SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-43


Melihat betapa dua orang adik angkat mereka menyerang wanita itu, Sam-ok tertawa dan berkata dengan nada suara mengejek, “Bu Seng Kin, sekali ini engkau tidak akan dapat lolos lagi dari tangan kami!”

“Begitukah? Boleh coba!” jawab Bu Seng Kin sambil tersenyum.

Dia sudah sering berhadapan dengan tiga orang datuk sesat ini dan dia tahu benar betapa lihainya mereka. Bahkan belasan tahun yang lalu, dia selalu terdesak oleh mereka bertiga ini. Akan tetapi selama belasan tahun itu dia telah meningkatkan kepandaiannya dan kini dia ingin memperlihatkan kepada mereka bahwa sekarang dia tidak akan kalah lagi. Hanya keadaan isterinya yang membuat dia khawatir. Dia tahu bahwa kalau hanya menghadapi seorang lawan, isterinya masih cukup kuat, akan tetapi dikeroyok dua, berbahaya sekali.

Twa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok memang amat membenci Bu Seng Kin yang merupakan musuh lama. Sekarang melihat bahwa pendekar ini menghalangi niat mereka untuk membunuh pangeran mahkota, yang kepada mereka telah diperintahkan oleh seorang pembesar bekas kaki tangan Sam-thai-houw, mereka menjadi marah sekali. Mereka sudah mengambil keputusan untuk sekali ini membunuh Bu Seng Kin dan mereka merasa yakin akan sanggup melakukannya, biar pun tingkat kepandaian pendekar ini sejak dahulu sudah lebih tinggi dari pada seorang di antara mereka. Hal ini sudah sering kali terjadi belasan tahun yang lalu ketika mereka bertiga mengejar-ngejar pendekar ini.

Tentu pendekar yang mereka benci ini sama sekali tidak tahu bahwa mereka bertiga pun sudah meningkatkan ilmu kepandaian mereka, bahkan sekarang jauh lebih hebat dibandingkan dengan belasan tahun yang lalu.

Ji-ok yang bertopeng tengkorak itu membuka serangan. Mata di balik tengkorak itu yang seperti mata setan, berkilat-kilat menakutkan, dan tiba-tiba dari balik tengkorak itu terdengar suara yang nyaring sekali, suara yang aneh karena lengking ini seperti suara orang tertawa akan tetapi juga seperti suara orang menangis. Dan tiba-tiba ia sudah meloncat ke depan, kedua tangannya yang bergerak dengan aneh karena kedua jari telunjuknya menuding sedangkan jari-jari lainnya digenggam. Akan tetapi dari gerakan jari-jari telunjuk ini menyambar hawa dingin yang kuat dan mengandung ketajaman seperti pedang.

“Srattt....! Srattt....!”

Bu-taihiap terkejut bukan main dan dia mengenal serangan maut, maka cepat dia mengelak dan balas menendang untuk menahan desakan wanita itu. Dia tidak tahu bahwa orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok itu ternyata telah memperoleh ilmu yang dahsyat, yang baru saja dipergunakan untuk menyerangnya, yaitu ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang mengeluarkan hawa dingin dan amat berbahaya itu. Akan tetapi, karena tingkat kepandaiannya memang lebih tinggi dari pada wanita itu, dia tidak merasa gentar dan balas menyerang dengan sangat hebatnya, dengan pukulan-pukulan berat yang mengandung sinkang kuat sekali sehingga ketika berusaha menangkis pukulan ini, Ji-ok terdorong mundur dan terhuyung.

Sam-ok, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok akan tetapi yang paling cerdik itu, sudah cepat maju membantu temannya. Karena maklum akan kehebatan ilmu kepandaian lawan, begitu maju dia pun sudah mengeluarkan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Bumi Langit), semacam ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh berpusing. Bu Seng Kin cepat meloncat untuk menghindar dan balas menyerang dengan cepat melayani dua orang pengeroyoknya.

Akan tetapi kini Toa-ok sudah terjun ke dalam arena perkelahian pula, kedua tangannya bergerak sembarangan, akan tetapi lengannya dapat mulur panjang dan cengkeraman-cengkeramannya yang dilakukan seperti serangan gorila itu amat berbahaya karena lengan itu mengandung tenaga yang dahsyat. Maka Bu-taihiap sudah dikeroyok tiga dan terjadilah perkelahian yang amat seru di ruangan itu.

Sementara itu, Su-ok dan Ngo-ok merasa penasaran sekali ketika sampai belasan jurus mereka berdua masih belum juga mampu menangkap wanita itu, maka Su-ok lantas mengeluarkan ilmunya yang diandalkan yaitu ilmu pukulan Katak Buduk. Dengan tubuh merendah sampai hampir berjongkok, dia mendorongkan kedua tangannya dan dari tenggorokannya keluar suara berkokok yang aneh.

Hawa dahsyat dan amis menyambar, membuat Tang Cun Ciu terkejut dan meloncat ke belakang, namun tetap saja ia masih terhuyung. Untuk menyelamatkan diri, wanita ini sudah mencabut pedangnya dan begitu pedang diputar dan tubuhnya menerjang ke depan, nampak gulungan sinar yang amat menyilaukan mata mengurung tubuh Su-ok. Melihat ini, Ngo-ok menjadi marah dan dia pun sudah berjungkir-balik, lalu menyerang dengan kedua kakinya yang panjang, menendang-nendang ke arah lengan kanan lawan untuk merampas pedang. Dihadapi oleh dua orang yang mengeluarkan ilmu-ilmu aneh ini, kembali Tang Cun Ciu terdesak hebat.

Keadaan Bun Seng Kin sendiri tidak lebih baik dari pada wanita itu. Dia pun terdesak setelah tiga orang pengeroyoknya mengeluarkan ilmu-ilmu aneh yang sangat hebat itu. Teringatlah dia akan tugasnya memancing para lawan ini menjauhi kuil dan memberi kesempatan kepada teman-temannya melakukan siasat mereka, yaitu menggunakan kesempatan ribut-ribut itu untuk bisa menculik Pangeran sehingga kelak akan mudah menimpakan kesalahan kepada para penyerbu ini.

“Ciu-moi, mari ke tempat yang lebih luas!” teriaknya.

Dan tiba-tiba Bu-taihiap mengeluarkan seruan nyaring, kedua tangannya menyambar-nyambar dan dia mengeluarkan ilmu pukulan aneh yang hebat. Tiga orang lawannya terkejut dan untuk menjaga diri, mereka mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh pendekar itu untuk menerjang ke arah Su-ok dan Ngo-ok yang juga mundur untuk menghindarkan serangan dahsyat itu. Dan mereka berdua, Bu-taihiap dan isterinya lalu meloncat, cepat keluar dari ruangan itu.

“Im-kan Ngo-ok, mari kita lanjutkan pertandingan di luar yang lebih luas, di mana sekali ini aku akan membasmi kalian!” teriak Bu Seng Kin.

Im-kan Ngo-ok yang merasa sudah hampir memperoleh kemenangan itu, tentu saja menjadi penasaran. Kalau orang she Bu ini tidak ditewaskan lebih dulu, tentu akan sukar bagi mereka untuk melaksanakan perintah untuk membunuh Pangeran. Maka dengan marah mereka pun mengejar ke depan, yaitu ke pekarangan kuil yang cukup luas, di tempat terbuka dan cuacanya remang-remang karena penerangan yang ada hanya sinar bulan ditambah lampu gantung yang berada di depan kuil itu. Namun cukuplah bagi ahli-ahli silat itu yang dalam perkelahian tidak hanya mengandalkan pada mata melainkan juga kepada ketajaman pendengaran mereka.

Setelah Im-kan Ngo-ok tiba di pekarangan luar dari kuil itu, ternyata Bu Seng Kin sudah berdiri saling membelakangi dengan isterinya. Hal ini berarti bahwa mereka bermaksud untuk bekerja sama menghadapi lima orang lawan itu, karena dengan kedudukan saling membelakangi, berarti mereka akan dapat saling melindungi dan menghindarkan diri dikepung lawan. Dan selain itu, juga tempat itu sudah dikurung oleh tujuh orang hwesio yang dipimpin oleh Ciong-hwesio ketua kuil itu sendiri, dan mereka bertujuh itu sudah memegang senjata masing-masing berupa toya atau tongkat panjang.

Melihat ini, Im-kan Ngo-ok serentak tertawa semua. Bagi mereka, lebih banyak lawan yang maju berarti dapat lebih puas membabat dan membunuh lawan. Dan tentu saja, selain Bu-taihiap, mereka memandang rendah kepada yang lain-lain, apalagi hwesio-hwesio itu.

“Heh-heh-heh, bairlah aku yang membasmi kerbau-kerbau gundul itu!” Su-ok terkekeh dan meloncat maju.

“Ihh, lupakah engkau bahwa kepalamu sendiri pun gundul dan engkau pun seorang hwesio gagal?” Ji-ok mengejek orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok itu.

Akan tetapi Su-ok tak peduli dan dia sudah bergerak mengamuk kalang-kabut, memukul sana-sini ke arah para hwesio itu. Ciong-hwesio yang tahu diri, tahu bahwa dia dan teman-temannya, sungguh pun telah memiliki ilmu silat yang lumayan, namun sama sekali bukanlah lawan Im-kan Ngo-ok, segera memberi isyarat dan mereka bertujuh sudah mengeroyok Su-ok. Lumayan kalau dapat menahan seorang di antara mereka sehingga Bu-taihiap tidak terlalu berat, pikirnya.

Memang ada benarnya pendapat Ciong Hwesio itu. Akan tetapi, biar pun kini mereka dapat saling bantu, dikeroyok empat orang dari Im-kan Ngo-ok merupakan hal yang amat berat dan berbahaya. Bu-taihiap dan Tang Cun Ciu tetap saja sibuk sekali menghadapi serangan mereka yang bertubi-tubi dan setiap serangan amat berbahaya itu. Cun Ciu sudah berusaha agar ia menghadapi Ngo-ok saja, dan ia selalu memutar tubuh menghadapi lawan ini yang merupakan lawan yang paling ringan di antara tiga orang yang lain. Dan Bu-taihiap juga diam-diam harus mengakui bahwa kalau dia selama ini meningkatkan kepandaiannya, ternyata musuh-musuhnya juga demikian, bahkan kini mereka memiliki ilmu-ilmu yang aneh sekali.

Cara Ngo-ok bersilat dengan jungkir balik itu membingungkan Cun Ciu sehingga ketika dia mengelak, lalu membabat dengan pedangnya ke arah kedua kaki lawan, hampir saja sebelah kaki lawan yang bergerak aneh itu dapat menendang pergelangan tangan. Memang pergelangan tangannya sudah kena tendang, akan tetapi pedang itu sudah dipindahkannya ke tangan kiri dan pedangnya membacok ke arah kaki. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja serangan jari tangan Kiam-ci dari Ji-ok sengaja diselewengkan ke arahnya.

Cun Ciu yang sedang sibuk menghadapi kedua kaki Ngo-ok yang lihai itu, terkejut dan mengelak, lehernya dapat diselamatkan dari sambaran tajam tangan pedang itu, akan tetapi pundaknya kena diserempet hawa yang dingin dan tajam. Dicobanya untuk menangkis dengan tangan kanan yang tidak memegang pedang, akan tetapi ia kalah cepat dan ia mengeluarkan seruan kaget, pundaknya terasa perih dan berdarah seperti terkena sambaran pedang tajam!

Selagi ia terhuyung, tiba-tiba saja tangan Ngo-ok dari bawah menyambar dan hendak mencengkeram kakinya. Serangan yang amat berbahaya! Akan tetapi, Cun Ciu adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan ia pernah melakukan kegemparan besar di dunia kang-ouw dengan mencuri pedang dari istana. Maka, biar pun pundaknya terluka dan kini tiba-tiba saja tangan Ngo-ok yang berada di bawah itu menyambar untuk menangkap pergelangan kakinya, ia masih dapat menyelamatkan dirinya dengan menarik kakinya itu, lalu langsung kakinya menendang ke arah muka Ngo-ok yang berjungkir balik itu!

Ngo-ok terkejut bukan main, dengan lengannya dia menangkis, akan tetapi dari atas pedang di tangan kiri Cun Ciu menyambar dan membabat ke arah kakinya! Ngo-ok mengeluarkan teriakan keras dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke belakang, sedangkan mukanya berubah agak pucat karena nyaris kakinya terbacok! Dia maju lagi dengan lebih hati-hati, sedangkan Bu-taihiap sendiri lega hatinya melihat isterinya, akan tetapi dari kanan kiri, Toa-ok dan Sam-ok menyambutnya.

Sementara itu, Su-ok yang dikeroyok tujuh orang hwesio mempermainkan tujuh orang hwesio itu sambil tertawa-tawa. “Heh-heh-heh, Amithaba.... bagaimana kalian berani melawan sucouw kalian? Hayo berlutut dan minta ampun, ha-ha-ha!”

Dan memang orang cebol ini telah membagi-bagi pukulan kepada tujuh orang itu tanpa mereka dapat membalas, sungguh pun mereka telah menyerang dengan toya mereka. Semua pukulan toya luput, dan kalau pun ada yang mengenal tubuh Si Cebol, toya-toya itu membalik dan setiap kali Si Cebol berhasil menampar, tentu hwesio-hwesio itu terpelanting dan babak bundas. Tentu saja Su-ok sengaja mempermainkan mereka, karena kalau dia mempergunakan tenaga sinkang-nya ketika menampar atau memukul, tentu mereka telah tewas sejak tadi.

“Sute, kau ini sudah tua bangka seperti kanak-kanak saja. Hayo cepat bereskan mereka dan bantu kami!” Ji-ok menegurnya ketika melihat sikap Su-ok, oleh karena mereka berempat memang belum juga mampu merobohkan Bu-taihiap dan Cun Ciu walau pun mereka berempat sudah dapat mendesak. Pertahanan kedua orang itu cukup kuat dan sukar ditembus.

“Heh-heh-heh, bukankah katamu sendiri tadi bahwa mereka ini adalah rekan-rekanku? Bagaimana aku dapat membunuh mereka? Aku takut dosa dan tidak dapat masuk Nirwana.... ha-ha-ha!”

“Sute, cepat bantu kami!” Terdengar Toa-ok membentak dan barulah Su-ok tidak berani main-main lagi, maklum bahwa kalau toako-nya sudah bicara, maka tentu serius dan tentu akan marah kalau dia berkelakar terus.

“Baik, Toako!” katanya dan tiba-tiba dia berjongkok, mengeluarkan pukulan Katak Buduknya, memukul ke arah Ciong-hwesio.

“Wuuuuttt.... dessss....!”

Dan tubuh Su-ok terpental dan terguling-guling seperti sebuah bola ditendang! Apa yang terjadi? Su-ok meloncat bangun dan matanya terbelalak memandang kepada seorang hwesio tinggi besar bermuka hitam yang barusan tadi telah menangkisnya. Bukan main! Tangkisan itu tidak hanya mampu membuyarkan tenaga ilmu pukulan Katak Buduk, bahkan membuat dia terdorong dan terpelanting keras!

Hwesio muka hitam itu lalu berkata kepada Ciong-hwesio dan yang lain-lain, “Harap Ciong-suhu dan saudara-saudara lainnya mundur.”

Ciong-hwesio girang sekali dengan munculnya Lim Kun Hosiang, Hwesio tinggi besar muka hitam yang mengaku murid Siauw-lim-pai dan yang datang bersama Tan Tek Hosiang yang bertubuh kecil itu. Tak disangkanya bahwa hwesio ini sedemikian lihainya sehingga mampu menandingi Su-ok. Maka dia pun mundur bersama teman-temannya.

Su-ok yang merasa penasaran sekali menjadi marah. Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau kelaparan, Si Pendek ini lalu menjatuhkan dirinya dan menggelundung ke arah hwesio muka hitam itu dan tiba-tiba dia menyerang dengan pukulan yang ampuh. Akan tetapi, hwesio muka hitam itu tidak mengelak, melainkan menangkis dengan kedua kaki terpentang dan kedua tangannya mendorong ke arah lawan yang memukulnya dengan ilmu pukulan Katak Buduk itu.

“Dessss....!”

Akibatnya hebat sekali. Su-ok kembali terpental dan bergulingan, dan pada saat dia mencoba bangun, dia roboh kembali dan dari mulutnya mengalir darah segar. Si Pendek ini cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan karena dia telah terluka dalam! Dan hwesio muka hitam itu kini cepat melangkah ke medan pertempuran. Sejenak dia memandang kepada Bu-taihiap dan mengeluarkan suara dengusan dari hidungnya, akan tetapi ketika dia melihat Cun Ciu yang didesak oleh Ngo-ok dan kadang-kadang menerima serangan Ji-ok dengan Kiam-ci yang berbahaya itu, Si Hwesio Muka Hitam ini maju dan ketika Ji-ok menyerang lagi ke arah Cun Ciu, dia pun maju dan menangkis.

“Plakkk!”

Dan Ji-ok terpental dengan kaget sekali. Tangkisan itu kuat bukan main, bahkan jauh lebih kuat dari pada tangkisan Cun Ciu dan setingkat dengan tenaga Bu-taihiap! Pada saat itu Si Hwesio Muka Hitam sudah menendang ke arah muka Ngo-ok yang masih berjungkir balik. Ngo-ok cepat menangkis dengan lengannya dan kakinya menendang ke arah tengkuk lawan baru ini. Akan tetapi, hwesio muka hitam itu tidak mempedulikan tengkuknya ditendang. Ketika tendangannya ditangkis, Ngo-ok terkejut karena merasa lengannya nyeri dan ketika tendangannya tiba mengenai tengkuk lawan, kakinya terasa terpental seperti membentur besi. Pada saat itu tangan hwesio tinggi besar muka hitam itu sudah menonjok ke depan, ke arah perutnya.

Tentu saja Ngo-ok menjadi terkejut dan tak tahu bagaimana harus menyelamatkan diri. Untunglah pada saat yang amat berbahaya ini Toa-ok sudah menggerakkan kakinya menendang dan tepat mengenai punggung adiknya yang ke lima ini.

“Desss....!”

Tubuh Ngo-ok terlempar dan terbanting, akan tetapi, dia terbebas dari ancaman maut pukulan hwesio muka hitam itu.

Toa-ok maklum bahwa lawan yang baru datang ini lihai sekali, maka dia pun cepat menggunakan tangan kanannya untuk memukul dengan tangan terbuka. Di antara suadara-saudaranya, Toa-ok ini memiliki kepandaian yang paling hebat, atau setidaknya setingkat dengan kepandaian Ji-ok. Meski gerakan-gerakannya sederhana saja, namun dia memiliki tenaga dahsyat yang sukar untuk dapat ditandingi lawan. Maka pukulannya dengan tangan terbuka ke arah hwesio muka hitam itu pun dahsyat bukan main, sampai mengeluarkan angin bercuitan suaranya.

Akan tetapi, diserang seperti itu, Si Muka Hitam tidak mengelak, melainkan menangkis dengan tangan terbuka pula. Jelasnya, Si Muka Hitam ini tidak takut untuk mengadu tenaga dengan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu.

“Plakkk!”

Dua telapak tangan bertemu dengan sangat dahsyatnya, dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan agak terhuyung. Terkejutlah Toa-ok. Hwesio yang tak terkenal ini memiliki tenaga yang seimbang dengan dia! Berarti setingkat pula dengan Bu-taihiap.

Sementara itu, setelah mendapat bantuan hwesio yang kosen itu, bangkitlah semangat Bu-taihiap dan dia sudah mendesak Sam-ok dan Ji-ok dengan pukulan-pukulan sakti. Kedua orang itu menghindarkan diri mundur.

Pada saat itu, nampak gulungan sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berdesing-desing dan ternyata hwesio muka hitam itu telah memutar sebatang cambuk baja yang tadinya menjadi ikat pinggangnya di balik jubah hwesio. Bukan main hebatnya senjata ini dan amat berbahaya, maka Toa-ok yang melihat bahwa dengan bantuan setangguh ini maka pihaknya akan mengalami banyak kerugian, lalu berteriak memberi tanda kepada adik-adiknya untuk melarikan diri. Mereka berlima pun berloncatan dan Ji-ok sudah menyambar lengan Su-ok yang terluka tadi, dibawanya lari dengan cepat sekali.`

Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu tadinya tidak tahu siapa adanya hwesio tinggi besar muka hitam yang amat lihai ini, akan tetapi begitu melihat gerakan silatnya dan melihat cambuk baja itu, ia berseru kaget, “Sam-te....!”

Hwesio muka hitam itu hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata.

Mendengar seruan ini, Bu-taihiap yang tadinya merasa ragu-ragu siapa adanya orang tinggi besar yang amat lihai itu terkejut pula, “Ahh, kiranya Ban-kin-sian Cu Kang Bu....“

Orang tinggi besar itu membuang muka tidak mau melayani Bu Seng Kin, bahkan lalu meloncat dan lari dari tempat itu, menghilang ke dalam gelap, meninggalkan Bu Seng Kin dan Tang Cun Ciu yang memandang bengong ke arah lenyapnya pendekar itu. Juga Ciong-hwesio menjadi terkejut dan terheran-heran, apalagi pada saat mendengar betapa Bu-taihiap dan isterinya sudah mengenal hwesio tinggi besar itu.

“Apa yang terjadi? Siapakah dia itu sebenarnya? Pinceng mengira benar-benar hwesio Siauw-lim-pai.... dan mana Tan Tek Hosiang, yang seorang lagi?”

Oleh karena khawatir akan kegagalan siasat yang sudah mereka rencanakan, maka Ciong-hwesio lalu lari ke dalam, diikuti oleh Bu-taihiap dan Tang Cun Ciu. Akan tetapi hati mereka lega ketika mendengar betapa Sang Pangeran telah berhasil dilarikan oleh para hwesio anak buah Ciong-hwesio, melalui pintu belakang dan menunggang kuda, sesuai dengan rencana, dengan dalih menyelamatkan Pangeran itu.

“Bagus....!” kata Ciong-hwesio, “Kalau begitu sekarang harus cepat-cepat menyiarkan berita bahwa Pangeran yang bermalam di kuil ini telah diculik penjahat-penjahat yang datang bersama Im-kan Ngo-ok!”

Akan tetapi, Bu Seng Kin dan Tang Cun Ciu merasa tak enak sekali melihat munculnya Cu Kang Bu yang menyamar sebagai hwesio, “Ciong-suhu, biar kami berdua mengejar mereka dan ikut mengawal Pangeran, sedangkan urusan penyebaran berita tentang penculikan Pangeran oleh orang-orang golongan hitam terserah kepada Ciong-suhu.”

Pendekar bersama isterinya ini cepat meloncat dan lenyap di dalam kegelapan malam, sedangkan Ciong-hwesio bersama para hwesio yang menjadi penghuni kuil itu segera menyiarkan bahwa pemuda yang menjadi tamu kuil itu telah diculik penjahat yang datang menyerbu kuil pada malam itu.

Dan dugaan Ciong-hwesio memang tepat sekali. Begitu berita itu disiarkan, malam itu juga, menjelang pagi, sudah banyak bayangan berkelebat memasuki kuilnya. Bayangan beberapa orang yang jelas merupakan orang-orang kang-ouw, yang bertanya tentang peristiwa terculiknya pemuda itu. Mereka ini adalah para pendekar yang diam-diam melindungi Pangeran Kian Liong.

Oleh karena Pangeran itu bermalam di dalam kuil dan mereka semua mengira bahwa keadaan Pangeran itu aman, maka mereka menjadi lengah. Apalagi karena mereka tidak mungkin ikut-ikutan bermalam di dalam kuil. Justeru pada malam itulah, di waktu mereka lengah, penjahat datang dan Pangeran itu diculik orang!

Ciong-hwesio menyambut mereka semua dengan hormat dan seolah memperlihatkan keheranannya, “Memang, tamu muda pinceng itu dilarikan penjahat yang malam tadi menyerbu ke kuil kami. Akan tetapi.... mengapa Cu-wi-enghiong kelihatan begini gugup? Siapakah Kongcu itu....? Pinceng hanya tahu bahwa dia menyumbang besar sekali dan dia sangat pandai membaca sajak....“

Seorang di antara para pendekar itu memandang tajam lalu berkata, suaranya penuh peringatan, “Losuhu, ingatlah baik-baik, pemuda itu adalah Sang Pangeran Mahkota sendiri yang menyamar!”

“Amithaba....!” Ciong-hwesio merangkapkan kedua tangan di depan dada dan tidak bicara lagi. Dia tentu saja hanya berpura-pura, akan tetapi sebagai seorang pendeta dia tidak mau banyak membohong, maka merasa lebih baik kalau tutup mulut saja.

“Oleh karena itu, lenyapnya Sang Pangeran di kuil ini tentu merupakan bahaya juga bagi kuil ini,” demikian pendekar itu melanjutkan, “Katakan, siapakah yang melakukan penculikan ini?”

“Bagaimana pinceng tahu? Yang pinceng ketahui hanyalah ada lima orang penjahat yang lihai sekali menyerbu kuil. Kami berusaha untuk menghalaunya karena mengira mereka itu perampok-perarnpok biasa. Dan ketika kami sedang sibuk melawannya, pemuda itu tahu-tahu lenyap dilarikan orang. Siapa lagi kalau bukan teman-teman para penjahat itu yang melakukannya?”

“Seperti apa macamnya penjahat-penjahat yang menyerbu itu?”

“Yang lima orang itu? Wah, mereka itu lihai bukan main. Kami semua bukanlah tandingannya, akan tetapi agaknya mereka tidak ingin membunuh kami. Mereka adalah lima orang yang amat menakutkan.... seperti iblis-iblis....“

Ciong-hwesio kemudian menceritakan keadaan lima orang itu, yang tentu saja sudah diketahuinya bahwa mereka adalah Im-kan Ngo-ok. Mendengar cerita kakek pendeta itu, orang-orang kang-ouw yang mendengarkan menjadi pucat wajahnya.

“Im-kan Ngo-ok....!” bisik beberapa orang di antara mereka dengan nada suara gentar.

“Celaka....! Kalau mereka yang menculik....”

Dan para pendekar itu dengan cepat kemudian meninggalkan kuil untuk melakukan pengejaran dengan hati penuh kebimbangan serta ketakutan. Ciong-suhu menahan senyumnya. Siasatnya berhasil baik sekali. Teman-temannya tentu kini telah berhasil mengamankan Pangeran itu untuk keperluan mereka, keperluan rakyat, dan keperluan perjuangan! Kaisar tentu akan dapat dibikin tidak berdaya kalau puteranya menjadi tawanan kaum patriot. Setidaknya, nasib mereka akan menjadi lebih baik, dan Kaisar harus memenuhi tuntutan mereka!

Akan tetapi ketika kakek ini dengan hati gembira memasuki kamar semedhinya, dia terkejut bukan main melihat ada sesosok bayangan orang berdiri tegak di dalam kamar itu! Bulu tengkuknya meremang. Dia adalah seorang ahli silat yang tak dapat dibilang bertingkat rendah, penglihatan dan pendengarannya masih kuat berkat latihan bertahun-tahun. Tetapi, bagaimana ada orang memasuki kamarnya tanpa dia mengetahuinya, tanpa dia dapat mendengar atau melihatnya? Setankah bayangan ini. Ibliskah?

“Amithaba....!” Dia berbisik beberapa kali, memandang dengan tajam ke arah bayangan itu.

Bayangan itu yang tadinya di sudut gelap, melangkah maju dan nampaklah seorang pria muda yang sama sekali tidak menyerupai iblis atau setan. Sebaliknya malah, pria muda itu adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh empat atau tiga puluh lima tahun yang tampan dan gagah, berpakaian sederhana namun bersih dan rapi, pakaiannya tertutup jubah besar lebar. Sepasang matanya itu saja yang tidak lumrah manusia, seperti mata beberapa orang tertentu, mata Bu-taihiap misalnya, yaitu mengandung sinar mencorong dan tajam sekali. Sikap orang ini pendiam dan agak dingin, akan tetapi senyum bibir dan pandang matanya membayangkan kehalusan budi.

“Siapa.... siapakah engkau....?” Ciong-hwesio bertanya.

“Maaf, Losuhu, tidak perlu benar diketahui siapa saya, akan tetapi saya datang untuk bertanya, benarkah Im-kan Ngo-ok menyerbu kuil ini dan menculik Pangeran Mahkota dari sini?”

Pertanyaan yang langsung ini berbeda dengan pertanyaan para orang kang-ouw tadi, dan pemuda ini agaknya tidak takut untuk langsung bertanya tentang Im-kan Ngo-ok. Penglihatan Ciong-hwesio yang sudah banyak pengalaman itu segera dapat menduga bahwa orang muda ini lain dari pada yang lain, dan tentu merupakan seorang pendekar tak terkenal yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

“Benar, Sicu. Mereka menyerbu dan ketika kami sibuk menghadapi mereka yang kami sangka hanyalah pengacau dan perampok biasa, tahu-tahu pemuda yang baru pinceng ketahui ternyata adalah Sang Pangeran itu lenyap diculik orang. Tentu kawan-kawan Im-kan Ngo-ok yang melakukannya.”

Orang muda itu mengangguk dan memandang tajam sekali, seolah-olah sinar matanya mampu menembus dada kakek itu, membuat Ciong-hwesio merasa seram.

“Kalau Losuhu dan para hwesio kuil ini dapat menentang Im-kan Ngo-ok dan keluar dengan selamat dari pertempuran, sungguh itu hanya menandakan bahwa Losuhu dan para suhu di kuil ini memiliki kepandaian yang tak dapat diukur tingginya!”

Ciong-hwesio terkejut sekali dan merasa tersudut, maka sebagai seorang yang banyak pengalaman dan cerdik, dia cepat menggoyang tangan dan menarik napas panjang.

“Amithaba....! Orang seperti pinceng dan para teman yang lemah ini, mana mungkin dapat menandingi mereka? Untung ada Bu-taihiap dan isterinya yang membantu sehingga kami semua dapat keluar dengan selamat dari pertempuran itu.”

Orang muda itu mengangguk-angguk. “Ahhh, jadi Bu-taihiap dan isterinya yang tadi menghadapi mereka? Akan tetapi, Sang Pangeran tetap saja hilang?”

Ciong Hwesio menjadi waspada. Orang muda ini tidak boleh dipandang ringan, dan memiliki kecerdikan dan ketenangan yang luar biasa. Maka dia pun menjawab dengan merangkapkan tangan di depan dadanya, “Amithaba, begitulah yang terjadi, Sicu. Pinceng sendiri tidak tahu siapa yang menculiknya, hanya menduga siapa lagi kalau bukan teman-teman Im-kan Ngo-ok yang sengaja menyerbu dan memancing kami semua keluar dari kuil menghadapi mereka sehingga Sang Pangeran yang tadinya kami kira tamu biasa, dapat diculik orang dengan mudahnya.”

“Jadi tidak ada seorang pun suhu di kuil ini yang sempat melihat siapa penculiknya?”

Ciong-hwesio menggeleng kepalanya dan orang muda itu lalu menjura, “Terima kasih atas semua keterangan Losuhu.” Orang muda itu berkelebat dan lenyap seperti pandai menghilang saja.

Setelah orang muda itu menghilang, Ciong-hwesio menjadi gelisah. Dia tidak mengenal siapa adanya pendekar muda ini, akan tetapi dia dapat menduga bahwa orang ini lihai sekali. Celakanya, dia tidak dapat menduga di golongan mana pendekar ini berpihak. Di golongan musuh Pangeran seperti Im-kan Ngo-ok yang hendak membunuh Pangeran? Ataukah di golongan kaum patriot? Agaknya tidak mungkin kalau pemuda itu memihak kaum patriot, karena kalau demikian halnya tentu dia telah mengenalnya, dan sikapnya tidak seperti itu, seolah-olah mencurigai dan menyelidikinya. Ataukah di golongan pelindung Pangeran seperti banyak terdapat pada golongan pendekar? Mungkin sekali.

Belum lama ini pun, Siauw-lim-pai telah menganjurkan murid-muridnya untuk melindungi Pangeran yang dianggapnya bijaksana, tidak seperti ayahnya yang kini menjadi kaisar. Akan tetapi, semenjak Kaisar memusuhi Siauw-lim-pai, ada perintah baru dari pihak Siauw-lim-pai, dan siasat yang sekarang ini pun disetujui Siauw-lim-pai, yaitu hendak mempergunakan Pangeran sebagai sandera untuk mengekang kelaliman Kaisar.

Karena sangsi dan khawatir, Ciong-hwesio lalu mengumpulkan anak buahnya dan dia sendiri lalu naik kuda dan diam-diam pada pagi hari sekali itu sudah membalapkan kudanya untuk segera menyusul rombongan pembantu-pembantunya yang melarikan Sang Pangeran.

Sementara itu, ‘Sang Pangeran’ yang dilarikan oleh lima orang hwesio itu membalapkan kudanya memasuki hutan yang gelap. Setelah tiba di tempat gelap, terpaksa kuda mereka tidak dapat dibalapkan lagi dan seorang di antara para hwesio itu menangkap kendali kuda dan menuntun kuda yang ditunggangi Sang Pangeran ini supaya berjalan perlahan-lahan menyusup ke dalam hutan.

Setelah munculnya hwesio tinggi besar muka hitam yang ternyata telah dikenal oleh Tang Cun Ciu sebagai Cu Kang Bu, tokoh ke tiga dari penghuni Lembah Suling Emas, maka tentu mudah diduga oleh para pembaca siapa adanya hwesio bertubuh kecil ramping yang ternyata seorang wanita dan yang kini menggantikan kedudukan Sang Pangeran dengan penyamarannya yang persis itu. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan Ang-siocia atau Yu Hwi yang pandai melakukan penyamaran seperti itu? isteri Cu Kang Bu ini, bekas murid Hek-sin Touw-ong, selain pandai ilmu silat yang tinggi, juga pandai sekali dalam ilmu mencopet atau mencuri dan di samping ini pandai sekali dalam ilmu menyamar. Tentu saja nenek tua yang berjubel di antara mereka yang bersembahyang di kuil Hok-te-kong siang hari sebelumnya adalah Yu Hwi juga, yang datang sebagai nenek untuk melakukan penyelidikan dan ia telah melihat Bu-taihiap di dalam kuil.

Yu Hwi dan suaminya, Cu Kang Bu, pergi meninggalkan Lembah Naga Siluman, yaitu nama sebutan baru dari Lembah Suling Emas setelah keluarga Cu dikalahkan oleh Kam Hong sebagai ahli waris Suling Emas, karena mereka berdua merasa khawatir akan keselamatan Cu Pek In, keponakan mereka. Tadinya mereka mengira bahwa Cu Pek In hanya akan pergi sebentar saja. Akan tetapi setelah ditunggu-tunggu sampai sebulan tidak juga gadis itu pulang, Cu Kang Bu merasa tidak enak sekali terhadap twako-nya yang kini bersama Ji-konya bertapa di tempat yang terasing. Dia merasa bertanggung jawab akan keselamatan dara itu, maka dia pun lalu meninggalkan lembah bersama isterinya untuk mencari Cu Pek In yang minggat itu dan membujuknya agar pulang ke lembah.

Karena jejak dara itu menuju ke timur, maka mereka pun melakukan pengejaran dan akhirnya mereka tiba di kota Pao-ci di mana mereka secara kebetulan mendengar percakapan para pendekar yang melindungi Pangeran bahwa Sang Pangeran yang menyamar sebagai seorang pemuda biasa itu kini menginap di dalam kuil Hok-te-kong. Cu Kang Bu merasa tertarik, demikian pula isterinya.

Sudah lama mereka berdua mendengar di dalam perjalanan itu tentang keributan di istana, tentang kematian Sam-thaihouw, tentang kelaliman Kaisar yang memusuhi Siauw-lim-pai. Juga tentang Pangeran Kian Liong yang kabarnya amat bijaksana dan mencintai rakyat. Timbul perasaan suka dan kagum dalam hati suami isteri perkasa ini. Akan tetapi ketika secara kebetulan pula mereka melihat Im-kan Ngo-ok berada di kota itu, hati mereka terkejut bukan main dan penuh kekhawatiran.

Mereka bukanlah orang-orang yang semata-mata membela Pangeran karena politik, bukan pula menentang kaum patriot. Mereka ini adalah suami isteri yang tidak ingin melibatkan diri dengan semua urusan perebutan kekuasaan itu, akan tetapi mereka berpihak kepada Pangeran hanya dengan dasar bahwa menurut yang mereka dengar, Pangeran adalah seorang pemuda yang bijaksana dan mencinta rakyat. Seorang yang baik, dan kini orang yang mereka kagumi itu agaknya terancam bahaya besar dengan adanya Im-kan Ngo-ok berkeliaran di kota yang sama.

Itulah sebabnya mengapa Yu Hwi menyamar sebagai seorang nenek tua yang ingin bertemu dengan Ciong-hwesio untuk minta diberi nama pada cucu buyutnya. Kehadiran Bu-taihiap di tempat itu membuat mereka maklum bahwa urusan ini bukan urusan kecil, tetapi urusan yang mengandung politik di mana orang-orang yang memiliki kesaktian ikut pula terlibat. Maka mereka bersikap hati-hati. Bagi mereka yang terpenting adalah menyelamatkan Sang Pangeran Mahkota, baik dari tangan orang-orang yang hendak membunuhnya, mau pun dari tangan siapa pun yang mempunyai itikad buruk terhadap Pangeran itu.

Demikianlah, dengan kepandaiannya dalam ilmu penyamaran, Yu Hwi lalu berdandan dan mendandani suaminya. Dengan topeng-topeng yang memang selalu siap di dalam buntalannya, dia dan suaminya berubah menjadi hwesio-hwesio. Dengan berani mereka menemui Ciong-hwesio, berhasil mengelabuhi semua hwesio dan diterima sebagai rekan-rekan yang boleh dipercaya. Ketika mereka berdua diuji oleh Ciong-hwesio, tentu saja mereka mampu mainkan beberapa jurus ilmu silat Siauw-lim-pai yang umum.

Tentu saja ‘Pangeran’ yang dikawal oleh lima orang anak buah Ciong-hwesio itu adalah Yu Hwi yang menyamar. Tadinya, Cu Kang Bu bersama Pangeran Kian Liong yang menyamar sebagai dua orang hwesio itu, turut pula mengawal. Akan tetapi tidak lama kemudian, sesuai dengan rencana suami isteri itu, Cu Kang Bu lalu mengajak Sang Pangeran itu untuk kembali ke kuil dan menyuruh lima orang hwesio untuk melanjutkan pengawalan mereka.

“Pinceng berdua mesti menolong Ciong-suhu menghadapi orang-orang jahat,” demikian Cu Kang Bu yang menyamar sebagai hwesio tinggi besar muka hitam itu memberi alasan kepada para hwesio anak buah Ciong-hwesio itu.

Tentu saja mereka merasa setuju, mengingat bahwa yang menyerbu kuil adalah tokoh-tokoh sakti seperti Im-kan Ngo-ok itu. Dan demikianlah, Cu Kang Bu menggendong Pangeran dan dengan cepat lari kembali ke kuil tanpa dilihat oleh para hwesio yang mengawal ‘Pangeran’ itu. Cu Kang Bu kemudian menyuruh Pangeran Kian Liong yang menyamar sebagai hwesio itu menanti agak jauh dari kuil, bersembunyi di dalam bagian yang gelap, sedangkan dia sendiri dengan gerakan cepat sekali lari ke kuil dan seperti telah kita ketahui, dia berhasil membantu Bu Seng Kin dan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu memukul mundur Im-kan Ngo-ok.

Oleh karena suaminya pergi bersama Sang Pangeran sesuai dengan rencana, yaitu suaminya akan membawa pergi Pangeran Kian Liong dan mengamankannya dari pengejaran semua orang yang beritikad buruk terhadap Sang Pangeran, maka Yu Hwi yang sekarang menggantikan kedudukan Pangeran itu berada sendirian saja dengan lima orang hwesio yang mengawalnya. Ia tidak segera mau bergerak, menanti sampai lama untuk memberi kesempatan kepada suaminya agar suaminya dapat membawa Sang Pangeran ke tempat yang jauh dan aman betul.

Ia tidak tahu bahwa ada sedikit perubahan, yaitu bahwa suaminya tidak langsung membawa pergi Pangeran Kian Liong, melainkan kembali ke kuil untuk membantu menghadapi Im-kan Ngo-ok. Hal ini di luar perhitungannya, menyimpang dari siasat mereka. Yu Hwi tidak tahu bahwa melihat bekas Toaso itu harus berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok yang lihai, hati suaminya tidak dapat membiarkan begitu saja tanpa membantu.

Kini hati wanita yang cerdik ini menjadi tenang setelah Sang Pangeran berhasil diajak pergi oleh suaminya. Kalau ia mau, tentu pada saat itu juga dengan mudah ia akan dapat meloloskan diri dari ‘pengawalan’ lima orang hwesio itu. Akan tetapi Yu Hwi tidak mau menimbulkan keributan dan membuka rahasia pada malam itu juga karena dengan demikian tentu suaminya yang membawa pergi Sang Pangeran itu belum tiba di tempat seperti yang mereka rencanakan.

Menurut rencana mereka, malam itu juga Cu Kang Bu akan membawa Sang Pangeran menuju ke kota besar Sian melalui jalan sungai dan baru pada keesokan harinya, Yu Hwi akan menyusulnya dengan jalan darat. Mereka akan saling bertemu di Sian. Dan Yu Hwi akan meninggalkan para pengawalnya, kalau mungkin tanpa mereka ketahui sehingga para pengawal itu hanya akan kehilangan ‘pangeran’ dan menduga bahwa Pangeran itu tentu diculik orang tanpa setahu mereka. Dan hal ini tidak mungkin dilakukan oleh Yu Hwi selama mereka berenam masih menunggang kuda di dalam hutan itu.

Dan ternyata enam orang hwesio itu membawanya berkuda terus sampai mereka keluar dari hutan itu dan tiba di luar hutan, di sebuah lereng sunyi di tepi sungai, setelah hampir pagi! Di tempat sunyi itu telah disediakan sebuah pondok kayu sederhana dan para hwesio itu mempersilakan Sang Pangeran untuk beristirahat di dalam kamar kayu di pondok itu. Mereka sendiri lalu membuat api unggun karena hawa udara amat dinginnya, dan ada yang memasak air. Ada pula seorang di antara mereka yang bersiap siaga di luar jendela kamar itu dengan toya di tangan.

Yu Hwi merebahkan tubuhnya di atas dipan kayu yang berada dalam kamar itu. Ia merasa lelah dan mengantuk sekali. Tentu saja dia merasa lelah karena dia harus menunggang kuda hampir semalam suntuk, terutama karena kedua kakinya diganjal agar ia menjadi sejangkung Pangeran.

Akan tetapi, tiba-tiba pendengarannya yang terlatih itu menangkap suara yang tidak wajar, di luar jendela kamarnya. Cepat, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, dia meloncat turun dan mengintai dari lubang celah-celah jendela. Dan matanya terbelalak melihat sosok bayangan yang gerakannya cepat sekali, berkelebat tiba di belakang hwesio penjaga yang memegang toya itu dan sekali bayangan itu menggerakkan tangan menepuk pundak maka hwesio itu tanpa mengeluh menjadi lemas dan pingsan!

Bayangan itu kemudian menarik hwesio penjaga, merebahkannya dengan posisi duduk bersandar dinding pondok, toyanya bersandar dinding pula, dan nampaknya seperti penjaga itu masih berjaga namun sambil duduk karena lelah dan kantuknya! Kemudian, bayangan itu mendorong daun jendela terbuka dan meloncat masuk. Yu Hwi sudah bersiap-siap, tetapi ia menjadi bengong dan begitu besar keheranan dan kekejutannya sampai ia tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara apa pun.

Tentu saja ia mengenal bayangan ini setelah memasuki kamar pondok, oleh karena bayangan ini bukan lain adalah Kam Hong!

“Sssttt.... harap jangan bersuara, Pangeran,” bisik Kam Hong. ”Paduka berada dalam bahaya. Hwesio-hwesio itu ialah anggota kaum patriot yang menentang Kaisar. Hamba datang untuk menyelamatkan Paduka.”

Dan sebelum Yu Hwi hilang kagetnya, tiba-tiba saja Kam Hong sudah memondongnya dan membawanya meloncat keluar dari jendela itu, terus berloncatan dengan kecepatan kilat menghilang di antara pohon-pohon dalam cuaca yang masih remang-remang itu!

Tentu saja Yu Hwi menjadi terkejut, terheran, marah, malu dan entah perasaan macam apa lagi yang mengaduk hatinya ketika ia dipondong dengan tangan Kam Hong seperti itu dan dibawa lari ke dalam hutan! Kalau menurut perasaannya, ingin dia meronta, bahkan mungkin sambil memukul pria muda yang pernah menjadi calon suaminya, menjadi tunangannya yang syah!

Akan tetapi ia tidak mau membikin gaduh karena kalau terjadi demikian, tentu para hwesio akan mendengar dan rahasianya bahwa ia bukanlah Pangeran Kian Liong akan terbuka. Oleh karena itu, terpaksa ia menahan dirinya, diam saja membiarkan dirinya dipondong dan dilarikan oleh Kam Hong. Akan tetapi setelah mereka lari jauh ke dalam hutan dan sinar matahari pagi mulai menerobos masuk hutan melalui celah-celah daun pohon, tiba-tiba Yu Hwi tak dapat menahan rasa malunya lagi dan ia segera menjerit, “Lepaskan aku! Lepaskan!”

Kam Hong terkejut bukan main mendengar jeritan ini. Mengapa suara Pangeran Kian Liong berubah menjadi suara perempuan? Dia cepat melepaskan pondongannya dan memandang dengan kedua mata terbelalak. Orang ini masih Pangeran yang dibawanya lari tadi! Akan tetapi suara itu....!

“Pangeran....,” katanya bingung. “Ada apakah maka Paduka....”

“Pangeran! Pangeran! Apakah matamu sudah buta? Tak tahu malu!” Dan Yu Hwi sudah melangkah maju dan kedua tangannya menyambar untuk menampar muka Kam Hong!

Tentu saja pendekar ini terkejut dan menjadi semakin heran. Tamparan Pangeran itu bukanlah tamparan orang biasa, melainkan tamparan yang dilakukan oleh orang yang memiliki tenaga sinkang yang amat kuat! Maka tentu saja dia mengelak mundur, masih bingung karena kembali dia mendengar betapa suara pangeran ini mirip suara seorang wanita.

Teringatlah Kam Hong kini betapa ketika dia memondong dan melarikan Pangeran tadi, dia mencium bau harum yang lembut dan juga dia merasa betapa tubuh Pangeran itu mempunyai kehangatan dan kelembutan yang membuat dia tadi diam-diam merasa heran. Ia tadi mengira bahwa memang seorang pangeran, seorang pemuda bangsawan tertinggi dan kehidupannya serba mulia dan mewah memang sudah sepatutnya memiliki kelembutan seperti wanita, maka semua itu tidak dipedulikannya.

Sekarang barulah dia mengerti. Kiranya Pangeran Kian Liong ini seorang wanita! Dan terkejutlah dia. Pangeran itu sudah terkenal sekali dan jelas bukan wanita. Kalau begitu, ini tentu seorang wanita yang menyamar sebagai Pangeran Kian Liong! Dan sepanjang pengetahuannya, wanita yang pandai melakukan penyamaran sehebat itu di dunia ini hanya seorang saja!

“Kau.... kau siapa? Dan apa artinya ini....?” Dia memandang terbelalak sambil terus mengelak mundur.

“Apa artinya....? Artinya.... engkau buta atau memang kurang ajar, mempergunakan kesempatan....!” Yu Hwi terus mendesak dan sekarang bukan hanya ingin menampar, melainkan melakukan serangan-serangan pukulan yang dahsyat!

Kam Hong mengelak dan kadang-kadang menangkis. Sekarang dia yakin benar bahwa ‘pangeran’ ini tentu penyamaran Yu Hwi, bekas tunangannya itu! Dan dia disangka telah tahu akan penyamaran itu dan dengan dalih menolong pangeran ia dikira menggunakan kesempatan itu untuk memondong dan memeluknya!

“Ah kau salah duga.... dengarlah dulu....,” Kam Hong berkata. Akan tetapi wanita yang berwatak keras itu menyerangnya terus.

Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, “Hwi-moi, apa artinya ini?”

Mendengar suara ini, Yu Hwi menghentikan serangan-serangannya, menoleh, lalu lari menubruk dan merangkul suaminya sambil menangis! Sedangkan Kam Hong berdiri memandang dengan muka merah, merasa canggung dan tidak tahu harus berkata apa.

“Yu Hwi, ada apakah....?” Cu Kang Bu merangkul isterinya, kemudian mengangkat muka memandang kepada Kam Hong dengan sinar mata berkilat, alisnya berkerut mengandung keraguan dan juga kecurigaan.

Melihat isterinya masih menangis sesenggukan, kembali Cu Kang Bu bertanya, “Apa artinya ini? Hwi-moi, kenapa engkau menangis? Apa yang telah terjadi?”

“Dia.... dia memondongku.... hu-huuh....!” Yu Hwi akhirnya berkata sambil menangis.

Mendengar ini, Cu Kang Bu terkejut bukan main. Dia adalah seorang pendekar yang gagah perkasa. Andai kata dia tidak mengenal Kam Hong, tentu ucapan isterinya itu akan diselidiki lebih dulu sebab-sebabnya mengapa isterinya dipondong orang. Akan tetapi dia mengenal Kam Hong sebagai bekas tunangan isterinya, maka ucapan isterinya itu tentu saja membuat mukanya seketika menjadi merah dan sinar matanya mengandung kemarahan besar. Dia melepaskan rangkulannya dan melangkah maju menghadapi Kam Hong.

“Orang she Kam....,” suaranya terdengar kaku. “Aku mengenal siapa engkau, tahu bahwa engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan kami pernah dikalahkan olehmu, akan tetapi jangan mengira bahwa aku takut menghadapi kematian di tanganmu untuk membela kehormatan isteriku! Majulah, kita hanya dapat mencuci penghinaan ini dengan darah!”

Kam Hong menarik napas panjang dan mukanya yang tadinya pucat itu kini menjadi merah. Dia menggeleng kepalanya beberapa kali. Menarik napas panjang lagi, lalu memandang kepada pria tinggi besar itu dengan sinar mata penuh penyesalan.

“Maafkanlah kalau tanpa kusengaja aku telah membuatmu marah, Saudara Cu Kang Bu. Akan tetapi dengar dulu penjelasanku sebelum engkau mengambil kesimpulan dan pendapat yang mungkin keliru dan kelak hanya akan membuatmu menyesal. Kebetulan aku mendengar tentang bahaya yang mengancam Pangeran Kian Liong di kota Pao-ci dan kebetulan pula aku melihat Im-kan Ngo-ok. Maka aku lalu melakukan penyelidikan pagi lewat tengah malam tadi di kuil di mana Pangeran itu mondok. Aku mendengar dari para hwesio bahwa kuil diserbu Im-kan Ngo-ok dan bahwa Pangeran diculik teman-teman Im-kan Ngo-ok. Maka aku lalu melakukan pengejaran dan pencarian. Akhirnya aku melihat Sang Pangeran di dalam pondok yang dijaga oleh beberapa orang hwesio. Aku lalu memasuki pondok dan aku cepat memondong dan melarikan Pangeran dari pondok itu, khawatir kalau-kalau sampai ada Im-kan Ngo-ok yang mengejar. Aku khawatir jika harus menghadapi lima orang tangguh itu, tentu aku tak dapat melindungi Pangeran dengan baik. Sungguh mati aku tidak tahu bahwa yang kupondong adalah seorang pangeran palsu. Sungguh sukar membedakan karena.... karena memang cuaca masih agak gelap dan aku sama sekali tidak menyangka....“

Wajah yang tadinya merah itu kini berseri dan Cu Kang Bu merasa lapang dadanya. Dia menoleh kepada isterinya. “Hwi-moi, benarkah itu....?”

Yu Hwi mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah pun kata.

“Kalau benar, mengapa engkau menangis dan marah-marah?” suaminya bertanya.

Yu Hwi mengangkat mukanya. “Habis, apakah aku harus merasa senang dan tertawa? Dia memondongku, mengertikah engkau? Aku merasa terhina!”

“Ahhh, Hwi-moi, mengapa pandanganmu begitu dangkal? Kam-taihiap melakukannya karena tak sengaja, karena tidak tahu bahwa yang dipondongnya bukan Pangeran asli! Ha-ha-ha-ha!” Cu Kang Bu tertawa karena merasa betapa lucunya peristiwa itu. Yu Hwi masih menunduk dengan muka merah dan mulut cemberut.

“Aku mohon maaf, baik kepada Adik Yu Hwi mau pun kepadamu, Saudara Cu,” kata Kam Hong.

“Ahhh, kami yang harus minta maaf kepadamu, Kam-taihiap. Isteriku telah bersikap kekanak-kanakan dan tidak adil padamu, sedangkan aku....,“ pria tinggi besar itu menghela napas panjang. “Agaknya aku masih harus banyak belajar darimu, Taihiap. Aku masih belum dapat menguasai diri, mudah terseret oleh perasaan dan cemburu. Sungguh memalukan sekali.”

Mendengar percakapan dua orang gagah itu, Yu Hwi kini baru sadar bahwa memang sikapnya tadi amat keterlaluan. Ia pun dapat mengerti bahwa bekas tunangannya itu tentu saja tidak dapat mengenal penyamarannya. Dan ia pun tadi marah-marah karena dorongan emosi yang timbul karena merasa canggung dan malu.

Maka untuk membelokkan percakapan mengenai urusan itu, ia cepat-cepat bertanya kepada suaminya, “Di mana beliau? Kenapa tak kelihatan bersamamu?”

Dan memang membelokkan percakapan ini tepat sekali. Suaminya menghela napas panjang dan kelihatan kecewa dan gelisah sekali setelah teringat akan Pangeran itu.

“Sungguh aku merasa menyesal bukan main. Beliau telah lenyap....”

“Lenyap?” Penegasan ini dikeluarkan oleh dua mulut, yaitu mulut Kam Hong dan Yu Hwi.

Kembali Cu Kang Bu menarik napas panjang. “Salahku....! Pada waktu aku membawa Pangeran keluar, aku melihat pertempuran antara Im-kan Ngo-ok melawan Bu Seng Kin dan Toaso-ku....”

“Ahh, Subo juga ikut....?” Yu Hwi berseru kaget dan heran.

Suaminya mengangguk. “Subo-mu kini agaknya telah bersatu dengan Bu Seng Kin....,” di dalam suaranya terkandung kepahitan, mengingatkan dia akan kematian twako-nya karena perbuatan Toaso-nya yang berjinah dengan Bu Seng Kin. ”.... melihat kelihaian Im-kan Ngo-ok, dan mengingat akan hubungan antara Toaso dengan keluarga kita, terutama mengingat bahwa betapa pun juga ia adalah gurumu, maka aku lalu menyuruh Pangeran bersembunyi dan aku lalu membantu mereka mengusir Im-kan Ngo-ok. Akan tetapi setelah berhasil, dan aku kembali ke tempat di mana kutinggalkan Pangeran, beliau telah lenyap tanpa meninggalkan jejak. Aku mencarinya sampai berputar-putar dan akhirnya aku hendak menyusulmu untuk kuajak mencari bersama-sama. Nah, aku jumpai kalian di sini....”

“Saudara Cu, Adik Yu Hwi, selamat berpisah, aku harus mencari Pangeran!” Setelah berkata, dengan tiba-tiba saja Kam Hong meloncat dan lenyap.

Suami isteri itu merasa kagum dan mereka pun pergi dari situ karena tidak ingin diketahui orang bahwa mereka yang telah melarikan Pangeran. Yu Hwi cepat berganti pakaian dan kini suami isteri ini tidak menyamar lagi…..

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman