SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-50


“Dia mencinta Ci Sian!” demikianlah berkali-kali hatinya berkata dengan perasaan tidak nyaman. Dia sendiri juga jatuh cinta kepada Ci Sian dan agaknya kini dia menemui seorang saingan berat dalam diri Sim Hong Bu, pemuda gagah perkasa ahli waris keluarga Cu yang telah mewarisi pula pedang pusaka Koai-liong Po-kiam itu.

Cin Liong menjadi semakin kagum pada waktu dia melakukan pengejaran dan sampai berpekan-pekan, bahkan lebih dari sebulan, belum juga dia mampu menyusul Hong Bu. Memang dia telah menemukan jejak pemuda itu dengan penyelidikan dan bertanya-tanya, tetapi Hong Bu selalu lenyap dengan cepatnya. Bahkan setelah dia mengejar ke barat, tiba-tiba saja jejak pemuda itu menuju ke utara, ke kota raja! Di dalam perjalanan mencari dan mengikuti jejak Hong Bu ini, Cin Liong mendengar tentang Kaisar yang tengah jatuh sakit berat dan betapa kini Pangeran Kian Liong yang menjadi pejabat dan pelaksana yang tertinggi.

Dia merasa amat gembira dan percaya sepenuhnya bahwa Pangeran itu tentu akan mengadakan perubahan-perubahan bijaksana seperti yang sering kali dikatakan dan dijanjikan oleh Pangeran itu. Keyakinan ini membuatnya menjadi lega dan dengan hati tenang dia melanjutkan pengejarannya.

Dan ketika dia tiba di kota Pao-ting di sebelah selatan kota raja, dia mendengar bahwa pemuda yang dikejarnya itu menuju ke hutan di sebelah barat kota itu, di Pegunungan Thian-hong-san. Keterangan ini didapatnya dari para penjaga kota yang mengenal jenderal muda ini, karena Pao-ting tidak jauh dari kota raja dan nama Kao Cin Liong amat dikenal karena kegagahannya. Dia cepat melakukan pengejaran ke daerah hutan di kaki pegunungan itu dan pada keesokan harinya pagi-pagi dengan hati berdebar dan juga girang dia melihat orang yang diburunya itu berada di bawah pohon bersama seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang berpakaian seperti seorang pemburu.

Siapakah pria berpakaian pemburu itu? Dan mengapa Hong Bu pergi ke tempat itu, di dalam hutan sunyi? Seperti kita ketahui, Hong Bu bingung bukan main ketika melihat Ci Sian menyerangnya kalang-kabut dan bahkan semakin nekat. Dia tidak takut kepada dara ini, akan tetapi melihat betapa dara itu menyerangnya dengan demikian mati-matian seperti seorang musuh besar dan berniat membunuhnya, hatinya terasa seperti ditusuk dan kedukaan membuat dia melupakan semua urusannya. Maka dia pun tidak kuat bertahan dan melarikan diri secepatnya karena dia khawatir kalau-kalau Ci Sian mengejarnya. Setelah melihat dara yang amat dicintanya itu menganggapnya sebagai musuh, Hong Bu menjadi lemas dan lenyap semua semangatnya untuk menghadapi orang-orang yang memusuhinya.

Dia lalu melakukan perjalanan cepat, tidak mau kalau sampai tersusul orang. Dia bahkan tidak bernafsu untuk berkelahi dengan siapa pun, yang teringat hanya Ci Sian, dan hatinya menjadi semakin kacau membayangkan betapa dara itu menyerangnya mati-matian! Hal seperti ini tidak mungkin dibiarkan saja, pikirnya. Dia jatuh cinta kepada Ci Sian dan satu-satunya jalan hanya meminangnya untuk menjadi isterinya! Dan dia mempunyai harapan baik karena agaknya Bu Seng Kin, pemimpin para patriot itu, suka kepadanya dan agaknya tidak akan menolak kalau dia meminang Ci Sian yang ternyata adalah puterinya!

Apa pun hasilnya nanti, berhasil mau pun gagal hal ini akan membuat hatinya lega dan tidak bimbang seperti sekarang ini. Biarlah dia ditolak kalau dara itu memang tidak dapat membalas cintanya. Akan tetapi harus ada ketentuan, ada kepastian, tidak seperti sekarang ini. Dia tahu bahwa sebenarnya dara itu tidak membencinya, bahkan melihat sinar mata dara itu kepadanya, dahulu sebelum terjadi pertikaian tentang permusuhan dan persaingan antara Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, dia pernah melihat sinar mata dara itu bersinar-sinar mesra kepadanya. Mungkin dara itu juga ada hati kepadanya, hanya karena urusan permusuhan itu, maka kini menjadi marah dan membencinya.

Demikianlah, Hong Bu lalu mencari pamannya, satu-satunya keluarga yang masih dimilikinya, yaitu Sim Hok An, juga bekerja sebagai pemburu. Akan tetapi Sim Hok An ini bukanlah paman asli, bukan adik mendiang ayahnya seperti halnya pamannya Sim Tek yang sudah tewas di tangan Su-ok dahulu itu, melainkan adik sepupu yang masih bernama keluarga sama, yaitu she (nama keluarga) Sim. Sim Hok An inilah satu-satunya keluarganya yang dapat menjadi walinya untuk mengajukan pinangan kepada Bu Seng Kin, meminang Ci Sian! Untuk keperluan itulah maka Hong Bu mencari-cari pamannya itu.

Tentu saja tadinya dia mencari ke tempat tinggalnya yang lama, akan tetapi dia mendengar bahwa pamannya telah pindah ke Pao-ting bersama keluarganya, yaitu seorang isteri dan dua orang anak dan cepat dia menyusul ke Pao-ting. Di tempat ini dia mendengar bahwa pamannya sedang bekerja, yaitu seperti biasa, pekerjaan memburu ke dalam hutan. Pekerjaan ini kadang-kadang sampai makan waktu seminggu. Setelah memperoleh banyak hasil buruan barulah pulang untuk menjual hasil buruan ke kota. Maka dia pun segera menyusul ke hutan itu. Dia sama sekali tidak tahu bahwa ada orang yang selalu membayanginya atau mengejarnya, ke mana pun dia pergi.

Demikianlah, akhirnya Cin Liong berhadapan dengan Hong Bu dalam hutan yang sunyi, ketika Hong Bu sedang bercakap-cakap dengan Sim Hok An, pada pagi hari itu.

“Sim Hong Bu, akhirnya aku dapat menemukan engkau!” Cin Liong berseru dengan lantang, hatinya girang sekali karena akhirnya pengejarannya berhasil.

Hong Bu yang tidak menyangka sama sekali akan dapat disusul oleh utusan Kaisar yang hendak merampas pedangnya ini terkejut, akan tetapi mukanya segera menjadi merah karena marah. Dia meloncat bangun, berdiri dengan tegak, dan menoleh kepada pamannya.

“Maaf, Paman. Aku mempunyai urusan pribadi dengan orang ini, biarlah kuselesaikan dulu urusanku dengan dia, baru kita sambung percakapan kita tadi.” Sikapnya tenang sekali.

Akan tetapi, melihat sikap dua orang muda yang sama gagahnya itu, Sim Hok An yang juga sudah bangkit berdiri segera menegur, “Hong Bu, apakah yang terjadi? Siapakah dia itu dan ada urusan apakah?”

Tentu saja pamannya dapat melihat sikap yang serius dari keduanya, maka Hong Bu lalu berkata dengan terus terang, “Paman, aku mempunyai sebatang pedang dan orang ini hendak merampasnya, maka hal ini harus kami putuskan dengan perkelahian. Harap Paman jangan mencampuri dan berdiri agak menjauh karena orang ini adalah Jenderal Kao Cin Liong, seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali!”

Terkejutlah orang setengah tua itu dan dia pun segera melangkah mundur dan duduk di bawah sebatang pohon agak jauh dari situ. Dia belum tahu bahwa keponakannya yang semenjak kecil telah menghilang, dan kabarnya bersama dengan Sim Tek melakukan perburuan di utara dan baru sekarang pulang itu, telah menjadi seorang yang amat lihai. Setelah pamannya itu mundur, barulah Hong Bu menghadapi Cin Liong.

“Nah, Kao Cin Liong, kita telah berdiri berhadapan sekarang. Di sini tiada orang lain dan Pamanku itu tentu tidak akan mencampuri. Kita adalah sama-sama laki-laki, katakanlah, apa yang kau hendaki maka engkau menyusulku ke tempat ini?”

“Sim Hong Bu, engkau tahu apa yang kukehendaki. Sayang bahwa ketika kita bertemu di rumah para pendekar itu, engkau melarikan diri....”

“Aku sama sekali tidak lari darimu, atau dari Kam-taihiap, atau dari siapa pun!”

“Kalau begitu, kenapa engkau melarikan diri?”

“Bukan urusanmu!” bentak Hong Bu dan mukanya berubah merah sekali.

Hatinya sedih karena harus bicara tentang urusan yang mendatangkan duka di hatinya itu, mengingatkan dia bahwa dia sudah dimusuhi oleh Ci Sian dengan mati-matian.

“Engkau tetap menghendaki pedang Koai-liong Po-kiam yang sebenarnya menjadi hak milikku sebagai ahli waris keluarga Cu di Lembah Naga Siluman?”

“Hemm, maksudmu Lembah Suling Emas?”

“Bukan, sekarang namanya telah menjadi Lembah Naga Siluman! Nah, jawablah.”

“Tidak salah, memang aku mencari untuk minta dikembalikannya pedang pusaka itu. Betapa pun juga, pedang itu tadinya adalah pusaka istana dan dicuri orang, maka harus dikembalikan ke sana.”

“Bagus! Dan jawabanku tetap seperti dahulu, yaitu engkau baru dapat merampas dan membawa pergi pedang itu melalui mayatku!”

“Baiklah, akan kucoba untuk merampasnya darimu, Hong Bu. Sesungguhnya, terus terang saja aku tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, dan bahkan aku tidak benci sama sekali kepadamu. Akan tetapi, engkau tahu bahwa aku adalah seorang petugas yang menerima perintah untuk merampas kembali pedang pusaka istana, dan karena engkau kebetulan orangnya yang membawa pedang itu, dan kalau engkau tidak mau menyerahkannya kepadaku dengan damai, terpaksa aku harus menggunakan kekerasan.”

“Bagus, kata-kata jantan! Aku pun ingin sekali mencoba sampai di mana lihainya putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang telah mengalahkan keluarga Cu!”

Mendengar disebutnya Naga Sakti Gurun Pasir, Sim Hok An menggigil dan mukanya pucat. Biar pun dia hanya seorang pemburu, akan tetapi keluarga Sim adalah pemburu yang berpengalaman dan banyak sekali kenalan di antara orang-orang kang-ouw, maka nama besar itu tentu saja pernah didengarnya. Juga dia mendengar tentang pedang Koai-liong Po-kiam yang lenyap dari istana itu. Siapa kira, ternyata pedang itu berada di tangan keponakannya, dan kini keponakannya itu akan bertanding melawan putera Naga Sakti Gurun Pasir. Hampir dia tidak percaya akan semua itu dan merasa seperti dalam mimpi.

Melihat betapa jenderal muda itu masih tidak mengeluarkan senjata, Hong Bu yang keistimewaannya hanyalah ilmu pedangnya yang memang luar biasa itu, perlahan-lahan mencabut Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar kebiruan yang menyilaukan mata. Sim Hok An terkejut dan tidak terasa lagi dia menggeser duduknya di belakang pohon dan mengintai dari balik batang pohon itu!

“Ahhh, memang pedang pusaka yang hebat. Pantas saja dijadikan rebutan!” kata Cin Liong.

Tadinya dia hendak mengadu kepandaian tanpa senjata karena memang di antara mereka tidak ada permusuhan atau kebencian pribadi, tetapi melihat betapa pemuda lawannya itu telah mengeluarkan pedang yang hendak dijadikan rebutan, dia tidak berani menghadapi pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan seperti itu, maka Cin Liong juga mencabut pedangnya, pedang tanda pangkatnya, sebatang pedang yang terbuat dari bahan yang baik pula, yang tidak takut menghadapi keampuhan senjata pusaka. Pedangnya itu mengkilap dan kalau digerakkan mengeluarkan sinar putih seperti pedang biasa yang tajam.

Sejenak mereka berdiri berhadapan, pedang di tangan dan hati ragu-ragu. Seperti juga lawannya, Hong Bu merasa betapa janggalnya keadaan mereka berdua. Tidak saling mengenal, bahkan tidak pernah ada urusan apa pun di antara mereka, tahu-tahu kini berdiri berhadapan sebagai musuh yang mungkin akan saling bunuh! Teringat pula dia kepada Ci Sian yang juga secara tiba-tiba saja berdiri menghadapinya sebagai musuh.

Dan dia pun menarik napas panjang. Sebelum menjadi murid keluarga Cu, dia sama sekali tidak pernah punya musuh! Kalau dia membenci Im-kan Ngo-ok misalnya adalah karena mereka itu jahat dan pula pamannya, Sim Tek, tewas di tangan Su-ok. Akan tetapi apa salahnya orang-orang seperti Ci Sian, Kam Hong, Kao Cin Liong dan ayahnya, Kao Kok Cu? Terutama sekali Ci Sian dan Kam Hong, sama sekali dia tidak ingin memusuhi mereka. Juga Cin Liong ini demikian gagah perkasa. Tapi kini harus berhadapan dengannya sebagai musuh!

“Kao Cin Liong, seperti juga kata-katamu tadi, aku tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, juga tidak membencimu. Akan tetapi kita berdua, oleh tugas masing-masing, terpaksa kini berhadapan sebagai lawan. Kalau aku sampai kesalahan tangan dan engkau terluka atau tewas di tanganku, harap kau suka maafkan!”

Cin Liong tersenyum dan merasa semakin tertarik. Dia akan lebih suka menjadikan pemuda ini teman dari pada lawan. “Demikian pula aku, Sim Hong Bu. Nah, mari kita mulai saja!”

Entah siapa di antara mereka yang menyerang terlebih dahulu. Serangan yang dilakukan setengah hati dan yang mudah ditangkis lawan, kemudian menanti sampai sang lawan melakukan serangan balasan. Akan tetapi begitu mereka mengadu tenaga dan teringat bahwa lawan yang dihadapi adalah seorang yang amat lihai, mereka menambah kecepatan dan tenaga, dan belasan jurus kemudian keduanya sudah saling mengerahkan kecepatan dan tenaga sinkang mereka sehingga tubuh mereka tidak nampak lagi oleh Sim Hok An yang makin lama semakin bengong dan takjub.

Apalagi ketika terdengar suara mengaung-ngaung mengerikan dari pedang di tangan Hong Bu, orang setengah tua itu semakin menjauhi tempat itu dan memandang dengan hati penuh ketakjuban, ketegangan dan juga kengerian. Dia melihat daun-daun pohon rontok seperti tersambar pisau tajam, dan dua gulungan sinar biru dan putih itu sungguh indah dipandang, tetapi kalau teringat bahwa sinar-sinar itu merupakan cengkeraman-cengkeraman maut, dia menjadi ngeri.

Sementara itu, dua orang pemuda itu sendiri makin kagum terhadap lawannya masing-masing. Rasa kagum yang bercampur rasa penasaran. Serangan-serangan lawan sungguh amat berbahaya, akan tetapi juga pertahanan lawan demikian kokoh kuatnya sehingga sukar ditembus oleh pedang mereka. Hanya ada perbedaan sedikit antara mereka!

Koai-liong Kiam-sut sungguh merupakan ilmu pedang yang amat tangguh dan ampuh. Pedang yang diputar sampai mengeluarkan suara menggeram dan menggereng, mengaum seperti seekor binatang buas itu saja sudah menunjukkan betapa anehnya gerakan-gerakan itu. Dan dalam hal ilmu pedang ini, harus diakui bahwa Cin Liong masih kalah kuat setingkat.

Ilmu Pedang Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti) adalah perombakan dari Ilmu Sin-liong-ciang-hoat, bukan ilmu pedang asli, dalam arti kata diciptakan sengaja dengan pedang. Biar pun hebat, namun gerakannya tidaklah sehebat dan seaneh Koai-liong Kiam-sut yang memang diciptakan untuk pedang yang khusus pula.

Akan tetapi, dalam hal sinkang dan ginkang, ternyata Hong Bu masih kalah setingkat pula. Hal ini adalah karena dasar latihan Hong Bu kalah oleh Cin Liong yang semenjak kecil sudah digembleng oleh ayahnya sendiri, yaitu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Dan karena masing-masing mempunyai kelebihan ini, maka keadaan mereka menjadi seimbang! Dengan ilmu pedangnya yang ampuh, Hong Bu berusaha mendesak lawannya, akan tetapi Cin Liong dapat menghalau semua itu dengan kelebihan tenaga sinkang dan juga kelebihan kecepatan gerakannya, dan yang dapat membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya.

Rasa kagum telah tidak terasa lagi kini, yang terasa hanyalah rasa penasaran dalam hati masing-masing! Memang, pementingan diri selalu paling menonjol dalam batin manusia, dan sinar kasih yang menyinar keluar itu tak tampak lagi karena tertutup oleh debu-debu, antara lain yang paling gelap adalah debu pementingan diri ini. Seperti sebuah lampu yang kacanya penuh debu sehingga sinarnya dari dalam tidak dapat menyorot keluar.

Karena penasaran itulah, maka biar pun dalam hati masing-masing tidak ada kebencian, dua orang pemuda itu mengerahkan seluruh daya keampuhan mereka untuk saling mengalahkan, merobohkan, melukai, bahkan membunuh. Dan perkelahian adu pedang itu sudah berlangsung lebih seratus jurus. Mereka sama kuat, sama ulet, dan biar pun sudah sekian lamanya, mereka terus bergerak dengan kekuatan dikerahkan seluruhnya, namun mereka tidak nampak lelah. Saling serang, saling desak, hebat bukan kepalang sehingga Sim Hok An yang menonton sambil bersembunyi di balik batang pohon menjadi pucat sekali wajahnya dan tubuhnya agak gemetar.

Kembali lima puluh jurus telah lewat. Tiba-tiba Hong Bu yang sudah merasa penasaran bukan main, mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan pedangnya berkelebat seperti halilintar. Sungguh serangan yang luar biasa dahsyatnya, jauh lebih dahsyat dari pada yang sudah-sudah.

Cin Liong terkejut, tidak mengira bahwa lawan masih dapat mengeluarkan jurus yang demikian dahsyatnya, yang agaknya merupakan jurus simpanan. Dia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga dan menangkis, berusaha untuk membikin pedang lawan terpental dengan mempergunakan kelebihan tenaganya.

“Cringgg....!”

Dua pedang bertemu, tetapi agaknya hal ini sudah diperhitungkan oleh Hong Bu karena pedangnya terpental, bukan ke belakang, melainkan menyeleweng dan meluncur ke arah leher Cin Liong dari samping dengan kecepatan kilat!

Cin Liong tidak dapat menangkis lagi karena datangnya serangan itu amat mendadak dan tidak disangkanya semula, maka cepat dia menjatuhkan diri ke depan miring ke kanan dan tangannya memukul ke depan karena dia menjatuhkan diri bukan hanya untuk mengelak, melainkan juga untuk balas menyerang.

“Hiaaattt....!” Bentakan keras dari Cin Liong ini berbareng dengan guratan ujung pedang yang mengenai pundak kanannya, akan tetapi pukulannya tadi yang juga dielakkan oleh Hong Bu masih menyerempet paha kaki lawan.

Keduanya meloncat mundur ke belakang, menahan rasa nyeri. Pundak kanan Cin Liong berdarah, kulitnya terobek berikut bajunya, sedangkan Hong Bu merasa betapa kaki kanannya, di atas lutut, nyeri bukan main, membuatnya agak terpincang! Ternyata dalam gebrakan hebat tadi, keduanya telah sama-sama menderita luka, biar pun tidak berat akan tetapi cukup mengejutkan dan membuat keduanya waspada.

“Engkau hebat, Hong Bu!” Cin Liong memuji.

“Dan engkau pun telah berhasil melukaiku, bukan main!” Hong Bu menjawab.

Tanpa berkata apa-apa kecuali itu, keduanya sudah maju lagi, kini bergerak dengan hati-hati, dan keduanya kembali saling serang dengan ganas. Akan tetapi, sebelum pedang mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung seperti tadi, tiba-tiba terdengar suara halus namun penuh wibawa, “Tahan senjata!”

Cin Liong segera mengenal suara ayahnya, maka dia meloncat ke belakang menjauhi lawan sambil melintangkan pedangnya. Sedangkan Sim Hong Bu yang juga segera mengenal pendekar sakti lengan buntung itu, menarik napas panjang.

“Ahhh, melawan puteramu saja aku tidak mampu menang, apalagi melawan ayahnya, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Betapa pun juga, jangan dikira aku takut. Majulah, Taihiap, dan aku tidak akan penasaran kalau tewas di tanganmu untuk membela nama keluarga Cu yang telah melepas budi kepadaku!” Dia pun melintangkan pedangnya dan memasang kuda-kuda menghadapi Pendekar Sakti Gurun Pasir.

Pendekar berlengan satu ini tersenyum dan juga melangkah maju mendekat “Orang muda, ketika kami datang ke lembah itu, adalah dalam rangka utusan Kaisar untuk mencari kembali pedang yang hilang. Maka bentrokan yang terjadi antara kami dan keluarga Cu hanyalah karena urusan tugas, bukan urusan pribadi. Sampai saat ini kami tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan keluarga Cu. Maka, kalau urusan tugas lalu dijadikan urusan pribadi, jika mereka itu mengalah terhadap kami lalu mendendam dan menyuruh murid mereka membalas kekalahan itu, apakah engkau anggap hal itu benar?”

Dengan jujur Sim Hong Bu menjawab, “Terus terang saja, Taihiap, hal itu memang tidak benar. Akan tetapi kalau seorang murid tidak memenuhi pesan dan permintaan gurunya, apakah hal itu juga benar?” Dia membalas bertanya.

Kao Kok Cu tersenyum, memuji kecerdikan pemuda ini yang menangkis pertanyaannya dengan sebuah pertanyaan yang tepat pula. “Memang, tentu saja tidak memenuhi permintaan guru pun merupakan hal yang tidak benar, akan tetapi harus ditinjau dulu apa macam permintaan itu! Ada dua macam permintaan, baik yang diajukan dari guru sendiri sekali pun, yaitu permintaan yang pantas dan tidak pantas. Kalau Suhu-mu minta agar supaya engkau melakukan hal yang tidak benar dan tidak pantas dan engkau memenuhinya, bukankah hal itu berarti satu hal yang sama sekali tidak berbakti, malah durhaka sifatnya?”

“Ehhh....?” Sim Hong Bu memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang ini dia mendengar ada orang berfilsafat bahwa memenuhi permintaan seorang guru malah merupakan hal yang durhaka dan tidak berbakti! “Apa maksudmu, Lo-taihiap?”

“Sim Hong Bu, kalau seorang murid melihat tindakan gurunya tidak benar, bukankah murid yang bijaksana akan mengingatkannya dan mencegah supaya gurunya jangan sampai melakukan tindakan itu. Kalau si murid malah membantu melakukan hal yang tidak benar itu, apakah dia dapat dinamakan murid yang baik, berbakti dan benar? Nah, tindakan gurumu mendendam kepada kami adalah tidak benar, hal ini telah kau katakan sendiri tadi. Akan tetapi mengapa engkau bersikeras untuk melaksanakan perintah gurumu yang tidak benar itu?”

Sim Hong Bu menjadi bingung.

Memang, urusan hauw atau ‘berbakti’ merupakah hal yang banyak membingungkan orang. Sejak jaman dahulu, berbakti terhadap guru atau orang tua dianggap sebagai ketaatan si anak terhadap guru atau orang tua. Dan melihat bahwa di sini terdapat suatu hal yang amat menguntungkan maka kata ‘berbakti’ itu dipergunakan oleh guru atau orang tua untuk membuat murid atau anak menjadi tidak berdaya!

Setiap kali seorang anak tidak menurut kata-kata orang tua, maka anak itu akan dicap sebagai anak ‘put-hauw’ (tidak berbakti) sehingga si anak terbiasa untuk mentaati segala perintah orang tua agar menjadi anak berbakti. Dan biar pun pada lahirnya si anak mentaati karena ingin disebut berbakti, di dalam hatinya si anak mengeluh dan memberi cap kepada orang tuanya sebagai ‘tidak mencintanya’. Maka timbullah celah yang besar antara orang tua dan anak.

Si orang tua ingin anaknya mentaatinya, dengan dalih bahwa semua perintahnya itu demi kebahagiaan dan kebaikan si anak, sikap seperti ini sesungguhnya bukan lain hanyalah sikap mementingkan diri sendiri, mencari enaknya sendiri, karena kalau anaknya taat, dialah yang akan merasakan senang dan berbahagia. Si orang tua sudah memastikan bahwa apa yang dianggapnya baik itu MESTI baik pula bagi si anak dan apa yang dianggapnya membahagiakan itu mesti pula membahagiakan si anak! Sikap seperti ini yang sampai sekarang masih dipraktekkan oleh orang-orang tua yang sesungguhnya timbul karena kekurang pengertian, menciptakan apa yang dinamakan ‘gap’ atau celah antara orang tua dan anak.

Adanya celah yang merenggangkan orang tua dan anaknya adalah karena tidak adanya kasih sayang, tidak adanya cinta kasih dalam batin masing-masing. Kalau ada cinta kasih, maka tidak ada lagi istilah berbakti atau durhaka, yang ada hanyalah kerja sama, saling membantu dalam hidup secara wajar, tanpa ingin disebut baik karena bantuan-bantuan masing-masing itu, yang ada hanyalah kasih sayang dan tidak ada sedikit pun keinginan untuk senang sendiri, menang sendiri, atau benar sendiri!

Betapa bahagianya sebuah rumah tangga jika terdapat kasih sayang ini di antara suami, isteri, dan anak-anak mereka! Peraturan-peraturan yang kaku dan dipaksakan hanya menimbulkan kemanisan lahir saja namun di dalam batin masing-masing merasa sakit hati dan menaruh dendam, kebencian terselubung senyum dan sikap ramah tamah palsu. Dan suasana seperti itu hanya dapat tercipta apabila dimulai dari diri sendiri! Bukan ingin mengatur orang lain.

Cinta kasih harus timbul dari batin sendiri, tanpa paksaan, dan cinta kasih sama sekali tidak mengharapkan balas dari orang lain. Akan tetapi cinta kasih mengandung daya mukjijat yang dapat membersihkan dan menerangkan orang lain pula!

Dalam kebingungan mendengarkan kata-kata yang baru sekali ini didengarnya namun yang dapat menusuk perasaannya karena dia merasa betapa semua ucapan itu tak dapat dibantah karena memang benar dan memang keadaannya pun demikian, maka Hong Bu mencari akal bagaimana untuk menjawab. Mendengar ucapan itu, matanya seperti terbuka betapa selama ini, semenjak dia melepaskan pakaian sebagai pemburu dan menjadi murid orang sakti dan memperoleh ilmu-ilmu yang membuat dia menjadi pendekar, dia merasa kehilangan sesuatu, dia merasa hidupnya tidak bahagia lagi, tidak seperti ketika dia masih menjadi seorang pemburu muda yang kasar dan bodoh.

Kini terbukalah matanya. Kiranya dia telah kehilangan kebebasan dan kewajaran! Dia telah terikat, dan dia terpaksa oleh ikatan itu untuk melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan suara hatinya, sehingga semua tindakannya ialah palsu dan menimbulkan konflik dalam batinnya sendiri! Dia harus melakukan hal-hal yang berlawanan dengan kehendak hatinya!

“Akan tetapi, Taihiap.... bukankah semua hal ini dimulai dari pihakmu? Kalau keluarga Kao tidak datang menyerbu ke lembah untuk merampas pedang, tidak mungkin akan terjadi pertandingan itu yang mengakibatkan guru-guruku kalah dan lalu mendendam!” Bantahannya ini lemah, namun setidaknya merupakan bantahan pula yang bukan tidak benar.

“Semua akibat tentu ada sebabnya, orang muda, dan kalau kita menelusuri sebabnya, maka tidak akan ada habisnya. Kami datang ke lembah karena kami diutus Kaisar, dan kami diutus Kaisar karena pedang dicuri oleh seorang penghuni lembah, dan tentu kalian mempunyai pula sebab-sebabnya atas perbuatan itu. Tidak akan ada habisnya. Maka yang penting sekarang adalah saat ini, apakah kita akan terus menimbulkan sebab-sebab baru dan akibat-akibat baru. Tergantung sepenuhnya di tangan kita.”

“Akan tetapi kalau Taihiap sekeluarga masih terus mengejar-ngejarku, untuk merampas pedang, mana mungkin aku....”

“Tidak lagi! Untung bahwa kedatanganku belum terlambat. Aku ingin memberitahukan kalian berdua bahwa mulai sekarang, pedang Koai-liong Po-kiam itu adalah sah menjadi milikmu, Sim Hong Bu.”

“Ayah....!” Cin Liong berseru heran.

Ayahnya tersenyum. “Tidak tahukah engkau bahwa Pangeran Mahkota telah merubah banyak sekali peraturan dan menyudahi segala macam pertikaian dengan tindakan-tindakan bijaksana? Di antaranya adalah pembangunan kembali biara Siauw-lim dan juga pengakuan bahwa Koai-liong Po-kiam adalah berasal dari keluarga Cu, maka pemerintah tidak menuntut kembalinya lagi.”

“Bagus....!” Cin Liong bersorak gembira dan setelah menyimpan kembali pedangnya dia lantas menghampiri Hong Bu. Pemuda ini pun tersenyum dan menyimpan Koai-liong Pokiam, kemudian melangkah ke depan sambil agak terpincang. Mereka saling berjabat tangan dengan gembira.

“Hong Bu, aku girang sekali bahwa kini kita dapat menjadi sahabat!”

“Aku pun girang sekali, Kao-goanswe.”

“Ehhh, apa-apaan menyebut jenderal di antara teman! Aku kagum sekali melihat ilmu kepandaianmu, Hong Bu.”

“Dan aku takluk kepadamu, Cin Liong. Kalau dilanjutkan aku tentu kalah.”

“Ahh, engkau terlalu merendah. Belum tentu!”

Suasana menjadi gembira sekali. Juga Kao Kok Cu ikut gembira karena kedatangannya tidak terlambat untuk memisahkan dua orang pemuda yang seperti dua ekor naga sakti sedang berlaga itu. Kalau dilanjutkan, tentu salah seorang di antara mereka akan tewas dan yang seorang lagi juga tentu tak luput dari pada luka-luka hebat.

Begitu mendengar keputusan Pangeran tentang pedang itu, cepat-cepat Kao Kok Cu meninggalkan kota raja, menyuruh isterinya menanti di kota raja dan dia sendiri cepat-cepat pergi menyusul dan mencari Cin Liong yang sedang melakukan pengejaran terhadap Sim Hong Bu. Dan untung dia datang tepat pada waktunya. Di Pao-ting dia mendengar dari penjaga kota tentang puteranya itu, maka dia cepat menyusulnya.

“Sim Hong Bu, kulihat pedangmu itu luar biasa sekali. Itulah yang dinamakan Koai-liong Kiam-sut?”

“Benar, Locianpwe,” jawabnya, kini menyebut Locianpwe kepada Pendekar sakti itu, “Saya diangkat sebagai ahli waris oleh mendiang suhu Ouwyang Kwan yang menyamar sebagai Yeti, dan sayalah satu-satunya orang yang berhak memiliki Koai-liong Po-kiam ini bersama ilmunya yang khas diciptakan untuk itu, yaitu Koai-liong Kiam-sut.” Dengan singkat Sim Hong Bu lalu menceritakan riwayat pertemuannya dengan Yeti sampai dia diangkat menjadi ahli waris.

Kao Kok Cu mengelus jenggotnya yang masih pendek itu, menarik napas panjang. “Di dunia persilatan muncul Koai-liong Kiam-sut dan juga Kim-siauw Kiam-sut, sungguh amat mengagumkan sekali!”

“Sayang sekali bahwa Suling Emas dan Pedang Naga Siluman terpaksa harus berdiri bertentangan....,” Hong Bu mengeluh.

“Ehh, kenapakah begitu, Hong Bu? Aku melihat bahwa engkau juga menantang pewaris Kim-siauw Kiam-sut, mengapa?” tanya Cin Liong.

Hong Bu menarik napas panjang. Memang hal ini amat menyusahkan hatinya, tidak hanya karena dia amat kagum kepada Kam Hong dan tidak ingin memusuhinya, terutama sekali karena Ci Sian juga merupakan pewaris Kim-siauw Kiam-sut. “Kembali karena ikatan dengan keluarga Cu....” dan dia pun menceritakan betapa keluarga Cu kalah oleh Kam Hong maka memesan kepadanya untuk mengadu ilmu dengan pewaris Kim-siauw Kiam-sut.

“Ah, sayang sekali....” kata Kao Kok Cu. “Agaknya masih ada kaitan dekat sekali dengan kedua ilmu itu, setidaknya bersumber sama.”

Setelah bercakap-cakap seperti sahabat-sahabat baik, akhirnya mereka berpisah. Cin Liong bersama ayahnya diperkenalkan kepada Sim Hok An yang bersembunyi sejak tadi. Hong Bu memperkenalkan dia sebagai satu-satunya keluarga yang masih ada, dan Sim Hok An memberi hormat kepada pendekar sakti dan puteranya. Kemudian Kao Kok Cu dan puteranya pamit dan mereka kembali ke kota raja di mana Wan Ceng menanti-nanti mereka.

Di dalam perjalanan, ayah dan anak ini tiada hentinya membicarakan Sim Hong Bu sebagai seorang pemuda yang sederhana, gagah perkasa dan berbudi baik. Seorang pendekar sejati! Dan dalam kesempatan berdua itu, Cin Liong lalu mengaku terus terang kepada ayahnya tentang cintanya kepada Ci Sian.

Kao Kok Cu terkejut dan heran. “Apa? Dara pewaris Kim-siauw Kiam-sut yang.... ehh, galak sekali itu?”

“Di antara ribuan orang gadis yang kujumpai, hanya dialah yang menjatuhkan hatiku, Ayah. Memang ia keras hati, kekerasan hati yang terbuka dan jujur.... ehh, bukankah Ayah juga menyukai keterbukaan dan kejujuran?” Pemuda yang cerdik ini mengingatkan ayahnya secara halus bahwa ibunya juga seorang wanita yang keras hati.

Ayahnya tertawa dan mengerti isyarat itu. “Ceritakanlah perkenalan antara kalian,” katanya.

Cin Liong lalu menceritakan pertemuannya yang pertama kali dengan Ci Sian, ketika dia menyamar dan menyusup ke dalam benteng tentara Nepal yang ketika itu dipimpin oleh Nandini, ibu Siok Lan yang kini ikut Bu-taihiap sebagai satu di antara isteri-isterinya.

“Pada waktu itu pun, sebetulnya aku sudah tertarik kepadanya, maka ketika Siok Lan memperlihatkan kasih sayangnya, aku tidak dapat menerimanya, Ayah. Aku mencinta Ci Sian, dan hal ini baru terasa benar di hatiku ketika ia menyerangku, yaitu ketika ia membela ayah kandungnya yang sedang bertanding denganmu itu.”

Kao Kok Cu mengangguk-angguk. “Lika-liku cinta memang aneh, dan aku tidak heran bahwa engkau jatuh cinta kepadanya. Ia memang seorang dara yang penuh semangat, yang gagah perkasa dan memiliki keberanian istimewa, juga kulihat ilmu silatnya hebat sekali, agaknya tidak di sebelah bawah tingkatmu atau tingkat Hong Bu.”

“Itulah yang amat mengherankan hatiku, Ayah. Saat aku bertemu dengannya beberapa tahun yang lalu di Himalaya itu, ilmu silatnya biasa saja. Akan tetapi sungguh heran, ketika kami mengadu senjata, ia memiliki tenaga sinkang yang luar biasa hebat, malah ada dua macam hawa yang bertentangan dalam tenaganya, amat panas dan dingin.”

“Ehhh....? Tenaga sinkang seperti yang dimiliki keluarga Pulau Es?”

“Agaknya begitulah, Ayah. Akan tetapi lepas dari semua itu, bagaimana pendapat Ayah tentang cintaku kepadanya?”

“Bagaimana pendapatku? Ehh, apakah ia juga mencintaimu? Itu yang penting.”

Cin Liong menarik napas panjang. “Sayang, aku tidak tahu dengan pasti, Ayah. Melihat sikap dan sinar matanya, agaknya.... aku boleh berharap demikian. Akan tetapi sungguh sayang, aku sendiri belum pernah menyatakan cinta dan bertanya, karena memang ketika kami bertanding di sarang para pendekar itulah aku sadar bahwa sesungguhnya aku cinta padanya.”

“Ahh, sungguh luar biasa kalau diingat bahwa ia itu kebetulan anak Bu Seng Kin lagi!”

“Mengapa, Ayah?”

“Lupakan engkau? Keluarga Bu marah-marah dan mendendam kepada kita karena usul mereka denganmu kita tolak. Dan sekarang agaknya.... kita yang akan berbalik melamar anak perempuan mereka yang lain. Betapa janggalnya ini!”

“Ayah khawatir kalau lamaran kita ditolak? Kukira tidak perlu takut, Ayah. Kita harus mengajukan pinangan kepada Bu-locianpwe, itu adalah menurut kepantasan dan peraturan belaka, karena dia adalah ayah kandung Ci Sian. Akan tetapi, melihat sikap Ci Sian terhadap ayahnya, andai kata keluarga Bu menolak pinangan itu sekali pun, aku masih belum putus asa selama belum mendengar keputusan Ci Sian sendiri. Lagi pula kalau Bu-locianpwe menolak, aku masih dapat meminang kepada Ci Sian sendiri, atau kepada suheng-nya yang agaknya malah lebih dekat dengan Ci Sian dari pada ayah kandungnya sendiri.”

Pendekar sakti itu menarik napas panjang. “Mari kita bicarakan persoalan ini dengan Ibumu, Cin Liong. Baru kita putuskan apa yang akan kita lakukan dalam urusan ini.”

Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja dengan cepat. Betapa pun juga, mereka merasa bergembira bahwa tugas-tugas Cin Liong telah dapat diselesaikan dengan baik. Pertama, Pangeran Kian Liong telah dapat diselamatkan dan ke dua, urusan pedang pun telah selesai dengan baik, sungguh pun kedua hal itu tidak dapat dikatakan bahwa tenaga keluarga Kao saja yang membereskannya…..

********************

Bermacam perasaan teraduk dalam hati Cia Han Beng saat diam-diam meninggalkan kota raja. Ibunya telah tewas! Biar pun hal itu tidak diumumkan, namun dia dapat menduganya dengan jelas. Dia mendengar bahwa Kaisar tiba-tiba menderita sakit, dan menurut desas-desus yang didengarnya, penyakit Kaisar adalah luka yang keracunan. Bagaimana Kaisar tiba-tiba menderita luka yang membuatnya menjadi sakit payah kalau bukan dilakukan oleh ibunya? Tentu ibunya telah menyerang Kaisar, nyaris berhasil, akan tetapi tentu telah menebus dengan nyawa sendiri. Hal ini dia yakin benar karena siapakah yang akan mampu lolos dengan selamat setelah percobaannya membunuh Kaisar?

Dia merasa berduka. Tentu saja! Ibu kandungnya sudah tewas dan dia tidak dapat membayangkan bagaimana kematian ibunya itu. Ditangkap dan disiksa lebih dulu? Kiranya, tidak demikian. Ibunya bukan seorang bodoh, bahkan Ibunya memiliki ilmu silat yang lumayan. Kalau usahanya gagal, tentu ibunya tidak membiarkan dirinya ditangkap dan disiksa, melainkan membunuh diri. Kiranya hanya ada dua kemungkinan. Ibunya mati bunuh diri setelah gagal, atau tewas di tangan Kaisar yang dia tahu memang memiliki kepandaian silat lebih tinggi dari pada ibunya. Betapa pun juga, Kaisar telah menderita luka parah sekali.

Dia mendengar pula tentang diangkatnya Pangeran Kian Liong sebagai penggantinya dan mendengar tentang perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Pangeran yang bijaksana itu. Hal ini mengurangi kedukaannya dan kedukaan karena kematian ibunya itu terhibur oleh kebanggaan akan jasa ibunya! Ya, ibunya berjasa besar. Ibunya telah berhasil, jauh lebih berhasil dari pada usaha ratusan bahkan mungkin ribuan orang pendekar patriot! Ibunya telah menyerang Kaisar dengan cara langsung, dan telah memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan yang amat baik bagi para patriot! Ibunya seorang patriot sejati! Mengorbankan diri dan menghembuskan nyawa akan tetapi menolong nasib rakyat dan para pendekar! Patut dibanggakan!

Akan tetapi, di samping semua perasaan itu ketika dia meninggalkan kota raja, ada suatu perasaan duka yang masih menyelinap di dalam hatinya kalau dia teringat kepada Ci Sian. Dia mencinta dara itu. Akan tetapi dia melihat kenyataan bahwa dara itu tidak membalas cintanya, bahwa dara itu tidak mencintanya, dan pertentangan paham di antara mereka tentu akan merupakan jurang yang amat lebar yang akan memisahkan mereka. Dengan adanya perbedaan paham tentang perjuangan itu kiranya tidaklah mungkin dapat terjalin pertalian kasih sayang di antara mereka. Dia bukan seorang pemuda yang berpikiran sempit, melainkan orang yang sejak kecil telah digembleng oleh berbagai kepahitan hidup sehingga tidak menurutkan perasaan belaka.

Akhirnya dia berkunjung ke Cin-an, diterima dengan amat ramah-tamah oleh keluarga Bu Seng Kin. Apalagi ketika keluarga Bu mendengar bahwa pemuda itu adalah putera dari selir Kaisar yang telah menyerang Kaisar dan mengakibatkan Kaisar terluka parah kemudian Kaisar tewas oleh lukanya itu, maka pandangan para patriot terhadap Cia Han Beng menjadi naik dan pemuda itu dianggap sebagai putera seorang patriot sejati.

Di dalam pertemuan antara Cia Han Beng dengan para patriot dan terutama dengan keluarga Bu di Cin-an itu, terjadilah kontak antara dua hati melalui sinar mata mereka, yaitu antara pemuda Kun-lun-pai ini dan Bu Siok Lan.

Kontak ini dimulai ketika pemuda itu untuk pertama kalinya datang memperkenalkan diri sebagai seorang sepaham, yaitu golongan patriot yang menentang penjajahan bangsa Mancu. Karena ingin sekali mengukur kelihaian pemuda ini, maka Bu Seng Kin lalu mengajaknya ke lian-bu-thia dan di ruangan ini Bu-taihiap lalu minta kepada Han Beng untuk memperlihatkan ilmu silatnya dan sebagai pasangannya adalah Siok Lan. Tentu saja tadinya kedua pihak ini saling memandang rendah.

Siok Lan memang mempunyai watak keras dan agak tinggi hati. Hal ini mungkin timbul karena ibunya adalah bekas panglima, dan ayahnya adalah seorang pendekar sakti yang amat terkenal. Maka, mendengar bahwa pemuda yang baru datang itu adalah murid Kun-lun-pai, dia memandang rendah. Akan tetapi begitu mereka bergebrak dan saling serang, keduanya terkejut.

Han Beng tidak menyangka bahwa Bu Siok Lan ternyata memiliki kepandaian yang cukup hebat dan tidak mengecewakan menjadi puteri Bu-taihiap, pemimpin para patriot di Cin-an itu. Sebaliknya Siok Lan terkejut bukan main karena hanya dalam beberapa gebrakan saja tahulah dia bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang tinggi, dan bahkan tenaga sinkang-nya jauh lebih kuat dari pada tenaganya sendiri. Dan timbullah kekaguman dalam hatinya, apalagi ketika Han Beng tidak mendesaknya melainkan banyak bersikap mengalah.

Hal ini tidak luput pula dari pandangan Bu-taihiap yang tajam. Seorang pemuda yang lihai sekali, pikir pendekar ini. Dan memiliki watak yang halus dan baik sehingga mau pula mengalah terhadap puteri tuan rumah dalam pibu persahabatan itu.

Setelah lewat seratus jurus, Siok Lan mencabut pedangnya dan minta untuk bertanding ilmu pedang.

“Harap Cia-enghiong suka memberi pelajaran ilmu pedang kepadaku,” demikian kata Siok Lan sambil mencabut pedangnya. Napasnya agak memburu dan lehernya penuh keringat setelah ia harus melayani lawan sampai seratus jurus tadi.

Cia Han Beng tersenyum. “Ah, Nona Bu sungguh terlalu merendahkan diri,” katanya. “Sebagai puteri Bu-locianpwe, tentu ilmu pedangmu hebat bukan main. Mana berani aku main-main dengan ilmu pedangmu? Biarlah aku mengaku kalah saja.”

Bu-taihiap senang akan sikap ini, dan diam-diam timbul harapan dalam dirinya untuk dapat menjodohkan puterinya itu dengan pemuda ini. Pemuda ini, dibandingkan dengan Jenderal Muda Kao Cin Liong yang pernah menolak perjodohan yang diusulkannya itu, tidaklah kalah terlalu banyak! Dia tahu bahwa pemuda ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang tertinggi dari para pimpinan Kun-lun-pai agaknya.

“Cia-enghiong, harap jangan bersikap sungkan. Anakku yang bodoh ini sudah mohon petunjukmu, dan kami sendiri pun sudah lama tidak pernah melihat Kun-lun Kiam-sut. Maka, harap Cia-enghiong tidak terlalu pelit untuk memperlihatkan sampai di mana kemajuan ilmu pedang Kun-lun-pai yang amat terkenal itu.”

Karena desakan pendekar itu, terpaksa Cia Han Beng menjura kepada Siok Lan sambil berkata, “Maafkan, Nona.”

Dan tangannya sudah mencabut sebatang pedang yang begitu dicabut tampak sinar merah yang seperti warna darah. Itulah pedang Ang-hio-kiam (Pedang Daun Merah) pemberian suhu-nya, sebuah di antara pedang-pedang pusaka dari Kun-lun-pai. Melihat pedang bersinar merah ini, keluarga Bu memandang kagum karena mereka semua sebagai ahli-ahli silat mengenal sebatang pedang pusaka yang baik.

“Siok Lan, engkau pakailah pedangku ini!” Tiba-tiba Nandini berkata sambil mencabut pedangnya dan menyerahkannya kepada Siok Lan.

Karena dara ini mengenal pedang ibunya sebagai pedang hadiah dari Raja Nepal dan merupakan sebatang pedang yang baik pula, maka ia pun cepat menukar pedangnya. Tentu saja di samping ingin meminjamkan pedangnya kepada puterinya agar dapat menandingi pedang merah lawan, juga Puteri Nandini memperkenalkan diri secara tidak langsung bahwa ia adalah ibu Siok Lan.

Dan memang Han Beng memandang dengan rasa heran dalam hatinya. Dari suaranya, dia dapat menduga bahwa wanita itu bukanlah seorang wanita Han, akan tetapi wanita setengah tua itu selain cantik, juga memiliki sikap yang gagah sekali. Dia hanya dapat menduga bahwa tentu ibu Siok Lan itu adalah seorang wanita dari suku bangsa yang jauh di barat atau di utara, tapi sepatutnya dekat daerah Tibet.

“Cia-enghiong, mulailah!” Siok Lan melintangkan pedang ibunya di depan dada sambil tersenyum. Hatinya telah terpikat melihat betapa tadi dengan tangan kosong ia sama sekali tidak berdaya menghadapi pemuda perkasa ini.

“Silakan, Nona, aku sudah siap,” kata Cia Han Beng yang tentu saja sebagai seorang tamu, apalagi sebagai seorang pria yang menghadapi seorang wanita, merasa segan untuk memulai dengan serangan lebih dulu. Hal ini menyenangkan hati Siok Lan dan setelah mengeluarkan seruan panjang yang nyaring akan tetapi juga merdu, ia sudah menggerakkan pedang di tangannya itu membuka serangan.

Han Beng menangkis dan pemuda ini dengan hati-hati sekali menjaga agar jangan sampai pedangnya merusak pedang gadis itu. Terjadilah pertandingan ilmu pedang yang amat indah. Semua orang memandang kagum karena permainan pedang pemuda Kun-lun-pai itu terkandung kekuatan yang dahsyat sekali.

Setelah lewat lima puluh jurus, Siok Lan sudah tak dapat melakukan serangan balasan lagi. Semua gerakannya tertutup, dan walau pun pemuda itu menyerangnya dengan perlahan, dan lambat saja bagi pemuda itu, namun bagi Siok Lan sudah membuatnya repot bukan main. Akhirnya, oleh karena napasnya memburu dan lengannya yang memegang pedang terasa sangat lelah dan kehabisan tenaga karena setiap tangkisan pedangnya mendatangkan getaran hebat yang membuat seluruh buku tulangnya nyeri, Siok Lan meloncat ke belakang.

“Cia-enghiong, aku menerima petunjukmu. Terima kasih!” dan gadis ini lalu menjura dan tanpa banyak cakap lagi lalu melarikan diri ke ruangan belakang. Jangan dikira bahwa gadis ini merasa malu karena kalah, melainkan malu karena melihat perasaannya sendiri terhadap pemuda itu.

Pemuda itu sendiri pun tergerak hatinya. Dia melihat seorang dara yang selain cantik manis akan tetapi juga penuh semangat perjuangan, puteri seorang pemimpin pejuang. Tentu saja dia tidak mungkin dapat membandingkan gadis yang mana pun juga dengan Ci Sian yang telah merebut hatinya untuk pertama kalinya, juga dia tidak dapat membandingkan kepandaian Siok Lan dengan Ci Sian yang benar-benar membuatnya kagum sekali. Dia sendiri belum tentu akan mampu mengalahkan Ci Sian seandainya dia mengeluarkan seluruh kepandaiannya sekali pun. Akan tetapi, dia tertarik kepada Siok Lan yang sepaham dengan dia, yaitu berjiwa patriot menentang penjajahan.

Dan oleh karena itulah, setelah beberapa hari kemudian Bu Seng Kin dan keluarganya mengundangnya untuk bicara tentang perjodohan, dan ketika keluarga itu mengusulkan pertalian jodoh antara dia dan Bu Siok Lan, Han Beng menerimanya dengan girang.

“Karena saya kini telah yatim piatu dan tidak mempunyai anggota keluarga lagi, maka untuk urusan ini sebaiknya kalau saya meminta doa restu dari Suhu di Kun-lun-pai,” demikian saja dia menjawab.

“Tentu saja, hal itu baik sekali!” kata Bu Seng Kin. “Biarlah kita mencari hari baik dan kami akan mengirim utusan menghadap ke Kun-lun-pai dan membicarakan urusan perjodohan ini kepada mereka dengan resmi. Sementara ini, kita anggap bahwa engkau telah bertunangan dengan Siok Lan.”

Tentu saja sebelum membicarakan urusan perjodohan itu dengan Han Beng, lebih dulu Bu Seng Kin dan Nandini telah bicara dengan Siok Lan dan melihat gadis itu agaknya tak menolak, bahkan nampak malu-malu sebagai tanda kalau seorang perawan dilamar orang dan tidak menolak.

Dan untuk pertunangan atau tali perjodohan yang disetujui kedua pihak ini, walau pun belum diresmikan oleh karena mereka belum menghadap pimpinan Kun-lun-pai yang sebetulnya hanya merupakan wakil-wakil atau wali yang tidak langsung saja dari Han Beng dan tidak mungkin akan menolaknya, maka pertunangan itu lalu dirayakan secara sederhana oleh keluarga Bu. Hadir dalam perayaan sederhana itu para patriot pejuang yang menganggap Han Beng sebagai orang yang berjasa besar dalam perjuangan mereka.

Karena pesta berlangsung di antara golongan sendiri, maka biar pun diadakan dengan sederhana tapi amat meriah. Tak ada golongan luar yang diundang, maka percakapan yang terjadi dalam pesta kecil pun itu berjalan dengan lancar dan terbuka. Akan tetapi, betapa heran dan terkejut hati semua orang ketika penjaga di luar dengan suara lantang mengumumkan datangnya keluarga Kao dari kota raja! Semua percakapan terhenti dan pihak tuan rumah, diikuti keluarganya, bangkit dan berjalan ke pintu untuk menyambut.

Keheranan yang tadinya menyelinap di dalam hati Bu Seng Kin berubah menjadi kejutan besar sekali. Alisnya berkerut dan sepasang matanya memandang tajam ketika dia melihat bahwa yang muncul adalah tiga orang yang pernah datang di tempat ini dan menggegerkan semua sahabatnya para patriot. Mereka ini bukan lain adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu, isterinya yang berwatak keras dan juga lihai itu, dan puteranya, Jenderal Kao Cin Liong! Tentu saja jantungnya berdebar tegang dan biar pun dia pernah kalah oleh pendekar sakti dengan satu lengan itu dan isteri-isterinya juga kalah oleh keluarga Kao, namun dia tidak merasa gentar, bahkan memandang marah.

Bu Seng Kin cepat mengangkat kedua tangannya ke depan dada, menghormat kepada tiga orang tamu itu. “Ah, kiranya keluarga Kao yang gagah perkasa yang telah datang. Harap banyak maaf karena tidak mengetahui terlebih dahulu akan kunjungan Sam-wi, maka kami tidak dapat melakukan penyambutan secara selayaknya.”

Kao Kok Cu tersenyum dan mengangkat tangannya ke depan dada. “Maaf, maaf...., kamilah yang seharusnya minta maaf karena datang tanpa memberi tahu terlebih dahulu sehingga agaknya kami amat mengganggu Bu-enghiong dan para sahabat yang gagah perkasa, yang agaknya sedang mengadakan pesta.”

“Ahh, sama sekali tidak mengganggu. Malah kebetulan, silakan Sam-wi masuk dan duduk sebagai tamu kehormatan kami. Hendaknya Sam-wi ketahui bahwa malam ini kami sedang merayakan pertunangan puteri kami.”

Mendengar ini, tiga orang itu menjadi girang sekali, meski ada pula perasaan tidak enak dalam hati mereka. Pihak keluarga Bu pernah mengusulkan tali perjodohan dengan keluarga mereka, dan mereka telah menolaknya. Dan kini, setelah gadis yang pernah ditolak itu bertunangan dengan orang lain, mereka datang sebagai tamu yang tidak diundang!

“Maaf, kalau begitu kami tidak berani mengganggu kegembiraan keluarga Bu-enghiong. Biarlah kami datang besok pagi saja,” kata Kao Kok Cu.

“Ahh, kenapa sungkan-sungkan? Silakan, kami tahu bahwa Sam-wi merasa sungkan dan canggung karena kami tidak mengundang. Akan tetapi, biarlah sekarang kami mengundang Sam-wi untuk hadir dan duduk sebagai tamu kami yang terhormat.”

Kao Kok Cu memandang kepada isterinya. Wan Ceng adalah orang yang berhati keras dan terbuka. Kini melihat sikap tuan rumah, ia pun mengangguk kepada suaminya dan wanita gagah ini melepaskan kalungnya yang dihias mainan seekor naga emas mata mutiara biru yang amat indah.

Setelah mereka masuk ke dalam ruangan itu, diikuti pandang mata seluruh tamu, juga pandang mata Bu Siok Lan yang mukanya sebentar berubah pucat dan sebentar berubah merah, Wan Ceng melopori keluarganya, menghampiri Siok Lan dan berkata, “Kami merasa gembira sekali memperoleh kesempatan untuk mengucapkan selamat atas pertunanganmu, Nona Bu Siok Lan. Dan sebagai tanda bahwa kami sekeluarga ikut merasa turut gembira, terimalah sebuah tanda mata dari kami ini!” Wan Ceng menyerahkan kalungnya yang amat indah itu.

Siok Lan girang sekali melihat sikap wanita gagah perkasa ini. Setelah ia memandang kepada ayah bundanya dan melihat isyarat yang menyetujui, dia pun lalu memakai kalung itu dibantu oleh Wan Ceng, lalu menghaturkan terima kasih. Peristiwa ini seolah-olah memecahkan semua dinding pemisah di antara mereka dan tiga orang tamu agung ini segera memberi selamat kepada Bu Seng Kin, kepada Nandini, bahkan mereka bertiga lalu diperkenalkan dengan calon suami Siok Lan, yaitu Cia Han Beng.

Ketika mendengar siapa adanya tamu-tamu agung itu, tentu saja Han Beng terkejut setengah mati dan memandang kepada pria berlengan buntung itu dengan penuh kagum. Nama besar Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir tentu saja sudah sering kali didengarnya dan tidak disangkanya bahwa kini dia akan berhadapan dengan pendekar itu, bahkan menerima ucapan selamat atas pertunangannya. Di lain pihak, ketika mendengar bahwa tunangan Siok Lan adalah murid utama dari Kun-lun-pai, keluarga Kao juga merasa kagum.

Mereka bertiga kemudian dijamu sebagai tamu-tamu kehormatan dan semua orang bergembira ria pada pesta sederhana itu. Di dalam percakapan mereka selanjutnya, kedua pihak adalah orang-orang yang berjiwa pendekar, hanya persoalan politik saja yang memisahkan mereka menjadi golongan patriot yang anti pemerintah dan golongan yang membantu pemerintah. Akan tetapi, keluarga Bu ini maklum bahwa belum tentu pembantu-pembantu pemerintah merupakan penjilat-penjilat yang hanya haus akan kekuasaan dan harta belaka. Mereka melihat kenyataan betapa orang seperti Kao Cin Liong itu biar pun menjadi seorang panglima, namun dia menjadi panglima karena ingin menenteramkan kehidupan rakyat, dan dia pun berani menentang ketidak adilan di kalangan atas.

Dalam kesempatan itu pula, pada saat menjelang bubar pesta, Kao Kok Cu mendapat kesempatan baik untuk menyatakan isi hatinya kepada pihak tuan rumah. “Bu-enghiong, sesungguhnya amat janggallah apa yang akan kami kemukakan ini, dan kalau tidak mengingat bahwa keluarga Bu adalah keluarga gagah perkasa, yang seperti juga kami tentu akan lebih dapat menerima keterbukaan dan kejujuran, agaknya kami tidak akan berani mengemukakan maksud hati kami ini.”

Bu Seng Kin memandang tajam penuh selidik, juga penuh keheranan hati. “Ah, urusan apakah gerangan yang dikandung dalam hati Kao-taihiap? Memang lebih baik segala urusan dikeluarkan melalui mulut dan diperbincangkan sampai beres, daripada disimpan di dalam hati dan dapat menimbulkan penyakit.”

Kao Kok Cu menarik napas panjang, lalu memandang kepada Cin Liong yang bersikap tenang saja. Kemudian memandang kepada isterinya. Melihat sikap suaminya yang kelihatan amat sungkan itu, Wan Ceng merasa kasihan dan ia pun berkata dengan terus terang kepada Bu Seng Kin, “Beginilah, Bu-enghiong. Terus terang saja kami datang mengunjungi keluargamu adalah untuk melakukan lamaran terhadap puterimu....”

“Ehhh....!” Puteri Nandini bangkit berdiri dan mukanya menjadi pucat.

Wan Ceng tersenyum. “Maaf, tentu saja kami tidak gila untuk meminang puterimu yang telah mengikat jodoh dengan orang lain. Maksud kami adalah melamar Bu Ci Sian.”

Nandini duduk kembali dan mukanya menjadi merah lagi. Bu Seng Kin terbelalak, lalu pandang matanya nampak muram.

“Untuk putera tunggal Ji-wi?” tanya Bu Seng Kin kepada suami isteri itu sambil memandang kepada Kao Cin Liong.

Kini Kao Kok Cu yang menjawab karena pertanyaan itu terasa amat tidak menyedapkan hatinya, “Bu-enghiong, sekali lagi kami mohon maaf. Tentu engkau sendiri mengerti bahwa soal perjodohan adalah soal hati dari orang yang bersangkutan. Kami orang tua sekali pun tidak berhak mencampuri dan kami sebagai orang tua hanya melaksanakan saja hasrat hati anak yang bersangkutan. Jadi, tentu engkau maklum pula bahwa putera kami telah jatuh cinta kepada puterimu, yaitu Bu Ci Sian, karena inilah kami mengajukan pinangan.”

Ucapan pendekar sakti berlengan satu itu sudah cukup jelas. Di situ terkandung penyesalan bahwa keluarga Kao pernah menolak usul ikatan jodoh dan kini malah mengajukan pinangan untuk puteri keluarga Bu yang lain. Semua itu dilakukan karena permintaan anak, dan juga dia mengingatkan bahwa jodoh adalah urusan hati, urusan cinta kasih antara kedua orang muda, oleh karena itu dapat saja terjadi seperti keadaan mereka, yaitu menolak Siok Lan dan meminang Ci Sian.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman