menyempurnakan ilmu tangan kosong ini untuk puteranya, sehingga kini yang dikuasai oleh Kao Cin Liong adalah ilmu silat tangan kosong yang cocok untuk di mainkan oleh seorang yang berlengan utuh, walau pun dasarnya masih ilmu asli. Justru karena dasarnya adalah ilmu silat yang tadinya diperuntukkan seorang yang berlengan buntung, maka sekarang setelah dimainkan oleh Cin Liong, gerakan-gerakannya amat aneh dan tak dapat diduga-duga oleh musuh.

Kadang-kadang pemuda itu hanya menggerakkan tangan kanannya saja, dan tangan kirinya bergantung mati, akan tetapi pada detik-detik yang sama sekali tidak disangka oleh lawan, tiba-tiba saja tangan kirinya bergerak mengirim serangan susulan, serangan maut yang amat dahsyat, lebih dahsyat dari pada serangan-serangan tangan kanannya!

Biar pun Sam-ok seorang yang tinggi ilmunya, namun menghadapi ilmu silat ini dia merasa bingung juga sehingga setelah lewat lima puluh jurus, ia kurang cepat mengelak dan tamparan tangan kiri yang tadinya tergantung mati itu sempat mengenai pundak kanannya, dan membuat tubuh yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang. Sam-ok meloncat untuk mengatur keseimbangan badannya dan mulutnya menyeringai menahan rasa nyeri yang membuat separuh tubuhnya sebelah kanan seperti lumpuh sejenak.

“Haiiiikkk!” Tiba-tiba Sam-ok menubruk ke depan.

Cin Liong mengelak dengan loncatan ke kiri, akan tetapi tiba-tiba dari lengan baju yang lebar itu meluncur sinar-sinar hitam yang lembut menuju ke seluruh tubuh Cin Liong dari atas ke bawah! Itulah jarum-jarum rahasia beracun yang dilepas dari jarak dekat sekali! Dan ini merupakan satu di antara kecurangan-kecurangan Sam-ok. Akan tetapi, sejak tadi Cin Liong memang sudah waspada terhadap serangan gelap, maka begitu melihat sinar hitam menyambar dia sudah meloncat tinggi sehingga semua jarum lewat di bawah kakinya. Cin Liong bukan sembarangan meloncat, melainkan meloncat ke depan dan kini dari atas dia terjun menyerang ke arah kepala lawan dengan menggunakan kedua kakinya!

Sam-ok terkejut bukan main. Tak disangka-sangkanya bahwa pemuda itu selain dapat menghindarkan semua jarumnya, juga memiliki ginkang sedemikian hebatnya sehingga sambil mengelak kini bahkan langsung balas menyerang. Cepat dia secara terpaksa menggulingkan tubuhnya ke atas tanah sehingga serangan dari atas itu pun tidak mengenai sasaran dan begitu dia meloncat bangkit lagi, Sam-ok sudah mengeluarkan ilmunya yang paling diandalkan karena aneh dan tangguhnya.

Tubuhnya tiba-tiba berpusing bagaikan sebuah gasing dan terus berpusing sehingga tubuh itu tidak nampak lagi. Dan dari gerakan berpusing ini dengan cepat bagaikan kilat menyambar, ada serangan-serangan mencuat yang menuju ke arah lawan. Cin Liong menggerakkan kaki tangan menangkis, akan tetapi karena pusingan tubuh lawan itu mendatangkan angin dahsyat, dan oleh karena serangan yang mencuat dari tubuh yang berputar cepat itu sukar diikuti dengan pandangan mata, maka Cin Liong terkena sambaran pukulan yang mengarah lambungnya.

Tangkisannya menyeleweng dan biar pun dia tidak terkena pukulan langsung, namun tetap saja dia terdorong sampai hampir terjengkang dan merasa betapa paha kanannya panas oleh hawa pukulan lawan. Hanya dengan melempar diri ke belakang dan berjungkir balik saja pemuda itu dapat menyelamatkan diri dan tidak sampai roboh terjengkang.

Melihat hebatnya lawan, Cin Liong tiba-tiba mendekam di atas tanah dan ketika lawan yang berpusing itu mendekatinya, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking dahsyat dan tubuhnya meluncur dari bawah dengan pukulan kedua tangan didorongkan ke depan. Itulah pukulan dari Ilmu Sin-liong Hok-te yang amat hebat dari Istana Gurun Pasir!

“Desssss....!”

Oleh karena hebatnya pukulan itu, Sam-ok mana mampu mengelak? Terpaksa dia menangkis dengan pengerahan seluruh tenaganya dan akibatnya, tubuhnya terlempar dan terbanting keras sekali! Itulah hebatnya pukulan Ilmu Sin-liong Hok-te (Naga Sakti Mendekam di Bumi). Kalau saja tadi Sam-ok mempergunakan tenaga lembut, tidak mempergunakan tangkisan tenaga kasar, dia pun akan celaka kalau Cin Liong juga mempergunakan tenaga Im.

Tubuh yang tinggi besar itu terguling-guling dan akhirnya dapat meloncat bangkit kembali, berdiri agak bergoyang-goyang dan di ujung bibir kakek itu nampak darah segar yang keluar dari mulutnya! Dengan bajunya, Sam-ok menghapus darah itu dan mukanya berubah merah sekali. Dia menggereng nyaring, gerengan yang keluar dari dalam perutnya saking marahnya dan tiba-tiba dia merenggut ke arah lehernya. Nampak sinar berkilauan ketika tangannya sudah memegang seuntai rantai hitam yang tadinya dipakai sebagai kalung lehernya. Rantai ini adalah untaian batu-batu hitam dari Nepal yang diuntai dengan tali baja yang amat kuat!

Jarang sekali Sam-ok mempergunakan senjata dalam perkelahian menghadapi lawan yang betapa pandai sekali pun. Ilmu silatnya sudah sangat tinggi, tenaga sinkang-nya amat kuatnya sehingga tanpa bantuan senjata pun dia sudah merupakan seorang yang sukar dikalahkan. Akan tetapi, sekali ini dia bertemu tanding, bahkan dia telah menderita guncangan dalam tubuh yang membuatnya terluka, maka tanpa malu-malu lagi dia mengeluarkan senjata simpanannya yang tadinya dipakainya sebagai sebuah kalung jimat! Menurut kepercayaan tahyul di Nepal, batu-batu hitam yang dipakainya sebagai kalung itu mempunyai daya kekuatan untuk menolak penyakit dan mala petaka. Selain itu, juga batu-batu hitam itu keras sekali dan kuat, dapat menahan senjata pusaka lawan yang bagaimana ampuh sekali pun.

“Trrrik.... wirr.... wirr!”

Senjata aneh itu mengeluarkan bunyi berketrik ketika digerakkan dan angin dahsyat menyambar ganas ke arah Cin Liong. Pemuda ini terkejut sekali dan mengelak, akan tetapi sinar hitam itu mengejarnya terus. Cin Liong terpaksa mengebutkan ujung lengan bajunya untuk menangkis, tidak berani langsung menangkis dengan lengannya karena dia belum mengenal sifat senjata lawan. Akan tetapi, biar pun lengan bajunya itu hanya merupakan kain saja, di dalam tangan pemuda ini berubah menjadi senjata penangkis yang ampuh dan kuat sekali.

“Prattttt!”

Tangkisan ujung lengan baju dari Cin Liong itu membuat serangan Sam-ok gagal dan sinar hitam senjata rantainya itu menyeleweng, akan tetapi pemuda itu terkejut bukan main ketika melihat betapa ujung lengan bajunya pecah-pecah! Dan kini sinar hitam itu telah menyambar lagi bertubi-tubi, mengarah kepalanya dan ujung sinar hitam itu dapat melakukan serangan totokan ke arah jalan darah yang mematikan. Maka Cin Liong segera mengelak dan berloncatan ke sana-sini, dan terdesak hebat oleh sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berketrikan itu.

“Cin Liong, nih terima pedangmu!”

Tiba-tiba terdengar Hong Bu berseru dan nampak sinar terang ketika pedang Cin Liong yang tadi dititipkan kepada pemuda itu telah dicabut oleh Hong Bu dan dilemparkannya kepada jenderal muda itu. Cin Liong cepat menyambut pedangnya dengan tangan kanan.

“Terima kasih, Hong Bu!” katanya gembira dan seketika pedang itu diputar-putarnya di tangannya, berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyilaukan mata ketika tertimpa sinar obor.

Pedang itu adalah sebuah pedang yang baik karena pedang itu merupakan pedang pemberian Kaisar sebagai tanda pangkatnya. Seperti juga Sam-ok, putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini sebetulnya tak lagi memerlukan senjata untuk membantunya dalam perkelahian. Akan tetapi karena lawannya yang tangguh itu mempergunakan senjata yang aneh dan yang mungkin saja dapat melukai lengannya, maka tentu saja dia merasa gembira untuk mempergunakan pedangnya menghadapi senjata lawan.

Sam-ok masih terus mendesak dengan senjatanya yang diputar-putar dan menghujani lawannya dengan serangan-serangan maut. Cin Liong juga memutar pedangnya dan menyambut serangan itu dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaganya.

“Tranggg.... cringggg....!”

Keduanya melompat ke belakang ketika merasa betapa telapak tangan mereka panas dan nyeri, seolah-olah kulitnya terkupas. Mereka masing-masing memeriksa senjata sendiri, akan tetapi hati mereka lega melihat bahwa senjata mereka tidak rusak oleh benturan yang hebat tadi. Mereka gembira karena senjatanya dapat menahan senjata lawan, keduanya lalu saling terjang lagi dengan dahsyatnya. Tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar hitam dan sinar terang dari pedang Cin Liong, dan kedua sinar yang bergulung-gulung itu saling belit, saling tekan dalam sebuah pertempuran yang amat seru.

Semua orang yang menyaksikan pertandingan ini, diam-diam merasa tegang bukan main karena memang jaranglah terdapat perkelahian antara dua orang yang demikian lihainya. Yang menegangkan adalah karena kedua pihak tidak mau turun tangan membantu teman. Pihak Hek-i Mo-ong tentu saja tidak berani melakukan ini sebagai pihak yang lebih lemah atau yang lebih sedikit jumlah temannya, sebaliknya pihak Kam Hong dan kawan-kawannya tentu tidak mau melanggar perjanjian sebagai pendekar-pendekar yang menjunjung tinggi kehormatan dan kegagahan. Maka semua orang tahu bahwa pertandingan antara Sam-ok dan Cin Liong ini, seperti juga pertandingan lain yang akan terjadi antara kedua pihak, merupakan perkelahian mati-matian tanpa dapat mengharapkan bantuan orang lain.

Kembali puluhan jurus lewat dengan cepat dan kedua pihak belum juga mampu saling melukai, apalagi merobohkan. Cin Liong maklum akan kelihaian lawan, dia gerakkan tubuh dan pedangnya dengan tenang dan hati-hati, sebaliknya Sam-ok yang memang merasa gelisah oleh karena maklum bahwa pihaknya kalah kuat dan telah terkepung, menyerang dengan penuh nafsu. Melihat betapa pertahanan pemuda itu tangguh sekali, dia menjadi penasaran.

Tiba-tiba, pada saat kedua senjata itu saling bertemu di udara, Sam-ok menggerakkan pergelangan tangannya, dan senjata rantai batu hitam itu segera bergerak membelit-belit pedang di tangan Cin Liong, seperti seekor ular. Kedua senjata itu tidak dapat terlepas kembali dan mereka kini saling tarik-menarik dan tiba-tiba kaki kanan Cin Liong terpeleset karena dia menginjak batu yang basah dan licin. Pemuda itu terjatuh miring di atas tanah. Tentu saja semua temannya menahan teriakan kaget melihat hal ini.

Melihat kesempatan yang amat baik baginya ini, Sam-ok menjadi girang sekali dan dia pun lalu menubruk ke bawah, tangan kirinya bergerak mencengkeram ke arah kepala pemuda itu! Hebat bukan main serangan ini dan semua orang tahu bahwa sekali kepala itu terkena cengkeraman jari-jari tangan yang kuat itu, tentu pemuda itu akan tewas seketika!

Melihat hal ini, Ci Sian tentu sudah meloncat kalau saja suheng-nya tidak memegang lengannya. Hong Bu juga mengepal tinju dan matanya melotot memandang ke arah sahabatnya yang rebah miring itu sedangkan kepalanya terancam cengkeraman yang mengandung ancaman maut itu.

Sam-ok tidak tahu, juga para ahli silat di situ tidak ada yang tahu bahwa ketika terjatuh tadi, otomatis Cin Liong mengatur gerakan jurus dari ilmu silat sakti Sin-liong Hok-te. Ilmu silat ini memang meminjam kekuatan bumi dan dilakukan dengan lebih banyak mendekam di atas tanah. Maka ketika Sam-ok menyerangnya dengan cengkeraman tangan ke arah kepalanya, sebenarnya Cin Liong sudah siap siaga dengan jurus ilmu silatnya yang ampuh. Dia cepat-cepat menggerakkan kepalanya menyingkir, dan tangan Sam-ok itu kini mencengkeram pundaknya dan pada saat itu juga, tiba-tiba dari bawah, tangan kiri pemuda ini meluncur dengan dahsyat mengirim serangan-serangan pukulan mendadak.

“Dessss....!”

Terdengar gerengan serak dari mulut Sam-ok ketika tubuh raksasa itu terlempar sampai tiga meter lebih, terbanting jatuh ke atas tanah! Sam-ok merangkak bangun, berdiri dan terhuyung-huyung, memandang dengan mata melotot ke arah Cin Liong, tangan kiri mencengkeram dadanya yang terpukul, tangan kanan mengangkat rantainya tinggi-tinggi, sikapnya seperti hendak menyerang. Akan tetapi, tiba-tiba mulutnya terbuka dan menyemburkan darah segar, kedua kakinya terkulai dan dia pun roboh menelungkup dan nyawanya melayang meninggalkan tubuhnya! Koit.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman