SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-42


“Ah, kiranya yang membunuh ular itu adalah pendekar dari Pulau Es! Pantaslah kalau demikian dan kami tidak merasa penasaran lagi.”

“Kami melakukan perjalanan dan mendengar bahwa ada ular hijau yang sudah banyak menjatuhkan korban. Ketika kami melihat dusun yang setiap tahun menyerahkan korban manusia hidup-hidup kepada ular yang mereka dewa-dewakan, maka kami mengambil keputusan untuk membasminya. Ular itu sungguh berbahaya sekali dan hanya karena nasib sajalah kami berhasil membunuhnya,” kata Kian Bu, lalu disambungnya, “Dan sekiranya Nona Ci Sian ini yang menjadi sahabat seperjalanan kami melakukan sesuatu pelanggaran terhadap Kun-lun-pai, biarlah Locianpwe memandang muka kami untuk memaafkannya.”

“Ah, sama sekali tidak! Hanya terjadi kesalah pahaman saja!” kata wakil ketua itu. “Dua orang murid Kun-lun-pai kami utus untuk menyelidiki tentang berita dibunuhnya ular. Mereka bertemu dengan Nona Bu dan terjadi kesalah pahaman sehingga Nona Bu memberi hajaran kepada mereka, bahkan lalu mengejar sampai ke Kun-lun-pai. Mata kami yang tua terbuka menyaksikan ilmu yang luar biasa dari Nona Bu!”

“Ah, Locianpwe harap jangan terlalu memuji, membuat saya merasa malu saja,” Ci Sian berkata dan memang wajahnya menjadi merah karena merasa malu terhadap Pendekar Siluman Kecil.

Kian Bu tersenyum. “Sudahlah, baik sekali engkau barusan bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai yang bijaksana, kalau dengan golongan lain tentu berakibat tidak enak.”

“Suma-taihiap, setelah Taihiap datang, harap kami diperkenalkan dengan Li-hiap ini...., menurut berita, Taihiap datang bersama isteri Taihiap....,“ kata pula Thian Kong Tosu.

“Benar, ia adalah isteri saya, Locianpwe,” kata pendekar itu dan Siang In lalu memberi hormat sambil tersenyum manis. Ci Sian melihat betapa wajah isteri pendekar itu kini semakin cantik saja, seperti ada sinar yang segar berseri dan wajahnya yang manis.

“Sungguh satu kehormatan besar menerima Sam-wi yang gagah perkasa sebagai tamu,” tiba-tiba Ketua Kun-lunpai berkata. “Dan sungguh kebetulan sekali karena kami sedang menghadapi suatu urusan yang amat penting dan besar, yang tentu akan menarik juga perhatian Sam-wi.”

“Urusan apakah itu, Locianpwe?” tanya Kian Bu.

“Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat baik kami dari kota Pao-ci di Shan-si datang dan membawa berita yang amat mengejutkan, yaitu bahwa Pangeran Mahkota Kian Liong telah lenyap!”

Tentu saja Kian Bu terkejut sekali mendengar ini. “Lenyap? Bagaimana bisa lenyap?!”

“Seperti biasa, Pangeran Kian Liong melakukan perjalanan merantau sendirian dan seperti biasa pula, diam-diam banyak pendekar yang membayangi dan melindunginya secara diam-diam karena kalau dilihat atau diketahui oleh Sang Pangeran, beliau tentu akan merasa tidak senang. Dan pada suatu hari, setelah Sang Pangeran memasuki sebuah kuil, beliau lenyap tanpa meninggalkan jejak!”

“Hemm, lalu bagaimana, Locianpwe?” tanya Kian Bu tertarik, akan tetapi merasa bahwa hal itu tidak ada sangkutannya dengan dia.

“Tentu saja menjadi geger, walau pun tidak ada yang berani menceritakan hal ini secara terang-terangan. Hanya menjadi desas-desus dan berita angin di dunia kang-ouw saja bahwa para pendekar kini seperti berlomba mencari pangeran. Timbul kekhawatiran besar bahwa para pendukung dan bekas anak buah mendiang Sam-thaihouw yang melakukan penculikan sehingga keselamatan Sang Pangeran dikhawatirkan.”

“Ahhh, sudah lama sekali saya tidak pernah mendengar tentang keluarga istana...., apakah yang telah terjadi dengan Sam-thaihouw, Locianpwe?” Tentu saja Kian Bu mengenal siapa adanya nenek yang berpengaruh itu, karena sesungguhnya, menurut kakak kandungnya, yaitu Puteri Milana, nenek yang amat berpengaruh terhadap Kaisar itu membencinya, bahkan membenci seluruh keluarga Pulau Es!

Ketua Kun-lun-pai itu memandang tajam, akan tetapi sute-nya yang mengajukan pertanyaan kepada Kian Bu, “Harap Suma-taihiap suka memaafkan pertanyaan pinto. Akan tetapi.... bukankah Taihiap masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Kaisar? Kalau pinto tidak salah, ibu kandung Taihiap adalah Puteri Nirahai yang amat terkenal....”

Kian Bu menggerakkan tangannya dengan tidak sabar. “Ahhh, itu sih dahulu, harap Locianpwe jangan sebut-sebut lagi. Kami sekarang adalah keluarga Pulau Es, bukan lagi keluarga istana. Apa yang telah terjadi dengan Sam-thaihouw?”

“Taihiap belum mendengar berita yang menggemparkan itu? Semua orang bahkan telah mendengarnya!”

Lalu Thian Kong Tosu menceritakan tentang kematian Sam-thaihouw yang menurut desas-desus adalah dikarenakan rahasianya diketahui Kaisar bahwa sesungguhnya Sam-thaihouw merupakan seorang berbahaya yang selain mempengaruhi Kaisar dan seluruh istana, juga mengumpulkan tokoh-tokoh dunia sesat. Mendengar berita ini, diam-diam Kian Bu merasa bersyukur dalam hati. Terbebaslah kini Kaisar dari pengaruh yang amat jahat.

“Akan tetapi, para pengikut dan kaki tangan Sam-thaihouw masih berkeliaran!” Tosu itu menyambung. “Terutama sekali Im-kan Ngo-ok yang tadinya menjadi kaki tangannya, juga bisa melarikan diri. Oleh karena itu, lenyapnya Pangeran ini tentu saja dihubungkan dengan kaki tangan Sam-thaihouw, siapa tahu mereka itu ingin membalas dendam karena kejatuhan Sam-thaihouw adalah karena Sang Pangeran yang membongkar rahasianya.”

Kian Bu mengangguk-angguk. Cerita itu memang menarik, akan tetapi masih belum cukup membangkitkan semangatnya untuk mencampuri. Ayahnya, Pendekar Super Sakti, selalu menasehatkan putera-puteranya agar jangan mencampuri urusan istana.

“Urusan istana, urusan perebutan kekuasaan, urusan pemberontakan, sesungguhnya hanyalah perebutan kedudukan dan kekuasaan, dan untuk kepentingan itu mereka menggerakkan rakyat. Rakyatlah yang selalu disuruh maju sebagai pendobrak, sebagai senjata dan perisai, dengan dalih perjuangan demi tanah air, bangsa, dan lain-lain yang serba muluk-muluk sehingga rakyat menjadi buta, tidak tahu bahwa sebenarnya mereka itu hanya diperalat oleh beberapa gelintir orang yang memperebutkan kedudukan. Kalau pendobrakan dan perebutan itu berhasil, beberapa gelintir orang itulah yang akan menempati kedudukan mulia dan bukan hanya mereka itu melupakan rakyat, bahkan mereka menjadi penindas-penindas yang baru terhadap rakyat. Tentu saja dalam perebutan itu, rakyat yang maju itulah yang menjadi korban, sedangkan beberapa gelintir orang itu hanya bersembunyi di dalam gedung-gedung dilindungi pasukan pengawal, siap untuk meraih hasil kemenangan kalau menang dan siap untuk melarikan diri mengungsi kalau kalah. Karena itu, jangan bodoh. Bertindaklah kalau melihat rakyat tertindas atau melihat kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa atau kuat terhadap si lemah, akan tetapi jangan melibatkan diri ke dalam perebutan kekuasaan di istana.”

Nasehat ayahnya itu selalu menjadi pegangan Kian Bu, maka kini mendengar akan urusan yang diceritakan oleh ketua dan wakil Ketua Kun-lun-pai, dia tidak tergerak untuk ikut-ikut, walau pun dia merasa tertarik. Dia pun tahu bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pangeran muda yang bijaksana dan menghargai orang-orang gagah, bahkan yang dicinta oleh banyak pendekar karena mereka mengharapkan Pangeran ini kelak akan menjadi seorang kaisar yang bijaksana.

“Locianpwe membicarakan urusan Pangeran dengan maksud bagaimanakah?” Akhirnya Kian Bu bertanya secara langsung sambil memandang tajam.

Kini Ketua Kun-lun-pai yang agak pendiam itu yang berkata, “Mendengar akan bahaya yang mengancam diri Sang Pangeran, kami tak dapat tinggal diam saja, Suma-taihiap. Yang dapat kami andalkan hanyalah murid pinto Cia Han Beng ini. Betapa pun juga, pinto masih sangsi apakah dia akan cukup mampu melaksanakan tugas seberat itu, mengingat bahwa pihak lawan terdapat orang-orang sakti seperti Ngo-ok dan lain-lain. Maka, melihat kemunculan Sam-wi yang mempunyai kepandaian hebat, maka pinto akan merasa gembira mendengar kalau saja Sam-wi tertarik dan dapat bekerja sama dengan Han Beng untuk menyelamatkan Pangeran.”

Mendengar ucapan ini, Suma Kian Bu menarik napas panjang, “Harap Ji-wi Locianpwe suka memaafkan kami dan tidak menjadi kecewa. Hendaknya diketahui bahwa kami mempunyai urusan pribadi yang penting, yang mengharuskan kami kembali ke Pulau Es, maka kami tidak akan dapat mencampuri urusan kehilangan Sang Pangeran itu.”

Melihat kekecewaan membayang di wajah Ketua Kun-lun-pai itu, Ci Sian ikut bicara, “Akan tetapi harap Locianpwe tidak terlalu merendahkan diri sendiri. Kulihat bahwa dia telah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!” Dia menuding ke arah Cia Han Beng yang cepat menundukkan mukanya yang berubah merah.

“Kami tidak ingin terlibat dalam urusan golongan atas!” kata pula Siang In.

“Siancai...., Sam-wi tentu memiliki alasan kuat sendiri maka berpendirian demikian. Maafkanlah kami yang telah berani membujuk Sam-wi.”

Percakapan dilanjutkan dalam suasana yang kurang enak karena penolakan ini dan tak lama kemudian Kian Bu berpamit dan meninggalkan Kun-lun-pai bersama isterinya dan Ci Sian. Setelah mereka tiba jauh dari tembok perkampungan Kun-lun-pai itu, Ci Sian yang sejak tadi merasa penasaran bertanya, “Mengapa kalian menolak? Bukankah kalian adalah pendekar-pendekar yang sudah sepatutnya melindungi Sang Pangeran yang terancam bahaya?”

Kian Bu dan isterinya tersenyum. “Ci Sian, engkau tidak tahu. Memang harus kami akui bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pangeran yang bijaksana dan dicinta oleh para pendekar. Akan tetapi kita belum tahu siapakah yang menentangnya. Kalau yang menentangnya itu orang-orang dari golongan hitam seperti Ngo-ok dan kawan-kawannya, memang sudah sepatutnya kalau kita turun tangan melindungi beliau. Akan tetapi, engkau pun tahu bahwa Pangeran itu adalah seorang Pangeran Mancu, dari istana Kaisar penjajah. Bagaimana kalau yang menentang itu adalah kaum patriot yang menghendaki terbebasnya rakyat dari cengkeraman penjajah?”

Ci Sian memandang dengan mata terbelalak heran. Ia sudah amat akrab dengan Kian Bu dan isterinya, maka tidak ada lagi perasaan sungkan di dalam hatinya dan langsung saja ia berkata, “Tapi.... tapi..... Taihiap, bukankah ibumu sendiri seorang puteri istana dan bukankah itu berarti bahwa engkau sendiri masih terhitung keluarga Kaisar?”

Kian Bu lalu menghela napas panjang. “Tidak salah. Ibuku seorang puteri Mancu, tetapi ayahku seorang pendekar. Betapa pun juga, lebih banyak darah Han mengalir di dalam tubuhku, dan betapa pun juga, sebagai seorang pendekar aku tidak setuju dengan penjajahan. Maka terus terang saja, agaknya tidak mungkin jika aku harus menentang para patriot.”

“Tapi.... tapi...., bukankah keluarga Pulau Es terkenal sekali dalam membasmi para pemberontak? Nama-nama seperti Puteri Nirahai, dan Puteri Milana amat terkenal....“

“Engkau harus dapat membedakan antara pemberontak yang bergerak demi merebut kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri, dan pemberontakan rakyat yang tertindas dan yang ingin menghalau penjajah. Kukatakan tadi, andai kata yang menentang Kaisar itu golongan hitam, tentu aku akan turun tangan membela Pangeran. Sudahlah, Ci Sian, sebenarnya bukan itu yang mendorong kami untuk menolak tawaran Ketua Kun-lun-pai dan yang memaksa kami harus cepat pulang ke Pulau Es.”

“Apakah itu....?” Ci Sian bertanya.

Tiba-tiba saja Siang In merangkulnya. Nyonya ini tertawa dan mukanya menjadi merah sekali, akan tetapi sepasang matanya berseri-seri. Dirangkulnya dara itu dan dibisikinya. Mendengar bisikan ini, Ci Sian terlonjak kegirangan dan ia pun merangkul leher Siang In dan mencium pipinya.

“Benarkah, Enci? Ahh, kionghi...., kionghi....! Sungguh aku merasa ikut gembira sekali, Enci Siang In!”

“Terima kasih, Adikku, dan terima kasih pula atas bantuanmu ketika kami menundukkan ular naga hijau itu.... karena tanpa bantuanmu....”

“Ahh, mudah-mudahan kelak puteramu gagah perkasa seperti naga, Enci!”

“Hushh....! Bagaimana kau tahu dia bakal laki-laki?” Siang In mencela dan mereka pun tertawa gembira.

Akan tetapi, kegembiraan hati Ci Sian hanya sebentar karena segera wajahnya yang cantik menjadi muram ketika Kian Bu dan Siang ln memberi tahu kepadanya bahwa hari itu juga suami isteri ini akan meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Pulau Es. Karena Siang In sudah mengandung, hampir dua bulan kandungannya, maka tidak baik kalau mereka terus merantau, dan Siang In harus tenang tinggal di rumah.

“Kita berpisah di sini, Ci Sian. Yang baik-baiklah engkau menjaga diri. Kepandaianmu sudah cukup tinggi dan kiranya engkau sudah dapat menjaga diri sendiri dengan cukup kuat, akan tetapi hanya satu hal yang harus kau ingat benar, yaitu kurangilah watak kerasmu itu,” demikian Kian Bu meninggalkan pesan setelah mereka tiba di dalam pondok dan suami isteri itu sudah mempersiapkan diri untuk berangkat.

Saking terharunya, Ci Sian hanya bisa mengangguk, kemudian ketika Siang In hendak berpamit kepadanya, Ci Sian merangkul dan keduanya saling peluk sambil menangis! Aneh memang melihat dua orang wanita yang sama-sama memiliki kepandaian amat tinggi dan kegagahan luar biasa itu kini saling rangkul sambil menangis. Betapa pun juga, mereka itu adalah wanita-wanita yang tentu saja lebih halus perasaannya kalau dibandingkan pria.

Akhirnya, suami isteri itu pergi meninggalkan Ci Sian. Mereka singgah di dusun Naga Hijau untuk pamit kepada para penghuni dusun. Setelah ditinggalkan oleh dua orang itu, Ci Sian juga tidak tahan tinggal lebih lama lagi di pondok dalam hutan itu. Ia mengemas barang-barangnya dan dia pun segera pergi dari situ tanpa pamit lagi kepada para penghuni dusun. Sebentar saja sudah pergi jauh meninggalkan dusun itu, menuju ke timur dan setelah senja mendatang, barulah ia menghentikan perjalanannya, beristirahat di bawah pohon besar di sebuah lereng gunung.

Ketika ia duduk di bawah pohon besar itu, memandang ke kanan kiri yang amat sunyi, merasa benar betapa ia hidup seorang diri saja di dunia ini, tiba-tiba saja rasa kesepian menyelinap di dalam hatinya dan tak dapat ditahannya lagi, air matanya jatuh berderai di atas kedua pipinya. Ci Sian menangis karena sedih, karena merasa kesepian. Dia merasa ngeri, merasa asing, merasa kehilangan dan ditinggalkan.

Rasa kesepian, merasa sendiri saja tanpa teman, merasa terasing dan tidak ada yang mempedulikan, perasaan ini tentunya sangat ditakuti oleh semua orang. Perasaan ini mendatangkan iba diri dan kesedihan. Karena takut akan rasa kesepian inilah maka semua orang mudah sekali terikat, bahkan suka mengikatkan diri dengan sesuatu. Kita merasa ngeri kalau harus menderita kesepian, maka kita mengikatkan diri dengan isteri, keluarga, sahabat, bangsa, suku kelompok, atau kita mengikatkan diri dengan gagasan-gagasan sehingga kita merasa aman dan merasa ‘tidak sendirian’.

Rasa ngeri membayangkan harus bersendirian inilah agaknya yang membuat kita merasa ngeri akan kematian. Bagaimana kalau kita mati? Kita akan sendirian, akan kehilangan segala-galanya! Inilah yang mendatangkan kengerian, dan karena ini pula maka kita mengikatkan diri dengan segala macam agama atau kepercayaan, sebagai penghibur diri di waktu masih hidup bahwa kalau kita mati kelak, kita akan terbebas dari pada ‘sendirian’ itu.

Akan tetapi, benarkah bahwa kesunyian, keheningan, di mana kita berada seorang diri, baik jasmani mau pun rohani, sendiri tanpa siapa pun juga, mendatangkan kengerian? Siapakah itu yang merasa ngeri? Bukankah yang merasa takut itu adalah pikiran yang membayangkan segala keadaan, mengharapkan yang menyenangkan dan menghindar dari yang tidak menyenangkan? Pernahkah kita menghadapi kesunyian ini, kesepian ini, rasa bersendirian ini, menghadapinya, mengamatinya tanpa penilaian, tanpa pendapat dan gagasan tentang kesepian itu? Maukah kita mencoba untuk menyelami kesepian ini, memandangnya tanpa ide-ide tentang kesepian sehingga antara kesepian dan kita tidak ada jarak pemisah lagi? Sehingga kita merupakan sebagian dari pada keheningan itu?

Proses badaniah yang menjadi tua, lapuk lalu mati, merupakan hal yang wajar. Kita tidak merasa takut atau ngeri akan hal itu. Yang kita takutkan adalah bagaimana nanti jadinya dengan ‘kita’! Bagaimana nanti dengan keluarga kita, orang-orang yang kita cinta, dengan harta benda kita, dengan nama kita, kedudukan kita dan sebagainya lagi.

Semua ikatan-ikatan itulah yang membuat kita merasa ngeri untuk mati, ngeri untuk berpisah dari semua itu. Kita merasa ngeri karena dengan kehilangan semua itu, kita ini BUKAN APA-APA lagi. Kita membayangkan, apakah jadinya dengan kita kalau kita tidak punya keluarga lagi, tiada teman, tiada harta benda, tiada segala yang kesemuanya mendatangkan kesenangan itu? Itulah sebabnya mengapa kita takut akan kematian, takut akan kesepian.

Pikiran yang membentuk si aku yang selalu ingin senang dan selalu menjauhi ketidak senangan, pikiran inilah yang merasa ngeri karena membayangkan bahwa semua kesenangan itu akan berpisah dari kita. Akan tetapi, kita dapat merasakan keadaan mati ini selagi kita masih hidup. Jasmani kita masih hidup, akan tetapi kalau batin kita dapat terbebas dari segala ikatan, maka rasa takut akan kehilangan ikatan-ikatan itu tidak ada. Dan tanpa adanya rasa takut ini, maka keheningan atau kesunyian akan merupakan sesuatu yang lain sama sekali!

Bukankah berarti bahwa kita lalu menjadi seperti patung hidup? Sama sekali tidak. Kita masih hidup di dalam dunia ramai dengan segala aneka ragam, namun batin kita bebas dari pada ikatan, sehingga kalau sewaktu-waktu kita harus berpisah, kita tidak akan merasa takut atau ngeri, kita tidak akan merasa berduka. Ikatan selalu menimbulkan rasa takut akan kehilangan dan rasa duka kalau kehilangan. Makin kuat ikatan itu, semakin besar rasa takut dan semakin besar kedukaan. Sebuah benda saja dapat nenimbulkan ikatan yang demikian kuat sehingga kalau kita kehilangan benda itu, akan menimbulkan rasa duka yang amat sangat. Dapatkah kita terbebas dari ikatan dengan kesemuanya itu?

Ada yang bertanya bahwa kalau kita bebas dari pada ikatan dengan keluarga, bukankah itu berarti bahwa kita tidak mencinta keluarga kita lagi? Sama sekali bukan demikian. Cinta kasih sama sekali bukanlah ikatan! Kalau kita mencinta anak kita, benar-benar mencintanya, hal itu bukan berarti bahwa kita harus terikat dengan anak kita itu. Yang ada hanya bahwa kita ingin melihat anak kita berbahagia hidupnya!

Sebaliknya, ikatan menimbulkan keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, karena memang ikatan diciptakan oleh si aku yang ingin senang tadi. Cinta yang mengandung ikatan bukanlah cinta kasih namanya, melainkan keinginan untuk memuaskan dan menyenangkan diri sendiri. Cinta yang mengikat kepada anak menimbulkan keinginan untuk menguasai anak itu, untuk memperoleh kesenangan batin melalui si anak, dan terasa berat kalau berpisah, karena si aku merasa dipisahkan dengan sumber yang menyenangkan diri. Tidakkah demikian? Demikian pula dengan isteri atau suami atau keluarga atau benda, atau juga gagasan. Semua itu hanya merupakan alat untuk menyenangkan diri sendiri dan karenanya menimbulkan ikatan.

Cinta kasih baru ada kalau tidak terdapat keinginan untuk menyenangkan diri sendiri. Dan tanpa adanya cinta kasih, tidak mungkin ada kebaikan atau kebajikan, karena tanpa adanya cinta kasih, segala yang nampak baik itu adalah semu, berpamrih, dan segala macam pamrih itu sumbernya adalah pada si aku yang ingin senang

.

Setelah menumpahkan semua rasa dukanya melalui runtuhnya air mata, akhirnya timbul semacam kelegaan di dalam hati Ci Sian. Ia termenung dan dalam renungannya ini ia lupa segala, lupa akan kedukaannya, lupa akan keadaannya yang kesepian.

Ia memandang ke depan dan melihat angkasa sedemikian indah dan agungnya, penuh dengan tata warna yang tak bisa dilukiskan indahnya. Ada warna merah yang beraneka macam, dari merah yang jingga sampai yang jambon dan kekuning-kuningan, ada warna biru yang belum pernah dapat dibandingkannya dengan warna biru di bumi. Dan awan-awan kelabu membentuk makhluk-makhluk yang aneh, raksasa yang perkasa, binatang buas yang luar biasa.

Senja kala menciptakan keindahan yang demikian agung dan besarnya, yang sekaligus mengusir atau membuat lupa segala kedukaannya yang tadi menyelimuti hati Ci Sian. Hal ini adalah karena segala pikiran, batin dan segala indera dara itu dicurahkan kepada keindahan di angkasa itu. Dan kalau sudah begini, maka segala sesuatu nampak indah. Bahkan pohon yang berdiri terpencil di depan itu, pohon yang sebagian batangnya rusak oleh ketuaan, yang beberapa cabangnya gundul dan kering, nampak menonjol dan hidup, merupakan sebagian yang tak terpisahkan dari segala yang indah. Juga dirinya terlebur menjadi satu kesatuan dari pada keindahan dan keheningan itu, tidak terpisah-pisah. Pada saat itulah Ci Sian mengalami apa yang dinamakan kematian.

Akan tetapi, gerengan seekor binatang buas membuyarkan kesatuan itu dan begitu pikiran Ci Sian bekerja, ia pun sudah kembali lagi kepada dirinya sendiri, dirinya yang kesepian, dirinya yang penuh dengan iba diri. Dan Ci Sian melewatkan malam yang menggelisahkan.....

********************

Apakah yang telah terjadi dengan diri Pangeran Kiang Liong? Seperti telah kita ketahui dari bagian depan cerita ini, Pangeran yang bijaksana ini telah bertentangan dengan Sam-thaihouw, dan dengan bantuan keluarga pendekar Kao Kok Cu, isterinya Wan Ceng dan puteranya, Jenderal Muda Kao Cin Liong, akhirnya Pangeran membuka rahasia Sam-thaihouw, membuat nenek tua ini terserang penyakit jantung dan tewas. Setelah Sam-thaihouw dan kini kaki tangannya dibasmi dari istana, hati Pangeran itu merasa lega dan gembira bukan main.

Akan tetapi, Pangeran yang semenjak muda sekali sudah suka sekali berkelana ini, tidak dapat tinggal diam terlalu lama di istana. Pada suatu hari, dia sudah lolos lagi dari istana dan mengembara ke barat, menyamar sebagai seorang pemuda biasa saja. Kesukaannya mengembara ini selain didorong oleh keinginannya untuk mengenal rakyat lebih dekat, juga karena dia ingin mempelajari dan mendengar suara rakyat agar kelak kalau dia menggantikan ayahnya memerintah, dia akan dapat mengambil sikap dan keputusan yang sesuai dengan selera rakyat terbanyak.

Di samping ini, pemuda bangsawan ini pun suka bergaul dengan para sastrawan dan para pendekar dan hanya dengan menyamar sebagai seorang biasa sajalah maka pergaulannya itu dapat berjalan dengan perasaan bebas, tidak seperti kalau mereka itu menghadapnya sebagai seorang pangeran di mana harus dilakukan banyak peraturan dan peradatan.

Seperti biasa, biar pun Pangeran ini tidak memperkenankan pasukan pengawal untuk mengawal perjalanannya, namun ada pengawal-pengawal istana rahasia yang diam-diam membayanginya, di samping beberapa orang pendekar yang mendengar akan perjalanan ini lalu membayanginya untuk melindunginya secara diam-diam. Pangeran Kian Liong juga maklum akan hal ini. Sebenarnya dia pun tidak merasa senang dilindungi secara diam-diam seperti ini, akan tetapi karena yang melindunginya tidak menampakkan dirinya, tentu saja dia pun tidak dapat berbuat sesuatu untuk mencegah mereka.

Para hwesio yang menerima kedatangan Pangeran itu menyambutnya sebagai seorang pemuda yang dermawan. Pemuda ini telah memberi sumbangan yang cukup besar dan ketika pemuda itu menyatakan bahwa dia ingin memperoleh kamar dan bermalam di kuil itu, maka para hwesio segera menyambutnya dan menyediakan sebuah kamar yang sederhana di sebelah belakang bangunan kuil. Karena dia merasa amat tertarik oleh bangunan kuno kuil itu dan ingin menenangkan hatinya di dalam kuil maka Pangeran Kian Liong ingin bermalam di situ dan tidak bermalam di rumah penginapan seperti biasa. Hal ini menyulitkan para pelindungnya.

Kalau Pangeran itu bermalam di rumah penginapan, para pelindung itu dapat pula menyewa kamar di rumah penginapan itu untuk mengamat-amati Sang Pangeran. Akan tetapi sekali ini Sang Pangeran bermalam di kuil, tentu saja tidak mungkin bagi mereka untuk bermalam di kuil itu juga. Maka mereka berpencaran dan ada juga yang bermalam di tempat terbuka di belakang kuil, atau di rumah penduduk di sekitar kuil itu.

Pada hari kedatangan Sang Pangeran di Kuil Hok-te-kong itu, seperti biasa banyak pula orang datang bersembahyang. Memang kuil itu amat terkenal ‘manjur’, yaitu banyak permintaan para pemujanya tercapai setelah bersembahyang di kuil itu! Dan setelah tercapai apa yang diminta mereka lalu membayar ‘kaul’, yaitu semacam janji untuk membalas jasa atau untuk menyatakan terima kasih apabila permintaan mereka telah terkabul. Kaul ini berupa sembahyang besar-besaran, membakar segala macam harta kekayaan berupa tiruan dari kertas yang dimaksudkan agar “di sananya” dapat menjadi barang berharga sungguh-sungguh untuk memberi sumbangan kepada yang telah mengabulkan permintaan mereka!

Bahkan sampai jaman sekarang pun masih ada kepercayaan semacam itu! Tentu saja dengan bermacam cara, sesuai dengan tradisi dan agama masing-masing. Dan semua ini jelas memperlihatkan betapa lemahnya kita manusia ini. Melihat betapa diri sendiri ini kosong dan lemah, tiada apa-apanya, melihat pula akan kehidupan yang menimbulkan rasa takut, serta didorong pula oleh keinginan-keinginan untuk mengejar kesenangan-kesenangan baik kesenangan jasmani mau pun rohani, maka kita yang merasa tidak berdaya ini lalu mencari pegangan!

Kita lalu membayangkan bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi. Itulah yang kita jadikan sasaran untuk membantu dan menolong kita, baik dalam mencapai kesenangan lahiriah mau pun batiniah. Pikiran kemudian mereka-reka menurut kepercayaan masing-masing, menurut tradisi ribuan tahun lamanya.

Dibuatlah arca-arca, patung-patung, benda-benda keramat kemudian dipujanya sebagai tempat yang dihuni oleh sesuatu yang kita anggap lebih tinggi dari pada kita itu. Timbul sebutan dewa-dewa, malaikat-malaikat, roh-roh suci, dan sebagainya lagi. Kita bukan hanya sekedar memujanya karena rasa takut, karena ingin selamat, ingin terlindung dan sebagainya, akan tetapi juga kita memuja untuk meminta sesuatu, minta bantuan agar sukses dalam usaha perdagangan, agar dapat jodoh, agar dapat anak, agar menang perkara, agar manjur kutuk kita terhadap musuh, dan sebagainya lagi.

Dan ‘jika ‘kebetulan’ apa yang kita minta itu terkabul, kepercayaan kita menjadi semakin tebal dan kita kemudian membalas budi dengan cara masing-masing. Demikianlah keadaannya. Kalau kita mengamati itu semua, bukankah kita ini sungguh lemah dan bodoh sekali? Kalau kita melihat dengan sungguh-sungguh bahwa semua itu adalah palsu dan timbul dari rasa takut kita, dari keinginan kita memperoleh segala macam kesenangan, beranikah kita untuk menanggalkan itu semua? Kalau tidak berani, berarti kita belum melihat kenyataan akan kepalsuan itu

.

Di antara para tamu yang datang bersembahyang, terdapat seorang laki-laki setengah tua. Usianya sudah mendekati lima puluh tahun, tetapi dia masih nampak gagah dan tampan. Pakaiannya sederhana namun bersih dan rapi. Wajahnya yang tampan gagah itu selalu berseri dan mulutnya selalu membayangkan senyuman sehingga orang-orang suka melihatnya. Tamu ini tidak ikut sembahyang, hanya mengamati tempat itu dan orang-orang yang bersembahyang dengan sinar mata tajam.

Seorang hwesio tua menyambut pria gagah ini dan pria itu menjura sambil bertanya, “Apakah Ciong suhu ada di dalam?”

“Dia telah sejak tadi menantimu, Taihiap. Silakan masuk ke ruangan tamu di sebelah kanan.”

Pria itu mengangguk dan berjalan masuk. Ketika dia memasuki ruangan tamu sebelah kanan, seorang hwesio tua yang bertahi lalat di dahinya, yaitu Ciong-hwesio yang menjadi ketua kuil itu, cepat-cepat menyambutnya dan segera mereka bercakap-cakap dengan suara lirih.

“Baik sekali engkau cepat datang, Bu-taihiap,” kata Ciong-hwesio dengan wajah berseri. “Pinceng sudah khawatir sekali karena menurut beberapa orang penyelidik, Ngo-ok sudah nampak berada di kota ini pula.”

Pria gagah itu memang bukan lain adalah Bu Seng Kin atau Bu-taihiap, pendekar terkenal itu. Kita sudah mengenal pendekar ini sebagai ayah kandung Ci Sian, dan juga sebagai seorang pendekar yang mempunyai banyak isteri. Seperti telah diceritakan dalam bagian depan, Bu Seng Kin dan keluarganya merasa terpukul batinnya dan merasa malu ketika pinangan mereka untuk menjodohkan puteri Bu Seng Kin dan Nandini, yaitu Bu Siok Lan, dengan Kao Cin Liong, ditolak mentah-mentah dan secara yang kasar oleh keluarga Kao. Penolakan ini tentu saja mendatangkan perasaan marah dan dendam di pihak keluarga Bu, akan tetapi pada saat terjadi penolakan, tentu saja Bu Seng Kin tidak berani untuk memperlihatkan kemarahannya.

Penolakan ini pula yang menambah perasaan anti di dalam hati keluarga Bu terhadap istana. Memang sejak dahulu mereka itu tidak suka kepada kerajaan penjajah, apalagi kini mereka merasa dihina oleh seorang jenderal muda dan keluarganya, maka sikap mereka yang tidak suka terhadap Kerajaan Mancu makin menebal. Apalagi di situ terdapat Nandini, Puteri Nepal yang pernah menjadi Panglima Nepal dan dikalahkan oleh pasukan-pasukan kerajaan.

Puteri ini membujuk-bujuk suaminya untuk tidak tinggal diam dan membangkitkan jiwa patriot Bu Seng Kin untuk menentang pemerintah penjajah. Inilah sebabnya maka Bu Seng Kin atau Bu-taihiap diam-diam bergabung dengan para pendekar yang diam-diam menentang dan memusuhi Kerajaan Mancu. Dan dalam hal ini, Bu-taihiap memperoleh teman-teman yang baik, yaitu dari golongan Siauw-lim-pai yang kini secara terang-terangan dimusuhi oleh Kaisar Yung Ceng.

Para hwesio pengurus Kuil Hok-te-kong adalah hwesio-hwesio yang condong berpihak kepada Siauw-lim-pai dan hal ini tidaklah aneh karena Ciong-hwesio yang menjadi ketua kuil itu adalah anak murid Siauw-lim-pai pula. Maka terjadilah pertemuan antara Bu-taihiap dan Ciong-hwesio itu, yang dilakukan dengan rahasia.

“Hemm, mereka sudah muncul? Tentu mereka tidak berani turun tangan di siang hari. Malam nanti aku akan siap menghadapi mereka, harap Ciong-suhu jangan khawatir. Bahkan peristiwa ini amat kebetulan sekali. Kalau di sini terjadi penyerangan dari luar, dan ketika kami menghadapi mereka, maka dengan mudah Ciong-suhu akan dapat melarikan Pangeran tanpa ada yang menduga kalau Ciong-suhu yang melakukannya.”

Mereka lalu bicara bisik-bisik mengatur siasat dan rencana selanjutnya. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa di antara para tamu yang bersembahyang itu terdapat seorang nenek bongkok yang juga bersembahyang dan mulutnya berkemak-kemik minta berkah. Sambil terbongkok-bongkok nenek itu membakar kertas dan berjalan masuk ke ruangan dalam kuil sambil menengok ke kanan kiri seolah mencari sesuatu.

Seorang hwesio segera menghampiri dan menegur, “Hei, Nenek, engkau hendak ke manakah? Tidak diperkenankan masuk ke dalam....“

“Ah, Siauw-suhu, aku ingin bertemu ketua kuil...., aku ingin menghaturkan terima kasih karena cucuku telah terkabul permintaannya dan memperoleh seorang anak laki-laki. Aku ingin Ciong-hwesio memilihkan nama untuk cucu buyutku itu....” Dan nenek itu memaksa masuk terus.

“Tapi.... Ciong-suhu sedang sibuk....”

“Ahh, apa sukarnya memberikan nama saja? Biarlah aku mengganggu sebentar, beliau tentu tidak akan marah. Di manakah beliau?”

“Tidak boleh, nanti pinceng mendapat marah....“ Hwesio muda itu hendak menghalang, akan tetapi dia merasa tidak enak juga untuk berkeras terhadap seorang nenek dan nenek itu kini sudah mendekati ruangan tamu di mana Ciong-hwesio masih bercakap-cakap dengan Bu Seng Kin.

Mendengar suara ribut-ribut di luar kamar tamu itu, Ciong-hwesio memberi isyarat pada Bu-taihiap, lalu membuka pintu dan berteriak. “Ada apakah ribut-ribut di situ?”

Dan diam-diam dia merasa terkejut dan curiga melihat seorang nenek tua renta sedang berbantahan dengan seorang hwesio, agaknya Si Nenek hendak memaksa masuk.

“Maaf, Suhu, nenek ini nekat saja hendak menghadap Suhu, katanya hendak minta diberi nama untuk cucu buyutnya.”

Melihat Ciong-hwesio, nenek itu cepat menghampiri dan menjatuhkan dirinya berlutut, “Mohon kemurahan hati Losuhu.... karena kami sekeluarga sudah berjanji, maka setelah cucu saya melahirkan, kami sekeluarga mengharap agar Losuhu memberikan sebuah nama untuk anak itu.”

“Amithaba.... kiranya demikian?” Hwesio tua itu berkata halus, menarik napas panjang, lalu melanjutkan, “Beri saja nama Tiong Gi.”

“Terima kasih, terima kasih, Losuhu...,” kata nenek itu dengan gembira sambil memberi hormat dan matanya mengerling ke arah pintu kamar tamu dari mana ia dapat melihat Bu-taihiap yang duduk di bangku dan memandang keluar dengan sikap tidak sabar karena gangguan itu.

Setelah menghaturkan terima kasih berkali-kali, dan matanya yang tua itu kembali memandang ke kanan kiri seperti biasa sikap orang tua yang pikun dan ingin tahu segala, nenek itu lalu melangkah ke dalam!

Hwesio muda itu cepat menghadang. “Ehh, engkau hendak ke mana, Nek?”

“Mau keluar, ke mana lagi....?” tanya nenek itu dengan sikap pikun dan ia terus saja berjalan tanpa mempedulikan orang lain sehingga ia sampai di pintu tembusan dan menjenguk ke dalam.

Akan tetapi kali ini Ciong-hwesio sendiri yang melangkah maju dan memegang lengan nenek itu. Lengan yang lemah tanpa tenaga, pikirnya dan dia melepaskan kembali pegangannya.

“Nek, jalan keluar bukan ke sana!”

Hwesio muda itu lalu memberi petunjuk dan sekali ini nenek itu keluar dari dalam kuil, dengan terbongkok-bongkok berjalan ke jalan raya, sedangkan mulutnya berkali-kali membisikkan nama, “Tiong Gi....!”

Akan tetapi ketika nenek itu telah tiba di tempat yang jauh dari kuil itu dan ia sudah merasa yakin bahwa tidak ada seorang pun yang memperhatikannya, ia lalu memasuki sebuah rumah kecil dan sikapnya menjadi berbeda sama sekali. Gerakannya sigap ketika dia masuk ke dalam rumah itu dan ketika ia disambut oleh seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, ia lalu mengeluh, “Ahhh, sampai lelah punggungku harus kutekuk terus! Jelas, orang she Bu itu berada di sana, sedang berunding dengan ketua kuil!”

“Dan engkau tidak melihat bayangan Pangeran?” tanya laki-laki tinggi besar itu.

“Tidak ada, akan tetapi aku yakin dia berada di dalam sebuah kamar. Tidak ada jalan lain, kita harus berusaha memasukinya malam ini.”

Laki-laki tinggi besar itu mengangguk. “Memang kupikir juga begitu. Malam ini akan terjadi keributan di kuil.”

Tak lama kemudian, laki-laki tinggi besar dan seorang wanita yang cantik keluar dari rumah itu dan memanggil pemilik rumah yang mereka sewa selama dua hari. Nenek itu tidak nampak lagi. Dan setelah mereka berdua pergi, seorang hwesio datang ke situ dan bertanya-tanya tentang seorang nenek. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang tahu dan pemilik rumah itu hanya memberi tahu bahwa yang menyewa rumahnya adalah seorang laki-laki tinggi besar dan isterinya yang cantik.

Tentu saja hwesio itu segera memberi laporan kepada ketuanya, dan Ciong-hwesio mengerutkan alisnya. Dia memang sudah merasa curiga kepada nenek tadi, akan tetapi karena nenek itu sudah hilang dan tidak ada yang mengetahuinya, dia pun hanya memesan kepada anak buahnya agar malam itu mereka berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan.

Peristiwa bermalamnya Pangeran di kuil itu memang merupakan hal yang kebetulan dan sama sekali tidak diduga-duga orang. Semenjak orang-orang kang-ouw mendengar bahwa Pangeran Mahkota pergi seorang diri, banyak yang membayanginya. Banyak pihak hendak mengganggunya, tapi ada pula yang melindunginya sehingga pihak yang hendak mengganggunya masih ragu-ragu. Akan tetapi, seperti seekor lalat memasuki sarang laba-laba, Pangeran itu dengan kehendak sendiri masuk ke dalam kuil bahkan minta bermalam di situ, tidak tahu bahwa kuil itu adalah sarang dari orang-orang yang tidak suka kepada kerajaan ayahnya! Bahkan orang-orang Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang banyak menaruh dendam kepada ayahnya.

Juga para pelindungnya tiada yang mengira bahwa ketua kuil itu adalah bekas murid Siauw-lim-pai pula sehingga mereka enak-enak saja dan mengira bahwa Pangeran itu berada di tempat yang aman. Padahal, sesungguhnya Pangeran itu seperti seekor anak domba yang memasuki goa serigala!

Malam itu tidak terang bulan. Malam yang cerah dan indah sekali, seolah-olah tak akan pernah terjadi hal-hal yang buruk. Lewat senja, tidak seperti biasanya, Kuil Hok-te-kong telah menutupkan pintunya. Baru saja pintu itu ditutup, terdengar ketukan pada pintu itu.

Setelah ketukan-ketukan itu diulang, seorang hwesio berkata dari balik pintu, “Malam ini kami tidak menerima tamu, karena kami sedang mengadakan upacara sembahyang yang penting. Harap suka kembali besok saja!”

Akan tetapi, dari luar pintu terdengar suara yang besar dan parau, “Saudara, pinceng bukanlah tamu hendak bersembahyang, melainkan dua orang saudara yang mohon ingin bertemu dengan Ciong-losuhu.”

Mendengar ucapan ini, lubang di tengah-tengah pintu itu terbuka dan sebuah mata, mata hwesio penjaga, mengintai dari dalam. Ketika mata itu melihat bahwa yang berdiri di depan pintu itu adalah dua orang hwesio, yang seorang lagi agak kecil, dia merasa heran. “Ji-wi siapakah dan dari mana? Ada keperluan apakah malam-malam hendak menghadap Ciong-suhu?”

Hwesio yang tinggi besar itu memandang ke kanan kiri dan belakang, lalu menjawab dengan suara berbisik, “Kami adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang dikejar-kejar, mohon perlindungan!”

“Amithaba....!” Mata di balik lubang itu terbelalak, “Sebentar, pinceng harus melaporkan dulu kepada Suhu!”

Tidak lama kemudian, pintu itu terbuka dan Ciong-hwesio sendiri yang menyambut mereka. Kedua orang hwesio itu memberi hormat kepada Ciong-hwesio yang dibalas oleh ketua kuil Hok-te-kong itu. “Mari silakan, mari kita bicara di lian-bu-thia.”

Setelah tiba di ruangan berlatih silat, dua orang hwesio ini melihat betapa di situ telah berkumpul banyak hwesio dan mereka semua memandang dengan mata penuh selidik. Ciong-hwesio sendiri juga memandang penuh selidik. Dia memang jarang pergi ke Siauw-lim-pai dan tentu saja tidak banyak mengenal hwesio Siauw-lim-pai, akan tetapi kalau memang benar mereka ini hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang dikejar-kejar tentara pemerintah, tentu saja dia harus membantu mereka.

Hwesio tinggi besar itu bermuka hitam sekali dengan mata lebar, nampak gagah sekali, sedangkan hwesio yang lebih kecil bermuka kuning dan kasar sehingga ketampanannya lenyap oleh kekasaran mukanya, juga matanya agak juling.

“Kalian berdua dari kuil mana? Dan mengapa malam-malam tiba di kota ini?” tanya Ciong-hwesio dengan penuh curiga.

“Kami adalah anak murid Siauw-lim-pai yang datang dari Kuil Siauw-lim-pai yang dibakar oleh Kaisar lalim. Kami dikejar-kejar dan berhasil melarikan diri sampai di sini. Mendengar bahwa Ciong-suhu adalah bekas anak murid Siauw-lim-pai pula, maka kami mohon perlindungan dan mengharap agar dapat diterima di kuil sini,” kata hwesio yang bertubuh kecil dengan suara mohon dikasihani.

“Amithaba...., sudah tentu saja pinceng tidak akan menolak. Tetapi, di dalam keadaan genting seperti ini kita harus bersikap hati-hati! Coba Ji-wi perlihatkan beberapa jurus Siauw-lim-pai agar pinceng tidak ragu-ragu lagi bahwa Ji-wi adalah benar-benar murid Siauw-lim-pai.”

Hwesio bertubuh kecil itu lalu memandang hwesio tinggi besar muka hitam, “Silakan Suheng.”

“Baik, saya akan mainkan Pek-ho-kun dari Siauw-lim-pai!” katanya dan segera hwesio muka hitam ini bersilat.

Ternyata gerakannya cukup gesit dan mantap, dan karena tubuhnya memang tinggi besar, maka dia nampak gagah. Melihat gerakan ini, diam-diam Ketua Hok-te-kong itu girang sekali. Orang ini merupakan tenaga bantuan yang boleh diandalkan, pikirnya. Setelah selesai bersilat, hwesio muka hitam itu berhenti dan tidak nampak dia terengah-engah, tanda bahwa dia sudah menguasai pula ilmu pernapasan dengan baik.

“Sekarang saya hendak mainkan Lo-han-kun!” kata hwesio bertubuh kecil dan dia pun cepat bergerak dan bersilat.

Kembali Ciong-hwesio gembira sekali. Si Kecil ini gerakannya luar biasa gesitnya, dan pukulan-pukulannya sudah sangat matang, padahal Lo-han-kun bukan ilmu silat yang sembarangan saja. Ternyata kedua orang ini adalah benar-benar murid Siauw-lim-pai yang tergolong baik ilmu silatnya, agaknya tidak selisih banyak dengan kepandaiannya sendiri.

“Bagus! Ji-wi memang murid-murid Siauw-lim-pai. Nah, dengarlah. Adanya kami tadi bercuriga dan bersikap hati-hati adalah karena kita semua menghadapi urusan yang besar sekali. Mari, mari kita bicara di dalam dan pinceng mengharapkan bantuan Ji-wi untuk melakukan penjagaan.”

Hwesio tua itu mengajak kedua orang tamunya masuk ke dalam dan memberi tahukan segala urusannya dengan suara bisik-bisik. Kedua hwesio pendatang baru itu nampak mengangguk-angguk dan serius sekali. Mereka adalah musuh-musuh kerajaan, tentu saja mereka bersiap-siaga untuk membantu teman seperjuangan, apalagi mengenai urusan yang demikian pentingnya.

“Akan tetapi, Ciong-losuhu, kalau memang ada musuh-musuh Pangeran yang hendak membunuh Pangeran itu, mengapa pula pendekar yang membantu kita itu.... siapa namanya, Bu-taihiap? Kenapa dia harus menentang musuh-musuh Pangeran itu?” tanya hwesio kecil yang bernama Tan Tek Hosiang.

“Amithaba...., memang sebaiknya kalau pinceng beri tahu. Pertama, kalau sampai Pangeran terbunuh di sini, tentu kita semua akan celaka, apalagi kalau ketahuan bahwa pinceng adalah murid Siauw-lim-pai. Ke dua, Pangeran ini bukan orang jahat, melainkan seorang yang bijaksana sekali, walau pun dia adalah seorang Pangeran Mancu. Ke tiga, dengan adanya penyerbuan kaum sesat itu, terbuka pula kesempatan bagi kita untuk turut menculik Pangeran itu dan tuduhan tentu akan jatuh kepada kaum sesat yang melakukan penyerbuan untuk membunuh Pangeran.”

“Untuk apa kita menculik Pangeran penjajah itu?” tanya Lim Kun Hosiang, Si Tinggi Besar muka hitam. “Jika untuk membalas kematian saudara-saudara kita yang dibunuh Kaisar, kenapa kita tidak membunuh saja dia?”

“Amithaba.... semoga Sang Buddha memberi penerangan pada batinmu yang gelap oleh dendam pribadi!” kata hwesio tua itu dengan alis berkerut. “Bukan urusan kita para hwesio soal bunuh-membunuh itu! Pula, kita ingin menahan Sang Pangeran sebagai sandera untuk memaksa Kaisar agar menghentikan permusuhan kepada Siauw-lim-pai, dan agar membebaskan para pendekar yang ditahan.”

Dua orang hwesio itu mengangguk-angguk. “Baiklah, kami berdua akan membantu dan malam ini kami akan menjaga dengan penuh kewaspadaan agar jangan sampai ada yang dapat mengganggu Sang Pangeran.”

Malam ini amatlah sunyi di Kuil Hok-te-kong. Nampaknya saja sunyi, tetapi sebetulnya semua hwesio dikerahkan untuk melakukan penjagaan, terutama sekali di sekitar kamar di mana Pangeran tinggal. Dua orang hwesio tamu juga berjaga-jaga di sekitar kamar itu dan melihat silat kedua orang ini, Ciong-hwesio bahkan memberi tugas kepada mereka berdua untuk melakukan penculikan terhadap Sang Pangeran itu dengan dalih untuk menyelamatkannya dan melarikannya ke luar kuil di mana sudah menanti kuda di belakang kuil. Sedangkan hwesio-hwesio lain hanya membantu Bu-taihiap, kalau-kalau pendekar itu akan kewalahan menghadapi pihak lawan yang diperkirakan akan kuat sekali, apalagi melihat hadirnya Ngo-ok di kota itu.

Anehnya, yang tidak sunyi malah di dalam kamar Pangeran Kian Liong! Pangeran ini menemukan kitab syair kuno di dalam kamar tamu itu, syair tulisan Li Po yang termasyhur. Kini dengan suara merdu, dengan penuh perasaan Pangeran muda itu membaca syair kuno dengan tenangnya, suaranya memecahkan kesunyian malam itu! Sungguh aneh, kuil yang biasanya kalau malam selalu terdengar suara orang membaca liam-keng (nyanyi pujaan keagamaan) diiringi ketukan kayu yang nyaring, kini tidak terdengar, dan sebaliknya terdengar suara orang membaca sajak. Semua orang berhati tegang, dan orang yang menjadi pusat perhatian dan ketegangan itu malah enak-enak dengan tenangnya membaca sajak!

Akan tetapi, kalau para hwesio itu sempat mengintai ke dalam kamar itu, tentu mereka akan terkejut dan terheran-heran. Mereka telah mendapat perintah untuk berjaga tanpa mengeluarkan suara, maka tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani pergi meninggalkan pos penjagaan, apalagi untuk mengintai kamar Pangeran yang dijaga ketat itu.

Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh kedua orang hwesio pendatang baru itu dan sungguh perbuatan mereka amat luar biasa! Dengan gerakan amat hati-hati, seperti dua bayangan setan saja, mereka itu menyelinap dan memasuki kamar Pangeran itu melalui atas genteng di mana mereka memang bertugas jaga. Mereka sebagai orang penting dalam urusan penculikan Pangeran ini memang berjaga di atas, sedangkan semua hwesio lainnya disuruhnya berjaga di bawah.

Melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu ada dua orang memasuki kamarnya, tentu saja Sang Pangeran terkejut bukan main dan sebelum dia sempat mengeluarkan suara, orang tinggi besar itu telah menekan pundaknya, membuat tubuhnya lemas dan dia tidak mampu bersuara, sedangkan orang yang tubuhnya kecil terus menyambar kitab syair kuno itu dan melanjutkan pembacaan sajak!

Pangeran Kian Liong memandang bengong. Hwesio bertubuh kecil itu dapat membaca sajak itu dengan suara yang walau tidak persis sekali, tapi mirip sekali dengan suaranya sendiri, dan malah lebih lantang! Sementara itu, hwesio yang tinggi besar itu sudah mendekatkan mulutnya kepada telinganya dan berbisik, membuat Pangeran itu menjadi semakin terheran-heran.

“Tenanglah, Pangeran.... Paduka terancam bahaya maut.... kami berdua datang untuk menyelamatkan Paduka. Hwesio-hwesio itu hendak menculik Paduka, dan ada banyak penjahat-penjahat hendak membunuh Paduka.... Hamba tak dapat bicara banyak, akan tetapi harap Paduka menurut saja. Mengertikan dan percayakah Paduka kepada kami?”

Biar pun terbelalak dan terheran-heran memandang kepada dua orang hwesio aneh ini, namun Pangeran Kian Liong yang sudah banyak mengalami hal aneh dan banyak bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang wataknya luar biasa, mengangguk. Tentu saja dia percaya, karena kalau tidak percaya, mau apa lagi? Dua orang ini kalau hendak berniat buruk, tentu tak akan banyak bicara lagi dan akan langsung saja membunuhnya. Perlu apa mereka ini membohonginya?

“Bagus,” kata atau bisik hwesio tinggi besar muka hitam itu dengan lirih, sedemikian lirihnya sehingga tertutup sama sekali oleh suara rekannya yang membaca sajak dengan suara Sang Pangeran dengan lantangnya itu, “Harap Paduka dengar baik-baik. Teman hamba ini akan menyamar menjadi Paduka, dan Paduka akan dirias agar berubah menjadi dia, paduka dan dia bertukar tempat, jadi yang diculik nanti adalah dia, bukan Paduka. Selanjutnya Paduka ikut dan menurut saja semua permintaan hamba. Mengertikah?”

Kembali Sang Pangeran mengangguk dan tersenyum, karena dia mulai merasa tertarik dan gembira menghadapi pengalaman baru yang aneh ini. Dan kini giliran kedua orang hwesio itulah yang terheran-heran, juga kagum. Pangeran ini, dalam keadaan bahaya, setelah diberi tahu akan keadaannya, malah tersenyum dan nampak gembira! Dan terjadilah kini hal yang lebih aneh lagi. Setelah menerima bisikan Si Tinggi Besar itu yang membebaskan totokannya, kini hwesio kecil itu menyerahkan kitab syair kepada Pangeran dan atas isyarat hwesio tinggi besar, Pangeran itu melanjutkan bacaan sajak hwesio bertubuh ramping itu dengan suara gembira dan lantang!

Dan kini dia melihat hal yang aneh. Hwesio bertubuh kecil itu meraba-raba kepalanya dan.... gundulnya tanggal dan di bawah topeng gundul itu nampak rambut seorang wanita yang hitam halus! Kiranya hwesio bertubuh ramping yang amat pandai meniru suaranya dan pandai membaca sajak itu adalah seorang wanita yang menyamar!

Pangeran ini merasa semakin heran pada saat wanita itu meraba-raba mukanya dan kembali ada topeng seperti kulit yang copot dari muka itu dan.... nampaklah wajah yang kulitnya putih kemerahan, wajah seorang wanita cantik! Dan mata itu kini tidak lagi juling!

Wanita itu mendekatinya sambil berbisik, “Maaf, Pangeran!” dan mulailah wanita itu mendadaninya.

Pangeran Kian Liong hanya mencium bau harum keluar dari rambut wanita itu ketika wanita itu memakaikan topeng kepala gundul dan wajah hwesio itu.

“Sayang....,” kata wanita itu lirih, “Paduka tentu tidak dapat membuat mata Paduka juling....”

Tanpa menghentikan suara bacaan sajaknya, Pangeran Kian Liong lantas mencoba menjulingkan matanya, dan wanita cantik itu tersenyum geli, nampak giginya yang putih seperti mutiara.

“Lumayan juga,” katanya, “Akan tetapi malam ini tak perlu Paduka menjulingkan mata, hanya kalau perlu saja. Dan ada teman hamba ini yang akan melindungi Paduka.”

Tidak lama kemudian, selesailah Pangeran itu didandani dan biar pun dalam keadaan tergesa-gesa itu dia tidak persis sekali, namun memang mirip dengan hwesio juling tadi!

“Sekarang maafkan hamba, terpaksa hamba harus mengganti pakaian Paduka.”

Dan wanita itu pun menanggalkan jubah hwesionya yang besar dan nampaklah bahwa di bawah jubah itu dia memakai pakaian dalam wanita yang tipis sehingga nampak bentuk tubuhnya yang padat dan menggairahkan. Pangeran Kian Liong bukan seorang yang mata keranjang, akan tetapi dia pun seorang jujur, maka dia tidak membuang muka melainkan memandang dengan sinar mata memancarkan kekaguman yang jujur tanpa ada kekurang ajaran, membuat wanita itu menjadi merah kedua pipinya. Dengan cepat wanita itu lalu membantu temannya menanggalkan pakaian luar Pangeran itu, dan ia pun memakai pakaian Pangeran itu, juga topinya dan dari saku baju dalamnya dikeluarkanlah sebuah kantong terisi bermacam-macam perabot untuk menyamar.

Di depan cermin yang terdapat di dalam kamar itu, dengan cekatan sekali wanita itu melakukan sesuatu dengan mukanya, rambutnya dan.... ketika ia lalu menghadapi Sang Pangeran, Pangeran Kian Liong hampir berseru saking kagetnya melihat wajahnya pada wanita itu. Begitu serupa! Kini mereka berdua memakaikan jubah hwesio itu pada Sang Pangeran dan kini mereka bertukar sepatu dan lengkaplah sudah pertukaran itu!

“Cepat, ada suara di luar....!” tiba-tiba Pangeran palsu itu berbisik. Temannya, hwesio yang tinggi besar bermuka hitam itu mengangguk.

“Jangan mengeluarkan suara, Pangeran,” kata Si Tinggi Besar dan tiba-tiba dia sudah mengempit tubuh Pangeran yang sudah berubah menjadi hwesio itu, dibawa melayang naik melalui genteng dan di lain saat mereka telah tiba di atas wuwungan, mendekam di balik wuwungan.

Memang terdengar suara orang di bagian depan, dan semua hwesio mendengar suara orang bicara itu, tapi mereka, tanpa adanya perintah, tidak ada yang berani keluar, melainkan menanti dengan hati penuh ketegangan.

“Ehh, ada suara ribut apa di luar?” terdengar suara ‘pangeran’ itu dari dalam kamar.

Semua orang terkejut, tidak ada yang menjawabnya dan tiba-tiba lilin di dalam kamar itu dipadamkan. Mereka semua berlega hati. Agaknya Sang Pangeran merasa lelah dan hendak tidur, pikir mereka.

Suara orang bicara itu datang dari ruangan tengah kuil. Terdengar suara seorang pria tertawa mengejek, suaranya lantang sekali. Itulah suara Bu Seng Kin, atau Bu-taihiap yang memang telah berjaga-jaga dan begitu muncul bayangan lima orang yang berkelebat cepat, dia pun meloncat keluar dari tempat persembunyiannya bersama seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, seorang di antara isteri-isterinya yang terlihai. Memang pendekar yang maklum akan kehebatan lima orang Ngo-ok ini, telah mengajak isterinya yang paling dapat diandalkan ini untuk membantunya.

“Ha-ha-ha, sekarang lengkaplah sudah! Kelima orang Ngo-ok sudah berkumpul di sini!” katanya sambil tertawa.

Memang Bu-taihiap ini merupakan musuh lama dari Ngo-ok. Dahulu, saat dia merantau bersama mendiang Sim Loan Ci, yaitu isterinya atau ibu kandung dari Ci Sian, dia pernah bentrok dan dikeroyok oleh tiga orang di antara Ngo-ok, yaitu Twa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Tiga orang pertama dari Ngo-ok itu memang lihai bukan main sehingga dalam pertempuran itu, Sim Loan Ci yang sedang tidak sehat badannya terluka dan terpaksa Bu-taihiap membawa lari isterinya, dikejar-kejar oleh tiga orang dari Ngo-ok itu.

Dan kemudian, baru-baru ini ketika Pangeran Kian Liong hendak dilarikan Su-ok dan Ngo-ok, dua orang terakhir dari Im-kan Ngo-ok, Bu-taihiap mempermainkan mereka berdua yang baru di jumpainya pada saat itu. Memang dahulu, ketika pertama kalinya Bu-taihiap bertanding melawan tiga orang pertama dari Im-kan Ngo-ok, dua orang terakhir ini tidak ada sehingga baru pertama kali itulah mereka saling bertemu, walau pun tentu saja mereka sudah saling mengenal nama.

“Hemm, kiranya orang she Bu masih hidup dan ikut menjaga di sini! Bagus, dengan demikian kami dapat sekali tepuk....”

“He, orang she Bu mata keranjang, engkau berganti isteri lagi?” Su-ok mengejek, “Ini isteri barumu, ya? Eh, engkau memang pandai pilih perempuan, hemm, cantik juga isteri barumu ini....”

“Tutup mulutmu yang busuk!” wanita itu membentak dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke depan dan tangannya menampar ke arah muka Su-ok. Si Gendut Pendek ini tertawa dan menangkis, memandang rendah.

“Duk! Plakk....!“ Tubuhnya terpelanting dan mukanya bengkak terkena tamparan itu. Si Gendut mengaduh-aduh dan merasa terkejut bukan main.

“Hi-hi-hik, matamu sudah buta barangkali, Sute? Lihatlah baik-baik siapa wanita itu! Lupakah kau kepada Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu dari Lembah Suling Emas?” Ji-ok mengejek adik angkatnya yang ke empat.

Tadinya Su-ok merasa penasaran dan malu sekali bahwa sekali gebrakan saja dia telah kena ditampar oleh isteri baru Bu-taihiap itu. Kini dia memandang lebih jelas dan dia pun mengenal wanita ini yang pernah dijumpainya, maka rasa penasaran di hatinya agak berkurang, terganti oleh perasaan marah. Kalau tadi dia sampai kena ditampar adalah karena dia tidak mengenal wanita itu dalam cahaya penerangan yang tidak begitu terang dalam ruangan itu sehingga dia memandang rendah dan tidak menjaga diri baik-baik. Dia tahu bahwa ilmu kepandaian Bu-taihiap memang hebat dan dia bukan lawan pendekar itu, akan tetapi kalau hanya melawan Cui-beng Sian-li ini, kiranya dia tidak akan kalah atau selisih antara tingkat mareka tidak jauh.

“Su-ko, mari kubantu engkau menangkap perempuan ini!” kata Ngo-ok dan Si Jangkung ini secara tiba-tiba saja sudah berkelebat di depan wanita itu. Gerakannya demikian cepat sehingga wanita dari Lembah Suling Emas itu merasa terkejut juga.

“Heh-heh, Ngo-te, kau membantuku ataukah aku yang harus membantu engkau menangkap wanita ini untuk kemudian kau perkosa? Ha-ha-ha!” kata Su-ok.

Mendengar ucapan ini, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menjadi marah bukan main. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring ia sudah menerjang ke depan dan menyerang Su-ok dengan pukulan tangan yang mengandung sinkang kuat sekali sehingga tangan itu mengeluarkan suara bercuitan dan menjadi kuat tidak kalah dengan senjata baja.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman