SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-37


Dan tiba-tiba saja Ci Sian mengenal suara itu. Itulah suara yang pernah terdengar olehnya ketika ia terjerumus ke dalam kolam lumpur, dan suara laki-laki ini pula yang menyadarkan dia bahwa dirinya telah terpengaruh sihir ketika memilih kuda penyakitan sebagai Hek-liong-ma!

Dan tiba-tiba ia melihat bayangan berkelebat, demikian cepatnya laki-laki itu bergerak, padahal tadinya dia itu berdiri di tempat yang agak jauh. Bagaikan terbang saja laki-laki itu telah berkelebat datang di tengah-tengah antara mereka dan di lain saat, laki-laki itu telah memegang ujung payung dan ujung suling yang saling berhantam itu dan Ci Sian merasa betapa amat sukar baginya untuk menggerakkan suling yang tertangkap itu. Ia terkejut setengah mati, tidak mengira bahwa di dunia ada orang yang mampu bergerak secepat itu!

“Sudah, jangan berkelahi. Nona, maafkanlah isteriku dan harap kau suka mundur,” kata pria itu kepada Ci Sian. Ci Sian mengangguk dan menarik sulingnya lalu meloncat ke belakang.

“Isteriku, engkau tahu bahwa Nona ini bukan musuh, bukan penjahat, mengapa engkau mendesak dan menyerangnya?”

Wanita berpayung itu membelalakkan matanya yang jeli dan berbentuk indah itu, mukanya menjadi merah karena marah dan tiba-tiba ia mengeluarkan kata-kata yang ketus dan keras. “Bagus! Ia muda dan cantik dan lihai! Engkau tergila-gila kepadanya, ya?”

“In-moi....! Kau.... cemburu? Ah, Isteriku, kenapa begini jadinya dengan kita....!” Pria itu berkata dengan nada mengeluh dan wanita berpayung itu membuang muka.

Akan tetapi Ci Sian dapat melihat betapa kedua mata yang indah itu mulai membasah dan berlinang air mata. Ia merasa terkejut, terheran dan juga terharu. Ada sesuatu antara suami isteri yang mengganggu perasaan mereka. Padahal, suami isteri ini amat luar biasa. Kini ia dapat melihat wajah pria itu. Wajah seorang pendekar yang amat mengagumkan dan gagah perkasa, dan wanita itu sungguh cantik dan gagah pula.

Pasangan yang amat hebat, dan kepandaian mereka luar biasa pula. Akan tetapi mengapa kini seolah-olah ada ganjalan penyesalan di antara mereka dan mereka itu nampak sangat berduka? Tiba-tiba ia teringat. Pendekar ini! Persis seperti yang pernah diceritakan oleh Kam Hong kepadanya! Dan gerakan yang seperti kilat tadi, gerakan meloncat yang seperti terbang saja itu.

“Taihiap.... bukankah Taihiap ini adalah.... Pendekar Siluman Kecil?” akhirnya dia memberanikan diri bertanya.

Sepasang mata yang mencorong itu kini menatap wajahnya, mengingatkan Ci Sian akan sepasang mata Kam Hong dan juga mata Hong Bu, walau pun tidak setajam mata pendekar ini. Terpaksa ia menundukkan pandang matanya.

“Bertahun-tahun lamanya tidak ada orang menyebut nama itu. Bagaimana engkau bisa tahu, Nona?” Suara pendekar itu halus, tapi mempunyai wibawa dan juga mengandung desakan sehingga mau tidak mau Ci Sian terpaksa harus menjawab sejujurnya.

“Saya sering mendengar nama besar Taihiap dari Suheng. Dia mengenal Taihiap dengan baik dan sering kali bercerita tentang Taihiap.”

“Siapa Suheng-mu itu, Nona?”

“Suheng saya she Kam bernama Hong....”

“Ahhh, kiranya Siauw Hong? Kam Hong keturunan Pendekar Suling Emas?”

“Benar, dan dialah yang sekarang yang berjuluk Pendekar Suling Emas,” kata Ci Sian dengan bangga.

“Bagus! Kiranya begitu, pantas saja ilmu sulingmu hebat, Nona. Nah, isteriku lihat saja, bukankah kita bertemu dengan orang sendiri? Karena itu, tidak baik untuk membiarkan kemarahan mengamuk, salah-salah bisa bentrok dengan sahabat sendiri.”

Wanita cantik berpayung itu memandang kepada Ci Sian, kemudian menarik napas dan menghampiri, lalu memegang pundak Ci Sian. “Adik yang baik, engkau masih muda dan ternyata sudah memiliki kepandaian lihai. Kiranya sumoi dari keturunan Pendekar Suling Emas. Siapakah namamu?”

Melihat sikap yang begini terbuka dan ramah, Ci Sian segera merasa terharu dan balas merangkul. Seketika ia merasa suka sekali kepada wanita cantik jelita yang gagah ini.

“Enci yang gagah, maafkanlah sikap saya tadi.”

“Hush, aku yang bersalah, masa engkau yang minta maaf!” Wanita itu tertawa dan dia nampak manis bukan main. “Sudahlah, tidak perlu maaf-maafan antara kita. Engkau tentu sudah mendengar tentang nama kami....”

“Suheng hanya memberi tahu bahwa Pendekar Siluman Kecil bernama Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti di Pulau Es yang hanya kuketahui sebagai dongeng, akan tetapi Suheng tidak tahu siapa nama isterinya. Siapakah nama Enci yang gagah?”

“Memang Suheng-mu benar. Suamiku ini bernama Suma Kian Bu dan aku bernama Teng Siang In, seorang perempuan buruk dan bodoh biasa saja.... tidak seperti dia....” suaranya mengandung keluhan lagi.

“Eihhh, isteriku, mengapa mulai lagi? Nah, ceritakan, Nona, siapakah namamu dan bagaimana engkau bisa sampai ke tempat ini?”

“Namaku Bu Ci Sian dan kami, yaitu aku dan Suheng, baru saja kembali dari barat untuk membasmi Hek-i-mo,” katanya dengan jujur dan akrab, karena merasa betapa mereka itu amat ramah kepadanya.

Suami isteri itu saling pandang. “Hek-i-mo? Dan bagaimana hasilnya?” tanya pendekar itu.

“Suheng telah berhasil membasmi mereka, hanya sayang bahwa Hek-i Mo-ong sendiri berhasil melarikan diri,” kata Ci Sian dengan bangga.

Pendekar berambut putih itu mengangguk-angguk. “Hebat, tidak mengecewakan dia menjadi keturunan Pendekar Suling Emas.”

Para pembaca cerita Kisah Sepasang Rajawali dan Jodoh Rajawali tentu mengenal siapa adanya Pendekar Siluman Kecil ini. Telah diceritakan di dalam kisah Jodoh Rajawali, Suma Kian Bu, yaitu putera dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai, telah berjodoh dan menikah dengan Teng Siang In, dara cantik jelita yang selain pandai ilmu silat, juga pandai dalam ilmu sihir itu. Berbareng dengan kakaknya, yaitu Suma Kian Lee putera Suma Han dan Lulu, Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu merayakan pernikahannya dengan isterinya. Mereka lalu tinggal di Pulau Es, hidup berbahagia bersama keluarga Suma.

Akan tetapi, setelah menanti-nanti sampai sepuluh tahun belum juga suami isteri ini memperoleh keturunan, mulailah mereka berdua merasa gelisah dan berduka sekali. Sementara itu, Suma Kian Lee yang menikah dengan Kim Hwee Li, dan yang beberapa tahun kemudian telah meninggalkan Pulau Es dan tinggal di daratan besar, telah mempunyai dua orang anak, seorang putera dan seorang puteri.

Akhirnya, suami isteri itu tak dapat menahan kedukaan dan kekecewaan hati mereka lagi dan mereka berdua lalu meninggalkan Pulau Es, sungguh pun ayah mereka, yaitu Suma Han, dan kedua ibunya mereka, telah tua sekali. Mereka pergi ke daratan besar dan melakukan perantauan sampai akhirnya mereka sampai di daerah barat, di dekat Sin-kiang itu dan berjumpa dengan Ci Sian.

Tentu saja Suma Kian Bu masih ingat kepada Kam Hong yang dahulu disebutnya Siauw Hong, pemuda berpakaian pengemis yang lihai itu, yang pernah menjadi semacam kacungnya. Dan giranglah hatinya mendengar dari Ci Sian bahwa Kam Hong kini telah menjadi seorang pendekar yang amat lihai sehingga mampu membasmi gerombolan Hek-i-mo yang amat terkenal itu. Dia sendiri bersama isterinya telah mendengar di sepanjang perjalanan tentang Hek-i-mo dan bahkan telah mengambil keputusan untuk menghadapi gerombolan jahat itu yang kabarnya telah menewaskan banyak orang kang-ouw. Kiranya mereka telah didahului oleh keturunan Pendekar Suling Emas.

“Di mana sekarang Suheng-mu yang perkasa itu?” tanya Kian Bu kepada Ci Sian.

Wajah dara ini menyuram dan ia menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, dia telah meninggalkan diriku dan aku sekarang justru sedang mencarinya, Taihiap.” jawabnya sejujurnya dan dengan suara mengandung kedukaan.

Siang In merangkulnya. Wanita ini sudah matang dan sudah tahu akan isi hati dan perasaan wanita lain, dan ia dapat merasakan bahwa kemasygulan hati Ci Sian ada hubungannya dengan kerinduan. Maka dia pun dapat menduga bahwa tentu ada hubungan yang lebih mesra antara Ci Sian dan Kam Hong dari pada hubungan suheng dan sumoi belaka.

“Jangan berduka, Ci Sian. Tidak ada kesulitan apa pun di dunia ini yang tidak dapat diatasi. Bersabarlah.”

Mendengar ucapan isterinya itu, wajah Kian Bu yang tadi nampak termangu-mangu itu berseri dan cepat menyambung, “Benar, dan tepat sekali ucapan isteriku itu, Nona Bu. Segala kesulitan akan dapat diatasi dengan kesabaran.”

Diam-diam Ci Sian merasa kasihan kepada suami isteri itu. Mereka itu, terutama Siang In, hendak menghiburnya dan agaknya kedukaan hatinya karena mencari suheng-nya itu setidaknya merupakan hiburan ringan bagi kedukaan suami isteri itu. Entah kedukaan apa yang telah membuat suami isteri itu seperti orang yang gelisah dan juga bahkan kerenggangan timbul di antara mereka.

Selagi ia hendak bicara, tiba-tiba saja lengannya dipegang oleh Siang In yang berkata dengan lirih. “Adik Ci Sian, serahkan saja tikus-tikus itu kepada kami.”

Melihat sikap Siang In, Ci Sian menengok dan melihat datangnya beberapa orang tosu yang berjalan cepat sekali ke arah mereka. Ketika mereka sudah tiba dekat, dia mengenal tosu yang pandai sihir tadi telah datang bersama lima orang tosu lainnya dan seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun lebih. Kakek ini memegang sebatang tongkat, tubuhnya kurus sekali dan mukanya pucat seperti tengkorak hidup, akan tetapi sepasang matanya seperti mata setan yang bergerak-gerak liar dan mengandung kekuatan aneh.

Begitu enam orang yang berpakaian tosu itu berhadapan dengan Kian Bu, Siang In dan Ci Sian, mereka berhenti dan memandang dengan penuh perhatian. Kemudian, tosu kurus kering yang memegang tongkat itu melangkah maju.

“Siancai.... tidak disangka bahwa daerah kami kedatangan orang-orang muda yang memiliki kepandaian hebat. Tidak tahu siapakah Sicu dan dari manakah Sicu datang?”

Suma Kian Bu sejenak memandang kepada tosu ini. Melihat gerak-gerik tosu ini, juga pandang matanya yang seperti setan itu, dia tahu bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, dan lagaknya tidak seperti penjahat. Maka dia pun menjura dan menjawab dengan suara tenang.

“Totiang, kami bertiga adalah pelancong-pelancong biasa saja yang tidak ingin mencari permusuhan dengan siapa pun di sini. Akan tetapi sayang, agaknya orang-orang pandai di daerah sini suka mencari keributan, bahkan tidak segan-segan untuk mencuri kuda. Karena itu terpaksa kami membela yang benar dan kami menyesal sekali.”

Tosu kurus itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang, kemudian tersenyum pahit. “Gara-gara kuda hitam itu agaknya yang menimbulkan salah paham, Sicu.”

“Salah paham apa?” Ci Sian sudah berkata sambil tersenyum mengejek. “Sudah jelas ada teman-temanmu yang mencuri kuda dari pemiliknya, kemudian mengeroyokku untuk merampas kuda hitam!”

Sepasang mata yang amat hitam itu kini memandang kepada Ci Sian dan begitu bertemu pandang, Ci Sian bergidik dan cepat membuang pandang mata. Mata setan, pikirnya seram.

“Aha, agaknya kesalah-pahaman ini berasal darimu, Nona,” tosu itu berkata sambil tersenyum.

“Apa? Sudah jelas bahwa orang-orangmu hendak mencuri kuda pedagang kuda tua itu. Apakah engkau hendak menyangkalnya, Totiang?” Ci Sian berkata lagi, penasaran.

Kakek itu mengangguk-angguk. “Memang benar.... memang benar...., akan tetapi lalu muncul Nona yang lihai dan menggagalkan mereka. Akan tetapi kemudian para sahabat itu melihat Nona menunggang kuda itu, sehingga timbul kesalah pahaman yang makin besar. Mereka mengira bahwa Nona telah mencuri kuda itu, maka mereka berusaha untuk merebutnya.... dan muncullah Sicu dan Toanio ini yang lihai sekali!”

“Enak saja menuduh orang! Kalian sudah jelas pencuri-pencuri kuda, sekarang hendak menuduh aku mencuri pula. Huhh, aku bukan pencuri kuda macam kalian! Kakek pedagang kuda itu atas kehendaknya sendiri memberikan kuda itu kepadaku!” Ci Sian membentak.

“Dan kakek pedagang kuda itu menerima pemberian kami!” Tiba-tiba Siang In berkata, suaranya lantang. “Hek-liong-ma adalah kuda milik kami yang kami berikan kepada pedagang kuda itu!”

Mendengar ini, para tosu itu memandang kepada Siang In, bahkan Ci Sian sendiri terkejut. Tak disangkanya bahwa Pendekar Siluman Kecil inilah yang dimaksudkan oleh Si Pedagang kuda sebagai pendekar yang telah menukarkan kuda hitam itu dengan makanan selama dua hari!

“Ahh, kiranya Hek-liong-ma ini kudamu, Enci?” Ci Sian bertanya heran.

“Nah, lihatlah, Totiang. Kami bukanlah pencuri-pencuri kuda, akan tetapi teman-teman Totianglah yang mencuri dan hendak merampas kuda orang. Maka, harap Totiang mau mengerti dan suka meninggalkan kami yang tidak mencari keributan,” kata Suma Kian Bu, sikap dan suaranya tegas dan berwibawa.

“Ho-ho-ho, Sicu. Harap jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Sesungguhnya teman-teman kami itu pun bukan pencuri-pencuri kuda, walau pun mereka berusaha mencuri Hek-liong-ma.”

“Omongan apa itu?” Ci Sian membentak. “Bukan pencuri akan tetapi mencuri!”

“Siancai.... Nona muda amat keras hati,” tosu itu berkata sambil mengelus jenggotnya. “Agar jelas bagi Sam-wi (Kalian Bertiga) baiklah kami ceritakan. Kami hanya orang-orang yang bertugas mendapatkan kuda terbaik di daerah ini. Pada waktu kami melihat Hek-liong-ma, kami tahu bahwa itulah kuda yang harus kami dapatkan. Kami membujuk pedagang kuda, hendak membelinya dengan harga berapa pun, lalu membujuk untuk meminjamnya, namun sia-sia. Dia tidak mau menyerahkannya dan terpaksalah kami berusaha mencurinya.” Tosu itu dengan singkat lalu menceritakan keadaannya dan anak buahnya yang ‘terpaksa’ mencuri kuda terbaik.

Di daerah Sin-kiang yang amat luas itu terdapat banyak pengusaha-pengusaha yang hidupnya seperti raja-raja kecil. Mereka adalah orang-orang yang menguasai tanah yang luas sekali, yang kebanyakan didapatkannya dengan mengandalkan kekayaan mereka yang amat besar. Dengan tanah yang amat luas itu, dan dengan harta mereka, maka raja-raja kecil ini memperkuat dirinya dengan pembantu-pembantu bayaran, dengan pasukan-pasukan kecil untuk melindungi keamanan jiwa dan hartanya.

Keadaan seperti ini sudah turun-temurun terjadi di daerah itu. Bahkan setelah Kerajaan Mancu berkuasa sekali pun, kerajaan ini tidak dapat menghapus begitu saja kekuasaan raja-raja kecil ini, sungguh pun penguasa-penguasa ini juga membayar pajak kepada pemerintah. Dan tidak jarang di antara raja-raja kecil ini terjadi bentrokan-bentrokan dan perang-perang kecil untuk soal-soal yang kecil. Adakalanya karena perbatasan tanah kekuasaan, karena anak buah dan sebagainya yang pada hakekatnya hanyalah karena berlomba kedudukan dan kekuasaan.

Akan tetapi, karena sudah terlalu sering terjadi bentrokan-bentrokan yang menimbulkan kekacauan, Kerajaan Mancu bertindak dengan keras dan melarang semua bentrokan itu, menghukum mereka yang menimbulkan kekacauan. Dan semenjak pemerintah ini bertangan besi, perlombaan kekuasaan itu pun mengambil bentuk lain. Sekarang bukan lagi perlombaan kekuasaan dengan kekerasan, melainkan dengan jalan perlombaan-perlombaan seperti perlombaan kekayaan, atau perlombaan kuda dan beberapa macam ketangkasan-ketangkasan lain lagi. Semua ini hanya dengan satu tujuan, yaitu mencari kemenangan, karena dalam kemenangan ini mereka yang menang akan merasa bahwa mereka lebih unggul dan lebih segala-galanya dari yang kalah!

Yang paling sering diadakan perlombaan atau balapan kuda. Karena inilah, dengan menggunakan kekayaan mereka, para penguasa atau raja kecil ini, mendatangkan kuda-kuda terbaik dari seluruh negeri, bahkan ada yang mendatangkan dari jauh, dari barat melalui pegunungan-pegunungan yang amat sukar perjalanannya dan membuat kuda itu mempunyai harga yang sangat mahal. Setiap tahun sekali tentu diadakan perlombaan kuda ini, dan dalam setahun penuh, para pembantu raja-raja kecil ini juga saling berlomba sendiri untuk mengumpulkan sebanyak mungkin kuda-kuda terbaik. Jadi semacam perlombaan mencari kuda terbaik.

Tosu itu bersama anak buahnya adalah serombongan petugas dari seorang raja kecil yang memiliki wilayah luas di perbatasan sebelah timur. Pada waktu mereka melihat kakek pedagang kuda menggiring banyak kuda dan di antara kuda-kuda itu terdapat Hek-liong-ma, tentu saja mereka tertarik sekali. Belum pernah mereka melihat kuda sebaik itu dan tentu saja sebagai orang-orang yang haus akan kuda baik sehubungan dengan tugas mereka, mereka segera menghubungi kakek itu untuk membeli atau meminjam kuda hitam itu untuk keperluan perlombaan beberapa hari yang akan datang.

Akan tetapi, kakek pedagang kuda itu menolak, dengan alasan bahwa kuda itu adalah pemberian seseorang, maka tidak hendak dijualnya juga tidak dapat dipinjamkan atau disewakannya. Hal inilah yang membuat anak buah tosu itu terpaksa mencoba untuk mencuri kuda hitam dan secara kebetulan pula mereka itu dilihat Ci Sian yang segera membantu kakek pedagang kuda.

“Nah, demikianlah duduk perkaranya. Harap Sam-wi, suka memaklumi keadaan kami.” Sambung tosu itu. ”Maksud kami mencuri kuda itu pun hanya untuk meminjamnya sampai perlombaan berlangsung dan majikan kami menang. Kami akan mengembalikan kepada pemiliknya lagi. Akan tetapi sekarang, pedagang kuda itu telah memberikan kuda hitam kepada Nona sehingga kami benar-benar menghadapi kesulitan sekarang.”

“Setelah kuda ini menjadi milikku, dan setelah orang-orangmu gagal merampasnya dariku, sekarang engkau datang dengan maksud bagaimanakah?” Ci Sian bertanya, sikapnya menantang.

Tosu itu tersenyum. “Nona muda, tentu engkau tahu bahwa seorang petugas yang baik adalah orang yang tidak akan pernah putus asa sebelum tugasnya terlaksana dengan baik. Demi suksesnya tugas, tentu saja kami akan mempergunakan segala daya untuk mendapatkan kuda hitam itu, Nona. Misalnya dengan begini!”

Dan mendadak kakek itu menudingkan tongkatnya ke arah kuda hitam yang diikatkan pada batang pohon oleh Ci Sian tadi. Dan terjadilah hal yang amat luar biasa dalam pandangan Ci Sian. Kuda itu telah terlepas dari batang pohon dan kini kuda itu berjalan perlahan-lahan menghampiri tosu yang menudingkan tongkatnya itu!

“Hemm, permainan kanak-kanak saja!” Tiba-tiba terdengar suara mengejek dari mulut Siang In.

Teng Siang In, isteri dari Pendekar Siluman Kecil itu adalah seorang wanita yang selain ahli dalam ilmu silat, juga memiliki kepandaian sihir yang kuat. Ia pernah menjadi murid dari mendiang See-thian Hoat-su. Maka, melihat ilmu sihir yang dilakukan oleh tosu itu, ia mentertawakannya.

“Ci Sian, jangan mudah ditipu olehnya, Hek-liong-ma masih tetap berada di sana, terikat di batang pohon!”

Ci Sian terkejut sekali karena ketika dia menengok, benar saja kudanya masih tetap berada di pohon, terikat kendalinya seperti tadi, sedangkan kuda hitam yang berjalan menghampiri kakek itu kini telah lenyap seperti asap saja!

Melihat ini, kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Di tempat ini kami bertemu dengan seorang wanita sakti! Bagus, Toanio, marilah kita main-main sebentar untuk mempererat perkenalan!”

Setelah berkata demikian, kakek itu mengeluarkan suara teriakan halus panjang. Ketika Ci Sian memandang, ia melihat kakek itu sudah berhadapan dengan Siang In dalam jarak kurang lebih lima meter dan kakek itu menudingkan tongkatnya ke atas. Dari ujung tongkat itu keluarlah asap putih yang mengeluarkan suara mendesis. Asap itu makin lama makin banyak dan tebal, kemudian terbentuklah seekor ular yang dari mulutnya mengeluarkan asap dan api. Ular itu seperti terbang turun hendak mematuk Siang In!

Ci Sian kaget sekali, akan tetapi karena ia melihat betapa Pendekar Siluman Kecil hanya berdiri sebagai penonton saja dan kelihatan tenang dan enak-enakan, maka ia pun tidak mau sembarangan turun tangan. Ia tahu bahwa kakek itu menggunakan sihir, dan agaknya Siang In yang cantik itu sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan nyonya ini mengangkat tangan kiri ke atas sambil berkata,

“Totiang, apa daya seekor ular menghadapi seekor burung bangau?” Dan aneh sekali, tangan kirinya itu seperti berubah menjadi seekor pek-ho (bangau putih) yang terus terbang ke atas, lalu menyambar turun dan menangkap ular itu dengan paruhnya yang kuat, lalu menelan ular itu!

“Bagus....! Akan tetapi kami belum kalah, Toanio!” kata tosu itu.

Dan kini dia menudingkan tongkatnya sampai ujungnya menyentuh tanah, dan sekali mencongkel ada tanah tercongkel tongkat dan tanah itu berhamburan, lalu berubah menjadi.... tikus-tikus hitam yang banyak sekali dan kini semua lari menghampiri Siang In! Melihat tikus-tikus itu, Ci Sian sendiri memandang terbelalak dengan jijik dan geli. Juga wajah Siang In agak berubah, ada bayangan kengerian pada wajah cantik itu. Memang pada umumnya tikus-tikus merupakan binatang yang paling menjijikkan bagi wanita. Karena agaknya merasa jijik ini, maka Siang In tidak membuang banyak waktu lagi, cepat-cepat ia pun menudingkan telunjuknya ke arah tikus-tikus itu dan membentak dengan suara melengking nyaring yang mengandung wibawa amat kuatnya.

“Asal tanah kembali jadi tanah!”

Nampak asap mengepul dan tikus-tikus itu pun lenyaplah, berubah menjadi seonggok tanah kembali! Tosu itu mengangguk-angguk dan memandang heran. “Kami lihat bahwa kekuatan sihir dari Toanio hebat bukan main dan agaknya bersatu sumber dengan kami. Bolehkah kiranya pinto mengetahui siapa gerangan guru Toanio dalam ilmu sihir?”

Siang In tersenyum. Untuk mencegah pertentangan selanjutnya, memang perlu untuk mendatangkan kesan kepada orang-orang ini, maka tanpa ragu-ragu dia menjawab. “Kenalkah Totiang kepada See-thian Hoat-su dan Nenek Durganini? Dari merekalah aku mempelajari sihir.”

Tiba-tiba saja sikap tosu itu berubah, amat hormat dan dia pun malah segera menjura. “Ahh, kiranya Toanio murid dari Locianpwe Durganini yang sakti! Sungguh pinto terlalu lancang berani memperlihatkan kebodohan sendiri!” Lalu dia menoleh kepada teman-temannya yang telah mencabut senjata mereka itu dan berkata. “Ahhh, para rekan, ternyata mereka ini adalah orang-orang gagah yang sama sekali tak boleh diganggu....“

Akan tetapi, wajah para jagoan yang biasanya mengandalkan senjata dan ilmu silat seperti mereka itu, membayangkan kekecewaan dan penasaran. Baru pertunjukan sihir seperti itu saja mengapa membuat tosu itu ketakutan dan menyuruh mereka mundur?

“Tapi, pihak lawan yang paling kuat, yaitu Si Topi Merah, juga telah mendapatkan seekor kuda yang mirip dengan Hek-liong-ma. Tanpa bantuan Hek-liong-ma ini, mana mungkin kita bisa menang? Dan kekalahan sekali ini tentu akan menjatuhkan nama majikan kita dan mungkin membuat kita kehilangan pekerjaan!” kata seorang di antara mereka yang memegang sepasang golok besar dan nampaknya gagah dan juga tangguh.

“Habis, kalian mau apa? Mau tetap merampas kudaku ini?” Ci Sian membentak dan melangkah maju sambil mengangkat dada, sikapnya menantang sekali.

Si Pemegang Sepasang Golok besar yang kepalanya botak itu berkata, sikapnya gagah namun jelas bahwa dia termasuk orang yang jujur dan kasar, tidak biasa bersikap halus. “Nona, kami bukanlah perampok dan orang-orang jahat, bukan pula pencuri kuda. Akan tetapi, karena terpaksa, kami hanya bermaksud menyewa atau meminjam kuda Nona itu untuk satu kali perlombaan saja.”

“Hemm, kalau aku menolak?”

“Terpaksa kami akan menggunakan kekerasan. Kami akan merampas kuda ini untuk dipinjam dan kelak kami kembalikan bersama uang sewanya,” kata Si Botak sambil melintangkan sepasang goloknya di depan dada. Teman-temannya yang belasan orang jumlahnya juga sudah siap dengan senjata masing-masing, untuk menggertak supaya nona itu suka meminjamkan kudanya tanpa adanya kekerasan.

Akan tetapi sebelum Ci Sian melayani orang itu, tiba-tiba terdengar suara Suma Kian Bu. Si Pendekar Siluman Kecil ini sejak tadi hanya mendengarkan dan melihat saja, akan tetapi begitu melihat sikap Si Botak yang agaknya bertekad untuk merampas kuda, timbul perasaan tidak senang di hatinya yang dapat dilihat dari kerutan kedua alisnya. “Aku paling tidak suka orang-orang yang suka bermain-maln dengan senjata! Nah, biar kusingkirkan semua senjata itu!”

Dan tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat di antara orang itu. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan orang-orang itu hendak mempertahankan senjata masing-masing dengan jalan mengelak atau bahkan memapaki pendekar itu dengan serangan, akan tetapi semua ini percuma saja. Bahkan Si Botak itu sendiri yang mengelebatkan sepasang goloknya, tahu-tahu merasa kedua tengannya kaku dan kedua goloknya itu terlepas dari pegangan tangannya, lenyap entah ke mana! Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Kian Bu telah meloncat ke depan tosu itu dan menurunkan belasan batang senjata tajam itu ke atas tanah. Terdengar bunyi berkerontangan ketika senjata-senjata itu berjatuhan di depan kaki Si Tosu yang menjadi pemimpin atau juga guru mereka!

Diam-diam Ci Sian kagum bukan main. Ia dapat mengikuti semua gerakan pendekar itu yang bagi belasan orang itu tidak dapat dilihat, dan dara perkasa ini harus mengakui bahwa gerakan pendekar itu sungguh amat luar biasa, seperti kilat saja berloncatan ke sana sini dengan amat cekatan. Ia tahu bahwa Pendekar Siluman Kecil ini sungguh merupakan seorang berilmu tinggi dan akan merupakan lawan yang amat tangguh!

Juga tosu itu kini sadar bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

“Siancai....,” katanya sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada, “Kami orang-orang kasar seperti buta saja tidak mengenal menjulangnya Bukit Thai-san yang tinggi di depan mata. Sesungguhnya, orang yang dapat memiliki kuda seperti Hek-liong-ma itu tentu saja seorang pendekar sakti. Alangkah bodohnya kami.... harap Cu-wi para pendekar yang sakti sudi memaafkan kami yang oleh keadaan terpaksa bersikap kasar.”

“Ah, celaka! Sekali ini hancurlah kita!” kata Si Botak. “Kuda mana lagi yang akan mampu menandingi kuda hitam milik Si Topi Merah itu? Hayaaaa....!” Dia mengeluh panjang pendek.

Mendengar ucapan ini, Kian Bu dan isterinya merasa tertarik sekali. Siang In lalu berkata, “Coba ceritakan tentang kuda hitam milik Si Topi Merah itu. Kuda hitam yang bagaimanakah yang dimilikinya?”

Tosu itu lalu menarik napas panjang. “Si Topi Merah adalah julukan tuan tanah yang menjadi saingan terbesar dari majikan kami, Toanio. Dia terkenal sebagai tuan tanah yang jahat, kejam dan sewenang-wenang, karena itu majikan kami memusuhinya. Dia mengandalkan kekayaannya dan terkenal sebagai tukang jual beli wanita yang amat kejam.”

“Hemm, setiap orang tentu membela majikan masing-masing,” kata Kian Bu tertawa.

“Siancai, agaknya memang demikianlah. Akan tetapi Taihiap tentu mengerti bahwa seorang tosu seperti pinto ini sama sekali tidak mengharapkan gaji besar dan hadiah. Sama sekali tidak! Jikalau pinto membela majikan kami, yaitu Thio-wangwe, adalah karena pinto tahu bahwa dialah satu-satunya hartawan atau tuan tanah di daerah ini yang pantas dibantu. Thio-wangwe adalah seorang yang adil dan bijaksana, juga amat mengagumi dan menjunjung orang-orang kang-ouw.”

“Teruskanlah cerita tentang kuda hitam itu,” Siang In mendesak karena ia merasa tertarik sekali mendengar cerita tentang kuda hitam yang lain itu.

“Kami tidak tahu banyak, Toanio,” Tosu itu melanjutkan. “Yang kami dengar hanya baru-baru ini, Bouw-thicu (Tuan Tanah Bouw) telah memperoleh seekor kuda hitam yang luar biasa, sama dengan Hek-liong-ma ini, bahkan sudah memperoleh ahli penunggangnya pula, yaitu seorang wanita cantik yang amat terkenal. Wanita itu memang amat lihai menunggang kuda, dan ia pun terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang ahli penjinak kuda. Namanya Lui Shi dan ilmu silatnya pun lihai sekali.”

“Hemm....“ Siang In saling pandang dengan suaminya. “Dan kuda hitam yang sama dengan Hek-liong-ma itu tentu seekor kuda betina, bukan?”

“Benar sekali, Toanio.”

“Itu adalah kuda kami pula yang hilang dicuri orang!” Siang In berkata dan bukan saja orang-orangnya Thio-wangwe atau Thio-thicu itu saja yang kaget, akan tetapi juga Ci Sian terkejut mendengar ini.

“Kami tadinya mempunyai dua ekor kuda, jantan dan betina. Akan tetapi ketika kami memasuki daerah Sin-kiang, pada suatu malam, di rumah penginapan, kuda betina kami hilang dicuri orang. Kami sudah berusaha mencari-cari, akan tetapi tidak berhasil menemukan kuda itu. Dan karena kawannya hilang itulah maka Hek-liong-ma menjadi sakit-sakitan, dan untuk menolongnya, kami menyerahkannya kepada pedagang kuda yang amat mencinta kuda dan pandai mengobati itu.”

“Dan kakek pedagang kuda itu memberikan kuda hitam kepadaku karena takut akan gangguan kalian,” Ci Sian menyambung.

“Ahh, kalau begitu, kuda hitam Si Topi Merah itu pun kuda curian!” Si Botak berseru keras.

“Biarlah kita ikut bersama kalian untuk merampas kembali kuda kami,” kata Siang In.

“Dan biarkan Hek-liong-ma berlomba dengan kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi itu untuk mengalahkannya. Aku pun mau menjadi penunggang Hek-liong-ma,” kata pula Ci Sian.

“Bagus, dan dengan bantuan kami, tentu kuda itu dapat kau kalahkan,” Siang In berseru gembira.

Tentu saja tosu itu dan anak buahnya girang bukan main. Cepat mereka memberi hormat dan mempersilakan tiga orang pendekar itu untuk mengikuti mereka ke tempat tinggal majikan mereka, yaitu Thio-thicu.

Di dalam perjalanan, Ci Sian memperkenalkan dirinya kepada suami isteri pendekar itu dan berkata terus terang. “Sudah lama sekali saya mendengar tentang nama besar Pendekar Siluman Kecil dan isterinya dari Kam-suheng, ternyata memang hebat sekali. Dan saya pun pernah bertemu dan berkenalan dengan baik sekali dengan Jenderal Muda Kao Cin Liong. Apakah Ji-wi (Kalian Berdua) mengenalnya?”

“Jenderal Kao Cin Liong? Ahh, kami sudah mendengar bahwa putera saudara Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir telah menjadi jenderal di kota raja, akan tetapi telah belasan tahun kami tidak berhubungan dengan keluarga Kao,” kata Kian Bu.

Bicara tentang Si Naga Sakti, teringatlah pendekar ini akan pengalaman-pengalaman masa lalu dan akan isteri pendekar sakti itu, yaitu Wan Ceng yang masih cucu kandung dari ibu tirinya, yaitu Nenek Lulu. Banyak sudah yang dialaminya dengan para tokoh itu dan mengundang kenangan lama. Juga mengingatkan dia akan keadaannya sendiri bersama isterinya yang sampai sekian lamanya belum juga mempunyai keturunan. Hal ini mendatangkan duka.

Semua orang sudah mempunyai keturunan, bahkan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir telah mempunyai seorang putera yang demikian gagah dan perkasa, muda usia telah menjadi seorang jenderal. Akan tetapi dia sendiri sampai hampir berusia empat puluh tahun, belum juga mempunyai anak! Justru karena urusan ingin mempunyai anak inilah dia dan isterinya merantau sampai sejauh itu, sampai ke daerah Sin-kiang. Dan isterinya selalu mengalami derita batin, sehingga sering kali sakit-sakitan.

Dia tahu bahwa sakitnya isterinya itu sesungguhnya karena batin yang tertekan dan gelisah. Seolah-olah kadang-kadang isterinya itu kehilangan kegembiraan hidup sama sekali. Wataknya yang dahulunya amat riang jenaka itu tenggelam dan lenyap, terganti watak murung dan mudah marah.

Oleh karena itu, melihat isterinya timbul kegembiraan ketika bertemu dengan Ci Sian dan menghadapi urusan kuda itu, dia pun tidak membantah. Sesungguhnya, bagi pendekar ini, urusan perlombaan kuda itu merupakan urusan kekanak-kanakan, dan andai kata dia tidak menghendaki agar isterinya dapat bergembira, tentu dia langsung saja mendatangi pencuri kuda, merampasnya kembali dan memberi hajaran, dan terus pergi lagi. Akan tetapi, dia sengaja membiarkan isterinya pulih kembali kegembiraan hidupnya.

Thio-wangwe atau Thio-thicu (Tuan Tanah Thio) adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang bertubuh gendut dan berwajah ramah menyenangkan. Memang dia ini berpotongan cukong, akan tetapi sikapnya ramah dan tidak sombong, menyenangkan hati orang yang diajaknya bicara. Ketika mendengar bahwa tiga orang pendekar yang memiliki kesaktian, demikian laporan Liang Go Tosu padanya, datang mengunjungi dan bersedia membantunya dalam perlombaan dengan meminjamkan Hek-liong-ma yang akan mampu bersaing dengan kuda hitam milik Bouw-thicu, hartawan ini menyambut dengan segala kehormatan. Dia bersama isterinya dan kelima orang anaknya keluar semua menyambut, dengan wajah tersenyum gembira dan sikap ramah seperti keluarga menyambut datangnya anggota keluarga lain.

Tiga orang pendekar itu dipersilakan memasuki gedung megah itu dan mereka dijamu di dalam ruangan yang luas dan berperabot mewah. Kuda Hek-liong-ma pun tadi sudah disambut oleh para tukang kuda, dikalungi bunga dan diselimuti selimut tebal yang hangat, lalu dibawa ke kandang kuda yang bersih dan rapi, dipimpin sendiri oleh Si Botak yang bersikap hormat sekali.

Dalam perjamuan yang diadakan untuk menyambut mereka, yang dihadiri pula oleh Liang Gi Tosu yang tidak menolak hidangan berjiwa, Thio-thicu yang ramah itu lalu menjelaskan kesemuanya kepada Siang In dan Ci Sian. Dia lebih berani bicara kepada dua orang wanita cantik yang ramah dan lembut ini dari pada Kian Bu yang nampaknya menyeramkan dan menakutkan baginya karena pendekar itu lebih banyak diam saja, hanya tersenyum sedikit, akan tetapi wajahnya demikian penuh wibawa, dan terutama sekali sinar matanya yang mencorong membuat orang lain tidak tahan untuk bertemu pandang terlalu lama dengan pendekar ini.

“Sungguh menyesal sekali kami terpaksa harus melibatkan diri dengan persaingan yang berbahaya ini dan karenanya merepotkan Sam-wi saja,” antara lain tuan tanah Thio itu berkata. “Tetapi, orang she Bouw itu sungguh selalu mencari perkara. Sesungguhnya, pada dasarnya ia hendak menentang campur tangan pemerintah, ingin memperlihatkan kekuasaannya, akan tetapi karena dia tidak berani berterang menentang pemerintah, maka dia selalu mencari gara-gara di antara para thicu yang paling berkuasa di daerah ini. Dan kami tahu benar bahwa diam-diam dia itu condong menoleh kepada orang-orang Mongol yang kini mulai berkembang kekuasaannya di utara. Maklumlah, orang she Bouw itu adalah peranakan Mongol. Walau pun kini belum nampak bukti-buktinya, akan tetapi kami berani bertaruh bahwa kalau kelak terjadi pemberontakan orang Mongol, agaknya mungkin sekali dari Sin-kiang inilah pecahnya.”

Mendengar ucapan itu, diam-diam Kian Bu menaruh perhatian. Kalau urusan ini sudah menyangkut gejala pemberontakan, maka penting juga baginya. Dia sendiri, seperti juga ayahnya dan semua keluarga Pulau Es, tidak melibatkan diri dengan politik. Kalau kakaknya, Puteri Milana, dan ibunya, Puteri Nirahai, pernah membela kerajaan, hal itu adalah karena mereka itu masih berdarah kerajaan.

Tetapi bukan itu saja, sebenarnya pembelaan mereka untuk menumpas pemberontakan adalah untuk mencegah terjadinya perang lagi, karena semua perang hanya berakibat mendatangkan mala petaka dan kesengsaraan bagi rakyat jelata. Pendekar ini maklum bahwa biar pun ibunya adalah puteri Mancu, namun ayahnya adalah seorang Han tulen. Dan dia maklum pula bahwa sekarang ini, tanah air dijajah oleh bangsa Mancu.

Dia maklum pula akan adanya perasaan tidak puas dan penyesalan di dada orang-orang gagah bangsa Han dan adanya daya upaya untuk membebaskan negara dan bangsa dari pada penjajahan. Dan dia tidak menyalahkan sikap patriotik dari bangsa Han itu, apalagi kalau ada kaisar penjajah yang bertindak sewenang-wenang seperti yang didengarnya dilakukan oleh Kaisar Yung Ceng sekarang ini.

Akan tetapi dia sendiri bingung, tidak tahu harus berpihak mana. Ibunya adalah puteri Mancu! Dan ayahnya ialah seorang pendekar Han! Maka, seperti juga semua keluarga Pulau Es, dia tidak mau turut mencampuri, hanya sedapat mungkin harus mencegah terjadinya perang, sebab yang jelas perang akan mendatangkan kesengsaraan kepada rakyat, apa pun alasan perang itu.

Akan tetapi Siang In adalah seorang pendekar wanita yang di dalam hatinya condong berpihak kepada penentang pemerintah penjajah Mancu. Mendengar betapa hartawan ini memburukkan nama tuan tanah yang agaknya hendak menentang pemerintah, ia mengerutkan alisnya dan bertanya, “Thio-wangwe, apakah alasannya maka engkau menganggap bahwa orang she Bouw itu ingin berkuasa, amat jahat dan juga hendak memberontak?”

Sikap dan nada suara nyonya ini agaknya menyadarkan Thio-wangwe, maka dia pun bersikap sungguh-sungguh dan memandang kepada nyonya yang cantik jelita dan gagah ini dengan tajam. “Harap Toanio jangan salah mengerti dan mengira saya memburuk-burukkan nama orang lain. Sesungguhnyalah, dahulu, dua tiga tahun yang lalu sebelum pemerintah campur tangan, semua thicu di tempat ini, termasuk saya sendiri, selalu ingin unggul dan menang, tidak mau kalah oleh thicu lain, dan untuk itu kami semua masing-masing memperkuat diri dan mengumpulkan orang-orang pandai. Akan tetapi setelah pemerintah turun tangan melarang segala macam pertikaian dan pertentangan, timbul persaingan lain, yaitu persaingan untuk mencari keunggulan dalam perlombaan-perlombaan, terutama sekali lomba kuda. Kami semua telah sadar bahwa perkelahian-perkelahian seperti yang sudah-sudah memang sangat tidak baik dan membahayakan. Akan tetapi agaknya tidak demikian dengan Bouw-thicu. Dia malah mengumpulkan orang-orang pandai dari golongan hitam, suka main gertak dan main keras, dan tidak jarang jagoannya melakukan penculikan dan pembunuhan secara diam-diam, tidak terang-terangan seperti dulu. Akan tetapi, semua orang tahu belaka perbuatan siapakah pembunuhan-pembunuhan dan penculikan-penculikan yang terjadi akhir-akhir ini di daerah Sin-kiang. Dan lebih mencolok lagi, setelah memperoleh kuda hitam yang luar biasa itu, dia pun menerima seorang tokoh hitam seperti Lui Shi itu!”

“Hemm, bukankah Lui Shi itu hanya seorang penjinak kuda saja?” pancing Siang In.

“Penjinak kuda? Memang, akan tetapi dia menjinakkan kuda untuk dicurinya! Dan dia kejam bukan main. Tentu saja saya mengenal betul wanita itu, Toanio, karena dengan wanita itu saya pernah mempunyai hubungan baik. Ia pernah membantu kami di sini, akan tetapi karena kekejaman dan kecurangannya, terpaksa kami mengeluarkannya.”

Akan tetapi sebagai seorang pendekar yang banyak pengalamannya dan selalu bersikap teliti dan waspada, Siang In tidak membiarkan dirinya terpikat oleh keterangan sepihak. “Baiklah, kita lihat saja nanti, Thio-wangwe. Kuda itu adalah kuda kami, hal ini aku yakin sekali, karena tidak akan ada lain kuda betina yang serupa benar dengan Hek-liong-ma kami. Kalau memang benar seperti ceritamu bahwa wanita she Lui itu pencuri kuda dan ia telah berani mencuri kuda kami, ia akan tahu rasa! Dan kalau benar orang she Bouw itu sewenang-wenang dan jahat, kami juga sekalian akan memberi hajaran kepadanya! Akan tetapi, kuharap saja engkau tidak memberi keterangan yang palsu, Thio-wangwe.” Ucapan terakhir ini mengandung ancaman halus.

Thio-wangwe tertawa dan mengangkat cawan araknya. “Kalau aku berbohong, biarlah aku menerima hajaran dari Sam-wi yang gagah perkasa.” Setelah berkata demikian, dia menuangkan arak cawannya ke dalam perut melalui mulutnya.

Tiga orang tamu itu mendapatkan dua kamar yang mewah di dalam rumah besar itu. Akan tetapi Siang In dan Ci Sian tidak mau tinggal diam. Mereka tidak mau bertindak sembrono membela orang yang belum mereka ketahui benar bagaimana keadaannya. Mereka tidak mau hanya mendengarkan keterangan sepihak saja. Oleh karena itu, mereka berpamit dari Kian Bu untuk melakukan penyelidikan berdua. Keluarlah mereka dari rumah gedung itu, meninggalkan Kian Bu yang kelihatan tidak acuh dan yang hendak beritirahat di dalam kamarnya.

Hari telah menjelang senja. Dua orang wanita itu mulai melakukan penyelidikan mereka dan bertanya-tanya kepada orang-orang di sepanjang perjalanan tentang Thio-wangwe. Dan hati mereka puas karena setiap orang, dari anak kecil sampai kakek-kakek yang mereka tanyai, semua memberikan jawaban yang memuaskan, bahwa Thio-wangwe adalah seorang hartawan yang amat dermawan dan tidak pernah bertindak sewenang-wenang.

Namun mereka masih belum puas dan pergilah mereka keluar kota ke dusun-dusun yang tanahnya menjadi milik hartawan ini. Kepada para buruh petani mereka bertanya dan melihat keadaan rumah tangga mereka. Memang, seperti biasa kaum tani di situ pun miskin, rumah mereka gubuk dan pakaian mereka sederhana, namun mereka itu sehat-sehat tanda tidak kurang makan dan wajah mereka juga gembira.

Pada senja hari itu, anak-anak para petani bermain-main di pekarangan luar dengan gembira, ini saja sudah menunjukkan bahwa kehidupan mereka cukup baik, tidak kekurangan makan dan tidak dicekam rasa takut akan hari depan. Setelah menerima keterangan yang membuktikan adanya dugaan mereka, kedua orang wanita ini merasa puas dan yakin bahwa mereka benar-benar membela orang yang memang patut dibela.

“Cici, sebaiknya kalau kita menyelidiki sekalian orang she Bouw itu,” kata Ci Sian ketika Siang In mengajaknya kembali.

“Ehh, beberapa kali kukatakan agar engkau menyebut Bibi kepadaku, Ci Sian. Usiamu baru tujuh belas tahun dan aku sudah tiga puluh empat tahun. Aku lebih patut menjadi Bibimu.”

“Aihh, engkau masih nampak begini muda, sungguh tidak patut dan tidak enak sekali menyebut Bibi kepadamu, Enci Siang In,” kata Ci Sian tertawa. “Pula, engkau belum mempunyai anak, belum pantas disebut Bibi....“

Tiba-tiba wajah yang tadinya cerah dan berseri gembira itu menjadi muram, bahkan kata-kata yang mengandung kelakar dari Ci Sian itu seperti menusuk jantung dirasakan oleh Siang In sehingga pendekar wanita ini memejamkan matanya dan berdiri agak terhuyung. Ci Sian terkejut dan merangkulnya.

“Cici! Engkau kenapakah....?” Dan terkejutlah Ci Sian karena orang yang dirangkulnya itu tiba-tiba saja menangis! Mereka berada di luar dusun, di tempat yang sunyi sehingga peristiwa itu tidak nampak oleh orang lain.

Siang In tidak menjawab, melainkan terisak menangis di atas pundak Ci Sian. Sampai beberapa lama ia menangis, dan akhirnya ia dapat menguasai perasaannya. “Maafkan, Ci Sian.... ahhh, baru sekarang aku dapat menangis, seolah-olah aku bertemu seorang adik, seorang saudara yang dapat kucurahkan kesedihanku.... aku.... aku sungguh lemah....“

“Ahhh, tidak mengapa, Cici. Anggaplah aku adikmu sendiri. Akan tetapi mengapakah engkau bersedih? Sungguh sukar untuk dipercaya, orang seperti engkau ini, isteri dari Pendekar Siluman Kecil Sakti dan tidak kekurangan apa-apa, dapat bersedih.”

“Ci Sian, kata-katamu tadi bahwa aku.... aku belum memiliki anak itulah yang menusuk perasaanku dan membongkar kesedihan yang sudah lama bertumpuk di dalam hatiku.”

“Ohh.... kalau begitu maafkanlah aku, Cici, aku.... aku tidak sengaja hendak menyakiti hatimu....”

“Tidak mengapa, Adikku, tidak mengapa. Memang aku seorang wanita malang, seorang isteri yang bodoh. Engkau tahu, kami berdua, suamiku dan aku meninggalkan Pulau Es hanya karena kebodohanku inilah, karena kami tidak punya anak. Sudah belasan tahun menikah.... belum juga aku mempunyai anak. Aku sampai merasa malu sekali kepada kedua orang ibu mertuaku. Aku sudah membujuk suamiku agar dia mau mengambil selir, akan tetapi dia tidak mau. Akhirnya, kami berdua pergi, merantau sampai di tempat ini, hanya dengan maksud untuk dapat memperoleh keturunan.”

“Kasihan engkau, Cici...., kalau saja aku dapat membantumu....“

“Tidak ada seorang pun di dunia ini dapat membantu kami, Adikku. Kecuali.... kalau engkau tahu di mana adanya ular naga hijau, karena katanya, hanya Jeng-liong-cu (Mustika Naga Hijau) saja yang dapat memberikan keturunan kepada suami-isteri.”

“Jeng-liong-cu....? Di mana kita bisa mendapatkan itu?” Ci Sian bertanya heran.

“Kabar angin yang kami tangkap, katanya ular naga hijau itu berada di daerah ini, dan karena itulah kami tiba di tempat ini, Ci Sian. Ah, baru sekarang selama hidupku aku merasa kecewa dan sengsara!” Nyonya yang masih cantik jelita itu menarik napas panjang dan bersama napasnya tedengar suara rintihan lirih.

Ci Sian termenung, melamun dengan penuh keheranan. Melihat kenyataan itu dia pun menjadi bengong, kemudian termenung memikirkan nasibnya sendiri. Akhirnya dia pun mengeluarkan kata-kata bersama tarikan napas panjang. “Aihhh....siapa kira....“

Siang In mencoba untuk memandang wajah gadis itu melalui keremangan senja. “Apa maksudmu, Ci Sian?”

“Sungguh keadaan dan penjelasan Cici tadi membuat aku terheran-heran bukan main. Kukira hanya aku seorang saja yang dirundung duka. Tadinya kusangka bahwa di dunia ini tidak ada wanita yang lebih kebingungan dan berduka dari pada aku. Apalagi Cici yang nampak hidup demikian bahagia, di samping suami yang mencinta, berkepandaian tinggi dan menjadi isteri dari putera majikan Pulau Es yang amat ternama. Setelah mendengar penuturanmu, Enci Siang In, aku menjadi semakin bingung. Apakah hidup ini hanya terisi oleh kekecewaan-kekecewaan belaka?”

Memang demikianlah pandangan setiap orang yang sedang dilanda kekecewaan dan kedukaan. Kecewa menimbulkan iba diri dan melahirkan duka. Dan orang yang sedang dilanda duka selalu beranggapan bahwa di dunia ini, dialah yang paling sengsara, yang paling buruk nasibnya, paling malang, paling celaka. Inilah sebabnya mengapa orang yang sedang dilanda duka merasa terhibur apabila melihat orang lain menderita duka, apalagi kalau penderitaan orang lain itu lebih besar dari pada yang dideritanya sendiri.

Orang yang dilanda duka selalu berusaha untuk menghindarkan rasa duka itu dengan berbagai macam hiburan berupa kesenangan mau pun hiburan, baik hiburan berupa kesenangan mau pun hiburan berupa pelarian diri kepada filsafat-filsafat atau petuah-petuah yang menghibur. Atau ada pula yang menyerah dan takluk membiarkan dirinya tenggelam ke dalam duka sampai menjadi putus asa, membunuh diri, menjadi gila dan sebagainya.

Namun, segala macam pelarian tidak mungkin membebaskan kita dari duka. Mengapa? Karena duka adalah kita sendiri. Duka adalah kita, yang ingin melarikan diri itu pula. Duka tidak terpisah dari kita sendiri, takkan dapat kita tinggalkan, ke mana pun kita melarikan diri. Jika kita menutupinya dengan berbagai hiburan, baik hiburan badaniah mau pun batiniah, maka penutupan itu hanya sementara saja. Si duka masih ada, kadang-kadang menyelinap ke bawah sadar dan selalu menghantui kehidupan kita.

Lalu bagaimana agar kita benar-benar terbebas dari pada duka? Terbebas dari pada kecewa? Tanpa menyerah dan takluk? Pertanyaan ini perlu kita ajukan kepada diri kita masing-masing, karena tanpa menyelidiki hal ini sedalam-dalamnya, kehidupan kita akan selalu penuh dengan kecewa dan duka sepanjang hidup, hanya dengan adanya kesenangan sekilas lintas sebagai selingan lemah saja.

Kecewa bukanlah akibat dari peristiwa di luar diri, melainkan seuatu proses dari penilaian pikiran atau si aku. Pikiran membentuk suatu gambaran tentang diri sendiri, yaitu si aku yang selalu menginginkan hal-hal yang menyenangkan. Keinginan-keinginan untuk senang ini kalau tidak tercapai akan menimbulkan kekecewaan. Keinginan-keinginan itu dapat juga dinamakan harapan-harapan berlangsungnya sesuatu yang telah terjadi. Pikiran atau gambaran si aku ini tak terpisahkan dari kenang-kenangan akan kesenangan yang menimbulkan ikatan kuat sekali.

Si aku terikat erat dengan kesenangan, baik kesenangan badani mau pun rohani, dan kalau ikatan itu putus, akan menimbulkan rasa sakit. Kalau kesenangan dijauhkan dari si aku, maka si aku merasa sakit, kecewa, dan duka. Lalu si aku pula yang menilai bahwa duka amat tidak enak, maka si aku pula yang berusaha melarikan diri dari kecewa dan duka itu, dengan berbagai macam hiburan lahir mau pun batin. Padahal, sang suka itu ya si aku itu juga, yang agar tidak ingin duka. Dengan begini, tercipta lagi suatu keinginan lain, yaitu ingin tidak duka! Betapa berbelit-belitnya pikiran ini bekerja, betapa licinnya.

Kita akan menjadi permainannya, diombang-ambingkan oleh permainan pikiran yang membentuk si aku. Si aku selalu mengejar senang, selalu menjauhkan yang tidak enak. Mula-mula menginginkan kesenangan, lalu tidak tercapai, lalu kecewa dan duka, lalu menganggap kecewa dan duka tidak enak, lalu ingin lari dari itu pula, bukan lain karena ingin agar senang, agar terlepas dari keadaan yang tidak enak itu. Dan demikian seterusnya. Padahal, justru keinginan untuk lari dari duka inilah yang memberi pupuk dan memperkuat adanya duka! Karena memperkuat si aku, maka menambah subur keinginan-keinginan si aku.

Habis bagaimana? Kalau tidak melarikan diri dari duka, kalau tidak mencari hiburan dari duka lalu apakah kita harus menerima begitu saja, membiarkan duka menenggelamkan kita? Sama sekali tidak demikian, karena sikap ‘menerima nasib’ ini hanya akan mendatangkan kelemahan jiwa, membuat orang menjadi frustasi dan apatis, menjadi masa bodoh! Ini mendatangkan kemalasan dan mengurangi semangat atau gairah hidup!

Kalau datang kecewa? Kalau datang rasa duka? Pernahkah kita MENGHADAPINYA? Bukan membiarkan pikiran sibuk sendiri, memikirkan hal-hal yang menimbulkan kecewa dan duka itu, melainkan menghadapi dan mengamati perasaan kecewa atau duka itu dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan dan tidak lari dari padanya? Beranikah kita mengamati diri sendiri ketika kecewa atau duka datang, mengamati tanpa penilaian baik atau buruk, tanpa keinginan melenyapkannya, melainkan hanya pengamatan saja yang ada?

Bukan si aku yang mengamati duka, karena jika begitu, tentu akan timbul penilaian dan tanggapan dari si aku dan kita kembali terseret ke dalam lingkaran setan dari permainan si aku lagi. Yang ada hanya kewaspadaan saja, pengamatan penuh perhatian, tanpa pamrih apa pun melainkan hanya kewaspadaan. Maukah dan beranikah kita mencoba? Mungkin hanya inilah rahasia pemecahannya, tanpa teori melainkan harus dihayati oleh diri masing-masing

.

Kini Ci Sian yang merenungkan keadaan dirinya, sudah tenggelam dalam renungan itu, tenggelam dalam kesedihannya sendiri. Wajah gadis ini lesu, pandang matanya layu, merenung dan menerawang ke tempat jauh tanpa melihat sesuatu kecuali isi lamunan dan kesenangannya sendiri saja.

Sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya. Tangan Siang In. “Adikku, Ci Sian, mengapakah engkau yang semuda ini dirundung duka? Pada saat aku sebaya denganmu, hidup ini rasanya penuh kegembiraan bagiku, akan tetapi engkau yang muda remaja ini mengapa sudah dilanda duka?”

“Ahh, Enci, aku sungguh bingung sekali....“ Kemudian, karena merasa betapa wanita isteri pendekar Siluman Kecil itu amat akrab kepadanya, bahkah telah membuka rahasia hatinya, Ci Sian yang selama ditinggal Kam Hong merasa berduka dan bingung, kini seperti memperoleh tempat pencurahan isi hatinya.

Dengan sedih dia menceritakan semua pengalamannya, sejak dia diajak oleh kakeknya dan pertemuannya yang pertama sekali dengan Kam Hong, sampai pengalamannya bersama Kam Hong yang amat berbahaya, sehingga akhirnya mereka berdua secara kebetulan menemukan jenazah kuno yang mengandung rahasia ilmu silat sehingga mereka menjadi suheng dan sumoi. Kemudian tentang penyerbuan mereka berdua ke sarang Hek-i-mo, betapa mereka berdua mengobrak-abrik sarang gerombolan jahat itu. Betapa kemudian ia melawan Hek-i Mo-ong dan munculnya Sim Hong Bu yang lalu membantunya.

“Dan pada saat itu, Kam-suheng telah pergi meninggalkan aku, Cici! Tanpa ada alasan sama sekali, meninggalkan aku begitu saja sendirian di dunia ini....” Ci Sian mengakhiri ceritanya dengan suara sedih. “Dia tidak memberi tahu hendak ke mana dan di mana aku dapat bertemu dengan dia. Aku tidak mempunyai keluarga.... aku tidak mau lagi mengenal Ayahku.... dan aku tidak tahu harus pergi ke mana. Aku mencarinya, tapi aku pun tidak tahu harus mencari ke mana....“

“Hemm.... Kam Hong, meninggalkanmu setelah pemuda bernama Sim Hong Bu itu muncul?” tanya Siang In.

“Benar, Cici. Aku sendiri pun tidak tahu mengapa.”

“Bagaimana keadaan Sim Hong Bu itu? Pemuda yang baikkah dia?”

“Dia seorang pemuda yang mewarisi ilmu dan pedang Koai-liong-kiam, kepandaiannya tinggi sekali dan dia.... dia seorang pemuda yang gagah dan baik.”

“Usianya sebaya denganmu?”

“Ya, begitulah, mungkin hanya selisih dua tiga tahun....”

“Dan Kam Hong? Berapa usianya?” Siang In mengingat-ingat dan menjawab sendiri. “Kalau tidak salah, dia itu sudah sebaya denganku, tentu sudah tiga puluh tahun lebih.”

“Cici, mengapa engkau bertanya-tanya tentang usia?”

“Jawab dulu pertanyaanku, apakah engkau dan Kam Hong saling mencinta?”

“Tentu saja, kami adalah Suheng dan Sumoi, dan lebih dari itu, kami sudah banyak menghadapi banyak hal-hal yang hebat bersama, menghadapi maut dan kesengsaraan, ancaman bahaya....“

“Bukan begitu maksudku, tapi mencinta sebagai seorang pria dan wanita.”

Ditanya demikian, sampai lama Ci Sian menundukkan mukanya. Pertanyaan seperti ini memang pernah memasuki hatinya, akan tetapi setiap kali ia segera menghindarinya, karena merasa sukar menerima pertanyaan itu. Akan tetapi, karena pertanyaan itu keluar dari mulut orang lain, maka ia memikirkannya secara mendalam dan akhirnya ia menjawab sejujurnya.

“Entahlah, Enci Siang In. Aku sendiri tak tahu, karena kami tidak pernah menyatakannya dengan kata-kata. Akan tetapi, Kam-suheng amat baik kepadaku dan aku.... ah, setelah berpisah darinya, aku merasa betapa aku kehilangan dia, betapa hidupku kesepian dan tiada kegembiraan.”

“Hemm, itu artinya engkau cinta padanya, Ci Sian. Dan aku yakin bahwa dia pun tentu jatuh cinta kepadamu.”

“Tapi, kalau benar demikian, Cici, kenapa dia malah meninggalkan aku?”

“Ya, cinta memang kadang-kadang mendatangkan hal-hal yang aneh-aneh,” kata Siang In yang merenung dan mengenangkan pengalaman-pengalamannya sendiri ketika dia bercinta dengan Suma Kian Bu yang kini menjadi suaminya. “Jika dia meninggalkanmu, hanya ada dua kemungkinan, Ci Sian. Pertama, karena dia cemburu....”

“Cemburu....? Dia, Kam-suheng cemburu....?” Ci Sian berseru dengan pandang mata terbelalak keheranan.

“Mungkin sekali! Bukankah dia meninggalkanmu setelah munculnya pemuda gagah perkasa Sim Hong Bu itu? Mungkin dia melihat sesuatu antara engkau dan pemuda itu, atau barangkali menduga sesuatu....”

“Ah, jangan-jangan demikian adanya! Sim Hong Bu itu kutinggalkan karena dia.... dia menyatakan cintanya kepadaku!”

“Nah, itulah! Dia tentu melihat tanda-tanda bahwa pemuda yang lain itu jatuh cinta padamu dan merasa cemburu, mengira engkau juga tertarik kepada Sim Hong Bu itu.”

“Akan tetapi, tidak mungkin. Kam-suheng sama sekali tidak memiliki watak seperti itu! Dia seorang pendekar tulen, tidak mungkin sedangkal itu jalan pikiran atau perasaan hatinya!”

”Kalau tidak demikian, maka besar kemungkinan adalah karena hal yang kedua.”

“Apakah itu, Enci Siang In?”

“Karena dia jauh lebih tua darimu, sepatutnya menjadi pamanmu, maka mungkin saja dia sengaja mengundurkan diri setelah melihat bahwa engkau lebih pantas dengan pemuda Sim yang lebih muda dan yang sebaya denganmu itu. Mungkin dia merasa bahwa engkau lebih cocok dengan pemuda yang sebaya, dan melihat bahwa pemuda itu mencintamu, maka dia sengaja mundur. Banyak terdapat pendekar berhati mulia yang sengaja mau berkorban diri demi orang yang dicintanya.”

“Ah, Kam-suheng....!” Dan Ci Sian menangis! Hatinya terharu sekali karena ia pun kini melihat kemungkinan ini.

Kini Siang In yang merangkul dara yang menangis itu, membiarkan Ci Sian menangis dan setelah agak reda tangis dara itu, ia menghibur, “Sudahlah, Ci Sian. Jangan berduka, dan jangan putus asa. Kalau memang dia mencintamu, tentu dia tidak akan membiarkan engkau begitu saja. Dan kalau memang engkau berjodoh padanya, tentu akan tiba saatnya engkau bertemu kembali dengannya. Agaknya memang orang yang jatuh cinta harus selalu mengalami banyak suka duka, seperti aku dahulu.”

Akhirnya, setelah Ci Sian terhibur dan menghentikan tangisnya, dua orang wanita perkasa ini lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke utara untuk mendatangi rumah keluarga Bouw, yaitu tuan tanah yang memiliki daerah kekuasaan di sebelah utara dari wilayah kekuasaan Thio-thicu. Batas tanah antara mereka itu ditandai dengan pagar kawat yang tinggi, akan tetapi tidak sukar bagi Ci Sian dan Siang In untuk melompati pagar dan memasuki wilayah kekuasaan Bouw-thicu. Mereka sebelumnya memang sudah menyelidiki tempat tinggal Bouw-thicu ini, maka kini dengan mudah mereka mengunjungi perkampungan Bouw-thicu yang cukup ramai, tak kalah ramainya dengan perkampungan tempat tinggal Thio-thicu…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman