SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-38


Tiba-tiba sekali Ci Sian memegang dengan Siang In dan berbisik. “Ssttt....!”

Siang In kagum sekali akan ketajaman pendengaran dan penglihatan dara itu, dan cepat ia menengok. Benar saja, dari arah barat nampak bayangan orang berkelebatan di atas genteng-genteng rumah orang, dan gerakannya memang cepat bukan main. Dan melihat bentuk tubuh bayangan itu, walau pun dari jauh sudah mudah diduga bahwa bayangan itu adalah seorang wanita.

Mereka berdua cepat mendekam di balik wuwungan yang tinggi dan menanti. Dan memang dugaan mereka benar karena bayangan yang bertubuh ramping itu ternyata datang ke jurusan mereka, atau lebih tepat lagi ke jurusan rumah gedung bertingkat tempat tinggal Bouw-thicu. Dan melihat cara bayangan itu melompat dari genteng tingkat pertama ke atas genteng loteng, dapatlah dimengerti oleh dua orang pendekar wanita itu bahwa bayangan itu memiliki ginkang yang cukup tinggi, bahkan ketika kaki bayangan itu hinggap di atas genteng loteng, sama sekali tidak terdengar jejak kakinya.

“Tentu ia malingnya....,“ bisik Ci Sian dan dara ini sudah hendak bergerak.

Siang In merasakan gerakan ini. Cepat ia memegang lengan Ci Sian dan menggeleng kepala, “Jangan....”

Ci Sian sadar akan kesembronoannya. Kalau ia bergerak, berarti menggagalkan segala-galanya. Padahal, menurut percakapan antara suami istri pendekar itu, dia mengerti bahwa mereka berdua itu bukan semata-mata ingin merampas kembali kuda dan menundukkan orang she Bouw, akan tetapi juga berusaha untuk mengatasi dan mendamaikan pertentangan antara para tuan tanah di daerah Sin-kiang itu. Maka dia mengangguk dan keduanya membiarkan bayangan itu menyelinap dan melayang turun di bagian belakang bangunan itu.

Setelah memberi waktu beberapa lama dan keadaannya sunyi benar, barulah keduanya dengan hati-hati meloncat turun ke belakang bangunan, kemudian melalui taman bunga mereka berindap-indap memasuki bangunan dari tembok belakang yang dapat dengan mudah mereka lompati.

Tidak lama kemudian kedua orang wanita sakti itu telah mengintai ke dalam sebuah ruangan belakang di gedung itu dan mereka menemukan wanita yang tadi melayang masuk sedang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam. Dari percakapan itu, tahulah mereka bahwa laki-laki tinggi besar itu bukan lain adalah Bouw-thicu, ditemani oleh empat orang pembantunya yang semuanya nampak garang dan bertenaga kuat, sedangkan wanita itu tentulah Lui Shi yang telah mereka dengar.

Memang seorang wanita yang cantik, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun akan tetapi nampak masih cantik dengan muka dirias tebal, sikapnya genit, dan pakaiannya serba ringkas namun wanita ini pesolek sekali. Dan mendengar percakapan mereka, tahulah Siang In dan Ci Sian bahwa Lui Shi ini pun baru pulang dari penyelidikannya ke tempat tinggal Thio-thicu!

“Bagaimana, Nona Lui, benarkah berita angin itu bahwa orang she Thio itu memperoleh seekor kuda hebat yang dapat menyaingi kuda kita?” antara lain Bouw-thicu bertanya.

Mendengar pertanyaan ini, diam-diam Siang In dan Ci Sian kagum juga akan cara kerjanya para anak buah orang ini sehingga tentang kuda Hek-liong-ma yang akan membantu Thio-thicu dalam perlombaan, sudah didengar oleh orang she Bouw ini.

“Memang benar, Bouw-loya,” jawab wanita yang masih disebut nona itu, menunjukkan bahwa wanita ini masih belum menikah. “Akan tetapi Lo-ya tidak usah khawatir, karena biar pun kuda hitam mereka itu pun baik sekali, akan tetapi kuda itu hanyalah seekor kuda jantan. Maka dalam perlombaan, tidak mungkin kuda jantan itu mau melampaui kuda hitamku yang betina. Dan andai kata demikian pun, saya masih mempunyai akal untuk menundukkan kuda lawan itu agar jangan melanggar atau mendahului.”

“Hemm, perlombaan kuda itu penting sekali, Nona Lui, dan bagaimana pun juga, pihak kita sekali-kali tak boleh kalah. Jika memang orang she Thio itu betul-betul menemukan kuda jempolan dan dalam perlombaan dapat mengalahkan kudamu, lalu bagaimana?”

“Jangan khawatir, saya mempunyai jampe untuk menahan kuda itu, dan kalau jampe itu gagal, masih ada jarum-jarum saya untuk merobohkannya kalau perlu agar kuda kita tidak terkalahkan.”

Mendengar ini, Bouw-thicu tertawa girang. “Bagus, bagus.... akalmu sungguh bagus sekali, Nona. Kalau kuda kita benar-benar menang, jangan khawatir, hadiahnya besar sekali untukmu!” Terdengar mereka tertawa-tawa.

Siang In lalu menarik lengan Ci Sian untuk meninggalkan tempat itu. Dengan hati-hati mereka pergi dan meloncat naik ke atas genteng, lalu mempergunakan ilmu berlari cepat untuk kembali ke perkampungan Thio-thicu.

“Si Genit itu! Ingin sekali kutampar mukanya yang dipulas itu!” Di tengah jalan Ci Sian mengomel. “Ia mau menjampe kuda dan menyerang dengan jarum! Si keparat!”

“Kita harus sabar dan menanti sampai perlombaan diadakan. Tentang jampe, jangan khawatir, Hek-liong-ma tentu masih lebih taat kepada suamiku, dan tentang serangan jarumnya....”

“Serahkan saja jarum-jarum itu kepadaku, Enci Siang In! Kalau benar-benar ia berani menyerang dengan jarum, awas Si Genit itu!” Ci Sian mengepal tinju.

Ketika dua orang pendekar wanita ini tiba kembali di rumah Thio-thicu, ternyata Suma Kian Bu masih menanti di luar kamar. Pendekar ini dengan tersenyum mendengarkan cerita isterinya tentang hasil penyelidikannya. Malam itu mereka mengaso dan tidak terjadi hal-hal yang luar biasa, kecuali antara Kian Bu dan isterinya. Luar biasa.....

********************

Lapangan rumput itu sangat luas dan sepotong tanah ini merupakan wilayah milik pemerintah, jadi merupakan daerah netral bagi para tuan tanah yang pada pagi hari itu berkumpul di situ. Suasana amat meriah, seperti dalam pesta. Dan memang pesta itu diadakan tiap tahun dan diprakarsai oleh pejabat pemerintah di Sin-kiang, dalam usahanya untuk mengalihkan permusuhan antara para tuan tanah itu menjadi semacam perlombaan yang sehat. Dan yang populer adalah lomba kuda itulah.

Pembesar yang paling tinggi, yaitu semacam gubernur atau kepala Propinsi Sin-kiang, sudah hadir bersama para pembesar bawahannya yang lain, dan sepasukan tentara pengawal berbaris rapi di seputar panggung kehormatan yang dibangun untuk para pembesar ini, di luar arena perlombaan kuda. Dari tempat yang tinggi di panggung ini, para pembesar dapat melihat pemandangan yang indah dan aneh, yaitu kelompok-kelompok orang yang mudah dibedakan dari atas dengan melihat warna tenda, pakaian pasukan pengawal, dan bendera mereka.

Setiap tuan tanah datang bukan hanya membawa kuda jagoan mereka, akan tetapi juga para pembantunya dan sepasukan pengawal masing-masing yang berpakaian seragam. Bermacam-macam warna pakaian pasukan pengawal ini, tetapi semuanya berbeda! Dan lucunya, tenda yang mereka dirikan, untuk Sang Tuan Tanah dan keluarganya tentu saja, agar terlindung dari panas dan dapat menyaksikan balapan itu dengan santai, tenda-tenda itu pun tidak ada yang sama warnanya! Karena perbedaan warna inilah maka pemandangan dari atas panggung para pembesar itu nampak indah dan aneh. Tenda-tenda para tuan tanah itu didirikan di sekitar luar arena perlombaan yang amat luas itu, masing-masing memilih tempat yang agak tinggi agar mudah mengikuti perlombaan kuda.

Rombongan Thio-thicu berada di tempat yang tidak jauh dari panggung, tempat para pembesar duduk. Seperti para tuan tanah yang lain, juga di tempat ini didirikan sebuah tenda besar tempat Thio-thicu berlindung dari sengatan matahari siang nanti. Akan tetapi tidak seperti yang lain, Thio-thicu tidak membawa pasukan pengawal, melainkan hanya beberapa orang pengawal saja yang juga bertindak sebagai pelayan. Thio-thicu bahkan tidak membawa keluarganya. Pihak tuan tanah Thio ini hanya membawa seekor kuda saja, yang ditutupi selimut kuda sehingga tidak nampak jelas dari luar apa warna kuda itu dan bagaimana macamnya karena muka kuda itu pun tertutup selimut.

Suma Kian Bu dan dua orang pendekar wanita itu datang bersama Thio-thicu. Karena ia akan menunggang Hek-liong-ma ikut berlomba, Ci Sian mengenakan pakaian ringkas warna kuning, rambutnya diikat dengan kain sutera merah. Akan tetapi ia telah memberi tahu kepada Thio-thicu bahwa ia hanya akan keluar bersama kudanya kalau semua peserta telah berkumpul. Sejak tadi, banyak sudah peserta yang memasuki gelanggang, menunggangi kuda masing-masing dan menjalankan kuda mereka berkeliling sebagai pemanasan dan juga untuk berlagak. Setiap kuda dengan penunggangnya mempunyai pendukung sendiri-sendiri, tentu saja kawan-kawannya para pembantu majikan masing-masing.

Kali ini, yang mengikuti perlombaan hanya ada sembilan orang thicu, sungguh pun hampir semua thicu yang jumlahnya sekitar dua puluh orang lebih itu datang untuk menyaksikan perlombaan itu, juga untuk bertaruh dengan taruhan-taruhan yang besar sekali nilainya. Hal ini adalah karena para thicu yang tanggung-tanggung saja sudah mengundurkan diri, tidak berani mengikuti perlombaan, apalagi setelah mendengar akan adanya kuda hitam milik Bouw-thicu yang dapat lari seperti terbang itu. Yang mengikuti perlombaan hanyalah para thicu yang tergolong besar, dalam arti luas daerahnya dan kekayaannya.

Namun semua orang sudah mendengar bahwa yang agaknya akan mampu menandingi kuda hitam milik Bouw-thicu hanyalah kuda Thio-thicu. Menurut kabar angin, Thio-thicu memiliki kuda ‘simpanan’ yang belum pernah dilihat orang, akan tetapi yang kabarnya akan mampu menandingi kuda hitam milik Bouw-thicu itu. Maka, tujuan orang-orang di situ, termasuk para pembesar, hanyalah kepada dua orang tuan tanah ini. Dan terjadilah taruhan-taruhan besar di antara para thicu yang tidak ikut berlomba, bahkan yang ikut berlomba dengan menurunkan seekor kuda pun kemudian ikut bertaruh antara dua thicu terkemuka ini.

Sudah ada tujuh ekor kuda yang memasuki arena. Tujuh ekor kuda pilihan yang besar dan kuat, dengan penunggang yang semuanya adalah pria-pria muda yang tubuhnya kerempeng. Memang sebaiknya kalau penunggang kuda balap dipilih orang bertubuh kecil dan ringan, demikian pendapat para pemilik kuda balap.

Tujuh ekor kuda itu dengan para penunggangnya berjalan dengan gagah berputaran di sekitar tempat permulaan, atau garis start di mana telah berkumpul pula para petugas yang mengatur perlombaan. Di tempat pemberangkatan itu telah dipasang sembilan tempat kuda, agar para kuda itu dapat bersiap dengan tenang dan baru bergerak kalau aba-aba dan pintu tempat itu sudah diberikan dan dibuka. Akan tetapi karena para pengikut belum lengkap, maka para penunggang kuda belum memasuki tempat masing-masing, masih memperagakan kebolehan mereka menunggang kuda dan keindahan kuda tunggangan mereka.

Agaknya Lui Shi, wanita pembantu Bouw-thicu itu memang sengaja menanti dan hendak melihat seperti apa macamnya kuda yang akan diajukan oleh Thio-thicu. Oleh karena itu, ia pun menanti dan belum juga keluar bersama kudanya. Akhirnya setelah menanti dan belum juga kuda jagoan Thio-thicu muncul, dan para penonton yang sudah tidak sabar lagi berteriak-teriak menuntut agar Bouw-thicu yang sudah dinanti-nanti orang itu suka mengeluarkan kudanya, Bouw-thicu menyuruh Lui Shi untuk memasuki arena. Maka muncullah wanita cantik ini di atas kudanya yang hitam, dengan amat gagahnya memasuki arena itu.

Kuda hitamnya memang amat indah. Besar dan bertubuh kuat sekali, bulunya hitam mengkilap seperti dicat, bulu surinya riap-riapan amat rapinya dan bulu ekornya juga subur dan indah. Wanita itu sendiri nampak cantik dan gagah, perkasa, apalagi karena wajahnya yang dirias tebal, dari jauh nampak amat cantik, jelita. Pakaiannya dari sutera putih dan merah muda itu serasi benar dengan bulu kuda yang hitam kelam, maka ketika kudanya memasuki arena, dan angin membuat bulu suri dan ekor kuda juga baju sutera putih dan merah muda itu berkibar-kibar, para penonton menyambutnya dengan sorak-sorai dan tepuk tangan.

Pada pagi hari itu, boleh dibilang seluruh penduduk di sekitar daerah itu berkumpul di tempat itu, terutama kaum prianya. Sorak-sorai yang menggegap-gempita menyambut munculnya Lui Shi ini membuat kuda hitam yang ditungganginya terkejut dan berdiri di atas dua kaki belakang. Semua orang terkejut dan khawatir, akan tetapi Lui Shi dapat duduk di atas punggung kuda yang berdiri itu dengan enaknya, bahkan mengangkat tangan kiri melambai-lambai ke segala jurusan dengan gaya memikat.

Ketika kuda hitam itu sudah menurunkan kembali kedua kaki depannya, tiba-tiba wanita itu sendiri meloncat dan tubuhnya yang tadinya duduk itu kini berdiri di atas punggung kuda, dan ia melarikan kudanya berputar-putar di situ seperti seorang akrobat pemain sirkus kuda yang mahir. Kembali para penonton menyambutnya dengan tepuk sorak gembira. Lui Shi sengaja lewat di depan panggung, memberi hormat kepada para pembesar kemudian lewat pula di depan rombongan Thio-thicu dengan lagak mengejek. Ketika Lui Shi lewat di situ, Suma Kian Bu dan Siang ln sengaja tidak memperlihatkan diri.

Ci Sian melihat bahwa calon lawannya sudah muncul, lalu membuka penutup dan pelindung tubuh kudanya, meloncat ke atas pungung kuda itu dan setelah mengangguk kepada Siang In dan Kian Bu, dia pun lalu menggerakkan kudanya memasuki arena perlombaan.

Semua penonton memang sudah sejak tadi menanti munculnya kuda dari Thio-thicu, terutama mereka yang berpihak kepada tuan tanah ini dan telah mempertaruhkan banyak uang untuk kuda Thio-thicu. Kini, melihat munculnya seekor kuda hitam yang serupa benar dengan kuda hitam milik Bouw-thicu, hanya bedanya kuda hitam ini jantan sedangkan kuda hitam milih Bouw-thicu betina, semua orang terheran-heran. Apalagi ketika melihat bahwa yang menunggang kuda hitam itu adalah seorang dara remaja yang berpakaian serba kuning, seorang dara yang biar pun tidak memakai riasan muka seperti Lui Shi akan tetapi yang memiliki kecantikan seperti bidadari dan sikapnya amat gagah, pecahlah ledakan sorak-sorai dan tepuk tangan.

Semua orang memang sudah mendengar berita angin bahwa Thio-thicu juga telah mendapatkan seekor kuda pilihan yang kabarnya akan mampu menandingi kuda hitam milik Bouw-thicu. Akan tetapi tidak ada yang mengira bahwa kuda itu pun adalah seekor kuda hitam yang sama benar, bahkan agak lebih tinggi dibandingkan dengan kuda milik Bouw-thicu. Dan yang membuat mereka gembira dan terheran-heran karena sama sekali lebih tidak mereka sangka lagi adalah bahwa penunggangnya juga seorang wanita, bahkan seorang dara remaja yang demikian cantik dan gagahnya!

Biar pun dari jauh Lui Shi nampak cantik sekali, akan tetapi semua orang tahu bahwa kecantikan wanita yang lebih tua itu banyak dibantu oleh bedak dan gincu, sedangkan kecantikan dara remaja itu adalah kecantikan asli. Maka, kenyataan bahwa kuda kedua orang tuan tanah yang saling bersaing itu serupa, dan juga penunggangnya sama wanita cantik, tentu saja para penonton menjadi gembira sekali dan suasana menjadi tegang, apalagi mereka yang bertaruh. Sibuklah mereka ini untuk menambah atau merubah taruhan mereka setelah kedua ‘jago’ itu keluar.

Sementara itu, melaLui wakil masing-masing, terjadi pertaruhan yang luar biasa antara Bouw-thicu dan Thio-thicu. Mereka itu saling mempertaruhkan tanah di perbatasan antara wilayah mereka, tanah yang luasnya lebih dari separoh milik mereka, masih ditambah lagi dengan sejumlah perak dan emas yang membuat salah satu di antara mereka rudin kalau kalah! Dan pertaruhan besar ini disyahkan dan disaksikan oleh kepala daerah sendiri!

Ci Sian tidak berlagak seperti yang diperlihatkan Lui Shi tadi. Akan tetapi tanpa berlagak sekali pun dara ini sudah nampak gagah sekali. Hek-liong-ma berlari congklang dan Ci Sian langsung melarikan kudanya ke dalam tempat berkotak yang diperuntukkan para pembalap itu. Ia membawa kudanya memasuki tempat yang bertuliskan huruf Thio.

Sementara itu, semua kuda sudah memasuki kotak masing-masing sebab para petugas perlombaan sudah mengibarkan bendera, pertanda bahwa perlombaan akan dimulai dan semua kuda harus bersiap-siap di dalam kotak masing-masing. Semua pembalap memandang ke arah petugas yang memegang sebuah bendera merah dan yang berdiri di tempat yang agak tinggi. Petugas inilah yang akan memberi tanda dimulainya balap kuda itu. Kalau bendera yang diangkatnya tinggi itu sudah dikelebatkan turun, itulah tandanya.

Dan Si Petugas itu pun masih memegang tangkai bendera dengan kedua tangannya dan dia sejak tadi memandang ke atas panggung, ke arah kepala daerah. Karena kalau para pembalap itu menanti tanda dari dia, maka dia pun menanti tanda dari pembesar itu. Hanya kepala daerah saja yang berhak memberi tanda bahwa perlombaan boleh dimulai.

Agaknya kepala daerah itu sedang menerima laporan-laporan dari para petugas dan penyelidikannya bahwa segala sesuatunya berjalan beres, tidak ada apa apa yang mencurigakan dan tidak ada permainan curang dilakukan orang dalam perlombaan itu. Maka, setelah merasa yakin bahwa tidak ada hal yang patut dicurigai, kepala daerah itu lalu bangkit dari tempat duduknya, lalu mengangkat tangan ke kanan, ke atas dan menggerakkan tangan itu tiba-tiba ke bawah. Inilah tanda bahwa perlombaan boleh dimulai, yang merupakan isyarat bagi Si Petugas pemegang bendera merah.

Semua mata penonton hampir tak pernah berkedip memandang ke arah kotak-kotak itu, menanti dengan hati berdebar saat dimulainya perlombaan yang menegangkan hati itu, terutama yang akan terjadi di antara dua penunggang kuda wanita itu. Akan tetapi, di dalam ketegangan ini ada saja penonton yang berkelakar mengatakan bahwa jangan-jangan yang dinanti-nanti dengan tegang, yaitu dua orang pembalap wanita itu, ternyata akan menjadi pemenang dari belakang!

“Bagaimana pun juga, mereka hanyalah wanita-wanita!” tambahnya.

Kelakar ini mengurangi ketegangan dan terdengar suara ketawa. Bagaimana pun juga, kelakar itu masuk di akal dan bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi seperti yang diramalkan oleh orang itu. Dan betapa akan lucunya kalau kedua penunggang kuda wanita itu, yang kini dikagumi dan dijadikan pusat pertaruhan yang amat ramai, di akhir perlombaan itu akan menjadi juara dari belakang, yaitu nomor satu dan nomor dua paling akhir!

Begitu kepala daerah itu menggerakkan tangannya, petugas yang memegang bendera merah pun berseru dengan suara nyaring, suara yang sudah dinanti-nanti oleh para peserta perlombaan.

“Perlombaan dimulaiiiii!” Dan bendera merah itu pun berkelebat turun dari atas.

Para pembalap itu menggebrak kuda masing-masing pada saat para petugas menarik palang yang menutup kotak-kotak itu dan mulailah terdengar derap kaki kuda yang diiringi tepuk tangan dan sorak-sorai para penonton. Binatang-binatang itu seperti mendapatkan semangat tambahan, atau memang ketakutan mendengar sorak-sorai itu dan mereka pun lari semakin kencang.

Menurut peraturan perlombaan, para pembalap harus mengelilingi arena balap itu sebanyak tiga kali putaran, dan setelah memutar lapangan itu tiga kali, lalu membelok ke depan panggung para pembesar di mana telah disediakan seikat bunga dengan pita merah yang digantungkan. Peserta yang paling dulu meraih dan mengambil seikat bunga inilah yang dinyatakan sebagai pemenang pertama. Adapula di situ digantungkan ikatan bunga untuk diambil oleh pemenang ke dua dan ke tiga. Dan di sepanjang arena perlombaan itu, di tengah jalan diadakan rintangan-rintangan seperti pagar dan parit yang mesti dilompati oleh kuda peserta. Jadi, yang diperlombakan bukan sekedar hanya kecepatan, melainkan juga ketangkasan dan kemahiran si penunggang kuda.

Pada tengah putaran pertama, sembilan ekor kuda itu masih kelihatan sama cepatnya. Mereka lari kencang berdampingan seolah-olah mereka itu sudah bersepakat untuk lari bersama, tidak saling mendahului. Akan tetapi begitu mereka tiba di rintangan-rintangan di mana mereka harus mengerahkan kekuatan kaki dan kemahiran penunggang kuda masing-masing untuk melompat agar tidak sampai tersandung pagar atau jatuh ke dalam parit lumpur, mulailah nampak keunggulan Lui Shi. Wanita ini mengeluarkan teriakan melengking dan agaknya ini merupakan tanda bagi kuda hitamnya untuk meloncati parit dengan loncatan yang amat indah dan tinggi, jauh melampaui para saingannya dan ketika tiba di seberang parit, kuda itu lalu lari membalap dengan cepat sekali seolah-olah keempat kakinya tidak lagi menyentuh bumi!

Sorak-sorai meledak dari para penonton di luar arena balap itu, terutama sekali dari anak buah Bouw-thicu dan dari mereka yang berpihak dan bertaruh atas kuda hitam milik Bouw-thicu. Dan seolah-olah didorong oleh suara sorak-sorai ini, kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi makin membalap sehingga jauh meninggalkan para saingannya.

Sedangkan Hek-liong-ma yang ditunggangi Ci Sian masih bersama-sama dengan para pembalap lain, hanya berada paling depan saja. Makin cepat juga kuda hitam Lui Shi meluncur sehingga ketika putaran pertama habis, ia telah meninggalkan para lawan sejauh hampir seperempat putaran! Tentu saja para penonton menjadi gegap-gempita, bersorak-sorak dan mencemooh kuda lain, terutama Ci Sian yang tadinya diharapkan akan dapat mengimbangi kecepatan kuda milik Bouw-thicu itu. Hal ini membuat Lui Shi timbul kesombongannya dan mulailah ia berlagak.

Ia berloncatan di atas punggung kudanya, berjungkir-balik, berjongkok dan menari-nari di atas punggung kudanya yang berlari kencang itu. Memang harus diakui bahwa wanita ini pandai sekali menunggang kuda. Berdiri di atas punggung kudanya yang berlari kencang itu agaknya bagi wanita itu tiada bedanya dengan berdiri di atas tanah saja!

Para penonton tentu saja menjadi semakin gembira, ada yang tertawa dan bertepuk tangan riuh, bahkan mereka yang berpihak kepada kuda lain pun mau tidak mau harus mengagumi kepandaian wanita itu dan kecepatan lari kuda hitam yang ditungganginya. Mereka semua tahu bahwa apa yang dipertontonkan wanita itu bukanlah main-main, berbeda dengan pertunjukan komedi kuda di mana kudanya tidak berlari sekencang itu dan bukan sedang dalam suatu perlombaan besar. Sekali saja salah perhitungan dan wanita itu terjatuh dari punggung kuda, akibatnya maut!

Thio-thicu memandang semua itu dan wajahnya berubah agak lesu. Dia adalah seorang yang sudah sering mengadakan perlombaan kuda dan setelah melihat betapa dalam putaran pertama, jadi sepertiga jarak perlombaan, pihak musuh sudah mendahului dengan seperempat putaran, harapannya sudah menipis. Tak mungkin ada kuda yang akan dapat menyusul ketinggalan sejauh itu. Dan diam-diam dia pun harus mengakui bahwa kuda hitam milik orang she Bouw itu memang luar biasa sekali. Belum pernah dia melihat ada kuda dapat berlari secepat itu, juga belum pernah melihat penunggang kuda sepandai wanita yang bekerja untuk lawan itu.

Maka dia pun menoleh ke arah Suma Kian Bu dan Teng Siang In yang duduk di sebelah kirinya dan dia terheran-heran. Suami isteri pendekar ini nampak tenang-tenang saja! Hal ini membuat dia penasaran, maka dia pun tak dapat menahan hatinya bertanya kepada Siang In yang duduknya paling dekat dengannya, “Bagaimana pendapat Toanio? Kuda kita agaknya akan kalah....”

Betapa herannya hati tuan tanah itu ketika mendengar jawaban pendekar wanita itu dengan suara tenang, “Ia tidak akan kalah. Adik Ci Sian adalah seorang penunggang kuda yang baik dan mencinta kudanya. Ia tidak mau menguras tenaga kudanya, tetapi menanti saat baik. Lihatlah....!”

Tuan tanah itu menengok, apalagi karena tepat pada saat itu terdengar sorak-sorai yang riuh-rendah, dan tepuk tangan gegap-gempita. Ketika dia menoleh ke arah perlombaan, wajahnya segera berubah, kalau tadinya lesu kini menjadi berseri-seri dan saking lupa diri dia sampai bangkit berdiri dari tempat duduknya. Dia melihat kuda hitam yang ditunggangi Ci Sian mulai ‘terbang’! Ya, memang lebih pantas disebut terbang karena kuda hitam itu berlompatan atau berlari seperti terbang saja, meninggalkan kelompok teman-temannya yang tadinya tertinggal jauh oleh kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi!

Lui Shi tadinya masih enak-enakan, masih mengira bahwa semua tepuk sorak itu adalah untuknya. Memang dia sudah yakin akan kemenangannya dan memandang rendah kepada semua lawannya. Bukankah ia sudah menang seperempat putaran dan dua putaran lagi ia akan meninggalkan mereka lebih jauh lagi!

Akan tetapi ketika dia iseng-iseng menoleh ke arah panggung dan melihat betapa rombongan Thio-thicu juga bersorak-sorak, bahkan Thio-thicu sendiri yang gendut itu bangkit berdiri dan berjingkrak-jingkrak, dia terkejut dan heran sekali. Cepat Lui Shi menoleh dan ketika ia melihat seekor kuda hitam meluncur cepat sekali dari belakang, tahulah ia bahwa kuda hitam yang ditunggangi dara remaja itu, milik Thio-thicu, telah mulai berusaha untuk mengejar dan menyusulnya!

“Setan!” Ia memaki.

Kalau tadinya ia enak-enakan jongkok di atas punggung kudanya, kini ia turun lagi dan duduk di atas punggung, lalu membedal kudanya agar berlari lebih cepat lagi. Kuda hitam tunggangannya itu bukan lain adalah kuda hitam milik suami isteri dari Pulau Es itu, dan kuda ini memiliki ketangkasan yang seimbang dengan Hek-liong-ma. Maka begitu dibedal, kuda ini meringkik dan me-luncur ke depan lebih cepat lagi.

Terjadilah kejar-mengejar antara dua ekor kuda hitam ini. Kejar-mengejar dalam putaran yang kedua dan pada saat menghadapi rintangan, mereka berlompatan dengan amat cekatan. Karena kuda hitam Lui Shi dibedal sekuatnya, maka kembali Hek-liong-ma tidak dapat menyusulnya dan jarak di antara mereka masih cukup jauh, sungguh pun Hek-liong-ma juga sudah jauh sekali meninggalkan para lawan yang lain! Dan ketika putaran kedua habis, jarak antara mereka masih ada sedikitnya lima puluh meter!

Tentu saja kejar-kejaran ini membuat para penonton panas dingin rasanya, apalagi di pihak Bouw-thicu dan Thio-thicu. Mereka dari kedua rombongan ini sudah bangkit berdiri semua dan tiada yang tidak menggerakkan kaki tangan dan mulut mereka untuk memberi dorongan semangat. Seolah-olah nampak semangat mereka beterbangan ke arah dua kuda jagoan masing-masing dan semangat itu ikut mendorong pantat kuda agar lebih cepat lagi!

Tinggal satu putaran lagi dan di sinilah letak keuntungan Ci Sian. Kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi telah lebih dulu diperas tenaganya, dipaksa berlari sekencangnya dan pada putaran terakhir ini, nampak betapa kuda itu menjadi lemah. Mulutnya mulai berbuih dan hidungnya mendengus-dengus, tanda bahwa kuda itu mulai kelelahan. Tidak demikian dengan Hek-liong-ma yang kelihatan semakin gembira untuk mengejar kuda di depan itu.

Lomba itu kini seolah-olah hanya dilakukan oleh dua ekor kuda hitam itu. Yang lain-lain sudah tidak masuk hitungan lagi. Bahkan para thicu yang memiliki kuda lain itu sama sekali tidak lagi memperhatikan kuda mereka sendiri yang jauh tertinggal di belakang, melainkan menujukan perhatian mereka kepada dua ekor kuda yang berlari secepat terbang itu. Dan para petaruh mulai berteriak-teriak untuk menambah taruhan mereka.

Kini, lambat namun jelas sekali, Hek-liong-ma mulai dapat mengurangi jaraknya dari kuda hitam di depan. Dan Lui Shi yang sejak tadi sering menoleh ke belakang, melihat pula akan hal ini. Telinganya dapat menangkap derap kaki kuda di belakangnya itu, yang merupakan suara seperti ancaman setan, makin lama semakin jelas.

Sekarang mereka berdua tiba di tempat di mana ada rintangan-rintangan pagar dan parit dan mulailah kini Hek-liong-ma memperlihatkan ketangkasannya. Lompatan demi lompatan dilakukannya dan perlahan-lahan kuda ini mulai dapat menyusul kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi! Ketika semua rintangan dapat dilompati oleh dua ekor kuda itu, kini dua ekor kuda itu sudah hampir sejajar, dan Hek-liong-ma hanya kalah setengah badan saja!

Sekarang Lui Shi dapat melihat wajah Ci Sian yang tersenyum tenang, wajah yang menimbulkan benci dan iri dalam hati Lui Shi. Tiba-tiba Lui Shi mengeluarkan suara nyaring yang bunyinya seperti ringkikan kuda.

“Hiiii-yehh.... hiii-yehhh....!”

Dan akibatnya memang hebat. Hek-liong-ma mengurangi kecepatan gerakan kakinya dan berlari di belakang kuda hitam betina itu! Mereka kini sudah melalui separuh dari putaran terakhir!

Ci Sian terkejut sekali dan ia teringat bahwa wanita ini adalah seorang penjinak kuda. Tentu teriakannya tadi merupakan teriakan yang khas, yang merupakan bahasa kuda yang agaknya menahan Hek-liong-ma! Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara lain di dekat mereka. Suara ini seolah-olah berada dekat sekali dengan dua orang wanita itu, dan seperti suara setan yang tidak nampak.

“Hek-liong-ma.... ckk, ckk.... hyaaakkk....!”

Mendengar suara ini, Hek-liong-ma tiba-tiba meloncat ke depan dan dengan beberapa kali loncatan saja kuda ini sudah dapat menyamai lagi sehingga lari berendeng dengan kuda hitam! Penonton seperti gila, berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan menyaksikan peristiwa ini, kejar-mengejar yang mendebarkan dan menegangkan hati ini. Ada beberapa orang petaruh yang jantungnya lemah sudah jatuh pingsan di tempat dia berdiri!

Melihat ini, Lui Shi terkejut bukan main dan beberapa kali ia berusaha untuk menguasai Hek-liong-ma dengan teriakan-teriakan aneh. Akan tetapi selalu ada suara lain yang menentangnya dan agaknya Hek-liong-ma lebih taat kepada suara tanpa rupa ini. Diam-diam Ci Sian kagum bukan main dan tahulah dia bahwa suara itu tentulah suara Pendekar Siluman Kecil yang mempergunakan khikang yang amat kuat, mengirim suara dari jauh untuk menguasai Hek-liong-ma.

Melihat betapa Hek-liong-ma kini malah telah menang setengah badan dibandingkan dengan kudanya, Lui Shi marah bukan main. Tangan kirinya mengambil sesuatu dari balik bajunya dan tangan itu bergerak. Sinar lembut menyambar ke arah belakang kuda Hek-liong-ma.

Akan tetapi, sejak tadi Ci Sian tidak pernah lengah. Ia tahu akan kecurangan lawan, maka sejak tadi pun ia sudah bersiap. Melihat tangan kiri lawan merogoh saku saja ia sudah curiga, maka begitu tangan kiri itu bergerak dan jarum-jarum meluncur ke arah belakang tubuh Hek-liong-ma, cepat dara ini mencondongkan tubuhnya ke belakang.

Dengan tangan kiri ia mengebut dan mengerahkan tenaga khikang sehingga jarum-jarum itu runtuh, akan tetapi dia masih sempat menyambar dan menangkap beberapa batang jarum dengan tangan kirinya, lalu langsung menyambit dan jarum-jarum itu terbang kembali kepada pemiliknya. Akan tetapi berbeda dengan Lui Shi, Ci Sian tidak menyerang kuda, melainkan langsung menyambitkan jarum-jarum itu ke arah tubuh Lui Shi!

Lui Shi kaget bukan main. Tak disangka bahwa dara remaja yang menjadi penunggang kuda hitam itu ternyata adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali! Disangkanya hanya seorang penunggang kuda yang mahir ilmu menunggang kuda saja. Siapa tahu, dengan kebasan tangannya, bukan saja dara itu mampu meruntuhkan jarum-jarumnya, bahkan dapat menangkap jarum-jarumnya dan kini sambitan cepat seperti kilat menyambar! Wanita ini mengeluarkan seruan kaget dan mendadak saja tubuhnya lenyap dari atas kuda.

“Ehhh....?!” Ci Sian terkejut, akan tetapi ia menjadi kagum ketika wanita itu muncul kembali dan ternyata tadi ketika mengelak dari serangan jarumnya, wanita itu telah menjatuhkan dirinya ke bawah perut kuda dengan kedua kaki tetap mengait tubuh kuda itu. Sungguh merupakan ilmu menunggang kuda yang hebat, yang hanya dimiliki oleh ahli-ahli pemain sirkus yang amat mahir.

Kini mereka terus membalapkan kuda mereka dan dua ekor kuda itu masih terus lari berendeng, sungguh pun Hek-liong-ma menang setengah badan. Sorak-sorai masih menggegap-gempita di kalangan penonton, bahkan para pembesar yang juga ikut-ikutan merasa tegang, sudah berdiri semua di atas panggung dan ikut bertepuk-tangan.

Kini putaran terakhir hampir habis! Melihat kudanya akan kalah begini terus, tiba-tiba Lui Shi mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menaburkan benda putih di atas pinggul dan ekor kudanya. Tiba-tiba Hek-liong-ma mengeluarkan suara meringkik aneh dan.... kuda ini menahan larinya, lalu berlari di belakang kuda hitam itu sambil mendengus-dengus!

Ci Sian menjadi terkejut dan juga bingung. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Ia tidak tahu bahwa Lui Shi yang ahli itu telah menaburkan obat yang membuat kuda-kuda jantan seolah-olah menganggap kuda betina itu sedang dalam waktu birahi! Dan hal ini merangsang kuda Hek-liong-ma yang sudah mengenal kuda hitam itu sebagai kawan lamanya, lalu lari di belakangnya, tidak mau mendahului.

Tentu saja para penonton bersorak-sorak lagi melihat ramainya perlombaan itu, melihat betapa kini kembali kuda tuan tanah Thio tertinggal di belakang, kalah satu badan! Bahkan Suma Kian Bu dan isterinya juga berdiri saling pandang dengan bingung, tidak tahu apa yang telah terjadi dan tidak tahu pula harus berbuat apa. Pendekar Siluman Kecil telah mengirim aba-aba kepada Hek-liong-ma, akan tetapi tetap saja kuda ini tidak mau mendahului kuda betina.

Putaran terakhir sudah habis dan kini tinggal membelok untuk merebutkan ikatan bunga dengan pita merah sebagai tanda pemenang atau juara pertama! Dan Hek-liong-ma masih ketinggalan satu badan! Pada saat terakhir itu, saking penasarannya, tiba-tiba Ci Sian mengeluarkan suling emasnya, meniup suling itu dengan nada yang begitu tinggi sehingga tidak terdengar oleh telinga manusia. Akan tetapi karena dia mengerahkan khikang dan menujukan suara suling dengan ilmu yang dipelajarinya bersama Kam Hong, menujukan suara itu menyerang kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi, tiba-tiba saja kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi itu meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depannya ke atas dan tentu saja otomatis larinya terhenti!

Kuda itu telah terserang pendengarannya oleh suara lengkingan tinggi yang menggetar dan seolah-olah menusuk kedua telinganya, membuat binatang itu meringkik kesakitan dan juga amat terkejut. Tentu saja kesempatan baik ini tidak disia-siakan oleh Ci Sian. Ia membedal kudanya, Hek-liong-ma meloncat ke depan dan sebelum Lui Shi mampu menguasai kembali kuda hitamnya yang ketakutan, dengan mudahnya Ci Sian sudah meraih dan menyambar ikatan bunga dengan pita merah sebagai tanda bahwa ia keluar sebagai juara.

Sorak-sorai dan tepuk tangan riuh memenuhi lapangan itu dan Lui Shi yang akhirnya berhasil menguasai kembali kudanya karena kini tidak ada lagi suara suling yang membikin takut kuda itu, baru dapat melihat ketika mendengar sorak-sorai itu bahwa kejuaraan telah direbut oleh Ci Sian dan kuda hitamnya.

“Keparat....!” ia mengutuk dan membalapkan kudanya ke depan dengan muka merah penuh geram.

Ia tahu bahwa dara remaja itu tentu telah melakukan sesuatu yang membuat kudanya tadi ketakutan. Ia pun tadi melihat dara itu meniup suling yang mengkilap, dan biar pun telinganya tidak menangkap suara apa-apa, namun getaran yang halus sekali terasa olehnya maka tahulah ia bahwa dara itu menggunakan siasat untuk membuat kudanya ketakutan dan berjingkrak tadi. Maka ia menjadi marah sekali sehingga ia tidak ingat lagi bahwa di samping hadiah sebagai juara pertama, masih ada juara ke dua dan ke tiga. Ia membalapkan kudanya untuk mengejar Ci Sian yang sudah mengambil ikatan kembang dengan pita merah itu.

“Iblis curang!” bentak Lui Shi sambil mengejar.

Melihat sikap wanita ini, Ci Sian maklum bahwa ia terancam serangan, maka cepat ia melemparkan ikatan bunga sebagai tanda juara itu ke arah Thio-thicu karena ia sudah tiba di depan rombongan itu, lalu ia pun meloncat turun ke atas tanah, dan membiarkan Hek-liong-ma dirawat oleh beberapa orang tukang kuda pembantu Thio-thicu yang segera menyelimuti kuda itu dengan selimut bulu dan menyeka keringat kuda itu.

Melihat betapa Ci Sian sudah menantinya dengan berdiri tegak, Lui Shi menjadi makin marah, merasa kalau ditantang. Maka ia pun meloncat turun dari atas kudanya ke depan Ci Sian.

“Lui Shi.... ambil juara ke dua!” terdengar Bouw-thicu dan anak buahnya berteriak.

Akan tetapi Lui Shi seperti tidak mendengar seruan-seruan itu, dan Ci Sian yang diam-diam merasa marah kepada wanita curang ini, sengaja mengejek agar Bouw-thicu kehilangan semua kejuaraan.

“Hemm, wanita tak tahu malu. Engkau sudah kalah, masih banyak lagak mau apakah?” Setelah berkata demikian, sambil tersenyum mengejek Ci Sian lalu meloncat ke atas panggung.

Panggung itu memang memanjang ke depan, tempat para petugas tadi menyampaikan pengumuman dan lain-lain, dan kini ditinggalkan kosong karena semua pembesar dan petugas sudah duduk di kursi masing-masing. Dan Ci Sian melompat ke tempat ini dengan sengaja, untuk memancing Lui Shi menjauhi kejuaraan yang ke dua dan ke tiga, dan juga agar mereka berdua dapat nampak oleh semua orang yang berada di bawah, terutama sekali oleh para pembesar yang duduk di atas panggung.

Diejek oleh Ci Sian, kemarahan Lui Shi meluap, membuatnya menjadi mata gelap dan tanpa peduli apa-apa lagi, melihat lawannya itu melompat naik ke atas panggung, ia pun lalu menggunakan ginkang-nya meloncat ke atas panggung. Semua ini dapat dilihat dengan jelas oleh para penonton, juga oleh para pembesar dan tentu saja semua orang tertarik dan tegang. Kini semua mata memandang ke arah dua orang wanita itu yang sudah saling berhadapan di ujung panggung, dan agaknya tidak ada seorang pun yang mempedulikan jalannya perlombaan lagi. Ada pertunjukan yang lebih menarik dan menegangkan di atas panggung.

“Eh, engkau berani mengejarku?” Ci Sian terus menggoda dan mengejek. “Sudah kalah tidak mau menyadari kebodohan sendiri, malah mengamuk-ngamuk. Sungguh engkau ini nenek-nenek tak tahu malu, tebal muka....!” Ci Sian terus menggoda.

Sepasang mata wanita itu mendelik dan kini wajahnya tidak kelihatan terlalu cantik lagi. Bahkan mengarah buruk, karena keringatnya membasahi dahi, membuat pupur tebal itu luntur dan kulit mukanya yang tertutup bedak tidak rata itu malah menjadi coreng-moreng.

“Keparat, kubunuh engkau.... kubunuh engkau....” Lui Shi berkata, suaranya mendesis dan napasnya agak memburu saking marahnya.

“Aha, begitu mudahkah? Benarkah engkau akan mampu?” Ci Sian tetap saja mengejek.

Ucapan dan sikap dara remaja ini bagaikan angin yang mengipasi api kemarahan Lui Shi, maka wanita ini menjadi lupa diri. Ia lupa bahwa ia berada di tempat yang gawat, di depan para pembesar dan pejabat setempat, bahkan di depan kepala daerah Propinsi Sin-kiang! Dengan mata gelap ia sudah melolos keluar senjatanya, yaitu sebatang pedang lemas yang dapat digulungnya dan disembunyikannya di balik bajunya, dan dengan pedang di tangan ini ia menerjang maju, mulutnya mendesis, “Kucincang engkau.... kucincang dan kupenggal kepalamu....!”

Akan tetapi ia terlalu memandang rendah kepada Ci Sian, terkecoh oleh keadaan dara remaja itu. Meski dalam pandangan orang-orang lain yang menyaksikannya, serangan pedang dari Lui Shi itu amat cepat dan kuat serta amat berbahaya, namun dalam pandangan Ci Sian tidaklah demikian. Ia dapat mengikuti gerakan pedang itu dengan baik, dan dengan mudahnya ia mengelak sampai tujuh kali beruntun ketika pedang itu menyerang bertubi-tubi.

Tenaga manusia itu terbatas dan tidak mungkin serangan dilanjutkan terus tanpa henti, karena si penyerang perlu memulihkan tenaga dan mengatur napas. Ketika pedang itu berhenti bergerak menyerang setelah semua bacokan dan tusukannya mengenai angin belaka, detik ini dimanfaatkan oleh Ci Sian. Tangan kirinya menyambar dan biar pun Lui Shi juga seorang wanita yang gesit, namun sehabis menyerang bertubi-tubi itu, ia belum mampu menjaga diri, maka dengan kecepatan sekejap mata, tahu-tahu pipinya telah berkenalan dengan telapak tangan Ci Sian yang menyambar.

“Plakkk....!”

Telapak tangan Ci Sian itu halus lembut dan hangat, telapak tangan seorang dara yang terpelihara dan terawat baik-baik, yang tidak pernah atau jarang bekerja berat. Akan tetapi karena tangan itu terlatih, mengandung kekuatan sinkang yang amat hebat, maka biar pun tamparan itu dilakukan oleh Ci Sian dengan perlahan saja, bukan dengan niat membunuh, tidak urung tubuh Lui Shi terputar seperti disambar halilintar, dan setelah berjungkir balik dan memutar pedang mengatur keseimbangan, barulah ia terhindar dari keadaan terpelanting dan roboh. Seluruh mukanya terasa berdenyut-denyut dan panas sekali, dan ternyata pipi kanannya telah membengkak dan merah, sedangkan ujung bibirnya pecah berdarah! Sejenak ia terbelalak, saking terkejut, heran dan penasaran. Akan tetapi segera semua itu ditelan oleh kemarahannya yang berkobar-kobar.

Orang marah sama dengan orang mabuk. Dalam keadaan marah, kewaspadaan kita tertutup, seolah-olah tertutup oleh asap dari api kemarahan, membuat kita buta dan tidak dapat melihat kenyataan dengan terang. Kemarahan membutakan mata menulikan telinga. Dalam keadaan mabuk seperti itu, orang dapat melakukan apa saja, terutama melakukan hal-hal yang kejam, karena satu-satunya tujuan hanyalah melampiaskan kemarahan yang hanya dapat terlaksana dengan membalas dendam kepada orang yang menimbulkan kemarahan itu. Kemarahan merupakan penghamburan energi batin yang amat besar dan amat kuat sehingga banyaknya kemarahan akan mempengaruhi jasmani, menjadi lekas lapuk dan tua.

Dalam kemarahannya, Lui Shi seperti tidak melihat apa-apa lagi kecuali wajah dara remaja yang dianggapnya seperti setan yang amat dibencinya itu. Ia mengeluarkan pekik melengking tinggi yang menyeramkan dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Dari tangan kiri itu menyambar sinar yang sama ketika ia menyerang kuda, dan tahulah Ci Sian bahwa lawannya yang curang ini kembali mempergunakan senjata rahasia jarum-jarum halus.

Namun, senjata rahasia seperti itu tentu saja merupakan permainan kanak-kanak bagi pendekar wanita remaja yang telah memiliki kesaktian ini. Dengan kebutan tangan kirinya, Ci Sian membuat semua jarum itu runtuh, sedangkan yang melesat dan sempat mengenai kulit tubuhnya setelah menembus pakaian, hanya bertemu dengan kulit yang dilindungi sinkang amat kuat sehingga tidak terasa sama sekali! Ci Sian mencabuti empat lima batang jarum yang menancap di pakaiannya, dan membuangnya ke atas lantai seperti membuang kutu busuk.

Lui Shi terbelalak. Kalau saja tidak dimabokkan oleh kemarahan yang berkobar, semua kenyataan ini saja tentu telah menyadarkannya bahwa dara remaja itu bukan lawannya, terlalu tangguh baginya. Namun ia sudah mabok dan ia sudah menubruk lagi dengan pedangnya, menyerang dengan tusukan kilat ke arah dada Ci Sian.

Kini Ci Sian tidak mau memberi hati lagi. Ia miringkan tubuh, tangan kirinya mengikuti gerakan lawan menusuk dengan jari tangan ke arah lambung. Tusukan ini amat cepat dan berbahaya, mengeluarkan angin bersuit mengejutkan Lui Shi yang cepat menarik pedang dan hendak membacok tangan yang menusuk itu. Akan tetapi tiba-tiba saja tangan Ci Sian Sian menyambar dan tanpa dapat dihindarkan lagi, untuk kedua kalinya pipi Lui Shi ditampar. Sekali ini pipi kiri.

“Plakkk!”

Tamparan yang keras sekali, membuat tubuh itu terputar dan terpelanting, dan ketika Lui Shi mampu bergulingan untuk mematahkan kejatuhan tubuhnya dan ia melompat bangun, pipi kirinya bengkak lebih besar dari pada pipi kanannya dan ujung mulut kirinya juga berdarah. Mukanya menjadi buruk sekali setelah kedua pipinya bengkak itu, bahkan bengkak-bengkak itu sampai membuat kedua matanya nampak sipit dan lucu, dan hidungnya terjepit antara dua bukit membengkak dari kedua pipinya.

“Anak setan....!” Ia memaki dan menerjang lagi.

Ci Sian memapaki dengan tendangan hingga akhirnya Lui Shi terjengkang. Akan tetapi kembali wanita itu bangkit dan menyerang. Kembali Ci Sian menendang dan sekali ini ia mengerahkan lebih banyak tenaga.

“Dessss....!”

Tubuh Lui Shi terlempar dan terguling-guling sampai ke depan kursi kepala daerah yang sudah menjadi marah sekali. Semua orang melihat betapa Lui Shi yang mulai lebih dulu berkelahi itu. Lui Shi yang melakukan penyerangan-penyerangan sedangkan Ci Sian hanya melindungi diri saja. Maka kepala daerah itu lalu membentak.

“Tangkap perempuan pengacau ini!”

Lui Shi bukanlah wanita sembarangan. Ialah yang menghubungkan Bouw-thicu dengan para pemberontak Mongol. Kini melihat bahwa dirinya hendak ditangkap, kemarahannya yang sudah meluap itu membuat ia meloncat berdiri dan hendak menyerang pembesar itu! Akan tetapi tiba-tiba dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu Suma Kian Bu dan Teng Siang In telah berdiri di depannya!

Lui Shi mengenal suami isteri yang menjadi pemilik kuda yang dicurinya. Akan tetapi ia tidak mengenal mereka ini siapa dan belum tahu bahwa pemilik kuda itu adalah sepasang suami isteri yang kepandaiannya malah lebih tinggi dari pada kepandaian gurunya sekali pun! Maka ia tidak takut.

“Maling kuda, engkau menyerahlah!” Kian Bu berkata.

“Huh! Mampuslah!” kata Lui Shi dan ia pun menubruk dengan tusukan pedangnya.

“Takkkk!”

Pedang itu dengan tepat mengenai dada pendekar berambut putih itu, akan tetapi pedang itu melengkung! Pedang lemas, akan tetapi kalau dipergunakan oleh Lui Shi dengan pengerahan sinkang, pedang itu dapat menjadi keras atau lemas. Kini, dia menggunakan tenaga keras dan ternyata ketika mengenai dada orang, pedangnya melengkung seperti sebatang daun saja! Dan tahu-tahu pedangnya itu telah dijepit oleh dua jari tangan pria itu.

Lui Shi mengerahkan tenaga untuk mencabut pedangnya terlepas dari jepitan ibu jari dan telunjuk tangan kiri pendekar itu, namun hasilnya sia-sia belaka, pedangnya itu seolah-olah sudah berakar pada kedua jari itu! Bukan main kagetnya hati Lui Shi. Baru sekarang ia tahu bahwa pemilik kuda yang memiliki wajah tampan gagah namun amat menyeramkan ini kiranya memiliki kepandaian lebih hebat lagi! Kian Bu mengerahkan tenaga pada jari-jari tangannya, membuat gerakan menekuk dan memuntir.

“Krekkkk!” Pedang itu patah menjadi dua!

Pucatlah wajah Lui Shi. Pedangnya itu adalah sebuah pedang pusaka yang terbuat dari baja pilihan, yang mampu membabat putus besi dan baja biasa. Akan tetapi kini pedang itu patah oleh tekukan dua jari tangan orang ini! Tubuhnya mulai gemetaran karena tahulah ia bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang sakti!

“Maling busuk, sebaiknya engkau menyerah,” kata lagi Suma Kian Bu.

“Aku.... aku tak mencuri apa-apa....” Dalam gugupnya Lui Shi mencoba untuk membela diri.

“Bagus! Sudah mencuri, membohong pula!” Siang In mencibir. “Sungguh pengecut tak tahu malu. Kuda hitam betina itu adalah kuda milik kami yang sudah kau curi dari kami, menggunakan kepandaianmu menjinakkan kuda. Dan kini engkau masih berani hendak menyangkal?”

Tiba-tiba dari samping terdengar suara orang, suara yang berat dan berwibawa, “Harap jangan ada fitnah-fitnah yang tidak sehat di sini! Kuda hitam itu adalah milik kami, dan kami menerimanya dari Lui Shi dengan syah. Kuda itu sejak dahulu adalah milik Lui Shi, bagaimana kini tiba-tiba ada orang menuduhnya mencuri?”

Suara ini adalah suara Bouw-thicu yang sudah tiba di tempat itu bersama beberapa orang pengawal pribadinya. Tuan tanah yang bertubuh tinggi besar ini naik ke panggung dan setelah memberi hormat kepada para pembesar, terutama kepala daerah yang dikenalnya dengan baik, lalu mengeluarkan teguran itu kepada Suma Kian Bu dan Teng Siang In.

Mendengar teguran tuan tanah yang tinggi besar itu, Kian Bu berkata, “Bouw-thicu, mungkin engkau sendiri juga tertipu oleh wanita ini. Akan tetapi kuda hitam itu benar milik kami. Kuda kami adalah sepasang, dan yang betina hilang dalam perjalanan kami, dan ternyata di curi oleh wanita ini.”

“Bohong....!” Lui Shi berkata dengan suara teriakan, sikapnya sudah pulih karena ia dibela oleh Bouw-thicu. Kini ia kelihatan marah dan penasaran, “Kuda itu sejak kecil kukenal dan kupelihara, bagaimana tiba-tiba ada orang mengakuinya?”

“Taijin, kami mohon keadilan!” Bouw-thicu berkata kepada Kepala Daerah Propinsi Sin-Kiang yang langsung menghadapi pertikaian ini.

Kepala daerah itu tersenyum dan memandang kepada Suma Kian Bu.

“Kalau ada dua pihak mengakui seekor kuda sebagai miliknya, maka jalan satu-satunya hanyalah agar kedua pihak memperlihatkan bukti akan kebenaran pengakuan masing-masing. Kalau ada bukti, barulah benar bahwa dia pemiliknya.“

Bouw-thicu tersenyum. Biar pun dia tadi kecewa karena kekalahan Lui Shi, bahkan kejuaraan kedua dan ketiga telah direnggut peserta lain, namun kini agaknya terbuka kesempatan baginya untuk menjatuhkan nama Thio-thicu, atau setidaknya orangnya tuan tanah lawan itu, di hadapan semua pembesar dan semua penonton. Biar pun dia kalah bertaruh, kekalahannya yang amat besar, baik dalam hal tanah yang luas mau pun jumlah uang yang amat banyak, namun dia akan menang muka.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman