SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-52
Pemuda ini melangkah mundur dan menjura. “Kam-taihiap, saya Sim Hong Bu yang mewakili keluarga Cu mengaku bahwa di tanganku, Koai-liong Kiam-sut telah kalah melawan Kim-siauw Kiam-sut!” Lalu dia menjura lagi dan mengambil pedangnya dari atas tanah.
“Saudara Sim Hong Bu, engkau terlalu merendah. Koai-liong Kiam-sut hebat bukan main dan kalau toh aku dapat mengunggulimu sedikit, hal itu bukan karena ilmunya, melainkan karena engkau kalah matang dalam latihan dan pengalaman. Ilmu pedangmu hebat bukan main!”
“Apa ini? Saling mengalah dan saling merendah! Sim Hong Bu, kakak seperguruanku memang lemah. Biarlah aku yang mewakili Kim-siauw Kiam-sut, ingin kucoba sampai di mana hebatnya Koai-liong Kiam-sut, dan antara kita tidak perlu ada sungkan-sungkanan dan mengalah segala macam!”
Berkata demikian, Ci Sian sudah menyerang dengan suling emasnya, serangan maut yang hebat sekali sehingga terpaksa Hong Bu menangkis.
“Cringggg....!” Bunga api berpijar saking kerasnya pertemuan senjata itu.
“Sumoi, jangan....!” teriak Kam Hong.
“Ci Sian, aku sudah mengaku kalah,” kata Hong Bu, suaranya mengandung kegetiran hati. Dia telah patah hati dan dia tadi menghendaki tewas di tangan pendekar sakti Kam Hong, siapa kira pendekar itu mengalah dan dia kalah tanpa terluka sedikit pun. Hal ini membuatnya merasa perih sekali karena dibiarkan hidup menderita patah hati!
“Tidak, tadi Suheng telah banyak mengalah dan engkau sendiri sengaja membiarkan pedangmu lepas. Kau kira siapa aku ini? Anak kecil yang mudah saja dibodohi? Hayo, lawan aku, kalau engkau tidak berani dan kalau engkau takut, selanjutnya engkau harus mengaku sebagai seorang pengecut!”
“Ci Sian....!” Hong Bu berseru, jantungnya seperti ditusuk rasanya.
“Sumoi, engkau terlalu....!”
“Engkau berpihak kepadanya, Suheng? Boleh, kalian berdua keroyoklah aku!” Berkata demikian, Ci Sian sudah menyerang lagi kepada Hong Bu.
Hong Bu terpaksa harus menggerakkan pedang dan melindungi dirinya kalau tidak mau mati konyol. Hatinya berduka bukan main. Tentu saja pantang baginya untuk hidup sebagai pengecut! Maka terpaksa dia pun menangkis dan balas menyerang sehingga seaat kemudian mereka berdua telah bertanding dengan seru dan hebat.
Kam Hong berdiri bingung sekali, tidak mengerti mengapa sumoi-nya demikian marah dan membenci Hong Bu.
Pada saat itu muncul tiga orang yang bukan lain adalah Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Cu Pek In! Mereka bertiga itu akhirnya dapat menemukan jejak Sim Hong Bu dan tiba di tempat itu pada saat Hong Bu sedang bertanding dengan hebatnya melawan Ci Sian.
Melihat ini Cu Pek In sudah hendak meloncat untuk membantu suheng-nya, akan tetapi Cu Kang Bu memegang lengannya. Pendekar ini melihat betapa Kam Hong berdiri di situ sejak mereka datang dan sama sekali tidak membantu Ci Sian. Oleh karena itu, kalau sekarang dia serombongan datang-datang lalu membantu Sim Hong Bu, sungguh hal ini merupakan suatu kecurangan yang membikin malu. Inilah sebabnya maka dia mencegah keponakannya untuk membantu Hong Bu.
Dan pendekar tinggi besar ini sudah memandang penuh dengan kekaguman karena pertandingan antara mereka itu sungguh hebat luar biasa. Baru sekaranglah dia dapat mengagumi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang diwarisi oleh Hong Bu, akan tetapi dia juga berkesempatan menyaksikan kehebatan suling emas di tangan dara itu. Hebat sekali! Kedua ilmu itu sungguh-sungguh merupakan ilmu yang jarang dapat ditemukan tandingannya di dunia ini.
Akan tetapi hanya Kam Hong seorang yang sudah dapat mengenal kedua ilmu itu dan dapat mengikuti pertandingan itu dengan amat jelas yang melihat kenyataan betapa Sim Hong Bu kini selalu mengalah terhadap Ci Sian! Jika tadi dia sendiri mengalah terhadap Sim Hong Bu, mengalah sedikit saja, sekarang Hong Bu mengalah secara keterlaluan! Pemuda itu tidak pernah melakukan serangan yang sungguh-sungguh, sebaliknya, Ci Sian malah telah melakukan serangan dengan jurus-jurus terampuh dari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut.
Sementara itu, pada saat Hong Bu melihat datangnya susiok-nya dan dua orang wanita yang tidak dilihatnya jelas karena dia didesak hebat oleh lawan, hatinya terguncang dan kedukaannya memuncak, maka ketika itu gerakannya menangkis kurang tepat dan kurang kuat.
“Tukkk!”
Ujung suling itu mengenai lehernya, dan biar pun dia sudah miringkan kepalanya, masih saja ujung suling itu mengenai pangkal lehernya. Serangan ini hebat sekali dan Hong Bu terjungkal dan terbanting, tak mampu bergerak lagi!
“Suheng....!” Cu Pek In menjerit dan menubruk tubuh itu.
Sedangkan Kam Hong sudah menarik tangan Ci Sian yang juga terbelalak memandang ke arah Hong Bu. Wajahnya agak pucat karena ia tidak bermaksud membunuh Hong Bu dan kini melihat pemuda itu terjungkal, hatinya merasa ngeri karena ia khawatir kalau-kalau ia telah kelepasan tangan membunuh orang yang sebenarnya amat disukainya itu!
Pek In sudah menangis sambil memeluk tubuh Hong Bu yang tidak bergerak seperti mayat itu. Mata pemuda itu mendelik dan mukanya pucat, napasnya berhenti! Cu Kang Bu cepat memeriksa dan mengurut beberapa jalan darah di dada, punggung dan leher, maka nampaklah Hong Bu mengeluh lirih dan napasnya pun berjalan kembali.
“Dia akan sembuh....,” kata Cu Kang Bu dan melihat ini, Kam Hong dan Ci Sian merasa lega bukan main.
“Maafkan kami!” kata Kam Hong sambil menjura ke arah Cu Kang Bu, kemudian dia memegang tangan sumoi-nya dan menariknya pergi meninggalkan tempat itu.
Kam Hong maklum bahwa jika dibiarkan sumoi-nya berada di situ lebih lama lagi, bukan tak mungkin timbul kesalah pahaman baru dengan keluarga Cu. Dia tidak menghendaki hal ini, apa lagi di situ terdapat pula Yu Hwi, bekas tunangannya dan hal ini pun membuat dia merasa tidak enak sekali. Dan agaknya Cu Kang Bu juga tidak ingin mencari urusan. Dia sudah melihat betapa jago dari keluarga Cu telah kalah dan dia tahu bahwa melawan Pendekar Suling Emas dan sumoi-nya yang amat lihai itu dia dan isterinya tidak akan menang.
Cu Pek In sudah memondong tubuh Hong Bu. “Mari kita mencari tempat yang baik untuk merawatnya,” kata gadis itu kepada pamannya.
“Baik, akan tetapi biarkan aku memondongnya, Pek In,” kata pamannya.
“Biarlah, Paman, biarlah aku memondongnya,” Pek In berkata dan mendekap tubuh pemuda itu seperti orang memondong anak kecil saja. Bagi seorang gadis seperti Pek In yang memiliki kepandaian cukup tinggi, memondong tubuh seorang dewasa bukan hal yang sukar.
Akhirnya mereka menemukan sebuah pondok kecil terpencil di luar dusun. Mereka menyewa pondok ini dari kakek petani yang memilikinya dan Pek In lalu merebahkan Hong Bu di atas dipan bambu sederhana yang berada di dalam kamar. Cu Kang Bu dan Yu Hwi segera memeriksa kembali keadaan pemuda itu. Mereka adalah suami isteri yang berilmu tinggi, bahkan Yu Hwi mengerti pula tentang ilmu pengobatan.
Totokan suling tadi memang hebat, akan tetapi untung meleset dari urat penting yang dapat membawa maut. Totokan itu menggetarkan jantung, akan tetapi karena tubuh Hong Bu memang amat kuat, maka tidak sampai membahayakan dirinya, walau pun membuatnya roboh pingsan dan sekitar pundak dan pangkal leher menjadi kebiruan karena ada otot yang pecah.
Cu Kang Bu dan isterinya lalu mencari obat ke Lok-yang, sedangkan Pek In menjaga pemuda itu dengan penuh perhatian. Pek In yang terus menjaga dan meminumkan obat sedikit demi sedikit, menjaga siang dan malam dan merawatnya penuh kasih sayang sehingga melihat ini, Cu Kang Bu dan Yu Hwi merasa terharu bukan main. Baru pada keesokan harinya, pernapasan Hong Bu berjalan seperti biasa dan mukanya yang tadinya pucat itu menjadi agak kemerahan kembali.
Hari telah larut ketika Hong Bu mengeluh lirih. Pek In cepat mendekatinya, duduk di tepi dipan dan meraba dahi pemuda itu, lalu mempergunakan sapu tangan untuk mengusap keringat yang membasahi dahi dan leher. Pemuda itu telah berkeringat dan menurut paman dan bibinya, kalau pemuda itu sudah mengeluarkan keringat berarti akan segera sembuh. Bukan main girang hati Pek In dan ia menatap wajah yang tampan itu dengan penuh kemesraan.
Kedua mata itu terbuka perlahan, lalu berkedip-kedip karena agak silau oleh sinar matahari yang memasuki kamar lewat jendela. Kemudian, setelah mata itu agak terbiasa, Hong Bu memandang kepada Pek In, lalu berkata lirih, “Siapa Nona....?”
Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Pek In tertawa geli, akan tetapi ia segera teringat bahwa semenjak menjadi suheng-nya, barulah sekali ini Hong Bu melihat ia berpakaian sebagai seorang wanita dengan rambut digelung ke atas.
Pek In tersenyum manis. “Coba kau terka, siapa aku ini?” Suaranya terdengar merdu sekali karena hatinya riang melihat pemuda itu telah siuman dan tampak sehat.
“Seperti.... seperti tak asing bagiku....” Hong Bu mengerutkan alisnya. Memang gadis ini telah dikenalnya! Akan tetapi dalam detik-detik pertama dia lupa lagi siapa ia. Akan tetapi dia segera menepuk dahinya.
“Sumoi....! Ahhh, benar, engkau Sumoi Cu Pek In....!”
Pek In tertawa dan menutupi mulutnya. “Aku sudah khawatir kalau engkau tidak akan mengenalku,” katanya tertawa.
Hong Bu juga tertawa. “Siapa dapat mengenalmu? Engkau telah menjadi seorang gadis yang.... manis sekali!”
Cu Pek In cemberut. “Apa kau kira biasanya aku bukan seorang gadis?”
Hong Bu baru sadar bahwa ia telah kesalahan bicara. “Maaf, bukan begitu maksudku.... eh, maksudku....” memang baru sekarang inilah dia menyadari bahwa sumoi-nya adalah seorang gadis, seorang gadis yang cantik manis. Mungkin biasanya dia hampir tidak memperhatikan Pek In karena gadis itu baginya seperti adik seperguruan biasa saja, hampir seorang saudara atau kawan baik laki-laki karena gadis itu selalu berpakaian pria.
“Maksudmu bagaimana?” Pek In menggodanya.
“Maksudku.... ehhh, di mana aku ini? Apa yang telah terjadi? Ahhh....”
Dan Hong Bu bangkit duduk dengan wajah muram. Teringatlah dia akan semua itu, akan pertandingannya melawan Ci Sian dan betapa karena mengalah maka ia terkena totokan suling emas.
“Sekarang engkau sudah ingat, Suheng?” tanya Pek In halus, suaranya mengandung kekhawatiran.
Pemuda itu mengangguk dan menatap wajah sumoi-nya. “Kiranya aku belum mati....”
“Engkau nyaris tewas, Suheng. Kata Paman, kalau sedikit saja ke atas, mengenai urat penting, engkau takkan tertolong lagi. Menurut Paman dan Bibi, agaknya gadis itu memang sengaja tidak membunuhmu....”
“Hemm...., mana Susiok Cu Kang Bu?”
“Dia dan Bibi sedang berada di luar tadi....”
Akan tetapi pada saat itu, Cu Kang Bu dan Yu Hwi memasuki kamar dan mereka berdua merasa girang melihat betapa Hong Bu telah siuman dan nampak sehat kembali. Hong Bu cepat memberi hormat kepada suami isteri itu dan berkata dengan suara penuh penyesalan,
“Susiok, harap maafkan bahwa teecu tidak berhasil memenuhi pesan Suhu sehingga teecu kalah ketika melawan pewaris Kim-siauw Kiam-sut.”
Cu Kang Bu menarik napas panjang. “Aku sudah menyaksikan pertandingan itu dan aku tidak menyalahkanmu, Hong Bu. Memang hebat sekali Ilmu Suling Emas itu, tiada keduanya di dunia ini. Bagaimana pun juga, kita harus bijaksana dan dapat melihat kelemahan sendiri. Aku tidak setuju dengan pendapat kakakku yang berkeras hendak membalas kekalahan. Biar pun kedua ilmu itu bersumber dari keluarga kita, akan tetapi jelaslah bahwa Ilmu Suling Emas ini jauh lebih tua dan tidak mengherankan kalau lebih kuat dari pada Koai-liong Kiam-sut yang tercipta ratusan tahun kemudian. Sudahlah, Hong Bu, tidak perlu hal itu dibuat menjadi beban batin dan rasa penasaran. Bagaimana pun juga, harus kita akui bahwa mereka berdua itu adalah pendekar-pendekar yang hebat.”
Atas bujukan Cu Kang Bu, akhirnya Sim Hong Bu mau untuk ikut kembali ke lembah. Bahkan Cu Kang Bu yang berwatak jujur itu menambahkan pula secara blak-blakan, di depan Pek In.
“Engkau tentu masih ingat akan pesan Twako bahwa dia menghendaki agar engkau dan Pek In berjodoh, Hong Bu. Kurasa hal itu sangat baik, dan kalau memang engkau menyetujui, marilah kita segera langsungkan saja pernikahan itu di sana. Usia Pek In sudah cukup untuk segera membentuk rumah tangga denganmu.”
Mendengar ucapan itu otomatis Hong Bu menoleh dan memandang kepada Pek In. Sejenak mereka saling pandang, akan tetapi Pek In lalu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Dan Hong Bu mempunyai perasaan yang aneh. Mengapa baru sekarang dia seolah-olah baru melihat Pek In? Seorang gadis yang amat manis, dan dia mendengar betapa gadis ini merawatnya sehari semalam tanpa pernah beranjak dari sampingnya, tidak makan tidak tidur.
Dia tahu benar betapa besar rasa cinta kasih sumoi-nya ini terhadap dirinya dan dia selama ini tidak memperhatikan karena keadaan Pek In yang selalu berpakaian seperti pria itu seolah-olah memiliki daya tolak yang besar. Akan tetapi sekarang lain sekali keadaannya. Gadis itu ternyata memiliki daya tarik yang cukup kuat dan terus terang saja, dia suka melihat wajah yang manis itu, bentuk tubuh yang padat, indah dan menggairahkan sebagai wanita itu. Dan dia pun kini sudah tidak mempunyai harapan lagi terhadap diri Ci Sian. Mengapa tidak? Kalau dia menolak, apa pula alasannya? Dan penolakannya tentu akan membuat Pek In merasa sengsara, di samping membuat hubungannya dengan keluarga Cu menjadi hambar.
“Baiklah, Susiok. Akan tetapi usul Susiok itu mengingatkan kepada teecu bahwa untuk memperoleh doa restu dari arwah ayah teecu, selagi teecu berada di Propinsi Ho-nan ini, sebaiknya kalau teecu mengunjungi makam ayah dan bersembahyang di sana.”
“Tentu saja, itu baik sekali! Di manakah makam ayahmu?”
“Di dekat kota Sin-yang, di selatan Sungai Huai.”
“Baik, kalau begitu mari kita pergi beramai ke sana, aku pun ingin memberi hormat kepada makam ayahmu,” kata Cu Kang Bu yang tidak ingin kehilangan lagi murid keponakannya itu kalau mereka harus berpisah lagi.
Maka berangkatlah mereka meninggalkan dusun itu menuju ke selatan. Tubuh Hong Bu yang kuat itu membuat dia sembuh kembali dalam waktu singkat dan beberapa hari kemudian dia sudah pulih kembali seperti biasa…..
********************
“Ci Sian, sungguh aku menyesal sekali mengapa engkau sampai melukai Hong Bu seperti itu, nyaris saja dia tewas di tanganmu,” kata Kam Hong ketika mereka berjalan meninggalkan lembah itu.
Ci Sian merasa ngeri mendengar ini dan ia pun bersungut-sungut, “Habis hatiku mengkal sekali sih!”
“Kenapa? Bukankah dia hanya memenuhi tugas yang diperintahkan gurunya untuk mengadu ilmu denganku? Dan bukankah dia sudah mengaku kalah? Kenapa engkau mendesaknya sehingga melukainya, Ci Sian? Padahal, engkau sendiri tentu sudah tahu benar betapa selama dalam perkelahian melawanmu itu dia terus mengalah. Ahhh, kenapa engkau begitu kejam kepadanya, Ci Sian? Engkau pasti tahu bahwa dia amat mencintamu....”
“Suheng!” Ci Sian berkata dengan suara membentak sehingga mengejutkan hati Kam Hong. “Justru itulah yang membikin hatiku jengkel!”
Kam Hong memandang dengan terheran-heran. “Apa katamu? Kau jengkel karena dia mencintamu?”
“Bukan!”
“Habis apa? Apakah engkau jengkel karena dia mentaati perintah gurunya dan lalu menantangku?”
“Juga tidak!”
“Habis, apa yang membuatmu jengkel?”
“Karena dia berani melamarku!”
“Ah, lebih aneh lagi itu. Dia melamarmu adalah sudah wajar, karena dia mencintamu, dan kulihat dia memang seorang pemuda pilihan yang hebat. Aku pun masih merasa heran serta penasaran mengapa engkau tidak menerima pinangannya dan malah marah-marah, padahal pinangan itu wajar saja?”
Tiba-tiba Ci Sian memandang kepada suheng-nya dengan sinar mata muram. “Suheng, mengapa engkau begitu membenciku?”
“Ehhh?” Kam Hong memandang bengong dan terheran.
“Engkau sedemikian membenciku sehingga engkau ingin agar aku meninggalkanmu. Begitukah? Engkau seperti mendorongku untuk menerima pinangan Hong Bu. Itulah yang membuatku jengkel!”
Kam Hong memandang dengan jantung berdebar. Tak salah lagi, Ci Sian mencintanya! Dia berusaha untuk menyangkal kenyataan ini, untuk membantah hatinya sendiri, untuk mendorong sumoi-nya agar berjodoh dengan pemuda yang lebih patut menjadi sisihan Ci Sian, yang sama mudanya. Akan tetapi ternyata itu malah mendatangkan kemarahan di dalam hati Ci Sian!
“Kalau begitu maafkanlah aku, Sumoi. Maksudku baik....”
“Sudahlah, Suheng, harap jangan bicarakan itu lagi. Aku pun menyesal sekali telah merobohkan Hong Bu. Sebenarnya aku suka kepadanya. Masih untung bahwa dia tidak tewas olehku tadi. Aku menyesal.”
Kam Hong percaya. Dari suaranya saja jelas terbukti bahwa sumoi-nya benar-benar menyesal dan sebetulnya sumoi-nya sama sekali tidak membenci Hong Bu. Hanya karena Hong Bu sudah meminangnya, dan karena dia sendiri seperti menyetujui dan mendorong, maka hal itu mendatangkan kemarahan di hati sumoi-nya.
“Baiklah, Sumoi. Apakah kita jadi membeli perahu?”
“Tidak, sudah hilang seleraku untuk melakukan perjalanan melalui air. Kita berpesiar saja di Pegunungan Fu-niu-san ini, aku mendengar bahwa pemandangan di situ amat indahnya.”
“Benar, Sumoi. Dan bambu-bambu dari Fu-niu-san amat terkenal. Banyak terdapat bambu-bambu yang indah dan aneh-aneh bentuknya di pegunungan ini.”
Mereka pun lalu melakukan perjalanan seenaknya di pegunungan itu, dan kalau malam mereka bermalam di hutan-hutan. Mereka tidak kekurangan makanan karena terdapat dusun-dusun berpencaran di pegunungan itu di mana mereka dapat membeli buah-buah dan juga daging yang mereka masak di rumah para penduduk dusun.
Pada suatu pagi, ketika mereka keluar dari sebuah dusun di lereng timur setelah malam tadi mereka bermalam di dusun itu, tiba-tiba Ci Sian menuding ke depan. “Suheng, bukankah itu ada orang datang?”
Kam Hong juga sudah melihatnya. Pagi itu kabut tebal memenuhi lereng sehingga yang nampak hanya bayangan berlari dari depan, kadang-kadang nampak kadang-kadang tidak, tergantung tebal tipisnya kabut yang lewat dengan cepat seolah-olah kabut-kabut itu ketakutan oleh munculnya sinar matahari di balik puncak.
Akhirnya bayangan itu tiba di depan mereka dan terkejut ketika saling mengenal. Yang datang itu bukan lain adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong! Kalau Kam Hong dan sumoi-nya terkejut, sebaliknya Cin Liong tersenyum gembira sekali melihat mereka. Cepat jenderal yang berpakaian preman itu menjura dengan hormat sambil berseru, “Ahhh, akhirnya saya dapat juga bertemu dengan Ji-wi setelah dengan susah payah mencari jejak Ji-wi! Akan tetapi, tidak saya sangka akan bertemu dalam kabut ini sehingga agak mengejutkan juga.”
“Kiranya Kao-goanswe yang datang!” kata Kam Hong dan tersenyum kagum.
Pemuda ini adalah putera tunggal Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Hati siapa takkan kagum memandangnya? Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, memiliki ilmu kepandaian yang jarang ditemukan tandingannya, dan semuda itu telah menjadi seorang panglima, seorang jenderal!
“Ah, selamat datang, Kao-goanswe, dan ada kepentingan besar apakah maka engkau bersusah payah mencari kami?”
“Harap Kam-taihiap jangan menyebut saya goanswe, biar pun saya seorang
jenderal akan tetapi pada saat ini saya tidak bertugas dan lihat saja
pakaianku adalah orang biasa, bukan? Dan keperluanku adalah keperluan
pribadi, bukan sebagai seorang berpangkat.”
Kam Hong tersenyum. “Baiklah, Saudara Kao Cin Liong. Nah, keperluan apakah yang kau bawa?”
Cin Liong memandang kepada Ci Sian dan tersenyum. Gadis itu juga tersenyum karena sudah lama ia mengenal Cin Liong. “Bagaimana kabarnya, Nona Bu? Kuharap engkau sehat-sehat saja.”
“Terima kasih, aku baik-baik saja, Saudara Cin Liong. Ada keperluan apakah engkau datang mencari kami?”
Mereka saling berpandangan dan teringatlah mereka akan pengalaman mereka berdua ketika bersama-sama beraksi di dalam benteng pasukan Nepal yang dipimpin oleh Nandini, ibu Siok Lan. Kalau mengenangkan masa lalu, di dalam hati keduanya ada suatu kehangatan karena pada saat itu mereka berjuang sehidup semati menghadapi lawan-lawan tangguh.
Betapa pun juga, kini, menghadapi pengakuan cintanya, dan peminangannya, Cin Liong si jenderal yang tidak gentar menghadapi ribuan orang pasukan musuh itu tiba-tiba merasa badannya panas dingin dan jantung berdebar tegang! Sampai lama dia tidak mampu menjawab, hanya memandang kepada Ci Sian dengan bingung.
Kam Hong yang bepandangan tajam itu agaknya dapat menduga bahwa jenderal muda itu ingin menyampaikan sesuatu kepada Ci Sian, maka dia pun lalu berkata dengan suara halus, “Kalau engkau hendak bicara berdua dengan Sumoi, silakan, Saudara Cin Liong, aku akan menyingkir lebih dulu....”
“Ahhh, tidak.... saya.... saya hendak bicara denganmu, Kam-taihiap!” kata Cin Liong dengan gugup.
“Kalau begitu, biarlah aku saja yang menyingkir!” kata Ci Sian dan sebelum ada yang menjawab, ia sudah pergi dari tempat itu, agak menjauh dan melihat-lihat pemandangan alam yang indah.
“Nah, sekarang bicaralah Saudara Kao Cin Liong,” kata Kam Hong sambil tersenyum untuk memberanikan hati pemuda itu.
“Kam-taihiap, terus terang saja.... kedatangan saya mencari Taihiap berdua adalah untuk melamar Nona Bu Ci Sian!”
Hampir saja Kam Hong tertawa mendengar ini. Memang tadi, melihat sikap Cin Liong, dia sudah setengah menduga bahwa jangan-jangan pemuda ini hendak menyatakan cintanya kepada Ci Sian, maka tadi dia mengusulkan untuk menyingkir kalau pemuda itu hendak bicara berdua dengan sumoi-nya. Akan tetapi dia tidak percaya akan dugaannya sendiri. Dan ternyata memang benar! Bahkan jenderal muda ini mengajukan lamaran. Hampir sukar untuk dapat dipercaya bagaimana bisa begini kebetulan! Dalam waktu beberapa hari saja, Ci Sian sudah dilamar oleh dua orang pemuda! Sumoi-nya itu sungguh ‘laris’, dihujani lamaran dan yang melamarnya adalah pemuda-pemuda pilihan.
Cin Liong ini dalam segala-galanya bahkan tidak kalah dibandingkan dengan Hong Bu, maka timbullah harapan di dalam hatinya. Siapa tahu kalau-kalau sumoi-nya akan suka menjadi jodoh pemuda ini. Dia sendiri akan ikut merasa bangga!
Menjadi mantu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Dan pemuda ini pun jujur, seperti Hong Bu. Hanya bedanya, karena pemuda ini terdidik di kota raja, dan hidup sebagai seorang berkedudukan tinggi, tentu saja pemuda ini masih terikat oleh kesusilaan sehingga merasa malu dan sungkan menyatakan isi hatinya. Berbeda dengan Hong Bu yang sejak kecil hidup setengah liar, maka kejujurannya lebih terbuka tanpa halangan sesuatu lagi.
“Ahh, Saudara Kao! Bagaimana ini? Aku hanyalah suheng dari Sumoi Bu Ci Sian, bagai mana engkau melamarnya kepadaku? Bukankah seharusnya kepada ayahnya....?”
“Tentu saja saya tidak berani melampaui Bu-locianpwe, Taihiap. Sebelum saya mencari Taihiap berdua, saya bersama orang tua saya pernah datang mengajukan lamaran kepada Bu-locianpwe dan beliau sendiri yang menganjurkan agar saya mencari Ji-wi dan langsung saja meminang kepada Nona Bu atau kepada Kam-taihiap sebagai walinya.”
“Hemm...., Bu-locianpwe sungguh menaruh kepercayaan besar kepadaku. Saudara Kao Cin Liong, kalau tidak salah, menurut penuturan Sumoi, kalian berdua telah lama sekali saling berkenalan, bahkan telah menjadi sahabat baik dan pernah berjuang bahu-membahu, bukan? Aku yakin bahwa yang mendorongmu mengajukan pinangan ini tentu berdasarkan hatimu yang mencinta, bukan?”
Wajah Cin Liong menjadi agak merah, akan tetapi dengan tenang dia menatap wajah pendekar itu dan menjawab, “Benar demikian, Taihiap.”
“Dan engkau tentu tahu bahwa aku atau siapa pun juga tidak akan dapat memaksa Sumoi, dan hal itu tergantung sepenuhnya kepadanya. Akan tetapi, aku tidak tahu bagai mana dengan isi hatinya. Apakah ia mencintamu, Saudara Kao? Maafkan pertanyaanku ini.”
Cin Liong menggeleng kepala. “Aku tidak tahu dengan pasti....,” katanya lirih seperti kepada dirinya sendiri, kemudian dia memandang kembali kepada pendekar itu. “Terus terang saja, kami tidak pernah bicara tentang cinta, Taihiap, akan tetapi kalau saya melihat sinar matanya, saya kira.... yah, mudah-mudahan ia pun mencinta saya seperti saya mencintanya selama ini.”
“Hemm.... kalau begitu, kiranya sebaiknya kalau engkau mengatakannya kepadanya sendiri, karena keputusannya terserah kepadanya.”
Kembali Cin Liong nampak gugup. “Ahhh, sukar sekali saya dapat bicara kalau di depannya, Taihiap. Ia seorang berwatak keras, saya sudah mengenalnya baik-baik, dan sikap keras itu justru merupakan satu di antara sifatnya yang menarikku. Saya.... saya mohon bantuan, Taihiap, sukalah menjadi perantara membuka percakapan tentang itu. Kalau sudah dimulai, agaknya saya akan berani mengemukakan kepadanya.”
Kam Hong mengerutkan alisnya. Sungguh tugas yang berat. Dia sendiri, walau pun dilawannya sendiri dengan melihat kenyataan bahwa dia tidak pantas menjadi jodoh sumoi-nya, dia telah jatuh cinta kepada dara itu. Dan kini dia diminta tolong untuk menjadi perantara perjodohan dara itu dengan orang lain! Akan tetapi, bukankah ini yang dia kehendaki? Bukankah dia akan merasa girang kalau Ci Sian menjadi jodoh Cin Liong, bahkan lebih baik malah dari pada menjadi jodoh Hong Bu?
Ci Sian mungkin akan marah kepadanya. Akan tetapi biarlah. Ia harus dapat mengambil keputusan yang tepat dan melihat kenyataannya bagaimana. Dia masih tidak dapat menerima kenyataan bahwa sumoi-nya hanya mencinta dia seorang. Agaknya tidak mungkin, kalau di samping dia masih terdapat pemuda-pemuda seperti Hong Bu dan Cin Liong yang mencintanya, bahkan mengajukan pinangan kepadanya!
“Sumoi....!” dia memanggil, suaranya terdengar agak gemetar.
Gadis itu menoleh. Melihat suheng-nya menggapai, ia kemudian menghampiri setengah berlari. Nampak masih kekanak-kanakan ketika ia berlari-lari itu, akan tetapi juga manis sekali. Ci Sian tersenyum memandang kepada Cin Liong.
“Nah, sudah selesaikah urusan besar yang teramat penting itu?”
“Belum, Sumoi, bahkan baru dimulai.”
“Ehhh, kalau begitu mengapa memanggil aku?”
“Karena urusan ini memang mengenai dirimu. Duduklah, Sumoi, dan dengarlah baik-baik,” kata Kam Hong.
Ci Sian mengerutkan alisnya, sejenak memandang kepada Cin Liong dengan sinar mata tajam penuh selidik, akan tetapi ia duduk juga di atas batu besar yang banyak terdapat di situ.
“Ada apa sih, begini penuh rahasia?”
“Begini, Sumoi. Saudara Kao Cin Liong ini pernah pergi berkunjung kepada Ayahmu di Cin-an bersama ayah bundanya, lalu sekarang ia mencari kita. Ada pun keperluannya adalah untuk meminangmu, Sumoi, engkau dilamar untuk menjadi isteri Saudara Kao Cin Liong....”
“Suheng! Lagi....? Engkau.... engkau....,” dan Ci Sian lalu menangis!
Tentu saja Cin Liong terkejut bukan main sedangkan Kam Hong hanya termenung saja, maklum bahwa kembali dia telah menyakiti hati sumoi-nya.
“Nona Bu Ci Sian, maafkanlah aku....” kata Cin Liong. “Sungguh mati, aku meminangmu dengan hormat, sama sekali tidak bermaksud menyinggung perasaanmu....”
“Kau tahu apa tentang menyinggung hati? Kalian laki-laki sungguh memandang rendah kaum wanita! Kenapa laki-laki tidak mau tahu tentang perasaan hati wanita? Kenapa tanpa meneliti perasaan wanita, mudah saja datang melamar seolah-olah wanita itu barang dagangan yang boleh saja ditawar orang seenak perutnya? Kam-suheng, kalau memang engkau begitu benci kepadaku, bilang saja terus terang dan aku pasti akan pergi dari sampingmu, meski apa jadinya denganku! Tidak perlu engkau mendorongku untuk menjadi isteri orang lain! Tak kusangka kau.... sekejam ini....”
“Sumoi, sama sekali tidak begitu....”
“Nona Bu, sekali lagi maafkanlah aku....”
Tapi Ci Sian sudah mencabut sulingnya dan menghadapi Cin Liong sambil menantang. “Jenderal Kao Cin Liong! Engkau telah meminangku melalui ayah kandungku, juga engkau telah meminangku kepada Kam-suheng yang agaknya tidak peduli kepadaku dan ingin melihat aku menjadi isteri siapa pun juga dan mau memberikan aku kepada pria pertama yang mau datang meminangku. Sekarang engkau dengarlah syaratku. Aku mau menjadi isterimu asal engkau dapat mengalahkan aku dan dapat menewaskan aku di sini. Majulah!”
Wajah Cin Liong menjadi pucat seketika dan dia merasa jantungnya seperti ditusuk. Dia telah salah sangka! Dara ini tidak mencintanya, melainkan mencinta Kam Hong! Akan tetapi agaknya Kam Hong tidak tahu akan hal ini, maka pendekar itu seperti mendorong sumoi-nya untuk menerima pinangan orang lain. Tapi dia sendiri dapat melihat dengan jelas dan tahulah dia mengapa Ci Sian marah-marah, yaitu karena sikap Kam Hong itulah. Dia menarik napas panjang dan menundukkan mukanya.
“Sumoi, harap engkau jangan bersikap begini!” Kam Hong menegur. Dia jadi terkejut sekali mendengar tantangan Ci Sian terhadap Cin Liong.
Akan tetapi tegurannya ini bagaikan minyak yang menyiram api, membuat kedukaan dan kemarahan dalam hati Ci Sian menjadi semakin berkobar. Dengan kedua mata yang agak kemerahan oleh karena menangis tadi, ia menoleh dan memandang wajah suheng-nya.
“Suheng, dari pada engkau mendorong-dorongku untuk menjadi isterinya, lebih baik engkau membelanya sekalian dan biarlah aku mati di tangan kalian. Majulah dan keroyoklah aku!”
“Sumoi....!”
Cin Liong sudah maju mendekati Ci Sian dan menjura, mukanya masih pucat akan tetapi dengan gagahnya pemuda ini menekan perasaan nyeri dan mencoba untuk tersenyum.
“Nona Bu Ci Sian, ternyata aku telah buta. Telah begitu lama aku mengenalmu, akan tetapi ternyata aku salah menafsirkan sikapmu kepadaku. Engkau baik kepadaku bukan karena cinta, dan cintaku bertepuk tangan sebelah. Aku tahu bahwa engkau telah mencinta orang lain, Nona, dan memang orang itu patut menerima cinta kasihmu karena dia adalah seorang yang hebat, cintanya kepadamu tanpa pamrih untuk dirinya sendiri dan dia hanya mendambakan kebahagiaanmu. Kam-taihiap, Nona Bu, selamat tinggal, maafkanlah aku sebanyaknya dan semoga kalian berdua berbahagia.” Tanpa menanti jawaban, Cin Liong lalu meloncat pergi dari situ meninggalkan mereka berdua.
Keadaan menjadi sunyi sekali setelah Cin Liong pergi dan Ci Sian sudah menyimpan sulingnya dan membalikkan tubuhnya. Kini ia berhadapan dengan Kam Hong, saling berpandangan sampai beberapa lama dan akhirnya Kam Hong menarik napas panjang dan berkata,
“Sumoi, sungguh kasihan sekali pemuda itu. Dia tidak boleh sekali-kali dipersalahkan karena dia jatuh cinta kepadamu dan meminangmu, ahhh, dapat kubayangkan betapa hancur rasa hatinya....”
Akan tetapi ucapan ini sama sekali tidak dipedulikan oleh Ci Sian, bahkan seperti tidak didengarnya, matanya masih menatap wajah suheng-nya dan akhirnya ia pun berkata, “Suheng, benarkah apa yang dikatakan oleh Cin Liong tadi....?”
“Apa? Kata-kata yang mana maksudmu?”
“Tentang orang yang mencintaku tanpa pamrih untuk dirinya sendiri dan dia hanya mendambakan kebahagiaanku. Benarkah itu, Suheng?” Di dalam suara ini terkandung nada permohonan dan pengharapan yang menggetar melalui suaranya.
Sejenak Kam Hong memandang tajam, mereka saling pandang dan akhirnya Kam Hong hanya menarik napas panjang lalu mengangguk.
“Kam-suheng....!” Ci Sian berseru dan menangis sambil menubruk suheng-nya yang lalu memeluknya.
Dara itu menangis di dada Kam Hong yang menggunakan tangannya untuk mengelus rambut yang hitam halus itu. Air mata membasahi bajunya dan menembus membasahi kulit dadanya, bahkan terasa seolah-olah menembus kulit dan menyiram perasaan, menimbulkan kesejukan seperti bunga kekeringan menerima curahan air hujan.
“Suheng....!” akhirnya Ci Sian dapat meredakan tangisnya dan bertanya, suaranya lirih tanpa mengangkat mukanya dari dada pendekar itu, “Kalau benar engkau mencintaku seperti cintaku kepadamu.... ya, tak perlu aku mengaku, aku memujamu sejak dahulu, Suheng.... kalau benar engkau cinta padaku, kenapa sikapmu begitu? Kenapa engkau seperti mendorongku untuk menerima pinangan orang lain?”
Kam Hong mencium rambut kepala yang bersandar di dadanya itu, dekapannya menjadi kuat untuk beberapa lama, kemudian mengendur lagi dan dia pun berkata, “Sumoi, sejak aku merasakan bahwa hubungan antara kita berubah.... semenjak aku melihat gejala bahwa engkau jatuh cinta kepadaku seperti cinta seorang wanita terhadap pria, dan aku pun dapat melihat kenyataan bahwa perasaan hatiku pun condong seperti itu, mencintamu bukan sebagai seorang suheng terhadap sumoi-nya melainkan sebagai seorang pria terhadap seorang wanita, maka aku menjadi khawatir sekali. Karena itulah maka aku dahulu sengaja meninggalkanmu bersama Sim Hong Bu....”
Pendekar itu berhenti bicara dan Ci Sian yang tadi mendengarkan penuh perhatian, lalu bertanya, “Akan tetapi, mengapa, Suheng? Mengapa? Apa salahnya kalau kita saling mencinta sebagai wanita dan pria, bukan hanya sebagai suheng dan sumoi? Apa salahnya?”
“Ingatkah engkau akan ucapan Cin Liong tadi? Dia bermata tajam dan berotak cerdas, sekilas pandang saja dia telah dapat menyelami sampai mendalam. Aku mencinta padamu, Sumoi, dan cintaku bukan hanya untuk menyenangkan diriku sendiri. Aku ingin melihat engkau berbahagia. Aku melihat kenyataan bahwa aku adalah seorang yang sudah berusia jauh lebih tua dari padamu. Selisih antara kita belasan tahun! Aku khawatir bahwa kelak engkau akan menyesal dan tidak berbahagia di sampingku. Aku melihat betapa engkau jauh lebih tepat menjadi sisihan pendekar-pendekar muda seperti Hong Bu atau Cin Liong. Karena itulah maka aku seperti mendorongmu, aku hanya ingin melihat engkau berbahagia, Sumoi. Nah, sudah kukeluarkan semua isi hatiku....” Pendekar itu menarik napas panjang, kini hatinya terasa lapang setelah dia mengeluarkan semua itu.
Ci Sian melepaskan diri dari pelukan dan melangkah mundur selangkah, kemudian memandang suheng-nya dengan sinar mata penasaran. “Suheng, kalau aku mencinta hanya karena melihat usia muda, wajah tampan, kedudukan, harta benda, kepandaian dan semacamnya lagi, berarti aku hanya mencinta semua keadaan dan sifat itu, bukan mencinta orangnya. Akan tetapi aku mencintamu karena dirimu, karena engkau adalah engkau, Suheng.... mengapa bicara tentang perbedaan usia segala? Kenapa engkau yang katanya mencintaku dan ingin melihat aku berbahagia, malah tega meninggalkan aku sendirian, membiarkan aku merana dan sengsara dan menderita rindu, kemudian malah tega hendak mendorongku menjadi isteri orang lain? Suheng ingin melihat aku berbahagia, atau ingin melihat aku sengsara? Kebahagiaan hanyalah apabila aku berada di sampingmu, Suheng!”
“Sumoi, kau maafkan aku....” Dengan penuh keharuan hati Kam Hong lalu merangkul dara itu.
Ci Sian mengangkat mukanya, berdekatan dengan muka suheng-nya dan seperti ada daya tarik sembrani yang kuat, entah siapa yang bergerak lebih dulu, tahu-tahu mereka telah berciuman dengan mesra.
Cinta asmara bukan sekedar terdorong oleh daya tarik masing-masing antara pria dan wanita, walau pun tentu saja dimulai oleh suatu daya tarik. Daya tarik itu bisa saja berupa wajah rupawan, kedudukan tinggi, harta benda, kepandaian, atau keturunan keluarga orang besar. Akan tetapi juga dapat berupa sikap yang menyenangkan hati yang tertarik, tentu saja sikap ini pun bermacam-macam sesuai dengan selera masing-masing yang tertarik. Akan tetapi, hubungan kasih sayang barulah mendalam dan juga membahagiakan orang yang dicintanya apabila ada keinginan dan tindakan-tindakan nyata untuk membahagiakan orang yang dicinta.
Sebaliknya, cinta asmara yang didorong oleh keinginan menyenangkan diri sendiri sudah tentu akan bertumbuk kepada banyak hal yang mendatangkan derita. Derita ini timbul karena sekali waktu tentu orang yang dicintanya itu akan melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak menyenangkan hatinya lagi! Tiada sesuatu yang kekal di dalam kehidupan ini kecuali cinta kasih!
Seperti kita ketahui, Sim Hong Bu meninggalkan daerah Lok-yang dan pergi menuju ke Sin-yang bersama Cu Pek In, Cu Kang Bu dan Yu Hwi. Mereka tidak tahu bahwa gerak-gerik mereka itu telah diawasi sejak lama dari jauh oleh banyak pasang mata yang bersembunyi-sembunyi. Baru setelah mereka tiba di sebuah hutan kecil di lereng gunung, mereka berempat merasa heran melihat munculnya belasan orang yang sudah mengepung mereka.
Empat orang itu bersikap tenang, bahkan Hong Bu tersenyum mengejek dengan hati terasa geli. Orang-orang ini mencari penyakit, pikirnya. Akan tetapi sedikit pun hatinya tidak menjadi marah. Kemarahan jauh dari hati Hong Bu pada saat itu. Dia telah menemukan kesejukan hati yang baru, setelah dia ‘mengenal’ Pek In sebagai seorang gadis yang wajar, sebagai kekasihnya, bahkan lebih dari itu, sebagai tunangannya, calon isterinya! Dan di dalam perjalanan itu, Cu Kang Bu dan isterinya yang bijaksana memang sengaja memberi banyak kesempatan kepada mereka untuk berduaan. Hong Bu selalu merasa gembira dan bahagia. Terlupakanlah sudah kegetiran yang terasa oleh penolakan Ci Sian!
Memang, segala macam perasaan hanya timbul oleh karena permainan pikiran yang mengingat-ingat belaka. Seperti juga kepuasan yang hanya sebentar, kekecewaan pun lewat bagai angin lalu saja. Suka dan duka silih berganti seperti awan-awan bergerak di angkasa.
Ketika Hong Bu merasa kecewa dan berduka karena penolakan Ci Sian, hal itu timbul karena pikirannya mengenang semua itu dan menimbulkan rasa iba diri dan kecewa. Akan tetapi sekarang, begitu pikirnya penuh dengan kegembiraan karena hasil baru yang amat menyenangkan dan baik dalam hubungannya dengan Pek In, maka semua kedukaan yang lalu pun lenyap tanpa bekas.
Kita ini, biar pun sudah dewasa, namun masih tiada bedanya dengan anak-anak, hanya badan kita saja yang tumbuh menjadi besar. Kita masih mudah tertawa dan menangis, seperti kanak-kanak yang mudah tertawa memperoleh permainan baru dan mudah menangis ketika kehilangan sesuatu yang disenanginya. Tetapi setiap muncul pengganti yang baru, yang lama, baik yang menyenangkan mau pun yang menyusahkan, akan terlupa dan hilang tak berbekas. Yang berbeda hanyalah macam permainan itu saja.
Biasanya, kita manusia, di ujung dunia yang mana pun juga, selalu mengejar-ngejar pengulangan kesenangan atau mencari keadaan yang lebih menyenangkan atau dianggap lebih menyenangkan lagi, selalu mencoba untuk menjauhi atau menghindari apa saja yang dianggap menyusahkan. Kita ingin hidup ini penuh dengan yang manis-manis saja. Kita lupa bahwa selama kita mendambakan yang manis, maka akan bermunculanlah yang pahit, yang getir, yang masam dan sebagainya karena semua itu muncul apabila yang manis dan kita dambakan itu tidak tercapai.
Itulah romantika hidup. Ya manis, ya pahit, ya getir. Semua itu merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, yang menjadi isi dari pada kehidupan kita sekarang ini. Mengapa kita tidak menerima semua itu secara wajar saja? Mengapa mesti bersenang kalau mendapatkan yang manis akan tetapi mengeluh kalau memperoleh yang pahit? Kalau kita menghadapinya dengan pengamatan mendalam, tanpa penilaian si pikiran yang selalu mencari manis, mungkin kita akan melihat sesuatu yang ajaib. Benar pahitkah yang kita anggap pahit itu dan benar maniskah yang kita anggap manis? Apakah akan terasa nikmatnya manis kalau kita tidak merasakan tidak enaknya pahit? Apakah kita dapat mengenal terang kalau kita tidak mengenal gelap?
Melihat munculnya belasan orang yang memegang senjata golok dan pedang lalu mengepung tempat itu, Yu Hwi juga tersenyum lebar seperti melihat sesuatu yang lucu sekali. Akan tetapi tidak demikian dengan Cu Pek In. Gadis ini mengenal seorang di antara mereka, yaitu orang yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, usianya sekitar empat puluh tahun, berkumis tebal melintang dan lengan kiri orang itu masih dibalut. Orang itu bukan lain adalah Koa Cin Gu, guru silat dari Lo-couw yang lebih suka pria tampan dari pada wanita cantik itu! Maka, melihat orang ini, marahlah Pek In.
“Orang she Koa yang tidak tahu malu! Sudah kupatahkan lengan kirimu engkau masih berani datang berlagak, apakah harus kupatahkan tulang lehermu?” Sambil berkata demikian, Cu Pek In melangkah maju ke arah laki-laki tinggi besar itu.
Si Tinggi Besar itu terbelalak. Tentu saja dia tidak mengenal Pek In sebelum dara ini membuka suara dan sekarang dia memandang, dengan mata terbelalak, “Ahh, kiranya seorang perempuan....?” katanya perlahan.
Sebelum Pek In dapat turun tangan atau bicara lagi, tiba-tiba Si Tinggi Besar itu dan beberapa orang kawannya membuat gerakan minggir dan terdengar suara yang tenang dan halus, “Ahhh, kiranya keluarga Lembah Suling Emas yang berada di sini!”
Pek In tidak jadi menyerang Si Tinggi Besar dan cepat mundur kembali mendekati paman dan bibinya dan Hong Bu ketika mengenal siapa yang mengeluarkan suara itu. Nampak empat orang berjalan perlahan memasuki kepungan itu dan ternyata mereka itu adalah Toa-ok Su Lo Ti, Ji-ok Kui-bin Nio-nio, Sam-ok Ban-hwa Sengjin, dan orang ke empat adalah seorang kakek raksasa yang rambutnya sudah putih semua dan pakaiannya serba hitam, membawa sebuah kipas merah dan mengipasi lehernya tanpa bicara, akan tetapi jelas memiliki sikap yang amat berwibawa.
Cu Kang Bu, isterinya, dan Pek In tidak mengenal kakek ini, akan tetapi Sim Hong Bu terkejut bukan main ketika mengenal bahwa kakek berpakaian hitam itu bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, yaitu manusia iblis yang pernah menjadi ketua perkumpulan iblis Hek-i-mo itu!
Sementara itu, pada saat Hek-i Mo-ong melihat Hong Bu, wajahnya langsung berubah. Tadinya kakek ini sama sekali tidak tertarik dan amat memandang rendah kepada orang-orang yang hendak dihukum oleh Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Akan tetapi begitu melihat Hong Bu, tentu saja dia mengenal musuh besar yang pernah menghancurkan perkumpulannya bersama seorang gadis bersuling emas dengan suheng-nya yang lihai bukan main itu. Dia merasa girang bukan main, merasa bahwa secara kebetulan dia dapat membalas dendam atas kekalahannya dikeroyok tempo hari.
“Ha-ha-ha, kiranya engkau bocah setan datang mengantar nyawa!” katanya sambil menudingkan kipasnya, ke arah muka Sim Hong Bu.
Melihat lagak ini, Pek In yang tidak mengenal lagak Hek-i Mo-ong, menjadi marah. Tunangan atau kekasihnya dimaki orang bocah setan, tentu saja ia marah.
“Iblis tua bermulut busuk!” katanya dan dia pun sudah mencabut sulingnya dan bersiap menyerang.
“Sumoi, jangan....!” teriak Hong Bu dan cepat dia melompat ke depan.
Akan tetapi, suling itu telah mengeluarkan suara melengking ketika menyambar ke arah kakek itu, berubah menjadi sinar kuning emas. Melihat gadis ini menggunakan senjata suling emas, kakek itu terkejut dan mengira bahwa tentu gadis ini mempunyai hubungan dengan gadis yang pernah mengalahkannya bersama pemuda berpedang biru itu. Maka dia pun menggunakan lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga karena kalau gadis ini selihai gadis yang dulu pernah mengeroyoknya, serangan itu cukup berbahaya.
“Dukkk....!”
Dan akibatnya, tubuh Pek In terlempar dan tentu ia akan terbanting keras kalau saja pamannya, Cu Kang Bu, tidak cepat-cepat mengulurkan tangan dan menangkap tangan keponakannya itu, terus dilontarkan ke atas sehingga Pek In dapat turun dengan enak, tidak sampai terbanting. Pek In terkejut bukan main, dan kakek itu tertawa. Kiranya gadis itu masih amat lemah, sebaliknya laki-laki tinggi besar yang amat gagah perkasa itu cukup lihai. Hal ini dapat dilihatnya dengan mudah ketika laki-laki itu menahan jatuhnya gadis yang terlempar.
Bagaimanakah tiga orang sisa dari Im-kan Ngo-ok itu tahu-tahu telah bisa bersekutu dengan Hek-i Mo-ong dan agaknya membantu guru silat She Koa itu? Persekutuan antara mereka tidaklah aneh karena Hek-i Mo-ong sebetulnya masih terhitung susiok (paman guru) dari Toa-ok Su Lo Ti, orang pertama Im-kan Ngo-ok.
Karena keduanya telah mengalami musibah, yaitu Im-kan Ngo-ok selain kehilangan pekerjaan atau kedudukan sebagai pendukung Sam-thaihouw juga telah kehilangan dua orang anggota termuda yaitu Su-ok dan Ngo-ok, sedangkan Hek-i Mo-ong juga telah menderita kekalahan dari sepasang orang muda yang mewakili pewaris Suling Emas dan Naga Siluman, sedangkan perkumpulannya juga diobrak-abrik, maka mereka saling membutuhkan dan saling membantu.
Setelah mengadakan pertemuan, maka mereka bersepakat untuk bekerja sama agar nama mereka dapat diangkat kembali ke dunia kang-ouw. Persekutuan mereka itu tentu saja membuat mereka merasa lebih kuat dari pada sebelumnya. Ketiga orang anggota Im-kan Ngo-ok itu bagi Hek-i Mo-ong merupakan pembantu yang amat kuat dan boleh diandalkan, lebih kuat dari pada semua anak buahnya yang telah diobrak-abrik oleh Sim Hong Bu, Ci Sian dan Kam Hong. Sebaliknya, tentu saja bagi sisa Im-kan Ngo-ok lebih terasa lagi karena keadaan mereka berempat jauh lebih kuat dari pada ketika mereka masih berlima! Akan tetapi, urutan tingkat kepandaian mereka sekarang tentu saja mengalami perubahan, yaitu Hek-i Mo-ong berada paling atas dan Toa-ok menjadi orang ke dua!
Biar pun merasa diri mereka kuat, akan tetapi melihat betapa Pangeran Kian Liong yang bijaksana dan didukung oleh semua pendekar perkasa itu telah menjadi kaisar dan mengambil sikap tangan besi terhadap orang-orang dari golongan sesat, maka untuk sementara empat orang datuk ini tidak berani menonjolkan diri mereka. Dan mereka telah menemukan tempat persembunyian sementara yang amat baik, yaitu di tempat perguruan Koa Cin Gu, yang baru beberapa tahun bekerja membuka perguruan sebagai seorang guru silat. Koa Cin Gu yang tinggal di Lok-yang ini adalah seorang kenalan baik dari Sam-ok Ban-hwa Sengjin dan merupakan orang yang sudah amat dipercaya.
Demikianlah keadaan para datuk itu mengapa mereka dapat bersekutu dan mengapa mereka membantu Koa-kauwsu. Guru silat ini dan anak buahnya atau murid-muridnya merupakan pembantu-pembantu untuk menyelidiki keadaan di kota raja dan kota-kota besar bagi para datuk ini. Oleh karena itu, ketika pada suatu hari Koa Cin Gu pulang dengan lengan kiri patah, mereka terkejut sekali.
Koa-kauwsu lalu menyuruh para kaki tangannya membayangi dan menyelidiki keadaan ‘pemuda’ itu. Sam-ok sendiri melakukan penyelidikan dan ketika melihat bahwa yang disebut pemuda oleh Koa Cin Gu itu adalah Cu Pek In puteri majikan Lembah Suling Emas, bersama Cu Kang Bu yang dikenalnya sebagai pendekar dan penghuni Lembah Suling Emas, dan juga isteri pendekar itu, Sam-ok terkejut bukan main dan itulah sebabnya mengapa Koa Cin Gu muncul bersama empat orang datuk itu!
“Lembah Suling Emas merupakan tempat rahasia di Pegunungan Himalaya,” berkata Sam-Ok, terutama kepada Hek-i Mo-ong, “Dan di sana terkumpul banyak pusaka-pusaka yang tidak ternilai harganya. Bahkan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang dihebohkan itu pun dicuri oleh penghuni lembah itu. Mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan kalau kita dapat menahan tiga orang ini sebagai sandera, tentu kita akan dapat memaksa mereka untuk menyerahkan pusaka-pusaka itu, terutama Koai-liong Po-kiam kepada kita.”
Ji-ok dan Toa-ok tentu saja merasa setuju sekali. Mereka berbesar hati dan timbul keberanian mereka untuk memusuhi para penghuni Lembah Suling Emas setelah kini Hek-i Mo-ong menjadi sekutu mereka.
Hek-i Mo-ong hanya mengangguk-angguk. Orang yang setua dia sebetulnya sudah tak ingin lagi untuk memperoleh pusaka-pusaka, dan dia sudah terlalu mengagulkan diri sendiri sehingga dia menganggap bahwa tanpa merampas pusaka orang lain sekali pun dia tidak mempunyai tandingan lagi di dunia ini. Akan tetapi untuk menyenangkan hati tiga orang pembantu barunya itu, yang dianggapnya sebagai keponakan-keponakan muridnya juga, ia menyetujui untuk bersama mereka menghadang perjalanan tiga orang itu. Dan dapat dibayangkan betapa kaget dan juga girangnya ketika dia melihat bahwa musuh besarnya pemuda yang pernah mengeroyoknya bersama dara bersenjata suling emas, ternyata berada pula dalam rombongan keluarga Lembah Suling Emas itu!
Demikianlah, empat orang datuk itu kini berhadapan dengan empat orang pendekar dari Lembah Suling Emas yang telah berubah sebutannya menjadi Lembah Naga Siluman itu.
“Hek-i Mo-ong, bagus bahwa engkau masih hidup! Kini aku dapat menyempurnakan usahaku untuk membunuhmu!” kata Sim Hong Bu, ucapan yang sengaja dikeluarkan untuk memberi tahu kepada Cu Kang Bu dan Yu Hwi bahwa kakek itu adalah Ketua Hek-i-mo yang terkenal itu.
Dan memang suami isteri ini terkejut bukan main mendengar bahwa kakek yang berpakaian serba hitam ini adalah kakek iblis yang namanya pernah menjulang tinggi dan menggetarkan dunia Kang-ouw itu.
“Ha-ha, sekali ini engkaulah yang akan mampus di tanganku, bocah setan!” kata kakek itu yang segera menerjang maju sambil mencabut keluar senjatanya yang sangat menyeramkan, yaitu tombak Long-ge-pang (Gigi Srigala). Dia memegang tombak itu di tangan kanan dan dibantu kipas merah di tangan kirinya, menyerang sambil tertawa nyaring, suara ketawa yang mengandung khikang amat kuatnya.
“Trang-trang-trang....!”
“Wuuuuttt.... cringggg....!”
Dalam segebrakan saja mereka telah saling serang dengan hebat, dan sinar kebiruan dari Koai-liong Po-kiam menyilaukan mata. Melihat bahwa pemuda itu mempergunakan pedang pusaka yang membuat mereka dahulu ikut pula memperebutkannya, tiga orang dari Im-kan Ngo-ok menjadi girang sekali dan mereka pun sudah bergerak maju. Tentu saja Cu Kang Bu dan Yu Hwi segera menyambut mereka, juga Cu Pek In sudah mempergunakan sulingnya untuk membantu paman dan bibinya.
Toa-ok disambut oleh Cu Kang Bu, hingga Yu Hwi terpaksa melawan Ji-ok sedangkan Sam-ok dilawan oleh Pek In. Tentu saja Hong Bu dan Kang Bu merasa khawatir sekali, karena mereka tahu bahwa kepandaian kedua orang wanita itu masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan lawan mereka yang merupakan datuk-datuk yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
Akan tetapi, mereka tidak berdaya untuk melindungi Yu Hwi dan Pek In. Sim Hong Bu yang ingin melindungi Pek In, tidak mungkin dapat keluar dari kurungan sinar senjata lawannya yang amat hebat itu, dan tanpa melindungi gadis itu pun dia sudah harus mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengimbangi Hek-i Mo-ong. Diputarnya pedangnya sehingga nampak gulungan sinar biru yang bukan hanya melindungi tubuhnya melainkan juga membalas serangan lawan dengan dahsyat.
Hek-i Mo-ong mengenal kelihaian pemuda ini, maka dia pun tidak berani memandang ringan dan sudah menggerakkan senjata tombak Long-ge-pang itu dengan gerakan aneh, cepat dan kuat sekali, dibantu oleh gerakan kipas merahnya yang menotok jalan darah lawan bagaikan patuk burung garuda.
Ban-kin-sian Cu Kang Bu merupakan lawan yang setanding dari Toa-ok Su Lo Ti. Pendekar tinggi besar yang gagah perkasa ini sudah mencabut senjata cambuknya, yaitu sehelai cambuk baja yang tadinya menjadi ikat pinggangnya. Walau pun Toa-ok merupakan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok dan merupakan datuk yang amat lihai, akan tetapi menghadapi Cu Kang Bu dia tidak dapat main-main dan terpaksa harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya kalau dia tidak ingin menjadi korban sambaran cambuk baja yang berkelebatan membentuk sinar bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk itu.
Julukan Cu Kang Bu adalah Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati), maka tentu saja tenaganya hebat luar biasa sehingga sabuk yang diputarnya itu lenyap bentuknya dan menimbulkan angin yang dahsyat sekali. Namun lawannya adalah Toa-ok, Si Jahat Nomor Satu yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga mempunyai pengalaman yang amat luas. Kedua lengannya yang tidak bersenjata itu penuh dengan tenaga sinkang sehingga menjadi kebal, akan tetapi dia juga cukup cerdik untuk tidak mengadu lengannya secara langsung dengan cambuk baja yang digerakkan amat kuatnya. Dia lebih banyak mengelak dan kalau menangkis, selalu menangkis dari arah samping, juga membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya yang mendatangkan hawa pukulan kuat sekali.
Seperti pertandingan antara Hong Bu dan Hek-i Mo-ong, maka perkelahian antara Cu Kang Bu melawan Toa-ok ini pun berjalan dengan seru sekali.....
Komentar
Posting Komentar