SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-44
Pangeran Kian Liong bersembunyi di dalam bayangan yang gelap ketika hwesio tinggi besar itu meninggalkannya dan memesan agar dia tinggal dulu di situ karena hwesio tinggi besar itu akan melihat keadaan dan membantu para hwesio menghalau pengacau yang datang menyerbu dan yang mempunyai maksud buruk dan jahat terhadap Sang Pangeran.
Tetapi, tidak lama kemudian setelah hwesio tinggi besar itu meloncat pergi, Pangeran itu merasa tidak betah tinggal menyembunyikan dirinya di balik bayangan gelap itu. Dia kan sudah menyamar sebagai hwesio? Siapa yang akan tahu bahwa hwesio ini adalah Pangeran Mahkota? Terdorong oleh sifatnya yang pemberani, juga oleh kesenangannya menonton pertempuran adu silat, dan tertarik oleh suara-suara perkelahian di dalam kuil itu, Pangeran Kian Liong akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya dan melangkah menuju ke kuil kembali untuk melihat perkelahian!
Dan pada saat dia tiba di dinding pagar kuil, tiba-tiba terdengar seruan perlahan memanggilnya, “Paduka di sini, Pangeran?”
Otomatis lupa akan penyamarannya, Pangeran itu menjawab, “Benar, siapakah Anda?”
Pemuda tampan gagah itu tidak menjawab, langsung menyambar dan memanggulnya, dan melarikan diri di tempat gelap. Sebelum Pangeran itu sempat mengeluarkan suara, dua buah jari tengah telah menekan tengkuknya, membuat Pangeran itu tidak mampu mengeluarkan suara lagi. Dan pemuda itu berlari dengan kecepatan yang luar biasa, membuat Sang Pangeran terpaksa harus memejamkan mata karena ngeri juga.
Menjelang pagi, barulah pemuda itu berhenti dan mereka sudah berada jauh di sebelah utara kota Pao-ci, sudah mendekati kota Thian-sui yang berada di luar perbatasan Propinsi Shan-si dan sudah termasuk dalam Propinsi Kan-su. Dan ternyata di sebuah tempat yang sunyi dalam sebuah dusun, di situ telah menanti sebuah kereta dan Pangeran Kian Liong kemudian dibawa masuk ke dalam kereta oleh pemuda yang melarikannya itu.
Di dalam kereta telah menanti tiga orang wanita cantik, dan kini, setelah ‘pemuda’ itu tidak lari lagi dan dapat dilihat wajahnya, Sang Pangeran baru maklum dan merasa terheran-heran mendapat kenyataan bahwa pemuda itu pun ternyata adalah seorang wanita! Bahkan kini dia pun teringat bahwa dia pernah melihat empat orang wanita cantik ini sebagai pembantu dan pengawal mendiang Sam-thaihouw!
Dia tidak mengenal nama mereka, tidak tahu siapakah adanya empat orang wanita cantik ini, akan tetapi dia pernah melihat mereka ini mengawal Ibu Suri Ke Tiga itu. Maka Sang Pangeran pun mengertilah bahwa dia terjatuh ke tangan orang-orang yang sangat boleh jadi memusuhinya, atau setidaknya mereka ini adalah bekas tangan kanan atau pembantu-pembantu Sam-thaihouw yang selalu menganggapnya sebagai musuh.
“Bagus sekali, A-ciu, engkau berjasa besar sekali ini. Memang aku tahu, hanya engkau di antara kita yang paling pandai menyamar,” A-hui, orang pertama dari Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik) itu berkata memuji adiknya yang paling muda.
“Wah, tetapi aku merasa tegang dan ngeri, Twa-ci (Kakak Perempuan Tertua), kalau mengingat betapa orang-orang sakti berada di sana, sedang bertempur menghadapi suhu-suhu kita,” jawab A-Ciu sambil bergidik. “Untung sekali orang sakti, hwesio tinggi besar itu meninggalkan Pangeran seorang diri, kalau tidak, mana aku berani turun tangan?”
“Betapa pun juga, kita telah berhasil. Mari kita cepat membawanya pergi dari sini,” kata pula A-hui.
Mereka itu bercakap-cakap di depan Pangeran, seolah-olah Sang Pangeran itu tidak ada saja, sama sekali tak peduli bahwa Sang Pangeran mendengar semua percakapan mereka. A-ciu yang masih menyamar sebagai pria itu kini duduk di tempat kusir dan mencambuk dua ekor kuda yang segera lari menarik kereta itu. Sedangkan tiga orang cici-nya duduk di dalam kereta bersama Sang Pangeran.
Para pembaca tentu masih ingat akan Su-bi- Mo-li, empat orang wanita cantik yang menjadi murid-murld terkasih itu. Sampai sekarang pun, semuanya belum juga menikah dan masih hidup berempat sebagai petualang-petualang wanita yang namanya ditakuti oleh banyak orang kang-ouw, karena selain mereka ini amat lihai, juga mereka ini kejam dan ganas sekali.
Yang tertua bernama A-hui, kini berusia tiga puluh lima tahun dan seperti juga dahulu, ia selalu memakai baju berwarna kuning. Ada tahi lalat di dagunya dan tahi lalat ini di samping mendatangkan kemanisan pada wajahnya, juga mendatangkan bayangan kekerasan hati yang mengerikan. Orang ke dua bernama A-kiauw, berusia tiga puluh dua tahun, selalu memakai baju merah. Orang ke tiga, yang memakai baju biru bernama A-bwee, berusia tiga puluh satu tahun, sedangkan A-ciu, yang termuda berusia tiga puluh tahun, jika berpakaian biasa sebagai wanita selalu memakai baju hijau dan A-Ciu ini wajahnya manis sekali, gerak-geriknya lincah dan sedikit lebih genit dari pada kakak-kakaknya. Mereka semua merupakan ahli-ahli pedang yang lihai dan jarang mereka itu bergerak sendiri-sendiri, tentu selalu berempat.
Di dalam kereta Sang Pangeran menghadapi tiga orang wanita itu. Beberapa saat lamanya dia memandang tajam kepada mereka tanpa kata-kata. Dan tiga orang wanita itu, yang oleh orang-orang kang-ouw dinamakan iblis-iblis betina, orang-orang yang sudah terbiasa dengan segala perbuatan kejam, yang dapat membunuh orang tanpa berkedip mata, kini lebih banyak menundukkan muka, tidak dapat bertahan lama menentang pandang mata Pangeran muda itu.
Sikap Pangeran ini sungguh amat mengagumkan dan menimbulkan rasa segan dan takut. Sikap yang sedikit pun tidak membayangkan rasa takut atau khawatir, bahkan dari sepasang mata yang tajam dan jernih itu terdapat pandangan seperti orang dewasa melihat tingkah laku anak-anak nakal, bibirnya mengandung senyum bertoleransi besar, seolah-olah dia maklum sudah mengapa anak-anak di depannya itu berbuat nakal seperti itu dan sudah siap untuk memaafkan!
Akhirnya, menghadapi tiga orang wanita yang duduk bersila di depannya, yang hampir tak berani lagi mengangkat muka memandangnya karena tanpa setahunya ada wibawa keluar dari dirinya, Sang Pangeran berkata, suaranya halus namun mengandung nada teguran.
“Bukankah kalian berempat ini dulu pernah menjadi pengawal-pengawal dari mendiang Sam-thaihouw?”
Tiga orang wanita itu mengangkat kepala untuk saling pandang dan mereka itu nampak bingung dan gugup, akan tetapi terpaksa A-hui, sebagai seorang pertama yang memimpin, memberanikan hatinya yang berdebar untuk mengangkat muka memandang wajah Pangeran itu. “Benar, Pangeran....,“ jawabnya, suaranya lirih. Akan tetapi setelah ia memandang mata yang tajam dan peramah itu, keberaniannya mulai timbul kembali dan ia mulai tersenyum manis.
Pangeran Kian Liong yang tahu bahwa tiada gunanya lagi baginya untuk menyamar, karena empat orang wanita ini sudah mengenalnya, lalu melepaskan topengnya, yaitu topeng penutup muka dan kepalanya. Kepala gundul itu pun berubahlah menjadi kepala yang berambut hitam tebal, dan nampaklah wajahnya yang asli, wajah seorang pemuda tampan.
Dan kini A-hui dan dua orang adiknya memandang kagum. Sinar matahari pagi telah menerobos masuk ke dalam kereta melalui celah-celah jendela kereta, dan melihat pemuda yang tampan dan berwibawa, yang sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut itu, diam-diam mereka kagum dan tunduk sekali. Pangeran Kian Liong menanggalkan pula jubah pendeta dan kini sepenuhnya dia telah menjadi pangeran kembali, sungguh pun dia masih mengenakan sepatu pendeta karena sepatunya sendiri telah dipakai oleh Yu Hwi.
“Nah, katakan, apa maksud kalian melarikan aku ini? Apa yang kalian kehendaki dariku?”
Pertanyaan yang diajukan dengan kata-kata yang jelas, dengan suara yang tenang dan pandang mata yang tajam itu membuat A-hui nampak gugup.
“Kami.... kami....“ dan ia tak mampu melanjutkan kata-katanya, mukanya sebentar pucat sebentar merah.
Hal ini tidaklah mengherankan. Orang yang baginya penuh keinginan, penuh dengan ambisi, adalah orang yang tidak bebas sehingga gerak-geriknya tidak lagi dapat tenang dan wajar, melainkan setiap gerak-geriknya dipengaruhi oleh keadaan batinnya yang penuh keinginan itu. Orang yang demikian inilah yang selalu menjilat-jilat di depan orang yang lebih tinggi atau yang dianggap lebih tinggi, dan selalu bersikap kejam dan menghina terhadap orang yang dianggap lebih rendah.
“Kalian disuruh oleh orang-orangnya mendiang Sam-thaihouw untuk menculikku dan kemudian membunuhku?” Pangeran Kian Liong membentaknya, suaranya masih tenang, sedikit pun tidak nampak rasa takut pada wajahnya.
“Ahh, tidak! Tidak sama sekali, Pangeran,” jawab A-hui. “Sesungguhnya.... kami.... ehh, menyelamatkan Paduka dari cengkeraman beberapa golongan yang memperebutkan Paduka. Guru-guru kami sendiri tidak tahu bahwa kami sudah berhasil.... berhasil menyelamatkan Paduka.”
Pangeran Kian Liong mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mau percaya begitu saja kepada mereka ini. Dari kerling dan senyum mereka, dia tahu orang-orang macam apa adanya wanita-wanita ini. Ada kecabulan dan kegenitan membayang di dalam sinar mata dan senyum mulut mereka. Ada ketamakan besar terbayang dalam sinar mata itu.
“Hemm, begitukah? Ceritakan apa yang terjadi, dan mengapa kalian menyelamatkan aku, dan menyelamatkan dari apa?”
Setelah menarik napas panjang dan batuk-batuk kecil beberapa kali, menenangkan hatinya, akhirnya A-hui dapat bercerita dengan lancar, dengan sikap yang manis sekali. “Pangeran, setelah mendiang Sam-thaihouw meninggal, kami keluar dari istana. Para suhu kami, yaitu Im-kan Ngo-ok, masih terus berhubungan dengan para kaki tangan Sam-thaihouw, akan tetapi kami tidak lagi. Memang benar bahwa guru-guru kami menghendaki kami mengamat-amati Paduka dan membantu mereka untuk memberi laporan dan menanti saat baik agar mereka dapat menangkap Paduka. Dan memang kami yang melaporkan kepada mereka bahwa Paduka berada di Pao-ci, menyamar sebagai pemuda biasa dan bermalam di Kuil Hok-te-kong. Akan tetapi ketika kami melihat guru-guru kami berniat buruk terhadap Paduka, dan ketika guru-guru kami sedang berhadapan dengan orang-orang sakti yang sedang memperebutkan Paduka, yaitu di antara mereka adalah kaum patriot yang membenci Paduka karena kebangsaan Paduka, dan juga orang-orang kang-ouw yang sakit hati terhadap Sri Baginda Kaisar, maka kami mengambil jalan sendiri. Kami melihat Paduka dilarikan seorang hwesio tinggi besar yang amat lihai. Kami dapat menduga bahwa hwesio yang dipanggul itu tentulah Paduka, karena tadinya, hwesio yang mirip penyamaran Paduka adalah seorang hwesio Siauw-lim-pai yang pandai. Maka ketika Paduka ditinggal seorang diri, adik kami A-Ciu lalu melarikan Paduka, sedangkan kami bertiga bersiap di sini dengan kereta.”
Sang Pangeran mengangguk-angguk. Tentu saja dia maklum sekali bahwa di balik semua itu terkandung keinginan pribadi dari empat orang ini, karena sungguh sangat tidak boleh jadi kalau perbuatan mereka itu semata-mata hendak ‘menolong’ dirinya, melainkan hanya merupakan suatu cara untuk mencapai apa yang mereka lnginkan darinya, tentu saja!
“Sekarang, setelah kalian dapat membawaku, lalu apa yang hendak kalian lakukan? Ke mana kalian hendak membawaku pergi?”
“Paduka masih terancam, karena orang-orang sakti dari beberapa golongan itu tentu masih akan terus mencari Paduka dan kalau mereka itu menemukan kami, tentu saja kami tidak mungkin akan dapat melawan mereka. Di antara mereka itu terdapat golongan guru-guru kami pula! Maka, harap Paduka suka ikut bersama kami dan akan kami sembunyikan di suatu tempat. Setelah keadaan mereda dan aman, barulah kami akan mengantar Paduka kembali ke kota raja dengan selamat.”
Sebelum memasuki kota Thian-sui, kereta itu membelok ke kanan dan di lembah Sungai Cing-ho mereka menuju ke sebuah pondok tua yang terpencil dan keadaan sekeliling tempat itu sunyi sekali. Namun ketika Pangeran dipersilakan masuk, ternyata pondok itu di sebelah dalamnya bersih dan baru saja dicat, dengan perabot sederhana tapi serba baru dan bersih. Agaknya, empat orang wanita ini memang sudah mempersiapkan tempat itu kalau-kalau mereka berhasil menguasai Pangeran dan secara cerdik mereka yang pura-pura membantu guru-guru mereka itu ternyata mempunyai rencana sendiri.
Ternyata bukan hanya isi pondok itu saja yang sudah mereka persiapkan, bahkan di situ terdapat bahan-bahan masakan sehingga ketika mereka semua sudah memasuki pondok dan kereta disembunyikan di belakang pondok, empat orang wanita itu sibuk masak-masak sambil bernyanyi dan bersendau-gurau, membiarkan Sang Pangeran beristirahat di dalam sebuah kamar yang cukup bersih pula.
Akhirnya mereka berkumpul lagi di tengah pondok, di mana telah diatur meja makan bundar dan masakan-masakan yang masih mengepul panas memenuhi meja.
“Silakan makan dahulu, Pangeran!” kata mereka sambil tersenyum manis. Ada yang menuangkan air teh panas, ada yang mengambilkan masakan dan lain-lain.
Pendeknya, Sang Pangeran dilayani dengan manis budi oleh mereka. Pangeran Kian Liong juga menerima pelayanan itu tanpa banyak komentar, karena dia merasa lapar dan Pangeran ini makan dan minum tanpa sungkan lagi.
Setelah selesai makan dan meja dibersihkan, barulah Pangeran Kian Liong bertanya kepada empat orang wanita itu, yang kini telah membersihkan diri dan bertukar pakaian baru, bahkan A-ciu yang tadinya menyamar sebagai seorang pemuda itu kini ternyata merupakan wanita yang tercantik di antara mereka.
“Nah, sekarang katakanlah kepadaku. Mengapa kalian mau bersusah-payah hendak menolongku? Bukankah kalian ini bekas kaki tangan Sam-thaihouw yang selalu memusuhiku? Apa pamrih kalian yang bersembunyi di balik kebaikan kalian ini? Kalian menghendaki hadiah dariku?”
Keempat orang wanita itu saling pandang, kemudian A-hui, sebagai yang tertua dan pemimpin mereka, dengan sikap manis berkata, “Terus terang saja, Pangeran, memang kami berempat mengharapkan anugerah Paduka, maka kami mati-matian menentang orang-orang sakti dan berani merebut dan menyelamatkan Paduka dari ancaman mereka.”
“Hemm, anugerah apa yang kalian kehendaki dariku?” Pangeran itu bertanya, tidak merasa heran karena memang sudah diduganya bahwa mereka ini tidak mungkin menolongnya tanpa pamrih. “Uang?”
“Tidak, Pangeran. Kami tidak membutuhkan uang. Kami hanya menghendaki agar.... Pangeran mengambil kami sebagai selir-selir Paduka.”
“Ahhh....?” Wajah Pangeran itu berubah merah, karena malu dan juga marah. “Apa.... apa alasannya maka kalian ingin menjadi selir-selirku?”
“Sejak lama kami berempat merasa amat kagum kepada Paduka, dan mencinta.... dan kami baru akan merasa berbahagia kalau dapat menjadi selir-selir Paduka yang selalu melayani Paduka dengan penuh kasih sayang....,“ kata pula A-hui dengan sikap manis.
Hampir-hampir saja Pangeran Kian Liong tertawa bergelak mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan suara halus ini. Tentu saja isi hati wanita-wanita itu sudah jelas nampak olehnya.
“Hemm, kalian tidak menghendaki uang karena kalian akan mudah saja memperoleh uang kalau kalian kehendaki, maka kalian menginginkan agar memperoleh kedudukan tinggi, dan kelak mungkin akan menjadi seperti Sam-thaihouw, mempunyai kekuasaan besar di istana, Begitukah?”
“Terserah penilaian Paduka. Tapi itulah kehendak kami, yaitu menjadi selir-selir Paduka sebagai imbalan atas pertolongan kami hari ini kepada Paduka, telah menyelamatkan Paduka dari ancaman maut di tangan musuh-musuh Paduka.”
“Kalau aku tidak mau memenuhi kehendakmu menjadi selir-selirku itu?”
“Mau tidak mau Paduka harus memenuhi keinginan kami,” kata A-hui sambil tersenyum. “Ingat, Paduka berada di tangan kami, dan betapa mudahnya bagi kami untuk membunuh Paduka sekarang juga kalau kami kehendaki!” kata A-Ciu, wanita termuda yang tadi menyamar sebagai pria.
Sang Pangeran tersenyum. “Mengancam lagi. Hehh, perempuan-perempuan bodoh, apakah kalian kira aku takut mati? Kalau aku takut mati, tak mungkin aku berada di sini. Entah sudah berapa puluh kali kematian mengancamku. Dan tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat memaksaku melakukan sesuatu yang tidak kusukai.”
Empat orang wanita itu saling pandang dan mereka merasa gelisah juga melihat sikap yang tenang sekali dari Pangeran muda itu. Mereka seperti dapat merasakan bahwa seorang pangeran seperti ini tidak mungkin diancam dan dipaksa, maka jalan satu-satunya adalah bersikap manis dan membujuknya sampai berhasil.
“Harap Paduka maafkan kami, Pangeran,” tiba-tiba A-bwe, orang ke tiga yang berbaju biru berkata halus. “Tentu saja kami tidak akan berani mengganggu seujung rambut pun dari Paduka. Akan tetapi, sementara ini Paduka hanya tinggal bersama kami di sini, karena musuh-musuh Paduka masih berkeliaran mencari-cari Paduka.”
Pangeran Kian Liong maklum bahwa orang-orang seperti mereka ini tidak akan segan-segan untuk melakukan kekerasan, bahkan mungkin saja membunuhnya. Dia pun bukan orang bodoh yang nekat dan membiarkan mereka membunuhnya begitu saja. Dia harus mencari kesempatan untuk membebaskan diri atau menanti sampai ada orang gagah yang membebaskannya dari tangan empat wanita ini. Sementara itu, dia harus bersabar, walau pun ini bukan berarti bahwa dia akan merendahkan diri dan menuruti kemauan mereka.
“Boleh saja aku tinggal di sini asal kalian menyediakan kebutuhanku.”
“Apa kebutuhan Paduka?”
“Buku bacaan yang baik, sejarah-sejarah kuno dan kitab-kitab syair. Makan minum tiap hari yang cukup pantas, kemudian, jangan kalian menggangguku dan membiarkan aku sendirian membaca kitab.”
“Baiklah, Pangeran,” kata A-hui sambil berkedip kepada tiga orang adiknya, karena ia tahu bahwa terhadap seorang pangeran muda yang luar biasa ini mereka harus pandai bersiasat dan tidak bersikap kasar.
Biarlah Sang Pangeran merasa tenang dulu, hilang marahnya terhadap mereka dan perlahan-lahan mereka berempat akan dapat membujuk dan merayunya. Seorang pria muda seperti itu, mustahil tidak akan jatuh menghadapi rayuan maut mereka berempat, apa lagi kalau dibantu dengan obat-obat perangsang yang dapat dengan mudah mereka campurkan di dalam makanan untuk Sang Pangeran.
Demikianlah, Sang Pangeran Mahkota disembunyikan oleh empat orang wanita itu tanpa ada yang mengetahuinya dan semua pencarian yang dilakukan oleh orang-orang berilmu tinggi itu, baik golongan yang memusuhi Pangeran dan hendak membunuhnya, golongan patriot yang hendak menawannya, mau pun golongan pendekar yang hendak melindunginya, menjadi sia-sia belaka. Dan tersiarlah berita bahwa Pangeran Mahkota telah lenyap dari kota Pao-ci tanpa meninggalkan jejak dan berita ini yang pernah dibicarakan oleh para pimpinan Kun-lunpai kepada Suma Kian Bu, Teng Siang In dan Bu Ci Sian.
Berita ini pula yang membuat para pimpinan Kun-lun-pai mengutus murid Kun-lun-pai yang pada waktu itu dianggap paling boleh diandalkan, yaitu seorang pemuda bernama Cia Han Beng, untuk mewakili Kun-lun-pai dan ikut mencari Sang Pangeran. Tentu saja pencarian dari pihak Kun-lun-pai ini mengandung maksud lain lagi.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang patriotik, maka kalau mereka mencari Pangeran Mahkota, tentu dasarnya lain dan untuk kepentingan usaha mereka yang selalu ingin membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah. Dan wakil mereka, yaitu pemuda Cia Han Beng, adalah seorang pemuda yang disakitkan hatinya oleh Kaisar Yung Ceng. Ayahnya dibunuh dan ibunya dijadikan selir Kaisar! Biar pun dendam telah dienyahkan dari batinnya, yaitu dendam pribadi, diisi dengan cita-cita patriotik untuk bangsanya, namun setidaknya peristiwa itu mempertebal sikapnya memusuhi pihak penjajah yang pada waktu itu dipimpin oleh Kaisar yang telah menghancurkan kelurga orang tuanya.
Dengan berita tentang hilangnya Pangeran Kian Liong, maka bermunculanlah tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti dan mereka ini dapat dibagi menjadi empat golongan.
Golongan pertama adalah golongan yang hendak menangkap dan bahkan membunuh Sang Pangeran, yaitu mereka yang dulunya menjadi anak buah Sam-thaihouw seperti Im-kan Ngo-ok dan yang lain-lain. Golongan ke dua adalah para patriot yang selain hendak menyelamatkan Pangeran yang dianggapnya baik dan menguntungkan rakyat jikalau menjadi kaisar kelak, juga hendak mereka jadikan semacam sandera untuk memaksa Kaisar memenuhi tuntutan-tuntutan mereka.
Golongan ke tiga adalah golongan para pembela Pangeran, yaitu selain para pembela resmi, tokoh-tokoh pembesar dan pengawal kerajaan, juga para rendekar yang tulus mencinta Pangeran itu dan hendak menyelamatkannya dari ancaman bahaya musuh-musuhnya tentu saja, sedangkan golongan ke empat adalah golongan orang-orang seperti Cu Kang Bu dan Yu Hwi, yaitu yang membela Pangeran sebagai pendekar-pendekar yang tidak ingin melihat perbuatan jahat dilakukan di depan mereka tanpa mereka menentangnya.
Su-bi Mo-li, empat orang wanita cantik itu, telah melakukan penyelewengan besar dan berbahaya sekali. Mereka berempat telah berani mengkhianati atau menyeleweng dari perintah lima orang Im-kan Ngo-ok, guru-guru mereka. Mereka telah membelakangi lima orang tokoh datuk besar itu dan tidak peduli lagi akan bahaya besar yang mengancam mereka kalau sampai perbuatannya ketahuan.
Semua penyelewengan bentuk apa pun juga didasari karena pengejaran akan sesuatu yang menyenangkan. Itulah yang membuat kita kadang-kadang menjadi buta, tidak mengenal bahaya, seperti sekelompok laron yang tertarlk oleh sinar api sehingga tidak tahu akan bahaya dan akhirnya mati terbakar api itu sendiri.
Mengapa setiap kesibukan kita, setiap tindakan kita, selalu menyembunyikan sesuatu pamrih untuk mencapai sesuatu yang kita anggap membahagiakan? Mengapa kita selalu membayangkan telah melihat kebahagiaan tersembunyi di balik sesuatu sehingga kita mengejar-ngejar sesuatu itu dan berani mempertaruhkan segala-galanya untuk mengejar ini?
Kita bisa saja memberi nama yang muluk-muluk kepada pengejaran ini. Namakanlah ia cita-cita, ambisi dan sebagainya. Berilah alasan muluk-muluk pula bahwa pengejaran ini, cita-cita ini yang akan mengatakan kemajuan sukses, dan sebagainya. Namun dari manakah timbulnya pengejaran ini? Pengejaran ini timbul karena adanya suatu tujuan, suatu titik di ‘sana’ yang kita anggap sebagai sesuatu yang akan mendatangkan kesenangan. Keinginan mencapai tujuan yang dianggap menjadi sumber kesenangan tertentu inilah yang melahirkan pengejaran. Ada yang mengejar-ngejar harta benda. Ada yang mengejar-ngejar kedudukan. Tentu saja dengan anggapan bahwa harta benda atau kedudukan itu akan mendatangkan kesenangan yang kadang-kadang dipandang sebagai kebahagiaan.
Benarkah kita akan bahagia jika sudah memperoleh apa yang kita kejar itu? Kepuasan karena terpenuhinya keinginan sesaat itu memang mungkin akan kita rasakan, akan tetapi kepuasan seperti itu sama sekali bukanlah kebahagiaan. Kesenangan itu hanya bertahan sebentar saja. Segera akan terganti oleh kebosanan, dan kita akan melihat kenyataan bahwa yang tadinya dikejar-kejar dan kini sudah terdapat itu ternyata tidaklah seindah seperti yang kita gambarkan semula ketika kita masih mengejarnya! Dan kita sudah dicengkeram oleh pengejaran akan sesuatu yang lain lagi, yang lebih indah lagi menurut pandangan kita, dan mulailah kita terseret dan hanyut ke dalam arus keinginan yang tidak akan pernah berhenti sebelum kita mati. Dan kekecewaan-kekecewaan, kebosanan-kebosanan silih berganti menjadi ekor dari berhasilnya setiap pengejaran.
Ada pula pengejaran yang tujuannya bukan hal-hal lahiriah, melainkan hal-hal batiniah. Akan tetapi, pada hakekatnya, mengejar sorga dan mengejar uang sama saja. Mengejar sorga pun bagaikan mengejar uang, disebabkan oleh keinginan memperoleh sesuatu yang kita anggap menyenangkan. Semua yang dikejar itu hanyalah kesenangan, tentu saja dapat ‘dibungkus’ dengan pakaian yang bersih-bersih dan muluk-muluk.
Dan setiap pengejaran tentu mendatangkan konflik, karena pengejaran itu sendiri sudah merupakan hasil dari konflik, yaitu tidak puas dengan apa adanya dan menginginkan sesuatu yang belum ada. Pengejaran pasti menimbulkan kekerasan, karena dalam pengejaran kita akan menghalau segala sesuatu yang kita anggap sebagai perintang. Juga akan mendatangkan penyelewengan, karena kita ingin secepatnya memperoleh yang kita kejar, dengan cara apa pun juga. Dari sini timbullah penghalalan segala macam cara untuk mencapai tujuan.
Kita selalu haus akan kebahagiaan, karena kita merasa tidak bahagia! Kita selalu jauh memandang ke depan, dengan anggapan bahwa di-SANA-lah terdapat kebahagiaan! Semua ini membuat kita menjadi lengah. Kenapa kita tidak mau membuka mata dan menghadapi saat ini, sekarang ini, menyelidiki yang di SINI, dan tidak terbuai oleh khayal dari keinginan akan hal-hal yang belum ada? Mengapa menujukan pandang mata ke seberang sana dan tidak pernah mau mengamati seberang sini?
Memang lucu dan menyedihkan sekali hal ini. Kita dapat melihat hal ini tergambarkan jelas oleh keadaan orang-orang yang suka memancing ikan. Mereka yang duduk di seberang sana melempar kail mereka sejauh mungkin mendekati seberang sini dengan anggapan bahwa di seberang sinilah terdapat ikan terbanyak. Sebaliknya yang duduk di seberang sini berusaha melemparkan kailnya sejauh mungkin mendekati seberang sana dengan pendapat yang sama, yaitu di seberang sanalah terdapat ikan terbanyak! Perangai seperti inilah yang membuat mata kita selalu melihat bunga di kebun orang lebih indah dari pada bunga di kebun sendiri!
Padahal, kebahagiaan hanya terdapat dalam saat demi saat sekarang, bukan terdapat dalam masa depan. Namun, kita tidak pernah mau menyelidiki kenyataan ini. Pikiran kita selalu penuh dengan kenangan masa lalu dan bayangan-bayangan masa depan, membuat kita buta terhadap saat itu!
Su-bi Mo-li sudah mempersiapkan segala-galanya demi berhasilnya usaha mereka. Mereka bercita-cita untuk menjadi selir Pangeran, agar kelak dapat menjadi selir-selir Kaisar! Dan mereka sudah merasa yakin akan hasil usaha mereka ini. Maka mereka memperlakukan Pangeran dengan manis budi, setiap hari berusaha membujuk dan merayu Pangeran Kian Liong. Mereka bahkan secara diam-diam memberi obat-obat ke dalam makanan Pangeran itu. Dan semua ini tentu saja berhasil.
Sang Pangeran mulai merasakan adanya rangsangan birahi yang hebat, yang setiap hari semakin memuncak. Hal ini menyiksanya dengan hebat. Namun, Pangeran ini adalah seorang pemuda yang luar biasa, seorang laki-laki sejati yang tidak lemah, dan betapa pun hebat tubuhnya terpengaruh obat perangsang itu, namun batinnya masih kuat dan ia tak pernah mau tunduk! Obat perangsang itu hanya mampu mempengaruhi tubuhnya namun tidak dapat menodai batinnya, sehingga betapa pun empat orang wanita itu merayunya, dia tetap dapat mempertahankan diri dan menolak kehendak mereka yang bermaksud menjerumuskannya ke dalam perjinahan dengan mereka!
Melihat kekerasan hati Pangeran yang sukar diluluhkan ini, Su-bi Mo-li menjadi kecewa sekali. Akan tetapi mereka tidak berani menambah obat-obat perangsang itu karena obat-obat itu kalau terlalu banyak dapat menjadi racun yang akan membunuh Sang Pangeran. Maka, oleh kegagalan bujuk rayu ini mereka mengatur rencana lain.
“Pangeran yang keras kepala itu sukar ditundukkan,” kata A-hui pada saat berunding dengan adik-adiknya. “Kita sudah terlanjur bertindak sendiri. Tidak ada lain jalan lagi, kita harus mempergunakannya sebagai jalan untuk memperoleh pengampunan dan memperoleh kedudukan dari Kaisar!”
“Ahh, apa yang kau maksudkan, Toaci?” tanya A-ciu terkejut.
“Maksudku? Tiada lain jalan, kita harus menghadap Kaisar, menceritakan bahwa kita telah berhasil menyelamatkan Pangeran dari cengkeraman maut dan untuk itu kita selain minta diampuni sebagai bekas orang-orang Sam-thaihouw, juga minta diberi kedudukan, kalau mungkin sebagai orang dalam istana!”
“Aihh, ngeri aku kalau harus menghadap Kaisar!” kata A-ciu yang tahu bahwa Kaisar bukan orang sembarangan. Betapa dengan gerakan jarinya saja Kaisar bisa menyuruh tangkap dan membunuh mereka seketika tanpa ada setan yang akan menyelamatkan mereka.
“Kita akan ditangkap dan dibunuh!” kata pula A-bwee, orang ke tiga dengan wajah berubah pucat.
“Tapi, Toaci berkata benar,” kata A-kiauw, orang ke dua. “Apakah kalian lebih senang kalau bertemu dengan para suhu dan tewas di tangan mereka?”
Dua orang adiknya bergidik. Mati di tangan guru mereka, apalagi di tangan Ngo-ok, sungguh mengerikan sekali.
“Tiada pilihan lain bagi kita,” kata A-hui, “Bertemu para suhu, kita akan celaka. Akan tetapi kalau menghadap Kaisar dengan membawa Pangeran, masih ada harapan bahwa permohonan kita akan terkabul. Betapa pun juga, Sang Pangeran tentu akan menolong dan melindungi kita, bukankah kita selalu bersikap baik kepadanya?”
Para sumoi-nya setuju mendengar ucapan A-hui ini, dan pula memang mereka tidak mempunyai pilihan lagi yang lebih baik. Maka beramai-ramai mereka lalu menghadap Pangeran Kian Liong.
Sang Pangeran yang sedang asyik membaca kitab itu memandang kepada mereka dan mengerutkan alisnya.
“Hemm, Su-bi Mo-li, kalian hendak melakukan apa lagi terhadap diriku?”
Seperti telah disetujui bersama, A-hui dan para sumoi-nya lalu menjatuhkan dirinya berlutut menghadap Sang Pangeran. Pangeran Kian Liong terheran. Memang biasanya, empat orang wanita ini selalu bersikap baik, manis, bahkan kadang-kadang terlalu manis dan genit, bersikap membujuk dan merayunya. Akan tetapi belum pernah mereka memperlihatkan sikap begitu menghormat, apa lagi sampai berlutut seperti sekarang. Tahulah Sang Pangeran yang cerdas ini bahwa tentu ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap ini, maka dia pun bersikap waspada sungguh pun dia masih tetap nampak tenang-tenang saja.
“Hamba berempat memohon ampun kepada Thaicu (Pangeran Mahkota) kalau ada kesalahan hamba sekalian selama hamba menyembunyikan dan melindungi Paduka di tempat ini,” kata A-hui mewakili adik-adiknya.
Pangeran Kian Liong tersenyum. Sikap dan ucapan ini menunjukkan bahwa mereka ini agaknya sudah kehilangan akal kehabisan daya untuk merayunya, maka dengan cerdik mereka sebelumnya telah memohon ampun dan menonjolkan jasa mereka yang telah ‘melindunginya’. Akan tetapi hal itu saja sudah membuat hatinya merasa lega. Agaknya dia tidak akan terganggu lagi oleh rayuan-rayuan mereka, pikirnya.
“Kalau memang kalian merasa telah melakukan sesuatu kesalahan, sadar akan kesalahan itu dan tidak melakukan lagi, maka itulah yang terutama. Bertobat jauh lebih penting dari pada minta maaf.” Lalu dia memandang tajam dan bertanya, “Sekarang, apakah selanjutnya yang akan kalian lakukan terhadap diriku?”
“Hamba bermaksud untuk mengantar Paduka kembali ke istana Paduka di kota raja dengan naik kereta. Akan tetapi, mengingat bahwa hamba berempat pernah membantu mendiang Sam-thaihouw, maka hamba merasa takut kepada Sri Baginda Kaisar. Siapakah yang akan dapat melindungi hamba sekalian di kota raja kecuali Paduka Thaicu yang bijaksana dan budiman? Oleh karena itu, hamba sekalian menyerahkan mati hidup hamba di tangan Paduka dan mohon Paduka sudi melindungi kami atas kemarahan Sri Baginda Kaisar kepada hamba berempat nanti.”
Pangeran Kian Liong mengangguk-angguk. “Permintaan kalian cukup pantas, akan kupertimbangkan kalau kita sudah tiba di kota raja dengan selamat.”
Biar pun jawaban Sang Pangeran itu belum meyakinkan, namun empat orang wanita itu sudah merasa lega. Mereka sudah tahu akan kebijaksanaan dan kemurahan hati Pangeran ini, maka Pangeran Mahkota yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai seorang pangeran yang budiman ini tentu tidak akan menarik kembali janjinya. Dan memang sikap mereka kini menjadi baik sekali, penuh hormat dan kegenitan mereka pun lenyap.
Malam itu mereka menjamu Pangeran dengan masakan-masakan bersih dan lezat, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka telah mempersiapkan kereta dan mempersilakan Sang Pangeran naik ke dalam kereta, ditemani oleh tiga orang di antara mereka, sedangkan A-ciu yang sudah menyamar sebagai seorang pria, duduk di tempat kusir.
Maka berangkatlah mereka meninggalkan hutan itu untuk mengawal Sang Pangeran kembali ke kota raja. Tentu saja sebelumnya mereka telah melakukan penyelidikan dan melihat bahwa keadaan telah menjadi tenang dan dingin kembali, dan tidak nampak ada orang-orang sakti yang berkeliaran di sekitar daerah itu.
Perjalanan ini dilakukan melalui lembah Sungai Huang-ho yang subur. Di sepanjang perjalanan, Sang Pangeran sempat mengagumi keindahan dan kesuburan tanah di sepanjang lembah sungai ini dan merasa gembira sekali melihat hasil sawah ladang para petani di sepanjang perjalanan itu. Su-bi mo-li juga merasa girang dan lega karena selama melakukan perjalanan sampai selama tiga hari, tidak pernah ada gangguan terhadap mereka dan tidak pernah mereka melihat bayangan orang-orang sakti yang dulu pernah mencoba untuk memperebutkan Sang Pangeran di kota Pao-ci. Namun, perjalanan menuju ke kota raja masih jauh dan mereka baru akan merasa aman benar kalau sudah tiba di istana dan kalau Kaisar sudah benar-benar suka mengampuni mereka.
Pada hari ke empat, mereka menyeberangi Sungai Huang-ho. Dengan dua buah perahu besar, mereka membawa kereta menyeberang, dan setelah tiba di seberang, mereka melanjutkan perjalanan memasuki daerah Propinsi Shan-si, dengan maksud menuju ke kota besar Tai-goan. Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di jalan yang di kanan kirinya diapit oleh padang rumput yang luas.
Daerah ini merupakan daerah rawa sehingga tidak mudah ditanami oleh para petani. Karena agak rendah maka sering digenangi air sungai kalau sedang naik. Maka yang tumbuh di situ hanya rumput yang membentuk daerah itu menjadi padang rumput yang luas. Akan tetapi jalan itu menuju ke sebuah bukit yang menjanjikan suasana lebih menyenangkan, dengan kehijauan pohon-pohon yang telah nampak dari padang rumput itu.
“Kita berhenti mengaso di bukit itu,” kata Pangeran Kian Liong setelah dia menyingkap tirai depan. “Aku sudah merasa lelah dan lapar.”
“Baik, Pangeran,” jawab A-hui cepat dan ia menyuruh adiknya, A-ciu yang menjadi kusir itu untuk mempercepat jalannya kereta sampai ke bukit di depan.
Pagi tadi mereka sudah menukar kuda mereka dengan kuda-kuda baru yang segar dan kuat, maka perjalanan itu dapat dilanjutkan dengan cepat. Kalau tadi di tepi sungai masih nampak banyak orang, kini makin lama jalan yang mereka lalui menjadi semakin sepi dan akhirnya setelah kereta tiba di bukit dan memasuki daerah berhutan, tak nampak ada seorang pun manusia kecuali mereka berlima.
Pada saat melihat ada sebatang pohon besar yang daunnya amat rindang di tepi jalan, A-ciu menghentikan keretanya dan mereka lalu mempersilakan Pangeran Kian Liong untuk beristirahat dan menyuguhkan makan minum kepadanya. Semua ini dilakukan di dalam kereta saja, karena demi menjaga keamanan Sang Pangeran sendiri, Pangeran itu diminta agar tetap tinggal di dalam kereta dan tidak memperlihatkan dirinya. Bahkan tiga orang wanita itu pun hanya berani keluar kalau tidak ada orang lain. Mereka ini juga menyembunyikan diri di dalam kereta, dan hanya A-ciu seorang, yang telah menyamar sebagai seorang pemuda, yang berani memperlihatkan diri di atas tempat duduk kusir.
Mereka makan bersama. Tiga orang wanita bersama Pangeran Kian Liong di dalam kereta sedangkan A-ciu yang berpakaian pria itu di atas kereta, di tempat duduk kusir. Dengan ramah dan sopan, penuh hormat, tiga orang wanita itu melayani Pangeran Kian Liong makan minum, dan Pangeran yang sudah merasa lelah dan lapar itu pun tidak malu-malu lagi, makan dengan enaknya.
Tiba-tiba terdengar teriakan mengerikan dan kereta itu berguncang. Pangeran Kian Liong hendak menyingkap tirai, akan tetapi lengannya di pegang oleh A-bwee, sedangkan A-hui sendiri lalu mengintai dari balik tirai. Wanita itu hampir menjerit dan menutup mulut dengan tangannya ketika ia melihat bahwa A-ciu telah tewas dalam keadaan masih duduk di tempat kusir. Darah menetes-netes turun dari sebuah lubang di pelipis kepalanya!
Tentu saja A-hui terkejut, juga kedua orang adiknya yang sudah ikut mengintai. Mereka bertiga berloncatan keluar dengan marah bukan main melihat betapa adik seperguruan mereka yang paling muda itu telah dibunuh orang! Begitu melompat keluar, mereka bertiga sudah mencabut pedang masing-masing. Namun, ketika nampak berkelebatnya beberapa bayangan orang, tiga orang wanita ini menjadi pucat sekali, mata mereka terbelalak, mulut ternganga tanpa dapat mengeluarkan suara, hanya memandang bengong kepada lima orang yang bermunculan di depan mereka itu. Im-kan Ngo-ok!
Tentu saja tubuh tiga orang wanita ini menggigil dan mereka merasa ketakutan saat berhadapan dengan lima orang guru mereka yang datang dengan lengkap itu. Mereka memang sudah saling berunding dan mengambil keputusan bahwa kalau hanya satu atau dua di antara guru-guru mereka muncul, mereka berempat akan melakukan perlawanan dengan nekad. Akan tetapi kini mereka berlima muncul semua! Dan di pihak mereka, bahkan A-ciu telah di tewaskan! Apa daya mereka? Melawan? Sama dengan membunuh diri! Maka, dengan hati penuh rasa ngeri dan takut, tiga orang wanita itu yang merasa betapa lutut kaki menggigil dan lemas, segera menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu sekalian.... harap ampunkan bahwa teecu telah terlambat.... tapi.... tetapi teecu sudah menawan Pangeran dan hendak menyerahkannya kepada Suhu....,“ kata A-hui, mewakili dua orang adiknya yang sudah tidak mampu mengeluarkan suara lagi itu.
“Hemm, kalian kira kami tidak tahu bahwa kamu ingin menguasai Pangeran sendiri, kemudian hendak membawa Pangeran ke istana di kota raja, juga demi memenuhi keinginan kalian sendiri? Murid-murid murtad!” bentak Sam-ok.
Mendengar ini, tiga orang wanita itu menjadi semakin ketakutan dan kini mengertilah mereka mengapa A-ciu telah dibunuh oleh para guru mereka ini. Kiranya rahasia mereka telah diketahui oleh lima orang sakti itu! A-bwee yang mengingat betapa Ngo-ok amat mencintanya sebagai seorang kekasih, cepat maju ke depan kaki orang termuda dari Im-kan Ngo-ok itu.
“Ngo-suhu.... ampunkan teecu....!” ratapnya.
Ngo-ok tersenyum, lantas mengulurkan tangannya. Melihat ini, giranglah hati A-bwee. Kalau guru ke lima ini melindunginya, agaknya masih ada harapan baginya untuk dapat terbebas dari kematian di tangan guru-guru mereka ini. Maka ia pun dengan manja mempergunakan kecantikannya sebagai seorang wanita, bangkit dan menyerahkan diri ke dalam pelukan Ngo-ok, merangkul dan membelainya.
Jari-jari tangan itu merayap ke mana-mana, sampai ke kukunya dan tiba-tiba A-bwee mengeluarkan jeritan yang menyayat hati, tubuhnya terjengkang dan tangannya, kanan dan kiri, berlepotan darah oleh karena kedua kuku ibu jari tangannya telah dicabut oleh Ngo-ok! Rasa nyeri menyelinap dan menusuk-nusuk jantungnya, membuat wanita itu merintih-rintih memelas.
Akan tetapi lima orang datuk kaum sesat itu sama sekali tidak tergerak hatinya, sama sekali tidak menaruh kasihan kepada bekas murid-murid mereka sendiri. Ngo-ok sudah memasangkan kuku-kuku tadi pada tasbehnya yang aneh, tasbeh yang terbuat dari pada ratusan kuku-kuku ibu jari para wanita yang pernah menjadi korbannya!
A-hui dan A-kiauw yang menyaksikan peristiwa itu menjadi putus asa dan maklum bahwa mereka tidak mungkin dapat diampuni, maka keduanya lalu meloncat dan hendak melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi, Su-ok tertawa dan bersama dengan Sam-ok dia sudah meloncat ke depan, dan sebelum dua orang wanita itu dapat melihatnya, mereka sudah menghadang di depan. Dua orang wanita itu menjadi nekad, menggerakkan pedangnya untuk menyerang. Akan tetapi, beberapa jurus saja mereka sudah roboh terguling dengan kepala pecah dan tewas seketika! Sedangkan A-bwee yang masih belum tewas itu lalu diseret oleh Ngo-ok ke balik semak-semak di mana Ngo-ok mempermainkan sampai akhirnya A-bwee juga tewas.
Ketika Ngo-ok sedang melampiaskan nafsu iblisnya di balik semak-semak, empat orang datuk lainnya menghampiri kereta. Sang Pangeran sejak tadi menonton peristiwa di luar kereta itu dengan hati ngeri dan marah. Mengingat betapa di negerinya terdapat orang-orang yang demikian kejamnya! Mengapa pemerintah tidak turun tangan membasmi orang-orang yang begini jahat?
Dia mengambil keputusan bahwa kelak, jikalau dia sudah menjadi kaisar, dia akan mengerahkan orang-orang pandai untuk menangkapi, menghukum atau membunuh penjahat-penjahat seperti Im-kan Ngo-ok ini, karena kalau orang-orang jahat dan kejam seperti ini dibiarkan berkeliaran di dunia, tentu hanya akan menimbulkan kejahatan-kejahatan yang mengerikan seperti yang ditontonnya sekarang ini.
Dalam keadaan seperti itu, Sang Pangeran sama sekali tidak memikirkan dirinya yang terancam bahaya maut maka dia pun sama sekali tidak merasa takut. Baru setelah empat orang kakek itu menghampiri ke arah kereta, Sang Pangeran merasa ngeri dan teringat bahwa Im-kan Ngo-ok itu muncul untuk menangkap dirinya!
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara berdesing nyaring sekali dan disusul oleh teriakan Ngo-ok. Empat orang kakek itu terkejut dan cepat-cepat memutar tubuhnya memandang ke arah semak-semak di mana tadi Ngo-ok menyeret tubuh A-bwee yang masih merintih-rintih itu. Dan mata mereka terbelalak melihat tubuh Ngo-ok keluar dari semak-semak dalam keadaan masih setengah telanjang dan kakek tosu yang bertubuh jangkung ini mendekap dadanya yang mengucurkan darah, terus mundur terhuyung. Dari semak-semak itu keluar seorang pemuda yang bertubuh tinggi tegap, bersikap gagah sekali, memegang sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya kemerahan, dan memiliki sepasang mata yang mencorong menandakan bahwa pemuda itu adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pemuda ini bukan lain adalah Cia Han Seng!
Seperti kita ketahui, pemuda ini adalah murid Kun-lun-pai yang menerima pendidikan langsung dari Ketua Kun-lun-pai Thian Heng Tosu dan merupakan satu-satunya murid Kun-lun-pai yang mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari tosu pertapa Ketua Kun-lun-pai itu. Thian Heng Tosu memang sengaja memilih pemuda ini mewakili Kun-lun-pai melaksanakan cita-cita Kun-lun-pai yang berjiwa patriot, yaitu menentang pemerintah penjajah dan membantu para pendekar Siauw-lim-pai yang telah dimusuhi oleh Kaisar itu. Dan tugas pertama dari Cia Han Beng adalah ikut menyelidiki dan mencari Pangeran Kian Liong yang dikabarkan hilang di kota Pao-ci itu.
Ketika Cia Han Beng tiba di tempat itu dan melihat Su-bi Mo-li dibunuh oleh guru-guru mereka sendiri, dia tidak mau mencampurinya. Dia hanya ingin melindungi Pangeran yang diduganya tentu berada di dalam kereta itu setelah dia mendengar percakapan antara Im-kan Ngo-ok dan Su-bi Mo-li. Akan tetapi, ketika dia melihat Ngo-ok di belakang semak-semak sedang mempermainkan seorang di antara Su-bi Mo-li, pemuda ini tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Bagaimana pun jahatnya, Su-bi Mo-li adalah wanita-wanita dan melihat A-bwee yang sudah setengah mati itu dipermainkan secara biadab oleh Ngo-ok sampai mati di belakang semak-semak, Han Beng segera menerjang dan menyerang dengan pedangnya!
Serangan Han Beng itu hebat bukan main, dengan jurus rahasia dari Kun-lun-pai. Dan Ngo-ok, seperti biasa, memandang rendah kepada pemuda yang tak pernah dikenalnya ini, maka dia pun menghadapi serangan itu dengan seenaknya saja. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tahu-tahu pedang itu menerobos dan menusuk dadanya! Dia mengerahkan sinkang-nya, namun ternyata tenaga yang dipakai untuk menusuk itu pun kuat bukan main sehingga dia baru dapat melepaskan diri setelah pedang itu menusuk cukup dalam, membuat dia terhuyung-huyung ke belakang dan mengeluarkan teriakan kesakitan.
Melihat betapa Ngo-ok agaknya terluka parah oleh pemuda yang tak terkenal itu, empat orang datuk menjadi marah bukan main. Mereka dapat menduga bahwa tentu pemuda ini merupakan seorang di antara pendekar yang melindungi Pangeran, maka Su-ok dan Sam-ok sudah menerjang maju dengan dahsyat. Karena mereka berdua maklum bahwa orang yang telah melukai Ngo-ok dalam waktu sesingkat itu tentu memiliki kepandaian tinggi, maka keduanya sudah menerjang dengan pengerahan sinkang sekuatnya dan begitu menerjang mereka pun sudah mengeluarkan ilmu mereka yang paling hebat. Sam-ok sudah mengeluarkan Ilmu Thian-te Hong-i, yaitu menyerang sambil memutar-mutar tubuhnya seperti gasing itu, sedangkan Su-ok juga sudah mempergunakan pukulan Katak Buduknya yang ampuh.
Akan tetapi pendekar muda dari Kun-lun-pai ini adalah seorang murid yang selama bertahun-tahun digembleng sendiri oleh Thian Heng Tosu, seorang pertapa sakti yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas sekali dalam ilmu silat. Han Beng mempunyai pengertian yang mendalam dari pelbagai ilmu silat tinggi, dan dari suhu-nya dia pernah pula mendengar keistimewaan dari ilmu-ilmu seperti yang kini dihadapinya. Gurunya pernah bicara tentang ilmu silat yang dilakukan dengan badan berputaran itu, juga pernah bicara tentang ilmu pukulan yang dilakukan sambil berjongkok itu.
Maka dia pun tidak bersikap ceroboh, maklum akan kelihaian lawan dan dia memutar pedangnya dengan cepat. Ia tak mau menangkis pukulan Su-ok, dan juga dia menahan bahaya yang datang dari Sam-ok dengan sinar pedangnya yang bercahaya kemerahan. Pedang di tangan pemuda ini bukan pedang sembarangan, melainkan sebuah pusaka dari Kun-lun-pai yang diterima dari suhu-nya. Pedang itu berpamor daun-daun merah maka mempunyai sinar merah dan bernama Ang-hio-kiam (Pedang Daun Merah).
Sinar merah yang bergulung-gulung itu mengeluarkan suara berdesing nyaring dan segera nampak bahwa pemuda dengan pedang pusakanya itu ternyata memiliki ilmu pedang yang amat hebat sehingga tokoh ke tiga dan ke empat dari Im-kan Ngo-ok itu pun sampai terdesak oleh gulungan sinar pedang! Tentu saja mereka menjadi terkejut sekali.
Kalau mereka berlima kewalahan menghadapi Bu-taihiap dan isterinya yang dibantu oleh Ban-kin-sian Cu Kang Bu, hal itu tidak membuat mereka penasaran. Bu-taihiap adalah seorang pendekar sakti yang telah amat terkenal namanya sedangkan satu di antara isterinya yang tempo hari membantunya bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, wanita sakti yang sudah menggegerkan dunia persilatan dengan perbuatannya yang amat berani, yaitu mencuri pedang Koai-liong-pokiam dari dalam istana.
Kemudian yang membantu mereka, Ban-kin-sian Cu Kang Bu, biar pun jarang keluar dari Lembah Suling Emas dan tidak terkenal di dunia kang-ouw, namun merupakan tokoh penghuni lembah itu, maka kekalahan Im-kan Ngo-ok dari mereka bukanlah merupakan hal yang perlu dibuat penasaran. Akan tetapi kalau sekarang ini, dalam beberapa gebrakan saja Ngo-ok telah terluka, dan kini Su-ok bernama Sam-ok yang mengeroyok pemuda tak bernama itu malah terdesak, sungguh membuat orang merasa penasaran bukan main.
“Tahan!” teriakan Toa-ok ini amat berpengaruh dan dua orang temannya sudah mundur, juga Cia Han Beng menghentikan gerakan pedangnya, memandang tajam kepada lima orang datuk itu.
Ngo-ok masih mendekap dada dengan tangan kiri, akan tetapi tidak mengeluh lagi. Tadi dia telah mengobati lukanya dan biar pun luka itu cukup parah, namun tidak membuat dia roboh. Sekarang dia pun berdiri sambil memandang dengan muka merah penuh kebencian dan kemarahan kepada pemuda itu.
“Orang muda, siapakah engkau dan juga mengapa engkau menyerang kami? Mengapa pula engkau mencampuri urusan kami?” Toa-ok bertanya karena menyaksikan kelihaian pemuda itu, dia harus lebih dulu mengenal siapa adanya orang ini sebelum turun tangan.
Pemuda itu melintangkan pedangnya di depan dada, memandang jijik kepada Ngo-ok, kemudian menjawab, suaranya lantang namun tenang, “Aku bernama Cia Han Beng dari Kun-lun-pai.”
“Ahh, kiranya seorang pendekar Kun-lun!” kata Toa-ok dengan sikapnya yang lemah lembut dan halus itu, sungguh tidak sesuai dengan keadaan muka dan badannya yang mirip gorila, “Kalau benar engkau dari Kun-lun-pai, orang muda, sungguh ada dua hal yang amat mengherankan hati kami.”
“Katakanlah, apa yang mengherankan hati kalian Im-kan Ngo-ok?”
“Hem, bagus, kiranya engkau malah sudah mengenal kami. Di antara Kun-lun-pai dan kami sejak dahulu tidak pernah ada permusuhan. Engkau sebagai seorang muda dari Kun-lun-pai telah mengenal kami, tentu telah mengenal pula Su-bi Mo-li, murid-murid kami yang tadi kami hukum mati karena berkhianat dan murtad, mengapa engkau hendak mencampuri urusan antara kami dan murid-murid kami? Itulah soal pertama yang mengherankan kami”
“Mudah saja aku menjawabnya,” kata Han Beng. “Walau pun di antara Kun-lun-pai dan Im-kan Ngo-ok tidak pernah ada permusuhan pribadi, tetapi hal itu tidak menghalangi aku untuk turun tangan apabila menyaksikan perbuatan yang jahat dan kejam. Aku tidak mencampuri urusan antara guru dan murid, sama sekali tidak. Aku tidak peduli apa yang terjadi antara kalian dan empat orang murid kalian yang sama sesatnya itu.”
“Ehh, omongan ngacau!” Ngo-ok membentak. “Kalau tidak mencampuri, kenapa engkau menyerangku?”
“Mudah saja jawabnya. Aku melihat seorang laki-laki yang berwatak binatang atau iblis sedang menganiaya dan memperkosa seorang wanita, maka tidak peduli siapa laki-laki itu dan siapa pula wanita itu, aku tidak dapat tinggal diam saja. Aku tidak berpihak, melainkan menentang perbuatan yang amat keji itu, oleh siapa dan terhadap siapa pun dilakukannya!”
“Hemm, hal itu dapat kami mengerti. Akan tetapi urusan ke dua yang kami heran. Di dalam kereta itu terdapat Pangeran Kian Liong, Pangeran Mahkota. Kami hendak menangkap dan membawanya pergi. Apakah engkau juga hendak menghalangi kami?”
“Tentu saja!” jawab Han Beng.
“Dan apa pula alasannya?” tanya Toa-ok. “Bukankah Kun-lun-pai terkenal sebagai tempat para pendekar yang selalu menentang pemerintah penjajah? Apakah sekarang Kun-lun-pai sudah berbalik hati, menjadi anjing penjilat pemerintah penjajah?”
“Tutup mulut kalian yang busuk!” Han Beng membentak marah sekali. “Siapa tidak tahu bahwa Im-kan Ngo-ok yang menjadi anjing penjilat penjajah, dan kini membalik karena keadaan yang tak menguntungkan? Ketahuilah, Im-kan Ngo-ok, kami Kun-lun-pai tetap berjiwa patriot, apa pun yang terjadi. Oleh karena itulah maka aku harus melindungi Pangeran Kian Liong dan sama sekali bukan berarti bahwa kami hendak menjadi penjilat penjajah!”
“Bocah sombong!” Terdengar Ji-ok menjerit marah.
Wanita ini sudah menerjang ke depan, jari telunjuknya menyerang dengan ilmu yang dinamakan Kiam-ci (Jari Pedang) dan sinar yang tajam mengeluarkan suara mencicit menyambar ke arah leher Han Beng.
“Cringgg....!”
Han Beng menggerakkan pedang menangkis dan balas menyerang. Sinar pedangnya meluncur ke arah dada wanita itu yang cepat meloncat ke belakang untuk mengelak, diam-diam harus mengakui bahwa gerakan pedang pemuda itu sungguh berbahaya sekali. Toa-ok juga tidak tinggal diam, sudah menubruk maju dengan kedua lengannya yang berbulu itu bergerak aneh, akan tetapi dari gerakan itu timbul angin yang keras menyambar ke arah Han Beng. Pemuda itu pun mengelak dan balas menyerang. Dan majulah orang kelima Im-kan Ngo-ok mengeroyok, berjungkir balik dan mempergunakan kedua kakinya yang panjang untuk menyerang.
Cia Han Beng bukan tidak tahu bahwa lima orang lawannya adalah orang-orang sakti yang memiliki kepandaian tinggi sekali, maka dia sama sekali tidak memandang rendah, bahkan bersikap amat hati-hati. Pedangnya diputar cepat menutupi dan melindungi seluruh tubuhnya dan dia tidak berani sembarangan menyerang setelah kini dikeroyok lima. Mengurangi sedikit saja daya tahannya berarti akan mendatangkan bahaya, dan menyerang berarti mengurangi pertahanannya. Padahal, menghadapi lima orang itu, dia harus benar-benar melakukan pertahanan yang amat kuat.
Memang harus diakui bahwa Cia Han Beng telah mewarisi hampir semua kepandaian Ketua Kun-lun-pai yang menaruh harapan besar terhadap dirinya. Akan tetapi betapa pun juga, pemuda ini masih kurang pengalaman berkelahi menghadapi lawan-lawan tangguh dan kini, begitu keluar dari pertapaan, dia harus menghadapi lima orang Im-kan Ngo-ok sekaligus. Tentu saja hal ini merupakan beban yang terlampau berat baginya.
Biar pun dia telah mainkan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang amat terkenal itu, yang telah dikuasainya sampai di bagian paling rahasia, namun menghadapi pengeroyokan lima orang datuk kaum sesat ini, perlahan-lahan Han Beng mulai terdesak hebat. Tetapi dia masih terus melakukan perlawanan dengan memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga angin pukulan-pukulan aneh dari mereka itu bahkan tidak mampu menembus gulungan sinar yang bertahan itu.
Betapa pun juga, pemuda itu bukan tidak tahu bahwa kalau dilanjutkan lambat-laun dia akan kehilangan tenaga dan akhirnya akan menjadi semakin lemah. Tidak demikian dengan pengeroyoknya karena dia harus mengeluarkan tenaga lima kali lipat untuk menghadapi lima orang pengeroyok ini. Akhirnya dia akan kehabisan tenaga dan tentu akhirnya akan kalah. Pemuda ini mulai merasa bingung. Dia tidak pernah memikirkan bahaya untuk dirinya sendiri, melainkan bingung memikirkan bagaimana dia akan dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, bagaimana dia akan mampu menyelamatkan Sang Pangeran yang masih berada di dalam kereta.
Dari dalam keretanya, Pangeran Kian Liong yang menyaksikan itu semua dan hatinya menjadi semakin tak senang, Sepak terjang Im-kan Ngo-ok sungguh membuat hatinya tidak senang. Dia melihat kecurangan dan kekejaman yang luar biasa pada diri lima orang datuk sesat itu. Melihat pemuda gagah perkasa itu dikeroyok lima orang kakek yang sudah menjadi datuk kaum sesat, Sang Pangeran merasa penasaran sekali.
Macam itukah watak datuk-datuk yang biasanya membanggakan dirinya? Ternyata merupakan pembunuh-pembunuh dan tukang-tukang pukul tak tahu malu yang suka mengandalkan kepandaian sendiri dan mengandalkan jumlah besar saja!
“Hei!, Im-kan Ngo-ok, apakah kalian berlima tidak malu? Bukankah kalian adalah orang-orang tua yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw? Bahkan Sam-ok adalah bekas Koksu Nepal, bukan? Mengapa kalian tidak malu melakukan pengeroyokan? Kalian telah membunuh murid-murid kalian sendiri, hayo bebaskan pemuda gagah itu dan aku akan menyerah kepada kalian!”
Teriakan lantang dari Pangeran Kian Liong yang membuka tirai kereta itu sangat mengherankan hati Han Beng. Pemuda ini memang sudah banyak mendengar tentang kegagahan dan kebijaksanaan Pangeran Mahkota ini dan meski dia selalu ingat bahwa Pangeran itu adalah seorang Pangeran Mancu, seorang keluarga Kaisar penjajah, tetapi tetap saja dia merasa amat kagum mendengar ucapan yang mengandung kegagahan luar biasa itu.
Sementara itu, mendengar ucapan Sang Pangeran, Im-kan Ngo-ok merasa malu dan menjadi makin penasaran dan marah. Su-ok yang telah mengalami banyak kekecewaan karena Pangeran ini, lalu meninggalkan Han Beng.
“Amithaba, Pangeran itu sungguh telah mendatangkan banyak kepusingan. Biarlah kini kuhabiskan saja riwayatnya.” Si Gundul Pendek ini kemudian menggelinding menuju ke kereta.
Melihat ini, Cia Han Beng menjadi khawatir sekali akan keselamatan Sang Pangeran, maka ia memutar pedangnya untuk mencari kesempatan meloncat dan menyelamatkan Sang Pangeran. Namun, empat orang pengeroyoknya yang maklum akan kehendaknya itu mengepung dan menyerang semakin ketat sehingga terpaksa Han Beng harus menjaga dirinya.
Su-ok telah berdiri di dekat kereta dan melihat Sang Pangeran duduk di dalam kereta, memandang kepadanya melalui jendela kereta yang sudah dibuka tirainya itu.
“Heh-heh-heh, Pangeran Kian Liong, engkau telah banyak merugikan kami, dan telah menghancurkan harapan kami untuk memperoleh kedudukan di istana. Oleh karena itu, aku akan membunuhmu sekarang juga.”
“Kakek yang munafik, mati merupakan hal yang jauh lebih bersih dari pada hidup akan tetapi seperti engkau ini, berlagak menjadi hwesio akan tetapi hidup sebagai datuk sesat yang jahat. Engkau mencemarkan agama, maka hidupmu tentu akan terkutuk!”
“Heh-heh-heh, mengocehlah selagi engkau bisa, Pangeran. Sekarang bersiaplah untuk mampus!” Berkata demikian, Su-ok lalu merendahkan tubuhnya dan mengerahkan tenaga dari ilmu Katak Buduk, bermaksud menghantam ke arah kereta agar Sang Pangeran tewas bersama hancurnya kereta itu.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara melengking nyaring dan ada sinar keemasan barkelebat, langsung sinar emas ini menyambar ke arah kepala gundul Su-ok! Su-ok terkejut, karena dia sudah mengerahkan tenaga, maka dia pun lalu memukul dengan ilmu pukulan Katak Buduk ke arah sinar kuning emas yang menyambar itu.
“Dessss....!”
Bukan main hebatnya pertemuan antara tenaga Katak Buduk dan sinar kuning emas itu dan akibatnya.... tubuh Su-ok terguling-guling seperti sebuah bal ditendang! Tentu saja Su-ok terkejut bukan main, dadanya terasa panas dan nyeri. Ketika dia bangkit berdiri, ternyata di situ telah berdiri seorang dara cantik yang gagah, yang memegang sebatang suling Emas!
Bukan main rasa heran dan penasaran di dalam hatinya. Melihat pemuda Kun-lun-pai itu saja sudah mendatangkan penasaran, sekarang muncul seorang dara yang memiliki tenaga sedemikian dahsyatnya, sehingga mampu menyambut pukulan saktinya, bahkan membuatnya terpelanting dan terguling-guling sampai jauh dengan dada terasa panas dan nyeri.....
Komentar
Posting Komentar