SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-49


“Bu-locianpwe!” Kao Cin Liong memandang dengan mata terbelalak marah mendengar makian itu.

“Cin Liong, mundurlah dan biarkan aku menghadapi Bu-taihiap, biar tua sama tua!”

Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat, cepat bukan main dan tahu-tahu pria setengah tua berlengan buntung sebelah itu telah berdiri di dekat puteranya! Cin Liong menjura kepada Bu Seng Kin, dan tanpa berkata apa-apa lagi dia pun mundur dan duduk di dekat ibunya.

Kini puncak pertemuan itu pun terjadilah dan semua orang merasakan ketegangan ini, tahu pula bahwa kini berdiri dua orang setengah tua yang sama-sama sakti dan memiliki nama yang amat terkenal di dunia kang-ouw, walau pun keduanya jarang terjun ke dalam urusan dunia. Mereka itu sama-sama tenang dan berhadapan, saling pandang sambil tersenyum simpul, seolah-olah dua orang itu adalah sahabat-sahabat lama saling jumpa dan berhadapan, sama sekali tidak nampak kemarahan membayang di wajah mereka, sama sekali bukan seperti dua orang calon lawan yang saling berhadapan!

Hanya pada wajah kedua orang pria gagah inilah nampak perbedaannya. Kalau wajah Bu-taihiap selalu tersenyum ramah, wajah seorang pria tampan yang menarik hati, sebaliknya pada wajah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu, biar pun juga tampan dan terang, namun wajah ini nampak amat berwibawa, terutama sekali sepasang matanya yang mencorong seperti mata naga itu! Wajah Si Lengan Buntung ini mendatangkan rasa segan dan jeri bagi mereka yang berhadapan dengannya dan yang mempunyai niat buruk. Pada saat itu, Kao Kok Cu memandang wajah lawan dengan penuh perhatian dan terdengar suaranya yang tenang dan tegas.

“Bu-taihiap, sayang sekali bahwa seorang pendekar seperti engkau masih mampu mengeluarkan kata-kata seperti itu. Perlu diketahui bahwa kami keluarga Kao, sejak dahulu, di jaman sebelum Pemerintah Ceng berdiri, nenek moyang kami telah hidup sebagai panglima-panglima perang. Jika sekarang puteraku sebagai keturunan mereka, menjadi seorang Panglima pula, hal itu sama sekali bukan berarti bahwa keluarga Kao adalah anjing-anjing penjilat Kaisar! Keluarga kami belum pernah ada yang menjadi pemberontak!”

Bu-taihiap memperlebar senyumnya, akan tetapi senyumnya ini mengandung ejekan. “Memang kami adalah pemberontak! Akan tetapi pemberontak terhadap kaisar lalim, terhadap kaisar penjajah! Kami memberontak karena itu merupakan perjuangan yang agung dan suci!”

“Dan dengan beberapa gelintir orang ini, kalian bermaksud untuk mengalahkan sebuah kerajaan?”

“Memang tidak mungkin, akan tetapi setidaknya kami dapat mengganggu pemerintah Kaisar lalim, mengacaukan di sana-sini, menawan Pangeran untuk memaksa Kaisar memperlakukan kami dengan baik!”

“Dan akibatnya Kaisar lalu membalas dendam kepada rakyat yang dianggap pengikut-pengikut kalian? Itukah hasilnya? Seperti yang baru-baru ini dilakukan Kaisar membakar biara Siauw-lim-si? Apakah itu yang kalian kehendaki?”

“Apa?! Kao-taihiap menyalahkan kami dengan terjadinya peristiwa pembakaran kuil?” Seorang di antara para pendekar Siauw-lim-pai berteriak penasaran.

Kao Kok Cu menjawab tenang, “Ada akibat tentu ada sebabnya! Akibat kekerasan tentu disebabkan oleh kekerasan pula! Bukankah terjadi penyerangan-penyerangan pribadi oleh jagoan-jagoan Siauw-lim-pai terhadap Kaisar? Bukankah itu juga merupakan sebab utama pembakaran kuil sebagai balas dendam?”

“Tapi, kalau kami menyerang Kaisar, hal itu ada sebabnya pula....”

“Aku tahu,” kata Kao Kok Cu. “Akibat dan sebab memang merupakan mata rantai yang tak terpisahkan. Satu sebab menimbulkan akibat dan si akibat itu menjadi sebab baru dari akibat lain yang baru pula, dan demikian seterusnya. Kalau perbuatan kalian ada sebabnya, maka harus diketahui pula bahwa perbuatan Kaisar pun ada sebabnya! Bukan aku membenarkan sikap Kaisar, sama sekali tidak. Akan tetapi kita harus dapat membuka mata melihat kenyataan, dan bertindak sebagai seorang pendekar sejati, bukan seperti orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri, menuruti dendam dan tanpa mempedulikan bahaya yang kita akibatkan dari perbuatan kita, yang nantinya akan menimpa orang-orang tidak berdosa, seperti yang terjadi pada para pendekar Siauw-lim-pai!”

Kao Kok Cu bicara dengan penuh perasaan karena memang sesungguhnya pendekar ini merasa berduka sekali mendengar akan semua peristiwa itu. Dia tahu bahwa Kaisar Yung Ceng telah menyeleweng dari pada kebenaran, menyalah gunakan wewenang dan kekuasaan untuk mengejar nafsu dan dendamnya sendiri. Tetapi, dia menganggap bahwa semua usaha para pendekar yang mengaku diri sebagai patriot-patriot itu pun tidak memperbaiki keadaan dan hanya terdorong oleh nafsu dendam belaka, jadi tidak ada bedanya dengan tindakan Kaisar pula.

Hening sejenak setelah pendekar berlengan satu itu bicara, karena kata-katanya tadi, yang dikeluarkan dengan suara mantap dan mengandung getaran kuat, meninggalkan kesan mendalam di hati para pendekar. Mereka dapat merasakan bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang tidak biasa menjilat-jilat ke atas dan menekan ke bawah, seorang yang bertindak dengan bijaksana dan tahu betul bahwa tindakannya itu tidak menyimpang dari kebenaran.

Bu Seng Kin juga tahu akan hal ini, akan tetapi tentu dia tidak biasa mengalah begitu saja untuk menyerahkan Pangeran yang telah berada dalam kekuasaan mereka. Bagai mana pun juga, Pangeran merupakan kunci keberhasilan usahanya untuk memaksa Kaisar memperbaiki semua kesalahan yang telah dilakukan Kaisar. Membangun biara Siauw-lim kembali, membebaskan semua pendekar patriot dari pada pengejaran dan lain-lain. Bukankah itu amat penting bagi perjuangan mereka?

“Kao-taihiap, terserah apa pun yang menjadi pendapatmu, akan tetapi terus terang saja, kami tidak dapat membebaskan Pangeran sebelum ada jawaban datang dari Kaisar tentang tuntutan kami.”

“Bagus, kalau begitu marilah kita pertaruhkan Pangeran dalam pertandingan antara kita. Kalau aku kalah olehmu, kami akan pergi dari sini tanpa banyak bicara lagi, sebaliknya kalau engkau suka mengalah, engkau harus serahkan Pangeran kepada kami.”

“Terserah apa yang hendak kau lakukan, kami tetap mempertaruhkan Pangeran. Dan kalau engkau menantangku, Kao-taihiap, biar pun aku sadar akan kebodohanku sendiri dan akan kesaktianmu, maka aku pun tidak akan mundur selangkah pun!”

“Baik Bu Seng Kin, hari ini Kao Kok Cu minta pelajaran darimu!” kata Kao Kok Cu sambil melangkah maju mendekat.

“Akulah yang minta pelajaran darimu!” jawab Bu Seng Kin sambil memasang kuda-kuda.

Semua orang memandang penuh perhatian, dengan hati yang berdebar karena tegang. Mereka memandang kagum melihat bhesi (kuda-kuda) yang dipasang oleh Bu-taihiap. Pendekar ini nampak gagah sekali, mula-mula berdiri di atas jari-jari kaki, kemudian menggerakkan kaki kanan ke depan membentuk kuda-kuda dengan kaki kanan di depan, lalu tubuhnya membalik ke arah lawan dan kuda-kudanya telah berubah menjadi kedua kaki terpentang dan ditekuk menjadi siku, tubuhnya lurus tegak, tangan kiri terbuka di depan dada kiri, membentuk cakar harimau, dengan telapak ke depan dan tangan kanan, juga seperti cakar harimau, telentang di pinggang kanan, sepasang matanya memandang lurus ke depan, ke arah lawan dan mulutnya yang khas, senyum yang mudah sekali meruntuhkan hati wanita itu.

Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Kao Kok Cu yang mempelajari kedudukan kuda-kuda lawan, lalu membuat gerakan pula, kaki kanannya disepakkan ke samping lalu meluncur ke depan, terpentang jauh sehingga tubuhnya hampir menelungkup dengan kaki kanan jauh di depan dengan jari-jari membentuk cakar naga, lengan baju kiri yang kosong itu dikibaskan ke belakang dan menjadi kaku seperti diisi besi lurus ke belakang dan mukanya yang menunduk dalam itu nampak menjadi semakin pucat kehijauan, dan sepasang matanya mencorong dari bawah ke arah lawan!

Bu-taihiap terkejut dan bergidik. Dia dapat menduga bahwa inilah ilmu dari orang gagah ini yang membuat dia disebut Naga Sakti. Kuda-kuda itu seperti kedudukan seekor naga saja! Dan mata itu! Bu-taihiap maklum bahwa melawan orang seperti ini tidak boleh coba-coba, melainkan harus langsung mengeluarkan ilmu simpanan yang paling ampuh, karena melawan seorang yang amat lihai hanya ada dua pilihan, yaitu menang seketika atau terancam kekalahan. Tidak bisa dibuat berkepanjangan mengeluarkan jurus-jurus tidak berarti.

Maka dia pun lalu membuat gerakan lagi, kuda-kudanya berubah dan kini kedua kakinya merapat, berjingkat di atas ujung kedua sepatunya, kedua lengan diangkat tinggi-tinggi di atas kepala, membentuk paruh burung yang siap untuk mematuk lawan bebuyutan, yaitu ular atau naga. Itulah kuda-kuda Ilmu Silat Kim-sin Ho-kun (Ilmu Silat Burung Bangau Emas) yang sebenarnya bersumber dari Ilmu Silat Ho-kun yang aslinya adalah dari Siauw-lim-pai akan tetapi yang telah dikombinasikan dengan ilmu aliran lain dan oleh Bu-taihiap dikembangkan dan diciptakan menjadi Kim-sin Ho-kun yang amat hebat.

Demikian hebatnya ilmu ini sehingga tiada seorang pun di antara isterinya yang mampu menguasainya dengan baik, tidak ada seperempat bagian saja. Akan tetapi, Bu-taihiap sendiri sebagai penciptanya telah menguasai dengan sempurna. Ujung jari-jari tangan yang dibentuk seperti paruh burung itu, dapat menotok semua bagian tubuh dengan amat kuatnya, juga dapat sekali patuk menghancurkan batu, dan di dalam lengan itu, dari siku sampai ke ujung semua jari, dipenuhi sinkang yang membuat lengan itu kebal dan berani dipakai menangkis senjata tajam lawan. Selain itu, paruh burung itu pun dapat membuat gerakan ‘menggigit’, yaitu dengan membuka kumpulan jari untuk mencengkeram dengan kekuatan yang dahsyat! Saking kuatnya tenaga sinkang yang terkandung dalam kedua lengan itu, maka gerakannya didahului oleh angin yang kuat dan bercuitan bunyinya.

Melihat gerakan lawan, Kao Kok Cu juga menggerakkan tubuhnya, kedua kakinya seperti didorong ke depan, tidak melangkah, melainkan bergeser maju dan ujung lengan baju kiri yang kosong dan tadi lurus menuding ke belakang itu sekarang terangkat melengkung ke belakang seperti ekor kalajengking.

Melihat lawannya tidak mengubah kuda-kuda, maklumlah Bu-taihiap bahwa memang lawannya telah mengeluarkan ilmu yang paling diandalkan, maka dia pun tidak mau sungkan-sungkan lagi dan membentak nyaring, “Kao-taihiap, lihat serangan!”

Bu-taihiap menubruk ke depan, kedua tangan yang membentuk paruh burung itu menyerang ke arah kepala dan dada. Terdengar angin menyambar saat dua tangan itu menyambar dan tidak nampak oleh mata saking cepatnya. Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir juga menggerakkan tangan kanan dan lengan baju kosong yang melengkung ke atas itu, dengan menyeret kaki belakang ke depan, menyambut serangan lawan.

“Plak! Dessss....!”

Paruh kanan Bu-taihiap tertangkis oleh lengan baju kosong, sedangkan paruh kirinya disambut oleh telapak tangan Kao Kok Cu. Pertemuan dua tenaga sakti yang amat kuat itu hebat bukan main dan keduanya terdorong ke belakang! Semua yang hadir merasakan getaran hebat dari benturan tenaga itu, membuat rambut kepala mereka bersama pakaian mereka berkibar seperti mendadak ada angin keras melanda tempat itu!

“Bu-taihiap, awas seranganku!” Tiba-tiba Kao Kok Cu membentak.

Tubuhnya meluncur ke depan, dan sampai di depan lawan tubuhnya tiba-tiba membalik dengan putaran kakinya. Lengan baju kosong itu menyambar seperti pecut atau seperti seekor naga yang memukul, disusul lengan kanannya yang menotok lambung lawan. Bukan main hebatnya serangan ini, oleh karena ini adalah serangan dari Ilmu Sin-liong Hok-te (Naga Mendekam di Bumi). Terdengar suara angin mendesir keras dan semua penonton yang berada terlalu dekat cepat mundur karena angin itu mengandung hawa panas!

Bu Seng Kin terkejut bukan main. Seperti lawannya tadi, dia pun tidak mau mengelak, melainkan cepat menggunakan kedua lengan untuk menangkis disertai pengerahan tenaga sekuatnya.

“Dukk! Dessss....!”

Kembali keduanya terdorong ke belakang, tapi jika Kao Kok Cu hanya terdorong dua langkah tanpa mengubah kedudukan kakinya karena hanya tergeser, maka lawannya terdorong dan melangkah mundur terhuyung sampai tiga langkah lebarnya!

Sudah cukup bagi mereka untuk mengadu tenaga keras lawan keras dan biar pun tidak banyak selisihnya, akan tetapi Bu-taihiap harus mengakui bahwa dia memang kalah kuat dalam hal kekuatan sinkang. Kalau dia terus mengandalkan sinkang-nya mengadu kekuatan, akhirnya dia akan terancam luka dalam yang amat berbahaya. Kekuatan lawan itu tak sewajarnya, dan mungkin karena sebelah lengannya buntung itulah maka lawan dapat menghimpun kekuatan yang demikian dahsyatnya.

Maka ia pun lalu menerjang ke depan, kali ini mengerahkan tenaga pada kecepatannya dan bagaikan seekor burung bangau beterbangan, dia sudah menyerang dengan lebih mengutamakan serangan dari arah atas tubuh lawan di sekitar kepala, leher dan dada.

Akan tetapi, Kao Kok Cu bersikap tenang sekali. Seperti seekor ular atau naga yang melingkar di atas tanah menanti serbuan burung dari atas. Ular atau naga itu bersikap tenang dan hanya sekali-kali menggerakkan kepala atau ekornya untuk mematuk atau menyabet pada saat burung yang menjadi lawannya menyambar turun!

Kao Kok Cu tidak menyerang lebih dahulu, hanya menanti sampai lawan melakukan serangan, barulah dia bergerak, kadang-kadang mendahului sehingga serangan lawan gagal dan berbalik menjadi terserang, atau juga dia menangkis atau mengelak sambil langsung saja membalas. Dengan cara demikian, biar pun Bu-taihiap nampaknya lebih sibuk dengan serangan-serangannya, tetapi sesungguhnya dialah yang terdesak karena setiap kali lawan membalas dia terpaksa harus menghindar cepat-cepat, seperti seekor burung yang selalu mengelak dari serangan ular atau naga di bawah.

“Wut-wut-wut-wuttt....!”

Tiba-tiba Bu-taihiap merubah gerakannya, menyerang tidak hanya dari atas, melainkan dari bawah dan gerakannya berubah menjadi gerakan harimau, akan tetapi masih ada dasar gerakan burung bangau. Kiranya dia telah berhasil mengkombinasikan kedua ilmu silat ini dan serangannya amat cepat, mendatangkan angin besar.

“Wir.... syuuut-syuutttt....!”

Kao Kok Cu mengelak dan membalas pula dengan lecutan lengan bajunya disusul hantaman tangan kanannya. Mereka saling serang dengan serunya. Pukulan dibalas pukulan secara langsung, dan dalam waktu singkat saja mereka telah saling serang dengan cepat dan mantap, pukul-memukul dan tangkis-menangkis, akan tetapi lebih banyak mereka itu saling mengelak dan saking cepatnya, sukar dilihat gerakan tangan mereka, bahkan tubuh mereka pun kini berputaran seperti benang ruwet menjadi satu!

“Plakkk! Dukkk!”

Mereka terdorong ke belakang lagi, akan tetapi kini muka Bu-taihiap agak pucat dan mulutnya menahan rasa nyeri karena ternyata telah ‘tersentuh’ ujung lengan baju yang tak berisi lengan tangan itu! Dia merasa penasaran dan menyerang lagi. Kemudian terjadi pukul-memukul dan elak-mengelak, gerakan mereka itu seperti telah diatur saja, seperti dua orang seperguruan yang sedang berlatih silat, setiap pukulan mengenai tempat kosong dan selalu dibalas, ditangkis, membalas lagi, dielakkan dan menerima balasan.

Begitu cepat dan hebat, angin menyambar-nyambar dan kini mereka berdua agaknya menggunakan tenaga lain karena lantai ruangan itu tergetar seperti ada gempa bumi! Tetapi, kini mulai tampak betapa Bu-taihiap terdesak mundur. Wajahnya penuh keringat, dari kepalanya mengepul uap putih tebal sedangkan Kao Kok Cu hanya berkeringat sedikit saja dan belum ada uap mengepul dari kepalanya! Para ahli di situ maklum bahwa kekalahan Bu-taihiap agaknya tinggal menunggu waktu saja.

Perkelahian itu demikian menegangkan dan menarik perhatian semua orang yang hadir sehingga mereka tidak tahu sama sekali bahwa sejak tadi ada bayangan berkelebat di dekat ruangan itu, dan barulah mereka terkejut ketika bayangan seorang gadis yang memegang sebatang suling emas telah menyerbu medan pertempuran dan gadis itu membentak, “Jangan bunuh ayahku!”

Kao Kok Cu kaget bukan main mendengar suara melengking tinggi dengan getaran yang luar biasa kuatnya dan melihat sinar kuning emas menyambar dengan totokan itu disambung dengan amat cepatnya ke arah tujuh bagian tubuhnya yang berbahaya!

Bukan main cepatnya gerakan itu, dan bukan main kuatnya getaran tenaga khikang yang terkandung dalam setiap totokan. Hebatnya, kalau suling itu mengeluarkan hawa dingin, yang makin membahayakan totokan, tangan kiri gadis itu pun masih menampar ke bagian yang berlawanan dan tamparan itu mengandung hawa panas! Gadis ini selain memiliki ilmu pedang yang dimainkan dengan suling, kemudian akhir serangan pedang itu menjadi tusukan yang berubah menjadi totokan, juga memiliki sinkang yang telah demikian kuat sehingga mampu mengerahkan dua macam hawa yang berlawanan dalam satu serangan!

Belum pernah pendekar ini mengalami hal seperti ini, belum pernah menghadapi lawan sehebat ini, maka dia sampai mengeluarkan seruan “Bagus sekali....!” dan cepat-cepat dia menghindarkan dirinya dengan putaran lengan baju kosong itu untuk menangkis setiap totokan dan berusaha melibat suling emas itu dengan lengan baju.

Sementara itu, Cin Liong yang sedang nonton pertempuran seru antara ayahnya dan Bu-taihiap dengan keuntungan di pihak ayahnya, maklum bahwa sebentar lagi ayahnya tentu akan keluar sebagai pemenang. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan marahnya ketika tiba-tiba ada wanita yang menyerang ayahnya dengan demikian hebatnya. Dan betapa kagetnya melihat bahwa dara itu adalah Ci Sian yang telah dikenalnya! Maka cepat dia pun meloncat ke medan pertempuran itu dan berseru keras, “Ci Sian, Jangan serang ayahku!”

Karena Cin Liong menyerbu ke medan pertempuran sambil menggunakan kedua tangannya untuk merampas suling, dengan maksud menghentikan serangan dara itu, Ci Sian mengira bahwa pemuda itu menyerangnya. Maka dengan marah ia pun sudah meninggalkan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan kini ia menyerang Cin Liong!

Tentu saja Cin Liong menjadi kelabakan diserang kalang-kabut oleh suling emas itu. Dia terkejut sekali. Dahulu, ketika dia bertemu dengan gadis ini, Ci Sian belum memiliki ilmu yang sehebat ini. Akan tetapi sekarang, benar-benar dia terkejut bukan main karena serangan-serangan dara ini benar-benar luar biasa dahsyatnya, sedangkan tenaga yang terkandung di dalam serangan-serangan itu juga amat kuat!

“Plakkk! Dukkk!”

Karena tidak mungkin mengelak lagi dan dia tidak mau kepalanya remuk oleh pukulan suling, terpaksa dia menggunakan kedua tangannya, yang satu menangkis suling sedangkan yang kanan menangkis hantaman tangan kiri gadis itu, dan akibatnya dia terdorong ke belakang dengan dada terasa sesak karena kedua tangannya bertemu dengan dua kekuatan yang saling bertentangan, yang satu panas seperti api dan yang lain dingin seperti es!

Dan hebatnya, dara itu terus menyerang dengan hebat, tetap menggunakan sulingnya sehingga karena kewalahan dan tahu bahwa serangan-serangan itu sungguh sangat berbahaya, maka Cin Liong terpaksa di samping mengelak dan menangkis, juga harus balas menyerang untuk menahan gelombang serangan dara itu.

Sedangkan Bu-taihiap yang tiba-tiba wajahnya menjadi berseri melihat betapa dara itu yang dikenalnya sebagai yang diyakininya adalah puterinya sendiri, bangkit kembali semangatnya dan menyerang Kao Kok Cu! Tentu saja peristiwa ini mengejutkan semua orang. Terutama sekali melihat betapa dara yang memegang suling itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya dan suling yang dipakainya sebagai senjata itu selain menjadi sinar kuning emas yang bergulung-gulung, juga mengeluarkan bunyi seperti dimainkan dan ditiup oleh mulut yang pandai saja!

Selagi semua orang kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara halus namun amat berwibawa, “Harap Cu-wi hentikan semua pertempuran bodoh ini!”

Suara itu mengandung teguran dan penyesalan dan semua orang memang terkejut sekali karena yang bersuara itu bukan lain adalah Pangeran Kian Liong sendiri! Akan tetapi Pangeran itu tidak sendirian, karena di belakangnya berdiri seorang pemuda yang gagah perkasa dan bersikap tenang, dan pemuda itu berkata pula,

“Sumoi, harap mundur dan jangan berkelahi!”

Melihat munculnya Sang Pangeran, Kao Kok Cu dan Kao Cin Liong cepat melompat mundur dan menghampiri Pangeran itu. Pangeran Kian Liong adalah sahabat baik Cin Liong dan memang sejak dahulu Pangeran ini amat suka kepada pemuda itu, maka dia lalu mendekat.

Ketika Cin Liong hendak memberi hormat, Sang Pangeran memegang lengannya dan berkata, “Jenderal Muda yang gagah! Kiranya engkau telah datang pula, apakah engkau sengaja mencariku?”

“Tldak, Pangeran, hamba mendengar Paduka di sini hanya kebetulan saja. Hamba sedang mencari Sim Hong Bu untuk minta kembali pedang pusaka kerajaan yang dicuri orang, dan hamba dibantu oleh ayah dan ibu hamba.”

“Ahh, kalau Naga Sakti Gurun Pasir yang turun tangan, segalanya tentu beres!” kata Sang Pangeran dengan gembira. Kemudian Pangeran itu menghadapi Bu-taihiap yang masih bingung melihat munculnya Pangeran itu secara tiba-tiba dan dia merasa ragu-ragu untuk memerintahkan teman-temannya mempergunakan kekerasan.

“Bu-taihiap, harap jangan heran kalau aku telah dibebaskan oleh pendekar sakti ini,” katanya sambil menunjuk kepada Kam Hong. “Para pendekar yang menjagaku sama sekali bukan lawannya, dan dalam segebrakan saja mereka semua telah roboh dan pingsan. Apalagi dia datang bersama sumoi-nya, Nona Bu Ci Sian yang selalu melindungiku, dan meski Nona ini puterimu, namun kurasa tidak sependapat denganmu dalam hal perjuangan dan pemberontakan. Dan di sini kulihat ada Jenderal Kao Cin Liong yang gagah perkasa, dengan ayah bundanya yang lebih perkasa lagi, maka kiranya kalian para pendekar tidak akan mampu menahanku lagi.”

Bu Seng Kin memandang kepada Kam Hong. Jadi pemuda ini suheng dari puterinya? Dia tadi sudah terheran-heran karena biar pun hanya beberapa gebrakan saja, dia sempat menyaksikan puterinya yang menyerang Naga Sakti Gurun Pasir, kemudian menyerang jenderal muda itu! Dia melihat bahwa puterinya itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.

“Bu-locianpwe,” kata Cin Liong yang merasa tidak enak melihat keadaan pemimpin para patriot itu, apalagi tadi dia melihat betapa Ci Sian membantu pendekar itu. Kalau sampai terjadi pertempuran lagi, sungguh dia tidak sanggup untuk melawan Ci Sian, bukan jeri oleh keahlian dara itu, melainkan tidak sampai hati untuk berkelahi melawan gadis ini.

Setelah dia bertanding beberapa gebrakan saja, tiba-tiba Cin Liong melihat kenyataan yang membuatnya terkejut setengah mati, yaitu bahwa selama ini dia tidak pernah dapat melupakan dara ini, dan baru sekarang terasa olehnya bahwa sebetulnya sejak dahulu, sejak pertemuan di antara mereka dalam benteng pasukan Nepal, dia telah jatuh hati kepada Ci Sian!

“Seperti telah saya katakan tadi, kedatangan kami bertiga adalah untuk mencari Sim Hong Bu yang kami tahu berada di sini. Kami membawa perintah Sri Baginda Kaisar untuk minta kembali pedang pusaka kerajaan yang telah dicuri dan sekarang berada di tangannya. Kami bukan datang untuk memusuhi para pendekar. Hanya kebetulan saja kami tahu tentang Pangeran dan setelah beliau sekarang bebas, maka saya ingin mengulang permintaan saya, yaitu agar orang yang bernama Sim Hong Bu suka keluar dan berhadapan dengan saya.”

Bu-taihiap tersenyum pahit. Dia dan kawan-kawannya telah gagal. Mereka, para patriot itu, tentu saja hanya dapat melakukan penahanan terhadap diri Sang Pangeran dengan rahasia saja, dan setelah sekarang Pangeran itu lolos, tak mungkin mempergunakan kekerasan, karena tentu mereka akan dihadapi pasukan besar yang akan membasmi mereka dalam waktu singkat.

“Jenderal Kao, kau carilah sendiri pemuda yang bernama Sim Hong Bu itu.”

Dari dalam terdengar suara wanita, “Suheng, jangan....!”

Lalu muncullah seorang pemuda yang gagah, diikuti oleh seorang dara berpakaian wanita yang kelihatan gelisah sekali. Pemuda itu bukan lain adalah Sim Hong Bu! Dia dan Pek In memang disuruh menyembunyikan diri dan jangan memperlihatkan diri ketika keluarga Kao datang berkunjung. Akan tetapi ketika mendengar percakapan tentang dirinya, Sim Hong Bu tidak dapat menahan hatinya lagi dan biar pun dicegah oleh Pek In yang merasa khawatir, dia tetap saja nekad keluar.

Semua orang memandang kepadanya. Dengan sikap tenang Sim Hong Bu menghadap Bu-taihiap dan menjura, lalu berkata dengan suara penuh penyesalan, “Bu-locianpwe, sungguh saya menyesal sekali karena kedatangan saya di sini hanya menimbulkan kegagalan dan kerugian saja bagi para saudara yang perkasa. Kalau saya tidak datang ke sini, tentu tidak akan terjadi keluarga Kao menyusul ke sini. Oleh karena itu, biarlah saya menghadapi mereka, karena mereka itu adalah musuh-musuh pribadi saya!” Setelah berkata demikian, Sim Hong Bu menghadapi Kao Cin Liong dan juga Kam Hong.

“Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Kao Cin Liong, tidak kupungkiri bahwa akulah pewaris Koai-liong Po-kiam dan pedang pusaka ini adalah hak milik nenek moyang guruku. Kalau engkau menjadi utusan Kaisar untuk merampas kembali pedang ini, majulah! Pedang ini hanya dapat diambil orang lain melalui mayatku saja!”

Dan sebelum Kao Cin Liong menjawab, Sim Hong Bu juga berkata kepada Kam Hong dengan lebih dulu menjura, “Kam-taihiap, aku menyesal sekali untuk menyatakan ini, akan tetapi karena Taihiap juga sudah berada di sini, biarlah sekalian kusampaikan bahwa aku melaksanakan pesan guruku bahwa kalau aku bertemu denganmu, aku harus menantangmu untuk menentukan siapa yang lebih unggul antara Suling Emas dengan Kim-siauw Kiam-sut-nya melawan Lembah Naga Siluman dengan Koai-liong Kiam-sut-nya. Karena urusan antara kita hanyalah urusan siapa yang lebih unggul dan pertandingan dapat dilakukan secara persahabatan, maka biarlah aku akan menandingi dulu suling emasmu sebelum aku harus mempertaruhkan pedang pusaka ini dengan nyawaku.”

Setelah berkata demikian, nampak sinar berkelebat dibarengi suara melengking nyaring sekali seperti suling ditiup dan tahu-tahu pemuda itu telah memegang sebatang pedang yang sinarnya berkilauan mengerikan dan sinar kebiruan masih terbayang di dalam pandangan mata semua orang, padahal sinar yang tadi berkelebat itu telah lenyap karena pedang itu kini tidak digerakkan, melainkan melintang di depan dada Sim Hong Bu.

Seperti juga Cin Liong, Kam Hong tertegun dan kagum melihat sikap Sim Hong Bu. Sejak pertemuan pertama dia memang suka dan kagum kepada Sim Hong Bu dan dia pun sudah menyaksikan kehebatan ilmu pedang pemuda ini ketika bersama dengan Ci Sian, Hong Bu mengalahkan Hek-i Mo-ong. Diam-diam, dia tadinya mengharapkan perjodohan antara Sim Hong Bu dan Ci Sian, yang dianggapnya sebagai pasangan yang cocok sekali. Akan tetapi, pemuda itu kini berhadapan dengan dia sebagai wakil keluarga Cu yang hendak menuntut balas atas kekalahan mereka!

Cin Liong sendiri juga meragu. Dia pun sejak mendengar akan riwayat pedang pusaka itu, merasa betapa beratnya tugas yang dipikulnya. Bukan berat karena berhadapan dengan lawan yang tangguh, melainkan merasa berat karena sebetulnya hatinya condong untuk mengembalikan pedang itu kepada pemiliknya yang syah, yaitu keluarga Cu. Akan tetapi, bagaimana pun juga, pedang itu telah dicuri dari istana dan sudah sepantasnya kalau dikembalikan ke tempatnya.

Selagi Cin Liong dan Kam Hong tertegun dan merasa ragu-ragu dan menyesal bahwa mereka harus menghadapi pemuda gagah perkasa itu sebagai lawan tanpa ada urusan pribadi, kesemuanya hanya karena ikatan tugas belaka, tiba-tiba terdengar bentakan Ci Sian dan nampak sinar kuning emas menyambar dan langsung menyerang ke arah Sim Hong Bu.

“Tring-trang-cringggg....!”

Tiga kali suling emas itu bertemu dengan pedang Naga Siluman dan nampak bunga api berpijar. Hong Bu terkejut bukan main dan cepat meloncat ke belakang.

“Nanti dulu...., Ci Sian.... aku.... aku tidak ingin berkelahi denganmu!”

“Tidak, ya? Engkau adalah jagoan yang mewakili Pedang Naga Siluman, dan akulah yang mewakili suheng-ku, mewakili Suling Emas! Hayoh, tidak usah banyak cerewet. Selagi di sini berkumpul banyak Locianpwe, banyak pendekar yang gagah perkasa, mari kita buktikan, siapa yang lebih unggul antara Suling Emas dan Pedang Naga Siluman!”

Ci Sian sudah menerjang lagi dengan dahsyatnya. Kam Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi dia memandang sambil tersenyum ketika melihat tarikan muka pemuda itu yang menjadi kebingungan sekali! Kembali amat jelas nampak oleh pendekar ini bahwa pemuda yang gagah perkasa itu sungguh mencinta sumoi-nya! Menghadapi serangan dara yang dicintanya itu agaknya merupakan hal yang paling membingungkan dan menggelisahkan hati Sim Hong Bu. Beberapa kali pedangnya menangkis dan berkali-kali dia minta kepada Ci Sian untuk menghentikan serangannya. Akan tetapi Ci Sian nekat terus dan mendesak terus, suling emasnya mengeluarkan suara menjerit-jerit seperti ditiup oleh orang yang sedang marah!

“Ci Sian.... dengar.... jangan....!” Hong Bu berkali-kali berteriak untuk mencegah dara itu.

Akan tetapi Ci Sian sungguh terlampau marah untuk dapat ditahan lagi. Sulingnya menyerang semakin ganas dan bunyi lengking sulingnya makin hebat. Semua orang yang menyaksikan gerakan suling ini bergidik ngeri dan para Locianpwe yang berada di situ juga menjadi bengong dan kagum sekali. Bahkan Pendekar Sakti Gurun Pasir sendiri mengamati semua gerakan itu dengan sinar mata berkilat saking gembiranya karena baru sekali ini pendekar sakti itu melihat suatu ilmu yang benar-benar hebat luar biasa.

Kalau sampai seorang pendekar sakti seperti Naga Sakti Gurun Pasir ini tercengang kekaguman, maka apalagi para pendekar lain yang hadir di situ. Bu-taihiap sendiri memandang dengan wajah berseri-seri walau pun tadinya dia terkejut dan terheran-heran, juga bingung melihat watak puterinya yang membolak-balik seperti angin itu, tadinya membantunya dan kini malah menyerang Sim Hong Bu! Akan tetapi semua keheranannya itu ditelan oleh rasa kagum menyaksikan ilmu silat dengan suling yang demikian hebatnya. Dia malah terpengaruh juga oleh getaran tenaga khikang yang terbawa oleh suara suling!

Yang bingung adalah Hong Bu sendiri. Tentu saja, biar pun dia tahu bahwa dara itu amat lihai, dia tidak takut dan dapat menandinginya. Akan tetapi, mana mungkin dia menghadapi dara ini sebagai lawan? Dia mencinta Ci Sian! Dia rela mati untuk dara ini! Bagaimana dia dapat mengangkat pedang untuk melawannya, melukainya atau bahkan membunuhnya? Lebih baik dia yang mati. Dengan hati yang perih seperti ditusuk-tusuk rasanya, dan bingung sekali, setelah beberapa kali menangkis dan mengelak, Sim Hong Bu tiba-tiba meloncat dan melarikan diri secepatnya dari tempat itu!

“Ke mana engkau hendak lari?” bentak Ci Sian yang hendak mengejarnya, akan tetapi suara Kam Hong lebih cepat lagi.

“Sumoi, jangan kejar dia!”

Suara Kam Hong merupakan satu-satunya suara di dunia ini yang mempunyai pengaruh besar bagi Ci Sian. Biar pun belum tentu ia selalu taat, akan tetapi setidaknya, suara Kam Hong selalu diperhatikannya dan sekali ini ia pun berhenti dan tidak melanjutkan pengejarannya.

Melihat larinya Sim Hong Bu, Cin Liong khawatir kalau-kalau pemuda itu lenyap dan pedang pusaka itu tidak berhasil dirampasnya kembali. “Ayah, harap suka lindungi Sang Pangeran, aku hendak mengejarnya!” katanya dan tanpa menanti jawaban ayahnya, pemuda ini sudah berkelebat lenyap untuk mengejar Sim Hong Bu.

Keadaan menjadi agak tegang dan suasana menjadi sunyi sekali di tempat itu setelah apa yang terjadi tadi.

“Ah, betapa sayangnya melihat para pendekar yang gagah perkasa kini bersikap seperti anak-anak kecil yang memperebutkan mainan, saling serang untuk saling membunuh. Betapa menyedihkan!” Pangeran Kian Liong berkata sambil menggeleng-geleng kepala.

Mendengar ucapan ini, Bu Seng Kin cepat-cepat menjawab dengan suara mengandung penasaran. “Pangeran, kami adalah pejuang-pejuang rakyat yang tertindas sebagai akibat kesewenang-wenangan Kaisar. Juga kami membela rekan-rekan kami para pendekar yang dikejar, dibunuh dan hendak dibasmi oleh Kaisar, seperti halnya sahabat-sahabat dari Siauw-lim-pai. Kami sama sekali tidak hendak memperebutkan sesuatu, melainkan minta agar kami diperlakukan dengan baik sebagai manusia, sebagai rakyat yang memiliki tanah air ini!”

Jawaban yang bersemangat itu membuat para pendekar yang berada di situ merasa tergugah. Mereka mengangkat dada dan sinar mata mereka pun menjadi berapi penuh semangat.

“Tapi, siapa pun yang hendak mengganggu Pangeran yang tidak mempunyai dosa apa pun dalam urusan Kaisar itu, pasti akan kuhadapi dengan sulingku!” Ci Sian berkata, suaranya juga tegas dan nyaring, dan suling emas itu dilintangkan di depan dadanya.

Bu-taihiap memandang kepada gadis ini dengan alis berkerut. “Ci Sian, sungguh mati kami bingung sekali melihat sikapmu. Siapakah yang engkau bela? Tadi, aku melihat engkau sebagai seorang puteriku yang gagah perkasa dan berbakti, yang membantuku ketika aku terdesak oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Akan tetapi, kemudian engkau bahkan melawan dan menyerang Sim Hong Bu yang berdiri di pihak kami sebagai seorang pendekar patriot! Dan sekarang pula, engkau hendak membantu dan membela Sang Pangeran. Bagaimanakah ini dan sesungguhnya di pihak siapa engkau berdiri?”

“Aku tidak memihak siapa pun juga. Aku bebas dan hanya berpihak kepada kebenaran. Kalau tadi aku membantumu adalah karena mengingat bahwa engkau adalah ayah kandungku, biar pun aku sama sekali tidak menyukai kenyataan itu! Dan aku melawan Sim Hong Bu karena dia menantang Ilmu Suling Emas! Sekarang aku membela Sang Pangeran karena beliau adalah orang yang bijaksana dan sama sekali tidak bersalah!”

“Hemm, Ci Sian, sesungguhnya di manakah engkau berdiri? Apakah engkau seorang pendekar yang berjiwa patriot dan membela tanah air dan bangsa dari penindasan, ataukah engkau hendak menjadi seorang pengkhianat bangsa dan menjadi antek dari Kaisar penjajah?”

Kini wajah Ci Sian menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi!

“Biar pun engkau ayah kandungku, jangan harap untuk dapat memberi kuliah kepadaku! Tengoklah diri sendiri! Seorang di antara isterimu adalah bekas panglima Nepal! Apakah dia pun seorang pecinta rakyat dan tanah air kita? Aku tidak peduli tentang urusan perebutan kedudukan. Aku bukan pengkhianat siapa-siapa, juga bukan pemberontak.”

Pangeran Kian Liong melangkah maju. “Ah, cukuplah kiranya percekcokan ini. Nona Bu, aku telah mengenalmu sebagai seorang dara gagah perkasa dan berjiwa pendekar. Apa pun juga pandanganmu terhadap ayah kandungmu, tidak baiklah kalau membenci orang tua sendiri. Sekarang, Bu-taihiap, dengarlah baik-baik. Tidak perlu diributkan lagi mengenai diriku, dan hentikan semua pertikaian yang tiada artinya ini. Aku berjanji, kalian semua yang hadir di sini menjadi saksi, bahwa aku akan memperjuangkan semua tuntutan kalian itu kepada ayahku, Sri Baginda Kaisar. Biar pun aku tidak menjadi tawanan di sini, biar pun aku tidak menjadi sandera, akan tetapi aku berjanji bahwa aku akan mengajukan tuntutan-tuntutan itu kepada Kaisar dan aku kira semua tuntutan itu akan dikabulkan.”

Bu-taihiap mengerutkan alisnya. Biar pun mereka semua masih berada di dalam sarang para pendekar patriot, akan tetapi keadaan sungguh tidak menguntungkan dirinya. Kini Pangeran telah mempunyai banyak pelindung yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Dia sendiri tadi sudah merasakan kelihaian Naga Sakti Gurun Pasir. Dan biar pun kini Jenderal Kao Cin Liong sudah tidak berada di situ melainkan mengejar Sim Hong Bu, akan tetapi sebagai penggantinya di situ terdapat puterinya, Bu Ci Sian yang dia tahu telah memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Apa lagi suheng-nya yang membebaskan Pangeran itu, dapat diduga tentu memiliki ilmu yang lebih hebat lagi.

Menggunakan kekerasan dan pengeroyokan berarti hanya akan menggagalkan usaha perjuangan itu sendiri, karena pemerintah tentu akan segera mengirim pasukan dan menghancurkan mereka. Akan tetapi mengalah begitu saja juga amat memalukan dan dapat menimbulkan penafsiran bahwa para pendekar patriot merasa takut!

Selagi Bu-taihiap kebingungan tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba saja terdengar teriakan dari para penjaga di luar, “Utusan ke kota raja telah tiba kembali!”

Wajah Bu-taihiap menjadi cerah kembali dan dia cepat berkata kepada Sang Pangeran, “Harap Paduka ketahui bahwa orang yang kami utus ke kota raja menyampaikan tuntutan kepada Sri Baginda Kaisar telah pulang. Kita dengarkan saja bersama apa yang dihasilkan oleh tuntutan itu.”

Ketika dua orang utusan itu memasuki ruangan yang penuh orang itu, apalagi melihat pula Pangeran Kian Liong di situ, mereka menjadi ragu-ragu dan memandang kepada Bu-taihiap dengan sikap bingung.

“Laporkanlah saja apa yang menjadi hasil tuntutan kita kepada Kaisar, biar didengar oleh semua yang berada di sini,” kata Bu-taihiap kepada dua orang utusan itu. “Jangan kalian ragu-ragu lagi.”

“Kami telah menyampaikan surat tuntutan itu kepada kepala pengawal. Setelah disuruh menanti dan di jaga ketat, seolah-olah kami hendak ditangkap dengan kekerasan, tak lama kemudian muncul seorang pembesar istana dan kami menerima jawaban tertulis yang harus kami segera sampaikan kepada Taihiap.”

Dua orang utusan itu mengeluarkan sepucuk surat bersampul yang ada cap istana, menyerahkannya kepada Bu-taihiap.

Pendekar ini menerima dengan hati bangga dan juga wajah berseri. Jawaban dari istana berarti bahwa tuntutan mereka itu dihargai dan disambut. Kalau sebaliknya, tentu dua orang utusan itu sudah ditangkap atau dibunuh! Sambil tersenyum dia membuka sampul dan berkata kepada Sang Pangeran, “Harap Paduka ikut pula mendengarkan jawaban dari istana, juga semua saudara harap mendengarkan.”

Setelah berkata demikian, Bu-taihiap lalu membuka surat itu dan membaca dengan suara keras. Di dalam surat itu tertulis bahwa Kaisar menerima semua tuntutan itu dan berjanji akan mengabulkannya, namun diminta agar Sang Pangeran segera dipersilakan pulang ke istana karena kaisar menderita sakit.

Mendengar ini, semua orang terkejut, juga Sang Pangeran sendiri.

“Ah, kiranya Sri Baginda Kaisar sedang sakit!” katanya. Lalu dia menoleh kepada Kao Kok Cu, “Kao-taihiap, aku harus segera kembali ke kota raja!”

“Kami akan mengantar Paduka pulang,” kata pendekar berlengan satu itu.

Bu-taihiap juga girang sekali melihat isi jawaban yang menyatakan bahwa tuntutan mereka akan dikabulkan, maka dia pun segera menyediakan sebuah kereta dan kuda yang segar untuk dipakai oleh Sang Pangeran ke kota raja. Kao Kok Cu dan isterinya lalu cepat mengawal Pangeran untuk naik kereta menuju ke kota raja, dikusiri sendiri oleh Wan Ceng dan suaminya. Sedangkan Kam Hong segera meninggalkan ternpat itu untuk mengejar Sim Hong Bu pula, bersama sumoi-nya. Bu Seng Kin berusaha untuk menahan puterinya, agar mau tinggal di situ bersamanya, namun dengan sikap angkuh dan keras Ci Sian menolak.

“Biar pun engkau adalah ayah kandungku, akan tetapi sejak kecil aku tidak pernah merasakan kasih sayangmu. Oleh karena itu, bagiku engkau sama saja seperti orang lain, Ayah. Maka aku tidak mungkin dapat tinggal bersamamu, kecuali.... kecuali....”

“Kecuali apa?”

“Kalau engkau hidup sendirian saja!”

Tang Cun Ciu yang pernah bermusuhan dengan Ci Sian, bahkan pernah mereka berdua itu berkelahi, berkata dengan suara dingin, “Bu Ci Sian, engkau harus dapat melihat kenyataan! Hidup tidaklah semanis yang engkau kira. Ayahmu telah mempunyai isteri-isteri lain, dan ini adalah kenyataan, biar pun hati tidak setuju akan tetapi mana bisa mengubah kenyataan? Betapa pun juga kami adalah isteri-isterinya, mana mungkin dipisahkan begitu saja?”

Ci Sian cemberut. “Aku pun tidak mau merampas Ayah. Boleh kalian semua miliki selamanya, aku tidak membutuhkan dia. Suheng, mari kita pergi! Tidak tahan aku berlama-lama di tempat ini!” katanya sambil melompat keluar, diikuti oleh Kam Hong.

Biar pun Bu-taihiap agak terpukul batinnya oleh sikap puterinya itu, namun kegembiraan karena tuntutan para patriot diterima dan hendak dikabulkan oleh Kaisar merupakan hiburan besar. Bu-taihiap lalu menyebar orang-orangnya untuk menyampaikan berita baik itu kepada seluruh pendekar patriot yang tersebar di banyak kota, dan mereka sekarang tinggal menanti pelaksanaan dari pada janji Kaisar yang hendak mengabulkan permintaan mereka itu…..

********************

Akan tetapi, sementara itu, Kaisar yang menjanjikan pemenuhan tuntutan itu sendiri sedang menderita sakit yang parah karena luka oleh pisau beracun itu menjadi makin membengkak dan mulai meracuni darah dalam tubuhnya!

Ketika Pangeran Kian Liong tiba di istana dan langsung mengunjungi Kaisar, Pangeran ini terkejut bukan main melihat keadaan Kaisar yang amat payah. Dia mendengar akan peristiwa penyerangan selir itu dan Sang Pangeran menghela napas panjang. Ketika mendengar bahwa selir itu sehari sebelum melakukan penyerangan dikunjungi seorang pemuda tampan yang mengaku sebagai puteranya, tahulah Kian Liong siapa yang dimaksudkan oleh mereka. Pemuda itu pernah dijumpai sebagai seorang pendekar patriot yang bersemangat. Kembali akibat dari pada penyelewengan ayahnya, pikir Pangeran ini. Ayahnya kini memetik buah dari pada pohon yang ditanamnya sendiri.

Biar pun keadaan penyakitnya amat parah, ketika Kaisar mendengar akan kedatangan puteranya, dia membuka matanya dan memberi isyarat kepada Pangeran Kian Liong untuk duduk. Pangeran itu lalu duduk di tepi pembaringan.

“Bagus, engkau sudah dibebaskan?” kata Kaisar itu bersemangat meski suaranya lirih dan lemah dan napasnya agak memburu. “Bagus, sekarang juga akan kuperintahkan agar dikirim pasukan besar untuk membasmi seluruh pemberontak-pemberontak laknat itu!”

“Harap Paduka tenang dan tidak membiarkan kemarahan meracuni diri Paduka yang sedang sakit,” kata Sang Pangeran. “Agaknya Paduka lupa bahwa Paduka telah menjanjikan untuk mengabulkan permohonan mereka....”

“Permohonan? Mereka menuntut! Tidak ada janji dengan para pemberontak! Akan kubasmi sampai ke akar-akarnya!”

Pangeran Kian Liong dengan halus membantah, bahwa yang disebut pemberontak oleh Kaisar itu adalah pendekar-pendekar patriot-patriot sejati yang menjadi sakit hati karena penekanan terhadap mereka oleh pemerintah.

“Terutama sekali pembakaran biara Siauw-lim-si membuat mereka itu menjadi semakin mendendam. Kalau kita bersikap baik kepada mereka, maka kita dapat menggunakan tenaga mereka itu dengan baik dan demi kemakmuran negara. Kalau ditekan, mereka akan melawan dan kita harus ingat bahwa jumlah mereka cukup besar dan gerakan mereka itu didukung oleh hampir seluruh kaum kang-ouw.”

“Kalau perlu akan kubasmi seluruh kaum kang-ouw!” Kaisar membentak marah.

Akan tetapi dengan suara halus, Pangeran Mahkota itu mencoba untuk mengingatkan Kaisar. Kaisar menjadi marah dan jengkel sekali dan hal ini sebetulnya amat tidak baik bagi kesehatannya sehingga Kaisar jatuh pingsan lagi dan penyakitnya menjadi makin berat!

Melihat keadaan Kaisar yang penyakitnya semakin payah itu, para pembesar lalu mengadakan musyawarah, dipimpin oleh Pangeran Kian Liong dan atas persetujuan dari Kaisar yang kadang-kadang siuman itu, maka diangkatlah Pangeran Kian Liong sebagai pelaksana dan penguasa menggantikan Kaisar yang memang menjadi haknya sebagai Pangeran Mahkota. Dan begitu Pangeran muda ini duduk sebagai penguasa tertinggi, maka keluarlah keputusan-keputusan yang amat bijaksana dan melegakan hati para pembesar yang setia, juga melegakan hati rakyat dan para pendekar.

Di antara keputusan-keputusan itu adalah pembangunan biara Siauw-lim, dihentikan pengejaran terhadap para pendekar patriot, peringanan pajak bagi rakyat, terutama di dusun-dusun, pembangunan untuk kesejahteraan rakyat dan sebagainya. Tentu saja keputusan-keputusan baru ini, selain di satu pihak disambut dengan gembira, namun di lain pihak ada orang-orang yang menyambutnya dengan tidak senang.

Dan mereka itu adalah orang-orang yang memang pada dasarnya membenci bangsa Han yang mereka anggap sebagai bangsa yang lebih rendah dari pada mereka. Mereka ini adalah pembesar-pembesar Mancu yang berkuasa di istana, yang merasa sebagai bangsa yang berkuasa di Tiongkok. Selain beberapa orang di antara para pembesar Mancu, hanya beberapa orang saja karena tidak semua pembesar bangsa Mancu berwatak seperti itu bahkan sebagian besar telah melebur diri menjadi bangsa Han pula dengan menerima semua kebudayaan, ada pula pihak lain yang tidak puas dan bahkan marah-marah dengan adanya kebijaksanaan-ke-bijaksanaan baru dari Pangeran Kian Liong ini. Mereka itu adalah pembesar-pembesar, terutama di daerah-daerah, tidak peduli apakah mereka itu berbangsa Mancu atau Han, yang merasa amat dirugikan dengan adanya peraturan-peraturan baru seperti meringankan pajak dan sebagainya itu. Dengan adanya kebijaksanaan baru ini, tertutuplah banyak sumber penghasilan mereka melalui korupsi!

Betapa pun juga, karena Pangeran Kian Liong melaksanakan semua keputusan itu dengan bijaksana, dan tidak ragu-ragu untuk menghukum mereka yang melanggar, maka setuju atau tidak setuju, keputusan-keputusan itu dijalankan juga oleh para pembesar. Dan rakyat bersorak gembira dengan hati agak lega karena mereka merasa agak terangkat dari jurang kesukaran dan terlepas dari himpitan-himpitan yang amat berat.

Penyakit Kaisar semakin payah dan akhirnya Kaisar Yung Ceng meninggal dunia pada tahun 1735. Kaisar ini meninggal dalam keadaan sengsara, oleh karena penyakitnya membuat dia menderita dan rebah tersiksa selama berbulan-bulan, hampir setahun.

Tidak ada kesulitan timbul dalam penobatan Pangeran Kian Liong menjadi kaisar. Sejak tahun 1735 dia memang telah menjadi penguasa penuh, dan pada tahun 1736, hanya beberapa bulan setelah meninggalnya Kaisar Yung Ceng, maka Pangeran Kian Liong dinobatkan sebagai kaisar penuh.

Setelah menjadi kaisar, maka Pangeran Kian Liong makin berani dalam tindakan kebijaksanaannya. Berbagai peraturan yang dianggapnya hanya bersumber kepada keinginan pembesar-pembesar yang bersangkutan untuk menumpuk harta kekayaan dan memperkuat kekuasaan belaka dihapus dan dirubah secara radikal. Pembesar-pembesar digantinya dengan orang-orang yang cakap.

Kaisar muda ini pun mengulurkan tangan kepada para pendekar, siapa saja yang ingin menyumbangkan tenaga demi kemakmuran negara dan rakyat, diterimanya tanpa pilih bulu, dan diberi kedudukan yang sesuai dengan kepandaian masing-masing. Selain ini, juga Kaisar Kian Liong menggunakan tangan besi terhadap para penjahat dan koruptor. Keadaan berubah sama sekali, baik di dalam pemerintahan mau pun keadaan dalam kehidupan rakyat jelata. Kaisar ini berusaha sedapat mungkin untuk menarik simpati rakyat, untuk menghapus kesan bahwa mereka itu terpimpin oleh kaum penjajah. Di dalam istana sendiri, Kaisar mengadakan pembersihan dan mengenyahkan para penjilat dan pembesar-pembesar korup.

Tentu saja semua ini disambut oleh para pendekar dengan hati lega. Memang, perasaan tidak senang bahwa negara dipimpin oleh bangsa Mancu masih ada dalam lubuk hati mereka. Namun, yang terpenting pada waktu itu adalah melihat rakyat hidup sejahtera dan makmur, tidak tertindas. Yang penting adalah kemakmuran lahiriah lebih dulu dan mereka melihat dalam diri kaisar baru ini seorang pemimpin yang adil, yang bahkan lebih baik dari pada kaisar-kaisar bangsa sendiri ratusan tahun yang lalu.

Kaisar Kian Liong selain menghargai tenaga para pendekar, juga tak mengabaikan para ahli sastra. Dia pun mengulurkan tangan kepada kaum sastrawan untuk menyumbang tenaga dan pikiran, tentu dengan imbalan-imbalan yang memadai, dengan kedudukan-kedudukan yang sesuai, sehingga pada masa pemerintahan Kaisar ini, kesusastraan berkembang biak dengan baiknya.

Dan memang tercatat dalam sejarah bahwa Pangeran Kian Liong merupakan satu-satunya kaisar yang berhasil di dalam pemerintahan Mancu, bahkan jarang ada kaisar yang demikian gemilang pada dinasti-dinasti sebelumnya. Kaisar Kian Liong sendiri adalah seorang yang amat mengagumi Kaisar Tang Thai Cung, yaitu kaisar di dalam Dinasti Tang yang dianggapnya sebagai seorang kaisar yang bijaksana dan patut dicontoh.

Maka dalam banyak hal, dia mencontoh Kaisar Dinasti Tang itu yang memerintah selama dua puluh tahun dan telah mencapai banyak sekali kemajuan untuk rakyat dan negaranya. Dan Kaisar Kian Liong ini malah menjadi Kaisar sampai selama enam puluh tahun! Sungguh merupakan masa pemerintahan yang amat lama dan jarang ada kaisar yang seperti dia. Hal ini membuktikan kebijaksanaannya ketika memerintah sehingga tidak banyak terjadi pemberontakan terhadap pimpinannya!

Memang tidak dapat disangkal bahwa jiwa patriot masih belum padam di dalam hati para pendekar. Namun api pemberontakan di dalam hati itu mengecil bahkan hampir padam selama pemerintahan Kaisar Kian Liong karena para pendekar itu segan dan tunduk kepada Kaisar yang bijaksana itu. Semua propinsi dalam keadaan tenteram, bahkan negara-negara yang tadinya suka menyeberang perbatasan dan mengadakan pengacauan, kini menarik pasukan mereka tidak berani mengganggu. Mereka pun maklum bahwa dalam sebuah negara yang tenteram dan makmur, terhimpun kekuatan yang hebat, bukan hanya kekuatan pasukannya, melainkan terutama sekali karena setiap orang rakyat siap sedia untuk mempertahankan ketenteraman hidupnya dan akan bangkit melawan pengacau dari luar.

Pada jaman Kaisar Yung Ceng, telah terjadi kontak-kontak dengan bangsa Rusia dan bangsa ini malah diperbolehkan membuka perwakilan di kota raja. Juga telah lama diadakan hubungan perdagangan dengan bangsa Portugal sebagai bangsa asing yang paling dulu mengadakan hubungan dagang dengan Tiongkok. Kemudian berturut-turut datang pula bangsa Belanda, Inggris dan Perancis. Akan tetapi, Kaisar Kian Liong membatasi gerakan mereka dan menjaga benar-benar agar mereka itu tidak mempengaruhi rakyat di mana mereka tinggal dengan kebudayaan mereka. Setiap gerak-gerik mereka diawasi dan perdagangan pun dibatasi agar rakyat tidak sampai tertipu dan dirugikan.

Demikianlah keadaan pada waktu pemerintah Kaisar Kian Liong, dan kalau pun ada terjadi pemberontakan, maka pemberontakan itu hanya terjadi di daerah pinggiran yang berbatasan dengan negara tetangga, pemberontakan suku bangsa yang masih liar dan yang selalu tidak mau menerima peraturan-peraturan dari pusat. Akan tetapi semua pemberontakan itu pun dengan mudah dapat ditundukkan dan diatasi.

Melihat keadaan ini, kaum pendekar juga bangkit kembali semangat mereka. Kalau dulu, di waktu para pendekar itu kecewa menyaksikan kelaliman Kaisar Yung Ceng sehingga mereka tidak acuh terhadap keamanan rakyat, kini mereka bangkit dan menentang para penjahat yang hendak mengacaukan ketenteraman. Dengan adanya para pendekar ini, makin tenteramlah kehidupan rakyat jelata, berkat kebijaksanaan Kaisar Kian Liong yang pandai mengambil hati kaum cerdik pandai dan gagah perkasa di seluruh negeri.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman