SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-40
Dia khawatir kalau-kalau ular itu mencari tempat lain dan tidak akan datang ke goa kalau tidak disediakan korban, yaitu calon mangsanya yang mudah. Dan menghadapi ular itu di tempat terbuka jauh lebih menguntungkan dari pada menghadapinya di dalam goa. Atau kalau ular itu datang, sebelum memasuki goa, mereka bertiga dapat lebih dulu menyambutnya di depan goa, di tempat terbuka dengan diterangi oleh sinar bulan purnama, dan mereka bertiga akan siap untuk memegang obor di tempat itu. Mengenai belenggu kaki tangan itu, tentu saja bukan merupakan persoalan bagi mereka bertiga.
Kini para penduduk dusun itu amat menghormati mereka bertiga yang dianggap selain utusan dewa, juga merupakan penolong mereka. Baru mau menjadi pengganti korban saja sudah membuat mereka bersyukur dan berterima kasih! Maka, kini ketiga orang pendekar itu dijamu oleh para penduduk dan dilayani dengan sikap hormat sekali.
Pada dua hari berikutnya, setelah matahari condong ke barat, Suma Kian Bu, Sian In dan Ci Sian sudah siap. Semua penghuni dusun, laki-laki perempuan tua muda, sudah berkumpul di depan rumah Kepada Dusun. Dengan dibantu oleh beberapa orang dan disaksikan oleh semua penghuni, Kepala Dusun mulai mengikatkan tali-tali yang kuat pada kaki tangan tiga orang pendekar itu. Tiga orang pendekar itu sudah makan sore dan sudah mandi bersih, suatu keharusan bagi para calon korban, memakai pakaian bersih dan lalu pengikatan kaki tangan mereka dilakukan dengan penuh khidmat oleh Kepala Dusun dan para pembantunya.
“Lihatlah, agar kalian semua yakin bahwa kami adalah utusan para dewa!” kata Suma Kian Bu untuk memberikan kesan terakhir. Dia menggerakkan kedua lengannya dan….
“Kreekkk....!” Putuslah tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya, dan sekali dia menggerakkan kedua kakinya, putus pula belenggu kedua kakinya!
Semua orang terkejut sekali dan wajah Kepala Dusun menjadi pucat. Akan tetapi Kian Bu sudah memasangkan kembali kaki tangannya untuk diikat kembali dengan tali-tali baru.
Setelah mengikatkan kaki tangan itu selesai, Kian Bu berkata, “Dengar baik-baik pesan kami. Setelah menaruh kami di mulut goa, harap kalian semua pergi dan bersembunyi di rumah masing-masing. Kalau ada suara apa pun jangan sekali-kali keluar dan biarkan kami bertiga menghadapi ular itu. Dan jangan lupa, sediakan obor, minyak dan lilin bernyala di goa.”
Kepala Dusun mengangguk-angguk dan tidak lama kemudian, tiga orang pendekar itu yang kaki tangannya terbelenggu, sudah digotong di atas tandu seperti yang setiap tahun biasa terjadi. Akan tetapi kalau biasanya yang digotong hanya seorang korban saja, kini ada tiga orang calon korban yang digotong ramai-ramai. Dan seperti biasanya, para penghuni dusun itu dengan dipimpin seorang pendeta yang menganut agama campuran antara Bhudis dan Taoism, menyanyikan lagu-lagu pujaan untuk para dewa.
Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian duduk di atas tandu dengan kaki tangan terbelenggu, akan tetapi mereka tersenyum-senyum dan merasa bagaikan menjadi pengantin saja karena mereka berpakaian baru, diberi kalungan bunga, dipikul di dalam tandu, dan diiringkan oleh banyak orang yang bernyanyi-nyanyi dipimpin oleh pendeta satu-satunya yang berada di dusun itu.
Iring-iringan mengantar calon korban untuk dewa ular ini tiap tahun biasanya dilakukan dengan iringan air mata keluarga Si Korban. Akan tetapi sekali ini, suasananya gembira dan semua wajah orang dusun itu cerah dan berseri. Hal ini bukan hanya karena di antara mereka tidak ada yang kehilangan sanak keluarga, akan tetapi juga karena ada harapan dalam hati mereka untuk dapat terbebas selamanya dari pada rasa takut terhadap Si Dewa Ular. Akan tetapi di antara harapan dan kegembiraan ini, ada pula kekhawatiran menyelinap di dalam hati mereka. Bagaimana kalau tiga utusan dewa itu gagal? Dan andai kata mereka berhasil dan dewa ular dapat dienyahkan, bukankah hal itu berarti bahwa berkah dari dewa ular untuk mereka pun akan ikut lenyap?
Kepercayaan tahyul seperti yang dimiliki oleh para penduduk dusun di dekat Puncak Naga Hijau di Pegunungan Kun-lun-san itu bukan hanya merupakan peristiwa yang dapat terjadi dan menimpa sekelompok manusia yang masih terbelakang atau yang peradabannya belum tinggi.
Kalau kita mau mengamati keadaan sekeliling kita, mau mengamati kehidupan kita sendiri, bahkan di jaman modern ini sekali pun, kita masih terikat dan terbelenggu oleh berbagai kepercayaan dan ketahyulan! Kelompok ini percaya akan ini dan tidak percaya akan itu. Golongan lain percaya akan itu dan tidak percaya akan hal yang dipercaya oleh kelompok pertama ini. Bahkan kepercayaan-kepercayaan yang merupakan adat pusaka keturunan nenek moyang itu dapat menjadi bahan untuk saling bertentangan dan bermusuhan!
Kepercayaan akan hal-hal yang di luar jangkauan pikiran merupakan ketahyulan yang lama-lama lalu berubah menjadi tradisi. Dan biasanya, hal-hal seperti itu hanya untuk dipercaya saja, bukan untuk dimengerti! Dan kita pun takut untuk melanggarnya atau meninggalkannya dari batin kita. Tentu saja rasa takut ini timbul oleh suatu kepercayaan pula bahwa memegang teguh tradisi kepercayaan tahyul itu mendatangkan selamat, berkah, yang pada pokoknya adalah menyenangkan atau menguntungkan. Sebaliknya kalau kita menanggalkan atau membuangnya, maka kita akan kehilangan apa yang kita namakan selamat, berkah atau hal-hal yang menyenangkan itu. Kita takut akan dilanda kesusahan karenanya. Inilah sumber rasa takut menanggalkan atau membuangnya.
Lalu bagaimanakah timbulnya kepercayaan akan tahyul yang menjadi tradisi itu? Semua kepercayaan, jika kita mau merenungkannya dengan penuh kebebasan dan perhatian, timbul karena kebodohan, karena ketidak mengertian. Kepercayaan itu pasti timbul oleh karena kita tidak mengerti, tidak tahu, lalu kita mendengar pengertian itu dari mulut orang yang kita hormati, kita kagumi, kita anggap lebih tahu dari pada kita, atau dari kitab yang ditulis oleh orang yang kita muliakan, maka kita pun lalu percayalah! Kalau ketidak mengertian kita tentang sesuatu itu diterangkan oleh orang yang tidak kita agungkan, tidak kita hormati atau kagumi, maka kita pun kemudian tidak percaya! Jadi, percaya atau tidak percaya itu timbul dari sumber yang sama, yaitu dari kebodohan atau ketidak mengertian.
Sebagai contoh misalnya, kita belum pernah melihat sendiri, belum pernah membaca, belum pernah mendengar, pendeknya kita tidak mengerti sama sekali tentang Kutub Utara. Lalu datanglah seseorang yang menulis atau bercerita kepada kita tentang Kutub Utara, tentang keanehan-keanehannya, keajaiban-keajaibannya dan sebagainya. Nah, di sinilah asal mula timbulnya percaya atau tidak percaya.
Karena kita sendiri tak mengerti, maka kita lalu mendengarkan orang itu dan tanggapan kita tentu saja dipengaruhi oleh perasaan kita terhadap orang itu. Kalau orang itu kita agungkan, kita akan percaya, dan kalau sebaliknya kita tidak mengagungkannya, kita tidak percaya! Dan kepercayaan atau ketidak percayaan ini kita turunkan kepada murid-murid atau anak-anak keturunan, dan selanjutnya menjadi kepercayaan turun temurun.
Sebaliknya kalau orang itu, atau siapa pun juga adanya, datang lalu bercerita atau menulis tentang sesuatu yang sudah kita mengerti atau ketahui, sudah tentu tidak akan timbul percaya atau tidak percaya lagi. Yang ada hanyalah kenyataan bahwa apa yang diceritakan itu benar atau bohong. Kalau ada orang mengatakan bahwa darah manusia itu hijau warnanya atau matahari itu timbul dari barat, maka di sini tidak ada percaya atau tidak percaya, karena kita sudah tahu dan mengerti benar bahwa keterangan orang itu bohong! Sebaliknya, kalau ada orang mengatakan bahwa pohon besar itu dihuni setan atau dewa, maka keterangan ini menimbulkan percaya atau tidak percaya, karena kita tidak mengerti dan tidak mengetahui benar akan hal itu.
Maka, dapatkah kita hidup bebas dari segala macam kepercayaan dan ketahyulan ini? Beranikah kita mengakui dengan rendah hati bahwa kalau timbul pertanyaan akan sesuatu yang tidak kita mengerti, yang tidak terjangkau oleh akal budi pikiran kita, lalu kita menjawab bahwa kita TIDAK TAHU? Biasanya, kita takut atau malu untuk mengakui bahwa kita tidak tahu. Kita selalu ingin mengaku bahwa kita tahu segalanya, padahal sebagian besar dari hal-hal yang kita katakan kita tahu itu sebenarnya hanyalah pengetahuan mati yang kita dengar dari keterangan orang lain, yang tidak kita hayati sendiri.
Karena, sesungguhnya hanya orang yang tidak tahu sajalah yang dapat membuka mata, yang dapat menyelidiki, dapat menyelami, dapat mempelajari dengan otak dan hati kosong sehingga penyelidikan itu dapat dilakukan seteliti-telitinya, tidak dipengaruhi oleh pengetahuan-pengetahuan mati yang hanya akan menjadi batu penghalang bagi penyelidikannya akan hal-hal yang baru. Sayang bahwa mereka yang tidak tahu itu begitu ingin untuk dianggap tahu sehingga dengan mudah mereka menerima segala pengetahuan dari orang lain melalui kepercayaan
.Setelah tiba di depan goa, semua penghuni dusun nampak ketakutan dan sejak mendekati tempat itu tadi pun sudah tidak ada lagi yang berani mengeluarkan suara. Suasana memang amat menyeramkan karena tempat itu terpencil, jauh dari dusun, jauh dari manusia dan tidak nampak bekas-bekas tangan manusia di situ dan selama dalam perjalanan mereka itu, mereka tidak melihat tapak seorang pun manusia.
Tiga buah joli atau tandu itu diturunkan dan tiga orang pendekar digotong dengan hati-hati dan dengan sikap penuh hormat, lalu satu demi satu direbahkan di mulut goa yang gelap. Kepala Dusun lalu menyalakan sebatang lilin di sudut goa, obor-obor yang belum dinyalakan ditinggalkan di sudut pula, yaitu obor yang sudah diberi minyak pembakar. Kemudian, setelah mereka semua memberi hormat ke arah tiga orang pendekar yang rebah di mulut goa, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Kepala Dusun itu lalu mengajak orang-orangnya untuk pergi meninggalkan goa seperti yang telah dipesankan oleh Suma Kian Bu kemarin.
Setelah semua orang pergi, Kian Bu, Siang In dan Ci Sian lalu memutuskan semua tali yang membelenggu kaki tangan mereka.
“Akan tetapi, kita harus tetap tinggal di sini,” kata Kian Bu kepada dua orang wanita itu. “Jangan lengah dan harus tetap waspada. Biar pun aku sendiri tidak percaya bahwa ular itu adalah siluman, iblis atau dewa, akan tetapi dia tentu seekor binatang yang sudah tua, kebal, dan cerdik sekali. Maka, biarlah kita tinggal rebah agar tidak membuat dia curiga, dan siap untuk menyerbu kalau dia sudah berada di depan goa. Sebelum aku menyerangnya, harap kalian jangan bergerak dulu. Kita belum tahu sampai di mana kelihaiannya, maka kita tidak boleh sembrono.”
Karena memang sudah mendengar betapa banyaknya orang-orang lihai menjadi korban ular itu, maka Siang In dan Ci Sian mengangguk. Tadi pun dua orang wanita ini merasa agak ngeri saat melihat adanya rangka-rangka manusia di dalam goa. Tentu itu adalah rangka-rangka para korban, karena rangka-rangka itu hanya merupakan tulang-tulang tubuh manusia, semua tanpa kepala!
Menanti merupakan pekerjaan yang amat berat. Dalam menanti, sang waktu seolah-olah menjadi luar biasanya lambannya, seperti gerakan maju seekor keong. Mereka bertiga ditinggalkan di tempat itu menjelang senja dan kini mereka menanti datangnya sang malam yang dirasakan amat lambatnya. Akan tetapi akhirnya cuaca menjadi gelap, malam mulai datang menyelubungi bumi, mengusir lenyap sinar-sinar matahari. Kegelapan menyelubungi hutan dan satu-satunya sinar hanyalah lilin yang bernyala di dalam goa.
Mereka yang berada di dalam goa itu menanti dengan hati tegang. Belum ada tanda pergerakan yang luar biasa, dan yang terdengar hanyalah bunyi belalang dan binatang malam, jauh di dalam hutan. Nyamuk-nyamuk mulai berdatangan dan mengganggu mereka, tertarik oleh nyala lilin. Tapi berkat ilmu kepandaian mereka yang sudah tinggi, gangguan itu tidak menyiksa benar. Dengan kibasan tangan saja mereka telah mampu meruntuhkan nyamuk-nyamuk yang berani menyerang mereka. Gangguan itu lebih dirasakan oleh mengiangnya nyamuk di dekat telinga dari pada penyerangan sengatan mereka.
Bulan purnama mulai menyinari bumi pada saat mereka mulai merasakan datangnya ancaman yang sejak tadi dinanti-nanti itu. Ada bau amis yang aneh yang memasuki hidung mereka. Apalagi kalau ada angin bersilir, bau itu makin tercium keras sekali, membuat Ci Sian merasa muak sekali.
“Awas.... agaknya dia mulai datang....,” kata Kian Bu dengan suara berbisik.
Pendekar ini adalah putera Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es, dan pendekar ini memiliki ilmu kesaktian hebat, telah mengalami segala macam pertempuran dan bahaya yang hebat-hebat. Akan tetapi malam itu dia merasakan ketegangan luar biasa juga. Demikian pula dengan Siang In. Terutama sekali, Ci Sian yang belum begitu banyak pengalaman hidupnya. Dara ini merasakan jantungnya berdebar penuh ketegangan dan keringat dingin membasahi lehernya.
Andai kata ia berada di situ seorang diri saja, tentu ia sudah meninggalkan tempat yang menyeramkan itu. Tetapi adanya Pendekar Siluman Kecil dan isterinya membesarkan hatinya dan dara ini memandang keluar goa dengan penuh perhatian, siap menghadapi segala kemungkinan.
Bau amis bercampur harum aneh yang keras itu makin terasa. Tak lama kemudian, terdengar bunyi kresek-kresek dan tumbangnya sebatang pohon seperti dilanda sesuatu yang berat.
“Kalau aku menyerangnya, kalian cepat nyalakan obor itu dan menancapkan obor-obor itu di luar goa, di empat penjuru agar kita dapat menghadapinya dengan baik,” bisik Kian Bu kepada dua orang wanita itu yang hanya mengangguk tanda mengerti. Dua orang wanita ini seperti kehilangan suara saking tegangnya.
Kian Bu memandang keluar goa dengan penuh perhatian. Cahaya bulan cemerlang menerangi keadaan di luar goa, dan sesungguhnya, tanpa obor sekali pun cuaca sudah cukup terang. Akan tetapi Kian Bu menyuruh menyalakan obor bukan hanya agar cuaca menjadi terang, akan tetapi untuk berjaga-jaga saja, kalau-kalau ada awan yang akan menutupi bulan dan membuat tempat itu menjadi gelap. Sangatlah berbahaya kalau bertanding melawan ular ganas di tempat gelap. Jadi obor-obor yang disuruhnya untuk dinyalakan itu hanya bertugas sebagai cadangan kalau-kalau sang bulan tertutup awan.
Akhirnya tibalah saat yang ditunggu-tunggu, yang menimbulkan ketegangan luar biasa itu! Mula-mula hanya nampak bayangan panjang menggeleser di atas tanah, membuat rumput-rumput tersibak. Saat tiba di depan goa, tiba-tiba ular itu mengangkat kepalanya, dan lehernya terangkat, kepalanya naik sampai satu meter di atas tanah. Nampaklah mukanya yang mengerikan itu!
Mukanya memang seperti muka ular biasa, hanya lebih besar dan yang mengerikan sekali adalah mulutnya yang mengeluarkan suara mendesis dibarengi hawa seperti uap putih mengepul. Sepasang cabang lidahnya bergerak-gerak keluar, lidah yang merah kehitaman. Sepasang mata yang besar itu mencorong seperti mengeluarkan api, dan kepalanya yang tertimpa sedikit cahaya bulan itu nampak berkilauan. inilah agaknya yang menimbulkan dongeng bahwa kepalanya mencorong padahal sebenarnya karena kulit kepalanya mengkilap seperti berminyak, tentu saja nampak berkilauan.
Betapa pun juga, Suma Kian Bu yang sudah banyak mengalami hal-hal yang luar biasa itu diam-diam terkejut dan harus mengakui di dalam hatinya bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat ular yang demikian besar dan panjangnya, dan juga yang kelihatan ganas dan menyeramkan. Akan tetapi, karena dia pun tahu bahwa binatang ini bukanlah sebangsa siluman atau dewa, juga bukan seekor naga seperti yang sering terdapat dalam dongeng, yang bisa terbang dan memiliki kesaktian lain, maka dia pun tidak menjadi gentar.
Agaknya ular besar itu memang sudah biasa pindah ke dalam goa di awal musim rontok seperti yang diceritakan oleh Kepala Dusun, juga agaknya telah terbiasa memperoleh mangsa yang mudah di dalam goa itu. Maka sekarang pun binatang ini berhenti di depan goa dan mengangkat kepalanya, agaknya untuk menjenguk lebih tinggi agar dapat melihat jelas apakah sudah tersedia mangsa baginya kali ini.
Sejak tadi Kian Bu memang sudah bersiap sedia. Seluruh urat syaraf di dalam tubuhnya telah menegang, terisi oleh pengerahan sinkang untuk menghadapi lawan yang tangguh dan berbahaya.
“Nyalakan obor!” tiiba-tiba Kian Bu berseru.
Dan belum juga gema suaranya itu lenyap, dia sudah meloncat keluar dari dalam mulut goa itu dan langsung saja dia menerjang ke arah kepala ular yang diangkat tinggi itu. Pendekar Siluman Kecil ini memiliki sebuah senjata yang luar biasa, yaitu sebatang tongkat sakti yang terbuat dari akar pohon yang hanya terdapat di sebuah pulau tak jauh dari Pulau Neraka. Akar kayu ini amat keras dan ulet, tidak rusak oleh baja yang tajam sekali pun, dan lebih peka untuk disaluri tenaga sinkang dari pada logam lainnya.
Biasanya, hampir tidak pernah pendekar ini menghadapi lawan dengan senjatanya ini yang lebih pantas dipergunakan untuk pegangan atau iseng saja. Hal ini adalah karena dengan dua pasang kaki dan tangan saja dia sudah lebih dari kuat menghadapi lawan. Kedua tangannya itu lebih dahsyat dari pada senjata lawan yang bagaimana pun.
“Dukkkk!”
Tongkat yang dipukulkan ke arah kepala ular itu tepat mengenai sasarannya, tetapi Kian Bu kaget sekali karena tongkatnya terpental dan seluruh lengan kanannya tergetar hebat. Ia memang sengaja hendak mengukur sampai di mana kekuatan dan kekebalan ular itu dan akibatnya dia terkejut.
Tiba-tiba, sebagai balasan serangan itu, ular itu menggerakkan kepalanya dan mulutnya terbuka. Terdengarlah bunyi mendesis nyaring dan Kian Bu harus meloncat jauh ke kiri untuk menghindarkan diri ketika dia merasakan sambaran angin dahsyat yang panas dan berbau amis! Pada saat itu, Ci Sian dan Siang In sudah menyalakan obor pada nyala lilin dan meloncat keluar, tepat pada saat ular itu menyembur kepada Kian Bu. Dua orang wanita ini terkejut karena tiba-tiba ada angin keras yang menyambar dan membuat obor mereka itu bergoyang-goyang apinya dan hampir padam, juga mereka merasakan hawa panas terkandung dalam angin itu, di samping bau amis yang memuakkan.
“Taruh obor itu agak jauh!” Kian Bu berseru lagi.
Kini pendekar ini yang sudah merasakan kekuatan ular yang amat besar itu meloncat maju sambil menggerakkan tongkatnya, kini menusuk ke arah mata kanan ular. Dia terkejut dan heran karena ular itu sama sekali tidak mengelak! Tetapi kegirangannya lenyap pada saat ujung tongkatnya bertemu dengan benda yang amat keras dan licin sehingga tusukannya meleset!
Kiranya, tanpa menggerakkan kepala, ular itu mampu membuat gerakan sedikit yang cukup untuk membuat ujung tongkat itu mengenai pinggiran mata yang sama kuatnya dengan kulit kepala mau pun badannya. Kulit bersisik itu amat keras dan licin, sehingga ketika tusukan tongkatnya meleset, Kian Bu terdorong ke depan. Dan pada saat itu dia merasa adanya angin pukulan yang amat kuatnya menimpanya dari arah kiri. Cepat Kian Bu mengerahkan ginkang-nya dan meloncat. Untung dia dapat bergerak cepat karena begitu dia menghindar, ekor ular yang besar dan berat itu, dengan kekuatan dahsyat yang ratusan kati beratnya, menimpanya dan karena luput, ekor itu menimpa batu yang pecah berantakan seperti dipukul palu godam yang amat berat!
Seperti juga tadi, begitu diserang ular itu membalas dengan cepatnya, maka kini Kian Bu bersikap hati-hati sekali. Dia sudah mencoba tongkatnya untuk memukul dan menusuk, dan akibatnya, bahkan serangan balasan ular itu tidak kalah hebatnya dan berbahayanya. Dan begitu serangannya luput, ular itu tidak melanjutkan serangan, tapi menanti seperti tadi, dengan kepala diangkat dan sepasang matanya yang mencorong memantulkan sinar obor-obor yang dipasang oleh Ci Sian dan Siang In di sekitar tempat itu. Dua orang wanita itu kini mendekat dan mengepung ular. Siang In sudah memegang senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang payung yang berujung runcing, sedangkan Ci Sian sudah memegang suling emasnya.
“Ci Sian, kita serang dari kanan kiri! Tujukan serangan ke arah matanya!” kata Siang In yang tadi sudah melihat betapa dua kali serangan suaminya gagal.
Wanita perkasa ini maklum bahwa kulit ular itu benar-benar sangat kebal sehingga menyerang kulitnya akan sia-sia belaka, bahkan amat berbahaya, maka dengan cerdik ia menganjurkan Ci Sian untuk melakukan serangan berbareng ke arah kedua mata binatang itu dari kanan kiri.
Ci Sian mengangguk dan dua orang wanita itu seperti berlomba cepat, menerjang dari kanan kiri. Ci Sian lalu menusukkan sulingnya ke arah mata kiri, sedangkan Siang In menusukkan ujung payungnya ke arah mata kanan.
Akan tetapi, tiba-tiba ular itu menurunkan kepalanya dan menyembunyikan kepala itu di bawah perut dan tiba-tiba saja ekornya sudah datang menimpa dengan kecepatan dan kekuatan yang mengerikan.
“Awas....!” Suma Kian Bu berseru.
Dua orang wanita itu sudah meloncat pergi dengan cepat. Akan tetapi, angin pukulan yang amat kuat masih mendorongnya dan membuat mereka berdua terbanting dan bergulingan sampai jauh. Tentu saja mereka terkejut bukan main pada saat melompat berdiri lagi. Pada saat itu, Kian Bu sudah meloncat dengan kecepatan kilat sehingga yang nampak hanya bayangannya saja dan tahu-tahu dia sudah mendekati kepala ular itu dan memukul dengan kepalan tangan kirinya.
“Dessss....!”
Pukulan itu dahsyat bukan main, mengandung tenaga Swat-im Sinkang dari Pulau Es, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya. Karena tahu bahwa ular itu sungguh kebal dan tidak dapat dilukai oleh senjata, maka Kian Bu kini mempergunakan tenaga Swat-im Sinkang, yaitu tenaga dalam yang dingin, berkat latihan di Pulau Es. Biar pun tangannya tidak akan dapat melukai kulit binatang itu, namun dia mengharapkan bahwa getaran tenaga pukulannya akan dapat melukai sebelah dalam kepala binatang itu. Dan memang agaknya harapannya ini tidak sia-sia, karena ular itu ternyata menderita berat oleh pukulannya yang mengguncangkan isi kepalanya. Ekor ular itu membelit dan menghantam sehingga Kian Bu terpaksa menangkis dengan tangan kanannya yang memegang tongkat!
“Dessss....!”
Tubuh Kian Bu terlempar dan tongkatnya terlepas dari tangannya! Pendekar ini tidak terluka, hanya terlempar saking besarnya tenaga pukulan ekor ular itu. Begitu meloncat bangun, Kian Bu sudah menerjang lagi, meloncat dan memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sinkang di tangan kiri, dan tenaga Hwi-yang Sinkang di tangan kanan.
Kedua pukulan yang mengandalkan tenaga sinkang yang berlawanan ini, yaitu dingin dan panas, dilakukannya berganti-ganti. Dan serangan-serangan ini memang hebat sekali. Satu kali pukulan tangan kanan atau tangan kiri pendekar itu sudah cukup untuk merobohkan, bahkan menewaskan seorang lawan tangguh. Biar pun berkali-kali terkena pukulan, namun nampaknya ia tak merasakan nyeri, bahkan kini ia mulai mengeluarkan teriakan-teriakan yang menyeramkan. Teriakannya itu seperti teriakan seekor burung gagak yang nyaring, parau dan menyeramkan sekali. Agaknya ia marah bukan main terkena pukulan-pukulan yang mendatangkan rasa nyeri itu.
Melihat betapa suaminya sudah mulai menyerang dengan bertubi-tubi, Siang In segera membantunya dengan menggerakkan payungnya, menerjang dan menusukkan ujung payungnya, kembali mengarah mata ular itu. Sedangkan Ci Sian juga membarenginya dan menghantamkan suling ke belakang kepala ular itu sambil mengerahkan semua tenaga dalamnya.
Kian Bu yang sudah menyerang bertubi-tubi itu berada dekat dengan ular dan dia tahu betapa ular itu tiba-tiba menggerakkan ekornya.
“Awas! Mundur....!” Dia berteriak, akan tetapi agaknya isterinya serta Ci Sian tidak menghiraukannya karena kedua orang wanita itu memang hendak membantunya dan tentu saja tidak tega melihat dia sendiri saja melawan ular yang amat tangguh itu. Melihat dua orang wanita itu tidak menghiraukannya, Kian Bu yang maklum akan dahsyatnya sambaran ekor ular, sudah meloncat dan menggunakan kedua lengannya untuk menangkis sambaran ular yang tadinya menghantam ke arah dua orang wanita itu.
“Dessss....!”
Hebat sekali pertemuan antara ekor ular dan kedua lengan Kian Bu. Pendekar ini merasa seolah-olah seluruh tulangnya remuk dan tak dapat bertahan lagi, terpelanting, sedangkan dua orang wanita itu terdorong oleh hawa pukulan yang dahsyat ini, kembali bergulingan. Sedangkan tusukan suling dan ujung payung itu pun tidak melukai ular, bahkan membuatnya menjadi semakin marah. Ular itu merasakan ekornya nyeri sekali, maka kemarahannya dipusatkan kepada Kian Bu yang telah banyak mendatangkan rasa nyeri kepadanya. Sebelum Kian Bu sempat meloncat, ular itu sudah menubruk dan tahu-tahu tubuh Kian Bu telah terkena libatan ekornya!
Pendekar itu terkejut, mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang, memberontak. Tenaga ini besar sekali. Belenggu baja saja kiranya akan patah-patah oleh tenaga Hwi-yang Sinkang yang panas ini. Akan tetapi, tubuh ular itu jauh lebih kuat dari pada baja, karena tubuh itu dapat melentur seperti karet, namun mengandung kekuatan libatan yang amat luar biasa.
Betapa pun juga, karena Kian Bu memberontak itu, libatannya berkurang kekuatannya dan Kian Bu berhasil menarik kedua lengannya keluar dari libatan sehingga hanya pinggangnya ke bawah saja yang terlibat. Dia merasa betapa tenaga libatan itu makin kuat saja, seperti ada tenaga dalam yang makin lama makin besar hendak meremukkan tulang-tulangnya dengan tekanan yang dahsyat. Dan kini kepala ular itu membalik dan dengan moncong terbuka lebar ular itu hendak mencaplok kepala Kian Bu!
“Dessss....!” Kian Bu memapaki kepala itu dengan pukulan tangan kanannya.
“Plakkk!” tangan kirinya juga menampar.
Ular itu terkejut dan kesakitan, kembali menggeluarkan teriakan parau yang nyaring sekali. Kian Bu merasa seolah-olah telinganya ditusuk-tusuk, maka ia pun mengerahkan khikang-nya dan melengking nyaring. Ular itu terkejut dan terdiam, akan tetapi tidak melepaskan lilitannya.
Siang In dan Ci Sian terkejut bukan main melihat Kian Bu terlilit ular dan tidak mampu melepaskan diri. Wajah Siang In menjadi pucat dan dengan nekat wanita ini lantas menyerang dengan senjata payungnya. Terjangannya hebat sekali dan ujung payung itu seperti kilat cepatnya menyambar ke arah kedua mata binatang itu. Dan Ci Sian pun cepat membantunya, memukul-mukulkan sulingnya dengan pengerahan khikang-nya yang amat kuat itu ke arah moncong ular, maksudnya andai kata tidak dapat melukai ular pun ia akan mencegah ular itu menggigit Kian Bu.
“Tak-tak....!” Ujung payung itu mengenai kulit yang keras ketika ular itu menggerakkan kepalanya sehingga tusukan-tusukan itu meleset, tidak mengenai mata melainkan mengenai bagian muka yang tertutup kulit keras.
“Trakkk!” Hantaman suling di tangan Ci Sian bertemu dengan gigi dan ada sebuah gigi ular itu yang patah terkena pukulan suling.
Kembali ular itu berteriak parau dan keras dan Kian Bu merasa betapa lilitan tubuh ular itu menjadi makin kuat. Dia pun menggunakan kedua tangannya untuk memukuli tubuh ular yang melilitnya, menggunakan pukulan-pukulan tangan miring seperti membacok-bacok. Tenaganya yang luar biasa kuatnya itu pun tidak dapat membuat kulit ular itu rusak, akan tetapi setidaknya tenaga pukulannya mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa sehingga ular itu berteriak-teriak atau mengeluarkan suara parau dan serak. Lilitannya menjadi semakin kuat.
Karena maklum bahwa dia tidak mampu melepaskan diri dari belitan maut itu, dan bahwa isterinya mau pun Ci Sian bisa terancam bahaya, maka Kian Bu cepat berteriak, “Mundurlah.... jangan dekat-dekat....!”
Tetapi, sebagai seorang isteri yang amat mencinta suaminya, tentu saja Siang In tidak mau meninggalkan suaminya yang sedang dibelit ular dan dalam keadaan terancam hebat itu. Pendekar wanita ini pun sudah menjadi panik penuh kekhawatiran, maka dengan muka pucat ia sudah menyerang lagi sambil membentak nyaring, “Lepaskan suamiku....!”
Payungnya menyambar seperti kilat, kembali menyerang ke arah mata kanan ular itu. Ular itu memang luar biasa sekali. Dia tidak mengelak, melainkan mempergunakan kepalanya untuk menangkis.
“Dessss....!”
Tubuh Siang In terlempar sampai beberapa meter jauhnya karena ditumbuk oleh kepala yang amat kuat itu. Siang In tidak terbanting hebat karena ia cepat menggulingkan tubuhnya, akan tetapi kepalanya agak pening juga oleh benturan keras itu. Sementara itu, Ci Sian melihat dengan penuh kengerian ketika ular itu kini mengangkat tinggi kepalanya dan mulutnya terbuka lebar, siap untuk mencaplok kepala Suma Kian Bu yang masih meronta-ronta seperti seekor lalat dalam perangkap sarang laba-laba itu. Agaknya tidak akan ada apa pun yang dapat menyelamatkan nyawa pendekar sakti itu.
“Mundurlah.... biarkan aku....” kata pula Kian Bu yang terkejut menyaksikan isterinya terlempar tadi.
Akan tetapi Siang In menjadi semakin nekat. Biar pun kepalanya masih pening dan tubuhnya sakit-sakit, terutama sekali pundak kirinya yang terkena hantaman langsung oleh kepala ular itu, namun kekhawatirannya akan keselamatan suaminya membuat ia lupa akan diri sendiri. Ia sudah hendak menyerbu lagi ketika tiba-tiba lengannya dipegang oleh tangan Ci Sian Sian.
“Enci, biarkan aku mencoba ini....”
Siang In menahan gerakannya dan memandang Ci Sian yang sudah menempelkan suling emasnya di depan mulut dan terdengarlah suara suling yang aneh dan suara itu melengking tinggi mengalun dan mengandung getaran yang amat halus namun amat kuat.
Ternyata dara ini teringat akan pelajaran tiupan sulingnya, dan menurut suheng-nya, tiupan suling itu mengandung suara yang penuh dengan kekuatan khikang, dan menurut suheng-nya, suara itu selain dapat mengusir pengaruh gaib atau juga segala macam kekuatan sihir dari lawan, dapat dipergunakan untuk menyerang atau mempengaruhi lawan pula. Dan Ci Sian juga teringat akan pelajaran dari gurunya, yaitu Si Raja Ular See-thian Coa-ong tentang kelemahan ular.
Dia sendiri dapat memanggil ular-ular dengan getaran suara meninggi dalam nada tertentu, yaitu ilmu yang didapatnya dari See-thian Coa-ong. Dengan menggabungkan ilmunya meniup suling dan ilmunya menguasai ular itu, ia ingin mencoba kepandaiannya untuk mempengaruhi dan menundukkan ular raksasa ini. Tentu saja Ci Sian belum yakin akan hasilnya, sebab pelajaran menaklukkan ular dari suhu-nya, yaitu See-thian Coa-ong itu, hanya ditujukan terhadap ular-ular biasa, terutama ular beracun. Belum pernah selama hidupnya dia melihat ular seperti yang mereka lawan ini. Ular yang menyelamatkannya ketika terjatuh dari tebing dahulu, yaitu ular peliharaan See-thian Coa-ong, tidak ada setengahnya dibandingkan dengan besar ular raksasa ini!
Dengan senjata payung di tangan, siap untuk menerjang, dan sepasang matanya tak pernah berkedip memandang ke arah ular yang melilit tubuh suaminya, Siang In berdiri memandang. Pendekar wanita ini sendiri bergetar mendengar suara suling melengking tinggi ini, sehingga ia harus mengerahkan sinkang untuk melindungi jantungnya yang seperti ikut tergetar.
“Bagus, teruskan.... teruskan....!” Tiba-tiba terdengar Kian Bu berkata girang.
Terjadilah keanehan. Mendengar suara melengking tinggi yang beralun itu, ular yang tadinya sudah membuka mulut, dengan marah sekali hendak mencaplok kepala Kian Bu, tiba-tiba menghentikan gerakan kepalanya dan mengangkat kepala tinggi-tinggi, diam tak bergerak, seolah-olah terpesona! Kemudian, mulailah kepala itu bergerak-gerak ke kanan kiri, mulutnya masih terbuka dan kadang-kadang ular itu menyemburkan uap yang panas dan berbau amis!
Giranglah hati Ci Sian ketika melihat hasil tiupan sulingnya ini. Ia pun cepat meniupkan nada-nada suara yang telah dipelajarinya dari See-thian Coa-ong untuk membuat ular itu berlutut atau mendekam di depan kakinya. Ada bermacam-macam perintah yang dapat dilakukannya terhadap ular, sesuai dengan yang diajarkan See-thian Coa-ong, melalui nada suara tertentu yang biasanya dikeluarkan dari kerongkongannya dengan pengerahan khikang. Akan tetapi, kini dengan tiupan sulingnya, tentu saja kekuatan itu lebih hebat lagi.
Namun Ci Sian terkejut dan juga bingung. Ular raksasa itu tidak mentaati perintah melalui sulingnya, tetapi nampak panik dan bingung, juga seperti ketakutan. Agaknya, suara melengking yang langsung ditujukan kepadanya oleh dara perkasa itu amat mengganggu telinganya, membuat kepalanya rasanya seperti ditusuk-tusuk dari dalam! Ular itu kebingungan, ketakutan, dan membuka mulutnya lebar-lebar, mendesis-desis dan menggeliat-geliat, menggerakkan kepala seperti menari-nari, akan tetapi tarian yang tidak teratur, tarian kebingungan!
Ci Sian melanjutkan tiupannya, menduga bahwa agaknya ‘alat penerima’ ular raksasa ini sudah berbeda dengan ular-ular pada umumnya. Akan tetapi, melihat betapa tubuh ular itu menggeliat dan karenanya lilitannya juga mengendur, ia terus meniup sulingnya, bahkan menggunakan nada yang makin meninggi sampai tidak dapat ditangkap oleh anak telinga lagi! Dan ular itu semakin tersiksa!
Dalam keadaan kebingungan itu, ular raksasa ini agaknya melupakan Kian Bu sehingga lilitannya mengendur dan ketika memperoleh kesempatan baik, Kian Bu berhasil meloloskan diri, sekali meloncat sudah terbebas dari lilitan ular. Akan tetapi ketika kedua kakinya tiba di atas tanah dekat isterinya, dia terhuyung dan tentu akan terpelanting kalau tidak dipeluk isterinya. Kiranya pendekar ini tadi terlalu banyak mengerahkan tenaga untuk berusaha melepaskan diri dari lilitan ular itu, dan juga untuk menjaga agar tulang-tulangnya tidak remuk terhimpit.
Setelah mengatur napas sebentar dan keadaannya pulih kembali, Suma Kian Bu lalu mengambil payung isterinya, matanya tak pernah terlepas memandang ular itu. Ketika tadi ular itu membuka mulut lebar-lebar hendak mencaplok kepalanya, dia melihat betapa bagian dalam dari mulut ular itu merupakan daging yang kemerahan, dan dia percaya bahwa tidak mungkin daging di sebelah dalam rongga mulut itu kebal. Di situlah agaknya kelemahan ular ini, pikirnya. Di bagian luar tubuhnya, ular itu kebal, terlindung sisik yang amat tebal dan kuat. Akan tetapi kalau mulutnya terbuka, maka di dalam rongga mulutnya itu merupakan bagian yang lemah dan tidak terlindung.
Mulut ular itu masih ternganga lebar dan menyembur-nyemburkan uap, kebingungan dan kegelisahan sekali. Mendadak nampak bayangan berkelebat dan Kian Bu telah mempergunakan ilmu ginkang-nya yang luar biasa, melayang ke depan dan secepat kilat. Sebelum ular itu tahu bahwa dirinya diserang, pendekar ini sudah menusukkan payungnya dari bawah, memasuki mulut itu dan ujung payung yang seperti pedang itu menusuk dan menembus rongga mulut bagian atas, memasuki otak di kepala ular dan menembus sampai keluar di antara kedua mata ular itu.
“Mundur....!” Kian Bu berteriak nyaring sambil meloncat jauh meninggalkan ular itu.
Sementara itu, Ci Sian dan Siang In juga berloncatan ke belakang. Untung bahwa mereka melakukan ini karena tiba-tiba saja ular yang telah terluka parah itu mengamuk! Bukan main dahsyatnya amukan ular ini. Kepalanya yang sekarang sudah berlubang dan mengucurkan darah yang banyak sekali itu menyambar-nyambar ke sana sini dan apa saja yang ditemukan, baik batu mau pun batang pohon, tentu digigitnya sampai hancur! Ekornya juga menyambar ke kanan kiri hingga batu-batu besar pecah-pecah terkena hantaman ekornya. Debu mengepul tinggi dan semua hiruk-pikuk itu ditambah lagi dengan teriakan-teriakannya yang menyayat hati.
Teriakan-teriakan ini terdengar sampai ke dusun dan semua orang dusun, semenjak mendengar suara ular itu memekik-mekik tadi, sudah menjatuhkan diri berlutut di rumah masing-masing dengan muka pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Mereka mengira bahwa tentu tiga orang pendekar itu telah tewas semua dan sekarang Dewa Ular itu marah-marah dan akan mengamuk ke dusun itu!
Akan tetapi, biar pun luka yang diderita oleh ular raksasa itu hanyalah luka kecil saja yang diakibatkan oleh tusukan ujung payung yang seperti pedang, namun luka itu menembus kepala dan merusak otak, pusat segala-galanya. Maka amukan itu hanya berlangsung beberapa menit saja dan akhirnya ular itu tergolek mati di depan goa!
Tiga orang pendekar itu menanti sampai beberapa lama, sampai akhirnya mereka yakin benar bahwa binatang itu telah mati. Barulah Kian Bu mendahului mereka, meloncat ke dekat ular itu dan menggerak-gerakkan kepala ular itu dengan kakinya. Namun, kepala itu terangkat dan terkulai lemas, tanda bahwa ular itu benar-benar telah tewas. Maka dia pun memberi isyarat kepada kedua orang wanita pendekar itu yang lalu segera maju menghampiri. Ngeri juga hati mereka melihat besarnya ular ini. Bahkan Ci Sian sendiri yang memiliki ilmu menaklukkan ular dan sudah dapat disebut ahli ular atau pawang ular, bergidik melihat ular yang luar biasa ini.
Pendekar Siluman Kecil yang melihat bahwa ular itu telah benar-benar tewas, menoleh kepada Ci Sian dan berkata, “Nona, engkau telah menyelamatkan nyawaku.”
Siang In juga merangkul dara itu dan berkata, “Kalau tidak ada engkau, Adikku, entah apa akibatnya yang menimpa kami berdua.”
Ci Sian tersenyum, balas merangkul Siang In dan berkata kepada Kian Bu, “Suma-taihiap, harap engkau jangan bersikap sungkan. Di antara kita, mana ada istilah saling menolong atau menyelamatkan? Kita maju bertiga menghadapi ular itu, jadi tidak ada yang ditolong atau menolong.”
Kian Bu mengangguk. “Baik, engkau masih muda akan tetapi pandai membawa diri, Nona. Tunggu, aku Suma Kian Bu bukan orang yang tidak pandai membalas budi.”
Setelah berkata demikian, pendekar ini menggunakan ujung payung isterinya untuk menggurat kepala ular yang sudah terluka itu. Anehnya, setelah ular itu mati, biar pun kulit kepalanya masih keras, tetapi tak begitu sukar bagi pendekar untuk membelahnya dengan hati-hati. Kepala itu terbelah dan nampak isinya ketika dikuakkan dan dapat dibayangkan betapa girang rasa hati suami isteri yang dipenuhi harapan itu ketika di dalam kepala itu mereka menemukan sebuah benda bulat sebesar ibu jari, berwarna kehijauan, macamnya seperti sebutir mutiara yang berkilauan, akan tetapi agak lunak. Itulah agaknya dongeng tentang mustika naga itu!
Dengan hati-hati sekali Siang In menyimpan benda itu, dibungkusnya dengan sehelai sapu tangan bersih. Sedangkan Kian Bu berkata, “Nona Bu Si Cian....“
Ci Sian terkejut dan memandang dengan mata terheran-heran, akan tetapi kemudian ia dapat menduga dan menoleh kepada Siang In.
“Memang aku telah menceritakan riwayatmu kepada suamiku, Ci Sian.”
“Benar Nona. Aku sudah mendengar bahwa Nona adalah puteri dari Bu Seng Kin atau yang terkenal dengan sebutan Bu-taihiap itu. Aku sendiri belum pernah berjumpa dengan orangnya, namun namanya sudah terkenal lama di dunia kang-ouw. Nona, kami berdua sudah melihat bahwa Nona adalah orang yang patut menjadi sahabat baik atau bahkan keluarga kami sendiri. Oleh karena itu, kalau sekiranya Nona suka, aku ingin menurunkan semacam ilmu kepadamu yang akan menambah kepandaianmu dan memperhebat ilmu silatmu. Kami akan tinggal di sini selama beberapa bulan, dan kalau engkau mau, aku akan dapat mengajarkan ilmu itu kepadamu di sini.”
Siang In yang masih merangkulnya itu segera berkata, “Adikku, kesempatan baik sekali bagimu untuk memperdalam ilmumu! Percayalah, suamiku tidak pernah bicara main-main. Kau temanilah kami di sini mempelajari ilmu itu, karena bukankah engkau pun tidak mempunyai tujuan tertentu hendak ke mana? Kalau ilmumu sudah lebih sempurna, tentu akan lebih mudah bagimu untuk merantau dan.... mencari Suheng-mu.”
Ci Sian termenung sejenak. Ia tahu akan kelihaian pendekar ini dan sebagai seorang pendekar wanita muda, tentu saja ia pun masih haus akan ilmu-ilmu yang hebat. Dan ia pun merasa amat cocok dengan Siang In. Akhirnya ia menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Kian Bu dan berkata, “Terima kasih atas kebaikan Taihiap.”
Siang In cepat membangunkan Ci Sian dan suaminya berkata, “Ah, mengapa sekarang engkau yang bersikap sungkan, Nona? Aku hendak menurunkan ilmu yang paling diandalkan keluarga Pulau Es, yaitu gabungan Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa aku lalu menjadi gurumu atau melepas budi kepadamu! Aku hanya melihat bahwa engkau adalah orang yang pantas memiliki ilmu keluarga kami itu.”
Tiba-tiba terdengar suara banyak orang datang ke tempat itu dan dari jauh saja sudah nampak obor-obor yang mereka bawa. Kiranya mereka itu adalah para penghuni dusun yang dipimpin oleh kepala dusun. Tadinya, orang-orang itu ketakutan setengah mati mendengar suara pekik-pekik yang dahsyat dari ular raksasa. Akan tetapi setelah suara itu berhenti, mereka lalu bermunculan dari rumah masing-masing dan dengan pimpinan Kepala Dusun, akhirnya mereka memberanikan diri untuk menuju ke goa.
“Kalau Dewa Ular mau mengampuni kita, itu baik sekali,” kata Kepala Dusun itu kepada semua orang. “Akan tetapi kalau beliau marah dan hendak membasmi kita semua, dari pada mati konyol, lebih baik kita melawan sampai mati! Lebih baik mati sebagai manusia yang pandai membela diri dari pada mati sebagai tikus-tikus yang penakut!”
Ucapan penuh semangat ini, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kedatangan tiga ‘utusan dewa’ itu, membakar semangat para penghuni dusun dan akhirnya, mereka pun mengumpulkan senjata seadanya, membawa obor dan berbondong-bondong datang ke arah goa. Dari jauh mereka pun sudah melihat obor yang dipasang di sekitar goa.
Dengan jantung berdebar-debar, mereka terus melangkah maju dan akhirnya mereka semua berdiri terbelalak memandang ke depan goa, di mana berdiri tiga orang ‘utusan dewa’ itu dan di depan tiga orang itu menggeletak tubuh ular besar yang tak bergerak-gerak! Ketika mereka semua melihat ke arah kepala ular itu, tahulah mereka bahwa ular itu telah mati. Serentak mereka bersorak gembira dan mereka dipimpin oleh Kepala Dusun untuk menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah tiga orang ‘utusan dewa’ itu!
Kian Bu menghadapi mereka dan berkata, suaranya nyaring dan penuh wibawa, “Saudara sekalian, bangkitlah dan tidak perlu kalian terlalu memuja kami. Ketahuilah, kami sama sekali bukan utusan dewa. Kami adalah manusia-manusia biasa yang menentang kejahatan, juga yang selalu siap menolong mereka yang tertindas atau terancam. Kami datang untuk membasmi ular raksasa ini dan kami telah berhasil. Kami tidak minta balasan apa-apa, hanya kami ingin tinggal untuk beberapa bulan di tempat ini, harap Saudara sekalian tidak menaruh hati keberatan.”
Tentu saja Kepala Dusun dan para penghuni dusun itu sama sekali tidak keberatan, bahkan mereka merasa girang dan bangga sekali. Berkat bantuan Kepala Dusun dan para penghuni dusun itu, dibangunlah dua buah pondok kecil untuk suami isteri itu dan untuk Ci Sian dan mulai hari itu, tiga orang pendekar itu tinggal di tepi hutan, di dekat goa. Bangkai ular itu atas anjuran Kian Bu lalu dikuliti oleh para penghuni dusun, dagingnya dibagi-bagi dan dimasak. Kulit ular itu dijemur dan dijadikan semacam ‘lambang’ dusun itu, dipentang dan dipasang di dinding ruangan besar tempat tinggal Kepala Dusun, dan dengan resmi mereka menyebut dusun mereka itu sebagai dusun Naga Hijau!
Kian Bu, juga mencari daun-daun dan akar-akar obat sebagai campuran Jeng-liong-cu (Mustika Naga Hijau) itu, dimasak dan diminum oleh dia dan isterinya. Ramuan obat aneh ini setiap hari direbus dan airnya diminum oleh mereka dengan penuh harapan.
Sementara itu, mulailah Kian Bu menurunkan ilmu pusaka dari Pulau Es, yaitu ilmu gabungan dua tenaga sakti Hwi-yang Sinkang (Inti Api) Swat-im Sinkang (Inti Es). Ilmu ini adalah ilmu menghimpun tenaga dalam yang harus dilatih setiap hari oleh Ci Sian dengan cara bersemedhi. Kadang-kadang dara ini dilatih bersemedhi di dalam goa di mana dinyalakan api unggun besar sehingga udara di dalam goa itu pengap dan panas bukan main. Namun, berkat latihan dan petunjuk Kian Bu, Ci Sian mampu bertahan bertapa di dalam goa api ini sampai sehari penuh! Dan kadang-kadang dia diharuskan bersemedhi di puncak gunung di tengah malam yang amat dingin, bahkan duduk bersemedhi dengan merendam tubuhnya di dalam sumber air di hutan itu.
Karena memang Ci Sian berbakat baik dan juga amat, tekun, maka dengan cepat ia dapat menguasai sinkang itu, bahkan lewat beberapa pekan kemudian ia telah mulai latihan menyalurkan tenaga gabungan itu ke dalam gerak tangan, baik melalui pukulan tangan kosong atau pun melalui senjata suling emasnya.
Tiga bulan lewat dengan cepatnya. Selama itu, tiga orang pendekar ini dilayani oleh para penghuni dusun. Mereka bertiga tidak kekurangan bahan makanan, karena sedikitnya sepekan sekali Kepala Dusun dengan beberapa orang wakil penduduk tentu datang membawa bahan-bahan makanan hasil sawah ladang mereka.
Sementara itu, Ci Sian telah berhasil menguasai ilmu dari keluarga Pulau Es. Tentu saja penguasaan ilmu ini membuat ia menjadi semakin lihai, karena kini ilmu pedang yang dimainkan dengan sulingnya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya bersama Kam Hong, bertambah kehebatannya.
Tadinya, ilmu itu sudah hebat sekali. Selain memiliki gerakan yang amat aneh dan lihai, juga gerakan suling itu mengandung tenaga khikang yang sangat kuat, di samping ditambah lagi suara suling melengking yang juga dapat melumpuhkan lawan. Semua kehebatan Kim-siauw Kiam-sut itu kini ditambah lagi dengan penyaluran sinkang yang dapat diatur menurut kehendaknya, bisa dingin seperti es, bisa panas seperti api!
Pada pagi hari itu, setelah semalam suntuk berlatih semedhi dengan hasil yang baik sekali, Ci Sian pergi ke sumber air dan mencuci mukanya untuk mengusir kantuk yang mulai menyerangnya. Setelah mencuci muka dan mengeringkan mukanya, ia lalu duduk di tepi air kolam di tepi sumber di mana airnya tergenang penuh dan jernih sekali, juga air itu diam hanya bergerak sedikit sekali, seperti sebuah cermin ketika sinar matahari menyinarinya.
Ia pun lalu mengurai rambut, menyisiri rambutnya yang panjang hitam dan halus itu. Baru kemarin ia mencuci rambutnya itu dengan getah daun semacam daun lidah buaya dan rambut itu kini nampak halus mengkilap dan bersih, berbau sedap karena ketika digelungnya, ia menaruh kembang mawar hutan di rambutnya. Sambil bersisir, Ci Sian menjenguk ke dalam air, di mana ia melihat wajahnya terpantul dengan jelasnya. Seraut wajah yang segar dan cantik manis, berbentuk bulat seperti bulan purnama. Karena raut wajahnya itulah maka ia disebut Siauw Goat (Bulan Kecil) oleh kakeknya dahulu.
Teringat akan ini, terbayanglah semua pengalamannya dan teringatlah ia kembali pada Kam Hong, suheng-nya. Dara itu menarik napas panjang dan sekali lagi ia menjenguk dan memandang wajahnya. Ia menyeringai, lalu menjebirkan bibirnya kepada bayangan itu. Kemudian, melihat wajahnya yang lucu di dalam air, ia geli dan tersenyum sendiri. Dan betapa manisnya ketika ia tersenyum.
“Ci Sian, engkau lebih bahagia ketika masih menjadi Siauw Goat dahulu,” katanya lirih, seolah-olah bayangan di dalam air itu adalah orang lain yang dapat diajaknya bercakap-cakap. “Ketika itu, engkau hidup bahagia dan selalu gembira di samping kakek, dimanja dan dicinta semua orang. Tapi sekarang? Uhh, Suheng-mu yang paling kau sayang pun meninggalkanmu!” Tiba-tiba saja Ci Sian menangis!
Sampai sekarang pun dia masih belum dapat menentukan perasaan apakah yang mengganggu hatinya ini. Ia memang mencinta suheng-nya itu, akan tetapi apakah ini cinta kasih antara sumoi terhadap suheng, antara seorang dara yang haus akan kasih sayang ayah bunda sehingga suheng-nya itu dianggapnya sebagai pengganti ayah bundanya, kasih seorang murid terhadap gurunya, atau kasih sayang antara sahabat yang dikaguminya dan dipujanya, ataukah ini kasih sayang seorang wanita terhadap seorang pria? Ia tidak tahu!
Cinta kasih! Apakah itu sesungguhnya? Sudah sering kali pengarang mengajak para pembaca untuk merenungkan dan mempelajari kenyataan hidup yang amat mukjijat ini, dan tiada bosannya pengarang mengajak pembaca untuk merenungkannya kembali. Cinta kasih, apakah itu sesungguhnya? Betapa halusnya!
Setiap orang merasakan keadaannya, tapi sekali mencoba untuk mengukurnya dengan pikiran-pikiran, dengan kata-kata, maka kita kehabisan kata-kata untuk menyelaminya, kehabisan akal untuk dapat menguraikannya. Kita terbiasa untuk membagi-bagi cinta kasih, karena kehabisan akal itu, membagi-baginya dengan cinta kasih antara anak dan orang tua, antara sahabat, antara warga dan negaranya, antara suami dan isteri, pria dan wanita dan sebagainya.
Bahkan, saking bingungnya kita, saking dangkalnya pikiran ini untuk dipakai mengukur cinta kasih, timbullah kata-kata untung-untungan bahwa cinta kasih itu buta, cinta kasih itu sorga, cinta kasih itu sengsara, dan sebagainya! Akan tetapi, semua anggapan itu hanyalah menjadi pengetahuan mati berdasarkan pengalaman masing-masing orang. Kalau orang merasa sengsara karena cinta, maka dikutuknyalah cinta, dan kalau orang merasa bahagia, maka di pujanyalah.
Cinta kasih tidak pernah terpecah belah. Yang memecah belah adalah sang pikiran atau si aku yang selalu mengambil kesimpulan senang susah, untung rugi.
Cinta kasih tak mungkin dapat diuraikan, karena bukan merupakan sesuatu yang mati, sesuatu yang sudah pasti dan tidak berubah lagi, karena pikiranlah yang selalu berubah sesuai dengan keadaan diri pribadi. Dengan pikiran kita yang dangkal, pikiran yang bukan lain hanya merupakan barang lapuk dan mati, tumpukan hal-hal yang sudah lalu, pikiran yang tak mungkin dapat mengenal hal-hal yang baru, mana mungkin kita dapat menentukan apakah sesungguhnya cinta kasih itu? Ratusan, bahkan ribuan orang yang dinamakan kaum cerdik pandai boleh mengatakan bahwa cinta kasih adalah begini atau begitu, ini atau itu. Namun, sampai sekarang, cinta kasih masih saja merupakan hal yang tidak kita mengerti benar.
Cinta kasih tidak mungkin dapat disentuh melalui pikiran yang lapuk dan usang. Cinta kasih adalah sesuatu yang selalu baru, sesuatu yang terlalu agung untuk dapat diraba oleh panca indera dan pikiran. Oleh karena itu, agaknya hanya ada satu jalan untuk menyentuhnya, yaitu kita harus membebaskan diri dari pada yang lapuk-lapuk itu, kita membiarkan diri kosong dari pada segala pengetahuan tentang cinta kasih yang selalu didasari untung rugi si aku ini.
Kita membiarkan diri bersih dari pada segala yang BUKAN CINTA KASIH. Yang bukan cinta kasih itu tentu saja adalah pementingan diri sendiri, kemarahan, kebencian, permusuhan, iri hati, dan segala hal yang menimbulkan konflik antara kita dengan orang lain, bahkan antara kita dengan kita sendiri, dengan pikiran sendiri. Dalam keadaan kosong itu, kosong tanpa dibuat-buat, dalam keadaan bebas itu, dalam keadaan bersih itu, seperti kaca yang sudah bersih dari pada debu, mungkin saja sinar cinta kasih akan dapat menembus masuk! Dan kalau sinar cinta kasih sudah menembus masuk, kiranya tidak ada lagi persoalan, tidak ada lagi pemecah-belahan
.....
Komentar
Posting Komentar