SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-39
Ucapan ini jelas ditujukan kepada pihak Thio-thicu yang juga sudah naik ke atas panggung itu, dan Thio-thicu tentu saja hanya dapat menoleh kepada Suma Kian Bu dan menyerahkan jawabannya kepada pendekar ini. Suma Kian Bu bersikap tenang saja, dan mengangguk-angguk.
“Memang adil sekali, pemiliknya yang asli harus dapat menunjukkan bahwa kuda itu taat kepadanya, dan itu dapat menjadi bukti. Nah, untuk membuktikan hal itu, aku akan menyuruh kuda itu melemparkan siapa pun juga yang berani menungganginya!” kata pendekar itu dengan tenang.
“Baik, aku akan menungganginya!” Tiba-tiba Lui Shi sudah berseru dengan cepat dan wajahnya berseri-seri.
Di dalam hidupnya, selama ini Lui Shi tidak pernah terpisah dari kuda yang menjadi kegemarannya, juga memang keahliannya adalah menunggang kuda. Selain itu, dia merasa yakin bahwa ia telah benar-benar menguasai kuda hitam itu yang tentu takkan pernah mau membangkang terhadap perintahnya. Maka ia menerima tantangan ini. “Biarlah masing-masing pihak membuktikan bahwa ia pemilik sejati. Siapa yang mampu menungganginya selama terbakarnya sebatang hio maka dialah pemiliknya!”
“Itu sudah adil!” Siang In berseru pula.
Kepala daerah itu merasa gembira dan minta kepada para pembantunya membuat pengumuman di ujung panggung itu akan adanya pertunjukan yang cukup menarik ini, untuk membuktikan siapa pemilik asli dari kuda hitam itu. Seorang petugas dengan suaranya yang nyaring segera membuat pengumuman dan para penonton menjadi gembira sekali karena setelah perlombaan yang sangat menarik dan ramai itu, kini terdapat lagi sebuah pertunjukan yang akan cukup menegangkan.
Dan kembali ramailah orang saling bertaruh, yaitu bertaruh untuk siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Dan seperti juga tadi, kini banyak yang berani menjagoi Lui Shi, setelah mereka tadi melihat ketangkasan wanita ini dalam menunggangi kudanya. Mereka, para penonton ini, tidak peduli siapa sesungguhnya pemilik kuda hitam itu, maka mereka bertaruh untuk siapa yang akan menang dalam menundukkan kuda itu dan tetap dapat menungganginya selama terbakarnya sebatang hio.
“Biarlah aku yang akan menungganginya,” bisik Ci Sian kepada suami isteri itu.
Akan tetapi sekali ini Siang In menggeleng kepala. “Jangan Ci Sian. Aku sendiri pun tidak berani untuk melayaninya menunggang kuda. Satu-satunya yang akan dapat mengalahkannya hanyalah suamiku.”
Mendengar bisikan kembali dari Siang In ini, Ci Sian tidak banyak cakap karena dia percaya penuh kepada suami isteri ini. Apalagi karena memang kuda itu adalah milik mereka.
Apa yang diucapkan oleh Siang In memang tepat sekali. Mereka mempunyai dua ekor kuda, yang keduanya sama benar, sama-sama hitam dan merupakan sepasang kuda yang sukar dicari bandingnya dan merupakan binatang-binatang yang luar biasa. Yang jantan mereka sebut Twa-liong, sedangkan yang betina mereka sebut Siauw-liong (Naga Kecil), dan keduanya merupakan jenis kuda Hek-liong-ma (Kuda Naga Hitam) yang dahulu pernah dimonopoli oleh keluarga Kerajaan Mongol pada saat berkuasa di Tiongkok.
Di jaman itu, boleh dibilang Hek-liong-ma hanya dimiliki oleh keluarga Raja dan orang lain tidak diperbolehkan memilikinya. Kalau ada yang memilikinya tentu dirampas. Setelah Kerajaan Goan (Mongol) roboh dan hancur, diperkirakan orang bahwa keluarga Raja itu pun membasmi kuda-kuda Hek-liong-ma. Dan memang kenyataannya juga demikian, akan tetapi ternyata ada beberapa ekor kuda yang dapat lolos dan dua ekor kuda yang dimiliki oleh pendekar penghuni Pulau Es dan isterinya itu adalah keturunan dari kuda-kuda Hek-liong-ma yang lolos itu.
Twa-liong (Naga Besar) yang jantan menjadi tunggangan Siang In, sedangkan Siauw-liong menjadi tunggangan Suma Kian Bu. Oleh karena itulah, maka biar pun Siauw-liong juga tidak asing dengan Siang In, namun nyonya ini maklum bahwa kuda itu akan lebih akrab dan mudah mengenal bau badan orang lain. Pula, dengan membiarkan suaminya yang menunggangi kudanya itu, ia sendiri dapat berjaga-jaga untuk menolak pengaruh ilmu sihir atau ilmu hitam, kalau-kalau pihak lawan mempergunakannya untuk mencapai kemenangan.
“Untuk menentukan siapa yang lebih dulu harus mencoba menunggangi kuda itu, akan diadakan undian,” kata seorang petugas yang telah ditugaskan oleh pembesar Kepala Daerah untuk mengurus pertandingan ini dan Sang Petugas ini memang ahli dalam mengurus segala macam perlombaan atau pertandingan.
“Tidak adil!” kata Lui Shi. “Dialah yang menuduhku maling kuda dan dia yang mengakui kudaku ini sebagai kudanya, maka dia yang harus lebih dulu membuktikan kebenaran omongannya bahwa kuda ini akan taat kepadanya!”
Petugas itu hendak membantah karena peraturan perlombaan tidak peduli akan semua alasan. Yang penting, para peserta perlombaan harus mentaati peraturan dan berlaku bagi semua peserta, itu barulah adil namanya.
Akan tetapi Kian Bu segera berkata, “Baiklah, biar aku yang menunggangi kudaku itu lebih dulu!”
Karena pihak yang lain sudah setuju, maka petugas itu pun tidak banyak ribut lagi dan wajah Lui Shi berseri, walau pun wajah itu kini tidak dapat nampak manis lagi setelah bedak dan gincunya luntur dan bengkak-bengkak bekas tamparan Ci Sian tadi. Memang wanita ini amat cerdik.
Ia memang sudah yakin akan kemampuannya sendiri yang membuat ia percaya bahwa ia tidak mungkin dapat terjatuh dari punggung kuda hitam itu untuk selama terbakarnya sebatang hio (dupa) saja. Akan tetapi ia belum tahu sampai di mana kemahiran lawan menunggang kuda. Kalau lawan ini pun berhasil bertahan sampai selama itu, bukankah hal itu masih belum membuat ia keluar sebagai pemenang?
Oleh karena itu, ia mencari jalan untuk memaksa lawan lebih dulu menunggang kuda dan ia akan menggunakan semua kepandaiannya untuk membuat lawan ini tidak dapat bertahan sampai habisnya hio itu terbakar. Kalau lawan gagal, barulah ia dengan enak akan dapat memetik kemenangan itu! Sebaliknya, andai kata lawannya berhasil, ia pun dapat mempelajari rahasia apa yang dimilikinya atas kuda itu sehingga ia akan dapat menguasai rahasia itu pula! Memang ia seorang wanita cerdik! Setidaknya, ia sendiri menganggap dirinya amat cerdik.
Karena perlombaan balap kuda sudah selesai, maka kini para penontan tanpa dapat dicegah lagi telah mendesak maju mengerumuni panggung dan para pasukan penjaga hanya dapat mencegah mereka terlalu mendekat panggung dan memberi arena pertandingan menunggang kuda yang cukup luas di bawah panggung. Para pembesar sudah berpindah duduk, kini di tepi panggung itu agar dapat menyaksikan dengan jelas pertandingan kemahiran menunggang kuda yang akan berlangsung antara dua orang wakil dari Thio-thicu dan Bouw-thicu itu.
Biar pun persoalannya kini tidak ada sangkut-pautnya dengan kedua orang tuan tanah itu, melainkan lebih merupakan persoalan pribadi antara Lui Shi dan Suma Kian Bu, akan tetapi karena mereka berada di pihak dua orang tuan tanah itu, maka umum menganggap bahwa pertandingan ini merupakan kelanjutan dari pada balap kuda tadi.
Untuk memberi kesempatan kedua orang itu memperlihatkan bukti bahwa seorang di antara mereka adalah pemilik kuda yang sah, maka ketika yang seorang menunggang kuda, pihak lain diperbolehkan memberi aba-aba kepada kuda itu, akan tetapi harus dengan duduk di pinggiran dan tidak boleh mendekati kuda untuk mengganggunya dengan gerakan. Aba-aba saja sudah merupakan bukti cukup, kepada orang yang mana kuda itu akan lebih taat.
Seorang petugas yang ahli tentang kuda telah memeriksa kuda hitam itu dan tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, yang mengkhawatirkan dipasangkan kepada kuda itu. Ia memegangi kendali kuda dan mengelus kuda itu, menanti seorang rekannya membuat persiapan menyalakan sebatang dupa. Setelah dari atas panggung, pembesar kepala daerah yang bertindak sebagai juri itu memberi tanda dengan tangannya, maka petugas yang memegang dupa lalu menyalakannya dan Suma Kian Bu diberi tanda untuk mulai menunggang kuda yang diperebutkan itu.
Kian Bu menghampiri kuda hitam, merangkulnya dan berbisik lirlh, “Siauw-ma....!”
Kuda itu mendengus-dengus, kemudian seperti mengenal bau badan pendekar itu dan kegirangan, kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, membuat petugas yang memegang kendali kuda menjadi kewalahan dan terpaksa melepaskan kendali kuda. Kian Bu girang sekali dan karena petugas sudah memberi isyarat kepadanya untuk mulai menunggang, sedangkan hio sudah dinyalakan, dia pun lalu melompat dengan gerakan ringan sekali ke atas punggung Siauw-ma.
Tiba-tiba, dari tempat duduknya Lui Shi mengeluarkan suara aneh, teriakan parau seperti yang biasa dipergunakan oleh bangsa Tibet kalau membentak binatang yak mereka. Mendengar suara ini, Siauw-ma nampak terkejut dan mengangkat kedua kaki depannya, akan tetapi Kian Bu masih duduk dengan tenang di atas punggung kuda itu dan membisikkan suaranya memanggil nama kuda itu dan menepuk-nepuk lehernya.
Kuda itu tenang kembali walau pun matanya masih terbelalak. Suara Kian Bu telah dikenalnya benar, dan bukan hanya suaranya, juga bau badannya dan bahkan cara pendekar itu duduk di atas punggungnya telah dikenalnya kembali dan membuat kuda itu menjadi jinak dan taat. Dengan tenang Kian Bu menjalankan kudanya berputaran di depan panggung itu, namun dia tidak menjadi lengah dan diam-diam dia memperhatikan kepada lawannya, yaitu Lui Shi yang menjadi mulai penasaran karena kuda hitam itu tidak mau mentaati perintahnya.
Kembali ia mengeluarkan bentakan-bentakan aneh, yaitu perintah-perintah kepada kuda itu untuk melemparkan penunggangnya dari atas punggungnya. Perintah-perintah ini memang ada pengaruhnya terhadap Siauw-ma, bahkan sebuah perintah membuat kuda itu sempat bertekuk lutut kedua kaki ke depannya dan membuat kuda itu mendekam! Akan tetapi, Pendekar Siluman Kecil itu masih saja enak-enak duduk di atas punggung kuda, dan dengan suara halus Kian Bu memerintahkan kudanya bangkit kembali dan Siauw-ma juga menurut!
Bertubi-tubi Lui Shi membentakkan perintahnya dan mengeluarkan semua keahliannya untuk menjinakkan dan menaklukkan kuda itu, namun selalu kuda itu menjadi tenang kembali setelah mendengar suara Kian Bu. Sementara itu, dupa yang dinyalakan terus menyala dan sudah hampir habis, tanda bahwa sepuluh menit sudah hampir dilewati. Lui Shi menjadi semakin penasaran dan tiba-tiba saja ia mengeluarkan suara mendesis-desis seperti datangnya ratusan ekor ular!
Mendengar suara ini, Siauw-ma menjadi terkejut sekali, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan meringkik-ringkik, matanya liar terbelalak dan nampaknya ketakutan sekali. Akan tetapi kuda itu tetap tidak mampu membuat Kian Bu terlempar dari punggungnya. Pendekar itu lalu merangkul leher kuda, mendekatkan mulutnya ke telinga kuda itu dan berbisik-bisik serta membujuk-bujuk dengan lemah-lembut. Akhirnya, perlahan-lahan Siauw-ma menjadi tenang kembali dan menurunkan lagi kedua kaki ke depan, walau pun binatang itu masih nampak takut-takut dan tubuhnya masih gemetar.
Sementara itu, hio telah terbakar habis dan petugas memberi tanda. Kian Bu tersenyum dan di bawah tepuk sorak mereka yang menjagoi pihak Thio-thicu, dia pun meloncat turun dari atas kudanya.
Kini tibalah giliran Lui Shi untuk memperlihatkan kemahirannya berkuda, dan terutama untuk memperlihatkan sebagai bukti bahwa kuda itu akan taat kepadanya dan ia akan dapat bertahan di atas punggungnya selama terbakarnya sebatang hio. Dengan penuh keyakinan akan kemampuannya sendiri, wanita ini pun menghampiri kuda itu. Dengan lagak yang genit ia merangkul leher kuda lalu mencium muka kuda itu.
Akan tetapi ketika wanita itu meloncat ke atas punggung kuda, pandang mata yang tajam dari Kian Bu dan yang selalu waspada itu telah dapat melihat betapa wanita itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku baju dalamnya. Dia tidak tahu benda apakah itu, akan tetapi dapat menduga bahwa tentu wanita itu akan menggunakan kecurangan dan dia menduga bahwa benda itu tentu semacam alat atau obat untuk membuat Siauw-ma menjadi penurut dan seperti lumpuh sehingga akan kehilangan semangat dan mau saja diperlakukan apa pun oleh wanita itu. Inilah agaknya yang membuat kuda itu dahulu dengan mudah dapat dicurinya.
Memang dugaan Kian Bu itu benar. Lui Shi sudah melihat tadi betapa pria berambut panjang putih itu memiliki kepandaian hebat dan juga benar-benar memiliki pengaruh yang besar terhadap kuda hitam itu. Agaknya, dalam soal mempengaruhi kuda itu, ia akan kalah. Tadi pun ia tidak berhasil membuat kuda itu mengamuk dan menjatuhkan penunggangnya.
Biar pun ia percaya akan ketrampilannya sendiri dalam hal menunggang kuda, akan tetapi tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi melihat betapa kuda itu begitu taat kepada pemiliknya. Untuk mencegah terjadinya kemungkinan yang akan membuat ia kalah, maka ia telah mengeluarkan akar pembius kuda. Dengan akar ini, ia akan dapat menundukkan kuda hitam dan membuatnya terbius sehingga tidak memiliki semangat dan kemauan lagi.
Caranya, selain membiarkan kuda itu mencium akar itu, juga menotok beberapa jalan darah di belakang telinga dan menusukkan jarumnya di atas kepala di antara kedua matanya. Hal itu akan dapat dilakukannya dengan mudah saja, akan tetapi ia baru akan melakukan kalau benar-benar ia nanti tidak dapat lagi menguasai kuda itu dan terancam bahaya dipaksa turun dari punggungnya.
Tiba-tiba wanita itu terkejut bukan main. Ada suara di dekat telinganya, seolah-olah ada orang bicara di dekatnya, dekat sekali dengan telinganya sehingga biarpun suara itu seperti bisikan saja, namun terdengar jelas satu-satu.
“Kalau engkau pergunakan benda itu terhadap Siauw-ma, sebelumnya engkau akan roboh dan binasa!”
Lui Shi terkejut bukan main dan cepat menengok ke arah Suma Kian Bu. Pada saat itu ia melihat pendekar itu menggerakkan tangan kanannya dengan telunjuk menuding ke arahnya sambil terdengar pendekar itu berkata, “Jangan bermain curang!”
Bagi orang lain, agaknya pendekar itu hanya menuding dan memperingatkannya agar lawan tidak bermain curang. Akan tetapi bagi Lui Shi berbeda sekali akibatnya. Dia merasakan adanya sambaran tenaga yang amat kuat dari telunjuk pendekar itu dan mendadak saja ia merasakan dekat tenggorokannya tersentuh sesuatu! Maklumlah ia bahwa kalau pendekar itu menghendaki, dari jarak jauh pendekar itu akan mampu membunuhnya! Mukanya berubah pucat dan dengan cepat ia sudah mengantongi kembali benda akar yang tadinya hendak dipergunakan untuk membius kuda hitam! Dan ia melihat pendekar itu tersenyum!
Lui Shi menenangkan hatinya yang terguncang. Ia maklum bahwa dalam menghadapi pendekar ini, dia harus hati-hati sekali dan tidak boleh sembrono. Kalau dia nekat menggunakan akal curang, tentu pendekar itu akan turun tangan dan agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan diri. Tetapi ia masih percaya akan kemampuannya menunggang kuda. Jangankan kuda hitam itu yang sudah terbiasa dengannya, biar pun seekor kuda liar yang belum pernah dikenalnya sekali pun, tentu dia akan mampu menungganginya! Maka, dengan penuh kepercayaan akan kemampuannya sendiri, ia pun membalas senyuman itu, dengan senyum mengejek.
Dengan lagak yang genit Lui Shi menjalankan kudanya berputaran di depan panggung seperti yang dilakukan oleh Kian Bu tadi. Tiba-tiba terdengar suara Kian Bu, terdengar oleh semua orang, akan tetapi dengan khikang-nya, Kian Bu dapat membuat suaranya itu langsung terdengar oleh Siauw-ma dengan jelas sekali. Ketika kuda itu masih berada padanya, memang Kian Bu mengajarnya dengan aba-aba yang biasa saja sehingga kuda itu dapat mengenal baik suara dan maksud kata-kata Kian Bu, tentu saja kata-kata tertentu yang sudah biasa didengarnya ketika kuda itu dilatih.
“Siauw-ma, lemparkan penunggangmu dari punggungmu!”
Dan reaksi yang menjadi tanggapan kuda itu memang seketika. Binatang itu meringkik dan mula-mula ia mengangkat kedua kaki depan ke atas, kemudian berloncatan ke kanan kiri sambil menggoyang-goyang tubuhnya. Dan para penonton bersorak-sorak karena melihat pemandangan yang mendebarkan. Kuda itu membuat segala macam gerakan aneh dan kuat untuk melemparkan penunggangnya dari atas punggung.
Mula-mula Lui Shi berusaha menenangkan kuda itu dengan belaian-belaian tangan pada leher, dengan bisikan-bisikan, dengan bentakan-bentakan dan dengan tendangan-tendangan kakinya pada perut dan tubuh kuda. Akan tetapi, segera dia memperoleh kenyataan bahwa kuda itu sama sekali tidak mau mentaati semua perintah lawannya yang menyuruh binatang itu melemparkannya dari punggungnya.
“Setan hitam! Bagaimana pun engkau tidak akan mungkin dapat melemparkan aku!” Akhirnya ia berseru marah dan menempel di punggung kudanya seperti seekor lintah menempel di perut kerbau!
Kuda itu berjingkrak-jingkrak, menggoyang-goyang tubuhnya dan berusaha menggigit ke arah penunggangnya. Namun dengan kemahirannya yang mengagumkan, Lui Shi tetap dapat bertahan terus. Tubuh wanita itu terguncang-guncang, miring ke kanan kiri, depan belakang, namun ia tetap dapat bertahan di atas punggung Siauw-ma.
Diam-diam Suma Kian Bu, Teng Siang In dan Ci Sian harus mengakui bahwa memang wanita itu memiliki kemahiran menunggang kuda yang hebat! Sukar dicari orang lain yang akan mampu bertahan setelah kuda hitam itu membuat usaha mati-matian seperti itu, untuk melemparkan penunggangnya! Dan dupa itu pun terbakar perlahan-lahan, mendekat gagangnya. Sebentar lagi akan habis, namun Lui Shi tetap dapat bertahan di atas punggung Siauw-ma. Melihat ini, Pendekar Siluman Kecil mengangguk-angguk.
“Keras kepala!” gumamnya dan tiba-tiba terdengar lagi suaranya yang sangat nyaring. “Siauw-ma, bergulinglah engkau!”
Lui Shi terkejut sekali. Tak disangkanya pendekar itu pernah mengajarkan Siauw-ma untuk bergulingan! Maka ketika kuda itu menjatuhkan diri, ia berusaha menahannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun ia tidak dapat menahan dan ketika kuda itu akhirnya rebah miring dan hendak bergulingan, tentu saja Lui Shi tidak mau tubuhnya terhimpit oleh badan kuda itu. Akan remuk-remuk tulangnya kalau terjadi hal itu! Maka ia pun meloncat ke atas tanah sebelum kuda itu bergulingan dan dengan demikian ia pun kalah! Dupa itu belum habis terbakar dan ia sudah turun dari atas punggung kuda!
Sorak-sorak dan tepuk tangan yang riuh menyambut kemenangan pihak Thio-thicu ini dan wajah Bouw-thicu menjadi merah sekali. Habislah sudah dia! Balapan kuda kalah, dan untuk itu dia telah kalah taruhan yang amat banyak, lebih dari setengah hartanya. Dan sekarang, dalam lomba ketangkasan kuda yang sekaligus juga menentukan siapa pemilik kuda dan siapa pencurinya, dia pun kalah. Hal ini berarti bahwa namanya akan tercemar sebagai orang yang memelihara pencuri kuda! Kekecewaan demi kekecewaan membuat dia menjadi marah sekali dan diam-diam dia telah mempersiapkan para tukang pukulnya yang berkepandaian tinggi.
“Orang asing ini mempergunakan ilmu siluman! Dia orang asing yang datang untuk mengacau di Sinkang. Bunuh dia!” teriaknya.
Dan lebih dari dua puluh orang tukang pukulnya dengan senjata di tangan sudah menerjang kepada Suma Kian Bu! Akan tetapi pada saat itu, Ci Sian dan Teng Siang In sudah berloncatan, demikian pula Suma Kian Bu sendiri sudah menyambut serangan orang-orang itu dengan tangkas sekali. Semua penonton yang tadinya menjadi panik dan ketakutan, kini berdiri melongo dan kagum sekali melihat betapa pendekar dan dua orang wanita cantik itu dengan mudahnya merobohkan semua pengeroyok!
Bagaikan tiga ekor naga sakti mengamuk, mereka itu bergerak ke sana-sini di antara kilatan senjata para pengeroyok dan ke mana pun tiga orang ini bergerak menyambar, tentu ada seorang pengeroyok yang roboh! Dalam waktu singkat saja, lebih dari dua puluh orang itu roboh semua. Lui Shi yang tadinya juga ikut mengeroyok, hendak melarikan diri, demikian pun Bouw-thicu. Akan tetapi Siang In sudah meloncat dengan cepat menghadang Lui Shi.
“Engkau ini hanya tikus busuk, bisanya hanya merayap lari, sekarang hendak merayap ke manakah?”
Terjadilah keanehan yang luar biasa. Lui Shi sejenak terbelalak, kemudian.... wanita ini pun kemudian menurunkan kedua lengannya dan.... merangkak-rangkak dan hendak melarikan diri dengan merangkak seperti seekor tikus besar! Tentu saja semua orang terheran-heran melihat ini, bahkan ada yang tertawa geli.
Di lain saat, Siang In yang tadinya menguasai wanita itu dengan kekuatan sihir, sudah menotok pundaknya, membuat Lui Shi roboh dan tak mampu bergerak lagi. Sementara itu, Bouw-thicu juga dihadang oleh Suma Kian Bu. Tuan tanah yang tinggi besar itu ternyata bukanlah orang lemah. Melihat bahwa segala usahanya gagal, dia menjadi nekat. Sambil berteriak memberi aba-aba kepada semua orangnya untuk menyerang, dia sudah menyerang Kian Bu. Akan tetapi, sekali tangkis dan sekali totok saja, Kian Bu membuatnya terjungkal dan ketika anak buah tuan tanah ini hendak bergerak maju, tiba-tiba pasukan pemerintah sudah bergerak dan mengepung mereka.
Pembesar kepala daerah yang sudah berdiri di tepi panggung lalu berkata dengan suara nyaring, dan karena keadaan amat menegangkan sedangkan baru sekarang Kepala Daerah mengeluarkan suara, maka suaranya terdengar dengan jelas dan menjadi perhatian semua orang.
“Perhatian para tamu dan penonton! Suami-isteri pendekar yang memiliki kuda hitam ini adalah adik kandung dari Panglima Puteri Milana! Sudah terbukti bahwa Thio-thicu memenangkan perlombaan balapan kuda, dan bahkan kuda hitam yang dikeluarkan Bouw-thicu ternyata adalah milik Suma-taihiap ini! Bouw-thicu sudah sengaja membuat keributan dan dia akan diadili. Kalau ada yang berani berbuat keributan, mereka akan dianggap pemberontak dan akan ditumpas!”
Tentu saja semua orang terkejut sekali mendengar pengumuman pembesar ini. Bahkan Thio-thicu sendiri menjadi terkejut. Tak pernah disangkanya bahwa tamunya itu adalah adik kandung Panglima Puteri Milana yang amat terkenal itu. Siang In dan Ci Sian sendiri juga terkejut dan mengertilah mereka bahwa semalam, ketika mereka pergi menyelidiki keadaan Bouw-thicu, diam-diam pendekar itu telah pergi menghubungi pembesar Kepala Daerah dan menceritakan segala hal tentang dirinya dan tentang Bouw-thicu.
Bouw-thicu dan Lui Shi ditangkap, demikian pula para pengawal Bouw-thicu yang tadi membikin ribut dengan menyerang Kian Bu dan akhirnya semua roboh oleh Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian. Setelah pembesar Kepala Daerah membagi-bagi semua hadiah kejuaraan, pertemuan itu dibubarkan dan semua penonton pulang ke rumah masing-masing dengan hati puas karena banyak hai yang dapat mereka saling bicarakan dan ceritakan kepada orang lain, yang telah terjadi di padang rumput tempat perlombaan itu.
Malam hari itu, Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian diundang dan dijamu makan oleh Pembesar Kepala Daerah! Dalam pesta ini diundang pula Thio-thicu dan semua tuan tanah yang telah ikut perlombaan. Memang Pembesar Kepala Daerah Sin-kiang itu cukup cerdik.
Setelah malam tadi Kian Bu menjumpainya dan memperkenalkan diri, diam-diam dia terkejut sekali dan khawatir kalau-kalau pendekar ini adalah utusan dari kerajaan untuk menyelidiki hasil pekerjaan atau tugasnya di Sin-kiang. Oleh karena itulah maka dia siang tadi bersikap keras terhadap Bouw-thicu, sungguh pun tuan tanah ini merupakan seorang di antara para sahabatnya, bahkan yang paling royal terhadap dirinya.
Dan pada malam hari ini, selain mengundang pendekar itu dan keluarganya sebagai penghormatan, juga sekalian memanggil atau mengundang semua tuan tanah karena kesempatan ini hendak dipergunakan untuk dua hal. Pertama, agar pendekar itu, kalau benar utusan pemerintah pusat, dapat melihat betapa para tuan tanah sudah dapat dipersatukannya, dan kedua, kehadiran pendekar itu hendak dipergunakannya untuk mempengaruhi para tuan tanah agar mereka tidak lagi menimbulkan keributan satu sama lain.
Pesta itu berlangsung meriah dan dalam kesempatan ini Suma Kian Bu juga mencari keterangan tentang berita angin adanya ular naga hijau di daerah itu.
Mendengar pertanyaan pendekar ini, Sang Kepala Daerah terbelalak dan berkata, “Ah, memang ada ular raksasa itu, Suma-taihiap! Bukan hanya dongeng dan berita bohong belaka. Bahkan kami sendiri pernah mengirim pasukan untuk membasminya, akan tetapi sebaliknya kami malah kehilangan belasan orang yang tewas oleh amukan ular naga itu!”
Suma Kian Bu, Teng Siang In dan Ci Sian tertarik sekali. Apalagi suami isteri itu yang memiliki kepentingan pribadi dengan ular naga itu.
“Bagaimana ceritanya Taijin?” tanya Kian Bu.
“Dua tahun yang lalu, ketika baru-baru kami dipindahkan ke sini, kami mendengar akan adanya ular naga hijau yang sering kali makan manusia. Mula-mula kami tidak percaya akan adanya berita itu dan hanya mengira bahwa yang dikabarkan itu tentulah seekor ular besar biasa saja dan sangat boleh jadi kalau ada ular besar makan manusia yang kebetulan lewat di dekatnya. Tetapi karena semakin banyak orang yang mengabarkan akan hal itu, sebagai seorang pembesar baru kami kemudian mengirim pasukan untuk menyelidiki dan kalau memang benar, membasmi ular itu. Dan akibatnya, belasan orang anggota pasukan kami tewas dalam keadaan mengerikan.” Pembesar itu berhenti sebentar dan menarik napas panjang.
“Apakah yang terjadi dengan mereka, Taijin?” tanya Siang In, tertarik sekali.
Ia dan suaminya telah datang dari tempat yang demikian jauh ke Sin-kiang ini. Selain merantau juga terutama sekali tertarik oleh cerita atau dongeng tentang naga hijau itu, dan kini mendengar keterangan yang demikian jelas dari pembesar kepala daerah, tentu saja ia merasa amat tertarik. Kiranya dongeng itu memang ada sungguh-sungguh!
Kembali pembesar itu menarik napas panjang dan untuk menenteramkan hatinya, dia minum arak dari cawannya. “Mengerikan sekali dan sampai sekarang kami tidak lagi berani mengirim pasukan, hanya menganjurkan agar orang-orang di daerah itu jangan sekali-kali berani melewati daerah hutan itu, agar mengambil jalan memutar saja karena ular naga itu benar-benar amat berbahaya dan agaknya memang siluman yang bertapa. Bayangkan saja, semua jenis senjata tajam dari pasukan kami tidak ada yang dapat melukainya sedikit pun juga! Dan semburan dari mulutnya, bahkan suaranya saja cukup membuat banyak prajurit kami pingsan! Dan yang lebih mengerikan, ular itu setiap kali memperoleh korban manusia, yang dimakan hanya kepalanya saja. Jadi belasan orang prajurit kami itu tewas dengan kepala lenyap dan badan masih utuh!”
Semua orang, juga para tuan tanah yang mendengar cerita ini bergidik. Mereka memang sudah mendengar akan semua hal itu, dan sudah lama tidak ada orang berani bercerita tentang ular naga itu, karena didesas-desuskan bahwa kalau disebut-sebut, maka malamnya siluman ular itu akan datang dan mencelakakan orang yang menyebut namanya.
Diam-diam Suma Kian Bu dan isterinya girang sekali mendengar bahwa dongeng tentang ular naga itu ternyata benar-benar terjadi dan ular naga itu memang benar ada! “Taijin, kami ingin sekali melihat ular naga hijau itu dan kalau perlu kami akan mencoba untuk menundukkannya agar ia tidak lagi mengganggu rakyat. Bagaimana kami dapat menemukannya?”
Semua orang merasa tegang dan juga gembira mendengar bahwa pendekar yang masih adik kandung Panglima Puteri Milana yang terkenal itu hendak membasmi ular naga siluman itu.
“Ular naga itu tempatnya di daerah Pegunungan Kun-lun-san, di bagian selatan yang jarang dilalui orang, sudah termasuk wilayah Tibet. Dan jalan menuju ke sana bukan mudah, dan kiranya, tanpa penunjuk jalan akan sukarlah bagi Taihiap untuk dapat menemukannya. Akan tetapi, siapakah yang akan berani menjadi penunjuk jalan?” kata pembesar itu.
“Tidak perlu penunjuk jalan, Taijin. Asal kami mendapatkan gambaran dan peta yang jelas menuju ke tempat itu, kami akan dapat mencarinya sendiri,” jawab Kian Bu penuh semangat.
“Itu mudah diatur. Komandan pasukan dua tahun yang lalu itu masih ada dan dia tentu dapat membuatkan gambaran dan peta menuju ke tempat itu. Ya, dialah satu-satunya orang yang akan dapat membuatkan peta itu untukmu.”
Dan memang demikianlah. Setelah komandan pasukan itu ditemui, komandan tua ini dapat bercerita banyak dan juga dapat membuatkan peta yang cukup jelas menuju ke tempat yang baginya sangat mengerikan itu. Kian Bu membuat gambar dan catatan-catatan, sementara itu Siang In terus mendengarkan penuh harapan dan Ci Sian juga mendengarkan penuh perhatian karena hatinya merasa amat tertarik.
Setelah mereka bertiga berada di ruangan istirahat, Ci Sian berkata kepada Siang In, “Enci In, biarlah aku ikut dengan kalian dan membantu kalian menaklukkan ular naga hijau itu!”
Suami isteri pendekar itu memandang kepadanya dan nampak kaget. “Tapi, Nona.... perjalanan ini berbahaya sekali....,” kata Suma Kian Bu sambil mengerutkan alisnya.
“Benar, Adik Sian. Engkau sudah mendengar sendiri betapa dahsyat dan berbahayanya ular itu. Sungguh kami akan merasa menyesal bukan main kalau sampai terjadi apa-apa denganmu....,” sambung Siang In.
Ci Sian mengerutkan alisnya dan memandang kepada suami isteri itu bergantian. Kemudian ia berkata, suaranya tegas, “Harap Taihiap dan Enci menenangkan hati. Aku hendak pergi ikut atas kehendakku sendiri dan bukan karena bujukan kalian, jadi kalau terjadi apa-apa denganku, tidak akan ada seorang pun di dunia ini yang akan menyalahkan kalian. Setelah melakukan perjalanan seorang diri dan bertemu dengan kalian, dan setelah apa yang kita alami bersama di sini, bagaimana mungkin aku meninggalkan kalian begitu saja? Akan tetapi, kalau kalian tidak menghendaki aku ikut, kalau aku hanya merupakan gangguan bagi kalian berdua, biarlah aku pergi sendiri mencari ular itu, untuk mencoba menandinginya. Siapa tahu aku dapat melenyapkan suatu bahaya bagi rakyat....”
Mendengar ini dan melihat sikap Ci Sian yang mukanya merah seperti mau menangis itu, Siang In lalu merangkulnya. Ia tahu akan isi hati dara yang keras wataknya ini. Ia tahu bahwa Ci Sian merasa amat cocok dengan ia dan suaminya, maka dara itu masih ingin bekerja sama dengan mereka dan agaknya merasa enggan berpisah. Apalagi karena dara itu sedang kesepian dan menderita batinnya ditinggalkan suheng-nya.
“Adikku yang baik, sama sekali bukan karena kami menolakmu. Kami sendiri pun sangat suka bersamamu akan tetapi.... engkau tahu bahwa kami pergi mencari ular itu untuk kepentingan kami pribadi.... jadi, kalau sampai.... terjadi apa-apa denganmu....”
Ci Sian balas merangkul. “Enci Siang In, kau kira aku ini orang macam apa? Setelah lama mempelajari ilmu, apakah aku terlalu menyayangi nyawa? Mati dan hidup bukan urusan manusia, kenapa takut kalau sudah berani hidup? Aku ingin membantu kalian.... aku.... aku kesepian....”
“Baiklah, dan tentu saja, dengan bantuanmu, kami merasa lebih yakin akan dapat menaklukkan ular naga hijau itu!”
Ci Sian merasa girang sekali dan Suma Kian Bu hanya menarik napas panjang saja dan tidak membantah lagi. Dia mengerti bahwa antara dua orang wanita itu tentu ada ikatan yang lebih mendalam, dan kalau dia berkeras menolak, bukan hanya dara itu yang akan merasa sedih dan kecewa, akan tetapi juga dia akan menyinggung hati isterinya.
Pada keesokan harinya, berangkatlah tiga orang itu meninggalkan rumah Thio-thicu. Siang In menunggang Hek-liong-ma sedangkan Kian Bu menunggang seekor kuda yang baik pula, pemberian Thio-thicu. Biar pun Siang In menyuruh Ci Sian agar tetap menunggangi Hek-liong-ma, dara ini menolak dengan halus dan mengatakan bahwa kuda itu adalah milik suami isteri pendekar ini dan jika ia menunggangi, ia akan merasa seperti menunggang sesuatu yang bukan haknya.
Dengan diantar oleh Thio-thicu dan para anak buahnya sampai keluar perkampungan mereka, ketiga orang pendekar ini meninggalkan tempat itu dengan hati puas karena mereka telah melakukan sesuatu yang sangat berguna untuk kesejahteraan rakyat setempat. Mereka percaya bahwa selanjutnya, para thicu itu tidak lagi akan menurutkan hati dendam untuk saling gempur.
Ular hijau yang amat besar itu dikabarkan orang yang suka tahyul sebagai seekor ular siluman yang sudah bertapa ratusan tahun. Sudah lajim terjadi di antara manusia di dunia ini yang suka sekali akan hal yang aneh-aneh dan menambah sesuatu yang mereka tidak mengerti menjadi semakin aneh dengan dugaan-dugaan dan reka-rekaan mereka sendiri yang kemudian menjadi semacam tahyul.
Menurut dongeng atau berita angin itu, ular yang sangat besar itu kabarnya memiliki mustika di dalam kepalanya yang kalau malam gelap mencorong. Bahkan ada orang berani bersumpah mengatakan bahwa pada suatu malam dia melihat ular itu terbang ke angkasa dan dari mulutnya keluar mustika yang bernyala-nyala. Tentu saja cerita orang ini mirip dengan dongeng tentang naga yang beterbangan di angkasa, seperti yang dimainkan orang pada hari-hari pesta, yaitu naga dengan mustikanya.
Tentu saja semua itu hanyalah khayalan orang-orang yang dihantui oleh rasa takut yang amat sangat. Ular itu memang ada, dan memang merupakan seekor ular yang amat besar. Jarang ada orang dapat menjumpai ular sebesar itu. Perutnya melebihi besarnya paha manusia yang gemuk sekali pun, dan kalau binatang itu sudah menelan korban perutnya menggembung sebesar tubuh korban yang ditelannya. Panjangnya tidak lebih dari lima belas meter!
Ular ini kulitnya kehijauan dan saking tuanya, kulitnya itu gelap menghitam dan amat keras. Entah sudah berapa kali ular ini berganti kulit. Ular ini semenjak lama sekali, entah berapa tahun atau belas atau berapa ratus tahun tak seorang pun tahu, berdiam dari pohon besar ke pohon besar lainnya dalam sebuah hutan lebat di Pegunungan Kun-lun-san. Dan setiap kali berdiam di sebatang pohon besar, binatang ini seperti bertapa bertahun-tahun lamanya.
Akan tetapi ada sesuatu keanehan pada binatang yang sudah amat tua ini. Kalau ada binatang lain seperti kijang, kelinci atau bahkan harimau sekali pun, dan kebetulan perutnya lapar, tentu dia langsung menyambar binatang itu dari atas pohon. Dengan melibatkan ekornya pada cabang besar di atas, kepalanya bergantung di bawah, ular yang amat besar itu menyambar korbannya yang sama sekali tidak menduga karena tidak mendengar sesuatu dan tidak dapat mencium bau ular yang berada di atasnya itu.
Ada kalanya, kalau yang disambarnya itu binatang besar lain seperti harimau dan lain-lain yang lebih buas, maka korban itu tentu saja melakukan perlawanan. Dan kalau sudah begini, ular itu akan melepaskan ekornya yang melilit cabang sehingga tubuhnya meluncur ke bawah, lalu ekornya melilit tubuh korbannya, melilit dengan tenaga raksasa dan binatang yang betapa kuatnya akan patah-patah tulangnya kalau dililit oleh ekor dan tubuh ular yang amat kuat ini.
Biasanya, perlawanan para korban itu tidak akan berjalan lama karena selain memiliki tenaga lilitan yang amat kuat, juga ular itu dapat menyemburkan uap yang membius dan beracun, juga gigitannya amat kuat dengan taring yang mengerikan dan mengandung racun pula. Keanehan ular itu adalah, kalau korbannya binatang lain, maka setelah melilitnya dan membuat tulang-tulang tubuh korban itu patah-patah lalu korban itu ditelannya dan tubuh yang tulangnya sudah patah-patah itu menjadi lemas dan dapat melalui kerongkongannya yang tidak begitu besar.
Akan tetapi, kalau korbannya manusia, maka ia hanya mencaplok kepala orang itu saja, menggigit putus lehernya dan menelan kepalanya, sedangkan badan para korban manusia itu dibiarkannya membusuk begitu saja! Dengan adanya tulang-tulang manusia tanpa kepala di bawah pohon-pohon besar yang pernah dijadikan tempatnya bertapa, maka dapat diketahui bahwa banyak sudah manusia-manusia yang menjadi korban ular ini.
Jangan dikira bahwa hanya pasukan yang dikirim Pembesar Kepala Daerah Sin-kiang itu saja yang merupakan manusia-manusia yang menjadi korbannya. Banyak sudah manusia yang kepalanya telah masuk ke dalam perut ular ini. Para pemburu yang belum tahu akan adanya ular ini, juga orang-orang yang tidak tahu dan kebetulan lewat di hutan itu. Selain mereka ini yang tidak tahu akan adanya ular itu dan menjadi setan penasaran, banyak pula seperti para anggota pasukan itu yang tewas ketika sengaja datang untuk melawan ular itu. Mereka ini adalah para pendekar yang sengaja datang di tempat itu untuk membasmi ular ini, akan tetapi akhirnya bahkan mereka sendiri yang tewas dalam keadaan mengerikan, yaitu kepala mereka lenyap ke dalam perut ular dan tubuh mereka membusuk sampai tinggal rangkanya saja di bawah pohon tanpa ada yang berani mengurusnya.
Bahkan ada beberapa orang pertapa di Kun-lun-san, ada pula beberapa orang pendekar Kun-lun-pai sendiri yang pernah mencoba untuk menaklukkan ular itu, namun akibatnya payah, ada yang tewas, ada pula yang luka-luka dan masih untung bagi mereka yang dapat menyelamatkan dirinya dan hanya menderita luka-luka yang cukup parah.
Semenjak kegagalan para pendekar Kun-lun-pai, maka Ketua Kun-lun-pai lalu membuat pengumuman kepada rekan-rekan di dunia kang-ouw agar jangan mengganggu ular itu yang dianggap sebagai ular keramat tak terkalahkan, bahkan ada yang menyebutnya siluman ular yang bertapa. Sebetulnya bukan karena ular itu sakti, ular dewa, atau ular siluman, ular itu memang kuat sekali dan hal ini tidaklah mengherankan. Sedangkan ular sebesar lengan saja sudah amat kuat, apalagi sebesar dan sepanjang itu!
Dan harus diingat bahwa ular ini sudah tua sekali, kulitnya demikian kerasnya sehingga kebal terhadap senjata tajam, melebihi kerasnya kulit buaya tua. Dan karena kulit ular itu merupakan sisik yang bertumpuk, maka sukar ditembusi senjata tajam. Orang-orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi itu sudah berusaha membunuhnya, namun tidak ada senjata yang mampu menembus kulitnya dan hal inilah yang membuat ular itu sukar dikalahkan. Selain itu, ternyata ular ini mempunyai racun sehingga dapat mengeluarkan hawa beracun melalui semburan dan juga gigitannya mengandung racun yang amat kuat.
Perjalanan menuju ke hutan di mana ular hijau itu berada merupakan sebuah perjalanan yang tidak mudah. Apalagi karena hutan yang dimaksudkan itu berada di dekat puncak, yang kini terkenal dengan nama Puncak Naga Hijau, sebuah di antara puncak-puncak yang tinggi dari Pegunungan Kun-lun-san yang terkenal itu. Mereka bertiga melakukan perjalanan berpekan-pekan, dan akhirnya mereka tiba di dusun terakhir yang berada di lereng bawah puncak.
Dari dusun itu ke atas, selain tidak ada dusun lagi karena orang-orang tidak berani tinggal terlalu dekat dengan hutan itu, perjalanan amatlah sukarnya melalui jalan setapak yang kadang-kadang harus melalui jurang dan bergantungan pada akar-akar pohon dan batu-batu, maka terpaksa tiga ekor kuda itu mereka titipkan pada kepala dusun.
Dusun itu kecil dan sederhana sekali, jauh dari pada tempat ramai, bahkan jauh dari peradaban kota sehingga kepala daerahnya pun merupakan orang yang diangkat oleh kelompok dusun itu sendiri, bukan merupakan seorang pejabat pemerintah. Dan dusun itu hanya dihuni oleh beberapa puluh keluarga yang miskin, yang hidup dengan jalan bertani dan berburu. Tentu saja kedatangan tiga orang yang berpakaian indah menurut mereka itu, merupakan hal yang luar biasa sehingga tiga orang pendekar ini disambut dengan gembira.
Kepala Dusun itu merupakan satu-satunya orang yang sudah pernah hidup di kota dan lebih beradab dibandingkan dengan yang lain-lainnya, dan Kepala Dusun inilah yang menyambut Kian Bu dan dua orang wanita itu.
“Sungguh luar biasa sekali kami dapat menerima kunjungan Sam-wi,” katanya setelah mempersilakan mereka duduk di atas bangku-bangku kayu yang kasar buatannya, di ruangan depan yang terbuka dan keadaannya miskin sekali di mana para penduduk dusun itu berkerumun dan mendengarkan percakapan mereka. “Bertahun-tahun sudah tidak ada orang asing yang datang ke dusun ini. Sam-wi hendak pergi ke manakah maka sampai di tempat terpencil ini?”
Suma Kian Bu maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang dusun yang jauh dari dunia ramai, dan biasanya, orang-orang di dalam dusun yang terpencil seperti ini jauh pula dari kebiasaan orang-orang kota yang suka berpalsu-palsu, dan biasanya orang-orang seperti ini adalah terbuka dan polos, jujur. Oleh karena itu, dia pun tidak merasa perlu untuk menyembunyikan maksud kunjungannya.
“Lopek, kami jauh-jauh datang dengan hanya satu tujuan, yaitu menuju ke Puncak Naga Hijau itu. Karena perjalanan ke atas puncak menurut keterangan yang kami peroleh amat sukar dan tak bisa dilakukan dengan berkuda, maka kami bermaksud untuk selain beristirahat sehari di sini melewatkan malam, juga untuk menitipkan tiga ekor kuda kami di sini.”
Para penduduk dusun itu, yang mendengarkan kata terjemahan dari seorang laki-laki tua yang mengerti bahasa Han, satu-satunya orang yang tahu bahasa itu di samping kepala dusun, yang tadinya berisik, tiba-tiba berhenti bicara dan semua mata kemudian memandang kepada Suma Kian Bu dengan terbelalak dan wajah mereka berubah, kini penuh ketegangan!
Kepala Dusun itu sendiri pun mengerutkan alisnya dan pandang matanya kepada Kian Bu kehilangan keramahannya, namun mulutnya masih bicara dengan ramah, “Tentu saja Sam-wi boleh menitipkan tiga ekor kuda itu di sini dan kami akan merawatnya dengan baik. Tetapi belum pernah ada orang naik ke puncak itu. Apakah keperluan Sam-wi hendak mendaki puncak?”
“Kami bertiga bermaksud untuk mencari ular naga hijau dan membasminya,” kata Suma Kian Bu dengan terus terang karena dia merasa yakin bahwa penduduk dusun ini, yang berada di lereng puncak di mana terdapat hutan tempat tinggal ular itu, tentu sudah tahu akan ular besar itu.
Akan tetapi, akibatnya sungguh membuat tiga orang pendekar itu terkejut bukan main. Kepala Dusun itu mengeluarkan teriakan panjang, wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak dan terdengar bentakan-bentakan keras ketika semua penduduk dusun yang mendengarkan terjemahan ucapan Suma Kian Bu itu serentak bangkit dan maju dengan senjata perburuan mereka siap di tangan, jelas hendak mengeroyok Suma Kian Bu dan dua orang wanita pendekar itu!
Dengan mengeluarkan teriakan-teriakan aneh, puluhan orang yang memenuhi tempat itu serentak maju menerjang. Melihat ini, Suma Kian Bu, Siang In dan Ci Sian terkejut sekali dan tentu saja mereka pun cepat meloncat dari bangku mereka.
“Jangan lukai orang!” Kian Bu berseru cepat kepada isterinya dan dara itu, karena dia menduga bahwa tentu ada kesalah pahaman dalam hal ini.
Tiga orang pendekar ini menghadapi para penyerang dengan tangan kosong saja, akan tetapi para penyerang yang terdepan segera berteriak-teriak kaget, senjata mereka terampas dan tubuh mereka sendiri terlempar ke belakang menimpa teman-temannya yang berada di belakang. Suma Kian Bu sendiri sudah menangkap lengan tangan kepala dusun itu, menjatuhkan golok yang dipegangnya, kemudian menekuk lengan kepala kampung itu ke belakang dan cepat dia berseru dengan suara nyaring sekali, menggetarkan seluruh tempat itu karena dia mengerahkan khikang-nya.
“Tahan semua, atau pemimpin kalian akan mati!”
Meski ucapannya tidak diterjemahkan, namun mudah saja menangkap artinya, apalagi melihat betapa lengan Kepala Dusun itu sudah ditekuk ke belakang sehingga dia tidak berdaya!
“Hayo, ceritakan, apa artinya semua ini?!” bentak Suma Kian Bu kepada Kepala Dusun itu. “Mengapa engkau dan orangmu mendadak mengeroyok kami?”
Kepala Dusun itu menyeringai kesakitan, akan tetapi dengan suara tegas dia berkata, “Kau bunuhlah aku, kau bunuhlah kami, karena kalau tidak kau bunuh sekali pun, kami semua akan mati! Dan lebih baik mati di tanganmu, seorang manusia, dari pada mati di tangannya....“
Kian Bu makin heran. “Sungguh aneh, apa sih maksudmu, Lopek? Harap kau menyuruh teman-teman mundur dulu dan jelaskan pada kami kenapa kalian tiba-tiba mengeroyok kami, dan mengapa pula engkau begini putus asa dan minta mati. Kesalahan apakah yang telah kami lakukan?”
Dengan wajahnya yang masih bersungut-sungut, setelah dilepaskan oleh Kian Bu dan semua penghuni dusun sudah agak tenang walau pun mereka masih mengurung dan sikap mereka masih marah dan bermusuhan, kepala dusun itu berkata, “Kalian bertiga hendak mengganggu dewa ular, hal itu berarti sama saja dengan hendak membunuh kami orang sedusun!”
“Dewa ular....? Membunuh kalian sedusun? Lopek, jelaskan, apa maksudmu dengan kata-kata itu?” Kian Bu mendesak.
“Dengan susah payah selama bertahun-tahun kami orang-orang sedusun meredakan kemarahan dewa ular, bahkan kami rela mengorbankan seorang di antara kami setiap tahun untuk menjadi korban. Semua itu adalah untuk melindungi kehidupan kami agar tidak sampai terancam. Akan tetapi, hari ini kalian datang untuk mengganggunya dan sudah pasti bahwa kami semua yang akan menerima hukuman akibat kemarahannya.”
Tentu saja tiga orang pendekar itu menjadi terkejut bukan main. “Apa katamu, Lopek? Kalian memberikan korban setiap tahun?”
“Ya.... bahkan.... tahun lalu.... seorang di antara anak-anakku perempuan kurelakan.... dan tahun ini, telah tiba saatnya, kami masih bingung untuk memilih siapa lagi yang harus kami korbankan. Dan kalian datang untuk mengganggunya, berarti kami semua akan mati....“
Suma Kian Bu mengepal tinjunya, tiba-tiba dia marah sekali kepada ular itu. Tahulah dia bahwa saking tangguhnya, ular itu mendatangkan rasa takut sedemikian rupa kepada para penghuni dusun ini sehingga mereka menganggapnya sebagai dewa yang akan mendatangkan mala petaka kalau tidak diberi korban seorang manusia setiap tahun. Kepala Dusun ini bahkan telah menyerahkan anak perempuannya untuk korban!
“Lopek, dan Saudara-saudara semua. Janganlah khawatir, kali ini kami datang untuk membasminya, untuk membunuhnya agar kalian semua terbebas dari pada ancaman binatang laknat itu!”
“Ahhh, tiada guna.... entah sudah berapa banyak orang sombong yang bersumbar sebelum bertemu dengan dewa ular, dan akhirnya mereka itu tewas satu demi satu! Kalian pun akan tewas dan sesudah itu, karena gangguan kalian, maka ular itu akan mengamuk dan akan menghabiskan kami semua!” Kembali Kepala Dusun itu nampak marah dan penasaran.
Melihat betapa orang-orang itu sukar sekali diberi penjelasan, akhirnya Suma Kian Bu memperoleh akal. “Engkau tadi mengatakan bahwa untuk tahun ini belum ada korban yang dipilih? Kapankah biasanya diadakan korban?”
“Setiap setahun sekali, pada permulaan musim rontok. Pada saat itu dewa ular akan meninggalkan pohon yang mulai rontok daunnya, dan pada saat itu pulalah kami harus menyerahkan seorang korban. Kalau tidak, dewa ular tentu akan mendatangi dusun untuk mencari korban sendiri dan kalau sudah begitu, kami akan dihukum sehingga sedikitnya dia akan mengambil dua tiga orang korban!”
“Kapankah hari penyerahan korban itu?”
“Dua hari lagi, tepat pada saat bulan purnama,” jawab Si Kepala Dusun.
“Bagus! Kalau begitu, sekali ini kalian bukan menyerahkan seorang korban, melainkan tiga orang korban, yaitu kami bertiga. Biar dia kekenyangan dan puas sehingga tidak akan menganggu kalian lagi!” kata Suma Kian Bu.
Aneh, mendengar ucapan ini yang segera diterjemahkan, semua orang memandang dengan wajah berseri kepada Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian. Sinar mata mereka penuh dengan harapan dan rasa syukur. Kalau begini lain lagi soalnya, pikir mereka. Kalau tiga orang itu mengatakan hendak membasmi dewa ular, hal itu sungguh tak masuk di akal dan selain tiga orang itu akhirnya akan tewas, yang lebih celaka lagi ular itu akan menimpakan kutuk dan pembalasannya kepada mereka sedusun. Sebaliknya kalau tiga orang itu mau menjadi korban, tentu saja hal ini melepaskan mereka dari pada bahaya amukan ular itu, setidaknya untuk waktu setahun dan mereka tak perlu bingung-bingung mencari dengan hati berat, anak siapa yang akan dikorbankan!
Akan tetapi, Kepala Dusun itu masih memandang penuh keraguan. “Benarkah kalian bertiga mau menjadi korban untuk dewa?”
“Benar, Lopek. Kami bertiga bersedia untuk dikorbankan demi menyelamatkan dusun ini dari ancamannya,” jawab Kian Bu dengan suara tegas.
“Tapi.... biasanya para korban itu dibelenggu kaki tangannya, dan direbahkan dalam goa sebelum dewa ular pindah dari pohon ke dalam goa....”
Mendengar ini wajah Siang In menjadi merah dan hampir saja nyonya ini menjadi marah karena dianggapnya sebagai penghinaan kalau ia harus membiarkan dirinya dibelenggu kaki tangannya! Akan tetapi suaminya memandang kepadanya dan isteri yang sudah mengenal dengan baik segala pandang mata suaminya ini dapat menerima isyarat suaminya yang kemudian menjawab.
“Kalau begitu, biarlah kalian boleh mengikat dan membelenggu kaki tangan kami dan merebahkan kami di dalam goa itu.”
Mendengar ini, lenyap semua keraguan dari pandang mata Kepala Dusun itu, terganti dengan ketakjuban dan kegirangan. “Ahh, sungguh hampir tak dapat dipercaya. Kalian bertiga seperti utusan dewa yang datang untuk menolong kami saja!” serunya.
Dari percakapan dan sikap mereka itu, Suma Kian Bu yang amat cerdik itu sudah dapat menangkap keadaan dan watak mereka. Dia tahu bahwa orang-orang ini adalah orang-orang dusun yang jujur dan polos, bodoh dan amat tahyul. Oleh karena itu, dengan suara garang dengan pengerahan khikang sehingga suaranya bergema di ruangan itu dan amat mengejutkan semua orang dia berkata, “Kalian sangka siapa kami ini? Kami memang utusan dewa untuk datang ke dusun ini dan menyelamatkan kalian!”
Siang In juga sudah dapat menanggapi kata-kata suaminya. Maka selagi semua orang terbelalak mendengar terjemahan kata-kata Kian Bu tadi, dan kepala dusun itu tengah memandang dengan muka pucat saking kagetnya, mendadak nyonya yang cantik ini mengeluarkan suara melengking tinggi, menggetarkan jantung semua pendengarnya. Kemudian dengan suara yang amat berpengaruh karena disertai kekuatan sihirnya, dengan pandang mata mencorong ketika semua orang menoleh dan memandangnya, tertarik oleh lengkingan tinggi tadi, ia berkata. “Apakah kalian semua sudah buta? Lihat baik-baik! Kami adalah utusan dari Kwan Im Pouwsat sendiri! Aku adalah Dewi Api, lihat tubuhku mengeluarkan api bernyala! Lihat baik-baik!”
Dan terdengar semua orang yang terbelalak itu tiba-tiba berteriak-teriak ketakutan ketika mereka melihat betapa tubuh nyonya yang cantik itu tiba-tiba berkobar-kobar di tengah-tengah api! Bahkan Ci Sian sendiri juga terkena pengaruh sihir itu dan ia kaget sekali melihat tubuh Siang In terbakar. Akan tetapi, ia segera mengerahkan sinkang-nya dan mengusir pengaruh itu sehingga ia melihat betapa nyonya itu tetap berdiri biasa saja, sama sekali tidak ada api keluar dari tubuhnya!
Akan tetapi kini semua penduduk dusun itu, dipimpin oleh Kepala Dusun mereka, sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap tiga orang itu!
“Ampunkan hamba sekalian.... hamba tidak tahu bahwa Paduka bertiga adalah para dewa-dewa....“
Kian Bu merasa kasihan dan tidak tega untuk mempermainkan orang-orang yang jujur dan bodoh ini. Dia tersenyum dan mengangkat kedua tangannya. “Bangkitlah kalian dan jangan berlutut. Ketahuilah bahwa biar pun kami ini utusan pada dewa, akan tetapi pada saat ini, kami memakai tubuh manusia biasa, maka kalian juga harus memperlakukan kami sebagai manusia biasa. Nah, kami sudah siap untuk menjadi korban. Kapan hal itu dapat dilaksanakan?”
“Biasanya yang kami lakukan setiap tahun, pada hari bulan purnama penuh. Siangnya korban dibawa ke goa dan ditinggalkan, karena pada malam harinya dewa ular akan datang, pindah dari pohon yang mulai rontok daunnya ke dalam goa itu. Dan tahun ini, bulan purnama penuh akan muncul dua hari lagi.”
“Baiklah, kami bertiga boleh kalian bawa ke goa itu pada besok lusa siang, agar malamnya kami dapat bertemu dengan dewa ular itu,” kata Kian Bu.
Sebetulnya, setelah para penghuni dusun itu dapat ditundukkan oleh ilmu sihir Siang In, mereka semua itu sudah percaya dan tentu saja mau membantu. Akan tetapi Kian Bu berpikir lain.....
Komentar
Posting Komentar