SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-54


Kemenangan jenderal muda ini disambut sorak-sorai oleh para pasukan, akan tetapi Toa-ok, Ji-ok, dan Hek-i Mo-ong mengerutkan alis dan muka mereka sebentar pucat sebentar merah.

Tiba-tiba Ji-ok mengeluarkan pekik melengking nyaring dan ia sudah meloncat ke depan, lalu ia menoleh kepada Hek-i Mo-ong sambil berkata, “Biarkan aku menebus nyawa Sam-te!”

Nenek bertopeng tengkorak ini adalah seorang datuk kaum sesat yang kejam sekali sehingga ia mampu memperoleh julukan Si Jahat ke Dua. Akan tetapi kini melihat betapa Sam-ok tewas di depan matanya, hatinya terasa seperti disayat dan ia merasa sakit hati sekali. Kini, Ji-ok Kui-bin Nio-nio sudah berdiri tegak, tubuhnya yang kecil ramping seperti tubuh orang muda itu bergoyang-goyang, dadanya turun naik terbawa tarikan napas panjang karena kemarahannya, sepasang mata di balik topeng tengkorak itu bagai dua titik api yang mencorong. Rambutnya yang sudah putih semua riap-riapan, sebagian menutupi muka tengkorak, kedua tangannya yang berkuku runcing bertolak pinggang, sikapnya menantang sekali.

“Bocah-bocah sombong, lekas majulah dan terimalah kematian di tanganku!” bentaknya menantang.

Ci Sian melangkah maju dan berkata kepada suheng-nya, “Suheng, ia adalah satu-satunya wanita di pihak lawan seperti juga aku di pihak kita. Biarkan aku menghadapi iblis betina ini!”

Kam Hong mengerutkan alisnya. Tentu saja diam-diam dia merasa khawatir sekali akan keselamatan gadis yang amat dicintanya ini, dan dia pun tahu akan kelihaian Ji-ok. Akan tetapi, di antara lawan yang masih tinggal tiga orang, kiranya Ji-ok masih terhitung yang paling lemah dibandingkan dengan Toa-ok, dan Hek-i Mo-ong, dan selain itu, dia pun maklum bahwa sumoi-nya sekarang sama sekali tidak boleh disamakan dengan sumoi-nya setahun yang lalu. Sumoi-nya telah mewarisi ilmu sinkang dari Pulau Es saat digembleng oleh pendekar sakti Suma Kian Bu, dan dibandingkan dengan dirinya, sumoi-nya hanya kalah setingkat saja. Maka dia pun merasa yakin bahwa sumoi-nya akan mampu menandingi Ji-ok Kui-bin Nio-nio. Maka dia pun mengangguk.

“Hati-hati, Sumoi. Hadapi ia dengan tenang saja, karena engkau tidak akan kalah!” katanya memperingatkan sumoi-nya bahwa menghadapi seorang datuk kaum sesat yang tentu saja memiliki banyak pengalaman bertanding dan juga mempunyai banyak tipu muslihat, harus dilakukan dengan penuh ketenangan dan kepercayaan kepada diri sendiri. Terburu nafsu menghadapi orang seperti Ji-ok ini bisa celaka sendiri. Ci Sian mengangguk dan tersenyum.

“Suheng, aku tidak akan membikin malu dan kecewa padamu,” katanya dan janji ini mengelus hati Kam Hong yang merasa terharu dan juga berbahagia sekali.

Ci Sian kini menghadapi Ji-ok dan ia telah mencabut suling emasnya. Dara ini sekarang telah menjadi seorang gadis dewasa. Wajahnya yang berbentuk bulat manis itu masih membayangkan kelincahan dan kejenakaan. Sinar matanya penuh keberanian sedang senyum di mulutnya masih membayangkan kenakalan remajanya walau pun sikapnya kini nampak tenang dan membayangkan kematangan pengalaman-pengalaman yang selama ini dihadapinya. Mukanya yang bulat itu nampak amat manis ketika diangkatnya suling melintang di depan dada dan matanya memandang kepada lawan dengan tajam, kedua kakinya agak terpentang dan jari telunjuk dan tengah tangan kiri menyentuh ujung sulingnya yang melintang.

Melihat bahwa yang maju dan hendak melawannya hanya seorang gadis yang nampak masih remaja itu, Ji-ok mengeluarkan suara tertawa mengejek, lalu ia mendengus dengan suara memandang rendah sekali, sikap yang disengaja untuk menjatuhkan nyali lawan. “Hi-hik, bocah ini yang hendak menandingiku? Apakah tidak sayang kalau gadis secantik dan semuda ini harus mampus di tanganku? Bocah manis, lebih baik kalau lekas berlutut minta ampun dan nenekmu mungkin akan menaruh kasihan kepadamu!”

Ucapan ini selain hendak merendahkan dan mengecilkan nyali lawan, juga disengaja dikeluarkan untuk membakar hati lawan, agar marah. Kemarahan yang mengawali pertandingan berarti merugikan sekali dan hal ini diketahui dengan baik oleh Ci Sian yang selain menerima gemblengan Kam Hong, juga pernah digembleng oleh seorang pendekar sakti seperti Suma Kian Bu. Maka, mendengar ucapan dan melihat sikap nenek itu, ia tetap tersenyum, bahkan mengambil sikap seperti seorang dewasa melihat tingkah laku seorang anak kecil yang nakal.

“Ji-ok Kui-bin Nio-nio,” katanya lantang, “Sudah lama aku mendengar bahwa engkau adalah seorang nenek yang amat kejam seperti siluman, banyak membunuh anak-anak kecil untuk kau hisap darah dan otaknya. Kejahatanmu sudah melampaui takaran dan engkau telah layak untuk mati sampai seratus kali. Maka sekarang tiba saatnya engkau menebus dosa-dosamu di dasar neraka menyusul Sam-ok yang sudah mendahuluimu dan sedang menantimu di ambang pintu neraka. Bersiaplah engkau, wahai nenek iblis!”

Kini terjadilah senjata makan tuan. Senjata yang dipergunakan oleh Ji-ok, yaitu kata-kata untuk memancing kemarahan lawan, ternyata dipergunakan pula oleh Ci Sian yang cerdik. Dara ini maklum akan kelemahan lawan pada saat itu, maka Ci Sian sengaja mengingatkannya tentang kematian Sam-ok. Di luar kesadarannya sendiri, mendengar ucapan ini, Ji-ok teringat akan kematian Sam-ok dan ia menjadi marah bukan main. Sambil mengeluarkan suara mendengus karena tidak mampu lagi mengeluarkan kata-kata saking marahnya, nenek ini sudah menggerakkan tubuhnya dan tangan kirinya yang berkuku panjang itu telah melakukan penyerangan dahsyat, mencengkeram ke arah muka Ci Sian!

Ci Sian tersenyum mengejek dan cepat mengelak sambil menggerakkan sulingnya menotok ke arah sambungan siku lengan nenek yang menyerangnya itu dari samping, memaksa Ji-ok untuk cepat menarik kembali lengannya yang melakukan penyerangan tadi. Mereka segera mulai serang-menyerang dengan sengit dan terjadilah perkelahian yang tidak kalah serunya dibandingkan dengan pertandingan pertama antara Cin Liong dan Sam-ok tadi.

Pelampiasan kemarahan merupakan pembuangan kekuatan batin yang amat besar, merupakan penghamburan energi yang sungguh sia-sia. Orang yang melampiaskan kemarahan melalui kata-kata keras atau tindakan-tindakan kekerasan, tentu akan merasa betapa sesudahnya dia akan kehabisan tenaga, lemas lahir batin. Oleh karena itu, orang yang mampu menghadapi nafsu-nafsu yang muncul seperti nafsu amarah, tanpa menghamburkan kekuatan dahsyat itu melalui pelampiasan, berarti akan menyimpan kekuatan batin yang kuat. Bukan mengendalikan kemarahan, melainkan menghadapinya dan memandangnya dengan wajar dan waspada dan sadar, tidak dikuasai olehnya. Pengendalian kemarahan hanya akan meredakan nafsu itu untuk sementara waktu saja.

Ji-ok telah dikuasai nafsu kemarahan sendiri, dan kemarahannya ini semakin melonjak saja ketika ia mendapatkan kenyataan betapa ia tidak mampu mengalahkan lawan yang dianggapnya masih bocah ingusan ini, betapa pun ia telah mengerahkan seluruh tenaga dan memeras seluruh kepandaiannya. Bahkan sebaliknya, serangan-serangan balasan dari suling emas itu sungguh membuat ia kadang-kadang terkejut dan beberapa kali nyaris terkena totokan ujung suling emas.

Lebih dari itu pula, setelah lewat puluhan jurus, suling emas itu selain mengeluarkan serangan yang sangat berbahaya, juga mengeluarkan suara melengking tinggi rendah bagaikan ditiup mulut yang tidak nampak, dan di dalam suara ini terkandung tenaga khikang yang teramat kuat, membuat kepalanya pening dan pengumpulan tenaganya kadang-kadang membuyar!

Ji-ok yang biasanya amat yakin akan kemampuan sendiri, yang biasanya memandang rendah kepada pihak lawan, sekali ini merasa penasaran bukan main dan hal ini lalu mendorong kemarahannya menjadi semakin memuncak sampai napasnya terengah engah dan dari atas kepala yang penuh rambut putih itu mengepul uap putih yang tebal!

“Mampuslah engkau! Haiiittt....!”

Tiba-tiba nenek itu merendahkan dirinya untuk membiarkan suling itu meluncur lewat, kemudian kakinya mengirim tendangan kilat ke arah dada Ci Sian. Bukan sembarang tendangan karena tendangan itu dilakukan sambil meloncat dan merupakan tendangan berantai, dilakukan oleh kaki bersepatu yang dilapisi besi meruncing itu. Bertubi-tubi kedua kaki itu menendang, dan setiap kaki dapat melakukan tendangan berantai sampai tiga empat kali mengarah bagian-bagian berbahaya dari tubuh lawan!

“Tak-tuk-tak-tuk!”

Terdengar suara pada saat Ci Sian mengelak dan menangkis dengan sulingnya sampai akhirnya nenek itu terpaksa menghentikan serangan tendangan berantai yang selain tak berhasil, juga membuat kedua kaki yang terbungkus sepatu itu terasa nyeri bertemu dengan suling emas. Akan tetapi masih dua kali lagi ia menendang dan sekali ini, dari pinggiran ujung sepatunya menyambar sinar kecil-kecil merah ke arah tubuh Ci Sian!

“Tring-tring-tring....!”

Paku-paku berwarna merah yang mengandung racun itu runtuh semua ketika tertangkis suling dan dengan marah Ci Sian memutar sulingnya, menggunakan jurus yang ampuh dari Kim-siauw Kiam-sut untuk balas menyerang. Gulungan sinar keemasan dari suling itu menghimpit dan nenek itu terpaksa berloncatan mundur karena terdesak oleh serangan suling berubi-tubi yang mengeluarkan bunyi melengking tinggi itu.

Untuk menghindarkan diri dari serangan suling bertubi-tubi yang sinarnya menggulung dirinya itu, terpaksa Ji-ok harus melempar tubuhnya ke belakang, ke atas tanah lalu ia bergulingan sampai jauh. Ketika Ci Sian yang melihat lawan bergulingan menjauhi ini mengejar dengan serangan sulingnya, dengan hati girang karena lawan memperlihatkan kelemahannya, tiba-tiba saja Ji-ok melakukan penyerangan dari bawah, menggunakan ilmunya yang ampuh, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang). Telunjuknya menusuk atau menotok, mengeluarkan suara bercicitan seperti tikus terjepit dan dari telunjuk tangannya itu keluarlah sinar berkilat yang mengandung hawa dingin sekali!

Melihat telunjuk lawan menuju ke arah tenggorokannya, dan merasakan hawa dingin yang menyambar, Ci Sian kemudian menggerakkan tangan kirinya menangkis sambil mengerahkan Hwi-yang Sinkang atau sinkang yang mengandung hawa panas yang pernah dilatihnya dari Pendekar Pulau Es Suma Kian Bu.

“Tasssss....!”

Pertemuan dua tenaga yang saling bertentangan itu merupakan benturan keras lawan keras hingga akibatnya keduanya terdorong ke belakang. Ji-ok merasa betapa seluruh lengannya tergetar dan panas sekali, sebaliknya Ci Sian cepat mengerahkan sinkang untuk melawan hawa dingin yang menyusup ke tubuh melalui tangan yang menangkis tadi.

Betapa pun, girang juga hati Ji-ok melihat betapa ilmunya yang hebat itu sempat membuat lawan tangguh ini terhuyung, maka ia pun sudah meloncat ke depan lagi sambil menyerang dengan ilmu Kiam-ci secara dahsyat dan bertubi-tubi.

Menghadapi serangan aneh dan amat berbahaya ini, Ci Sian cepat menggerakkan dan memutar sulingnya dengan tangan kanan, dan tangan kirinya membantu, bukan hanya untuk menangkis, melainkan juga untuk menyerang dengan pukulan-pukulan jarak jauh untuk mengimbangi serangan lawan. Tentu saja ia sudah mempergunakan tenaga gabungan Im dan Yang dari Pulau Es yang pernah diajarkan Suma Kian Bu kepadanya.

Kini pertandingan itu berjalan lebih seru, tetapi juga aneh karena jarak antara mereka agak jauh dan agaknya kedua tangan mereka tidak pernah saling menyentuh, namun di antara dua orang wanita ini menyambar-nyambar hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bercicitan dan juga terasa betapa angin pukulan yang kadang-kadang dingin bukan main, kadang-kadang panas, menyambar-nyambar ke semua jurusan. Hebat memang perkelahian itu dan semua orang yang menonton menjadi kagum luar biasa. Terutama Kam Hong, pendekar ini bangga bukan main. Sumoi-nya itu, setelah memiliki sinkang gabungan dari Pulau Es, benar-benar menjadi seorang wanita yang sangat hebat!

Adu pukulan jarak jauh itu berlangsung sampai seratus jurus, dan keduanya mulai lelah karena perkelahian macam ini membutuhkan pengerahan sinkang yang terus menerus dan siapa lengah tentu akan celaka. Dan hal ini pun menguntungkan Ci Sian. Dara ini masih muda sekali, tentu saja memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat dibandingkan lawannya yang mulai terengah-engah dan uap yang mengepul dari kepala itu kini makin tebal saja, dan nampak keringat menetes-netes dari balik kedok tengkorak, juga di leher nenek itu nampak keringat membasahi kulit dan baju.

Memang tidak dapat disangkal pula bahwa Ci Sian juga sudah merasa lelah, dadanya bergelombang, pernapasannya mulai terdengar, dan dahi serta lehernya nampak basah. Namun, dibandingkan dengan lawannya, ia masih lebih segar.

Tentu saja Ji-ok menjadi semakin penasaran dan marah, sungguh pun kemarahannya itu mulai bercampur dengan kekhawatiran. Sungguh tidak disangkanya, lawannya yang masih amat muda ini ternyata benar-benar lihai bukan main, bukan saja memiliki ilmu silat yang amat tinggi dengan suling emasnya, juga ternyata memiliki tenaga sinkang yang hebat sekali di samping tenaga khikang yang membuat sulingnya dapat bersuara melengking tinggi menggetarkan jantung.

Maka nenek ini pun mengambil keputusan bulat untuk mengeluarkan ilmunya yang paling ampuh, yang merupakan senjata rahasianya yang selama ini bahkan belum pernah dikeluarkannya menghadapi lawan-lawan tangguh. Pada waktu itu, Ci Sian yang melihat betapa lawannya sudah nampak lelah sekali, memutar sulingnya dan melakukan desakan hebat sehingga Ji-ok terpaksa hanya main mundur dan mengelak ke sana sini. Tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya seperti orang hendak lari.

Tentu saja Ci Sian tidak membiarkan lawannya melarikan diri dan ia pun cepat meloncat mengejar. Dan pada saat itu pula, tiba-tiba Ji-ok membalikkan tubuh lagi dan kedua tangannya menyerang dengan jurus Kiam-ci yang mengeluarkan suara bercuitan. Dan bukan hanya tusukan-tusukan jari yang dahsyat ini saja yang menyambar ke arah Ci Sian, akan tetapi juga didahului oleh dua sinar hitam yang menyambar dan tahu-tahu dua sinar itu telah mengenai leher dan juga pinggang Ci Sian.

Semua orang terkejut sekali melihat dua sinar ini adalah dua ekor ular yang sangat berbahaya. Semacam ular cobra yang jahat dan beracun sekali! Ular-ular cobra itu sudah melingkari leher dan pinggang Ci Sian dan semua orang tahu bahwa sekali saja terkena gigitan ular seperti ini, maka tidak ada obat di dunia ini yang akan dapat menyelamatkan nyawa orang yang digigitnya. Hanya Kam Hong yang masih nampak tenang-tenang saja, padahal Cin Liong dan Hong Bu sudah menahan seruan dan wajah kedua orang muda ini sudah menjadi pucat sekali. Juga Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Cu Pek In memandang dengan mata terbelalak, walau pun Yu Hwi juga segera tersenyum karena ia teringat bahwa Ci Sian akan mampu menghadapi ular-ular itu.

Dugaannya memang benar dan hal ini pun diketahui oleh Kam Hong maka pendekar ini nampak tenang saja. Ci Sian adalah murid terkasih dari See-thian Coa-ong, raja ular yang memiliki ilmu pawang ular yang lihai bukan main. Gadis ini selain telah menguasai Sin-coa Thian-te-ciang, ilmu silat ular yang lihai, juga telah menguasai ilmu pawang ular.

Maka begitu ia tadi melihat bahwa senjata rahasia lawannya adalah dua ekor ular cobra, diam-diam ia tertawa dan segera mengerahkan ilmu menundukkan ular itu. Hebatnya, begitu ular-ular itu mengenai leher dan pinggangnya, dua ekor ular yang segera mengenal ilmu itu dan tahu bahwa manusia ini adalah ‘ratu’ mereka, sama sekali tidak menggigit malah lalu melingkar dengan manja!

Yu Hwi maklum bahwa Ci Sian pernah menjadi murid See-thian Coa-ong, dan Kam Hong juga tahu akan hal ini, maka mereka berdua tidak merasa khawatir. Akan tetapi, tiba-tiba Ci Sian mengeluarkan teriakan nyaring dan roboh terjengkang! Kam Hong sendiri sampai terkejut setengah mati melihat hal yang tidak diduga-duganya ini.

Ji-ok terkekeh girang, lalu menubruk untuk memberi pukulan maut terakhir. Akan tetapi, mendadak kedua tangan Ci Sian bergerak dan dua ekor ular itu kini meluncur ke arah tubuh Ji-ok yang sedang menubruk, dengan mulut mendesis penuh kemarahan! Ji-ok terkejut, namun tidak mampu mengelak lagi dan dua ekor ular itu telah mengenai pundak kanan dan paha kirinya, terus saja dua ekor ular cobra itu mematuk dan menggigit! Ji-ok menjerit ngeri, lalu terpelanting.

Ci Sian juga sudah melompat bangun, sulingnya menotok ke arah tenggorokan wanita itu. Ji-ok mengelak dan suling itu mengenai topengnya. Terdengar suara keras dan topeng itu terlepas dari muka Ji-ok. Dan semua orang pun menahan seruan kaget dan ngeri ketika melihat muka nenek itu.

Muka yang cantik sesungguhnya, biar pun sudah tua akan tetapi kulit muka itu masih halus dan putih. Bentuk mulutnya, hidungnya, matanya, semua jelas menunjukkan bahwa muka itu dahulu adalah wajah seorang wanita yang amat cantik. Akan tetapi, sungguh mengerikan sekali, wajah yang demikian eloknya itu ternoda oleh goresan bersilang dari atas kiri ke bawah kanan dan dari atas kanan ke bawah kiri sehingga membuat muka itu nampak mengerikan sekali! Sekarang semua orang baru tahu bahwa di balik topeng tengkorak itu tersembunyi wajah cantik yang sudah cacad.

Tentu saja Ji-ok yang mempunyai senjata rahasia ular cobra yang amat berbahaya telah menggunakan obat sehingga tubuhnya kebal terhadap gigitan ular-ular itu, dan biar pun tadi dua ekor ular yang telah dikuasai oleh ilmu Ci Sian itu membalik dan menggigit majikan sendiri, namun Ji-ok tidak terancam bahaya maut oleh gigitan itu. Yang membuatnya terkejut bukan main adalah terlepasnya kedok. Ia marah sekali dan menubruk ke arah Ci Sian tanpa mempedulikan lagi keselamatan dirinya, sama sekali tidak lagi memperhatikan daya tahan untuk melindungi dirinya. Ia seperti orang nekad yang hendak mengadu nyawa dengan lawannya.

Dan memang sesungguhnya demikianlah. Wanita ini ketika mula-mula memakai kedok tengkorak, telah bersumpah bahwa tidak ada orang lain yang boleh melihat wajahnya dan kalau sampai wajahnya nampak oleh orang lain berarti ia akan mati! Maka, begitu kedoknya terlepas oleh pukulan suling lawan, ia pun menjadi marah dan melakukan serangan nekad, menubruk dengan jari-jari tangan terbuka seperti cakar garuda, dengan kuku panjang yang mengandung tenaga dahsyat dari Kiam-ci itu.

Tentu saja Ci Sian dapat melihat kenekadan lawan, maka ia pun cepat meloncat ke samping dan melihat betapa tubuh orang terbuka tanpa perlindungan, sulingnya sudah menyambar, merupakan sinar kuning emas yang meluncur cepat.

“Takkk....! Aihhhh....!”

Ji-ok mengeluarkan jeritan satu kali lalu tubuhnya terguling dan jatuh menelungkup di atas tanah, tewas seketika karena dua kali tubuhnya tertotok ujung suling, pertama kali pada lambungnya lalu disusul totokan pada leher bawah telinganya.

Bukan main sedihnya hati Toa-ok melihat tewasnya Ji-ok dan Sam-ok di depan matanya tanpa ia mampu melindungi mereka itu. Kini tinggal dia seorang diri di dunia. Im-kan Ngo-ok yang terdiri dari lima orang itu kini tinggal dia seorang saja. Su-ok dan Ngo-ok telah tewas lebih dulu dan kini menyusul Sam-ok dan Ji-ok. Biar pun Toa-ok merupakan seorang datuk kaum sesat yang biasa berhati kejam sekali, akan tetapi sekali ini dia merasa betapa hatinya perih dan nyeri.

Dengan muka berubah merah dia sudah melompat ke depan. Ketika dia menggerakkan tangannya, lengan bajunya berkibar dan dari situ menyambar angin dahsyat ke depan, membuat debu mengebul dan daun-daun kering beterbangan. Akan tetapi Ci Sian yang merasa lelah dan juga girang karena telah berhasil keluar sebagai pemenang, kini telah meloncat ke belakang dan tidak mau melayani Toa-ok yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan bersinar-sinar penuh kemarahan dan dendam.

Tanpa membuang waktu lagi, Sim Hong Bu melangkah maju sambil berkata kepada Kam Hong, “Biar aku yang melayaninya.”

Kam Hong mengangguk. “Hati-hatilah, Saudara Hong Bu, lawanmu itu cukup tangguh.”

Melihat majunya pemuda tegap sederhana yang sikapnya gagah ini, Toa-ok segera menghadapinya dan sepasang matanya yang masih terbelalak penuh kemarahan itu seperti hendak menelan Hong Bu bulat-bulat. Dia mengenal pemuda ini, bahkan dia tahu pula bahwa pemuda inilah yang dahulu bersahabat dengan Yeti. Mengingat bahwa pemuda ini baru beberapa tahun saja mempelajari ilmu silat, tentu saja Toa-ok yakin bahwa dia akan mampu mengalahkan pemuda ini, walau pun dia sama sekali tidak mau bersikap sembrono dan memandang rendah.

Tadi sudah disaksikannya betapa orang-orang muda seperti Kao Cin Liong dan Bu Ci Sian telah mampu merobohkan dan menewaskan Sam-ok dan Ji-ok. Dia sekarang harus dapat membalas kematian dua orang adik-adiknya itu. Akan tetapi ketika Hong Bu mencabut pedang Koai-liong Po-kiam dan nampak sinar biru berkelebat, Toa-ok merasa gentar juga. Bagaimana pun juga, pemuda ini sudah pernah membuktikan kelihaiannya ketika dikeroyok dan dapat juga melarikan diri. Pedang di tangan pemuda itu adalah sebatang pedang yang amat ampuh, dan juga ilmu pedang yang dimiliki pemuda ini luar biasa aneh dan lihainya, maka Toa-ok bersikap hati-hati.

Di antara kelima orang Im-kan Ngo-ok, hanya Toa-ok sajalah yang tidak pernah mau mempergunakan senjata. Tentu saja, sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi, dia pandai memainkan segala macam senjata yang dipergunakan orang di dunia persilatan. Tetapi, tokoh ini memiliki tingkat yang tinggi dan tenaga sinkang yang kuat sekali sehingga dia tidak lagi membutuhkan bantuan senjata. Kedua lengannya yang panjang dan besar itu telah dilindungi oleh kekuatan sinkang dan dapat menahan senjata tajam yang bagai mana pun kuatnya. Setiap serangan tangan atau kakinya juga lebih berbahaya dari pada senjata tajam.

Setelah melihat pemuda pewaris Koai-liong Po-kiam itu mencabut pedangnya, Toa-ok juga tidak mau banyak cakap lagi. Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor monyet raksasa, kakek ini pun lalu mulai membuka serangannya.

Gerakannya biasa saja, seperti bukan gerakan silat, juga nampak kaku dan dia hanya mengembangkan kedua lengannya ke depan dan kedua tangannya itu menyambar dari atas, kanan dan kiri, akan tetapi, biar pun nampak kaku dan lamban, namun dari kedua tangannya itu menyambar angin pukulan yang dahsyat sekali, yang mengeluarkan suara angin keras. Dan baru saja kakek itu mulai dengan serangannya, Hong Bu sudah merasakan sambaran hawa pukulan yang amat panas. Maka pemuda ini pun lalu memutar pedangnya dan selain mengelak serta melindungi diri dengan gulungan sinar pedang kebiruan, juga dia membalas secara kontan dengan tusukan pedangnya ke arah perut lawan yang agak gendut itu.

“Trakkk!”

Toa-ok menangkis dengan lengannya, sengaja menangkis sambil mengerahkan tenaga, mencoba membuat pedang lawan terpental, bahkan tangkisan itu disambung dengan cengkeraman untuk merampas pedang. Ketika lengan bertemu pedang, Hong Bu merasa betapa pedangnya tergetar hebat, akan tetapi dia pun cepat menarik pedangnya itu dan gulungan sinar pedang kembali berkelebat dan sudah membabat ke arah leher lawan. Ketika Toa-ok mengelak, pedang itu sudah menyambar lagi dengan dahsyatnya, seolah-olah mempunyai nyawa dan setiap serangan yang tidak mengenai sasaran disambung dengan serangan berikutnya.

Terjadilah perkelahian yang sama serunya dengan dua pertandingan yang terdahulu. Bahkan lebih menegangkan lagi karena para pendekar itu maklum bahwa kepandaian Toa-ok ini masih lebih lihai dibandingkan dengan Ji-ok atau Sam-ok. Sekali ini, yang paling khawatir adalah Cu Pek In. Dara ini biar pun merupakan puteri dari pendekar sakti keluarga Cu, namun tingkat kepandaiannya belumlah setinggi Hong Bu, maka ia hanya dapat menonton dengan hati gelisah. Ia pun tahu betapa lihainya kakek yang seperti gorila itu dan biar pun gerakan kakek itu kaku dan aneh seperti gerakan seekor monyet raksasa, namun ia mengerti bahwa kalau tidak lihai bukan main, tidak nanti kakek yang mukanya menyerupai monyet ini dapat menjadi orang pertama dari Im-kan Ngo-ok!

Sim Hong Bu maklum akan hal ini, maka dia pun tidak berani memandang rendah dan kini pemuda itu mulai memainkan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang amat hebat itu. Perlahan-lahan nampak sinar pedang berwarna biru begulung-gulung, makin lama makin cepat dan makin lebar. Mula-mula hanya terdengar bunyi berdesing, lalu bunyi itu makin meninggi menjadi lengking yang aneh, seperti auman singa, makin lama makin nyaring sampai menggetarkan anak telinga. Pedang itu lenyap membentuk gulungan sinar biru yang agaknya memenuhi tempat itu, membungkus tubuh Sim Hong Bu sehingga yang nampak pada diri pendekar muda perkasa ini hanya kedua kakinya yang kadang-kadang turun ke atas tanah, akan tetapi sebentar saja sudah lenyap lagi.

“Hyaaaattt....!”

Tiba-tiba terdengar teriakan Hong Bu di antara lengking suara pedangnya, dan dengan gerakan kilat sinar biru menyambar ke arah leher Toa-ok. Jurus ini amat hebatnya, tusukan pedang itu bergetar, membuat ujung sinar pedang itu menjadi banyak dan membingungkan lawan karena sukar untuk menduga ke arah mana pedang itu akan menyerang.

Akan tetapi, Toa-ok yang juga berkelahi dengan amat hati-hati itu tahu bahwa lehernya yang menjadi sasaran utama, maka dia pun sudah miringkan tubuh menarik kepalanya ke belakang dan kedua lengannya membuat gerakan menggunting dalam usahanya menangkap pedang lawan. Tapi Hong Bu menarik sedikit pedangnya dan menggunakan ujung pedang untuk menusuk ke arah sambungan siku kanan Toa-ok.

“Hemmm!” Toa-ok mendengus, menarik sikunya turun dan tangan kirinya menangkis pedang sedangkan tangan kanan sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Sim Hong Bu.

Pemuda ini tentu saja tahu akan datangnya bahaya maut, maka sambil menarik pedangnya dia melompat ke belakang. Akan tetapi, alangkah terkejut hati pemuda itu ketika melihat betapa tangan yang besar berbulu seperti tangan monyet itu masih terus saja mengejar kepalanya dan mengancam dengan cengkeraman yang mengerikan. Kiranya orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini mempunyai ilmu memanjangkan lengan tangan sehingga biar pun Hong Bu sudah mundur sampai dua meter, lengan itu masih dapat menjangkaunya dan tangan itu masih meneruskan serangannya.

“Plakkk!”

Terpaksa Hong Bu menangkis dengan lengan kirinya yang kebetulan berada dalam posisi yang baik untuk menangkis sedangkan pedangnya tidak sempat melindungi dirinya. Dan tangkisan ini membuat Hong Bu terhuyung. Diam-diam pemuda ini merasa kagum dan juga kaget. Nyaris dia menjadi korban ilmu aneh memanjangkan lengan itu! Maka dia pun cepat menyusuli tangkisannya dengan babatan pedangnya ke arah sambungan siku lengan yang memanjang itu.

“Wwuuuuttt....!”

Tiba-tiba saja lengan yang panjangnya lebih dari dua meter itu menjadi pendek kembali seolah-olah ditarik dengan amat cepatnya dan kini kakek raksasa seperti monyet itu sudah memutar tubuhnya dan kedua kakinya sudah melakukan serangan Im-yang Soan-hong-twi (Ilmu Tendangan Angin Puyuh Im dan Yang). Kedua kaki yang besar dan panjang itu dengan amat cepatnya berputar-putar silih berganti melakukan tendangan berantai dan ketika Hong Bu mengelak dan beberapa kali menangkis, dia memperoleh kenyataan bahwa tendangan itu selang-seling dengan dua macam tenaga lemas dan kasar.

Menghadapi tendangan berantai yang ganas ini, Hong Bu lantas memutar pedangnya dengan jurus Naga Sakti Bercanda Dengan Mustika. Pedang itu berputar membentuk lingkaran sinar biru di depannya, merupakan benteng yang berbahaya bagi kedua kaki Toa-ok yang terpaksa menghentikan tendangan berantai itu karena terdapat bahaya kakinya akan menjadi buntung kalau berani memasuki lingkaran sinar biru itu.

Setelah kini Hong Bu mainkan Koai-liong Kiam-sut, mengeluarkan jurus-jurus pilihan saja sehingga pedangnya mengeluarkan suara mengaum-aum nyaring, perlahan-lahan Toa-ok nampak repot juga, terdesak karena memang ilmu pedang ini luar biasa sekali dan dia belum dapat mengenal dasar-dasarnya.

“Arrrghhh....!” Bentakan yang keluar dari kerongkongan Toa-ok ini mirip benar dengan gerengan seekor monyet yang sedang marah, dan tiba-tiba saja tangan kiri kakek itu dapat menangkap pedang Koai-liong Po-kiam!

Dapat dibayangkan betapa lihainya kakek ini yang telah dapat menangkap pedang telanjang dengan tangan kosong, padahal pedang itu tadi berubah menjadi sinar berkelebatan. Hong Bu terkejut, merasa betapa pedangnya seperti terjepit pada sebuah jepitan baja yang amat kuat! Dia menarik dan membetot, tidak dapat ditarik kembali.

Dan pada saat itu, Toa-ok telah menghantamkan tangan kanannya yang terbuka lebar itu ke arah dada Hong Bu dengan dorongan tenaga sinkang yang amat kuatnya! Karena pedangnya masih terjepit di tangan lawan, tentu saja Hong Bu tidak mau mengelak dan melepaskan pedang. Dia tahu bahwa kalau dia kehilangan pedang pusaka itu, maka dia akan menjadi bagaikan harimau yang dicabuti giginya, dan jalan satu-satunya untuk menghadapi pukulan telapak tangan lawan itu hanya dengan keras melawan keras. Maka dia pun cepat menggerakkan tangan kirinya, menerima hantaman itu dengan memapaki tangan dengan tangan pula.

“Dessss....!”

Dua telapak tangan bertemu, dan telapak tangan kakek itu dua kali lebih lebar dari pada telapak tangan Hong Bu. Akan tetapi pendekar muda ini pun tadi sudah menggunakan sinkang sekuatnya sehingga ketika dua telapak tangan bertemu, kedua tangan itu seperti saling melekat, tidak dapat ditarlk kembali karena siapa yang menarik lebih dulu, akan menghadapi bahaya maut karena lawan tentu langsung menyerangnya. Maka kini keduanya berkutetan, sebelah tangan saling menarik pedang untuk merampasnya, sebelah tangan yang lain saling dorong mengadu kekuatan sinkang! Keadaan amat menegangkan, bahkan Cin Liong sudah mengepal-ngepal tinjunya, ragu-ragu apakah pemuda itu akan mampu menandingi Toa-ok dalam adu tenaga ini.

Memang Hong Bu mulai terdesak dalam adu tenaga ini. Bagaimana pun juga inti ilmu yang diwarisinya adalah ilmu pedang dan kini setelah pedangnya tertangkap dan dia tidak lagi mampu mempergunakan ilmu pedangnya, maka tentu saja kelihaian Hong Bu seperti mati langkah, dan dalam hal tenaga sinkang, dia masih kalah oleh orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu! Kalau dilanjutkan adu tenaga itu, tentu Hong Bu akan kalah dan Kam Hong sudah bersiap-siap untuk menyelamatkan sahabatnya itu, bukan untuk mengeroyok namun untuk menyelamatkan sahabatnya dan tentu saja mengaku kalah. Kekalahan di pihaknya berarti harus membiarkan yang menang untuk pergi dengan aman! Sedangkan orang seperti Toa-ok itu amatlah berbahaya kalau dibiarkan berkeliaran di dunia ini.

Akan tetapi, mendadak saja Toa-ok yang seperti juga Hong Bu tidak mampu lagi mempergunakan kedua tangan itu, menggerakkan kepalanya dan mulut yang agak lonjong ke depan seperti monyong monyet itu, dengan giginya yang besar-besar dan bersiung, dibuka dan hendak menggigit ke arah tenggorokan Hong Bu!

Semua orang terkejut sekali melihat ini, bahkan Hong Bu sendiri juga kaget. Tidak disangkanya bahwa seorang tokoh persilatan yang begitu tinggi kedudukannya, seorang datuk seperti Toa-ok, mau mempergunakan cara yang hanya dilakukan binatang buas dalam perkelahian, yaitu menggigit! Betapa pun aneh dan lucunya hal ini, namun harus diakui bahwa serangan menggunakan mulut untuk menggigit tenggorokan ini amat berbahaya.

Tentu saja Hong Bu tak lagi bisa mengelak. Tangan kanannya masih mempertahankan pedang pusaka yang hendak dirampas, dan tangan kirinya masih menahan telapak tangan Toa-ok. Dua tangannya tak dapat dipakai untuk menangkis, dan untuk mengelak ke belakang pun tidak mungkin.

Akan tetapi, pemuda ini teringat bahwa dahulu, sebelum dia menjadi murid pendekar sakti keluarga Cu, dia pernah mempelajari ilmu silat tingkat rendahan dari ayahnya dan para pamannya. Dan di dalam latihan-latihan ketangkasan dan latihan tenaga ini ada semacam latihan yang pernah dilatihnya, bahkan telah dikuasainya dengan baik, yaitu melatih kepalanya, terutama bagian dahi untuk menyerang! Dengan latihan yang tekun, di waktu dia masih kecil saja dia sudah mempunyai batok kepala yang kuat dan dengan dahi kepalanya dia sudah mampu menghancurkan batu bata yang keras.

Kini, kepandaian ini timbul dalam benaknya ketika dia menghadapi bahaya. Kekuatan kepalanya yang hanya berkat latihan dan dilandasi kekuatan otot dan kekerasan tulang kepala yang dilatih itu tentu saja tidak akan berguna, bahkan berbahaya kalau dilawan oleh tenaga sinkang lawan, maka dia pun tidak pernah mau menggunakan kepalanya dalam pertempuran. Akan tetapi sekali ini dia menghadapi gigi! Dan tidak terdapat jalan lain untuk menyelamatkan tenggorokanhya dari ancaman gigi yang besar-besar dan runcing itu. Maka, dengan cepat Hong Bu juga menggerakkan kepalanya, menyambut mulut lawan yang dimoncongkan untuk menggigitnya itu dengan benturan yang dilakukan dengan sekuat tenaga.

“Bresss....!”

Bukan main hebatnya pertemuan antara mulut dengan dahi itu dan terdengar Toa-ok berteriak keras sambil meloncat ke belakang. Mulutnya berdarah dan ternyata giginya rontok dan bibirnya pecah-pecah berdarah. Gigi orang yang sudah tua ini, yang hanya tinggal beberapa potong dan itu pun sudah kurang kuat, tidak dapat bertahan ketika bertemu dengan dahi yang terlatih dan kuat itu!

Toa-ok menjadi marah sekali. Bukan hanya dia telah dibikin rugi, kehilangan semua sisa giginya dan bibirnya berdarah, tetapi juga dia telah mendapat malu karena keadaannya itu sama saja artinya dengan dia menderita kekalahan. Sambil menggereng, dia pun lalu menerjang maju dan angin yang keras mendahului terjangannya ini. Kedua lengannya dipentang lebar-lebar ke atas, seperti seekor orang hutan raksasa sedang marah dan menyerang, dari tenggorokannya keluar gerengan yang menggetarkan jantung.

Akan tetapi, Hong Bu sudah siap menanti kemarahan lawan ini, pedangnya berkelebat ke depan dan pada saat kedua tangan dari atas itu menerkam, Hong Bu menyelinap di bawah ketiak kanan lawan sambil membalik dan pedangnya menusuk lambung.

“Crotttt!”

Biar pun pedang itu tidak dapat memasuki lambung yang penuh dengan hawa sinkang yang kuat itu, namun tetap saja baju kakek itu di bagian lambung terobek, berikut kulit lambung dan sedikit dagingnya, cukup untuk membuat darahnya mengucur dari tempat itu. Sedangkan Hong Bu sudah meloncat menjauh.

Kembali kakek yang semakin marah itu menerjang, dan sekali lagi Hong Bu mengelak sambil menyerang, sekali ini pedangnya berhasil menggores pipi dan leher lawan yang menjadi robek kulitnya dan berdarah. Dan ketika kakek itu membalik, lawannya yang lincah itu sudah menjauh pula. Hong Bu kini memperoleh akal, mempergunakan siasat seperti seekor lebah menyengat lalu terbang menjauh, menyengat lagi dan menjauh lagi. Dan dia pun tahu di mana letak kelemahan lawannya atau di mana dia dapat mengungguli lawan, yaitu pada kecepatan gerakan.

Mengandalkan kecepatannya ini, dan mengandalkan pedang Koai-liong Po-kiam yang amat tajam, maka mulailah Hong Bu dapat mengacau lawan, bahkan kini sengatan pedangnya semakin cepat dan semakin sering sehingga lewat tiga puluh jurus saja, baju yang menutupi tubuh Toa-ok sudah robek-robek di sana-sini dan pada setiap tempat yang terobek itu tentu ternoda darah. Toa-ok merasa penasaran sekali, dia pun sudah mengerahkan tenaga dan kecepatannya, namun pemuda itu terlalu lincah baginya, dan ilmu pedang pemuda itu masih belum juga dapat dia pecahkan rahasia dasarnya sehingga dia selalu dibuat bingung, tidak dapat mengikuti ke mana arah perkembangan sinar pedang yang cepat itu.

Toa-ok benar-benar merasa kewalahan sekarang. Kalau tadinya, dengan sinkang-nya dia masih dapat melindungi seluruh tubuh sehingga sengatan-sengatan ujung pedang itu hanya mendatangkan luka kulit daging yang kecil dan dangkal saja, makin lama sengatan-sengatan itu makin dalam karena tenaga pemuda itu semakin bertambah sedangkan tenaganya sendiri sudah menjadi makin lemah. Tubuh yang mulai tua dan kurangnya latihan membuat dia terpaksa mengakui keunggulan lawan yang masih muda itu.

Betapa pun juga setelah lewat seratus jurus lebih, ketika untuk kesekian kalinya ujung pedang pemuda itu menyengat dan mengenai paha kirinya, tiba-tiba dia membarengi dengan hantaman kedua tangannya, dengan pengerahan tenaga yang masih bersisa, tanpa mempedulikan sengatan pedang pada pahanya.

“Crott! Desss....!”

Tubuh Hong Bu terlempar dan terguling-guling sampai lima meter jauhnya, akan tetapi celana di paha Toa-ok terobek dan darah muncrat dari lukanya yang cukup dalam karena pedang itu menusuk sampai mengenai tulangnya! Rasa nyeri membuat Toa-ok menggereng dan melihat pemuda itu bergulingan, dia pun menubruk ke depan tanpa memberi kesempatan pemuda itu untuk bangun kembali. Serangan ini hebat bukan main dan Pek In sudah menjerit, akan tetapi Cu Kang Bu, juga Kam Hong dan Ci Sian dapat melihat gerakan pemuda itu ketika menerima hantaman dengan bahunya dan mereka bertiga menduga dengan penuh harapan bahwa Hong Bu setengah sengaja membiarkan dirinya dihantam tadi.

“Wuuuttt....!” Toa-ok menubruk seperti seekor singa kelaparan menubruk seekor domba saja.

“Crottt....!” Pedang Koai-liong Po-kiam menembus lambung.

Hong Bu cepat meloncat menyingkir dan terpaksa meninggalkan pedang yang terbenam di lambung lawan itu karena kalau tidak, tentu dia terpaksa menerima cengkeraman yang dahsyat sekali itu.

“Bressss....!”

Biar pun Toa-ok sudah terluka hebat, pedang itu pun menembus lambung sampai ke belakang tubuh, namun batu besar yang kena ditubruknya dan dicengkeramnya itu pecah berhamburan. Debu mengepul tinggi dan bumi rasanya terguncang! Dia masih bangkit, menggereng-gereng dan dengan kedua tangannya, dia memegang gagang pedang pusaka itu dan mencabutnya.

Begitu dicabut, darah muncrat-muncrat dan Toa-ok memutar-mutar pedang Koai-liong Po-kiam yang berlepotan darah itu, menyerbu ke arah Hong Bu! Pemuda ini terpaksa mengelak ke sana-sini dengan hati penuh kagum dan juga gentar melihat lawan yang lambungnya sudah ditembusi pedang itu masih dapat mengamuk seperti itu. Akan tetapi tiba-tiba serangan Toa-ok terhenti. Kakek itu berdiri kejang, matanya terbelalak, lalu terpelanting dan roboh miring.

Dia masih bangkit, menggereng-gereng dan dengan kedua tangannya, dia memegang gagang pedang pusaka itu dan mencabutnya dengan pedang masih di tangan! Dia tewas dalam keadaan penasaran dan pedang lawan masih digenggamnya, mukanya masih memperlihatkan kebengisan. Dengan hati-hati Hong Bu menghampiri, khawatir kalau-kalau orang jahat itu menjebaknya dan pura-pura pingsan atau mati. Akan tetapi ternyata ketika dia merampas pedangnya, pedang itu dengan mudah berpindah tangan dan dengan kakek itu terkulai lemas dan ketika diperiksa, ternyata lawannya itu telah tewas.

Melihat ini, para pasukan, seperti juga ketika tadi ketika menyambut kemenangan Cin Liong dan kemudian Ci Sian, bersorak dan memuji. Tetapi sebaliknya Hek-i Mo-ong memandang kepada mayat Toa-ok dengan mata pucat dan mata terbelalak. Tiga orang pembantunya atau sekutunya telah tewas semua dan kini hanya tinggal dia seorang diri! Kam Hong sudah melangkah maju dan memandangnya sambil tersenyum, akan tetapi sinar matanya penuh tantangan.

“Hek-i Mo-ong, kini tiba giliran kita untuk menentukan siapa di antara kita berdua yang berhak untuk hidup!”

Akan tetapi tiba-tiba kakek raksasa yang rambutnya sudah putih dan pakaiannya serba hitam itu mengeluarkan suara menggeram parau yang aneh, akan tetapi suara ini mengandung pengaruh yang amat berwibawa dan semua orang yang ada di situ tergetar hatinya dan memandang dengan kaget dan gentar. Nampak sinar merah ketika kakek itu sudah mengeluarkan sebatang kipas merah yang sudah dikembangkan, matanya berapi-api memandang kepada Kam Hong, kemudian terdengar suaranya yang parau menggetar.

“Orang she Kam! Kau kira akan dapat melawanku? Ha-ha-ha-ha, lihat baik-baik, kalian semua, ha-ha-ha-ha!”

Kam Hong maklum bahwa kakek ini mempunyai kekuatan sihir, maka dia pun sudah siap dan mengerahkan kekuatan batin untuk melawannya. Akan tetapi, tetap saja dia terbelalak, seperti semua orang lain yang berada di situ, melihat betapa kakek raksasa berjubah hitam itu tiba-tiba saja, perlahan-lahan, berubah menjadi besar dan tinggi, sampai tiga meter tingginya dan suara ketawanya makin lama makin nyaring bergema! Jenderal Muda Kao Cin Liong juga terkejut dan pemuda perkasa ini maklum bahwa kakek yang pandai ilmu silat itu berbahaya sekali, maka dia pun cepat memberi aba-aba kepada pasukan.

“Kepung tempat ini, jangan biarkan iblis itu melarikan diri!”

Dengan panik karena mereka merasa ketakutan, para penjaga keamanan itu segera melakukan pengepungan. Sementara itu, Kam Hong sudah mencabut sulingnya dan terdengar suara melengking lembut sekali ketika pemuda perkasa ini menyerang raksasa itu dengan suling emasnya.

“Blarrrr....!” Raksasa yang dihantamnya dengan suling itu seperti meledak dan lenyap dalam asap hitam tebal.

“Ha-ha-ha-ha!” Suara ketawa Hek-i Mo-ong kini terdengar di sebelah belakang Kam Hong.

Ci Sian juga sudah mencabut sulingnya dan kembali terdengar suling melengking ketika gadis ini pun menerjang maju, menyerang kakek itu yang berada di belakang Kam Hong. Baru mereka tahu bahwa raksasa tinggi besar tadi hanyalah jadi-jadian saja, hasil ilmu hitam kakek itu. Akan tetapi, terpaksa Ci Sian mundur lagi ketika dari tempat dia berdiri, kakek itu sudah menggerakkan tangan ke arahnya dan tiba-tiba saja terdengar ledakan di depan Ci Sian dan asap hitam menggelapkan segalanya.

“Sian-moi, hati-hati....!” Kam Hong berseru saat melihat dara itu terhuyung ke belakang.

Dia cepat meloncat mendekati dan menyambar tangan dara itu. Akan tetapi Ci Sian tidak terluka, hanya terkejut saja dan terhuyung karena terkejut oleh ledakan dan asap. Suara ketawa itu masih terdengar terus, disusul dengan ledakan-ledakan yang mengeluarkan asap hitam.

“Cegah dia lari!” Kam Hong berseru.

Juga Hong Bu bersama Ci Sian yang pernah melawan kakek ini dan melihat betapa kakek ini dapat melarikan diri dengan bantuan asap-asap hitam, sudah cepat meloncat ke sana-sini untuk mencari kakek itu dan mencegahnya melarikan diri.

Akan tetapi ledakan-ledakan masih terus berbunyi dan asap semakin tebal. Di antara gumpalan asap hitam itu, terdengar suara ketawa Hek-i Mo-ong, disusul suaranya yang parau, “Biarlah sekali ini aku mengaku kalah. Tetapi tunggu saja kalau Hek-i Mo-ong sudah mengumpulkan kembali kekuatannya. Ha-ha-ha!”

Suara ketawa itu semakin jauh dan biar pun para pendekar, termasuk Cu Kang Bu dan Yu Hwi, mencari dan mengejar, usaha mereka tidak berhasil dan setelah asap hitam bergumpal-gumpal itu membuyar, kakek iblis itu pun sudah tidak nampak lagi dan tidak meninggalkan jejak. Untuk kedua kalinya, dalam keadaan terdesak, kakek yang memiliki ilmu iblis itu telah dapat meloloskan diri.

Kam Hong menarik napas panjang. “Ahh, sukar memang menghadapi ilmu hitamnya. Dan selama Hek-i Mo-ong masih berkeliaran dengan bebas dipermukaan bumi ini, tentu dia hanya akan menyebar kejahatan belaka.”

“Betapa pun juga, Kam-taihiap telah berhasil membasmi sisa dari Im-kan Ngo-ok dan ini merupakan hasil gemilang,” kata Cin Liong.

“Kenapa aku? Yang membasmi adalah termasuk engkau pula, Saudara Kao. Memang, kalau para pendekar muda mau bersatu, kiranya orang-orang jahat akan menerima hajaran keras dan mereka tidak akan berani merajalela secara semena-mena.”

Thio-ciangkun, komandan pasukan itu, lalu mengerahkan pasukannya untuk membuat pembersihan, mengangkut mayat-mayat dan menangkapi sebagian dari anak buah guru silat Koa Cin Gu yang tadi melempar senjata dan menyerahkan diri.

Para pendekar muda itu bercakap-cakap dan saling mengagumi kepandaian masing-masing. Hati Kam Hong merasa girang dan juga kagum sekali kepada Sim Hong Bu dan Kao Cin Liong. Biar pun dua orang pemuda itu belum lama berselang telah menderita pukulan batin dengan penolakan Ci Sian atas pinangan mereka, namun kini sikap mereka sama sekali tidak berubah, tidak memperlihatkan penyesalan atau kekecewaan hati, seperti sikap seorang sahabat karib yang tidak pernah terjadi sesuatu yang tidak baik di antara mereka.

Juga Cu Kang Bu merasa kagum sekali pada mereka. Semenjak muda dia banyak bersembunyi di lembah dan kini baru dia mengenal para pendekar yang benar-benar amat mengagumkan hatinya dan diam-diam dia pun merasa betapa keluarganya, keluarga Cu, selama ini merasa bahwa merekalah yang paling pandai sehingga mereka itu menjadi agak angkuh dan memandang rendah orang lain. Kini, semua perasaan penasaran terhadap Kao Cin Liong dan Kam Hong yang pernah dianggap musuh oleh keluarganya itu, lenyap dari dalam hatinya.

Yu Hwi juga girang sekali. Kini dengan terjadinya peristiwa itu, di mana mereka semua berkumpul sebagai sahabat-sahabat baik yang saling bantu, ia dapat memandang wajah Kam Hong, bekas tunangannya itu, dengan sinar mata terbuka, memandangnya sebagai seorang sahabat baik yang berilmu tinggi dan tidak ada perasaan lain yang tidak baik tersisa di dalam hatinya terhadap bekas tunangannya ini. Bahkan Cu Pek In sendiri pun berubah, dan dara ini pun mengagumi Cin Liong, Kam Hong, dan Ci Sian, yang bagaimana pun juga telah menyelamatkan keluarganya, bahkan dengan cara yang mati-matian, mengadu ilmu dengan tokoh-tokoh sesat yang amat lihai.

Kini, mendengar akan pertunangan antara Sim Hong Bu dan Cu Pek In, Ci Sian adalah orang pertama yang memberi hormat. “Kionghi (Selamat), kionghi atas pertalian jodoh antara kalian Pek In dan Hong Bu!”

Cu Pek In menjadi merah mukanya. Ia mengucapkan terima kasih sambil menundukkan mukanya. Juga wajah Hong Bu menjadi merah sekali, tapi dia membalas penghormatan Ci Sian dan berkata sambil tersenyum, “Terima kasih, Ci Sian. Kami pun mengharapkan agar segera menerima undangan kartu merahmu!”

“Ha, tidak perlu menanti lama. Tentu sebentar lagi Kam-taihiap akan mengirim kartu merahnya!”

Mendengar ini, Ci Sian mengerling kepada jenderal muda itu dan Kam Hong hanya tersenyum, sedangkan Hong Bu diam-diam merasa kaget sekali, lalu dia mendekati Kam Hong dan memegang tangan pendekar itu. “Ahhh, betapa buta mataku.... ehh, selamat, Kam-taihiap, sungguh mati, berita ini merupakan berita yang sungguh amat mengejutkan dan menggembirakan hatiku!”

Kam Hong merasa tidak enak terhadap Cin Liong. Bekas tunangannya, Yu Hwi, telah mendapatkan seorang suami yang gagah perkasa seperti Cu Kang Bu itu, dan Hong Bu juga sudah memperoleh jodoh, yaitu Nona Cu Pek In yang cukup jelita dan gagah, sedangkan dia sendiri saling mencinta dengan Ci Sian. Akan tetapi, hanya Kao Cin Liong seoranglah yang masih belum memperoleh ganti setelah dia tidak berhasil berjodoh dengan Ci Sian. Agaknya semua orang juga merasakan hal ini, maka Kam Hong lalu berkata, “Dan bagaimana denganmu sendiri, Jenderal? Kapan kiranya kami semua akan dapat diperkenalkan kepada calon nyonya Jenderal?”

Ucapan Kam Hong ini, kalau orang lain yang mengucapkan, tentu merupakan kata-kata yang mengandung bahaya, dapat disangkanya sebagai ejekan. Akan tetapi, cara Kam Hong mengucapkannya, dan pandang matanya, sama sekali tidak mengandung ejekan, melainkan merupakan kelakar yang mengandung kesungguhan. Wajah Cin Liong menjadi merah, akan tetapi jenderal muda itu pun tertawa gembira.

“Ha-ha-ha, kalian tunggu saja! Masa aku kalah oleh kalian? Lihat saja nanti, masa di dunia ini tidak ada gadis yang mau menjadi sisihanku? Kalian semua pasti akan menerima undanganku, dan mudah-mudahan tidak akan terlalu lama lagi.”

Setelah bercakap-cakap dengan hati tulus dan dalam suasana gembira, akhirnya mereka semua saling berpisah. Sim Hong Bu bersama Cu Pek In, Cu Kang Bu dan Yu Hwi kembali ke barat, ke Lembah Naga Siluman di daerah Himalaya di mana mereka segera pergi menghadap kepada Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang kini bertapa mengasingkan diri, untuk membuat semua laporan. Juga Sim Hong Bu melaporkan tentang tugas-tugas yang diberikan kepadanya oleh gurunya.

Mendengar semua penuturan itu, Cu Han Bu menarik napas panjang.

“Kalau pedang pusaka kita itu oleh Kaisar yang baru sudah direlakan kepada kita, tentu saja hal itu baik sekali dan kita harus berterima kasih kepada Sri Baginda Kaisar yang bijaksana. Dan bagaimana pun juga, engkau telah mengadu ilmu melawan putera Naga Sakti Gurun Pasir, juga dengan pewaris Suling Emas, sehingga dunia tidak akan memandang rendah kepada Pedang Pusaka Naga Siluman.” Kemudian kakek ini lalu merundingkan tentang perjodohan puterinya dengan Hong Bu yang akan dilakukan secepat mungkin dengan mengundang sahabat-sahabat baik saja ke lembah.

Ada pun Kam Hong dan Ci Sian, dua pewaris Ilmu Pedang Suling Emas, meninggalkan tempat itu dan pergi menuju ke Puncak Bukit Nelayan, yaitu tempat yang indah di lereng Tai-hang-san di tepi sungai itu, di mana mereka tinggal berdua dan untuk mengesahkan pernikahan mereka, dua orang ini, atas bujukan Kam Hong, lalu pergi menghadap keluarga Bu Seng Kin yang kini menetap di Cin-an.

Tentu Bu Seng Kin merasa girang sekali melihat betapa puterinya mau menganggapnya sebagai ayah dan dengan terharu dia pun memberi doa restunya, bahkan keluarga Bu ini pula yang merayakan pernikahan ganda antara puterinya Bu Ci Sian dengan Kam Hong, dan antara Siok Lan dengan Cia Han Beng. Perayaan itu meriah sekali, dikunjungi oleh para tokoh besar dunia kang-ouw, terutama sekali para pendekar patriot. Kemudian, sebagai suami isteri, Kam Hong bersama Ci Sian tinggal di puncak Bukit Nelayan, di istana kuno bekas tempat tinggal Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek.

Bagaimana dengan Kao Cin Liong, jenderal muda yang gagal dalam bercinta itu? Dia tidak patah hati, bahkan dia merasa bergembira sekali melihat dara yang dicintanya itu berjodoh dengan Kam Hong, seorang pendekar yang amat dikagumi. Pendekar muda putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir ini terlalu gagah untuk mudah begitu saja patah hati seperti seorang yang cengeng…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman