SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-41


Ia membandingkan keadaannya dengan keadaan Siang In, seorang wanita lain, dan timbullah rasa iba diri dan mungkin juga rasa iri hati ini. Rasa iba diri ini membuat ia merasa sengsara dan tidak bahagia, bahkan menimbulkan rasa rindunya kepada Kam Hong, satu-satunya pria yang selama ini dekat dengan hatinya!

Ci Sian sudah berhenti menangis, dara ini memang tidak pernah dapat lama menangis. Hatinya yang keras membuat ia mudah menguasai hatinya kalau sedang dirundung kedukaan. Ia menjenguk ke air lagi, makin mengkal hatinya melihat matanya menjadi merah. Ditamparnya air di depannya itu dan tanpa disengaja dia mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang sehingga ada butiran-butiran air yang membeku menjadi es!

Dengan bersungut-sungut, mulutnya yang berbibir merah itu cemberut, karena hatinya yang tadi berduka itu sekarang menjadi jengkel. Ia lalu menggelung rambutnya dengan sembarangan saja. Tiba-tiba ia meloncat kaget. Telinganya yang berpendengaran tajam itu dapat menangkap suara yang tidak wajar. Begitu meloncat ia sudah membalikkan tubuhnya sambil membentak, “Siapa di situ?”

Dari balik semak-semak belukar muncullah dua orang pria. Pakaian mereka sederhana, seperti pakaian pertapa atau pendeta, dan kepala mereka tertutup topi tosu berwarna kuning. Usia mereka antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Begitu mereka muncul dari balik semak-semak, kedua orang pria ini berdiri dengan bengong seperti patung memandang kepada Ci Sian.

Memang hebat bukan main dara ini di pagi hari itu. Hebat saking cantik dan manisnya! Kecantikan asli, seperti keindahan alam, seperti setangkai bunga bermandikan embun, seperti ujung ranting berdaun dibelai angin, seperti segumpal awan berarak di angkasa. Cantik jelita dan indah mempesona! Pakaian dara itu sederhana saja, namun tidak dapat menyembunyikan kepadatan tubuhnya dengan lekuk-lengkung yang sempurna.

Rambutnya yang hitam halus dan lebat itu digelung sembarangan saja, anak rambut atau sinom di jidatnya berjuntai dan melingkar-lingkar. Leher yang panjang itu seperti leher anak angsa, nampak kulit leher yang putih halus, wajahnya yang bulat seperti bulan purnama itu manis. Sepasang mata yang sedang merah itu mengeluarkan sinar mencorong dan sungguh pun agak merah karena habis menangis, akan tetapi tidak mengurangi kejelitaannya. Hidung yang kecil mancung itu agar merah, masih ada bekas tangis di ujung hidung yang kemerahan. Sedangkan mulut yang kecil mungil itu masih cemberut, namun tidak membuat wajah itu kehilangan kemanisannya. Dagunya runcing agak berlekuk, dan biar pun dara itu sedang marah, namun tekukan bibirnya membuat lesung pipit di pipi kiri, dekat mulut, nampak membayang sudah. Pokoknya wuihhh…..

Orang termuda dari dua tosu itu menahan napas, kemudian menarik napas panjang dan dengan mata yang tak pernah dapat berkedip itu, sepasang mata yang lebar sekali, memandang wajah Ci Sian bagaikan hendak ditelannya bulat-bulat dengan pandang matanya, tosu ini berkata, “Siancai....! Bidadarikah? Silumankah....?”

Kalau saja ia berada dalam keadaan biasa, tentu Ci Sian akan menilai ucapan ini sebagai kekagetan biasa saja dan mungkin ia akan merasa geli dan menurutkan wataknya yang kadang-kadang kekanak-kanakan dan nakal, mungkin saja dia akan menggoda dua orang ini yang membayangkannya bidadari atau siluman. Akan tetapi, pada saat itu hatinya sedang mengkal, sedang jengkel karena duka. Oleh karena itu, sikap dan ucapan tosu itu dianggapnya sebagai ejekan, sebagai kekurang ajaran, atau bahkan sebagai penghinaan yang membuatnya marah sekali!

Memang demikianlah kenyataan yang dapat kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita menjadi jengkel, kita menjadi marah, kita menjadi sakit hati, semua ini sama sekali bukan disebabkan oleh keadaan di luar diri kita. Sebab utamanya adalah terletak dalam diri kita sendiri. Keadaan di luar itu merupakan suatu fakta dan yang memegang peran penting adalah tanggapan pikiran kita terhadap fakta di luar diri itu. Dan tanggapan ini sendiri terpengaruh kuat sekali oleh keadaan hati.

Tanggapan-tanggapan terhadap keadaan di luar ini selalu berubah. Akan berbeda sekali tanggapan kita dalam keadaan hati senang dibandingkan dengan tanggapan di waktu hati sedang mengkal. Jadi, kemarahan adalah buatan kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari sebab kemarahan di luar diri kita, kita menyalahkan orang lain atau benda atau keadaan di luar diri kita, tidak mau menjenguk ke dalam sehingga kita tidak melihat bahwa kemarahan adalah buatan kita sendiri, disebabkan oleh tanggapan kita sendiri

.

“Kalian berdua ini tikus-tikus dari mana berani menghinaku? Apakah kalian sudah bosan hidup?” demikian Ci Sian yang merasa dipermainkan atau dihina ini membentak sambil melangkah maju dan bertolak pinggang.

Dua orang tosu yang tadinya terpesona oleh kecantikan asli seorang dara remaja di tengah-tengah hutan sunyi itu, benar-benar terpesona dan sama sekali tidak bermaksud untuk kurang ajar, kini terkejut. Yang tadi mengeluarkan suara adalah seorang tosu, akan tetapi betapa pun juga, dia adalah seorang laki-laki yang masih muda, baru kurang lebih tiga puluh lima tahun usianya.

Bagi seorang laki-laki yang usianya sebegitu, tidak anehlah kalau daya tarik kecantikan wanita masih sangat kuat baginya sehingga ucapannya tadi terpancing keluar dari mulutnya langsung dari hati yang terpikat, untuk menyatakan pujiannya. Kini, melihat sikap dan mendengar ucapan Ci Sian, mereka terkejut sekaligus juga tidak senang, mengerutkan alis. Bagi dua orang tosu ini, tidak pantaslah kalau seorang dara remaja demikian keras kata-katanya.

Karena dimaki tikus yang bosan hidup, tosu ke dua yang hidungnya bengkok, menjadi penasaran dan marah. Tosu ini usianya sudah mendekati empat puluh tahun. “Sute, ia sudah pasti bukan bidadari. Mendengar kata-katanya, ia lebih pantas kalau seorang siluman!”

Ucapan ini bagaikan minyak bakar yang disiramkan kepada api kemarahan Ci Sian. Sepasang alisnya bergerak naik dan matanya menjadi makin mencorong mengeluarkan sinar kilat. “Bagus, bedebah keparat, kalian patut dihajar!” bentaknya dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah meluncur ke depan dengan kecepatan yang luar biasa, dua tangannya sudah bergerak menampar ke arah muka dua orang tosu itu.

“Siancai....!” Tosu bermata lebar itu berseru, terkejut menyaksikan gerakan dara itu yang benar-benar amat cepat, apalagi ketika merasa betapa dari tangan yang menampar itu keluar hawa pukulan dahsyat yang terasa amat dingin!

“Plak! Plak!”

Dua orang tosu itu menangkis dan akibatnya mereka terdorong ke belakang dan hampir saja terjengkang. Namun mereka dapat berjungkir balik dan ternyata mereka memiliki gerakan yang tangkas juga. Akan tetapi muka mereka merah sekali oleh kenyataan betapa tamparan seorang dara remaja belasan tahun saja sudah membuat mereka hampir jatuh. Hal ini mendatangkan rasa penasaran dan marah.

“Ehhh, bocah galak dan kurang ajar! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau sedang berhadapan!” kata tosu hidungnya bengkok.

“Tentu saja aku tahu!” teriak Ci Sian yang sudah marah sekali. “Kalian adalah dua orang hidung kerbau!”

Kedua orang itu menjadi marah. “Bagus, agaknya karena mengandalkan sedikit ilmu silat, engkau bocah setan menjadi kurang ajar!” teriak tosu mata lebar dan dia pun sudah menubruk maju, menggerakkan kedua tangannya. Dengan cara yang cepat dan bertubi-tubi kedua tangan itu telah melakukan serangan, yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dari atas, sedangkan yang kanan sudah menusuk lambung dengan tangan miring.

“Huh, kerbau busuk!” Ci Sian memaki lagi dan ia sama sekali tidak mau mengelak, akan tetapi kedua tangannya bergerak menangkis dan sekali ini dikerahkannya tenaga gabungan yang selama tiga bulan ini dilatihnya di bawah petunjuk Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu.

“Desss....!”

Tangkisan itu hebat sekali dan karena Ci Sian sendiri belum dapat mengukur sampai di mana kehebatan tenaga sinkang yang baru saja dilatihnya itu, ia telah mengerahkan tenaga lebih dari setengah bagian dan akibatnya, tosu bermata lebar itu terlempar ke belakang seperti sebuah layang-layang putus talinya dan jatuh terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Dari mulutnya mengalir darah segar! Tentu saja temannya menjadi kaget bukan main. Tosu berhidung bengkok ini tidak seceroboh sute-nya. Dia tahu dari tangkisan tadi bahwa nona itu memiliki kepandaian yang hebat, dan kini melihat sute-nya sekali tangkis saja roboh pingsan, dia pun tahu bahwa dia bukan tandingan nona itu.

“Siancai...., sungguh ganas dan kejam....!” katanya dan dia pun lalu memondong tubuh sute-nya, dipanggulnya dan larilah tosu itu dari tempat itu.

Ci Sian sendiri juga terkejut menyaksikan akibat dari pada tangkisannya tadi dan diam-diam ia pun merasa menyesal. Betapa pun juga, tosu-tosu itu hanya mengeluarkan kata-kata pujian karena terkejut dan heran mendapatkan seorang nona muda seperti dirinya di dalam hutan itu, maka tidak semestinya kalau hanya untuk kesalahan seperti itu ia menurunkan tangan ganas. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan karena ingin tahu siapa adanya mereka dan dari mana mereka datang, Ci Sian lalu membayangi tosu berhidung bengkok yang memanggul tubuh sute-nya yang pingsan itu.

Tosu berhidung bengkok itu dapat lari cepat sekali dan hal ini saja menunjukkan bahwa dia bukan orang sembarangan. Untung bagi Ci Sian bahwa dara ini pun sekarang telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga dengan mudah ia dapat terus membayangi ke mana perginya tosu itu.

Sesungguhnya, dua orang tosu itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah murid-murid tingkat pertengahan dari perkumpulan atau partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal itu! Di dalam dunia persilatan, di samping Siauw-lim-pai dan beberapa buah partai lain, maka Kun-lun-pai juga termasuk partai yang terbesar dan mernpunyai banyak murid-murid yang pandai dan menonjol di dunia kang-ouw. Kun-lun-pai berpusat di Pegunungan Kun-lun-san dan pusat itu letaknya di balik puncak, tidak begitu jauh dari dusun yang kini bernama dusun Naga Hijau itu.

Tentu saja orang-orang Kun-lun-pai tahu akan adanya ular hijau yang amat berbahaya itu. Karena ular itu pun tidak pernah mengganggu manusia dan berada di tempat yang jauh dari tempat kediaman manusia, maka para tosu Kun-lun-pai yang menganggap ular itu bukan binatang sembarangan saja, tidak mau mengganggunya. Sebagian besar para pimpinan Kun-lun-pai adalah pertapa-pertapa yang menganut Agama To dan dalam agama ini memang terdapat kepercayaan akan keajaiban-keajaiban alam dan hal-hal gaib yang tidak dapat diukur oleh pikiran manusia. Maka, para pimpinan Kun-lun-pai sendiri yang melarang murid-muridnya untuk mengganggu ular hijau itu.

Bagi para tosu yang suka berfilsafat itu, binatang di hutan jauh lebih bersih dari pada manusia di kota. Binatang hutan memang ada yang menerkam dan makan lain binatang, akan tetapi hal itu dilakukannya tanpa ada kebencian, melainkan karena dorongan perut lapar. Bahkan jarang ada binatang akan menyerang manusia kalau tidak diganggu terlebih dahulu. Berbeda dengan manusia yang saling benci, saling bunuh dan saling tipu hanya disebabkan karena ingin hidup sendiri, ingin senang sendiri.

Sebagai sebuah partai persilatan yang besar, Kun-lun-pai juga menjaga nama dan tidak sembarangan mencampuri urusan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai, bahkan tidak pernah mau mencampuri urusan dunia kang-ouw. Sebagian besar di antara para pendekarnya berjiwa pahlawan dan walau pun jarang di antara mereka yang menjadi prajurit atau panglima, namun mereka tidak pernah memberontak dan selalu berpihak kepada pemerintah dan selain menentang para penjahat, mereka pun menentang pemberontakan.

Berita tentang terbunuhnya ular hijau itu sampai juga ke Kun-lun-pai. Para tosu yang menjadi pimpinan Kun-lun-pai, mendengar hal ini dan ada perasaan tidak senang di dalam hati mereka mendengar ada orang luar yang datang membunuh ular hijau itu. Akan tetapi, mereka tidak menganggap hal itu sebagai urusan besar, maka mereka hanya mengutus dua orang murid pertengahan itu untuk melakukan penyelidikan dan menanyakan siapa gerangan pendekar yang mampu membunuh ular hijau yang amat berbahaya dan tangguh itu.

Dua orang tosu itu adalah Lim-cu dan San-cu, yaitu Si Hidung Bengkok dan Si Mata Lebar. Mereka mendatangi dusun Naga Hijau dan saat mereka mendengar bahwa yang membunuh ular hijau adalah seorang pendekar bersama dua orang wanita, mereka tertarik sekali. Apalagi mendengar bahwa tiga orang pendekar itu masih tinggal di tempat di mana mereka membunuh ular, dengan mendirikan pondok-pondok sederhana dan seperti melakukan tapa, dua orang tosu itu segera pergi menyelidiki dan mereka bertemu dengan Ci Sian. Malang bagi mereka, kekaguman mereka itu diterima dengan salah oleh Ci Sian sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan San-cu terluka cukup parah.

Pada waktu itu, yang menjadi Ketua Kun-lun-pai adalah Thian Heng Tosu, seorang kakek berusia enam puluh tahun yang jarang keluar dari tempat pertapaannya. Urusan perkumpulan dipegang oleh seorang wakilnya, yang menjadi sute-nya sendiri, yaitu Thian Kong Tosu, seorang tosu yang usianya juga sudah enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan bersikap lembut karena selain ahli ilmu silat tinggi, juga Thian Kong Tosu ini seorang sastrawan yang pandai.

Memang para anggota Kun-lun-pai tidak pernah ada yang menjadi pemberontak dan tiada pula yang menjadi pembesar atau prajurit pemerintah, akan tetapi dari ketuanya sampai para muridnya, mereka adalah patriot-patriot sejati yang mencinta tanah air dan bangsa. Oleh karena itu, tentu saja dengan adanya penjajahan bangsa Mancu terhadap Tiongkok, diam-diam mereka semua merasa sedih sekali dan hal ini pula yang membuat Thian Heng Tosu seperti enggan berurusan dengan dunia.

Ketika bangsa Mancu mulai menyerbu Tiongkok, para pendekar Kun-lun-pai ikut pula berjuang menghalau musuh, namun kekuatan Mancu tak dapat dibendung dan akhirnya bangsa Mancu berhasil menguasai Tiongkok. Semua adalah karena kelemahan Kaisar sendiri. Bangsa Mancu yang pandai itu makin memperkuat diri sehingga cengkeraman mereka di bumi Tiongkok amat kokoh kuatnya dan semua usaha para patriot untuk memberontak dan menentang penjajah ini gagal belaka. Hal inilah yang membuat hati Thian Heng Tosu menjadi tertekan dan ia selalu menyembunyikan diri dalam pertapaan dan memesan kepada semua murid agar jangan lancang dan ceroboh menentang pemerintah yang amat kuatnya itu.

Biar pun dia selalu menyembunyikan diri, bukan berarti bahwa Thian Heng Tosu tidak memperhatikan keadaan perkumpulannya. Dia setiap sepekan sekali menerima laporan dari sute-nya, yaitu Thian Kong Tosu tentang keadaan di luar, dan mendengar betapa kaisar yang sekarang ini sewenang-wenang, bahkan membakar Kuil Siauw-lim-si dan sebagai seorang bekas murid Siauw-lim-pai telah murtad terhadap perguruan itu, Thian Heng Tosu menjadi semakin prihatin.

Dan selain tetap memperhatikan perkumpulannya, juga siang malam tiada hentinya dia menurunkan ilmu-ilmunya dan menggembleng seorang murid yang paling disayangnya, yaitu seorang pemuda yang bernama Cia Han Beng. Walau pun pemuda itu baru berusia dua puluh satu tahun, namun dia hampir dapat menguasai semua ilmu yang dimiliki gurunya, yaitu Ketua Kun-lun-pai yang sakti itu.

Demikianlah keadaan Kun-lun-pai secara singkat dan kita ikuti kembali Ci Sian yang membayangi dua orang tosu Kun-lun-pai itu. Setelah melewati puncak yang tertutup salju, akhirnya Ci Sian melihat tosu berhidung bengkok itu membawa sute-nya yang dipanggul ke dalam sebuah kumpulan bangunan dikelilingi pagar tembok. Dari atas puncak, nampak oleh Ci Sian bahwa bangunan itu sudah kuno dan amat sederhana namun kuat, dan di tengah-tengah kelompok bangunan itu terdapat bangunan seperti kuil. Wuwungan atap kuil itu dihias dengan ukiran sepasang naga berebut mustika.

Ia tidak berani sembarangan memasuki tempat yang tampak sunyi itu, karena melihat betapa tosu berhidung bengkok itu mampu memanggul sute-nya dan berlari tanpa berhenti sampai demikian jauhnya, ia tahu bahwa tosu itu lihai dan tentu di tempat itu terdapat banyak orang pandai. Ci Sian berindap-indap menghampiri sebelah depan pagar tembok dan dari jauh saja sudah nampak olehnya huruf-huruf yang ditulis dengan gaya yang amat gagah, tertulis di atas papan depan pintu gerbang. Yang nampak paling besar dan mengejutkan hatinya adalah tulisan tiga huruf yang berbunyi : KUN LUN PAI.

Jantungnya berdebar tegang. inikah pusat perkumpulan Kun-lun-pai yang kabarnya merupakan partai persilatan besar yang memiliki banyak pendekar yang pandai itu? Tentu saja ia sudah sering mendengar tentang Kun-lun-pai yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Alisnya berkerut. Ia mendengar bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang melahirkan pendekar-pendekar sakti. Akan tetapi mengapa dua orang tosu itu demikian kurang ajar dan biar pun mereka memiliki kepandaian yang lumayan, akan tetapi masih tidak cukup tinggi seperti yang pernah didengarnya tentang Kun-lun-pai?

Nama perkumpulan ini membuat ia bersikap hati-hati dan membuat ia mengenang kembali apa yang terjadi tadi. Setelah menggunakan pikiran yang dingin, tidak terbakar oleh perasaan marah, diam-diam dara ini harus mengakui bahwa dua orang tosu itu sesungguhnya belum dapat dikatakan kurang ajar. Wajarlah kalau dua orang tosu itu terkejut melihatnya, wajar pula kalau seorang di antara mereka memuji kecantikannya. Ia sendiri yang terburu nafsu dan marah-marah, malah memaki dua orang tosu itu. Betapa pun juga, setelah membayangi sampai di sini, ia harus memasuki tempat itu dan melihat apakah benar bahwa dua orang tosu itu adalah orang-orang Kun-lun-pai. Kalau memang benar, masih belum terlambat baginya untuk minta maaf.

Melihat keadaan yang sunyi, timbul keberanian hati Ci Sian dan dengan gerakan ringan sekali ia sudah meloncat ke atas pagar tembok itu dan sejenak diamatinya sebelah dalam. Juga sunyi dan tidak nampak seorang pun manusia, maka ia menjadi penasaran dan meloncatlah ia ke dalam. Kemudian, karena ia merasa bahwa mengintai dari atas genteng merupakan keadaan yang paling aman karena dari situ ia dapat melihat ke sekelilingnya, dara ini lalu meloncat lagi ke atas genteng yang paling rendah, tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Dari sini ia berloncatan ke atas genteng dari bangunan yang paling besar yang terletak di belakang kuil.

Dari atas genteng, ia mengintai dengan menggeser dua buah genteng. Ia melihat sebuah ruangan yang cukup luas di bawah bangunan itu dan sungguh mengherankan sekali. Kalau tempat tadi amat sunyi seolah-olah tidak ada penghuninya, ternyata di dalam ruangan itu terdapat banyak orang. Mereka semua terdiri dari tosu-tosu yang kebanyakan sudah berusia lima puluh tahun lebih, duduk bersila membuat lingkaran lebar di atas lantai yang beralaskan tikar. Dan di antara belasan orang tosu ini, nampak seorang tosu yang usianya sudah enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, sikapnya tenang dan wajahnya lembut dan ramah. Di depan tosu ini nampak tosu hidung betet berlutut dan tosu mata lebar yang terpukul pingsan tadi rebah telentang di depan tosu tua.

Biar pun mereka itu belasan orang jumlahnya, namun semua diam tak mengeluarkan suara, bahkan tidak bergerak, duduk bersila seperti orang dalam semedhi. Hanya tosu tua itulah yang menggerakkan jari tangannya menotok beberapa kali setelah memeriksa tubuh tosu bermata lebar yang sudah siuman akan tetapi masih nampak menyeringai kesakitan itu.

“Nah, engkau sudah sembuh, boleh bangkit sekarang,” kata tosu tua itu dengan halus. Dan tosu mata lebar lalu bangkit dan benar saja, dia tidak lagi merasa nyeri dan cepat dia berlutut menghaturkan terima kasih.

“Sekarang, ceritakan apa yang telah terjadi,” katanya kemudian.

Tosu berhidung bengkok yang menjadi suheng dari tosu yang pingsan tadi segera menceritakan pengalamannya bersama sute-nya ketika mereka berdua melakukan penyelidikan ke dusun Naga Hijau tentang berita dibunuhnya naga hijau itu.

“Teecu berdua menyelidiki ke dalam dusun itu dan dari para penduduk dusun teecu mendengar bahwa yang membunuh ular itu adalah seorang pria gagah perkasa bersama isterinya dan seorang dara muda. Menurut cerita mereka, tiga orang itu memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Karena teecu mendengar bahwa tiga orang itu masih berada di dalam hutan, bahkan membuat dua pondok dan tinggal di situ melakukan semedhi, teecu berdua lalu melakukan penyelidikan ke sana.”

Semua tosu mendengarkan penuturan itu dengan hati tertarik, bahkan Ci Sian sendiri juga ikut mendengarkan dan ia ingin tahu apa yang akan diceritakan oleh dua orang ini tentang dirinya.

“Teecu berdua melakukan penyelidikan ke dalam hutan dan kami terkejut bukan main ketika bertemu dengan seorang dara muda yang cantik seorang diri di hutan itu….” Kemudian Lim-cu, tosu hidung bengkok itu menceritakan pengalamannya bersama sute-nya ketika menegur dara itu sehingga timbul percekcokan yang disusul dengan perkelahian. Segala yang terjadi diceritakannya tanpa ada yang ditutupi.

Mereka menceritakan betapa dara itu menjadi marah ketika mereka mengucapkan kata-kata kagum, dan betapa dara itu menyerang lebih dulu kemudian memaki-maki mereka dengan kata-kata menghina sehingga timbul perkelahian. Betapa dara itu amat lihainya sehingga sute-nya roboh pingsan. Mendengar cerita tosu itu yang demikian jelas tanpa ditutup-tutupi, tanpa menyembunyikan kesalahan diri sendiri atau membela diri sendiri, wajah Ci Sian berubah merah.

Mendengar penuturan yang jelas itu, ia melihat kembali segala yang terjadi dan merasa betapa ia sudah bersikap keterlaluan karena salah sangka. Ia mengira bahwa tosu-tosu itu mata keranjang dan kurang ajar, dan tanpa penyelidikan lebih dulu ia sudah marah-marah. Kini nampaklah ia betapa tanpa adanya Kam Hong di sampingnya, ia memang merupakan seorang muda yang pemarah dan ceroboh sekali. Namun ia mendengarkan terus, ingin tahu tanggapan para tosu di situ, terutama tosu tua yang halus dan amat berwibawa itu.

“Siancai.... tidak ada akibat tanpa sebab, dan sebab itu selalu berada di dalam diri sendiri. Lim-cu dan San-cu, kalau kalian mau mengamati diri sendiri, akan nampak jelaslah bahwa walau pun kalian tidak mempunyai niat buruk, namun kalian telah bersikap sembrono dan mengeluarkan kata-kata tanpa diteliti dan sembarangan saja sehingga kalian menimbulkan kemarahan nona itu. Dan nona itu pun agaknya terlalu mengandalkan kepandaiannya hingga ia menjadi ringan tangan, mudah saja memukul orang. Biarlah hal ini menjadi pelajaran bagi kalian agar lain kali bersikap tenang, jangan sampai menimbulkan perkiraan orang bahwa kalian adalah tosu-tosu yang kurang ajar.” Kakek itu menarik napas panjang. “Ini adalah akibat keadaan, ahhh, betapa banyaknya orang-orang yang berpakaian pendeta, yang bersikap seperti orang suci, ternyata masih menyimpan kecabulan di dalam hatinya....“

Kemudian tosu itu mengangkat mukanya ke atas, ke arah tempat Ci Sian mengintai, dan dara itu terkejut bukan main melihat sepasang mata yang seolah-olah mencorong dan sinarnya seperti menembus genteng! “Nona, sejak tadi Nona sudah mengintai dan mendengarkan segalanya. Kami tidak menyimpan rahasia, maka kalau ingin bicara, silakan turun!”

Ci Sian terkejut sekali dan merasa malu. Ia ingin lari dari situ, akan tetapi ketika ia bangkit berdiri dan menengok, ternyata tempat yang tadinya sunyi itu kini penuh dengan tosu yang berbaris rapi, menjaga dan mengurung tempat itu seperti pagar manusia yang berdiri diam seperti patung! Bangunan di mana ia mengintai di atas itu terkurung oleh belasan tosu, dan di atas pagar tembok juga nampak beberapa orang tosu berdiri, dan pintu gerbang juga dijaga ketat. Tahulah ia sekarang bahwa tempat itu sama sekali bukan sunyi, dan juga sama sekali Kun-lun-pai bukan perkumpulan yang lengah, melainkan ia sengaja dibiarkan masuk dan setelah ia masuk, barulah jalan keluarnya tertutup!

Ci Sian menjadi marah dan ada dorongan hatinya untuk keluar dan mengamuk, akan tetapi ia teringat bahwa ia bukanlah seorang pencuri, bahwa kedatangannya hanya ingin tahu lebih banyak tentang dua orang tosu tadi. Sudah kepalang basah, pikirnya. Lebih baik menyelam sekali! Dan dia pun lalu membuka genteng dan meloncat ke dalam ruangan itu dengan gerakan yang amat ringan sehingga pada waktu kedua kakinya menyentuh lantai ruangan itu, tidak terdengar sedikit pun suara. Begitu Ci Sian turun, para tosu itu menggeser diri dan mundur, namun masih duduk bersila seperti tadi dan wajah mereka nampak tenang saja.

Thian Kong Tosu bangkit berdiri dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya, memandang dengan wajah berseri dan sepasang mata kagum. “Sungguh tak dapat pinto menyalahkan murid-murid Kun-lun-pai yang mengeluarkan kata-kata pujian pada Nona. Memang Nona adalah seorang nona muda yang selain cantik, juga memiliki kegagahan luar biasa, dan mengingat betapa Nona masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh membuat orang merasa kagum sekali.”

Wajah Ci Sian berubah merah. Kini baru ia merasa betapa bodohnya ketika ia marah-marah mendengar pujian dua orang tosu itu. Ia tidak dapat membedakan antara pujian setulusnya dan pujian yang bersifat menjilat atau pujian orang yang mata keranjang. Pujian yang dikeluarkan dari mulut dua orang tosu tadi tidak ada bedanya dengan pujian tosu tua ini. Akan tetapi, Ci Sian memang memiliki watak keras dan pantang mundur. Ia memang merasa salah, akan tetapi ia merasa malu kalau hanya minta maaf begitu saja. Kalau ia salah, biarlah ia dihukum dan hukumannya sesuai dengan kesalahannya tadi!

Maka ia pun cepat menjura kepada tosu tua itu dan berkata, suaranya lantang sekali dan sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut, “Totiang, telah lama sekali saya mendengar tentang Kun-lun-pai, bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan besar yang para anggotanya terdiri dari pendekar-pendekar yang lihai! Saya telah salah paham mengira dua orang tosu Kun-lun-pai sebagai orang-orang kurang ajar dan saya sudah kesalahan turun tangan. Oleh karena itu, setelah saya berada di sini, maka saya ingin sekali memperoleh pelajaran dari Ketua Kun-lun-pai sendiri. Apakah Totiang ini Ketua Kun-lun-pai?”

Bukan main ucapan itu, merupakan tantangan halus kepada Ketua Kun-lun-pai. Semua tosu yang hadir di situ adalah tosu-tosu kaum atasan dari Kun-lun-pai, dari tingkat tiga ke atas. Mendengar ucapan ini, semua mata ditujukan kepada Ci Sian dan semua alis dikerutkan. Jarang sekali, bahkan belum pernah ada orang berani menantang Ketua Kun-lun-pai, walau pun tantangan itu disembunyikan di balik kata-kata minta pelajaran.

“Siancai....! Sungguh seorang dara yang bersemangat baja! Mengagumkan sekali. Nona yang merasa salah ingin menembus kesalahannya dengan membiarkan diri dihajar oleh Ketua Kun-lun-pai! Sungguh membayangkan ketabahan yang luar biasa sekali!” Ucapan itu baru menyadarkan semua tosu dan kini mereka memandang kagum. Ci Sian sendiri terkejut karena rahasia hatinya ternyata dapat dilihat sedemikian mudahnya oleh tosu tua ini.

“Apakah Totiang yang terhormat Ketua Kun-lun-pai?” tanyanya, memandang tajam. Ingin ia mencoba kepandaian tosu tua yang bermata tajam mencorong ini.

Thian Kong Tosu menggeleng kepala sambil tersenyum. “Bukan, Nona, pinto bukanlah Ketua Kun-lun-pai....”

“Totiang, nama saya Ci Sian. Harap Totiang suka memberi tahu siapa ketua di sini dan suka menyampaikan permintaan saya untuk menerima pelajaran darinya!” Ucapan ini pun membayangkan keterbukaan dara itu yang memperkenalkan namanya lebih dulu dan menyampaikan keinginannya tanpa banyak bunga kata-kata lagi.

Thian Kong Tosu tertawa dan mengelus jenggotnya, “Siancai...., sungguh membuat hati tua ini menjadi kagum. Nona, pinto adalah Thian Kong Tosu yang mewakili suheng Thian Heng Tosu mengurus perkumpulan ini. Ketua kami adalah Thian Heng Tosu, akan tetapi sejak lama beliau tidak pernah keluar dari tempat semedhinya. Untuk urusan apa pun beliau tidak pernah mau keluar, apalagi untuk melayani Nona yang ingin menguji kepandaiannya. Harap Nona maklum dan tidak mendesak kami.”

Ci Sian mengerutkan alisnya. Penolakan tantangan pi-bu secara halus ini hanya dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, yang ditantang takut menghadapinya, dan ke dua, yang ditantang memandang rendah padanya sehingga merasa tidak perlu melayaninya. Dan tidaklah mungkin jika Ketua Kun-lun-pai takut kepadanya, maka ia pun mengambil kesimpulan bahwa pihak Kun-lun-pai memang memandang rendah padanya sehingga mempergunakan alasan itu karena memandang tidak perlu melayani tantangan seorang muda seperti dirinya!

“Totiang, kalau Ketua Kun-lun-pai merasa terlalu tinggi untuk melayani saya, biarlah beliau mewakilkan kepada jagoan Kun-lun-pai yang terpandai untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada saya, sebagai tanggung jawab saya yang tadi telah melukai seorang murid Kun-lun-pai!”

Thian Kong Tosu tersenyum maklum. “Tidak ada yang mendendam atas peristiwa tadi, Nona, tidak ada yang menganggap ringan kepadamu....”

“Totiang! Saya tidak akan merasa puas sebelum menerima petunjuk dari Kun-lun-pai!”

“Nona, sudah lama Kun-lun-pai tidak pernah bentrok dengan pihak mana pun juga. Kalau Nona memaksa, sungguh kami merasa tidak enak sekali kepada perguruan Nona. Tidak patutlah kalau kami pihak yang lebih tua menghina Nona yang begini muda...., kami tentu tidak ada muka untuk berhadapan dengan perguruanmu, Nona.”

“Jangan khawatir, Totiang. Tidak akan ada orang dari perguruan saya yang menuntut. Ketahuilah, saya tidak mempunyai guru, hanya seorang suheng. Kami berdua adalah keturunan yang mewarisi ilmu dari Suling Emas! Nah, inilah sulingku dan saya mohon petunjuk dari tokoh Kun-lun-pai!” Sambil berkata demikan, dara itu sudah mencabut suling emasnya.

Melihat cara dara itu mengeluarkan suling dan begitu suling dicabut terdengar suara melengking nyaring dari lubang suling, dan mendengar bahwa dara ini mengaku sebagai ahli waris Suling Emas, tentu saja Thian Kong Tosu menjadi terkejut bukan main. Sebagai seorang tokoh tua di dunia persilatan, tentu saja dia pernah mendengar nama besar Pendekar Suling Emas yang hidup di jaman beberapa ratus tahun yang lalu. Akan tetapi nama itu kemudian menjadi seperti dalam dongeng saja karena tidak pernah nama itu muncul lagi di dunia kang-ouw, walau pun para tokoh kang-ouw masih sering mencoba untuk mencari peninggalan pendekar sakti itu. Dan kini, tiba-tiba saja muncul gadis ini, seorang dara muda jelita yang mengaku sebagai ahli waris Pendekar Suling Emas!

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun demikian jelasnya terdengar oleh semua orang di dalam ruangan itu, “Siancai...., kesempatan yang hanya timbul sekali dalam seratus tahun! Sute, persilakan ahli waris Pendekar Suling Emas untuk memasuki lian-buthia, kami akan menanti di sana.”

Mendengar suara ini, semua tosu yang berada di situ menjatuhkan diri berlutut, dan Thian Kong Tosu sendiri cepat menjura dan menjawab, “Baik, Suheng.”

Wajah tosu ini berseri. Baru sekarang suheng-nya, Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai, berkenan keluar dari tempat pertapaannya, karena tertarik pula oleh sebutan Pendekar Suling Emas itu. Siapa orangnya yang takkan tertarik?

“Nona Ci Sian, engkau sungguh beruntung sekali, berhasil menarik hati ketua kami untuk keluar dan menemuimu. Silakan, Nona, kita pergi menghadap suheng Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai yang Nona cari-cari tadi, ke lian-bu-thia!”

“Baik dan terima kasih, Totiang,” jawab Ci Sian yang merasa jantungnya berdebar juga.

Suara lirih yang amat jelas tadi saja sudah menunjukkan betapa saktinya orang yang mengeluarkannya. Ia pun mengikuti Thian Kong Tosu dan para tosu lainnya menuju ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang berada di bagian belakang dari bangunan itu.

Semua tosu menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek yang duduk bersila itu, kecuali Thian Kong Tosu yang menjura lalu juga duduk bersila tidak jauh dari situ. Ci Sian memandang dengan mata tajam menyelidik. Kakek itu juga seorang tosu, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak menyeramkan seperti tubuhnya, karena wajah itu membayangkan kehalusan budi dan keramahan. Biar pun usianya sebaya dengan sute-nya, namun tosu ini kelihatan lebih tua, seolah-olah ada kedukaan membayang pada wajahnya yang halus itu. Juga rambutnya sudah hampir putih semua padahal sute-nya baru separuh rambutnya yang putih. Ketika Ci Sian menjura kepadanya, tosu yang memandangnya itu mengangguk dan tersenyum ramah.

Ci Sian melihat bahwa yang berada di ruangan lian-bu-thia yang luas itu bukan hanya Ketua Kun-lun-pai ini, melainkan juga seorang pemuda dan ia tertarik sekali. Pemuda ini berbeda dengan semua yang hadir di situ, tidak memakai pakaian tosu walau pun rambutnya yang hitam lebat itu pun digelung ke atas seperti model gelung rambut tosu. Seorang pemuda yang berperawakan sedang, berwajah tampan dan terutama sekali sepasang alisnya itu menimbulkan kagum di hati Ci Sian. Sepasang alis itu nampak hitam sekali seperti dilukis dan membuat wajahnya nampak lebih bersih dan putih, dan bentuk alis itu seperti sepasang golok telentang.

Pemuda itu menundukkan muka, kedua matanya sedikit pun tidak bergerak, seolah-olah dia berada dalam semedhi yang hening. Ci Sian merasa agak mendongkol juga. Semua orang kagum kepadanya, akan tetapi pemuda ini, melirik pun tidak. Sombong! Ia pun membuang muka, tidak mau lagi memandang kepada pemuda itu.

“Nona, siapakah she (nama keturunan) Nona?” terdengar tosu tinggi besar itu bertanya, suaranya halus dan pertanyaannya singkat.

Semenjak bertemu dengan ayah kandungnya dan melihat keadaan ayah kendungnya yang dianggap sebagai seorang pria mata keranjang, Ci Sian pun merasa malu untuk mengaku sebagai puteri Bu Seng Kin yang lebih terkenal dengan julukan Bu-taihiap. Akan tetapi, berhadapan dengan para tokoh Kun-lun-pai, orang-orang tua yang begini penuh wibawa, Ci Sian merasa tidak enak hati kalau membohong, maka ia pun menjawab dengan sikap horrnat, “Locianpwe, she saya adalah Bu.”

“She Bu? Adakah hubungannya dengan Bu-taihiap?”

Terkejutlah Ci Sian mendengar pertanyaan ini, pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya. Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan sangkalan yang keras, “Tidak! Dia tidak ada hubungannya denganku!”

“Siancai...., mungkin Bu-taihiap telah melukai hati banyak wanita, akan tetapi tak dapat disangkal lagi bahwa dia seorang pendekar besar. Baiklah, Nona Bu. Pinto tadi sempat mendengar bahwa Nona datang ke Kun-lun-pai untuk menantang pi-bu kepada Ketua Kun-lun-pai?”

Ditodong langsung dengan pertanyaan ini, Ci Sian menjadi gugup juga. “Aku...., aku hanya mohon petunjuk dari Locianpwe, karena aku merasa telah bersalah terhadap Kun-lun-pai....”

“Ha-ha-ha, bagaimana pendapatmu, Sute? Nona ini sungguh bersemangat sekali,” kata Ketua Kun-lun-pai itu kepada sute-nya dan Thian Kong Tosu juga tersenyum.

“Nona tadi berkata bahwa Nona adalah ahli-waris dari Pendekar Suling Emas? Apakah buktinya?” Ketua Kun-lun-pai itu kembali bertanya.

Ci Sian mencabut keluar sulingnya yang tadi sudah disimpannya kembali. Sekali lagi terdengar bunyi suling melengking ketika dicabutnya dan baru sekaranglah pemuda yang duduk bersila di sebelah kiri Thian Heng Tosu itu mengangkat muka memandang. Bukan memandang kepada Ci Sian melainkan kepada suling emas kecil yang berada di tangan dara itu.

“Itukah suling peninggalan Pendekar Suling Emas? Coba pinto pinjam sebentar!” Berkata demikian tiba-tiba Thian Heng Tosu menggerakkan tangan kanannya ke arah Ci Sian.

Dara ini terkejut bukan main karena mendadak sulingnya seperti hidup dan terbang terlepas dari pegangan tangannya, melayang ke arah kakek itu. Maklumlah ia bahwa kakek itu telah mempergunakan sinkang yang kuat sekali untuk mengambil sulingnya dari jarak jauh tanpa menyentuhnya. Ia menjadi marah, cepat ia mengerahkan sinkang yang baru saja dilatihnya dari Pendekar Siluman Kecil, dan ia pun menggerakkan tubuh dan tangannya di dorongkan ke depan, mulutnya melengking nyaring.

“Heiiittt....!” Dan.... suling yang tadinya sudah meluncur kembali ke tangannya!

“Maaf, Locianpwe. Suling ini menjadi kawan penghibur dan pelindungku, siapa pun juga tidak boleh merampasnya, kecuali kalau aku sudah roboh tanpa nyawa!” kata Ci Sian sambil tersenyum.

Kakek itu terbelalak, lalu mengangguk-angguk. “Bagus sekali, memang bukan omong kosong belaka! Akan tetapi, bukankah suling itu terlalu kecil untuk menjadi pusaka peninggalan Pendekar Suling Emas, Nona Bu?”

“Memang kini pusaka itu berada di tangan suheng-ku, akan tetapi kami berdua telah mewarisi ilmunya,” jawabnya singkat.

“Siancai....! Jadi engkau masih ingin untuk menguji kepandaian tua bangka seperti pinto ini, Nona?”

“Aku.... aku mohon petunjuk Locianpwe.”

“Ahh, pinto akan ditertawai orang sedunia kalau turun tangan menghadapi seorang dara yang pantasnya menjadi cucuku. Biarlah, pinto wakilkan kepada murid pinto ini. Maukah Nona menghadapinya untuk sekedar belajar kenal dengan ilmu masing-masing?” Kakek itu menuding ke arah pemuda yang masih bersila di sebelah kirinya.

Ci Sian memandang. Hemm, pemuda yang sombong itu, katanya dalam hati sambil memandang rendah.

“Kalau Locianpwe menganggap dia sudah patut melawanku, boleh saja,” jawabnya dan sengaja dia mengeluarkan kata-kata yang sifatnya memandang rendah ini.

“Han Beng, kau memperoleh kesempatan yang baik sekali hari ini. Selama ini engkau hanya tekun berlatih, nah, hari ini engkau memperoleh kesempatan untuk membuktikan sampai di mana kemajuanmu dalam latihan. Kau layanilah Nona ini. Ingat, engkau mewakili gurumu dan juga mewakili Kun-lun-pai!”

Mendengar ucapan suhu-nya itu, pemuda yang sejak tadi diam saja, mulai bergerak melepaskan kakinya dan duduk bersila, lalu berlutut di depan kakek itu sambil berkata, “Teecu mentaati perintah Suhu.”

“Untuk dapat menikmati kepandaian ahli waris Pendekar Suling Emas harus melihat permainan sulingnya sebagai senjata. Han Beng, engkau pergunakanlah pedang kayu untuk latihan itu. Pertandingan ini hanya merupakan perkenalan saja, maka pedang kayu cukuplah,” kata lagi kakek itu, dan sikapnya gembira bukan main.

Kakek yang menjadi Ketua Kun-lun-pai ini memang mengharapkan pemuda ini yang dapat mewarisi ilmu-ilmunya. Kini mendapat kesempatan mencoba tingkat kepandaian muridnya, maka tentu saja dia merasa gembira sekali. Apalagi dia tadi sudah menguji kepandaian dara itu ketika dia meminjam sulingnya dan dia merasa kagum kepada dara yang memiliki kepandaian tinggi, yang lincah bersemangat dan cantik jelita itu. Diam-diam dia membandingkan muridnya dengan dara itu. Nampaknya serasi benar.

Pemuda itu bernama Cia Han Beng, seorang pemuda yatim piatu yang hidupnya ditekan dan dikuasai oleh rasa dendam yang mendalam. Ayahnya seorang pendekar Kun-lun-pai pula, menjadi seorang di antara korban-korban kekejaman Kaisar Yung Ceng. Ayahnya terbunuh oleh Kaisar itu, dan ibunya, seorang wanita cantik, kini menjadi selir Kaisar!

Dalam keadaan menderita batin karena dendam, pemuda ini akhirnya diangkat sebagai murid oleh Ketua Kun-lun-pai dan bukan hanya menerima warisan ilmu-ilmu yang tinggi dari gurunya, melainkan juga menerima petunjuk-petunjuk sehingga cengkeraman nafsu dendam telah lama meninggalkan batinnya. Memang di lubuk hatinya terdapat perasaan menentang pemerintah, seperti juga gurunya dan semua murid Kun-lun-pai, akan tetapi bukan disebabkan oleh dendam pribadi, melainkan disebabkan oleh keadaan tanah air yang dijajah oleh bangsa Mancu itu.

Seperti yang terdapat dalam batin setiap orang pendekar yang gagah di Tiongkok pada waktu itu, Cia Han Beng diam-diam juga menanti kesempatan untuk menyumbangkan tenaganya demi kebebasan tanah air dan bangsanya dari pada penjajahan bangsa Mancu. Mungkin disebabkan latar belakang kehidupan keluarga ayahnya yang tertimpa mala petaka itu dan yang membuatnya hidup sebatang kara, biar pun api dendam pribadi di dalam batinnya telah padam, membuat pemuda yang gagah itu bersikap pendiam dan selalu seperti berada dalam awan gelap, seolah-olah tidak ada kegairahan dan kegembiraan lagi dalam hidupnya.

Mendengar ucapan suhu-nya, Han Beng kembali memberi hormat, lalu dia menghampiri rak senjata di mana terdapat segala macam senjata untuk permainan silat dan dia mengambil sebatang pedang kayu yang biasa dipakai untuk latihan. Setelah itu, dengan sikap senang sekali dia menghadapi Ci Sian, menjura seperti sikap seorang pemain silat memberi penghormatan kepada calon lawannya dan berkata, “Nona, silakan....!” Dan dia pun lalu mundur ke tengah ruangan lian-bu-thia itu.

Diam-diam Ci Sian merasa mendongkol sekali. Tadinya ia yang memandang rendah kepada pemuda yang dianggapnya sombong itu, dan ia hendak mengejeknya, akan tetapi kini terjadi kebalikannya. Pemuda itu malah disuruh mempergunakan sebatang pedang kayu oleh gurunya. Suling emasnya yang merupakan senjata pusaka yang ampuh sekali itu kini akan dihadapi hanya dengan sebatang pedang kayu! Tentu saja hal ini merupakan ejekan baginya dan membuat mukanya menjadi merah sekali.

Akan tetapi, karena Ketua Kun-lun-pai tadi mengatakan bahwa untuk membuktikan bahwa dia benar ahli waris Suling Emas dia harus memainkan suling itu, maka dia mengambil keputusan untuk mengalahkan pemuda itu secepat mungkin! Maka tanpa banyak cakap lagi ia pun meloncat ke depan pemuda itu. Kini mereka berhadapan.

Pemuda itu memasang kuda-kuda, gerakannya lambat dan gagah ketika ia mengangkat kaki kirinya ke atas, menempel di lutut kanan, tangan kiri miring di depan dada dan pedang kayu itu ditudingkan ke atas, gagangnya menempel dahi.

Melihat pasangan kuda-kuda yang memang indah dan gagah ini, Ci Sian menjebirkan bibirnya. Huh, aksinya, ia mengejek dalam hati dan tiba-tiba ia berseru.

“Lihat serangan!”

Dan tanpa banyak lagak lagi ia pun sudah menyerang dan menggerakkan sulingnya, menusuk ke tenggorokan lawan dan suling yang digerakkannya itu mengeluarkan bunyi seperti ditiup.

Han Beng merubah kedudukan tubuhnya, tangannya bergerak dan pedang kayunya menangkis. Dari gerakan suling yang berkelebat dan membentuk sinar menyilaukan mata itu. Dan dari suara melengking yang keluar dari suling itu, dia tahu bahwa dara itu mempergunakan tenaga khikang yang amat kuat, maka ketika menangkis, dia pun telah mengerahkan sinkang pada pedang kayunya, dan memang keduanya sengaja hendak mengukur tenaga masing-masing dalam benturan senjata yang pertama itu.

“Tringggg....!”

Suara emas terpukul kayu dengan kerasnya menimbulkan suara berdencing nyaring dan keduanya terkejut sekali ketika betapa seluruh lengan mereka tergetar hebat, membuat keduanya cepat melangkah ke belakang untuk mengatur kedudukan tubuh masing-masing. Mereka sejenak berdiri saling pandang, seperti dua ekor ayam jago yang sedang berlagak, seperti hendak mengukur kekuatan masing-masing melalui pandang mata. Keduanya memandang kagum.

Han Beng tak pernah menyangka bahwa seorang dara muda seperti itu dapat memiliki tenaga yang demikian kuatnya, juga sebaliknya Ci Sian tidak mengira bahwa pemuda pendiam yang dianggapnya sombong ini ternyata bertenaga dahsyat pula. Sementara itu, dua orang tokoh besar Kun-lun-pai yang melihat pertemuan dua tenaga dahsyat itu memandang dengan wajah berseri. Memang setanding, pikir mereka.

Akan tetapi, Ci Sian yang berwatak panas itu merasa penasaran sekali. Dia segera mengeluarkan seruan nyaring. Sulingnya sudah digerakkan, lenyap bentuknya berubah menjadi segulungan sinar yang melengking-lengking dengan nada suara naik turun seperti ditiup dengan mulut saja! Juga gulungan sinar kuning emas itu menyilaukan mata, mendatangkan angin menyambar dahsyat sekali. Han Beng terkejut dan pemuda itu pun cepat memutar pedang kayunya dengan pengerahan tenaga sinkang sekuatnya. Nampaklah sinar kehijauan dan juga pedang kayu itu mendatangkan angin yang kuat.

Ci Sian mulai menyerang, gerakannya aneh dan amat cepat, juga dahsyat sekali, sukar diduga ke mana suling itu akan menyerang. Han Beng berusaha mengimbangi, namun pemuda yang sudah memiliki ilmu silat yang tinggi-tinggi dari Kun-lun-pai ini diam-diam terkejut karena sekali ini dia benar-benar menjadi sibuk sekali menghadapi serangan-serangan yang demikian aneh dan cepatnya.

Bukan hanya pemuda ini, bahkan Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu juga turut memandang dengan mata terbelalak dan mulut mereka mengeluarkan seruan-seruan kagum dan heran. Belum pernah selama hidup mereka yang telah menjelajahi dunia kang-ouw ini mereka menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling sehebat ini! Bukan hanya tusukan-tusukan suling itu yang merupakan totokan-totokan indah dan berbahaya sekali, juga bacokan gerakan pedang yang dirubah menjadi pukulan-pukulan suling itu, amatlah kuatnya, ditambah lagi suara melengking-lengking yang membikin bingung lawan karena suara ini menyembunyikan desir senjata yang biasanya dapat dikenal dan ditangkap telinga sehingga mudah diikuti gerakannya.

Han Beng cepat-cepat mainkan Kun-lun Kiam-sut (ilmu Pedang Kun-lun) yang menjadi andalan para pendekar Kun-lun-pai, dan pemuda yang cerdik ini pun mengerahkan seluruh gerakannya kepada daya tahan untuk melindungi dirinya. Dengan demikian, barulah dia terhindar dari sambaran sinar kuning emas itu, walau pun tetap saja dia terdesak hebat karena sukar baginya untuk balas menyerang. Sekali dia berani balas menyerang, berarti daya tahannya akan berkurang dan hal ini amat berbahaya karena desakan suling itu benar-benar amat hebat!

Thian Heng Tosu menarik napas panjang beberapa kali. “Ah, kita ini seperti katak dalam tempurung saja!” katanya kepada sute-nya. “Lihat, beberapa tahun saja kita tidak keluar, di dunia telah muncul ilmu pedang yang dimainkan suling sedemikian hebatnya.”

“Akan tetapi, Suheng, saya mendengar bahwa ilmu-ilmu yang diwariskan oleh Pendekar Suling Emas biar pun hebat, akan tetapi rasanya menurut berita yang kudengar, tidak ada yang seperti ini.... kabarnya yang paling hebat adalah Hong-in Bun-hoat, akan tetapi ini....”

“Hemm, kalau Han Beng lebih unggul dalam hal sinkang, agaknya dia akan dapat mengatasi kedahsyatan ilmu suling itu. Akan tetapi tenaga mereka agak seimbang. Kita sendiri pun, tanpa mengandalkan sinkang, kiranya akan sukar mengalahkan ilmu suling itu....,“ kata pula Ketua Kun-lun-pai. “Nampaknya ilmu yang kuno sekali, akan tetapi mengandung kemukjijatan....”

“Dan lihat, bukankah ilmu sinkang dara itu pun luar biasa hebatnya? Melihat kerepotan Han Beng pada saat mengadu tenaga, agaknya Nona itu memiliki sinkang yang sama anehnya dengan ilmu sulingnya.”

Dan memang benar apa yang dikatakan oleh Thian Kong Tosu. Ketika dia sudah mendesak lawannya dengan mati-matian namun pemuda itu dengan pertahanannya yang kokoh kuat seperti benteng baja dapat menutup diri sehingga semua serangannya gagal, Ci Sian menjadi semakin penasaran. Ia tidak mau mempergunakan khikang dan mengalahkan lawan dengan tiupan suling, karena ilmu itu merupakan ilmu simpanan dan menurut pesan suheng-nya, ia tidak boleh sembarangan mengeluarkannya kalau tidak terpaksa benar.

Maka, dia lalu mengerahkan tenaga sinkang yang baru saja dilatihnya dari Suma Kian Bu, dan kini serangan-serangannya itu mengandung penggabungan dua tenaga yang berlawanan, sebentar panas sebentar dingin sekali. Han Beng yang merasakan hawa panas dan dingin silih berganti ini melalui pedang kayu yang dipakai untuk menangkis, menjadi terkejut, bingung dan terdesak semakin hebat. Akhirnya, karena pertahanannya kacau oleh tenaga yang silih berganti itu, ada lubang dalam pertahanannya dan cepat dimasuki oleh sinar suling.

“Tukkk....!”

Pundaknya terkena totokan dan biar pun dia sudah miringkan tubuh sehingga totokan itu tidak tepat mengenai sasaran, namun hawa dingin itu telah menyerang masuk dan membuat Han Beng menggigil, lalu pemuda ini menjatuhkan dirinya bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan lanjutan. Ci Sian yang masih merasa penasaran itu mengejar.

“Tahan....!” Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali, seperti petir menyambar dan tahu-tahu sebatang tongkat menahan suling di tangan Ci Sian.

Ci Sian marah dan hendak menggerakkan suling menyerang orang ini, akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang menghalangnya adalah Suma Kian Bu sendiri, mukanya berubah merah dan ia pun bersungut-sungut.

“Kenapa engkau malah membantu lawan?” Ci Sian menegur sambil menyimpan kembali sulingnya.

“Ci Sian, Kun-lun-pai adalah partai besar yang selamanya menjadi sahabat, jangan engkau membikin kacau di sini,” kata Suma Kian Bu dan segera muncul Siang In yang segera memegang lengan Ci Sian.

“Wah, kami mencari-carimu setengah mati, kiranya engkau membikin ribut di rumah orang.” Siang In merangkulnya dan lenyaplah kemarahan Ci Sian.

Sementara itu, semua tosu terkejut melihat masuknya pria berambut putih riap-riapan bersama seorang wanita cantik ini. Tak seorang pun di antara mereka mengenal pria ini, akan tetapi Suma Kian Bu sudah memberi hormat dengan sikap sopan sekali kepada dua orang tosu tua pemimpin Kun-lun-pai itu.

“Mohon Locianpwe sudi memberi maaf kepada kami. Kalau saya tidak salah, Ji-wi Locianpwe tentu adalah Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu, dua orang pimpinan Kun-lun-pai, benarkah?”

Thian Heng Tosu hanya mengangguk, dan sekarang, seperti biasa, Thian Kong Tosu yang mewakili suheng-nya menyambut tamu. “Penglihatan Sicu memang tepat sekali. Kalau boleh pinto mengetahui, siapakah Sicu dan apakah maksud kunjungan Sicu yang tiba-tiba ini dan apa hubungan sicu dengan Bu-siocia?”

“Nama saya Suma Kian Bu....“

“Siancai....! She Suma? Apa hubungannya dengan Suma-taihiap, Suma Han Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es yang namanya terkenal di seluruh kolong jagat itu?” kata Thian Kong Tosu, sedangkan suheng-nya juga memandang tajam penuh selidik kepada Kian Bu.

“Beliau adalah ayah kandung saya.”

“Ah, sungguh hebat peristiwa yang terjadi hari ini!” Tiba-tiba Thian Heng Tosu berkata, “Agaknya memang sudah digariskan bahwa kita akan memperoleh bantuan Suma-taihiap. Mari kita duduk di dalam dan bicara. Nona Bu, kami mengaku bahwa muridku telah kalah olehmu. Setelah ternyata bahwa kita adalah orang-orang sendiri, biarlah pinto yang mintakan maaf atas kesalahan murid-murid kami kepadamu.”

Tidak enak juga rasa hati Ci Sian melihat betapa Ketua Kun-lun-pai sendiri sampai minta maaf kepadanya. “Ahh, Locianpwe, sesungguhnya sayalah yang terburu nafsu, saya yang minta maaf kepadamu,” jawabnya.

Kini pemuda murid Ketua Kun-lun-pai itu menjura ke arah Ci Sian dan pandang mata serta suaranya penuh kejujuran dan kekaguman ketika dia berkata, “Bu-siocia, saya mengaku kalah padamu.”

“Ahh, dengan mempergunakan pedang kayu, berarti engkau telah mengalah,” jawab Ci Sian, merasa tidak enak terhadap Suma Kian Bu dan Siang In yang melihat betapa ia yang datang mengacau Kun-lun-pai, malah dipuji-puji orang.

Ketua Kun-lun-pai yang nampak berseri wajahnya itu, bersama sute-nya, mengajak tiga orang tamunya menuju ke ruangan dalam, diikuti pula oleh Han Beng.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman