SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-48
Dia pun tahu bahwa Ci Sian hanya bertindak sebagai seorang pendekar, sama sekali tidak memihak pemerintah dan menentang para patriot, tapi hanya ingin melindungi yang lemah dari ancaman bahaya seperti selayaknya dilakukan oleh seorang pendekar. Hal inilah yang membuatnya bingung dan putus asa. Andai kata Ci Sian itu seorang penjilat pemerintah penjajah tentu cintanya akan dapat dilawannya sendiri dan dia tentu akan mau menentang dara itu. Akan tetapi, dara itu adalah seorang pendekar yang mengagumkan hatinya.
Tak mungkin aku berhasil sebagai seorang patriot kalau begini, keluhnya dengan hati kesal sekali setelah dia berpisah dari Ci Sian. Tidak, dia akan mengambil cara lain. Dia tahu bahwa Pangeran Kian Liong memang seorang pemuda yang hebat dan bijaksana, maka dia pun tidak terlalu menyesal akan sikap Ci Sian. Dia sendiri, andai kata dia tidak mempunyai jiwa pemberontak terhadap kekuasaan penjajah, tentu dia pun tidak akan segan untuk mempertaruhkan nyawanya guna membela seorang pangeran mahkota yang bijaksana seperti Pangeran Kian Liong.
Yang jahat, yang menjadi biang keladi semua peluapan kemarahan hati para patriot adalah kelaliman Kaisar! Kaisarlah yang harus dibasmi! Peristiwa pembakaran biara Siauw-lim-si, perlakuan sewenang-wenang terhadap orang-orang Han, semua adalah perbuatan Kaisar yang membenci orang Han. Dan kalau dia telah gagal menangkap Pangeran, masih ada jalan lain baginya yang lebih langsung dan tepat, yaitu menyerbu ke istana dan mencoba untuk membunuh Kaisar. Dia tahu bahwa perbuatan ini amat berbahaya, karena istana merupakan tempat yang amat kuat dengan penjagaan ketat, di mana berkumpul perwira-perwira berkepandaian tinggi dan pengawal-pengawal yang gemblengan. Akan tetapi, dia mempunyai harapan. Bukankah ibu kandungnya berada di sana sebagai selir Kaisar?
Demikianlah, dengan hati yang telah mengambil keputusan tetap, Cia Han Beng pergi ke kota raja. Biar pun para pengawal dan pembesar yang mengurus dalam istana, para thaikam (orang kebiri) menyambutnya dengan pandang mata penuh kecurigaan, namun mereka itu melapor juga kepada ibu pemuda itu yang menjadi selir Kaisar bahwa ada seorang pemuda bernama Cia Han Beng dan mengaku sebagai keluarga dekat mohon menghadap.
Tentu saja ibu pemuda itu terkejut sekali mendengar disebutnya nama ini dan cepat-cepat memerintah thaikam untuk mempersilakan pemuda itu menghadapnya di dalam taman. Selir Kaisar ini memilih taman sebagai tempat pertemuannya dengan puteranya agar mereka dapat bicara dengan leluasa di tempat terbuka sehingga tidak akan ada yang dapat mencuri dengar percakapan antara mereka.
Dengan pengawal dua orang pengawal dalam yang juga terdiri dari laki-laki yang sudah dikebiri, Han Beng dipersilakan memasuki taman. Ketika tiba di pondok indah dekat kolam ikan, Han Beng melihat seorang wanita cantik dengan pakaian yang mewah berdiri menantinya dengan kedua mata basah dengan air mata. Melihat ibunya, Han Beng tak dapat menahan keharuan hatinya dan dia pun cepat maju berlutut di depan kaki ibu kandungnya sambil menundukkan mukanya. Selir itu memejamkan mata dan menggunakan sapu tangan menyusuti air matanya, kemudian memberi isyarat kepada dua orang pengawal kebiri itu untuk meninggalkannya bersama puteranya.
Setelah dua orang pengawal itu mengundurkan, wanita itu lalu membungkuk dan merangkul puteranya, disuruhnya Han Beng berdiri dan sejenak mereka berdua saling berpandangan dengan hati yang tidak keruan rasanya.
“Han Beng....!” Akhirnya wanita itu berbisik yang merupakan jerit yang keluar langsung dari dalam hatinya.
“Ibu....!” Han Beng menahan agar air matanya tidak jatuh bertitik, sungguh pun dia sudah merasa betapa hatinya tergetar dan kedua matanya terasa panas.
Kalau ibunya merasa berduka dan terharu sekali melihat puteranya, sebaliknya pemuda ini selain terharu, juga merasa panas hatinya melihat ibunya hidup sebagai seorang selir kaisar yang berpakaian begini indah dan mewah, sedangkan ayahnya telah terbunuh oleh Kaisar yang kini menjadi suami ibunya!
“Han Beng, mari kita duduk di bangku itu.... kita bicara di luar saja agar jangan ada orang lain mendengarkan dengan sembunyi,” Ibunya berbisik dan menggandeng tangan puteranya, diajaknya puteranya itu duduk di bangku panjang di tengah taman, jauh dari pondok.
Wanita setengah tua itu, yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, masih nampak cantik sekali, apalagi karena dia kini mengenakan pakaian yang demikian indah dan rambutnya disanggul secara istimewa seperti biasa dandanan para selir Kaisar. Kini, melihat puteranya, seketika hancur berantakan segala kemuliaan yang dirasakannya setiap hari dan terbayanglah di pelupuk matanya segala peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu!
Ia hidup saling mencinta bersama suaminya yang merupakan seorang pendekar gagah perkasa, dengan seorang putera mereka, yaitu Han Beng. Kemudian, datanglah mala petaka itu! Suaminya adalah seorang pendekar yang pernah menjadi sahabat Ai Seng Kiauw murid Siauw-lim-pai yang suka bersahabat dengan para pendekar itu, yang kini telah menjadi Kaisar Yung Ceng! Dan ketika mereka mengadakan perjalanan sampai ke kota raja, suaminya teringat akan sahabat itu dan biar pun telah dicegahnya, suaminya tetap nekad berkunjung dan menghadap bekas sahabat yang kini menjadi kaisar itu.
Dan memang, Kaisar menyambutnya dengan ramah dan manis budi. Tetapi terjadilah mala petaka ketika Kaisar memandang kepadanya! Memandang kepadanya dengan sinar mata yang demikian mesra dan penuh nafsu birahi!
Maka terjadilah kesemuanya itu, peristiwa yang mengubah hidupnya! Suaminya telah terbunuh, dan ia pun diambil selir oleh Kaisar! Dan ia.... ia tidak melawan.... ia seorang wanita yang lemah melihat kemuliaan membayang di depan mata! Ia pun menyerahkan diri, bukan dengan terlalu terpaksa, bahkan dengan harapan baru. Kalau dulunya ia hidup sebagai seorang isteri pendekar yang bertualang, yang kadang-kadang menderita lapar dan tidur di kuil-kuil tua atau di hutan-hutan, sekarang ia menjadi seorang yang dihormati dan dimuliakan!
Dan Kaisar pun sayang kepadanya. Bahkan Pangeran Mahkota sendiri memandangnya sebagai seorang ibu! Mau apa lagi? Puteranya, lari entah ke mana. Dan kini, puteranya itu muncul di depannya! Maka terjadilah perang di dalam hati wanita ini, perang antara kemewahan dan kemuliaan di istana, melawan kasih sayang seorang ibu kandung terhadap anaknya. Dan kemuliaan itu pun kini menipis.
Segala macam kesenangan di dunia ini, apa pun juga bentuknya, tidak akan abadi. Kesenangan selalu disusul oleh kebosanan, atau juga oleh keinginan memperoleh yang lebih besar lagi sehingga kesenangan yang ada itu tidak begitu berarti lagi.
Demikian pula dengan wanita ini. Kemuliaan dan kemewahan itu memang dirasakan dan dinikmatinya betul pada mulanya, dalam waktu beberapa bulan, beberapa tahun. Tetapi kemewahan dan kemuliaan yang dilimpahkan kepadanya setiap hari itu mulai menimbulkan kebosanan dan kemuakan. Apalagi dengan munculnya puteranya ini yang mendatangkan lagi kenang-kenangan lama, membuat batin ibu ini merasa terguncang.
“Han Beng.... Anakku.... Puteraku sayang.... akhirnya engkau mau juga menjenguk ibumu....” Ia berkata sambil mengusap air matanya yang terus bercucuran.
Han Beng memandang wajah ibunya. Ada juga rasa iba, rasa haru dan rasa mesra yang timbul dari kasih sayangnya terhadap wanita yang menjadi ibunya ini. Akan tetapi yang lebih lagi adalah rasa marah. Ibunya sampai hati benar berenang di dalam kemewahan di samping laki-laki yang telah membunuh suaminya!
“Ibu....,” katanya, suaranya agak gemetar. “Aku datang ini bukan untuk menjenguk Ibu, melainkan untuk....,” dia berhenti sebentar, memandang ke kanan kiri yang sunyi. Dua orang tadi berdiri di luar taman, biar pun memandang ke arahnya akan tetapi tidak dapat mendengar percakapan itu.
“Untuk apa, Anakku? Engkau membutuhkan apa....? Ibumu akan dapat menolongmu, Nak....”
“Nah, terima kasih, Ibu. Itulah yang kubutuhkan, yaitu pertolonganmu. Kuharap Ibu suka membantuku dan suka memberi jalan kepadaku agar niat hatiku tercapai.”
“Niat hatimu? Apa niat itu? Apakah engkau ingin.... menikah?” Dengan air mata masih berlinang, wanita itu mencoba untuk tersenyum dan memandang wajah puteranya yang tampan.
“Bukan. Niat hatiku adalah untuk membunuh Kaisar!”
“Eiihhh....!” Wanita itu menahan jeritnya dengan menutupkan tangan kiri di depan mulut, matanya terbelalak dan tangan kanannya mencengkeram lengan puteranya. “Kau.... kau sudah.... gila....!”
Pemuda itu melangkah mundur, melepaskan diri dari pegangan tangan ibunya sambil memandang tajam penuh kemarahan dan rasa penasaran. Akan tetapi suaranya masih perlahan karena dia pun tidak ingin suaranya terdengar oleh orang lain, “Ibu, selain Ayah telah dibunuh oleh Kaisar, juga seluruh pendekar bangsa Han ditindasnya, kuil Siauw-lim-si dibakarnya, dan rakyat ditindasnya. Sekarang Ibu justru bersenang-senang menjadi selir kaisar lalim itu. Ibu, katakanlah sekarang, siapakah di antara kita yang pantas disebut gila?”
“Han Beng! Engkau hanya terdorong oleh dendam atas kematian ayahmu....”
“Tidak, Ibu. Urusan pribadi hanya urusan kecil saja kalau dibandingkan dengan urusan seluruh bangsa! Tentu saja aku merasa sakit hati atas kematian Ayah, akan tetapi aku hendak membunuh Kaisar bukan karena itu, melainkan untuk membebaskan rakyat dari penindasan Kaisar penjajah yang lalim. Dan Ibu, kalau memang Ibu masih mempunyai sedikit jiwa kependekaran seperti mendiang Ayah, Ibu harus membantuku.”
“Tapi.... tapi.... berbahaya sekali, Anakku! Kaisar sendiri memiliki kepandaian yang lihai, belum lagi kalau diingat bahwa beliau selalu dilindungi oleh pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi! Engkau akan tertangkap dan terbunuh sebelum engkau mampu mendekatinya!”
“Akan tetapi, aku yakin bahwa sewaktu-waktu Kaisar tentu berdua saja dengan Ibu, di mana tidak ada seorang pun pengawal yang mendekat. Kalau aku tidak mungkin mendekatinya, maka Ibu mudah sekali. Apa sukarnya bagi Ibu untuk menyerang dan membunuhnya sewaktu dia mendekati Ibu?”
“Apa kau gila? Aku.... aku adalah selirnya! Isterinya!”
“Bagiku bukan! Ibu adalah isteri Ayah yang telah dibunuh Kaisar, Ibu adalah isteri Ayah yang dirampas oleh Kaisar! Ibu adalah wanita Han yang tidak ingin melihat rakyat ditindas oleh Kaisar penjajah lalim!”
“Ohhhh.... Anakku...., aku.... aku memang bersalah.... tapi.... tapi tidak tahukah engkau bahwa Ibumu ini hanya seorang wanita? Aku.... cinta padanya, Han Beng.”
Pemuda itu merasa betapa jantungnya seperti ditusuk. “Hemm, kalau begitu, Ibu sudah lupa kepada Ayah, Ibu tidak cinta kepadaku, dan Ibu juga tidak peduli dengan bangsa sendiri?”
“Bukan.... ah, aku cinta padamu, Anakku. Engkau anakku satu-satunya.... akan tetapi ini lain lagi, Han Beng.”
“Sudahlah, Ibu, tak perlu banyak ribut lagi. Kalau ketahuan orang, maka semua usahaku gagal dan kita berdua akan celaka. Ibu tinggal pilih saja sekarang, Ibu lakukan sendiri bunuh Kaisar lalim itu, atau Ibu mencarikan jalan agar aku dapat mendekatinya dan membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri. Jika Ibu menolak, aku akan mengamuk dan menyerbu ke dalam istana! Mati bukan apa-apa bagiku. Mati sebagai orang gagah jauh lebih berharga dari pada hidup sebagai pengkhianat bangsa dan pengecut!”
Wajah wanita itu berubah pucat. Pengkhianat dan pengecut! Itulah lontaran dan makian puteranya sendiri kepadanya, walau pun bukan merupakan makian langsung. Dan kalau ia menolak, berarti ia membiarkan puteranya itu mati. Menyerbu istana seorang diri saja tiada bedanya dengan bunuh diri. Dengan muka pucat sekali dan bibir gemetar, pandang mata sayu dan wajah layu, akhirnya wanita ini mengangguk dan berkata lirih, “Baiklah, Han Beng. Akan kulakukan itu!”
“Ibu....!” Han Beng berlutut dan menubruk kedua kaki ibunya, dua titik air mata keluar dari sepasang matanya.
Dia yakin benar-benar, bahwa perbuatan ibunya itu selain akan membunuh Kaisar, juga bunuh diri. Akan tetapi, dia akan merasa bangga melihat ibunya mati seperti itu dari pada melihat ibunya hidup menjadi selir Kaisar laknat yang lalim itu!
“Ibu ternyata seorang patriot wanita yang gagah perkasa. Ibu berani mengorbankan nyawa demi bangsa, aku bangga dan terharu sekali, Ibu. Engkau memang Ibuku yang patut dipuja sepanjang masa!”
“Kau keliru, Han Beng. Aku melakukannya sama sekali bukan demi bangsa, bukan demi Ayahmu, bukan demi diriku sendiri, melainkan demi engkau, Anakku. Nah, pergilah.”
Ucapan ibunya itu menyadarkan Han Beng dan dia pun bangkit lalu mundur, menatap wajah ibunya yang pucat, menatapnya untuk yang terakhir kali. Memang ada sedikit kekecewaan dalam hatinya bahwa ibunya hendak melakukan pengeroyokan itu bukan demi bangsa, melainkan demi dia. Betapa pun juga, yang penting adalah terbunuhnya Kaisar lalim, pikirnya.
“Terima kasih, Ibu. Selamat tinggal, selamat berpisah dan ampunkan anakmu….”
Wanita itu hanya mengangguk dan Han Beng lalu keluar, disambut oleh dua orang pengawal itu dan diantarkan sampai ke pintu tembusan di mana kembali dia diterima oleh pengawal lain yang mengantarnya sampai ke pintu yang lebih luar. Demikianlah, akhirnya pemuda ini, setelah melalui penjagaan yang amat ketat, tiba di pintu gerbang istana paling luar dan akhirnya keluarlah dia dari lingkaran istana.
Sementara itu, wanita itu berdiri seperti patung lilin. Mukanya pucat dan matanya berlinang air mata. Demi cintanya kepada anaknya, bisik hatinya.
Cinta memang sudah menjadi hal yang amat janggal dalam pengertian kita. Demikian banyaknya kata ini telah kita pecah-pecah artinya, disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing sehingga cinta bahkan menimbulkan banyak kesengsaraan dan mala petaka.
Han Beng ingin melihat ibunya menjadi seorang patriot, seorang pahlawan. Pemuda ini lupa bahwa ibunya seorang manusia pula, bahwa ibunya memiliki selera dan cara hidup sendiri, yang mungkin saja berbeda dengan orang lain, berbeda dengan dia. Akan tetapi dia ingin membentuk ibunya menjadi seperti yang diidamkannya, seperti yang dianggap patut menjadi ibunya, yaitu wanita pahlawan!
Dia menganggap ini benar, tentu saja. Akan tetapi sebenarnya, di dasar dari hatinya, dia hanya mengejar keinginan hatinya sendiri saja. Dialah yang akan bangga kalau ibunya menjadi pahlawan bangsa! Dialah yang akan merasa bahagia. Apakah ibunya menyukai hal ini? Bukan urusannya! Apakah ibunya berbahagia jika tewas sebagai pahlawan bangsa? Juga sama sekali hal ini dilupakannya. Dianggapnya bahwa secara otomatis ibunya tentu berbahagia pula, seperti dia!
Demikian pula wanita itu. Ia mau saja membiarkan dirinya berkorban. Dianggapnya pengorbanannya ini demi cinta kasihnya kepada puteranya. Akan tetapi benarkah demikian? Agaknya hal ini masih harus diselidiki dengan teliti. Kalau dia mencintai puteranya, belum tentu dia membiarkan dirinya diperkosa kemudian menjadi selir dari Kaisar yang telah membunuh suaminya dan hampir juga membunuh puteranya kalau pemuda itu tidak dapat meloloskan diri.
Memang, cinta telah menjadi sesuatu yang amat aneh, bahkan kadang-kadang menjadi pendorong perbuatan-perbuatan yang luar biasa kejamnya. Padahal, yang mereka namakan sebagai cinta itu sesungguhnya hanyalah nafsu belaka, nafsu menyenangkan diri sendiri, perasaan sendiri melalui orang lain. Jadi, orang yang katanya dicinta setengah mati itu hanya dijadikan semacam jembatan saja untuk dapat menyeberang dan memetik kesenangan untuk diri sendiri.
Han Beng bersembunyi di kota raja setelah dia keluar dari istana. Dia hendak menanti saat yang amat menegangkan itu. Saat di mana akan diumumkan tentang kematian Kaisar! Mati di tangan ibu kandungnya!
Dan saat yang dinanti-nantikan Han Beng itu ternyata tidak terlalu lama. Bahkan pada malam itu juga Kaisar menjatuhkan pilihan kepada ibu Han Beng untuk melayaninya! Memang Kaisar cukup mencinta wanita ini, seorang wanita bekas pendekar yang kuat tubuhnya, tidak seperti para selir lain yang lemah. Kaisar sendiri adalah seorang ahli silat, maka dia merasa memiliki persamaan dengan selirnya ini, dan Kaisar suka sekali mengajak selir ini bercakap-cakap tentang ilmu silat di waktu selir ini diberi giliran untuk melayaninya dalam kamar selama semalam.
Dan malam itu, ibu Han Beng berdandan secara istimewa, menambah wangi-wangian pada tubuhnya, dan memasuki kamar Kaisar dengan senyum cerah dan penuh daya pikat sehingga Kaisar semakin terpikat dan menyambutnya dengan pelukan dan ciuman mesra.
Mereka bercakap-cakap, bercumbu dan bermain cinta. Lewat tengah malam, ketika Kaisar sedang tidur pulas kelelahan, ibu Han Beng dengan air mata bercucuran lalu menghujamkan sebatang pisau belati ke dada Kaisar. Namun, karena tangan yang memegang pisau itu gemetar dan karena wanita itu menutup matanya karena tidak tega menyaksikan tangannya membunuh pria yang sesungguhnya dicintanya, maka ujung pisau mengenai tulang iga dan meleset. Kaisar Yung Ceng yang memiliki tubuh kuat dan kepandaian tinggi seketika telah terbangun dan otomatis tangannya menghantam dengan sekuatnya.
“Dessss....!”
Pukulan Kaisar itu amat kuatnya, dan tak dapat dielakkan oleh wanita itu yang memang masih memejamkan kedua matanya sehingga tubuh wanita itu terlempar ke bawah dari pembaringan dan terbanting dalam keadaan kepala retak dan tidak bernyawa lagi! Kaisar cepat memanggil pengawal, mencabut pisau itu dan roboh pingsan.
Pisau belati itu tidak menembus jantung atau bagian lain yang penting, akan tetapi ternyata bahwa pisau itu mengandung racun sehingga keadaan Kaisar cukup parah. Luka di dadanya itu membengkak dan para tabib yang merawatnya merasa khawatir sekali. Kaisar sendiri yang sudah sadar sepenuhnya, maklum akan keadaan dirinya, maka mulailah dia mencari-cari dan menanyakan Pangeran Mahkota Kian Liong.
Diam-diam Kaisar menyesali semua perbuatannya dan dia tahu benar bahwa mala petaka yang menimpanya malam itu adalah karena perbuatannya sendiri. Dia telah lengah, tidak mengira bahwa ternyata masih ada tersembunyi dendam yang demikian mendalam di balik senyum manis dan pelayanan yang amat menyenangkan hatinya dari wanita bekas isteri sahabatnya itu.
Saat dia mendengar laporan bahwa sehari sebelumnya wanita itu menerima kunjungan seorang pemuda yang mengaku sebagai anak selir itu, maklumlah Kaisar bahwa itulah pendorongnya mengapa selirnya yang biasanya sangat mencintanya itu tega untuk mencoba membunuhnya. Dan sebagai seorang ahli silat, dia pun yakin bahwa kalau selirnya itu tidak memejamkan mata, tentu tusukan itu akan menewaskannya, dan dia tidak akan berhasil membunuh selirnya dengan sekali pukul saja.
Selagi para panglima, menteri dan hulubalang bingung karena tidak ada yang tahu di mana adanya Sang Pangeran, datanglah utusan para patriot yang telah menawan Sang Pangeran! Kaisar Yung Ceng menerima dan mendengarkan surat tuntutan itu dibacakan pembantunya kepadanya. Wajahnya berubah merah, akan tetapi dia menarik napas panjang. Pada saat itu dia tidak dapat banyak bergerak serta tidak bisa turun dari pembaringan, dia tidak dapat berbuat banyak.
“Kirim jawaban kepada mereka bahwa aku berjanji akan memenuhi semua tuntutan mereka itu, akan tetapi minta agar Pangeran Kian Liong cepat dibebaskan dan diantar kembali ke istana, karena keadaanku,” perintahnya kepada para petugas.
Tentu saja utusan para patriot itu girang bukan main, bukan hanya bahwa mereka tidak dihukum atau dibunuh seperti yang sudah mereka khawatirkan, akan tetapi bahkan menerima janji dari Kaisar yang akan memenuhi semua tuntutan itu. Juga mereka mendengar bahwa Kaisar telah diserang oleh selirnya sendiri dan nyaris tewas! Maka, mereka cepat kembali ke Cin-an untuk membawa balasan dan janji Kaisar…..
********************
Entah siapa di antara mereka yang lebih terkejut dan heran ketika pihak tamu dan pihak tuan rumah itu bertemu di ruangan tamu yang luas itu. Kao Cin Liong dan ayah bundanya sama sekali tidak mengira bahwa yang menjadi pemimpin para pendekar patriot di Cin-an itu ternyata adalah Bu Seng Kin sekeluarga, sebaliknya Bu-taihiap juga tidak menyangka bahwa tamu-tamunya yang datang adalah Jenderal Kao Cin Liong dan Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya! Sejenak mereka hanya berdiri bengong saling pandang, lupa untuk saling memberi hormat sebagaimana layaknya tamu dan tuan rumah! Akhirnya, Bu-taihiap yang memang berwatak lincah dan gembira itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, memang tidak salah dikatakan orang bahwa dunia ini tidaklah sebesar yang disangka orang! Tak kami sangka akan dapat berjumpa di tempat ini dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya yang gagah perkasa!”
Kecuali keluarga Bu yang sudah mengenal keluarga Kao ini, para pendekar patriot terkejut setengah mati seperti mendengar suara guntur di hari terang ketika mereka mendengar bahwa tamu itu adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya bagi mereka seperti nama tokoh dongeng saja dan yang selamanya belum pernah mereka lihat orangnya. Kini semua mata ditujukan kepada pria setengah tua berlengan satu itu bersama isteri dan puteranya, penuh kagum dan juga gentar karena mereka itu belum tahu apa yang diinginkan oleh pendekar sakti sekeluarga ini dengan munculnya di tempat itu dalam keadaan yang amat gawat, yaitu selagi Pangeran Mahkota menjadi tamu agung, juga tawanan mereka.
“Kami pun tidak mengira bahwa di sini akan dapat bertemu dengan Bu-taihiap yang ternyata kini mengumpulkan banyak orang-orang gagah!” kata Kao Kok Cu sambil memberi hormat yang dibalas dengan gembira oleh tuan rumah.
“Silakan duduk, silakan duduk dan selamat datang…!” Setelah mereka semua duduk, Bu-taihiap bertanya, “Keperluan apakah kiranya yang dibawa oleh keluarga Kao yang mulia sehingga mau mendatangi tempat ini?”
“Yang punya kepentingan adalah putera kami, maka biarlah dia yang menjelaskan,” kata pula pendekar itu dengan suara tenang.
Cin Liong lalu berkata sambil memandang ke kanan kiri karena dia tidak melihat adanya Hong Bu dan Pek In di situ.
“Bu-locianpwe,” katanya hormat. “Saya adalah utusan Kaisar yang sedang mencari seorang bernama Sim Hong Bu, dan karena semalam saya melihat dia memasuki rumah ini, maka saya minta dengan hormat kepada Locianpwe untuk memberitahukan kepada saya di mana adanya dia. Kalau masih berada di sini, hendaknya disuruh keluar menemui kami. Kalau sudah pergi, harap beri tahu ke mana perginya.”
Kembali Bu-taihiap tertawa bergelak. Di dalam hatinya, pendekar ini terkejut sekali melihat bahwa jenderal muda ini mencari Sim Hong Bu, dan isterinya, Tang Cun Ciu, yang duduk pula di situ tentu saja mengerti mengapa keluarga Kao mencari Hong Bu, akan tetapi dia diam saja hanya memandang tajam. Bu-taihiap yang masih merasa penasaran karena lamarannya ditolak tempo hari, kini memperoleh kesempatan untuk mengejek.
“Ahh, sampai hampir lupa aku bahwa aku berhadapan dengan seorang jenderal kaki tangan Kaisar Mancu, juga aku lupa bahwa yang terhormat Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir adalah ayah dari jenderal besar antek Kaisar penjajah!”
Mendengar ejekan ini, Kao Kok Cu tersenyum saja dengan tenang. Namun isterinya, Wan Ceng, sudah bangkit berdiri dengan muka merah. “Orang she Bu! Kenapa engkau menjadi tuan rumah yang begini kasar dan kurang ajar? Kalau mau menghina orang dan membawa-bawa keluarga, apakah lupa bahwa engkau yang pura-pura menjadi pimpinan pendekar patriot, akan tetapi di sini mempunyai seorang isteri yang pernah menjadi Panglima Nepal? Bukankah itu berarti bahwa engkau telah berkhianat dan bersekongkol dengan bangsa Nepal pula?”
Hebat sekali serangan kata-kata Wan Ceng ini. Wajah Bu Seng Kin menjadi merah sekali dan Nandini, Puteri Nepal itu sudah bangkit berdiri dengan marah. “Sudah sepatutnya kalau pihak tamu yang bersopan diri!” bentak wanita ini. “Tamu yang menyerang tuan rumah dengan kata-kata adalah tamu-tamu yang tak tahu diri!” Akan tetapi suaminya sudah memberi isyarat agar ia duduk kembali, dan wanita Nepal itu duduk dengan marah.
“Kao-taihiap datang bertiga dan agaknya sudah tahu bahwa kami di sini adalah pendekar-pendekar patriot yang menentang Kaisar Mancu yang lalim. Karena Sam-wi (Kalian Bertiga) merupakan utusan Kaisar, maka kami dapat saja nenganggap Sam-wi sebagai musuh-musuh kita, sebagai antek kaki tangan Kaisar. Kalau kami mengerahkan teman-teman untuk mengeroyok Sam-wi, apakah kalian tidak akan celaka?”
“Boleh coba! Siapa takut keroyokan?” tantang Wan Ceng dengan marah sambil bertolak pinggang.
Suaminya lalu memegang tangannya dan dengan halus membujuknya untuk duduk kembali. Cin Liong juga membujuk ibunya sehingga akhirnya nyonya yang keras hati ini mau duduk kembali dengan kedua pipi merah dan mulut cemberut, sepasang matanya mencorong penuh kemarahan.
“Harap saja Bu-locianpwe tidak berkata seperti itu. Kalau memang saya bermaksud buruk terhadap Bu-locianpwe dan semua teman, apa sukarnya bagi saya untuk datang bersama pasukan besar untuk menumpas kalian?”
“Seperti yang telah dilakukan terhadap Siauw-lim-si?” Bu-taihiap mengejek. “Lihat, di antara ratusan orang murid Siauw-lim-pai, hanya delapan saudara inilah yang dapat lolos,” katanya sambil menunjuk kepada delapan orang laki-laki gagah perkasa yang berdiri di sudut ruangan itu dengan sikap kereng.
Cin Liong memandang kepada mereka dan berkata, “Saya tidak tahu-menahu akan hal itu dan merasa ikut menyesal dengan terjadinya hal itu. Akan tetapi, kedatangan kami tanpa pasukan hanya untuk menunjukkan bahwa kami tidak bermaksud buruk terhadap Locianpwe dan teman-teman.”
“Ha-ha-ha, boleh saja kalau Kao-goanswe (Jenderal Kao) hendak membawa pasukan besar. Hendak kulihat apa yang dapat mereka lakukan kalau kuberi tahu bahwa Pangeran Kian Liong telah berada dalam tahanan kami!”
Bukan main kagetnya Kao Cin Liong dan ayah bundanya mendengar ini. Mereka merasa terkejut dan juga khawatir. Dan Cin Liong menghadapi dua hal yang amat penting, yaitu soal merampas kembali pedang Koai-liong Po-kiam dan menyelamatkan Pangeran Mahkota. Tentu saja menyelamatkan Pangeran lebih penting. Hal ini juga diketahui oleh Kao Kok Cu. Maka pendekar ini lalu berkata dengan suaranya yang tenang sekali.
“Bu-taihiap, urusan putera kami berkenaan dengan perintah Kaisar memang adalah urusannya sendiri, akan tetapi kalau sudah menyangkut diri Pangeran Mahkota, mau tidak mau aku pun terpaksa harus melibatkan diri. Siapa pun orangnya yang hendak mengganggu pribadi Pangeran Kian Liong, akan kuhadapi sebagai lawan! Nah, kami bertiga sudah berada di sini, dan kami bertiga siap mempertaruhkan nyawa kami demi melindungi keselamatan Sang Pangeran! Kalau kalian semua yang mengaku orang-orang gagah dan pendekar-pendekar hendak mengganggu Pangeran yang tidak punya sangkut-pautnya dengan kelaliman Kaisar, maka kalian adalah orang-orang licik dan curang. Maka, kami bertiga menantang untuk mengadu ilmu, guna memperebutkan Pangeran!”
Bu-taihiap menjadi marah mendengar ini. Memang dia pun ingin membalas penghinaan tempo hari karena lamarannya ditolak. Akan tetapi, sebagai seorang pendekar besar dia pun tidak sudi untuk melakukan pengeroyokan. Nandini, Puteri Nepal yang merasa sakit hati karena penolakan lamaran tempo hari, kini mendengar pula penghinaan yang ditujukan kepada dirinya, sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dalam hal kekerasan hati, wanita ini tidak kalah oleh Wan Ceng, maka ia pun sudah bangkit berdiri lagi.
“Bagus! Ada tamu menantang tuan rumah, sungguh merupakan kekurang ajaran yang memuncak. Akulah yang akan maju lebih dulu melawan keluarga Kao yang sombong dan tinggi hati!” Berkata demikian, wanita Nepal ini telah mencabut pedang dan berdiri tegak, sinar matanya tertuju kepada Wan Ceng maka jelaslah oleh siapa pun juga bahwa wanita ini menantang isteri Naga Sakti Gurun Pasir!
Tentu saja Wan Ceng merasa bahwa dirinya ditantang, maka ia pun meloncat bangun dan membentak, “Siapa sih takut melawan perempuan Nepal, panglima yang sudah jatuh dan kini menjadi selir orang?”
Semua orang yang berada di situ maklum bahwa pertempuran tidak mungkin dapat dihindarkan lagi, maka mereka mundur sambil menarik bangku masing-masing, memberi tempat yang luas bagi mereka yang hendak berlaga. Kao Kok Cu dan Bu Seng Kin tidak dapat melarang isteri masing-masing. Pula, mereka yang akan berlaga adalah wanita lawan wanita dan masing-masing percaya akan kelihaian isteri mereka, dan perkelahian dilakukan dengan satu lawan satu, maka sebagai orang-orang gagah mereka merasa malu untuk melarang.
Wan Ceng tersenyum dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, mulutnya tersenyum mengejek ketika ia pun mencabut pedangnya yang begitu dicabut, membuat semua orang merasa seram. Pedang itu adalah pedang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) yang hawanya saja sudah terasa oleh semua orang, hawa yang mengerikan.
“Hemm, engkau menantang sambil mencabut pedang, berarti engkau sudah bosan hidup!” kata Wan Ceng sambil melintangkan pedang di depan dada. “Mulailah!”
“Isteriku, jangan sampai membunuh orang!” tiba-tiba terdengar Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir berkata dengan halus kepada isterinya.
Wan Ceng menoleh pada suaminya, melihat sepasang mata suaminya memandangnya penuh teguran. Ia pun tersenyum, mengangguk dan menoleh lagi kepada Nandini sambil berkata, “Untung bagimu, suamiku melarangku membunuhmu.”
Ucapan terakhir merupakan kata-kata yang oleh Nandini diterima sebagai kesombongan yang melampaui batas dan amat menghina. Ia adalah seorang bekas panglima yang tentu saja menganggap kematian dalam pertempuran sebagai hal yang sudah wajar dan tidak perlu ditakuti, akan tetapi calon lawannya begitu memandang ringan kepadanya, seolah sudah memastikan bahwa ia akan kalah!
“Tak perlu banyak cerewet, bersiaplah untuk mampus!” pedangnya menyambar ganas dan wanita Nepal ini sudah menerjang dengan dahsyat. Wanita ini jauh lebih tinggi dari pada Wan Ceng dan memiliki tenaga besar, dan karena hatinya marah sekali, maka begitu menerjang ia telah melakukan serangkaian serangan yang bertubi-tubi.
Wan Ceng memutar Ban-tok-kiam dan menangkis atau mengelak dari semua serangan itu, diam-diam memperhatikan gaya ilmu pedang lawan yang ternyata tidaklah lemah. Dan memang Nandini selama ini memperoleh petunjuk dari suaminya sehingga ilmu pedangnya memperoleh kemajuan pesat. Betapa pun juga, yang dilawannya adalah Wan Ceng, seorang wanita yang selain memiliki tenaga sinkang yang hebat berkat anak ular naga yang pernah dimakannya, juga ia mempelajari banyak macam ilmu dan akhirnya menerima petunjuk dari suaminya yang sakti.
Maka, menghadapi Wan Ceng, Nandini masih kalah setingkat, lebih dari itu, pedang di tangan Wan Ceng adalah pedang Ban-tok-kiam yang menggiriskan. Baru hawa pedang saja saat menyambar mendatangkan rasa dingin dan perih, dan kalau sampai mengenai kulit lawan, amatlah berbahaya karena tanpa adanya obat penawar dari Wan Ceng, nyawa lawan sukar tertolong lagi! Agaknya Nandini mengenal pedang ampuh dan berbahaya, maka ia pun memutar pedangnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya agar jangan sampai terluka pedang lawan.
Kao Kok Cu yang melihat betapa isterinya masih lebih tinggi ilmunya, merasa khawatir kalau-kalau pihak lawan akan terluka oleh Ban-tok-kiam, maka dia meneriaki isterinya, “Isteriku, jangan menggunakan Ban-tok-kiam!”
Mendengar kata-kata ini, Wan Ceng tertawa lalu menyimpan kembali pedangnya. Melihat ini, Nandini juga menghentikan serangan pedangnya. Ia tidak mau menyerang lawan yang sudah menyimpan senjatanya. Hal ini saja sudah membuat berkurang kebencian dari hati Wan Ceng. Kiranya wanita Nepal ini memiliki watak yang gagah pula, pikirnya kagum.
Ia tadi mentaati suaminya bukan karena ia takut kepada suaminya. Sama sekali tidak, bahkan terlalu sering ia membantah sampai membuat suaminya kadang-kadang pusing. Akan tetapi ia kini menurut karena dengan perbuatan itu seolah-olah ia telah menang angin dan ‘mengampuni’ lawan. Kini ia tersenyum dan mengeluarkan dua buah pisau belati dari pinggangnya. Inilah sepasang senjatanya yang amat diandalkan ketika ia masih gadis dahulu. Sepasang belati ini sama sekali tidak beracun, dan memang inilah yang dikehendaki oleh suaminya.
Kalau hanya menghadapi Nandini dengan kedua tangan kosong, amatlah berbahaya bagi Wan Ceng, akan tetapi dengan senjata sepasang belati ini, Kao Kok Cu dapat menilai bahwa isterinya tidak akan kalah, dan kalau sampai isterinya melukai lawan sekali pun, maka luka dengan belati jauh lebih ringan kalau dibandingkan dengan luka karena Ban-tok-kiam.
Melihat Wan Ceng telah memegang sepasang pisau belati, Nandini mengeluarkan teriakan nyaring dan sudah menyerang lebih ganas dari pada tadi. Wanita ini semakin penasaran dan marah karena pergantian senjata dari lawan itu jelas merupakan penghinaan dan pandangan yang merendahkan dirinya.
Sementara itu, diam-diam Bu-taihiap mengeluh oleh karena dia tahu bahwa isterinya ini masih kalah dibandingkan dengan nyonya pendekar Gurun Pasir itu. Akan tetapi dia pun merasa kagum dan lega bahwa Naga Sakti Gurun Pasir itu menyuruh isterinya berganti senjata. Dia mengenali pedang yang amat menggiriskan itu dan tadi diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan isterinya.
Betapa pun juga, dia merasa menyesal akan watak keras Nandini yang telah berani maju, tidak memperhitungkan kepandaian sendiri. Memang, isterinya itu telah memiliki kepandaian yang cukup hebat dan di atas kepandaian kebanyakan orang, namun dibandingkan dengan dua isterinya yang lain, yaitu Gu Cui Bi dan Tang Cun Ciu, Nandini masih kalah jauh. Andai kata yang maju tadi Gu Cui Bi agaknya baru ramai melawan nyonya galak itu, dan kalau Tang Cun Ciu yang maju, dia yakin pihaknya akan menang. Akan tetapi dia pun tahu bahwa tentu saja Nandini yang maju karena isterinya itu tentu saja merasa sakit hatinya oleh penolakan ikatan jodoh antara puterinya dan putera keluarga Kao, maka tadi pun dia tidak melarang.
Kekhawatiran pendekar ini memang terbukti. Meski kini ia telah berganti senjata dengan sepasang belati, namun ternyata memang tingkat kepandaian Wan Ceng masih menang dibandingkan dengan lawannya, maka setelah lima puluh jurus, Wan Ceng ‘mengunci’ pedang lawan dengan putaran pisau belatinya yang kiri, dan cepat sekali pisau belatinya yang kanan bergerak ke depan. Mestinya pisau belati itu menusuk lambung, akan tetapi sengaja ia menurunkan sasarannya sehingga pisau belatinya menusuk dan merobek paha kiri lawan.
Nandini mengeluarkan teriakan kaget dan meloncat ke belakang, terhuyung karena pahanya terobek dan berdarah cukup banyak. Melihat ini, Siok Lan berteriak marah dan meloncat ke depan untuk menyerang Wan Ceng, akan tetapi Bu-taihiap membentak.
“Siok Lan, mundur kau!”
Gadis itu memandang marah, akan tetapi tidak melanjutkan serangannya lalu memapah ibunya dan merawat luka di paha dengan obat dan membalutnya.
Gu Cui Bi, isteri Bu-taihiap yang lain, tetap duduk diam saja tidak mau mencampuri urusan itu. Keluarga Kao ribut dengan suaminya dan Nandini, ia tahu karena lamaran ditolak dan hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Bahkan adanya Siok Lan sebagai puteri suaminya dan Nandini itu kadang-kadang mendatangkan rasa iri dalam hatinya. Maka kali ini ia pun diam saja.
Berbeda dengan Tang Cun Ciu. Mendengar bahwa keluarga itu datang untuk mengejar Sim Hong Bu juga dan tentu saja untuk merampas kembali Koai-liong Po-kiam, sebagai pencuri pedang itu dari istana dia merasa ikut bertanggung jawab. Melihat kekalahan Nandini dan melihat ilmu silat isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu, ia merasa sanggup untuk menandinginya, maka dengan sekali meloncat ia telah berada di tengah ruangan itu menghadapi Wan Ceng.
“Biarlah aku yang melawan pengacau!” teriaknya.
Wan Ceng mengenal wanita ini, maka ia tersenyum mengejek. “Tidak usah isteri orang she Bu maju satu demi satu, biarlah maju semua sekaligus, biar ada seratus orang sekali pun, siapa takut?”
Tentu saja ejekan ini amat menyakitkan, tetapi Bu-taihiap yang memang merupakan seorang pria yang paling tebal muka terhadap urusan wanita, tertawa, “Wah, kalau ada seratus, betapa senangnya, akan tetapi aku tentu repot sekali! Ha-ha-ha!”
Diam-diam Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir mengerutkan alis, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa, hanya hatinya yang berbisik betapa pria itu benar-benar merupakan seorang perayu wanita, seorang bandot yang luar biasa akan tetapi juga jujur!
“Ibu, harap suka mundur, biarkan aku menghadapi nyonya ini!” tiba-tiba Cin Liong sudah meloncat maju ke dekat ibunya.
Wan Ceng sebenarnya tidak takut menghadapi Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, hanya ia agak lelah menghadapi Nandini yang cukup tangguh tadi, maka ia mengangguk lalu mundur, duduk di dekat suaminya.
Sejenak mereka saling berhadapan dan saling berpandangan. Keduanya sama-sama maklum bahwa lawan yang dihadapi amatlah tangguhnya. Cin Liong sudah tahu bahwa wanita yang bernama Tang Cun Ciu ini berjuluk Cui-beng Sian-li (Dewi Pengejar Arwah), seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, seorang tokoh dari keluarga Lembah Suling Emas yang terkenal lihai itu. Bahkan wanita inilah yang telah mencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam dari gudang istana!
Sementara itu, Tang Cun Ciu juga tidak berani memandang rendah lawannya. Biar pun pemuda ini masih muda, akan tetapi pemuda ini adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan sedemikian mudanya telah diangkat menjadi jenderal yang berarti bahwa tentu dia memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
Dengan gerakan halus Tang Cun Ciu mencabut sebatang pedang dari punggungnya. Wanita ini memiliki banyak macam ilmu silat, akan tetapi kelihaiannya memang dalam bersilat pedang, dan untuk ilmu ini ia pernah menerima ilmu dari mendiang suaminya, yaitu Cu San Bu, yaitu yang disebut Pat-hong Sin-kiam (Pedang Sakti Delapan Penjuru Angin). Ilmu ini telah dipecah menjadi dua, yaitu ilmu silat tangan kosong dan ilmu silat pedang. Dan gerakan ilmu pedangnya juga berdasar dari ilmu keluarga Cu yang amat tangguh.
“Jenderal Muda, keluarkanlah senjatamu!” tantangnya dengan suara lantang namun sikapnya tenang seolah-olah wanita setengah tua yang masih cantik ini sudah yakin akan kemenangannya.
Cin Liong sebetulnya lebih suka menghadapi lawan dengan mengandalkan kaki tangan saja, akan tetapi dia menghadapi isteri seorang locianpwe, maka dia tak ingin dianggap memandang rendah kalau bertangan kosong saja. Maka dia pun mencabut sebatang pedang, yaitu pedang pemberian Kaisar sendiri sebagai tanda pangkatnya. Karena dia sedang menjalankan tugas sebagai utusan Kaisar, maka biar pun dia mengenakan pakaian biasa, namun pedang pangkatnya itu tidak pernah ditinggalkannya.
Melihat Cin Liong sudah mencabut senjatanya pula, Tang Cun Ciu lalu membentak, “Lihat senjata!” Dan pedangnya yang sudah berkelebat, berubah menjadi sinar yang amat menyilaukan mata karena cepatnya.
“Tranggg....!”
Cin Liong sengaja menangkis karena dia hendak menguji sampai di mana kuatnya tenaga lawan. Kedua pihak merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang itu tergetar hebat, tanda bahwa pertemuan kedua pedang itu amatlah kuatnya, dan tahulah mereka bahwa pihak lawan memang memiliki sinkang yang kuat. Mereka sejenak memandang ke arah pedang masing-masing dan merasa lega bahwa pedang mereka tidak rusak oleh pertemuan yang amat keras tadi. Tang Cun Ciu sudah menyerang lagi, lebih hebat dari pada tadi, dan kini ia tidak mengandalkan tenaga, tetapi kecepatannya. Bentuk pedang itu lenyap, berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menghujankan serangan dari berbagai jurusan ke arah Cin Liong.
Pemuda ini sebaliknya bergerak dengan amat cepatnya, namun gerakannya mantap dan setiap serangan lawan dapat dihalaunya dengan tepat, baik dengan tangkisan mau pun dengan pengelakan. Dan walau pun setiap tiga kali serangan lawan baru dapat dibalasnya dengan satu kali saja serangan, akan tetapi serangannya amat kuat dan berbahaya sehingga setiap kali dibalas, nyonya itu terpaksa menarik gulungan sinar pedangnya untuk membentuk benteng kuat dan biar pun demikian tetap saja ia harus melangkah dua tiga tindak ke belakang.
Semua orang yang hadir memandang dengan mata penuh ketegangan, dan para pendekar patriot memandang dengan mata hampir tak pernah berkedip. Para murid Siauw-lim-pai yang berada di situ adalah ahli-ahli silat yang lihai, tetapi menyaksikan perkelahian antara Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu melawan jenderal muda itu mereka merasa kagum dan takjub bukan main. Barulah mereka tahu bahwa tingkat kepandaian mereka sungguh masih jauh dibandingkan dengan dua orang yang sedang bertanding ini. Mereka mengagumi isteri dari pimpinan mereka, akan tetapi mereka pun tercengang menyaksikan gerakan Cin Liong.
Hanya pandang mata Bu-taihiap dan Kao Kok Cu saja yang dapat menilai dan tahu apa yang terjadi dalam perkelahian yang nampaknya seolah-olah nyonya itu di pihak yang lebih kuat karena lebih banyak menyerang. Tapi mereka berdua ini tahu benar bahwa sesungguhnya nyonya itu kewalahan menghadapi Cin Liong! Dalam mengadu tenaga, jelas kalah kuat, dan mengandalkan ginkang atau keringanan tubuh untuk bergerak cepatnya tidak menolong karena pemuda itu pun ternyata memiliki ginkang yang tidak kalah hebatnya. Biar pun ilmu pedang nyonya itu istimewa dan merupakan ilmu pedang pilihan, namun sebaliknya pemuda itu juga telah memiliki ilmu pedang yang luar biasa sekali.
Perkelahian ini jauh lebih menegangkan dari pada perkelahian pertama antara Nandini dan Wan Ceng. Para penonton saja merasakan getaran-getaran dari gerakan mereka yang amat kuat, dan angin menyambar-nyambar ke segala penjuru. Kadang-kadang, mereka yang kurang tinggi tingkat kepandaiannya tidak mampu lagi mengikuti gerakan kedua orang ini yang lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka. Bagi mereka ini, yang nampak hanya kaki dan tangan kedua orang itu saja yang kadang-kadang lenyap di antara gulungan sinar pedang, kadang-kadang nampak bergerak ke sana-sini, bahkan tangan dan kaki itu bukan hanya dua pasang, melainkan banyak sekali saking cepatnya kaki dan tangan itu bergerak!
Akan tetapi Bu-taihiap mengerutkan alisnya. Isterinya itu, betapa pun lihainya, agaknya tidak akan mampu menanggulangi pemuda yang amat lihai itu. Diam-diam dia menarik napas panjang. Tingkat kepandaian isterinya sudah tinggi sekali, dia sendiri pun hanya menang tidak banyak dibandingkan dengan isterinya itu. Kalau sekarang isterinya kalah oleh pemuda ini, maka tinggal dia seoranglah. Mungkin dia akan dapat menandingi pemuda itu, akan tetapi mampukah dia menandingi Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir? Diam-diam dia bergidik. Baru puteranya saja sudah memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya, apalagi pendekar sakti itu sendiri!
Hal ini bukan timbul karena dia merasa takut atau gentar, sama sekali tidak. Melainkan dia khawatir kalau-kalau memang keluarga pendekar Kao ini hendak menggunakan kekerasan untuk merampas Sang Pangeran, dia pun terpaksa akan menggunakan kekerasan mengancam Pangeran untuk sandera. Ini bukan urusan pribadi, melainkan urusan perjuangan, dan untuk perjuangan, maka segala kehormatan pribadi boleh ditinggalkan lebih dahulu! Untuk perjuangan, demi kemenangan perjuangan, tidak ada yang dinamakan curang. Segala jalan demi kemenangan perjuangan adalah benar, demikianlah pendapat para cendekiawan di jaman dahulu!
Kita tidak dapat menyalahkan jalan pikiran pendekar Bu Seng Kin ini. Sebab memang kenyataannya pun demikianlah.
Sejak jaman dahulu, kekuasaan membuat manusia mampu melakukan segala macam kekejian dan kelicikan. Sejak jaman dulu, ada saja sekelompok orang yang memegang kekuasaan atas orang terbanyak, disebut penguasa, pemimpin, atau pemerintah, yang dengan segala daya upaya hendak mempertahankan kekuasaannya, bahkan hendak memperkuat dan memperbesar kekuasaannya. Untuk mempengaruhi orang terbanyak, untuk dapat mempergunakan tenaga mereka semua itu, muncullah slogan-slogan dan anjuran-anjuran yang muluk-muluk. Tentang kepahlawanan, tentang sucinya perjuangan dan banyak lagi pujuan-pujian bagi mereka yang mau berjuang alias menghadapi musuh dengan taruhan nyawa, tentu saja didengungkan bahwa taruhan nyawa itu adalah untuk tanah air, untuk bangsa, dan sebagainya lagi. Bahwa apa pun yang dilakukan manusia demi kemenangan perjuangan adalah suci dan agung!
Betapa anehnya, betapa munafiknya dan betapa kejamnya. Di dalam perang, yang diperhalus dengan sebutan perjuangan dan sebagainya, yang pada hakekatnya hanyalah kebencian yang memuncak dan bunuh membunuh antara manusia, timbullah kejanggalan-kejanggalan yang mengerikan. Segala macam perbuatan manusia yang dalam keadaan wajar dianggap sebagai perbuatan jahat dan haram, di dalam perjuangan itu pun dihalalkan.
Membunuh seorang manusia saja dalam keadaan atau waktu yang wajar akan dianggap kejahatan yang amat besar dan si pembunuh akan dituntut, dihukum seberat-beratnya. Namun, di dalam perjuangan atau perang, membunuh sebanyak-banyaknya manusia, yang kebetulan berada di pihak musuh, dianggap sebagai perbuatan yang mulia, gagah berani, dan si pembunuh akan dipuji-puji, bahkan diberi hadiah-hadiah dan dinamakan pahlawan, menerima bintang dan sebagainya lagi. Demikian pula, segala macam perbuatan yang biasanya dianggap jahat dan haram dan si pelakunya dihukum, dalam masa perang yang dinamakan perjuangan itu si pelakunya dianggap baik, halal, berjasa dan diberi hadiah dan pujian. Di sini berlaku istilah tujuan menghalalkan segala cara!
Apakah benar bahwa suatu tujuan, apa pun juga itu namanya, yang dijangkau dengan jalan kekerasan, kekejaman, pembunuhan, kepalsuan seperti itu, adalah tujuan yang suci murni? Dapatkah tujuan terlepas dari sifat pelaksanaan atau caranya mencapai tujuan itu? Bukankah di dalam tujuan itu terkandung si cara, sebaliknya di dalam cara itu terkandung pula si tujuan? Benarkah bahwa jalan penipuan, kebencian, pembunuhan, kekerasan dan kepalsuan itu akan membawa kita kepada sesuatu yang luhur dan suci?
Pertanyaan-pertanyaan ini amatlah penting bagi kita semua dan kiranya perlu kita selidiki bersama dengan membuka mata, membuang semua teori-teori lapuk karena teori-teori itu hanya kita pergunakan untuk mengecat dan memperhalus kesemuanya itu belaka, untuk kita gunakan sebagai bahan-bahan pembelaan diri untuk membenarkan segala cara yang jelas kotor dan keji itu. Kalau sudah begitu, barulah kita dapat memandang dengan sempurna, melihat keadaannya seperti apa adanya, dan dapat menyelidik sampai sedalam-dalamnya tanpa terpengaruh oleh segala macam pendapat-pendapat yang pada hakekatnya hanyalah untuk membenarkan diri sendiri belaka
.Kekhawatiran Bu-taihiap memang terbukti. Setelah perkelahian itu lewat kurang lebih seratus jurus, mendadak Tang Cun Ciu mengeluarkan pekik melengking yang sangat mengejutkan semua orang. Pekik ini bukan seperti suara manusia, tetapi seperti suara suling ditiup dengan nada tinggi sekali! Melengking nyaring dan langsung menyerang jantung lawan melalui pendengarannya!
Mendengar ini, Cin Liong terkejut sekali dan cepat dia pun mengerahkan sinkang-nya untuk melawan dan menahan serangan melalui khikang istimewa ini. Dan memang itu adalah inti dari ilmu para penghuni Lembah Suling Emas, yaitu khikang yang dapat dikerahkan melalui suara dan suara itu sendiri dapat menyerang lawan yang dihadapinya. Lawan yang kurang kuat, baru mendengar suara ini saja sudah tergetar jantungnya dan dapat membuat menjadi lumpuh atau gugup, atau setidaknya menjadi kacau. Kekuatan suara seperti ini dimiliki pula oleh binatang-binatang buas seperti harimau, singa dan lain-lain, yang dengan suaranya saja sudah mampu membuat calon korban menjadi lumpuh!
Dan menyusul serangan suaranya itu, secepat kilat, Tang Cun Ciu menyambitkan pedangnya yang meluncur seperti anak panah ke arah tubuh lawan, sedangkan kedua tangannya sendiri lalu bergerak mendorong ke depan dalam penyerangan yang lebih hebat pula! Bukan main memang serangan wanita perkasa yang berjuluk Dewi Pengejar Arwah ini. Sekaligus ia telah melancarkan tiga macam serangan yang amat hebat! Hal ini membuktikan bahwa wanita ini pun telah melihat kenyataan bahwa ia takkan menang melawan pemuda tangguh ini, maka ia telah mengeluarkan ‘simpanan’ terakhir, yaitu dengan penyerangan maut yang luar biasa ini!
Cin Liong juga maklum bahwa lawannya telah menjadi nekad dan bahwa lawannya hendak mengadu nyawa. Maka dia pun cepat beraksi, melepaskan pedang dari tangan kanan dengan melontarkannya ke depan, menyambut pedang lawan yang meluncur ke arah lehernya itu, dan dia pun menggerakkan kedua lengannya, didorongkan ke depan untuk menyambut lawan dengan jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat, yaitu ilmu simpanan dari ayahnya yang membuat nama ayahnya terkenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir.
“Cringgg.... desss....!”
Dua batang pedang itu bertemu di udara dan keduanya meluncur ke bawah menancap di atas tanah sampai separuhnya lebih! Pada saat kedua pasang tangan itu bertemu, tubuh Tang Cun Ciu terhuyung ke belakang dan hampir saja jatuh kalau ia tidak cepat-cepat berjungkir balik membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali, sedangkan tubuh Cin Liong hanya terdorong mundur dua langkah saja.
Marahlah Tang Cun Ciu, karena benturan terakhir itu sudah membuktikan bahwa ia telah kalah. Wanita ini memang memiliki kekerasan hati yang istimewa, dan keberanian yang luar biasa sekali sehingga tidak heran kalau ialah yang telah menggegerkan kota raja dan dunia kang-ouw dengan mencuri pedang pusaka dari istana! Biar pun ia tahu bahwa pemuda itu terlampau kuat baginya, namun begitu ia sudah turun ke atas tanah, langsung saja tubuhnya meluncur lagi ke depan dengan loncatan seperti terbang cepatnya, dan kakinya telah melakukan tendangan terbang dan bertubi-tubi tiga kali, pertama tendangan ke arah kepala, ke dua ke arah ulu hati dan ke tiga ke arah pusar!
Cin Liong memandang kagum. Wanita ini benar-benar tangguh sekali. Cepat-cepat dia berloncatan mengelak dan setelah menghindarkan diri dari tiga tendangan itu, Cin Liong lalu membalas serangan dengan mengeluarkan jurus-jurus Sin-liong Ciang-hoat! Dan mulailah Cun Ciu terdesak terus, main mundur dan tidak tahan menghadapi serangan-serangan yang aneh ini, yang dilakukan dengan tubuh lurus, kadang-kadang bahkan hampir mendekam ke atas tanah.
Setelah mencoba untuk menghindarkan diri sampai belasan jurus, akhirnya sebuah tendangan dari kaki kiri Cin Liong tepat mengenai pinggir lututnya dan nyonya itu pun terpelanting roboh! Ia mencoba untuk meloncat bangun, akan tetapi roboh lagi karena lututnya terasa nyeri dan ternyata tulang lututnya telah terlepas sambungannya!
Bu Seng Kin cepat meloncat mendekati isterinya, dan dengan beberapa kali mengurut lutut itu maka tulangnya dapat tersambung kembali dan dengan berloncatan di atas sebelah kakinya, Tang Cun Ciu terpaksa mundur setelah mencabut pedangnya dari dalam tanah, duduk kembali dengan muka marah dan mulut cemberut. Ia tidak pedulikan Cin Liong yang sudah menjura kepadanya sambil berkata,
“Harap maafkan saya....”
Akan tetapi sikap pemuda ini sungguh membuat Bu-taihiap merasa kagum bukan main dan dia pun menarik napas panjang penuh penyesalan. Sayang, sungguh sayang sekali bahwa pemuda seperti ini tidak bisa menjadi mantunya. Betapa akan bangga hatinya mempunyai seorang mantu seperti pemuda ini yang selain pandai sehingga semuda itu sudah menjadi jenderal kepercayaan Kaisar, juga amat gagah dan rendah hati. Seorang pendekar komplit!
“Kedua orang isteriku yang bodoh telah kalah, maka sekarang biarlah aku si tua bangka yang tidak tahu diri ini mohon pelajaran dari keluarga Kao!” Dia sengaja menyebut keluarga Kao, oleh karena untuk menantang Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir secara langsung dia masih merasa segan!
Cin Liong yang masih berdiri di tengah ruangan itu dan kini melihat pendekar Bu sudah berdiri di depannya, kemudian menjura dengan hormat. “Bu-locianpwe, sesungguhnya kedatangan kami di sini sama sekali tidak mempunyai niat untuk bertanding dengan siapa pun juga, apalagi bermusuhan dengan para pendekar yang kami hormati. Akan tetapi, sebagai seorang utusan Kaisar tentu saja saya harus melaksanakan tugas, dan setelah mendengar bahwa Sang Pangeran berada di sini, sudah menjadi tugas saya untuk membebaskannya. Dan untuk itu, kami tidak segan-segan untuk mengorbankan nyawa. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi oleh Locianpwe, dan saya harap saja Locianpwe tidak akan memejamkan mata melihat kenyataan bahwa segala yang dilakukan Kaisar sama sekali tidak dapat ditimpakan kesalahannya kepada Pangeran. Maka sekali lagi, saya harap Locianpwe suka mempertimbangkan dan menghabiskan segala macam perkelahian yang tiada gunanya sampai di sini saja dan membiarkan kami untuk mengawal Sang Pangeran pulang ke kota raja.”
Ucapan itu sungguh penuh kegagahan dan juga tidak dapat dibantah kebenarannya. Semua pendekar yang berada di situ juga diam-diam merasa malu dan menganggukkan kepala mereka. Akan tetapi, di balik kebenaran yang nyata ini ada kebenaran lain, yaitu kebenaran yang teramat khas dan mutlak bagi mereka, kebenaran perjuangan! Demi perjuangan, maka kebenaran yang lain boleh disingkirkan dahulu…..
Komentar
Posting Komentar