SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-51
Keluarga Kao merasa puas dan gembira dengan jawaban itu. Memang mereka pun mengerti bahwa antara Ci Sian dan ayah kandungnya ini tidak ada hubungan yang baik. Dan tentang perjodohan gadis itu tentu berada di tangan gadis itu sendiri. Hal ini dimengerti benar oleh Cin Liong yang sudah mengenal watak Ci Sian. Akan tetapi, Bu Seng Kin adalah ayah kandung Ci Sian, dan melewatinya dalam urusan perjodohan Ci Sian sungguh dapat diartikan sebagai penghinaan. Kini, mereka telah menyampaikan pinangan kepada pendekar itu dan biar pun pendekar itu tidak dapat memutuskan, namun pada dasarnya pendekar Bu telah menyetujui kalau puterinya berjodoh dengan Cin Liong dan ini sudah cukup bagi pemuda itu.
Ketika pesta bubar, mereka berpamit dan menghaturkan terima kasih. Setelah keluar dari kota Cin-an, Cin Liong tidak ikut dengan ayah bundanya yang hendak pulang kembali ke utara, ke tempat tinggal mereka, yaitu di Istana Gurun Pasir.
“Aku akan pergi ke kota raja lebih dahulu,” kata pemuda itu, “Setelah melapor kepada Pangeran yang kini telah menjadi Kaisar, aku akan minta cuti dan akan pergi mencari Ci Sian sampai dapat. Setelah bertemu dan memperoleh keputusan, barulah aku akan menyusul Ayah dan Ibu pulang ke utara.”
Ayah dan ibu itu memberi banyak nasehat sebelum mereka berpisah, atau lebih banyak ibunya yang menghujaninya dengan nasehat-nasehat agar berhati-hati dan sebagainya. Ayahnya, Kao Kok Cu, tidak banyak bicara, dan dengan suara yang berwibawa hanya berkata, “Cin Liong, satu hal harus kau ingat baik-baik bahwa perjodohan hanya dapat dilaksanakan apabila keinginan itu terdapat dari kedua belah pihak! Kalau keinginan itu hanya terdapat di satu pihak saja, kelak akan mendatangkan banyak masalah dalam rumah tangga. Dan ingat, cinta kasih bukan berarti harus menikah! Tapi kalau keduanya ada cinta kasih, menikah merupakan jalan yang paling tepat. Syukurlah andai kata gadis itu juga menghendaki perjodohan denganmu. Kalau ia tidak setuju, hal itu wajar saja dan tidak sepatutnya menyengsarakan perasaan hatimu.”
Pesan ayahnya ini meninggalkan kesan mendalam di hati Cin Liong. Dia tahu bahwa kalau sampai Ci Sian menolak cintanya, menolak menjadi isterinya, dia akan menderita pukulan batin, hatinya akan terasa sakit. Akan tetapi dia melihat pula kebenaran ucapan ayahnya, maka dia pun sudah bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekali pun…..
********************
Ketika Sim Hong Bu melarikan diri dari Cin-an, dari sarang para patriot karena dia panik dan berduka melihat betapa Ci Sian menyerangnya kalang-kabut, diam-diam Cu Pek In juga melakukan pengejaran. Akan tetapi kalau seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti Cin Liong saja tidak mudah dapat menyusul Sim Hong Bu, apalagi Pek In yang ilmunya kalah jauh dibandingkan dengan suheng-nya yang dicintanya itu. Akan tetapi, ia tidak pernah berhenti mencari jejak Hong Bu dan telah mengambil keputusan bahwa baginya hanya ada dua pilihan, yaitu mencari sampai jumpa atau mati dalam usahanya itu!
Berpekan-pekan lamanya Cu Pek In mencari dan mengikuti jejak suheng-nya itu. Tetapi ia pun dibikin bingung ketika ia melihat jejak suheng-nya itu setelah menuju ke timur lalu kembali lagi ke barat, ke kota Cin-an dan menurut penyelidikannya, suheng-nya itu pergi ke Cin-an bersama seorang laki-laki setengah tua. Dan setelah pergi mengejar dan mencari Hong Bu selama hampir dua bulan, akhirnya Pek In kembali ke Cin-an dan bertemu dengan keluarga Bu. Dari Bu-taihiap ia mendengar banyak.
Bu Seng Kin yang mempunyai banyak sekali pengalaman itu dapat memaklumi bahwa gadis ini amat mencinta Hong Bu akan tetapi dia tahu pula bahwa Pek In bertepuk sebelah tangan dalam hal ini. Karena, baru beberapa hari yang lalu, Sim Hong Bu datang bersama seorang pamannya dan mengajukan pinangan atas diri Ci Sian! Dan hal ini terjadi baru beberapa hari setelah dia dan keluarganya menerima kunjungan dan pinangan dari keluarga Kao!
Bu-taihiap dan keluarganya menceritakan bahwa kini keadaan telah banyak berubah setelah Kaisar tua meninggal dan setelah Pangeran Kian Liong memegang kendali pemerintahan. Dia bercerita banyak tentang keadaan para pendekar patriot sekarang, yang sudah tidak dikejar sebagai musuh dan bagaimana pun juga harus mengakui kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan oleh kaisar baru.
Semua itu didengarkan dengan penuh perhatian oleh Cu Pek In, tetapi sesungguhnya di dalam hatinya, gadis ini tidak begitu tertarik. Kalau ia tadinya ikut pula dalam kelompok para pendekar patriot, hal itu hanya dilakukan karena ia mengikuti Hong Bu dan karena suheng-nya itu dianggap buronan dan di dalam pengejaran orang-orangnya Kaisar.
“Bu-locianpwe, saya mencari Sim-suheng sampai jauh, akan tetapi jejaknya malah menuju kembali ke Cin-an. Apakah dia datang ke sini?” akhirnya dia bertanya dan Bu Seng Kin yang memberi isyarat kepada isteri-isterinya itu segera menjawab.
“Dia memang pernah datang ke sini bersama seorang pamannya, tetapi tidak bermalam dan hari itu juga telah pergi lagi. Kurang lebih seminggu yang lalu dia datang. Ada hal yang amat menggembirakan, yaitu bahwa katanya, kaisar baru juga membebaskan dia, dan ia menyatakan bahwa pedang Koai-liong-kiam oleh Kaisar telah dinyatakan sebagai pedang milik keluargamu. Jadi sekarang dia tidak lagi dikejar-kejar.”
Berita ini memang menggembirakan hati Cu Pek In. “Akan tetapi, Locianpwe, setelah meninggalkan Cin-an, dia pergi ke manakah?”
Pendekar itu menarik napas panjang. Tentu saja dia tak tega untuk menceritakan bahwa Hong Bu telah datang melamar Ci Sian. Namun dia dapat menduga ke mana perginya Hong Bu. Ke mana lagi kalau tidak mencari Ci Sian? Untuk mengatakan bahwa Hong Bu kini mencari-cari Ci Sian, apalagi kalau dijelaskan bahwa pemuda itu mencarinya untuk melamarnya, berarti tentu menghancurkan perasaan gadis ini. Maka dia pun lalu berkata, “Setelah dia dibebaskan oleh Kaisar, tentu dia akan memenuhi tugas yang dibebankan kepadanya oleh gurunya. Apakah engkau tidak dapat menduganya?”
“Tugas itu adalah mengalahkan Kim-Siauw Kiam-sut.”
Bu Seng Kin mengangguk. “Tentu saja. Dia tentu mencari Pendekar Suling Emas Kam Hong untuk melaksanakan tugas yang dipikulnya, yaitu mengadu ilmu dengan pendekar itu atau.... sumoi-nya.”
Cu Pek In mengepal tinju. “Aku harus membantunya!” Lalu dipandangnya pendekar itu dan ia bertanya, “Ke manakah dia mencari mereka?”
“Kami tidak tahu, Nona, hanya kami mendengar bahwa pamannya itu masih mempunyai keluarga di Lok-yang. Mungkin saja mereka itu pergi ke Lok-yang.”
Keterangan ini memang benar, dan lagi pula, menurut beberapa orang pendekar patriot yang melihatnya, memang paman dan keponakan itu meninggalkan Cin-an menuju ke barat.
“Kalau begitu, saya akan segera menyusul dan mencarinya, Locianpwe.” Cu Pek In berpamit.
Setelah gadis yang selalu berpakaian pria itu pergi, Bu Seng Kin menarik napas panjang dan berkata kepada tiga orang isterinya yang masih duduk di situ bersamanya. “Ahh, betapa cinta telah mengombang-ambingkan kehidupan para muda seperti gelombang samudera mempermainkan perahu-perahu kecil! Betapa cinta menciptakan sorga atau neraka di dunia ini.”
“Cinta memang selalu mendatangkan sorga dan sekaligus juga neraka dalam hidup!” tiba-tiba Nandini berkata. Dan anehnya, dua orang madunya lalu mengangguk-angguk membenarkan. Melihat ini, Bu Seng Kin membelalakkan matanya.
“Ehhh, agaknya kalian bertiga sudah sepakat begitu. Apa maksud kalian?”
“Lihat saja kehidupan kami! Kami mencari sorga bersamamu akan tetapi yang kami dapat neraka!” kata pula Nandini cemberut, dan dua orang madunya juga cemberut.
Mau tidak mau Bu-taihiap tertawa. “Akan tetapi mengakulah, bukankah di samping neraka kalian juga mendapatkan sorga? Bukankah kalau satu di antara kita saling berpisah kita merasa rindu dan menderita?”
Tiga orang isterinya diam saja karena memang mereka harus mengakui bahwa mereka baru merasa berbahagia kalau di samping suami ini, walau pun kadang-kadang mereka harus menahan panas hati karena cemburu.
“Memang demikianlah hidup,” pendekar itu menyambung. “Di mana ada senang tentu ada susah, kalau ada sorga tentu ada neraka. Akan tetapi, jangan dikira bahwa yang pahit-pahit dalam hidup itu tidak perlu. Coba saja bayangkan, tanpa kita merasakan pahit, bagaimana mungkin kita dapat menikmati manis? Tanpa kita merasakan bagai mana yang dinamakan susah itu, bagaimana kita dapat mengenal senang? Demikian pula, kalau kita tidak pernah mengenal neraka, mana mungkin kita dapat menikmati sorga? Ha-ha, selama kita berada dalam cengkeraman Im Yang, tentu saja keduanya itu saling kait-mengait dan tidak mungkin kita dapat terbebas dari kekuasaan dan roda perputarannya.”
Apa yang diucapkan oleh Bu Seng Kin itu memang merupakan kenyataan. Sayang dia tidak menyelami lebih mendalam lagi sehingga dia hanya menerima hal itu sebagai sesuatu yang seharusnya demikian, sehingga dia sendiri masih terseret ke dalam lingkaran setan dari baik dan buruk, senang dan susah dan sebagainya itu.
Senang dan susah adalah dua permukaan dari sesuatu yang sama. Keduanya tak dapat dipisahkan karena memang keduanya itu merupakan dua saudara kembar yang tak terpisahkan. Ada yang satu pasti ada yang lain. Karena itu, setiap pengejaran akan kesenangan sudah pasti akan bertemu pula dengan kesusahan karena kesenangan dan kesusahan itu berbadan satu tapi bermuka dua. Apa yang nampak pada muka itu, baik nampak sebagai senang mau pun sebagai susah, hanya merupakan akibat dari pada pilihan pikiran sendiri belaka. Apa yang hari ini dianggap sebagai menyenangkan, mungkin saja pada hari esok akan dianggap sebagai menyusahkan, dan demikian sebaliknya.
Senang dan susah muncul sebagai akibat dari pada penilaian. Dan penilaian ini selalu bersumber kepada kepentingan si aku. Si aku adalah pikiran, si aku adalah nafsu. Wajarlah bagi seorang manusia untuk dimasuki perasaan-perasaan itu. Senang, susah, takut, malu, marah, dan sebagainya. Namun, dengan pengamatan terhadap diri sendiri secara penuh kewaspadaan dan perhatian, di waktu perasaan-perasaan itu memasuki hati dan pikiran, maka kita tidak akan terseret. Mengamati semua itu, menghadapi semua itu, tanpa menilai-nilai sebagai baik atau buruk. Mengamati saja penuh kewaspadaan tanpa ada si aku yang mengamati. Jadi hanya pengamatan saja yang ada, kewaspadaan saja yang ada.
Menerima semua itu sebagai suatu hal yang sudah semestinya begitu, seperti yang dilakukan oleh Bu Seng Kin, maka tidak akan timbul perubahan dan untuk selama hidup, kita akan selalu terombang-ambing antara suka dan duka, dan biasanya, lebih banyak dukanya dari pada sukanya. Dan selama kita menjadi permainan si kembar ini, kita takkan pernah bahagia. Yang kita anggap kebahagiaan bukan lain hanyalah kesenangan belaka yang pada lain saat sudah akan berubah lagi menjadi kesusahan
.Cu Pek In melakukan perjalanan ke barat dalam usahanya mencari Sim Hong Bu. Dia pergi menuju ke Lok-yang, sebuah kota yang besar dan ramai dan juga kuno di Propinsi Ho-nan. Gadis yang bagi yang tidak tahu dianggap sebagai seorang pemuda remaja yang amat tampan ini, melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya dan menyelidik kalau-kalau ada yang melihat Sim Hong Bu lewat di situ. Akan tetapi, agaknya sampai di Lok-yang, tidak ada seorang pun yang dapat memberi keterangan tentang suheng-nya itu. Tidak ada yang melihat adanya seorang pemuda seperti Sim Hong Bu lewat di jalan yang dilaluinya.
Dengan hati yang gelisah dan berduka, kedua kakinya yang lemas karena melakukan perjalanan jauh dan tubuhnya lelah sekali. Hari telah menjelang senja ketika terpaksa untuk hari itu ia menunda dulu pencariannya dan mencari kamar di sebuah losmen. Karena ia merasa amat lelah dan ingin beristirahat sebaiknya, maka dipilihlah hotel yang paling besar di kota itu. Hotel itu nampak besar dan cukup megah, dengan huruf-huruf besar dengan tinta emas di depannya berbunyi ‘Thian Hok Li Koan’.
Ketika Pek In memasuki ruangan depan hotel itu dan menuju ke kantor di sudut, ia melihat enam orang laki-laki duduk menghadapi meja bercakap-cakap di ruangan itu. Seorang pelayan segera menyambutnya dan sesaat alis pelayan ini berkerut melihat pakaian dan sepatu Pek In yang kotor dan berdebu, akan tetapi ketika dia memandang wajah yang tampan itu, dia segera bertanya dengan suara yang cukup ramah, “Selamat sore, Tuan Muda. Kalau anda mencari kamar, sungguh sayang sekali karena semua kamar telah penuh.”
Cu Pek In memandang pelayan itu dan hatinya menjadi kesal sekali. Ia sudah lelah dan juga jengkel dan berduka karena kehilangan jejak suheng-nya. Dan begitu tiba di hotel, di mana ia ingin cepat-cepat merebahkan diri, pelayan itu mengatakan bahwa semua kamar telah penuh! Ia merasa curiga, karena pelayan itu tadi memandang pakaian dan sepatunya yang berdebu. Karena sedang duka dan jengkel, maka Pek In menjadi mudah berprasangka dan marah-marah. Ia menyangka bahwa tentu pelayan ini tidak percaya kepadanya, pakaiannya berdebu, jangan-jangan ia dianggap tidak punya uang untuk membayar kamar! Hotel ini begitu besar, tentu mempunyai banyak kamar, masa sudah penuh?
“Benarkah tidak ada kamar kosong sama sekali? Aku sanggup membayar sewanya, berapa pun juga!” tanyanya dengan suara yang mengandung kejengkelan.
Ia tidak tahu bahwa enam orang pria yang tadi bercakap-cakap kini berhenti bicara dan semua melirik ke arahnya. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam, seorang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, memandang kepada Pek In dengan sepasang matanya melotot lebar dan mulutnya mengandung senyum penuh arti. Tangannya meraba-raba kumisnya yang melintang ketika sepasang matanya itu menatap ke arah wajah dan tubuh Pek In dari pinggir.
“Sungguh, Kongcu, semua kamar telah penuh. Hari ini memang ramai sekali sehingga tidak ada lagi kamar di hotel kami yang kosong. Harap Anda memaafkan kami,” kata pengurus hotel yang sudah menjenguk keluar dari dalam kantornya.
Cu Pek In menarik napas panjang. Memang dia sedang sial, pikirnya, segala-galanya tidak pernah berhasil. Ingin ia menangis.
“Bung pengurus, biarlah kami mengosongkan sebuah di antara kamar-kamar yang kami sewa dan berikanlah kepada Tuan Muda ini!” Mendadak terdengar suara parau dan kasar, suara dari pria tinggi besar berkulit hitam itu.
“Tapi.... tapi Koa-kauwsu telah membayar semua kamar itu,” Si Pengurus berkata.
“Tidak mengapa, seorang temanku dapat tidur bersama temannya dan mengosongkan kamar itu untuk Kongcu ini. Atau kalau Kongcu ini mau, tempat tidurku cukup lebar dan boleh saja aku membagi tempat tidur dengan dia.”
Wajah Cu Pek In menjadi merah. Kalau didengarnya kata-kata itu sebagai seorang wanita, tentu saja kata-kata itu amat kurang ajar. Hampir saja ia marah sekali kalau tidak diingatnya bahwa ia kini sedang menyamar sebagai seorang pria. Maka ia pun berkata kepada pengurus hotel itu, “Kalau memang sudah penuh, sudahlah, aku bisa mencari kamar di hotel lain.”
Cu Pek In membalikkan tubuh tanpa menoleh kepada enam orang pria itu. Dia hendak meninggalkan ruangan hotel.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara parau itu, “Nanti dulu, Siauwte, aku hendak bicara denganmu!”
Cu Pek In menoleh dan melihat laki-laki tinggi besar itu sudah berdiri dan menjura kepadanya, demi kesopanan ia pun lalu balas menjura.
“Ada urusan apakah yang hendak dibicarakan?” Ia bertanya sambil memandang tajam.
Laki-laki itu bersikap cukup sopan dan ramah, dan sepasang matanya yang lebar memandangnya dengan kekaguman yang tak disembunyikannya. Bukan pandang mata orang jahat, pikirnya, melainkan pandang mata seorang yang mata keranjang. Akan tetapi ia lalu teringat bahwa ia berpakaian pria dan biasanya jarang ada orang yang dapat mengetahui penyamarannya, maka ia membantah penilaiannya sendiri, karena tidak mungkin pria tinggi besar itu tertarik kepada seorang pemuda!
“Siauwte, maafkan kalau aku mencampuri urusanmu. Akan tetapi melihat bahwa engkau nampak lelah, pakaian dan sepatumu penuh debu menunjukkan bahwa engkau telah melakukan perjalanan jauh, dan agaknya tidak akan mudah bagimu untuk mencari kamar di hotel-hotel lain yang tentu juga penuh, maka aku menawarkan sebuah kamar kami kepadamu. Kami berenam menyewa lima kamar, kalau dikurangi satu kamar kami masih dapat tidur. Sebuah kamar untuk berdua pun tidak mengapa.”
Cu Pek In tersenyum dan tak tahu betapa senyumnya yang membuat wajahnya nampak semakin tampan itu membuat Si Tinggi Besar semakin kagum. “Ahhh, aku tidak ingin merepotkan Paman yang belum kukenal.”
“Sama sekali tidak merepotkan. Atau Adik boleh pilih, memakai sebuah kamar sendirian atau berdua denganku. Tempat tidur di kamar kami cukup besar....”
“Tidak, terima kasih! Aku tak biasa tidur berdua....,” jawab Pek In cepat-cepat memotong perkataan orang.
“Kalau begitu, pakailah sebuah kamar sendirian saja. Temanku dapat mengalah,” kata pula Si Tinggi Besar.
Melihat kebaikan orang, Cu Pek In merasa ragu-ragu untuk menolak.
Dan pengurus hotel itu pun cepat berkata kepadanya, “Kongcu, apa yang dikatakan oleh Koa-kauwsu ini memang benar. Sekarang sedang ramainya orang berdagang hasil bumi. Banyak tamu pedagang dari luar kota ini dan setiap hari semua hotel di kota ini penuh. Agaknya akan sukar bagi Kongcu untuk memperoleh kamar di hotel yang baik, kecuali di hotel-hotel kecil yang kotor.”
Ucapan pengurus hotel ini menghilangkan keraguan Cu Pek In dan ia pun kemudian menghaturkan terima kasih kepada Si Tinggi Besar.
“Ah, tidak perlu sungkan, Adik yang baik. Kita manusia di mana-mana memang harus saling bantu, bukan? Dengan begini, kita menjadi kenalan baru. Aku senang sekali berkenalan denganmu, Siauwte. Perkenalkanlah, aku Koa Cin Gu dari Lo-couw sebelah selatan kota ini.”
“Koa-kauwsu adalah guru silat yang terkenal di Lo-couw, bahkan di kota Lok-yang ini, Tuan Muda,” kata Si Pelayan memuji.
“Koa-kauwsu,” kata Pek In sambil menjura, “Terima kasih atas kebaikanmu. Aku sudah lelah sekali dan ingin beristirahat.” Sambil berkata demikian, Pek In lalu meninggalkan orang tinggi besar itu dan mengikuti pelayan dan seorang teman Si Tinggi Besar yang hendak mengambil barang-barangnya dari kamar yang diberikan kepada Pek In.
Setelah kamar itu bersih, Cu Pek In membersihkan tubuhnya, berganti pakaian dan memesan makan minum dalam kamarnya. Ia sudah lelah dan agak turun semangat, maka ia tidak keluar lagi dan memesan makan di kamarnya saja. Setelah makan dan istirahat sebentar, duduk termenung memikirkan nasibnya, dia pun merebahkan dirinya dan tidur.
Ia sendiri tidak tahu berapa lama ia tertidur, akan tetapi tiba-tiba ia terbangun oleh ketukan di pintu. Cu Pek In membuka matanya dan tanpa turun dari pembaringan ia bertanya, “Siapa di luar?”
Suara parau di luar segera dikenalnya sebagai suara Koa-kauwsu. “Aku Koa Cin Gu, Cu-siauwte!”
“Koa-kauwsu, ada keperluan apakah mengetuk pintu kamarku?” tanya Pek In sambil duduk di tepi pembaringan. Saking lelahnya, tadi dia sudah tertidur dengan pakaian lengkap, hanya sepatunya saja yang dilepaskan.
“Harap buka pintunya, Adik Cu! Aku memiliki hal yang amat penting untuk dibicarakan denganmu.”
Cu Pek In adalah seorang gadis gagah yang tidak pernah mengenal takut, akan tetapi setelah banyak merantau seorang diri meninggalkan lembah, ia sudah mempunyai banyak pengalaman dan bersikap hati-hati. Betapa pun juga, ia harus mencurigai orang yang telah bersikap terlalu baik kepadanya itu. Dipakainya sepatunya dan diselipkan sulingnya di pinggang, tertutup baju, lalu ia pun melangkah ke pintu dan membukanya.
Koa Cin Gu masuk sambil tersenyum ramah. “Sudah tidurkah, Siauwte? Maafkan kalau aku mengganggu, ya?” Ketika dia bicara itu, Pek In mencium bau arak dan biar pun sikap guru silat itu masih biasa saja, namun melihat muka hitam itu kemerahan, juga matanya, ia dapat menduga bahwa orang ini tentu terlalu banyak minum arak dan agak mabok.
Tanpa mempersilakan duduk, ia pun bertanya, “Koa-kauwsu, ada keperluan apakah yang hendak kau bicarakan?”
“Banyak, banyak sekali. Cu-siauwte,” kata guru silat Koa itu dan dia pun menutupkan kembali daun pintu.
Karena mengira bahwa orang itu menutupkan pintu karena memang mempunyai urusan yang penting, maka Pek In juga diam saja, hanya memandang dengan penuh perhatian. Akan tetapi, orang she Koa itu tanpa dipersilakan lagi kini sudah duduk, bukan duduk di atas kursi, melainkan di tepi pembaringan!
Si Muka Hitam itu kini tersenyum menyeringai sambil berkata, “Aku ingin berkenalan lebih baik denganmu, Adik Cu Pek In. Sini duduklah di dekatku sini, agar kita lebih enak bicara. Sejak melihatmu tadi, aku sudah suka sekali kepadamu, Adik yang baik.”
Muka Pek In menjadi merah sekali. Akan tetapi ia masih teringat bahwa orang itu bicara kepadanya sebagai seorang pemuda, bukan seorang gadis!
“Ah, Paman Koa, mengapa begitu? Katakanlah apa yang perlu kau bicarakan sehingga malam-malam engkau datang ke sini. Aku mengantuk sekali.”
“Ha-ha, mengantuk? Tidurlah, tidurlah biar kita bicara sambil merebahkan diri. Ataukah engkau lelah dan perlu kupijati? Ke sinilah, sayang.”
Pek In mulai mengerutkan alisnya. Apakah orang ini sudah tahu akan penyamarannya dan bersikap kurang ajar karena tahu bahwa ia adalah seorang wanita?
Tetapi hatinya belum yakin benar dan ia masih berpura-pura menegur, “Koa-kauwsu, apa artinya sikapmu ini? Lupakah engkau bahwa aku adalah seorang pria?”
“Ha-ha-ha, lupa? Tentu saja tidak, Adik tampan! Kalau engkau seorang wanita, apa kau kira aku sudi mendekatimu? Aku membenci wanita, dan aku sayang kepada pemuda-pemuda tampan seperti engkau ini. Ke sinilah, Adik tampan, akan kupijiti engkau agar lelahmu lenyap dan engkau temani aku tidur. Marilah....!” Dan guru silat bermuka hitam itu sudah mengembangkan kedua lengannya ke arah Pek In!
Pek In memandang dengan mata terbelalak. Betapa pun banyaknya pengalaman yang dihadapinya selama ini, baru sekarang melihat keganjilan ini. Seorang pria yang hendak mencumbu pria lain! Inikah yang dinamakan orang banci? Tubuh guru silat itu demikian tinggi besar, kulitnya kasar hitam dan kumisnya melintang, tubuhnya jelas menunjukkan laki-laki seratus prosen. Akan tetapi mengapa dia menyukai pria muda tampan?
Teringat akan hal ini, Pek In bisa menduga betapa banyaknya pemuda-pemuda tampan yang menjadi korban orang aneh ini. Tentu di antara murid-muridnya yang belajar ilmu silat banyak terdapat pemuda-pemuda remaja yang tampan. Entah dipermainkan secara bagaimana. Tak dapat ia membayangkannya dan ia sudah merasa jijik dan geli, seperti melihat seekor ular.
“Manusia keparat! Keluarlah engkau dari sini!” Pek In membentak marah sekali dan menudingkan telunjuknya ke arah pintu.
Koa-kauwsu memandang bengis, lalu bangkit berdiri dan bertolak pinggang. “Ahhh.... kiranya engkau hanya seorang pemuda yang tak mengenal budi. Beginikah balasannya ditolong orang?”
“Hemm, kalau memberikan kamar kosong kepadaku kau anggap sebagai budi besar yang harus dibalas dengan kemesuman dan kecabulanmu, engkau mimpi, orang berhati binatang. Sudahlah, kau cepat keluar dari sini sebelum kuhancurkan kepalamu!” Pek In sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi.
Guru silat itu membelalakkan kedua matanya, dan dia tersenyum. Barulah kini nampak oleh Pek In betapa senyum pria ini mengandung sifat kegenit-genitan seperti wanita!
Koa Cin Gu sebetulnya bukanlah seorang penjahat, melainkan seorang guru silat yang cukup kenamaan. Akan tetapi, dia mempunyai kelainan dengan orang-orang biasa, yaitu, dia suka bermain cinta dengan pria-pria muda yang tampan. Dia sungguh tidak suka menyukai wanita, karena walau tubuhnya tinggi besar dan kasar seperti pria tulen, adalah hatinya seperti seorang wanita, terutama mengenai selera dan birahi. Dia tidak pernah melakukan pemaksaan terhadap pria-pria muda, karena dengan pengaruhnya sebagai guru silat, banyaklah murid-murldnya sendiri yang mau melayaninya dengan harapan memperoleh pelajaran silat yang lebih tinggi dari pada murid-murid lain. Maka, terhadap Pek In yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang tampan sekali ini pun Koa-kauwsu tidak bermaksud menggunakan kekerasan. Akan tetapi dia telah dihina dan dimaki, maka bangkitlah kemarahannya.
“Bocah kurang ajar! Engkau ditolong baik-baik, diperlakukan dengan sikap ramah dan manis, dan engkau malah menghina orang. Bocah sombong, benarkah engkau hendak menghancurkan kepalaku? Coba saja kalau engkau mampu!”
“Mampu? Apa sukarnya? Tetapi aku tidak ingin membikin kacau dengan pembunuhan, maka bukan kepalamu yang akan kuhancurkan, melainkan lengan tanganmu saja!” Berkata demikian, Pek In sudah menerjang ke depan dengan pukulan tangan kirinya.
Pukulannya mantap dan cepat sekali, sehingga guru silat itu yang mengenal serangan berbahaya, mengeluarkan seruan dan cepat menangkis dengan lengan kanannya, dan berbareng dengan itu langsung membalas dengan sodokan tangan kirinya ke arah dada Pek In. Walau pun hal ini bukan dimaksudkan untuk kurang ajar, akan tetapi sebagai seorang gadis, Pek In menganggapnya demikian, maka dia pun sudah mengerahkan tenaga sinkang pada lengan kanannya dan dia menghantam ke bawah, ke arah lengan kiri lawan.
“Krakkk....!”
Tulang lengan kiri Koa-kauwsu, dekat pergelangan, patah-patah dan di lain saat Pek In telah menendang tubuhnya sehingga guru silat terpelanting. Pek In cepat membuka pintu dan sekali lagi menendang. Tubuh guru silat itu terlempar keluar pintu kamar!
Tentu saja ia mengaduh-aduh karena bukan hanya lengan kirinya yang patah-patah tulangnya, akan tetapi juga dua kali tendangan itu membuat dadanya sesak dan perutnya mulas. Ribut-ribut ini mendatangkan lima orang temannya dan melihat betapa guru silat itu mengaduh-aduh, memegangi lengan kiri dengan tangan kanan, lima orang itu lalu menyerbu ke dalam kamar Pek In. Akan tetapi Cu Pek In sudah muncul di pintu dan membentak marah.
“Masih ada lagi yang hendak kurang ajar kepadaku?”
“Dia memukulku, dia mematahkan lenganku, pukul dia!” Koa-kauwsu yang merasa kesakitan itu sudah bangkit berdiri dan dengan meringis dia menuding ke arah Pek In dengan telunjuk kanannya.
Lima orang temannya terkejut bukan main, tidak disangkanya bahwa pemuda remaja yang halus tampan itu mampu merobohkan guru silat Koa yang lihai! Mereka berlima dapat menduga bahwa tentu pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, maka mereka sudah mencabut senjata golok mereka dan menyerbu ke dalam kamar!
Akan tetapi Cu Pek In sudah marah sekali. Ketika tangannya bergerak, nampak sinar emas berkelebatan, dan terdengar bunyi nyaring ketika sinar emas itu bertemu dengan golok-golok di tangan lima orang yang mengaduh-aduh, ada yang kepalanya benjol, ada yang lengannya patah, dan ada pula yang mendekap perutnya yang kena ditendang! Keadaan menjadi geger karena semua tamu kini terbangun dan berdatangan ke tempat itu. Tiba-tiba, di antara para tamu itu, muncullah sepasang suami isteri yang gagah perkasa.
“Pek In....!” Mereka menegur.
Cu Pek In yang masih bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan dengan suling di tangan, cepat menengok dan melihat bahwa yang menegurnya itu adalah seorang laki-laki tinggi besar bersama seorang wanita cantik, segera mengenalnya. Pria itu adalah pamannya sendiri, Cu Kang Bu dan wanita itu adalah isteri pamannya, Yu Hwi.
“Paman....!” teriaknya ketika mengenal pamannya.
“Pek In, mari kita pergi saja dari sini!” kata Kang Bu.
Pek In begitu girang bertemu dengan pamannya sehingga ia tidak membantah, cepat mengambil pakaiannya dan keluar dari dalam kamarnya bersama paman dan bibinya. Setelah mereka mengambil pakaian dari kamar suami isteri itu, Kang Bu lalu mengajak mereka keluar, berhenti di kantor pengurus, membayar untuk dua kamar mereka dan segera mengajak keponakannya pergi meninggalkan hotel.
Hal ini dilakukan oleh Kang Bu yang tidak mau menghadapi keributan setelah terjadi perkelahian antara keponakannya dan beberapa orang laki-laki tamu hotel itu. Mereka lalu mencari kamar di rumah penginapan kecil di pinggir kota. Di sini mereka lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing. Cu Pek In dengan hati sedih menceritakan betapa ia sudah bertemu dengan Hong Bu, bersama-sama pergi ke Cin-an di mana mereka berdua tinggal di sarang para patriot.
“Aku bertemu dengan Bibi Tang Cun Ciu di sana, Paman. Engkau tahu, yang menjadi pemimpin para pendekar patriot adalah Bu Seng Kin Locianpwe?”
“Hemm, pantas kalau begitu!” Hanya demikian Kang Bu berkata karena dia tidak mau mencampuri kehidupan pribadi bekas kakak iparnya itu.
Pek In lalu melanjutkan ceritanya, betapa Hong Bu bertemu dengan dua orang yang harus dilawannya, yaitu keluarga Kao dan juga Pendekar Suling Emas Kam Hong. Betapa kemudian karena diserang oleh Ci Sian, Hong Bu melarikan diri dan dikejar oleh Jenderal Muda Kao Cin Liong.
“Aku pun mengejarnya, Paman, namun aku tertinggal jauh dan aku terus mencarinya sampai berbulan-bulan. Jejaknya membawaku kembali ke Cin-an. Menurut keterangan Bu-locianpwe mungkin Sim-suheng pergi ke Lok-yang ini.” Kemudian ia menceritakan pengalamannya di hotel itu dan sikap guru silat she Koa yang aneh dan kurang ajar terhadap dirinya.
“Sungguh aneh, Paman. Dia sudah mengatakan bahwa dia menganggap aku pria, akan tetapi mengapa dia hendak merayuku? Apakah dia itu orang-orang gila, Paman?”
Pamannya tertawa, demikian pula Yu Hwi. Yu Hwi yang menjawab. “Pek In, ketahuilah bahwa di dunia ini memang terdapat orang-orang yang sejak lahir telah mempunyai kelainan-kelainan yang mungkin saja diperkuat oleh keadaan sekeliling di waktu dia masih kanak-kanak. Atau mungkin ada sesuatu yang salah dalam tubuhnya sehingga ada orang yang tubuhnya pria akan tetapi perasaan hatinya wanita, seperti orang yang mengganggumu tadi. Akan tetapi ada orang yang tubuhnya wanita akan tetapi perasaan hatinya pria, dan orang begitu hanya suka berdekatan dengan sesama wanita, dan membenci pria.”
“Demikianlah yang dinamakan banci, Bibi?”
“Biasanya, sebutan banci ditujukan kepada seorang pria yang berhati wanita seperti pengganggumu tadi. Pria-pria seperti itu condong untuk menjadi wanita, merasa dirinya sebagai wanita, bahkan yang sudah terlalu berat kecondongannya itu, tidak ragu-ragu lagi untuk berpakaian sebagai wanita dan bersikap sebagai wanita pula. Sebaliknya, wanita yang berhati pria itu pun condong untuk menjadi pria dan berpakaian sebagai pria....”
Tiba-tiba Yu Hwi berhenti dan memandang kepada Pek In dengan muka berubah dan sikap sungkan. Melihat sikap isterinya ini, Kang Bu tertawa.
“Jangan khawatir, Pek In adalah seorang wanita asli, buktinya ia jatuh cinta kepada Hong Bu. Kalau ia suka berpakaian pria adalah karena mendiang orang tuanya memberi pakaian pria kepada Pek In.”
Wajah Cu Pek In menjadi merah sekali. “Ah, jadi ada wanita yang hatinya seperti pria dan lebih suka menjadi pria? Aku tidak mempunyai perasaan seperti itu, Bibi. Akan tetapi setelah mendengar penuturan itu, aku jadi muak untuk memakai pakaian pria, jangan-jangan aku disangka orang banci lagi! Biarlah, mulai sekarang aku akan mengenakan pakaian wanita. Harap Bibi membantuku!”
Demikianlah pada keesokan harinya, kedua orang wanita itu berbelanja dan mulailah Cu Pek In mengenakan pakaian wanita. Dan sungguh harus diakui bahwa setelah ia mengenakan pakaian wanita, mau berbedak dan berhias, ia nampak sebagai seorang dara yang cantik jelita! Bahkan Cu Kang Bu sendiri memuji keponakannya itu dan menyatakan sayangnya, mengapa sejak dahulu keponakannya tidak mau berpakaian sebagai seorang wanita. Kemudian mereka bertiga melanjutkan usaha Pek In untuk mencari Sim Hong Bu…..
********************
Dan ke manakah perginya Sim Hong Bu? Seperti telah kita ketahui, Hong Bu lari dan mencari pamannya untuk mengajak pamannya itu melakukan peminangan atas diri Ci Sian. Dan dia sudah berhasil bertemu dengan pamannya itu. Akan tetapi Kao Cin Liong juga berhasil mengejarnya dan menyusulnya sehingga tidak dapat dihindarkan lagi terjadilah perkelahian di antara mereka. Perkelahian yang amat seru dan mati-matian dan tentu akhirnya akan menimbulkan akibat hebat, dan mungkin tewasnya seorang di antara mereka kalau saja tidak muncul Kao Kok Cu yang melerai.
Setelah kaisar yang baru ternyata telah menyatakan bahwa pedang Koai-liong-kiam itu adalah hak milik keluarga Cu, maka tentu saja antara Hong Bu dan keluarga Kao tidak ada permusuhan lagi. Mereka bahkan menjadi sahabat dan berpisah sebagai sahabat.
Setelah berpisah dari Kao Cin Liong dan ayahnya, Sim Hong Bu kemudian mengajak pamannya pergi ke Cin-an untuk mengajukan lamaran atas diri Ci Sian kepada keluarga Bu. Dan Bu Seng Kin, seperti jawabannya terhadap lamaran keluarga Kao, juga menyuruh Hong Bu untuk langsung saja melamar kepada Ci Sian atau kepada suheng gadis itu karena dia sendiri tidak berkuasa atas diri puterinya itu. Mendapatkan jawaban ini, Hong Bu lalu pergi mencari Ci Sian dan memang dia pergi ke Lok-yang karena pamannya hendak pergi mencari keluarga yang jauh di dekat Lok-yang. Setelah tiba di Lok-yang keduanya saling berpisah, Hong Bu melanjutkan perjalanannya seorang diri mencari Ci Sian.
Ketika Cu Pek In tiba di Lok-yang, selain Cu Kang Bu dan Yu Hwi yang juga berada di kota itu, sesungguhnya Hong Bu juga berada di situ. Hanya pemuda ini tidak bermalam di kota, melainkan di luar kota, di dalam sebuah kuil tua karena pemuda ini telah dapat mengikuti jejak Ci Sian dan Kam Hong!
Pada pagi hari itu, Kam Hong dan Ci Sian sedang mengamati pemandangan yang amat indah di lembah Sungai Huang-ho di utara kota Lok-yang. Lembah itu sunyi karena memang mereka menghindari tempat ramai. Sambil memandang di atas air yang tenang karena baru saja arusnya terpatahkan di selokan, Ci Sian melamun dan akhirnya berkata.
“Suheng, sudahlah kita tidak perlu mengejar dan mencari orang she Sim itu. Kalau memang dia yang menghendaki untuk melanjutkan adu ilmu antara Koai-liong Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut, biar dia yang mencari kita. Melihat sungai yang amat lebar dan tenang ini, timbul niatku untuk melakukan perjalanan melalui air. Kalau kita naik perahu mengikuti aliran sungai ini, kita akan sampai ke manakah, Suheng?”
“Air sungai Huang-ho ini akan membawa kita kembali ke Cin-an lagi, kemudian masuk Laut Po-hai,” jawab Kam Hong.
“Dan dari sana ke kota raja apakah masih jauh?”
“Tentu lebih dekat dibandingkan dari sini.”
“Kalau begitu, mari kita menyewa perahu, Suheng.”
“Ahh, mana mungkin ada orang mau menyewakan perahu untuk dipakai melalui jarak sejauh itu? Pemilik perahu tentu mengalami kesukaran untuk kembali ke sini menentang arus. Sewanya akan mahal sekali, mungkin sewanya itu sudah cukup untuk membeli sebuah perahu kecil.”
“Wah, kalau begitu kita beli saja. Kita dayung sendiri, kan terbawa arus air, jadi tak perlu membuang banyak tenaga. Kita mancing setiap hari, makan daging ikan setiap hari. Wah, senangnya!”
Kam Hong tertawa dan memandang kepada sumoi-nya. Betapa sumoi-nya ini kadang-kadang masih seperti anak kecil saja. Dan dia pun menarik napas panjang. Memang, dibandingkan dengan dia, sumoi-nya masih seperti anak kecil. Dia sendiri sudah berusia hampir tiga puluh lima tahun sedangkan sumoi-nya ini hanya seorang dara remaja berusia paling banyak sembilan belas tahun! Dia merasa sudah tua dan tidak pantas berdekatan dengan sumoi-nya.
“Kenapa kau tertawa lalu menarik napas, Suheng? Heran, habis tertawa kok menarik napas, engkau ini bergembira atau berduka?”
“Suka dan duka hanya seperti siang dan malam, muncul silih berganti, Sumoi, demikian pula dengan senang dan susah. Membayangkan melakukan perjalanan melalui air, tentu saja yang terbayangkan hanya senangnya saja, tetapi kalau sudah dilaksanakan, barulah muncul susah-susahnya. Di dunia ini tiada kesenangan kekal atau kesusahan abadi, selalu silih berganti menguasai kehidupan manusia.”
“Wah, wah, sepagi ini sudah berfilsafat, Suheng! Apakah engkau mencari sesuatu yang kekal?”
“Tidak, Sumoi, karena aku tahu bahwa tidak ada yang kekal dalam hidup ini. Mencari-carinya sama saja dengan mimpi di siang hari! Aku siap menerima segala sesuatu dalam hidup ini, Sumoi, menghadapi apa adanya tanpa keluhan. Kalau memang diri sudah tua dan buruk, apa perlunya mengeluh?”
Ci Sian memandang wajah suheng-nya. Tertawanya bebas karena gadis ini tak pernah berpura-pura di depan suheng-nya, tidak pernah menyembunyikan keburukannya, maka di depan suheng-nya ia dapat tertawa bebas tanpa berusaha untuk bersikap seperti orang yang hendak bersopan-sopan. “Wah, lihat kakek-kakek ini yang berfilsafat dan merasa sudah tua dan pikun! Wahai Suheng, siapa bilang engkau tua dan pikun dan jelek? Aku kadang-kadang merasa jauh lebih tua dari pada Suheng!”
“Kadang-kadang? Kalau sedang bagaimana kau merasa lebih tua?”
“Kalau sedang begini ini. Kalau Suheng sedang menyesali nasib dan usia tua seperti itu. Sudah, mari kita mencari perahu untuk kita beli Suheng.”
Akan tetapi tiba-tiba Kam Hong menyentuh lengannya. “Ssttt, ada orang datang....,” bisiknya.
Mereka berdua menanti karena memang nampak ada bayangan orang berlari cepat sekali menuju ke tempat itu dan setelah orang itu tiba di depan mereka, dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati mereka melihat bahwa yang muncul di depan mereka itu adalah Sim Hong Bu!
Melihat pemuda ini, Kam Hong tersenyum. “Ah, ternyata benar kata orang jaman dahulu bahwa dunia ini sesungguhnya tidak begitu luas seperti disangka orang. Kami mencari-carimu setengah mati tanpa hasil, dan sekarang engkau muncul di sini, Adik Sim Hong Bu!”
Hong Bu sudah dapat menenangkan hatinya yang berdebar kencang ketika melihat Ci Sian. Hatinya girang bukan main bahwa akhirnya dia dapat menemukan gadis ini, dan dalam pandangannya, Ci Sian semakin cantik menarik, lincah dan gagah saja.
“Engkau mencariku, Kam-taihiap? Sungguh, aku pun sudah lama mencari-carimu dan.... ehhh…., Nona Ci Sian.”
“Hemm, mau apa engkau mencariku, Hong Bu?” tiba-tiba Ci Sian berkata. “Apakah hendak menantangku lagi?” Di dalam pertanyaannya terkandung tantangan.
“Ada dua hal yang mendorong untuk mencari kalian,” kata Hong Bu dan dia berusaha sekuat tenaga untuk menekan debar jantungnya.
Hampir saja dia tidak berani mengeluarkan kata-kata berikutnya, akan tetapi dia menjadi nekad. Kalau tidak sekarang dikeluarkan isi hatinya, mau tunggu kapan lagi? Maka dia pun menarik napas panjang, mengumpulkan kekuatan, lalu berkatalah dia dengan sikap gagah dan suara lantang.
“Kam-taihiap dan Nona Bu Ci Sian, dengarlah baik-baik. Aku bersama salah seorang pamanku telah pergi menemui dan menghadap Bu-locianpwe di Cin-an dan kami telah mengajukan pinangan kepadanya, untuk meminangmu, Nona. Akan tetapi Bu-locianpwe mengatakan bahwa aku harus mencarimu dan menyatakan ini kepadamu dan kepada Kam-taihiap. Nah, sekarang aku sudah menemukan kalian dan di sini aku menyatakan bahwa aku meminang Nona Bu Ci Sian untuk menjadi jodohku, Kam-taihiap.”
Ucapan ini sungguh amat di luar dugaan Ci Sian dan Kam Hong. Kam Hong menahan senyumnya dan memandang wajah pemuda itu dengan kagum dan dengan hati senang. Betapa gagahnya pemuda ini, begitu jujur dan terbuka. Sungguh merupakan pemuda yang memang tepat kalau menjadi jodoh sumoi-nya!
Akan tetapi setelah sejenak melongo dengan muka agak pucat mendengar pinangan itu, Ci Sian lalu meledak karena marahnya!
“Tidak! Aku tidak mau! Engkau manusia lancang, enak saja melamar orang seperti hendak membeli bakpao saja! Aku tidak mau, aku tidak suka, aku.... aku benci padamu!”
“Ci Sian, jangan tergesa-gesa menjawab dan tidak boleh engkau menghadapi pinangan orang seperti itu,” Kam Hong menegur, terkejut melihat sikap itu.
“Tidak, tidak adil! Suheng, biar pun engkau suheng-ku, jika engkau menerima pinangan orang terhadap diriku, nah, engkau boleh kawin dengan orang itu! Aku tidak sudi!” Ci Sian berteriak-teriak marah dan matanya mulai basah dengan air mata.
Baik Kam Hong, terutama sekali Sim Hong Bu, sama sekali tidak pernah menduga bahwa tanggapan Ci Sian akan seperti itu terhadap pinangan yang diajukan oleh Hong Bu. Wajah Hong Bu menjadi pucat sekali dan sinar matanya sayu, membayangkan perihnya hati mendengar jawaban Ci Sian yang sudah amat jelas itu. Ci Sian sama sekali tidak membalas cintanya, bahkan membencinya!
“Maaf.... maaf.... bukan maksudku untuk menyusahkan orang lain....,” kata Hong Bu, mukanya pucat dan ia menundukkan mukanya. “Aku telah mengatakan urusan pertama yang hendak kusampaikan, yaitu pinangan dan aku telah ditolak, bukan salah siapa-siapa melainkan salahku sendiri yang tidak tahu diri....”
“Sim Hong Bu, setiap pinangan tentu mempunyai dua macam jawaban, diterima atau ditolak, hal itu wajar saja kukira. Dan urusan jodoh adalah urusan hati dua orang yang bersangkutan, maka engkau agak terburu-buru kukira, sebelum melihat lebih dulu bagai mana keadaan hati orang lain dalam urusan ini. Betapa pun, semua sudah terlanjur dan aku kagum akan kejujuranmu, juga aku ikut menyesal atas kegagalanmu. Lalu ada sebuah soal lagi yang hendak kau bicarakan, apakah itu, Saudara Sim?”
“Maafkan, Kam-taihiap. Engkau selalu amat bijaksana dan gagah, sejak dahulu aku kagum sekali, dan terima kasih atas hiburanmu tadi. Memang salahku sendiri maka urusan pertama aku tidak berhasil. Maka biarlah sekarang kusampaikan urusan ke dua kepadamu, Taihiap. Bukan lain aku mencarimu untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh guru-guruku, yaitu untuk menentukan mana yang lebih unggul antara Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu Pedang Suling Emas. Kuharap sekali ini engkau tidak berlaku kepalang tanggung, Kam-taihiap. Aku mohon petunjukmu!” Setelah berkata demikian, Sim Hong Bu yang wajahnya masih pucat dan sepasang matanya masih suram itu mencabut pedang Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar pedang biru menyilaukan mata.
“Kau menantang....?” Ci Sian berseru.
Akan tetapi Kam Hong sudah memegang lengannya dan berkata dengan suara yang lembut akan tetapi mengandung wibawa. “Sumoi, serahkan urusan ini kepadaku. Akulah yang dahulu mengalahkan keluarga Cu dan menimbulkan rasa penasaran ini.”
Kemudian pendekar ini melangkah maju menghadapi Sim Hong Bu sambil berkata, “Baiklah, Sim Hong Bu. Kalau engkau berkeras hendak memenuhi pesan gurumu yang hanya terdorong oleh rasa penasaran di dalam hatinya, aku tidak akan mengecewakan hatinya. Akan tetapi, apakah engkau menyadari bahwa permusuhan yang ditanam oleh pihak keluarga Cu ini sungguh tidak bijaksana? Di antara kita sesungguhnya tidak ada permusuhan apa pun juga. Dahulu, nenek moyangku secara kebetulan memperoleh pusaka Suling Emas. Dan kemudian aku sebagai keturunannya yang terakhir, secara kebetulan pula mewarisi Ilmu Suling Emas. Bukankah itu sudah jodoh namanya? Biar pun penciptanya adalah nenek moyang keluarga Cu, apa salahnya kalau terjatuh kepada orang lain? Bukankah kini Ilmu Pedang Naga Siluman yang berasal dari keluarga Cu juga diwarisi oleh seorang she Sim? Saudara Sim Hong Bu, hendaknya engkau menyadari hal itu.”
Tentu saja Hong Bu tahu akan hal itu dan memang tadinya dia sudah lemah semangat untuk menantang Kam Hong mengadu ilmu, apalagi semenjak dia bertemu dan mendengar nasehat dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Akan tetapi, setelah dia gagal dalam urusan cintanya terhadap Ci Sian, setelah dia patah hati, dia tidak peduli lagi dan biarlah kalau urusan kebaktian yang keliru terhadap gurunya ini gagal pula, dia rela mati di tangan seorang pendekar seperti Kam Hong.
“Kam-taihiap, aku memang telah keliru segala-galanya, maka biarlah kekeliruan berbakti kepada guruku ini merupakan kekeliruan yang terakhir. Keluarkanlah senjatamu dan mari kita segera laksanakan pesan guruku. Hendak kulihat, sesungguhnya sampai di mana kehebatan Ilmu Suling Emas itu dan kuharap engkau tidak berlaku kepalang tanggung sekali ini. Marilah!”
Meski pun agak ragu-ragu dan setengah hati, Kam Hong mengeluarkan juga suling emasnya. Pendekar ini dapat menduga, melihat sikap dan mendengar suara pemuda itu bahwa memang Hong Bu agaknya sengaja, terdorong kepedihan hati oleh penolakan Ci Sian yang kasar tadi. Dia menarik napas panjang dengan penuh penyesalan.
“Aku dapat membayangkan betapa para nenek moyang keluarga Cu yang menjadi pencipta Ilmu Pedang Suling Emas dan Naga Siluman akan mengeluh dan menyesal bahwa ciptaannya hanya akan saling berlawanan, padahal sudah sepatutnya kalau saling bekerja sama untuk menghadapi kejahatan di dunia ini. Silakan, Saudara Sim!”
Maklum bahwa lawannya juga sungkan, maka Sim Hong Bu yang merasa sebagai penantang lalu menggerakkan pedangnya melakukan serangan pembukaan. Kam Hong juga menggerakkan sulingnya dan mulailah mereka saling serang. Mula-mula memang ada keraguan dan rasa kesungkanan dalam hati mereka sehingga serangan-serangan mereka itu tidak dilakukan dengan tenaga sepenuhnya. Akan tetapi sebagai ahli-ahli silat di mana ilmu silat itu telah mendarah daging kepada tubuh mereka, makin lama mereka menjadi semakin bersemangat karena menghadapi lawan yang amat tangguh.
Maka gerakan senjata mereka menjadi makin cepat dan berat dan tak lama kemudian, lenyaplah kedua orang itu terselimut gulungan sinar emas dan sinar biru yang terang menyilaukan mata. Terdengar pula suara pedang seperti suara mengaum-aum dan suara suling yang melengking-lengking, dan angin yang sangat keras menyambar, membuat daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang dan kadang-kadang seperti dilanda angin berpusing.
Ci Sian sendiri bengong, kagum sekali menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini. Diam-diam harus diakuinya bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh Sim Hong Bu memang hebat bukan main, dan agaknya sama sekali tidak kalah dibandingkan dengan Kim-siauw Kiam-sut yang dimainkan dengan suling emas itu. Sebagai seorang ahli, ia pun dapat mengikuti gerakan mereka, walau pun kadang-kadang gerakan kedua orang itu terlalu cepat untuk dapat diikuti dengan mata. Ia melihat betapa suheng-nya bersilat dengan baik sekali, hampir dapat dikata sempurna malah, memainkan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut, akan tetapi tetap saja ia masih melihat keraguan dalam gerakan suheng-nya itu, seolah-olah dia tak menghendaki perkelahian itu dan bertanding karena terpaksa sekali.
Setelah lewat seratus jurus, keduanya sudah benar-benar bebas dari keraguan dan keduanya kini sudah lupa diri. Yang ada hanyalah kegembiraan bertanding karena baru sekarang mereka benar-benar bertemu lawan yang setanding, dan baru sekali ini mereka bertanding tanpa ada sedikit pun perasaan benci atau marah. Kini mereka bertanding demi ilmu itu sendiri, seperti orang berlatih saja, akan tetapi jauh lebih hebat dan sungguh-sungguh karena keduanya tidak mau sampai kalah.
Maka, kini hanya jurus-jurus yang paling ampuh sajalah yang mereka keluarkan dan di dalam hati mereka penuh kekaguman terhadap lawan. Sukar dilihat siapa yang terdesak dan siapa yang mendesak di antara keduanya, karena betapa pun juga, setelah kini mereka melihat intinya, ada unsur-unsur yang sama dalam dasar ilmu pedang mereka. Hanya dalam hal tenaga dalam, Sim Hong Bu harus mengakui bahwa dia masih kalah setingkat! Akan tetapi, Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut demikian hebatnya sehingga kekalahan tenaga ini dapat ditutupnya dengan gerakan cepat dan aneh sehingga dia tidak harus mengadu tenaga secara langsung.
Serang menyerang terjadi, tikaman dan totokan ditukar, bacokan dan pukulan silih berganti, dan bukan hanya senjata mereka yang saling menyambar, melainkan juga tangan kiri mereka sering kali melakukan totokan dan pukulan maut yang amat hebat, yang kalau ditangkis menimbulkan getaran yang bahkan terasa pula oleh Ci Sian yang berdiri di pinggir.
Setelah lewat dua ratus jurus, Ci Sian memandang dengan alis berkerut. Sebagai seorang ahli, maklumlah dara ini bahwa perkelahian sehebat ini kalau dilanjutkan tentu hanya berakibat robohnya seorang di antara mereka, mungkin roboh untuk tidak dapat bangkit kembali atau tewas. Setiap serangan yang dilakukan mereka adalah serangan maut yang amat hebat, yang kalau mengenai lawan sudah pasti akan merenggut nyawa lawan!
Memang benarlah apa yang dipikirkan oleh Ci Sian ini. Setelah lewat dua ratus jurus Kam Hong yang lebih matang dalam hal latihan, dan juga memang lebih sempurna menguasai ilmunya, dapat melihat kelemahan-kelemahan yang walau pun sedikit dalam gerakan Hong Bu, namun cukuplah untuk dimasukinya dengan serangan kilat yang akan membuat lawan roboh. Akan tetapi pendekar ini tidak tega merobohkan Hong Bu dengan serangan maut. Dia sama sekali tidak ingin melukainya dengan berat.
Timbul keraguan dalam hatinya. Apa gunanya kalau dia menang? Sebaliknya, andai kata dia mengalah sekali pun, hal itu pasti akan diketahui oleh Sim Hong Bu dan juga oleh Bu Ci Sian dan tidak akan ada manfaatnya lagi, bahkan mungkin Hong Bu akan merasa tersinggung kalau dia sengaja mengalah. Maka, sebaiknya kalau dia memberi isyarat kepada pemuda itu bahwa dia tidak ingin bermusuhan dan bahwa dia bersedia menghentikan pertandingan itu dan bersedia pula mengalah.
Oleh karena itu, ketika dia kembali melihat lowongan yang merupakan kekosongan atau kelemahan dari lawan, secepat kilat sulingnya meluncur ke arah kiri dada Hong Bu dan sebelum pemuda ini dapat menghindarkan diri karena memang posisinya telah terdesak dan terkurung, tahu-tahu ujung suling sudah mengenai dada kirinya.
“Dukkk!”
Sim Hong Bu terkejut bukan main karena biar pun ujung suling itu dengan tepat sekali mengenai dada, namun tidak terasa apa-apa dan totokan tadi sama sekali tidak mengandung kekuatan sinkang sehingga ketika mengenai kulit dadanya lalu membalik! Dari heran, Hong Bu menjadi merah mukanya karena dia pun maklum bahwa lawannya sengaja tidak mengisi tenaga pada totokan tadi, dan hal ini hanya dapat diartikan bahwa lawan memang tidak menghendaki berkelahi dengannya. Padahal, dia pun mengerti benar bahwa kalau tadi Kam Hong mengisi totokannya dengan tenaga sinkang, dia tentu sudah roboh, kalau tidak mati seketika, sedikitnya tentu terluka parah atau roboh tertotok dan kalah.
Jelaslah bahwa pendekar yang dikagumi dan dihormatinya itu memang sengaja tidak mau mengalahkannya, hal ini benar-benar membuat dia merasa berterima kasih tetapi juga membuka matanya bahwa dia kalah jauh dalam hal pengalaman dibandingkan dengan pendekar sakti ini. Maka, kalau dia melanjutkan pertandingan itu, sama saja dengan mengaku bahwa dia tidak tahu diri…..
Komentar
Posting Komentar