SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-36


Dan bagaimana pula dengan Hong Bu itu? Ia benar-benar bingung mengenangkan sikap dan kata-kata Hong Bu. Pemuda itu begitu saja menyatakan cinta padanya. Benarkah Hong Bu cinta padanya? Kiranya hal itu memang benar. Buktinya, selain Hong Bu mengakui cintanya, juga pemuda itu bahkan rela untuk dibunuhnya dan sama sekali tidak hendak melawan ketika ia menodongnya dengan suling. Betapa mudahnya untuk membunuh Hong Bu saat itu, dan pemuda itu hanya pasrah saja, Hong Bu memang jatuh cinta padanya! Dan Kam Hong? Apakah suheng-nya itu tidak cinta padanya?

Dan bagaimana dengan ia sendiri? Apakah ia dapat menerima cinta Hong Bu? Apakah ia juga dapat membalas cintanya itu? Dan bagaimanakah perasaannya terhadap suheng-nya? Ci Sian bingung sendiri menghadapi pertanyaan-pertanyaan hatinya ini. Ia tidak tahu apakah ia mencinta mereka. Yang ia ketahui adalah bahwa ia merasa kehilangan dan bersedih ketika ditinggalkan Kam Hong. Dan ia juga amat suka kepada Hong Bu dan agaknya, ia akan suka melakukan perjalanan dengan pemuda itu di sampingnya, sebagai sahabatnya, kalau saja Hong Bu bukan musuhnya, musuh Kam Hong, dan terutama sekali kalau saja pemuda itu tidak lancang menyatakan cintanya!

Cinta asmara adalah pengikatan. Dan ikatan antara dua orang manusia, atau juga antara manusia dengan benda atau dengan gagasan. Ikatan seperti ini dapat timbul melalui kebiasaan, melalui pergaulan. Seseorang yang dekat dengan seorang lain, yang dapat merasakan banyak kenikmatan dari pergaulannya itu, akan menjadi biasa dan terikat, dan akan sakitlah kalau pada suatu saat ia harus terpisah dari orang lain itu, baik orang lain itu anaknya, isterinya, suaminya, orang tuanya atau pun sahabatnya. Bahkan dengan benda pun dapat terjadi hal seperti itu.

Cinta asmara atau cinta yang timbul karena kenikmatan adalah pengikatan yang dapat timbul dari kebiasaan atau pergaulan yang erat. Kita sejak kecil sudah terbiasa untuk mengikatkan diri kita secara batiniah kepada segala sesuatu yang menimbulkan kenikmatan atau kesenangan. Dan justru ikatan inilah yang menjadi sebab utama dari pada rasa takut akan kehilangan, dan rasa duka karena perpisahan

.

Beberapa pekan kemudian, pada suatu hari, pagi-pagi sekali Ci Sian yang melakukan perjalanan ke timur itu tiba di sebuah padang rumput yang amat luas. Tempat itu amat sunyi, jauh dari pedusunan dan ia semakin merasa betapa ia seorang diri saja di dunia ini. Berdiri menghadapi padang rumput yang sedemikian luasnya, di lereng bukit, memandang ke kaki langit yang tidak memperlihatkan tanda-tanda adanya rumah atau manusia, mendatangkan rasa kesepian yang mencekik. Keadaan di situ hening sekali. Ci Sian melihat rumput-rumput hijau seperti air samudera yang bergelombang kecil, ujungnya digerakkan angin berombak-ombak amat indahnya, mengeluarkan bunyi berdesau seperti desau keluhan hatinya di saat itu.

Tiba-tiba ia mendengar ringkik kuda di depan, di balik puncak bukit. Kesepiannya yang mencekam itu membuyar dan timbul harapan akan bertemu dengan manusia. Sudah sejak kemarin dulu ia tidak bertemu manusia di daerah yang amat sunyi itu. Maka ia pun bergerak dan berlari menuju ke puncak bukit. Setelah ia tiba di puncak itu, ia berhenti dan memandang dengan penuh kagum ke bawah puncak.

Di sana, di padang rumput yang subur ia melihat sekumpulan kuda yang bergerak bebas, sedang makan rumput dan berkejaran. Sekumpulah kuda yang amat baik, akan tetapi pandang mata Ci Sian melekat kepada seekor kuda berbulu hitam yang menjadi pemimpin kuda-kuda itu. Kuda hitam yang bertubuh ramping dan nampak kuat sekali, dengan leher yang panjang dan gerakan yang lincah. Dan dari puncak itu, nampaklah atap-atap rumah di bawah bukit. Pemandangan ini membuat hatinya lega. Bukan hanya sekumpulan kuda yang sedang makan rumput itu yang amat indah dipandang, akan tetapi juga atap rumah-rumah dusun itu. Ia sudah dekat dengan sebuah dusun, akan bertemu dengan manusia, dan akan dapat makan makanan yang pantas.

Dengan hati-hati ia lalu turun dari puncak agar tidak mengejutkan sekelompok kuda itu. Matanya tidak pernah terlepas dari kuda hitam yang amat indah itu, dan diam-diam ia merasa kagum dan suka sekali karena ia maklum bahwa kuda itu amat baik dan jarang ia melihat seekor kuda sebaik itu.

Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut dan memandang terbelalak ke depan. Ia melihat ada dua orang laki-laki yang menghampiri sekumpulan kuda itu dan anehnya, kuda hitam itu meringkik dengan nyaring, mengangkat kedua kaki ke atas, agaknya untuk memberi tanda kepada teman-temannya dan sekumpulan kuda itu lalu lari cerai-berai! Sikap sekumpulan kuda itu jelas membuktikan bahwa mereka tidak biasa dengan dua orang itu atau melihat orang-orang asing mendekati mereka.

Dan Ci Sian melihat dengan jelas bahwa dua orang itu bermaksud menangkap kuda hitam! Dan ia pun mengerti bahwa dua orang itu ternyata memiliki gerakan yang amat ringan sekali. Seorang di antara mereka, yang bertubuh kecil, kurus dan pendek, dengan gerakan seperti seekor burung terbang telah meloncat ke depan kuda itu dan mengangkat kedua tangan.

Kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, dan hendak menubruk laki-laki kurus itu. Tetapi pada saat kuda itu mengangkat tubuhnya ke atas, kepalanya tinggi-tinggi di udara dan dengan hidung mendengus-dengus, tiba-tiba ada sinar hitam melayang dan ternyata itu adalah sebatang tali laso yang dilemparkan oleh pria ke dua, yaitu yang bertubuh tinggi besar. Cepat sekali tali laso itu meluncur dan si kuda hitam tidak sempat mengelak, tali laso sudah menjerat lehernya. Binatang itu meringkik keras dan meronta-ronta.

“Cepat naik ke punggungnya dan jinakkan dia!” kata orang tinggi besar itu kepada temannya.

Si Kurus Pendek meloncat lagi dan diam-diam Ci Sian kagum karena memang ginkang dari Si Kurus itu hebat sekali. Sekali meloncat saja Si Kecil itu sudah melayang ke atas punggung kuda hitam itu, dan sudah duduk di atas punggungnya.

Kuda hitam meringkik semakin keras dan tubuhnya menggeliat-geliat, meronta-ronta dan meloncat-loncat, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan berusaha untuk melemparkan orang yang menempel di punggungnya. Akan tetapi Si Kecil itu agaknya memang seorang ahli menunggang kuda, karena seperti seekor lintah dia menempel di atas punggung dan tetap duduk di situ biar pun kuda itu berusaha melemparkannya dengan meloncat-loncat lucu, melekuk-lengkungkan punggung sejadi-jadinya. Sampai lama sekali kuda itu meronta-ronta dan Si Kecil itu dengan susah payah berusaha bertahan, diberi semangat oleh temannya dengan teriakan-teriakan.

Ci Sian yang menonton perjuangan kuda hitam itu, yang dengan sekuat tenaga hendak membebaskan diri dari pengganggunya, merasa tegang dan diam-diam ia berpihak kepada si kuda hitam, mengharapkan kuda itu berhasil melempar Si Penunggang dan menang! Maka ia ikut mengepal tinju ketika kuda itu menjerit-jerit dan meringkik-ringkik, dan tiba-tiba saja kuda itu menjatuhkan dirinya ke kanan dan tentu dengan maksud hendak bergulingan agar pengganggu di punggungnya itu tergencet!

Orang tinggi besar itu terkejut sekali dan berteriak, “Cepat pergi!”

Tentu saja Si Kecil itu lebih kaget lagi. Dan untung dia memiliki ilmu ginkang yang hebat, maka ia dapat melempar tubuhnya dengan loncatan cepat menghindarkan diri sehingga tidak sampai tergencet! Ci Sian hampir bersorak gembira ketika kuda itu bangun kembali dan meringkik-ringkik seperti yang bersorak karena menang. Akan tetapi, pada saat itu, Si Tinggi Besar yang agaknya menjadi marah, telah menggunakan kedua tangannya untuk memegang ujung tali laso dan menahan, menariknya dengan kuat.

Kuda itu tertarik dan hampir terjatuh, akan tetapi kuda itu bangkit kembali dan mengerahkan tenaga, melawan tenaga tarikan itu. Tali itu tadi agak turun mengalungi pangkal lehernya yang besar dan kini dia menarik sekuat tenaga, ditahan oleh orang tinggi besar itu. Terjadilah pertandingan yang lain lagi dengan tadi. Kalau tadi kuda itu berusaha melempar penunggangnya dan dia berhasil, kini dia mengadu tenaga dengan Si Tinggi Besar yang nampak kuat itu. Si Tinggi Besar itu berdiri dengan kedua kaki terpentang agak merendah dan mengerahkan seluruh tenaganya. Agaknya, kalau temannya tadi seorang ahli ginkang, maka dia sendiri adalah seorang yang memiliki tenaga raksasa!

Kembali Ci Sian, mengepal tinju dan diam-diam ia pun mengerahkan tenaganya seperti hendak membantu kuda hitam itu. Tali yang mengikat pangkal leher kuda itu menegang, tertarik antara dua kekuatan besar dan akhirnya, orang tinggi besar itu menyumpah-nyumpah dan tubuhnya terseret ke depan! Ci Sian sekali ini tidak dapat menahan ketawanya. Untung jarak antara ia dan orang-orang itu cukup jauh sehingga suara ketawanya tidak sampai terdengar orang.

Akan tetapi, dua orang itu kini melompat ke depan kuda hitam dan mereka menggerak-gerakkan tangan mereka yang memegang sehelai kain hitam, dikibas-kibaskan di depan muka kuda itu. Dan kuda hitam itu berbangkis-bangkis, meringkik dan menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri, kemudian terhuyung-huyung seperti mabok dan menjadi lemas, berdiri dengan kepala menggantung ke bawah, tubuhnya gemetaran.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. ”Pencuri-pencuri kuda busuk!”

Dan muncullah seorang kakek tinggi kurus yang membawa sebatang cambuk kuda.

“Tar-tar-tarrr!”

Cambuk kudanya itu diledak-ledakkan di udara dan dengan sikap mengancam dia lalu menghampiri dua orang itu. Mendengar bentakan ini, Ci Sian menjadi tertarik dan baru ia tahu bahwa dua orang yang berusaha menangkap kuda hitam itu adalah pencuri-pencuri kuda! Maka ia pun cepat lari ke tempat itu karena ia melihat betapa Si Kecil tadi telah menuntun kuda hitam untuk dibawa lari dari situ, sedangkan Si Tinggi Besar telah menyambut kakek yang memegang cambuk itu dengan permainan tali lasonya.

Pencuri kuda yang bertubuh kecil itu kini sudah menuntun kuda hitam yang menjadi jinak karena pengaruh obat bius yang dikebut-kebutkan dari kain hitam tadi, menjauhi tempat itu, sedangan kawannya yang lihai menahan kejaran Si Kakek pemilik kuda. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan kuda itu telah berdiri seorang dara yang cantik dan bersikap gagah, berdiri sambil bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan alis berkerut marah seperti seorang dewasa melihat kenakalan seorang anak-anak saja.

“Ehh, maling Cilik! Mau dikemanakan kuda orang ini?” bentak Ci Sian dengan suara lantang.

Ia melihat bahwa laki-laki itu tidak muda lagi, akan tetapi karena tubuhnya katai dan kecil, bahkan kalah tinggi olehnya, amat sukar diduga berapa sesungguhnya usianya, akan tetapi melihat wajah yang sudah agak berkeriput itu, tentu tidak kurang dari lima puluh tahun.

Orang pendek kecil itu tadinya terkejut, akan tetapi setelah melihat bahwa yang menghadangnya hanyalah seorang dara remaja yang hanya cantik dan bersikap tabah saja, akan tetapi sama sekali tidak membawa senjata dan tidak menunjukkan seorang ahli silat, dia memandang rendah dan tersenyum lebar. Ci Sian heran melihat betapa orang yang segala-galanya serba kecil itu ternyata mempunyai mulut yang besar. Baru nampak lebarnya ketika tersenyum, karena seolah-olah mukanya robek di tengah-tengah sampai ke telinga.

“Heh, gadis manis, minggirlah dan jangan mencampuri urusan orang tua. Sayang kalau sampai pipimu yang halus itu tertabrak kuda hitam dan menjadi terluka. Minggirlah, anak baik, biarkan kakekmu lewat!”

“Hemm, maling kuda adalah maling yang paling busuk di antara segala maling!” kata Ci Sian dan memang apa yang dikatakannya itu benar.

Di antara kaum kang-ouw, rata-rata mereka membenci maling kuda, bahkan maling yang paling rendah sekali pun tidak sudi dinamakan maling kuda. Mungkin istilah maling paling busuk di dunia bagi maling kuda ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kuda merupakan milik yang paling penting bagi kehidupan seorang perantau, jadi kalau diambil kudanya, maka perbuatan pencuri itu amatlah kotor dan kejamnya.

Kiranya Si Katai itu pun bukan tidak mengenal kata-kata ini, karena mukanya tiba-tiba berubah merah, bukan hanya karena malu, akan tetapi terutama sekali karena marah, “Bocah setan, engkau memang bosan hidup agaknya!”

Dan tubuhnya dengan amat cepatnya melesat ke depan, dan tahu-tahu dia telah menyerang Ci Sian dengan totokan pada pundak dan lambung dara itu! Agaknya maling bertubuh kecil ini memandang rendah kepada Ci Sian, dan disangkanya bahwa sekali serang dia akan dapat merobohkan dara remaja itu. Akan tetapi, dia kecelik bukan main karena begitu Ci Sian menggerakkan tangan kirinya menampar, sebaliknya malah tubuh Si Maling itu sendiri yang terpelanting dan terbanting keras ke atas tanah!

Akan tetapi, dasar ia tidak tahu diri. Dia masih belum mau percaya bahwa dia akan kalah oleh dara remaja itu, maka dengan kemarahan semakin memuncak, ia merangkak bangun dan mencabut sebatang ruyung dari punggungnya. Tanpa mengeluarkan suara lagi dia sudah menerjang maju, menyerang Ci Sian dengan ganasnya.

Akan tetapi, jika hanya kepandaian maling ini saja, masih jauh untuk dapat menandingi Ci Sian. Gadis ini melihat gerakan yang dianggapnya lemah dan lambat, biar pun ia tahu bahwa kakek kecil ini mempunyai kecepatan yang lebih dari pada orang biasa. Melihat ruyung menyambar, Ci Sian hanya miringkan sedikit tubuhnya, membiarkan ruyung lewat.

“Plakkk!”

Terdengar suara begitu tangan kirinya menyambar, dan kepala maling itu telah kena tampar di pangkal telinganya. Tubuhnya terputar dan terpelanting, roboh terbanting untuk kedua kalinya, akan tetapi sekali ini agak hebat. Ruyungnya terlepas dan dia mencoba bangkit, akan tetapi matanya menjadi juling karena dia melihat betapa dunia telah berputar di sekelilingnya!

Sementara itu, perkelahian antara kakek pemilik kuda dan maling kuda yang tinggi besar itu terjadi dengan serunya. Kepandaian mereka seimbang, akan tetapi karena Si Tinggi Besar itu memiliki tenaga yang besar dan lebih kuat, Si Kakek terdesak dan sudah beberapa kali dia kena disabet oleh tali laso itu.

Ketika Ci Sian berhasil merobohkan lawannya yang menjadi pening tujuh keliling dan tidak dapat bangkit lagi, dara ini cepat menghampiri mereka yang sedang bertempur. Akan tetapi pada saat itu, Si Tinggi Besar telah berhasil melaso kakek pemilik kuda itu. Untungnya kakek itu dapat meronta sehingga tali laso itu tidak membelit lehernya, melainkan membelit dadanya dan terjadilah tarik-menarik!

Kakek itu kalah kuat dan hampir terdorong ke depan. Akan tetapi, Ci Sian datang dan dengan tangan kirinya ia memegang tali itu pada tengah-tengahnya, kemudian dengan suatu sentakan tiba-tiba, sambil membentak nyaring ia membuat Si Tinggi Besar itu terpelantlng dan terbanting keras! Si Tinggi Besar terkejut dan marah sekali. Dia melepaskan talinya dan menyerang Ci Sian dengan tubrukan bagaikan seekor harimau menubruk kambing. Dikiranya kalau dia mampu menerkam dara remaja itu, tentu dara itu takkan mampu bergerak lagi. Akan tetapi, Ci Sian sengaja membiarkan orang itu menubruk dekat dan tiba-tiba saja, tubuhnya menyelinap pergi.

“Brukkk....!”

Si Tinggi Besar yang sudah merasa yakin akan kemenangannya itu menubruk tempat kosong dan tengkurap seperti anak-anak menubruk katak dan luput! Dia bangkit dengan muka merah, membalik dan melihat Ci Sian berdiri sambil bertolak pinggang dan tersenyum mengejek, dia lalu menyerang dengan pukulan tangannya yang besar dan kuat itu. Ci Sian melangkahkan kaki kirinya ke belakang, lalu memutar tubuh miring dan ketika lengan yang besar itu menyambar lewat, dengan perlahan ia menggunakan jari tangannya mengetuk jalan darah di dekat siku.

“Tukkk....!”

Perlahan saja ketukan itu, akan tetapi karena tepat mengenai jalan darahnya, Si Tinggi Besar itu mengaduh dan menekuk lengannya yang tiba-tiba saja menjadi kaku dan kejang. Pada saat itu pula, Si Katai sudah kehilangan peningnya dan dia sudah lari menghampiri.

“Siauw-te, mari kita bekuk dulu bocah setan ini!” kata Si Katai kepada Si Tinggi Besar yang juga sudah bangkit kembali sambil menggoyang-goyang kepala seperti hendak mengusir kepeningannya karena terbanting tadi.

Si Katai telah memungut lagi ruyungya yang tadi terpental, dan kini Si Tinggi besar juga mencabut sebatang golok dari punggungnya. Dengan sikap mengancam, dua orang pencuri kuda itu menghampiri Ci Sian yang masih berdiri dengan tenang dan bertolak pinggang.

Melihat ini, pemilik kuda tadi yang maklum bahwa dara itu datang membantunya, segera membentak. “Maling-maling keji, jangan mengganggu anak perempuan!”

Akan tetapi Ci Sian berkata halus, “Lo-pek, biarlah. Dua ekor tikus itu harus diberi hajaran keras agar kelak tidak berani lagi mencuri kuda.”

Melihat sikap dara itu yang tenang-tenang saja menghadapi ancaman dua orang kasar itu, Si Kakek pemilik kuda lalu diam dan hanya memegang cambuk erat-erat, siap membantu kalau gadis itu terancam bahaya. Dia mulai dapat menduga bahwa tentu gadis itu bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar wanita yang lihai, maka sikapnya begitu tenang menghadapi ancaman dua orang bersenjata itu.

Dua orang yang marah itu, dan yang menganggap Ci Sian sebagai batu penghalang yang menggagalkan usaha mereka membawa kuda hitam yang sudah hampir berhasil tadi, dengan marah menerjang dari kanan kiri, menggerakkan ruyung dan golok dengan ganasnya. Akan tetapi, dengan amat mudah Ci Sian mengelak ke sana sini, ke kanan kiri dan kadang-kadang melompat tinggi, dan semua sambaran senjata itu tiada yang mengenai tubuhnya, bahkan menyentuh ujung bajunya saja tidak!

“Lepaskan senjata!” Mendadak Ci Sian berseru nyaring dan.... kakek pemilik kuda itu menyaksikan hal yang aneh.

Dua orang itu, seperti anggota pasukan yang diperintah oleh aba-aba komandannya, melepaskan senjata mereka masing-masing! Sebenarnya tidak terjadi keanehan atau sihir seperti yang disangka oleh kakek itu, melainkan karena kecepatan gerakan Ci Sian tidak terlihat olehnya. Bukan dara ini melakukan sihir, melainkan dengan cepat sekali ia sudah membalas serangan sambil berloncatan mengelak tadi, menotok pundak kanan mereka sambil membentak dan karena totokanya tepat mengenai jalan darah, maka seketika dua orang itu merasa lengan kanan mereka lumpuh, dan tentu saja senjata yang mereka pegang itu terlepas. Dan selagi mereka belum sempat bergerak, dengan tubuh yang masih setengah lumpuh, tiba-tiba Ci Sian menyambar punggung baju Si Kecil, mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi dan melontarkannya ke arah Si Tinggi Besar.

“Brussss....!”

Kaki Si Kecil mengenai dada Si Tinggi Besar sedangkan tangan kiri Si Tinggi Besar yang hendak menangkis tadi menghantam muka Si Kecil. Keduanya lantas terpelanting bergulingan.

“Ehhh, Siauw-te, kenapa kau memukulku?” Si Kecil mengomel.

“Dan engkau menendang dadaku!” Si Tinggi Besar juga membentak.

Keduanya bangkit, akan tetapi tiba-tiba ada tangan kecil halus yang bukan main kuat mencengkeram tengkuk baju mereka dan sekali Ci Sian menggerakkan kedua tangan, kepala dua orang itu bertumbukan.

“Brukkkk....!”

Dan keduanya menjadi nanar! Ci Sian lalu memandang ke kanan kiri dan melihat benda-benda hitam di sana, benda-benda hitam kehijauan, yaitu tahi-tahi kuda, ia lalu membawa mereka ke tempat itu dan melemparkan mereka di antara tumpukan tahi-tahi kuda itu sehingga muka mereka berlepotan tahi kuda!

“Nah, pencuri-pencuri kuda harus makan tahi kuda!” katanya sambil tertawa gembira.

“Tar-tar-tarrr....!” Kakek pemilik kuda memainkan pecut kudanya hingga meledak-ledak dan ujung pecut itu menyambar-nyambar mengenai punggung dan tubuh dua orang itu bergantian.

“Pencuri-pencuri kuda harus merasakan lecutan cambuk kuda!” katanya sambil tertawa gembira pula.

Sengatan-sengatan ujung pecut membuat dua orang pencuri berteriak-teriak kesakitan dan mempercepat mereka merangkak bangun, kemudian sambil melindungi punggung dan pinggul yang disambar lecutan cambuk, dengan muka yang hitam coreng-moreng terkena kotoran kuda, mereka melarikan diri, diikuti suara ketawa Ci Sian yang merasa betapa lucunya adegan itu dan juga karena hatinya lega dapat memberi hajaran kepada dua orang pencuri yang hendak memaksa kuda hitam yang dikaguminya ltu.

“Li-hiap, terima kasih atas bantuan Li-hiap menggagalkan pencurian kuda itu.”

Ci Sian memandang kakek itu. Seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, bertubuh jangkung kurus akan tetapi wajahnya masih nampak segar seperti biasa wajah orang-orang tua yang biasa hidup di tempat terbuka, banyak terkena hawa segar dan sinar matahari yang panas.

“Engkaukah yang memiliki kuda-kuda itu, Lo-pek?” tanya Ci Sian sambil memandang kepada kuda hitam yang masih berdiri dengan kepala tergantung.

“Benar, Nona. Dan kuda hitam itulah yang selalu diincar oleh penjahat. Pencuri-pencuri tadi bukanlah pencuri kuda biasa, Nona. Andai kata tidak ada Hek-liong-ma (Kuda Naga Hitam) itu, tentu mereka tidak akan sudi menyentuh kuda.”

Ci Sian mengangguk. Ia pun tadi melihat bahwa yang hendak dicuri oleh dua orang itu hanya kuda hitam itu saja.

“Hek-liong-ma....? Hemm, seekor kuda yang hebat, Lo-pek. Akan tetapi, kuda itu tadi terkena bubuk yang keluar dari kain hitam, jangan-jangan ia akan sakit.....”

“Tidak, tidak perlu khawatir, Nona. Aku tahu bahwa itulah bubuk bius yang biasanya dipergunakan orang untuk menundukkan kuda liar atau binatang buas lainnya. Dengan penggunaan obat itu, maka jelas bahwa mereka tadi adalah pencuri-pencuri kuda yang baik, bukan pencuri kuda biasa.”

“Ah, pekerjaanmu ini cukup berbahaya, Lo-pek. Para penjahat itu tentu tidak mau sudah sebelum berhasil mencuri Hek-liong-ma.”

”Itulah yang sedang menyusahkan hatiku, Li-hiap.... ahhh, sungguh aneh pendekar yang menyerahkan kuda ini kepadaku.... coba saja bayangkan.... kuda ini hanya ditukar untuk makan selama dua hari dan pengobatan kuda yang tidak berapa banyak. Akan tetapi, aku tidak ingin menjual kuda pemberian ini.... aku terlalu mencinta kuda ini.... dan celakanya, selama berada bersamaku dia selalu menarik datangnya penjahat-penjahat yang menggangguku! Karena itu, aku ingin menyerahkan kuda ini kepadamu, Li-hiap.”

Ci Sian terkejut sekali. Dengan heran ia memandang kepada pemilik kuda itu, dan memperhatikan apakah orang itu tidak berubah gila. Kuda seperti ini hendak diberikan begitu saja kepadanya? Dan juga orang itu menerimanya begitu saja dari pemberian orang lain?

“Siapakah yang telah menyerahkan kuda ini kepadamu, Lo-pek? Sungguh aneh sekali kalau ada orang memberikan kuda seperti itu kepadamu begitu saja.”

“Seorang pendekar! Sungguh, biar aku tidak pernah melihat dia memperlihatkan ilmu silat, namun mata tuaku tidak akan salah lihat. Dia tentu seorang pendekar yang luar biasa, tentu seorang pendekar sakti!”

“Siapa dia, Paman? Bagaimana ceritanya?”

“Aku tidak tahu dia siapa, pergi dan datang seperti malaikat saja. Dia muncul dengan kuda hitam yang sakit cukup parah, akan tetapi aku sebagai pedagang kuda sejak kecilku tahu bahwa kuda itu hanya lelah dan kurang baik terpelihara. Dia menyerahkan kuda kepadaku, bukan untuk dijual, melainkan untuk diobati dan selama dua hari dia setiap pagi datang minta makanan untuk dua orang. Lalu dia lenyap dan tak pernah datang kembali. Itu terjadi sebulan yang lalu dan kuda hitam itu telah sembuh dan kau lihat sendiri, Li-hiap. Kuda itu memang hebat. Akan tetapi sejak itu, aku diganggu terus-terusan oleh orang-orang jahat yang ingin mencurinya.”

“Tapi...., tapi kuda itu mahal sekali tentu....”

“Memang, sebagai pedagang kuda, aku tahu bahwa kuda itu harganya melebihi sepuluh ekor kuda yang baik dan muda. Akan tetapi, aku menerimanya sebagai hadiah dan sekarang aku pun hendak menghadiahkannya kepadamu. Aku adalah pedagang, maka aku hanya menjual barang yang kubeli. Dan kuda ini kalau berada padaku hanya akan mendatangkan maling-maling belaka, memang sudah sepatutnya menjadi tunggangan seorang pendekar. Engkau masih muda, Li-hiap, namun ilmu kepadandaianmu sudah demikian hebat. Engkau agaknya segolongan dengan Taihiap yang memberi kuda ini kepadaku, maka pakailah dia. Jangan khawatir, kuda itu kalau diperlakukan dengan halus, akan jinak dan penurut sekali.”

Kakek itu lalu mengambil sebuah botol kecil berisi tepung putih, memasukkan tepung ke dalam semangkok air dan memberi minum kuda hitam itu. Tidak lama kemudian, kuda hitam itu berbangkis-bangkis dan segar kembali. Dia tidak meronta sama sekali ketika dipasangi kendali oleh kakek itu.

Ketika kakek itu menyerahkan kendali kuda hitam kepada Ci Sian setelah memasangi sela yang lengkap, dara itu menerimanya. “Terima kasih, Lo-pek. Sungguh engkau baik sekali.”

“Tidak lebih baik dari pada pendekar yang menyerahkan kuda ini kepadaku, Li-hiap. Nah, selamat jalan, Li-hiap, aku sengaja tidak bertanya nama agar kalau ada yang tanya tentang kuda, kukatakan sudah hilang dibawa orang. Habis perkara.”

Ci Sian meloncat dengan hati-hati ke atas sela kuda dan memang benar, kuda itu sama sekali tidak liar atau buas, dan diam saja ketika Ci Sian naik ke atas punggungnya. Agaknya ia dapat membedakan mana perlakuan kasar dan mana yang tidak kasar.

Ci Sian memandang kepada kakek itu. “Lo-pek, jarang bertemu dengan orang aneh sepertimu. Dan sekali lagi terima kasih.”

“Ha-ha, dan jarang bertemu dengan seorang gadis seperti Li-hiap. Tidak ada terima kasih, karena kalau tidak ada Li-hiap, mungkin karena kuda itu nyawaku telah melayang tadi. Selamat jalan!” Dan kakek itu lalu membalikkan tubuh meninggalkan Ci Sian untuk menggiring rombongan kudanya meninggalkan tempat itu.

Ci Sian lalu membedalkan kudanya dan ia merasa gembira bukan main. Kuda hitam itu meloncat dan berlari seperti terbang saja. Ia merasa betapa angin menentang mukanya dan terdengar suara desir angin di kanan kirinya. Ke empat kaki kuda itu seolah-olah tak menginjak bumi saking cepatnya. Dan amat enak dan mudah sekali mengendalikannya, seolah-olah sedikit sentuhan pada kendali itu sudah dimengerti oleh Hek-liong-ma arah mana yang dikehendakinya. Benar-benar seekor kuda tunggangan yang baik sekali! Seekor kuda yang telah terlatih baik. Maka heranlah ia mengapa kuda sebaik itu sampai berpisah dari pemiliknya.

Maka ia menuruni lereng menuju ke kaki bukit di sebelah timur di mana ia melihat rumah-rumah pedusunan. Di tengah jalan di luar dusun, ia melihat tiga orang laki-laki berdiri di depan. Melihat cara mereka berdiri, terang mereka sengaja menghadangnya karena mereka itu berdiri di tengah-tengah jalan. Kalau ia melanjutkan larinya kuda, tentu ia akan menabraknya.

Akan tetapi, Ci Sian yang tadinya hendak mencoba kudanya dengan jalan membuat kudanya meloncat ke atas, tiba-tiba menahan kendali kudanya ketika ia mengenal bahwa dua di antara tiga orang itu adalah Si Pencuri Kuda yang tinggi besar dan katai tadi! Biar pun muka mereka sudah tidak berlepotan tahi kuda lagi, namun pakaian mereka masih kotor dan ia yakin bahwa bau tahi kuda tentu masih keras melekat pada tubuh mereka. Akan tetapi, yang ia perhatikan adalah orang ke tiga karena orang ini adalah seorang yang berpakaian seperti pendeta, dengan jubah yang lebar dan muka orang itu penuh brewok. Tentu seorang pendeta saikong yang memelihara cambang bauk dan yang mempunyai sepasang mata bundar lebar dan alis yang sangat tebal menyeramkan.

“Bocah setan, kalau engkau memang ada kepandaian, hayo lawan Paman guru kami!” kata Si Tinggi Besar dengan nada menantang.

“Hemm, kiranya kalian mengundang paman guru kalian?” kata Ci Sian.

Dia memperhatikan saikong itu. Orang itu usianya tentu kurang dari enam puluh tahun, tubuhnya gemuk dan tingginya sedang, namun mukanya penuh brewok dan sepasang matanya yang lebar itu memandang kepadanya seperti mata seekor harimau kelaparan memandang seekor kelenci gemuk. Sinar mata itu menjelajahi seluruh tubuh Ci Sian, membuat dara ini merasa malu dan marah.

“Hei, mata iblis! Engkau lagi memandang apa?” bentak Ci Sian sambil menambatkan kendali kuda di batang pohon.

“Ha-ha-ha, memandang wajahmu yang cantik, bentuk tubuhmu yang menggairahkan, ha-ha-ha! Biar murid-murid keponakanku melaporkan bahwa engkau telah merobohkan mereka, akan tetapi melihat kecantikanmu, biarlah aku mengampunkanmu asal engkau mau menemaniku selama tiga hari, ha-ha-ha!”

Ci Sian adalah seorang dara yang pada dasarnya berwatak jenaka, lincah dan periang. Biasanya, ia suka menggoda orang dan pandai bicara. Akan tetapi, ia paling benci kalau ada laki-laki yang kurang ajar, maka kini mendengar pendeta brewok itu mengeluarkan kata-kata yang dianggapnya kotor, ia sudah merasa marah bukan main. Betapa pun juga, ia dapat menahan kemarahannya dan tersenyum mengejek.

“Hei, engkau ini berpakaian pendeta akan tetapi muka dan suaramu seperti babi! Apakah engkau ini yang bernama Ti Pat Kai itu?” Ucapannya ini merupakan ejekan dan penghinaan yang hebat karena Ti Pat Kai adalah Siluman Babi yang menjadi tokoh dalam cerita See-yu, yang terkenal sebagai seorang yang mata keranjang dan malas dan suka sekali makan.

Mendengar ejekan seperti itu, saikong yang memang masih mentah itu menjadi malu dan marah bukan main. Dia menoleh kepada dua orang murid keponakannya.

“Kalian larikan kuda itu dan serahkan gadis ini kepadaku. Akan kubekuk dia dan kuberi hajaran agar ia kapok dan menyesal telah dilahirkan sebagai seorang wanita cantik!” Setelah berkata demikian, saikong itu mengeluarkan suara gerengan yang nyaring.

Suara itu mengandung getaran yang cukup hebat dan itu merupakan tingkat yang masih rendah dari ilmu Sai-cu Ho-kiang, yaitu ilmu menaklukkan dengan getaran suara. Sai-cu Ho-kang adalah Ilmu Auman Singa dan ilmu yang berdasarkan tenaga khikang ini memang diciptakan orang karena melihat daya kekuatan yang ada pada auman singa atau harimau. Binatang ini kadang-kadang dengan aumannya saja sudah mampu melumpuhkan lawan, seolah-olah dalam getaran suara itu ada tenaga mukjijat yang membuat calon korbannya menjadi lumpuh. Dan kini, saikong itu juga mempergunakan ilmu ini, walau pun tingkatnya masih rendah akan tetapi suara gerengan itu sudah mengandung getaran yang cukup kuat.

Akan tetapi, sekali ini yang dihadapinya adalah Ci Sian, dan justru dara ini memperoleh kesaktiannya berdasarkan latihan khikang tingkat tinggi melalui sulingnya, justru ilmu meniup suling dan Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu yang mendasarkan kekuatannya pada getaran suara, maka tentu saja Sai-cu Ho-kang dari saikong itu seperti mainan anak-anak saja bagi Ci Sian!

“Hi-hik, gerenganmu sama sekali tidak mirip seekor singa, melainkan lebih mirip suara babi yang hendak disembelih!” Ci Sian mengejek.

Kakek itu menjadi semakin marah. Kalau tadi timbul nafsu birahinya melihat dara jelita ini, sekarang, ucapan-ucapan yang menghina dari Ci Sian mengusir semua nafsu dan yang tinggal hanyalah nafsu kemarahan. Matanya yang bundar lebar itu berubah merah bersama dengan wajahnya yang menjadi merah padam. Sambil menggereng dan tanpa dapat mengeluarkan kata-kata saking memuncak marahnya, dia sudah menubruk maju, menggunakan kedua lengannya yang panjang dan besar, dan jari-jari kedua tangannya dibuka, sikapnya seperti seekor singa yang hendak menerkam. Akan tetapi, dengan gerakan yang mudah saja Ci Sian mengelak.

Kakek itu membalik dan kembali sudah mengirim serangan dengan tangannya yang berbentuk cakar setan. Melihat gerakan yang cepat dan mendatangkan angin ini, Ci Sian maklum bahwa lawannya ini memiliki kepandaian yang lumayan. Ia pun cepat mengelak lagi dan sebelum dia membalas, kakek itu dengan cepatnya sudah dapat membalik dan menyerang lagi. Kiranya, keistimewaan kakek ini adalah kecepatan menyambung serangan yang gagal dengan serangan berikutnya.

Pada saat itu, dari sudut matanya Ci Sian melihat betapa kuda hitamnya sudah dinaiki oleh dua orang penjahat itu yang kini agaknya mempergunakan sikap halus sehingga kuda hitamnya mau saja dibawa kabur! Ia hanya tersenyum dan cepat menghadapi lawannya, sambil mengelak ia kini menggerakkan tangannya dari samping.

“Wuuuuttt.... plakkk!”

Dan saikong itu terpelanting. Biar pun saikong itu memiliki gerakan yang cepat untuk menyambung serangannya yang gagal, namun tamparan Ci Sian tadi lebih cepat lagi sehingga biar pun dia sudah berusaha mengelak, tetap saja pundaknya kena ditampar tangan kecil halus akan tetapi mengandung tenaga kuat itu sehingga dia terpelanting. Hal ini membuatnya penasaran bukan main. Cepat dia meloncat dan langsung saja menyerang dengan bertubi-tubi.

“Plak-plak-dukkk!”

Ci Sian kini tidak mengelak lagi, melainkan menangkis dan pertemuan antara lengan yang besar berbulu dengan lengan yang berkulit halus dan kecil itu mengakibatkan beberapa kali Si Saikong menyeringai kesakitan. Akhirnya kembali dia kena ditampar dan terpelanting dengan tulang pundak nyeri, seperti akan remuk rasanya.

“Singgg....!” Saikong itu sudah mencabut keluar sebatang golok yang punggungnya berbentuk gergaji. Amat besar, lebar berkilauan tajam dan mengerikan sekali.

Ci Sian menengok dan melihat betapa kuda hitamnya telah lari jauh sekali, diam-diam ia merasa kaget dan kagum. Kuda hitamnya itu memang hebat sekali. Ditungganggi oleh dua orang masih mampu lari secepat itu. Ia harus cepat merobohkan lawannya ini kalau tidak mau repot mencari kudanya itu nanti. Maka begitu melihat sinar golok menyambar, ia cepat menghindar.

Seperti juga ilmu silatnya bertangan kosong, ternyata ilmu golok saikong itu memiliki keistimewaan yang sama, yaitu begitu luput serangannya, golok itu tanpa berhenti bergerak telah membalik dan menyambung serangan pertama tadi dengan serangan selanjutnya. Akan tetapi sekali ini Ci Sian sudah siap dan begitu golok membalik, ia mengeluarkan bentakan melengking tinggi sekali, keluar dari kekuatan khikang-nya.

Saikong itu tersentak kaget dan menjadi bengong, goloknya berhenti bergerak dan ini sudah cukup bagi Ci Sian. Sekali tangan kirinya menyambar, maka terdengar suara yang amat nyaring….

“Plakkk!” dan pangkal telinga kanan kakek itu kena ditempiling olehnya.

Kakek itu terpelanting ke kiri dan roboh tidak bergerak lagi, pingsan dan goloknya terlempar. Ci Sian tidak mempedulikan lagi lawannya yang sudah semaput itu, ia cepat meloncat dan mengejar ke arah larinya kuda hitam yang kini tidak nampak bayangannya lagi.

Kuda itu sudah tidak nampak lagi, akan tetapi tidak sukar bagi Ci Sian untuk mengikuti jejaknya karena kuda yang ditunggangi oleh dua orang itu mempunyai jejak yang nyata. Jejak itu membawanya keluar dari dusun, bahkan tidak memasuki dusun melainkan mengambil jalan memutar melalui sebuah padang rumput lain yang agak tandus.

Pada saat dia tiba di luar sebuah hutan ke mana kuda hitam itu masuk, tiba-tiba saja berloncatan kurang lebih dua puluh orang yang segera mengurungnya dan mereka itu semua memegang sebatang golok. Melihat dari pakaian dan wajah mereka, Ci Sian dapat menduga bahwa mereka ini tentulah teman-teman dua orang pencuri kuda tadi. Mereka itu memiliki wajah jahat dan kejam, dan di antara mereka ia melihat pula pencuri kuda yang tinggi besar. Marahlah Ci Sian.

“Singgg....!” Dua puluh orang itu silau oleh sinar keemasan yang nampak ketika Ci Sian mencabut sulingnya.

Akan tetapi mereka segera tertawa geli. “Wah, ia malah hendak menghibur kita dengan musik!”

“Aihhh, sekalian saja sambil menari agar lebih asyik!”

Teriakan-teriakan itu nadanya mengejek. Mereka tadinya mendengar dari dua orang teman mereka bahwa mereka berhasil melarikan kuda hitam akan tetapi mereka dikejar oleh seorang pendekar wanita yang lihai. Karena itu, dua puluh orang itu bersembunyi dan kini muncul untuk mengurung. Akan tetapi, ketika melihat dara yang remaja dan cantik itu mencabut sesuatu, mereka sudah kaget, dan akhirnya tertawa melihat bahwa yang dicabut itu bukan sebatang pedang pusaka melainkan sebatang suling emas yang indah! Tentu saja mereka lalu memandang ringan dan mengeluarkan kata-kata yang nadanya mengejek.

Si Tinggi Besar memandang dengan alis berkerut, diam-diam menyumpah ketololan teman-temannya yang memandang rendah gadis itu. Akan tetapi dia sendiri pun menjadi bengong ketika melihat gadis itu kini menempelkan suling pada bibiirnya yang tipis merah, siap hendak meniup suling! Bagaimana pula ini? Tadi, gadis itu memiliki sepak terjang yang amat hebat, dan benarkah kini ia datang untuk menghibur teman-temannya dengan nyanyian dan tarian?

Memang Ci Sian sudah merasa mendongkol sekali melihat ia dikurung oleh orang-orang kasar ini, apalagi melihat kudanya tidak ada di situ, tentu sudah dibawa terus ke dalam hutan. Maka ia pun tidak mau membuang banyak waktu dan terus saja ia meniup sulingnya. Mula-mula memang terdengar nada-nada merdu yang membuat dua puluh orang itu menyeringai dan tertawa-tawa, akan tetapi kemudian mereka menjadi pucat sekali ketika suara itu mengeluarkan getaran-getaran hebat dan membuat mereka merasa seolah-olah telinga mereka ditusuk-tusuk jarum.

Mereka mulai menutup telinga dengan tangan, akan tetapi rasa nyeri itu masih saja menembus masuk, malah seperti menusuk-nusuk jantung. Mereka kelabakan, dan akhirnya, dua puluh orang itu roboh pingsan semua!

Dan Ci Sian sudah tidak mau peduli lagi, terus saja ia melompat masuk ke dalam hutan, mengikuti jejak kaki kudanya. Untung bahwa tanah di dalam hutan itu lembek dan agak basah sehingga ia dapat menemukan jejak kaki kudanya dan terus ia berlari.

Akan tetapi ketika ia tiba di tempat terbuka yang penuh dengan daun-daun kering dari pohon-pohon di sekitarnya, ketika ia sedang berlari ke depan, tiba-tiba saja kakinya terjeblos ke bawah. Ia terkejut sekali merasa betapa kakinya itu tenggelam ke dalam pasir berlumpur yang mempunyai daya sedot amat kuatnya! Ia meronta dan berusaha mencari pegangan di tepi, akan tetapi yang ada hanya rumput dan begitu kena cengkeramannya tentu saja rumput-rumput itu tidak dapat menahan tubuhnya dan jebol. Dan celakanya, makin ia mengarahkan tenaga meronta, makin cepat tubuhnya tersedot ke bawah!

Sebentar saja ia sudah terbenam sampai ke pinggang! Sia-sia saja ia mengerahkan tenaga sinkang mau pun khikang karena kakinya tidak mempunyai landasan yang kuat untuk diinjak, melainkan terbenam ke dalam lumpur yang menyedot, sedangkan di atasnya tidak terdapat apa-apa untuk dijadikan pegangan!

Dan kini dari belakang pohon-pohon yang tak jauh dari sekitar tempat jebakan yang merupakan empang penuh lumpur itu, bermunculan kepala-kepala orang dan tak lama kemudian dari empat penjuru beterbangan anak panah ke arah tubuhnya yang tinggal nampak bagian atasnya itu saja!

Ci Sian yang masih memegang sulingnya cepat menggerakkan suling dan semua anak panah itu runtuh dan patah-patah. Tetapi, kembali gerakannya ini membuat tubuhnya makin merosot ke bawah dan kini lumpur sudah mencapai dadanya! Panik juga Ci Sian, ia akan menghadapi maut dengan senyum kalau saja ia harus mati dengan sewajarnya, dalam perkelahian misalnya. Akan tetapi ia akan mati secara mengerikan, disedot lumpur sampai tenggelam! Untuk berteriak minta tolong merupakan hal yang tidak sudi dia lakukan.

Maka ia lalu menempelkan suling di bibirnya dan meniupkan nada yang amat tinggi melengking dan panjang. Mendengar ini kepala-kepala penjahat yang tadi bermunculan di balik pohon segera menghilang. Memang, suara sulingnya itu mengerikan sekali!

Tiba-tiba terdengar suara orang di dekat telinganya. “Ihhh, siluman apa yang dapat mengeluarkan suara seperti itu?”

Ci Sian menengok ke kanan kiri dan bulu tengkuknya meremang. Tak nampak seorang pun manusia akan tetapi suara itu demikian jelasnya terdengar di dekat telinganya! Ia tentu saja tahu akan adanya ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), akan tetapi suara yang didengarnya itu demikian jelas, bahkan terdengar olehnya gerakan bibir dan pernapasannya. Bukan main! Suara itu mengherankan suara sulingnya, akan tetapi suara itu sendiri mirip suara siluman!

Dan tiba-tiba saja terdengar suara keras dan sebuah pohon berikut cabang-cabang dan dahan-dahan serta daun-daunnya roboh dan hampir menimpanya! Pohon itu jebol bersama akar-akarnya dan jatuh melintang di dekatnya! Tentu saja ini merupakan pertolongan yang menyelamatkan nyawanya. Cepat Ci Sian memegang dahan pohon, dengan hati-hati mengerahkan tenaganya menarik dirinya perlahan-lahan keluar dari isapan lumpur. Akhirnya ia pun bebaslah!

Ia melompat keluar dari tempat itu melalui batang pohon dan setelah tiba di tepi kolam lumpur yang berbahaya itu, Ci Sian tanpa mempedulikan pakaiannya yang berlepotan lumpur segera meloncat ke dalam gerombolan pohon-pohon di mana tadi ada orang-oraag yang bersembunyi dan yang menyerangnya dengan anak panah. Akan tetapi di situ tidak nampak seorang pun!

Ci Sian menjadi marah dan ia terus lari mengikuti jejak kudanya, kini berhati-hati karena ia tahu bahwa ia berhadapan dengan gerombolan jahat yang cerdik dan yang mungkin akan menjebaknya lagi. Ketika ia tiba di tengah hutan, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan bermunculanlah belasan orang yang semua mengenakan pakaian hijau sehingga gerakan mereka sukar diikuti, apalagi kalau bersembunyi antara semak-semak. Mereka semua memegang pedang dan dipimpin oleh seorang kakek yang tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu, dengan rambut digelung tinggi di atas kepala, diikat dengan pita kuning. Juga tosu ini memegang sebatang pedang.

Ci Sian sudah marah dan sudah memegang sulingnya, maka tanpa banyak kata lagi, ketika orang-orang itu mengepung dan menyerangnya, ia pun menggerakkan sulingnya yang mengeluarkan suara melengking-lengking. Dalam beberapa gebrakan saja ia telah merobohkan empat orang dengan sulingnya.

Akan tetapi tiba-tiba kakek tosu itu berdiri tegak dan mengangkat pedangnya ke atas kepala, mulutnya berkemak-kemik, lalu terdengar bentakannya, “Nona, lihat apakah engkau akan kuat menghadapi pengeroyokan ratusan orang anakku!”

Dan tiba-tiba saja Ci Sian mendapatkan dirinya dikeroyok oleh tosu-tosu muda yang usianya belasan tahun akan tetapi yang kesemuanya mirip dengan tosu tinggi kurus itu! Bukan hanya wajah mereka yang sama, akan tetapi juga pakaian dan gelung rambut mereka, dengan ikatan pita kuning itu semua sama. Dan mereka itu ratusan orang banyaknya, semua juga memegang pedang dan mengepungnya dengan ketat!

Ci Sian menjadi terkejut dan marah. Dia memutar sulingnya dengan hebat, akan tetapi celakanya, remaja-remaja yang berpakaian tosu ini agaknya tidak dapat dirobohkan, seperti bayangan-bayangan saja yang mengelilinginya dan membuatnya pusing! Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan semua tosu remaja itu pun lenyap! Yang ada hanya belasan orang berpakaian hijau yang masih mengepungnya!

Maka tahulah Ci Sian bahwa tosu tua itu menggunakan sihir dan ia pun cepat memutar suling sambil mengerahkan khikang sehingga dari lubang suling itu terdengar suara menggetar yang cukup kuat. Menurut petunjuk suheng-nya, suara yang mengandung getaran khikang ini akan mampu menolak pengaruh sihir yang kuat sekali pun. Sambil melindungi dirinya dari pengaruh sihir dengan suara sulingnya, Ci Sian mengamuk terus dan merobohkan lagi beberapa orang. Dan ketika sisanya lari, tosu tua itu pun tidak lagi nampak bayangannya.

Ci Sian melanjutkan pengejarannya dengan melihat jejak kaki kuda hitamnya. Ketika dia menembus hutan yang tidak berapa besar itu, ia melihat kuda hitamnya sedang makan rumput di tepi hutan sebelah sana dengan tenangnya. Giranglah hatinya dan ia segera lari menghampiri, akan tetapi dengan amat hati-hati karena ia masih curiga kalau-kalau ia terjebak perangkap. Akan tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu dan ia segera menangkap kendali kuda dan memasang kendali kuda itu di mulut kudanya. Ketika ia meloncat ke punggung kuda itu, ia merasakan sesuatu yang amat berbeda. Kuda itu tidak membuat reaksi seperti Hek-liong-ma.

Kalau Hek-liong-ma ditungganginya, maka ia merasakan bagaimana otot-otot kuda itu menegang, kepalanya diangkat, telinganya juga berdiri dan ada semacam kekuatan dahsyat bekerja di dalam tubuh kuda yang dapat dirasakannya melalui jepitan pahanya dan melalui kendali yang dipegangnya. Akan tetapi kuda ini reaksinya lambat dan lemah sekali, bahkan agaknya masih merasa enggan meninggalkan rumput hijau segar. Ketika Ci Sian menarik kendali kudanya, kuda itu melangkah maju, sama sekali tidak seperti Hek-liong-ma yang biasanya tentu meloncat ke depan seperti seekor harimau!

“Hemm, sadarlah dan buka matamu baik-baik!” terdengar bisikan aneh seperti tadi.

Dan karena suara itu terdengar dekat telinga kirinya, Ci Sian menengok ke kiri. Akan tetapi tidak nampak sesuatu dan ia terkejut sekali. Cepat ia meloncat turun dari atas punggung kudanya dan melihat bahwa kuda hitam itu ternyata sama sekali bukanlah Hek-liong-ma, juga bukan berwarna hitam, melainkan kuda coklat yang amat buruk lagi berpenyakitan.

“Ihhh....!” Ia berseru keras sehingga kuda itu kaget juga. Ci Sian terheran-heran.

Bagaimana tadi ia melihat betul bahwa kuda itu sebagai Hek-liong-ma? Apa yang telah terjadi? Ia lalu teringat kepada kakek tosu yang pernah menyihirnya, maka ia pun dapat menduga bahwa ia tentu menjadi korban sihir pula ketika tadi melihat kuda itu. Dan ia pun dapat menduga bahwa ada orang, yang suaranya didengarnya tadi, telah membuka matanya dari pengaruh sihir, seperti juga tadi menolongnya ketika ia terjebak dalam lumpur.

Dan begitu ia melihat kuda coklat berpenyakitan itu, ia melihat pula kuda yang tadinya ia lihat sebagai kuda biasa, ternyata kuda biasa itulah yang sesungguhnya kuda hitam miliknya! Ia cepat meloncat ke atas punggung kuda itu dan kini ia merasakan reaksi yang wajar dari Hek-liong-ma, maka giranglah hatinya. Cepat ia membalapkan kuda itu meninggalkan tempat yang menyeramkan itu, menuju ke timur.

Sementara itu, matahari telah mulai naik tinggi ketika kuda hitam berlari sampai ke lereng sebuah bukit. Daerah itu mulai penuh dengan bukit-bukit, daerah pegunungan yang luas dan sunyi. Ketika Ci Sian menghentikan kudanya dan memandang ke depan, ia melihat bayangan seorang laki-laki berdiri seperti patung tidak jauh dari situ. Dia memperhatikan dan merasa heran sekali. Tempat itu amat sunyi dan luas, dan laki-laki itu berdiri seorang diri saja.

Seorang laki-laki yang tak diketahui wajahnya karena berdiri membelakanginya. Hanya ia tahu bahwa orang itu adalah laki-laki, melihat dari pakaian dan bentuk tubuhnya dari belakang, bentuk tubuh yang sedang akan tetapi lebar pada pundaknya dan nampak kokoh. Rambutnya panjang riap-riapan dan pakaiannya sederhana, tangan kanannya memegang sebatang tongkat pendek, seukuran pedang. Ia merasa curiga. Jangan-jangan seorang di antara para pencuri kuda, pikirnya. Ia harus berhati-hati.

Para pencuri kuda itu mempunyai banyak orang pandai, bahkan ada yang pandai main sihir segala. Maka, untuk menjaga dirinya, Ci Sian meloncat turun dari atas punggung kuda dan dengan hati-hati ia menuntun kuda menghampiri orang itu yang sekarang menyandarkan tubuhnya ke sebatang pohon, kaki kanannya diangkat menginjak sebuah batu di bawah pohon itu.

Sungguh menyeramkan keadaan laki-laki itu, dia bersandar dan tidak bergerak-gerak, memandang ke bawah lereng seperti orang melamun. Rambut penjangnya yang riap-riapan itulah yang mendatangkan suasana menyeramkan, karena rambut itu putih seperti benang perak, berkilauan tertimpa cahaya matahari. Tentu seorang laki-laki yang telah tua sekali, pikir Ci Sian, karena rambut itu sudah menjadi uban semua. Akan tetapi, kalau melihat bentuk tubuhnya, seperti tubuh orang muda.

Setelah tiba agak dekat sekali pun Ci Sian masih belum dapat melihat mukanya yang tertutup oleh rambut panjang mengkilap putih itu. Diam-diam ia bergidik dan merasa seram. Ada sesuatu yang mengerikan pada pribadi orang itu, pikirnya dan ia berhati-hati sekali. Betapa pun juga, karena harus melewati orang itu dan tidak mungkin mengambil jalan memutar, maka dia terus menuntun kuda hitam dan melanjutkan perjalanannya, mengerling dengan penuh waspada ke arah laki-laki rambut putih yang bersandar pada batang pohon itu.

Mendadak laki-laki itu menggerakkan tangan kirinya menuding ke depan, dan tanpa menoleh ke arah Ci Sian terdengarlah suaranya, “Nona, sebaiknya engkau jangan melalui jalan menuju ke depan itu.”

Ci Sian terkejut. Suara itu seperti pernah dikenalnya! Akan tetapi ia tidak tahu dan tidak ingat lagi di mana ia pernah mendengar suara itu. Ingatan ini segera dihalau oleh rasa penasaran dan marahnya. “Mengapa?” tanyanya dengan nada suara tidak puas. “Siapa melarang aku mengambil jalan ini dan mengapa?”

“Tidak ada yang melarang, tetapi sebaiknya jangan engkau ke sana,” kata orang itu tanpa menengok sehingga Ci Sian masih juga belum dapat melihat wajahnya.

“Kenapa?” tanya Ci Sian penasaran.

Suara itu bening, tidak seperti suara seorang kakek tua. “Karena isteriku sedang jengkel dan marah-marah, dan kalau engkau ke sana dan ia melihat Hek-liong-ma tentu akan lebih marah lagi dan engkau pasti akan menghadapi kesukaran.”

Begitu singkat dan sungguh-sungguh suara orang itu sehingga suaranya menjadi lucu rasanya bagi Ci Sian. Ingin ia tertawa, mentertawakan orang itu. Akan tetapi ada sesuatu pada orang itu yang membuat ia tidak dapat tertawa. Kalau orang itu begitu takut kepada isterinya yang katanya sedang marah-marah, mengapa pula ia harus ikut-ikutan merasa takut? Karena itu, tanpa menjawab ia terus menuntun kudanya lewat di depan orang itu, dengan sikap waspada menjaga diri kalau-kalau orang itu akan menyerangnya.

Akan tetapi, kini terjadi keanehan pada Hek-liong-ma. Kuda itu tiba-tiba saja meringkik dan mogok, tidak mau ditarik oleh Ci Sian ketika binatang itu tiba di depan laki-laki rambut panjang itu.

“Hishhh, hayo maju, Hek-liong-ma!” Ci Sian coba menarik-narik kendali kudanya yang mendadak mogok itu. Sambil menarik kudanya, ia melirik dan ia terkejut.

Pria itu ternyata memang benar belum tua sekali. Sebagian wajahnya nampak dan ternyata dia seorang laki-laki yang nampak berwajah tampan dan gagah. Melihat wajah itu usianya tentu sekitar tiga puluh enam tahun atau sebaya dengan suheng-nya, Kam Hong. Kalau lebih tua pun tidak akan banyak selisihnya, hanya sekitar dua tahun. Dan sepasang mata yang menunduk itu kelihatan mencorong menakutkan!

Akan tetapi, pria itu tidak memandang kepadanya, hanya melirik ke arah kuda yang mogok lalu menggerakkan tangan kirinya.

“Pergilah, Hek-liong-ma!” katanya lirih dan sungguh aneh, kuda itu kini mau bergerak, jalan mengikuti Ci Sian sambil mengeluarkan suara seperti orang merintih.

Ci Sian terkejut. “Apakah hubunganmu dengan kuda ini? Apakah.... apakah engkau yang menyerahkan kuda ini kepada kakek pedagang kuda itu?” Tiba-tiba dia teringat akan cerita kakek itu.

Laki-laki itu tetap tidak memandang kepada Ci Sian, masih menundukkan mukanya dan berkata tak acuh. “Kuda itu sekarang punyamu, jaga baik-baik.”

Melihat sikap ini, diam-diam Ci Sian tidak senang. Biasanya, semua laki-laki bersikap manis kepadanya, akan tetapi laki-laki ini memperlakukan dia seolah-olah dia tidak nampak olehnya. Laki-laki yang sombong, pikirnya dan dia pun tidak mau bicara lagi, melanjutkan perjalanannya, tidak peduli akan peringatan yang diberikan oleh laki-laki itu tentang isterinya, pikirnya mendongkol.

Setelah melewati orang yang menimbulkan rasa ngeri di dalam hatinya itu, Ci Sian lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan menjalankannya perlahan-lahan menuruni lereng. Perutnya terasa amat lapar dan ia harus cepat-cepat menemukan dusun untuk mencari makanan. Tiba-tiba ia menahan kendali kudanya dan memandang ke bawah.

Di depan sana terdapat seorang wanita sedang berjalan seorang diri, memakai payung untuk melindungi mukanya dari sengatan matahari. Di tempat seperti itu berjalan melenggang dengan memakai payung! Sungguh suatu pemandangan yang amat aneh dan juga lucu. Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang ia melihat seorang wanita secantik wanita berpayung itu.

Wanita itu usianya tentu sudah ada tiga puluh tahun, walau pun wajahnya nampak cantik manis sekali dan tubuhnya yang terbungkus pakaian rapi dan indah itu nampak padat dan ramping menggairahkan. Gerakannya ketika melenggang seperti seorang sedang menari saja. Benar-benar seorang wanita yang selain cantik, juga memiliki bentuk tubuh indah dan memiliki gerakan bergaya yang amat menarik. Setelah dekat, ia dapat melihat betapa sepasang mata wanita itu juga amat tajam dan berwibawa, dan membayangkan kecerdikan.

“Berhenti! Berhenti dan turun kau!” Wanita berpayung itu membentak, suaranya nyaring dan bening, juga amat berwibawa sehingga sebelum ia tahu apa yang harus ia lakukan, Ci Sian sudah menahan kendali kudanya dan berhenti.

“Apa.... apa katamu....?” tanyanya bingung karena ia tidak tahu mengapa suara wanita itu mempunyai pengaruh yang demikian kuatnya sehingga ia seperti terdorong oleh kehendak yang amat kuat untuk menghentikan kudanya, bahkan untuk turun, akan tetapi hal ini masih dilawannya.

“Turun kataku! Turun dari atas kuda itu!” kembali wanita berpayung itu membentak dan sungguh luar biasa sekali, Ci Sian turun dari atas kudanya seperti seorang anak kecil takut akan perintah ayahnya.

Padahal, bukan takut yang mendorongnya turun, melainkan entah apa ia sendiri tidak tahu, yang jelas ia harus turun dari atas kuda itu! Dan anehnya, kuda itu kini meringkik lirih dan berjalan perlahan-lahan menghampiri wanita berpayung itu.

“Huh, engkau tentu mencuri kuda Hek-liong-ma ini!” kata wanita berpayung itu sambil mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada Ci Sian. “Masih muda sudah belajar mencuri, ya? Mencuri kuda lagi, tidak tahu malu!”

Marahlah Ci Sian! Dan kemarahan karena dituduh menjadi pencuri kuda itu tiba-tiba saja membuatnya sadar akan kelakuannya sendiri yang tidak wajar ketika ia turun dari atas punggung kuda. Maka ia pun cepat mengerahkan sinkang-nya dan tahulah ia bahwa ia tadi berada di bawah pengaruh kekuatan yang tidak wajar dari wanita itu. Kini, dengan mata berapi ia memandang kepada wanita itu dan menudingkan telunjuknya.

“Siluman betina! Jangan sembarangan menuduh orang! Aku bukan pencuri dan yang sudah jelas, engkau adalah seorang tukang tenung, siluman betina yang menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi aku!”

“Eh, ehhh.... bocah setan! Sudah menunggang kuda orang seenaknya masih marah-marah lagi? Engkau memang patut dihajar!” Dan tiba-tiba saja wanita itu melangkah maju, gerakannya cepat bukan main dan tangan kirinya sudah melayang dan menampar ke arah pipi Ci Sian dengan kuatnya.

“Plakkk!”

Ci Sian menangkis dan dua tangan yang sama kecil dan halusnya, akan tetapi juga sama kuatnya itu bertemu, membuat keduanya merasa betapa kulit tangan mereka panas dan lengan mereka kesemutan. Terkejutlah keduanya, maklum bahwa lawan adalah orang yang tidak boleh dipandang ringan. Wanita berpayung itu sudah meloncat ke belakang dan memandang kepada Ci Sian dengan sinar mata lain.

“Aihhh, kiranya engkau mempunyai juga sedikit kepandaian, ya? Pantas berani kurang ajar kepadaku!”

“Perempuan galak, siapa takut kepadamu?” Ci Sian membalas bentakan orang itu dengan marah dan ia pun sudah mencabut sulingnya karena ia maklum bahwa wanita ini memiliki kepandaian tinggi dan terutama sekali memiliki ilmu sihir agaknya.

Sungguh tempat yang menyeramkan daerah ini, pikirnya. Agaknya semua orang pandai ilmu sihir di sini! Maka, untuk melindungi dirinya dari pengaruh ilmu hitam, dia sengaja mengeluarkan sulingnya.

“Ahhh, kiranya engkau yang main-main dengan suling itu. Bagus, mari kita main-main sebentar!” Suara wanita itu berubah, tidak marah seperti tadi, bahkan agak ramah dan gembira, seperti seorang anak kecil menemukan permainan baru.

Dan cepat seperti kilat menyambar payungnya sudah bergerak menyerang. Mula-mula payung yang terbuka itu menyambar dan mendatangkan angin seperti kipas yang mengebut ke arah muka Ci Sian, lalu dilanjutkan dengan menutupnya payung yang meluncur dengan ujungnya yang runcing menotok ke tiga jalan darah di leher, pundak dan lambung Ci Sian secara bertubi-tubi!

“Bagus!” Ci Sian juga memuji karena harus diakuinya bahwa serangan wanita itu amat ganas dan cepat, berbahaya sekali dan juga aneh gerakannya. Ia pun cepat memutar sulingnya yang mengeluarkan bunyi melengking penuh dengan getaran hawa khikang, dan sekaligus dia menangkis tiga kali.

Wanita itu memandang kagum oleh karena tiga kali tangkisan itu membuat semua serangannya gagal total, bahkan payungnya terpental, memaksa ia melangkah mundur untuk mengatur posisi agar ia dapat melanjutkan penyerangannya.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang tadi berjumpa dengan Ci Sian, “Cukup, jangan berkelahi!”

Akan tetapi anehnya, begitu wanita berpayung itu mendengar suara laki-laki ini, kegembiraannya berganti kemarahan dan ia malah menyerang Ci Sian lebih dahsyat dan lebih ganas lagi dibandingkan dengan tadi! Tentu saja Ci Sian juga memutar sulingnya, menangkis dan tidak mau kalah, membalas serangan lawan dengan sama ganasnya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman