SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-35
Kemudian Kam Hong mencoba untuk mengganti dengan ilmu-ilmu lain yang dimilikinya. Mula-mula dia mengubah Pat-sian Kiam-hoat dengan Hong-in Bun-hoat, yaitu ilmu silat yang gerakannya dilakukan dengan membuat huruf-huruf di udara, merupakan gerakan ilmu silat yang lihai sekali. Kemudian, karena ilmu ini juga kurang berhasil dipergunakan untuk menghadapi begitu banyak pengeroyok yang rata-rata memlilki ilmu silat tinggi, dia mengubah lagi ilmunya dan berturut-turut dia mainkan Khong-sim Sin-ciang, lalu Kim-kong Sin-Im yang membuat sulingnya mengaung-ngaung, lalu mencabut keluar kipasnya serta menggabungkan dengan sulingnya dalam permainan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan).
Namun, tetap saja dia terdesak dan belum mampu merobohkan para pengeroyoknya. Memang, setiap kali dia mengganti ilmu, delapan orang pengeroyoknya itu terkejut dan terdorong, akan tetapi segera mereka menerima bisikan-bisikan guru mereka melalui pengiriman suara dari jauh sehingga mereka dapat segera mengubah gerakan mereka sesuai dengan petunjuk gurunya! Dengan demikian, walau pun delapan orang Hek-i Pat-mo itu yang maju mengeroyok Kam Hong, sesungguhnya yang dilawan Kam Hong adalah otak dari Hek-i Mo-ong yang mengatur semua gerakan para muridnya itu dengan bisikan-bisikannya.
Diam-diam Kam Hong terkejut. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu yang diwarisinya dari nenek moyangnya melalui Seng-siauw Sengjin adalah ilmu-ilmu yang amat hebat dan sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, ternyata semua ilmu ini tidak mampu merobohkan delapan orang pengeroyoknya ini. Jelaslah bahwa mereka ini benar-benar merupakan gerombolan yang amat tangguh dan juga amat berbahaya, dan kalau tidak dibasmi, tentu akan mendatangkan banyak sekali korban.
Teringat dia akan hasil penyelidikannya di mana dikabarkan orang-orang kang-ouw bahwa entah sudah berapa ratus tokoh-tokoh kang-ouw yang gagah perkasa roboh dan tewas menghadapi Hek-i Pat-mo ini, juga dia teringat akan nasehat gurunya yang pertama, yaitu Sai-cu Kai-ong bahwa gerombolan Hek-i-mo itu amat berbahaya.
Memang tadinya Kam Hong tak hendak mengeluarkan ilmu barunya yang menjadi ilmu simpanannya. Dia telah memiliki banyak ilmu-ilmu silat tinggi dari nenek moyangnya, dan kalau tidak terpaksa sekali dia tidak akan menggunakan Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya bersama Ci Sian, bahkan yang sampai saat itu masih terus diperdalamnya karena ilmu itu merupakan ilmu yang amat luar biasa dan agaknya sampai mati pun orang tidak mungkin dapat mencapai titik kesempurnaannya.
Kini, dia tahu bahwa kalau dia bertahan terus dengan ilmu-ilmunya yang lain, sukarlah baginya untuk mencapai kemenangan dan dia pun harus menghemat tenaganya. Siapa tahu, dia harus mengerahkan sepenuh tenaga nanti kalau Mo-ong sendiri yang maju dan kalau sumoi-nya tidak mampu menahan raja iblis itu.
Tiba-tiba Kam Hong mengubah gerakannya. Gerakannya itu lambat-lambat saja, akan tetapi dari suling yang dia gerakkan, terdengarlah suara melengking, mula-mula rendah dan lambat, akan tetapi sesuai dengan gerakan sinar suling, makin cepat sinar itu bergulung, makin besar sinarnya, makin tinggi melengking suara suling itu! Ini bukanlah ilmu Kim-kong Sin-im seperti yang pernah dimainkannya tadi.
Memang, Kim-kong Sin-im juga dapat membuat pedang atau suling mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung seperti suling bernyanyi, akan tetapi tidak seperti ilmu Kim-siauw Kiam-sut ini. Ilmu ini dibarengi dengan khikang yang amat kuat dan jangankan sinar suling yang bergulung-gulung itu, apalagi sulingnya sendiri, baru suaranya saja sudah mampu merobohkan lawan!
Melihat ini, lega dan giranglah hati Ci Sian. Suheng-nya mulai mengeluarkan Kim-siauw Kiam-sut dan memang hebat sekali akibatnya! Hek-i Mo-ong sendiri kellhatan terkejut dan bingung melihat betapa delapan orangnya menjadi kacau gerakannya dan terdesak hebat. Dia mencoba untuk mengirim suara, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia merasa suaranya itu lenyap dan membuyar oleh getaran suara suling pemuda itu!
Memang hebat bukan main ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) ini. Begitu Kam Hong memainkannya dengan pengerahan tenaga sinkang sepenuhnya, didorong oleh kekuatan khikang yang telah dilatihnya dengan tekun semenjak dia menemukan ilmu itu, maka belum sampai dua puluh jurus saja, sinar suling yang keemasan itu dan suara melengking-lengking penuh getaran yang amat kuat itu telah mengurung dan mendesak delapan orang lawannya.
Akan tetapi, Kam Hong bukanlah seorang yang berhati kejam. Ketika dia menambahkan tenaga sedikit lagi, terdengar suara nyaring delapan kali dan delapan orang itu telah terpelanting ke kanan kiri, dan ketika mereka bangkit berdiri, ternyata cakar setan yang menyambung tangan kiri mereka itu telah hancur semua! Wajah mereka berubah pucat dan semakin mengerikan dalam sinar bulan purnama.
Delapan orang murid kepala dari Hek-i Mo-ong ini adalah orang-orang yang tidak biasa kalah dalam perkelahian. Bertahun-tahun mereka selalu menang menghadapi orang-orang kang-ouw yang berani menentang guru mereka, dan biar pun sudah memiliki kepandaian tinggi, mereka masih terus melanjutkan pelajaran mereka, belajar segala ilmu dari guru mereka sehingga semakin lama mereka itu menjadi semakin lihai. Maka, kini ketika menghadapi kekalahan mutlak melawan seorang pemuda, mereka merasa penasaran bukan main.
Mereka tidak dapat menerima kenyataan pahit ini, karena selama ini, kemenangan demi kemenangan telah membangun suatu keyakinan di hati mereka bahwa selain guru mereka, tidak ada lagi orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkan mereka! Mereka saling bertukar pandang, kemudian tiba-tiba mereka itu sudah duduk bersila dengan kedua kaki di atas kedua paha, kedua lengan bersilang di depan dada, dan kedua mata terpejam. Lalu terdengarlah suara mereka, keluar dengan berbareng, suara yang terdengar oleh Ci Sian dan Kam Hong sebagai suara mengaum lirih, terdengarnya seperti, “Auuuummmm....!”
Akan tetapi bukan main kagetnya hati Kam Hong ketika suara itu terus berdengung dan suara itu seperti memiliki kekuatan gaib yang menyerangnya, mula-mula memasuki kedua telinganya dan terus menyusup masuk, tak tertahankan lagi, demikian kuatnya sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya digetarkan oleh suara itu. Dia mulai menggigil dan mukanya pucat.
Namun pemuda ini memiliki dasar yang amat kuat, sehingga dia yang selalu waspada itu sudah cepat menutup sulingnya. Dia membawa suling ke mulutnya, memegangi suling dengan hanya tangan kanan saja karena dia sudah meniup dengan pengerahan hawa khikang tingkat yang tinggi sekali sehingga dia tidak perlu menggunakan jari-jari untuk membuka dan menutup lubang-lubang suling. Tangan kirinya, telapak tangan itu, dia pergunakan untuk menekan dadanya dan dari saluran hawa hangat yang keluar dari telapak tangannya sendiri, mendatangkan getaran halus yang melindungi jantungnya. Dan terdengarlah kini suara melengking tinggi dan suara lengkingan itu mulai berlagu! Biar pun suling itu tidak dimainkan lubang-lubangnya, hanya dibiarkan terbuka dan ditiup, namun tenaga tiupan yang sudah mencapai kekuatan tinggi itu dapat mengatur sendiri lagunya dan naik turun menurut kehendak Kam Hong.
Terjadilah pertandingan yang amat luar biasa! Pertandingan antara suara! Akan tetapi suara yang bagaimana! Bukan sembarangan suara, melainkan suara yang mengandung kekuatan dasyat untuk menjatuhkan lawan masing-masing!
Suara yang terus berdengung dari delapan orang itu amat kuatnya, dan walau pun langsung ditujukan kepada Kam Hong, namun Ci Sian sendiri merasakan akibatnya sehingga dara ini pun mengerahkan sinkang untuk melindungi dirinya. Karena suara itu ditujukan langsung kepada Kam Hong, maka dara ini hanya terserang getaran yang lemah saja. Tidak demikian dengan Kam Hong.
Akan tetapi, suara suling Kam Hong yang lembut itu, berbeda sekali pengaruhnya dari suara auman mereka. Suara suling ini memang amat halus, bersih, dan kuat bukan main, akan tetapi tidak mempunyai daya untuk mencelakakan orang, bahkan terdengar merdu dan menenangkan hati. Namun, bagi Hek-i Pat-mo, suara itu merupakan mala petaka! Suara itu menyambut auman mereka dan kini tenaga getaran suara auman mereka itu kembali dan menyerang mereka sendiri! Mereka merasakan gelombang suara yang menggetar ini, akan tetapi karena mereka merasa penasaran sekali, mereka menjadi nekat dan mereka bahkan mengerahkan tenaga mereka sepenuhnya dengan tekad membunuh atau dibunuh! Kalau mereka lebih kuat, tentu tangkisan lawan itu akan bobol dan lawan akan tewas seketika, dan kalau sebaliknya mereka kalah kuat, mereka tidak peduli lagi!
Melihat kenekatan ini, diam-diam Kam Hong terkejut sekali. Dia maklum bahwa lawan-lawannya itu hendak mengadu nyawa dan dia sudah tidak mempunyai jalan lain untuk menghindarkan adu tenaga itu. Kalau dia menghindar, berarti dia kalah, bahkan dia terancam bahaya maut. Maka dengan prihatin sekali, terpaksa dia pun memperkuat pengerahan khikang-nya, disalurkan melalui suara suling.
Sungguh mengerikan sekali suara auman yang bertemu dan bercampur dengan suara suling melengking-lengking itu. Getarannya sampai terasa amat jauh dan kini bukan hanya Ci Sian, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri terpaksa harus mengerahkan sinkang buat melindungi dirinya dari pengaruh getaran suara. Akan tetapi, kakek ini mengerutkan alisnya dan maklum bahwa para muridnya itu terancam bahaya maut. Dan dugaannya ternyata benar karena tidak lama kemudian, suara auman para muridnya itu menjadi semakin lemah, tergulung oleh lengkingan suara suling, bahkan kini wajah para muridnya itu nampak pucat, juga penuh keringat dan napas mereka terengah-engah.
Melihat hal ini, Hek-i Mo-ong yang maklum bahwa murid-muridnya akan celaka, tiba-tiba mengeluarkan teriakan melengking, atau lebih mirip gerengan seekor binatang buas. Tangan kirinya sudah mengeluarkan sebuah kipas merah sedangkan tangan kanannya mencabut keluar senjatanya Long-gee-pang (Tombak Gigi Srigala) dan dengan kipas merahnya itu dia mengipas ke arah Kam Hong. Angin dahsyat menyambar ganas ke arah pemuda itu.
Akan tetapi, Ci Sian yang sejak tadi waspada dan sudah menduga bahwa kakek ini tidak dapat dipercaya kejujurannya, lalu meloncat ke depan dan menggunakan sulingnya untuk diputar cepat dan menyerangnya. Betapa pun juga, kipas merah itu lihai bukan main dan Kam Hong merasa betapa pihak lawan ditambah oleh tenaga yang amat hebat. Kiranya sambaran angin kipas itu menambah kuat getaran suara auman lawan.
Dia mengerahkan tenaganya dan terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan ketika tubuh delapan orang itu terjengkang, dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah dan mereka itu tidak bergerak-gerak lagi karena nyawa mereka telah melayang. Mereka itu tewas karena tenaga mereka sendiri yang membalik dan merusak isi dada mereka, terutama jantung mereka. Akan tetapi, Kam Hong juga terkejut sekali ketika merasa betapa dadanya agak sesak dan panas, tanda bahwa dia pun menderita luka dan hal ini terjadi karena delapan orang itu tadi dibantu oleh Hek-i Mo-ong secara tiba-tiba, di luar persangkaannya sehingga dia kurang dapat menjaga diri.
Sementara itu, Ci Sian sudah menyerang kakek raja iblis itu dengan sulingnya dan karena ia tahu bahwa lawannya itu amat sakti, maka Ci Sian tidak mau membuang banyak waktu, begitu maju ia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut yang selama ini dilatihnya dengan amat tekun dibawah bimbingan Kam Hong.
Memang tak dapat disangkal bahwa kematangan dalam ilmu ini yang dimiliki oleh Ci Sian masih jauh dibandingkan dengan suheng-nya yang sudah lebih lama melatih diri. Akan tetapi Ci Sian telah menguasai dengan baik pokok-pokok dan dasar-dasarnya, dan karena Kam Hong memberi petunjuk dengan sungguh-sungguh, sedangkan dara itu pun dengan amat tekunnya berlatih, ditambah lagi dengan bakatnya yang luar biasa dalam hal ginkang sehingga ia memiliki gerakan yang amat cepat, maka ia bukan merupakan lawan yang ringan bagi ketua Hek-i-mo itu.
Hek-i Mo-ong sedang marah bukan main. Dia merasa amat terkejut dan berduka melihat delapan orang murid utamanya itu tewas dan dia merasa menyesal bukan main kenapa tadi menyuruh mereka maju. Kehilangan mereka sama saja baginya dengan kehilangan tangan kanannya, maka dengan kemarahan yang meluap-luap kini dia menghadapi Ci Sian. Dan memang kakek ini luar biasa ganas dan tangguhnya.
Tombak Long-gee-pang itu adalah semacam toya yang pada ujungnya dipasangi kaitan runcing tajam agak melengkung seperti gigi serigala, dan tentu saja ujung senjata itu mengandung racun yang amat berbahaya, telah bertahun-tahun direndam semua racun-racun yang paling jahat. Ia mainkan Long-gee-pang ini bagai orang memainkan tombak atau toya, akan tetapi dia lebih sering menggunakan sebelah tangan saja, yaitu tangan kanan untuk memainkan Long-gee-pang.
Sedangkan tangan kirinya hanya kadang-kadang saja membantu sebab tangan ini lebih sering memainkan kipas merahnya. Kipas merah ini ujungnya runcing dan dipergunakan untuk menotok jalan darah. Memang gerakan-gerakannya hebat sekali. Tombaknya itu bergulung-gulung sinarnya dan di antara gulungan sinar tombak itu nampak berkelebat sinar merah dari kipasnya. Angin dahsyat menyambar-nyambar keluar dari tiap gerakan tombaknya.
Ci Sian memutar sulingnya dan terdengar suara melengking-lengking. Sungguh pun tak sehebat permainan Kam Hong, namun ternyata dara ini telah menguasai inti dari ilmu sakti Kim-siauw Kiam-sut. Biar pun lawannya bergerak bukan hanya mengandalkan ilmu silat dan serangan tombak dan totokan-totokan kipas, melainkan juga dibantu oleh kekuatan ilmu hitam untuk menguasai semangat lawan, namun Ci Sian terlindung oleh suara yang keluar dari sulingnya, karena suara ini pun mengandung kekuatan khikang yang hebat.
Betapa pun juga, setelah lewat puluhan jurus, Ci Sian mulai merasakan betapa kuatnya kakek itu. Ia mulai merasa terdesak dan terhimpit, dan hanya berkat kelincahannya saja maka dia masih mampu menghindarkan diri dari cengkeraman-cengkeraman maut.
Selama itu, Kam Hong duduk bersila dan mengumpulkan hawa murni untuk mengobati lukanya. Akan tetapi, perhatiannya tidak pernah terlepas dari Ci Sian. Bagaimana pun juga, dia harus membantu sumoi-nya. Akan tetapi dalam keadaan terluka, tentu saja amat berbahaya untuk mengerahkan tenaga membantu sumoi-nya, apalagi kalau yang dilawannya itu seorang yang demikian sakti seperti raja iblis itu. Dan dalam jurus-jurus pertama, Ci Sian masih cukup kuat untuk dapat membela dan melindungi diri sendiri. Dia tahu bahwa seorang diri saja, Ci Sian masih terlalu hijau untuk dapat menandingi raja Iblis itu. Akan tetapi, dia harus mengobati lukanya lebih dulu kalau tidak ingin nanti tertimpa mala petaka kalau dia berhadapan dengan Hek-i Mo-ong.
Setelah rasa sesak dan panas di dadanya sudah agak berkurang, dan melihat pula betapa Ci Sian sudah terdesak hebat, Kam Hong sudah siap-siap untuk membantu sumoi-nya. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan nyaring.
“Hek-i Mo-ong iblis yang kejam, akulah lawanmu! Ci Sian, jangan khawatir, mari kita sama-sama basmi Iblis ini!” Dan nampaklah sinar berkilauan dibarengi dengan suara berdengung-dengung amat kuatnya, bahkan dalam suara mengaung ini pun terkandung kekuatan yang mukjijat.
“Sim Hong Bu, bagus kau datang membantuku!” Ci Sian berseru girang. karena tadi ia memang sudah merasa terdesak hebat, kini muncul pemuda yang sudah dikenalnya sebagai seorang pemuda yang amat lihai itu, tentu saja ia merasa lega dan girang. Ia mengira bahwa suheng-nya telah terluka dan tidak dapat maju lagi.
Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga terkejut setengah mati ketika menangkis sinar pedang di tangan pemuda yang baru muncul itu dan merasa betapa lengannya tergetar hebat! Kiranya pemuda ini tidak kalah lihainya dibandingkan dengan dara remaja ini!
Ada pun Kam Hong yang melihat munculnya Sim Hong Bu, diam-diam melihat dengan penuh perhatian, mengikuti pertandingan itu dan melihat betapa gerakan-gerakan pedang pemuda itu memang hebat bukan main. Tahulah dia bahwa itulah Koai-liong pokiam, yaitu pedang pusaka yang terkenal itu, dimainkan dalam ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut yang dibanggakan oleh keluarga Cu yang telah dikalahkannya. Keluarga Cu itu berkeinginan untuk mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut!
Dan sekarang, dari tempat dia duduk bersila, dia melihat betapa Kim-siauw Kiam-sut dimainkan dengan suling emas oleh sumoi-nya, sedangkan Koai-liong Kiam-sut dimainkan oleh Sim Hong Bu, bukan sebagai lawan, melainkan sebagai kawan. Dua ilmu pedang itu kini bekerja sama menghadapi Hek-i Mo-ong yang amat lihai dan diam-diam dia memandang bengong dan kagum. Sungguh mengherankan sekali karena begitu dipakai untuk bekerja sama, kedua ilmu pedang itu ternyata amat hebat, dapat saling mengimbangi bahkan saling cocok, saling isi dan saling melindungi!
Teringatlah dia bahwa kalau Kim-siauw Kiam-sut diciptakan oleh Kakek Cu Keng Ong yang merupakan nenek moyang keluarga Cu, maka Koai-liong Kiam-sut itu diciptakan pula oleh keturunannya, yaitu Cu Hak pembuat pedang itu. Dan ilmu pedang itu lalu ditemukan dan disempurnakan oleh Ouwyang Kwan yang menyamar sebagai Yeti. Pantas saja ada kecocokannya karena penciptanya adalah seketurunan. Sedikit banyak pencipta Koai-liong Kiam-sut tentu mewarisi pula sebagian dari Kim-siauw Kiam-sut, seperti halnya keluarga Cu di lembah itu.
Melihat hasil kerja sama antara Ci Sian dan Hong Bu, Kam Hong kagum sekali, amat kuat dan bahkan saling mengisi kekosongan atau kelemahan masing-masing. Dapat dikatakan bahwa penggabungan itu malah membuat Kim-siauw Kiam-sut menjadi sempurna, dan membuat Koai-liong Kiam-sut menjadi lengkap! Dan dia melihat pula hal lain!
Dia melihat betapa Hong Bu selalu dengan mati-matian melindungi Ci Sian, dan di antara gerakan cepat mereka, dia dapat melihat pula sinar mata Hong Bu kalau melihat atau mengerling Ci Sian. Pemuda itu mencinta Ci Sian! Dan dia melihat pula betapa dua orang muda remaja ini memang serasi, cocok sekali, sebaya dan juga sama-sama gagah perkasa. Dan dia pun melihat betapa Ci Sian bertempur dengan wajah berseri dan tersenyum, tanda bahwa hati dara itu pun girang sekali bertemu dengan Hong Bu, apalagi dapat bersama-sama pemuda itu melawan musuh tangguh.
Padahal, dia mengenal benar watak Ci Sian dan andai kata yang membantunya itu orang lain, tentu Ci Sian akan marah dan menolak bantuan itu. Kini, melihat betapa Ci Sian malah girang dibantu Hong Bu, maka kenyataan ini hanya menjadi bukti bahwa Ci Sian juga mencinta, atau setidaknya merasa suka kepada pemuda ini. Teringat pula dia betapa Ci Sian pernah memuji-muji Hong Bu di depannya. Aneh, Kam Hong merasa jantungnya seperti tertusuk!
“Bodoh kau! Manusia lemah yang hanya mementingkan diri sendiri! Lemah dan bodoh!” Kam Hong mencela diri sendiri karena dia tahu apa artinya perasaan tertusuk itu. Dia merasa cemburu!
Bodoh, dia harus tahu diri, pikirnya penasaran. Cintanya kepada Ci Sian tidak benar, tidak wajar dan tidak tepat. Usianya sudah tiga puluh tiga tahun! Dan Ci Sian baru delapan belas tahun! Dia terlalu tua untuk Ci Sian. Hong Bu itulah yang tepat menjadi jodoh Ci Sian, tentu usianya sebaya, atau kalau Hong Bu lebih tua pun selisihnya hanya satu atau dua tahun.
Dan Ci Sian telah mewarisi Kim-siauw Kiam-sut, hanya tinggal mematangkannya saja dengan jalan berlatih dan menggunakannya dalam praktek. Tidak ada lagi yang dapat diajarkannya kepada Ci Sian. Dan amat tidak baik kalau dia terus mengajak dara itu melakukan perjalanan bersama. Tidak baik bagi dara itu, dan juga bagi dirinya sendiri karena dia akan semakin terikat. Tidak, dia harus mengalah, dia harus mengundurkan diri, dia harus tahu diri.
Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan teriakan nyaring dan sebagai sambutan dari teriakan itu, puluhan orang berpakaian hitam bermunculan dari semua penjuru. Tahulah Kam Hong bahwa kakek itu merasa kewalahan dan memanggil anak buahnya. Maka dia pun lalu meloncat bangun dan siap dengan sulingnya. Ketika anak buah Hek-i Mo-ong hendak mengeroyok Hong Bu dan Ci Sian, Kam Hong telah menyerbu dan menyambut mereka dengan putaran sulingnya yang berubah menjadi sinar emas bergulung-gulung. Dan biar pun anak buah Hek-i Mo-ong rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun menghadapi suling di tangan Kam Hong tentu saja mereka itu bukan merupakan lawan yang terlalu kuat. Ke mana pun gulungan sinar emas itu menyambar, tentu sedikitnya ada dua orang anggota Hek-i Mo-ong yang roboh.
Dan para anggota Hek-i Mo-ong yang besar jumlahnya itu, sebagian lagi mengepung Hong Bu dan Ci Sian, akan tetapi mereka itu hanya bergerak-gerak tanpa ada yang berani ikut membantu ketua mereka karena gerakan tiga orang itu terlalu dahsyat bagi mereka. Apalagi ikut berkelahi, baru terlalu dekat saja mereka sudah mundur lagi oleh sambaran angin yang amat dahsyat. Dan ketua gerombolan itu sudah mulai lelah, dan mulai terdesak hebat. Bukan main marahnya kakek itu. Gerombolan yang dibentuknya dan telah berdiri dan terkenal di seluruh propinsi itu sebagai perkumpulan yang besar dan amat berpengaruh, yang sudah belasan tahun merajalela dan tidak ada yang berani melawan, kini mengalami ambang kehancuran.
Tiba-tiba kakek itu menggereng dan dia mengeluarkan beberapa buah benda hitam dari balik jubahnya. Begitu dia melempar dan membanting benda-benda hitam itu, terdengar ledakan-ledakan nyaring dan nampak asap hitam bergulung-gulung memenuhi tempat itu.
Melihat ini, Kam Hong cepat berteriak, “Hong Bu! Ci Sian! Mundur!”
Dua orang muda remaja itu juga terkejut dan tidak berani sembrono untuk mengejar kakek yang sudah lenyap di balik asap hitam itu. Mereka tahu apa maksud Kam Hong menyuruh mereka mundur dan mereka pun bersikap waspada. Kalau saja mereka mengejar, tentu jarak serang itu akan lebih dekat dan bahaya yang mengancam lebih besar. Kini mereka berdua memutar pedang dan suling, dan runtuhlah paku-paku dan jarum-jarum beracun yang tadi berhamburan menyerang mereka dari balik asap hitam. Dan asap itu sendiri pun mengeluarkan bau yang amat busuk, tanda bahwa asap itu mengandung racun pula.
Kam Hong, Hong Bu dan Ci Sian berloncatan jauh ke belakang menjauhi asap. Akan tetapi para anggota Hek-i-mo yang puluhan orang banyaknya itu mengurung dan menghujani mereka dengan senjata rahasia beracun. Dengan mudah mereka bertiga memutar suling dan pedang, membuat semua senjata rahasia itu runtuh dan mereka bertiga lalu dikeroyok.
Akan tetapi, karena Hek-i Mo-ong tidak nampak lagi, tentu saja anak buah Hek-i Mo-ong itu bukanlah lawan tiga orang pendekar muda yang perkasa ini. Berturut-turut robohlah mereka itu satu demi satu. Dan akhirnya, setelah lebih dari setengah jumlah anggota Hek-i-mo roboh dan setelah mereka sadar bahwa ketua mereka telah lari meninggalkan mereka, sisa anggota Hek-i-mo lalu melarikan diri, menghilang di malam gelap.
“Ehhh, di mana Suheng?” Tiba-tiba Ci Sian sadar bahwa suheng-nya tidak berada di tempat itu.
Tadi, di antara pertempuran keroyokan yang gaduh itu, Ci Sian melawan pengeroyokan di samping Hong Bu dan dia melihat Kam Hong memisahkan diri dan mengamuk di bagian lain. Akan tetapi setelah semua musuh pergi dan sebagian lagi roboh malang melintang di tempat itu, ia tidak lagi melihat Kam Hong.
Hong Bu juga melihat ke kanan kiri, bahkan lalu mereka berloncatan ke sana sini untuk mencari Kam Hong. Namun tidak nampak bayangan pendekar itu.
“Suheng....!” Ci Sian berteriak memanggil beberapa kali, namun tidak terdengar jawaban dan tidak nampak pula pendekar itu muncul. Maka mulailah la merasa khawatir.
“Mungkin dia mengejar Mo-ong,” kata Hong Bu.
Ci Sian mengangguk dan mengerutkan alisnya. “Mungkin, akan tetapi mengapa dia mengejar kalau dia sendiri yang menyuruh kita mundur tadi? Pula, mengejar seorang manusia iblis yang curang seperti Mo-ong itu amat berbahaya. Mari kita ikut mengejar dan membantunya.” Tanpa menanti jawaban Ci Sian sudah meloncat ke depan.
“Tunggu, Nona. Lihat ini....!”
Ci Sian berhenti dan membalikkan tubuhnya. la melihat Hong Bu menghampiri sebatang pohon tak jauh dari tempat itu dan di batang pohon itu nampak ada benda putih seperti kertas tertempel di bawah dahan rendah. Biar pun cuaca agak suram karena ada awan tipis lewat di bawah bulan, namun tulisan itu masih dapat dibaca.
“Ci Sian, ke sinilah dan baca surat ini. Agaknya Kam-twako yang meninggalkan surat ini!” kata Hong Bu.
Ci Sian segera berlari menghampirinya dan membaca tulisan di atas kertas putih itu.
Bu-sumoi yang baik,
Selesailah sudah tugasku mengajarkan Kim-siauw Kiam-sut kepadamu. Kini tidak ada gunanya lagi bagimu aku menemani. Biarlah kita saling berpisah di sini. Jaga dirimu baik-baik, Sumoi. Tiada pertemuan tanpa perpisahan dan aku tidak ingin perpisahan antara kita menimbulkan duka.
Suheng-mu : Kam Hong
.“Ah, Suheng....!” Ci Sian mengeluh dan ia berdiri termangu-mangu, mengambil kertas itu dan merasa kehilangan sekali. Tak terasa lagi matanya terasa panas dan berlinang air mata. Mengapa suheng-nya meninggalkannya?
Hong Bu yang melihat keadaan Ci Sian merasa kasihan kepada dara itu. “Suheng-mu pergi meninggalkanmu? Ke manakah dia pergi?”
Ci Sian tersadar mendengar suara ini, sadar bahwa ia tidak sendirian di situ. Ia menarik napas panjang. “Aku sendiri tidak tahu mengapa dia tiba-tiba saja meninggalkan aku, tanpa pamit, hanya meninggalkan sehelai surat seperti ini.... sungguh aneh sekali....”
“Kalau aku boleh bertanya.... ke manakah engkau hendak pergi, Ci Sian? Dan ke mana pula Suheng-mu itu hendak pergi?”
Ci Sian menggeleng kepala. “Aku tidak tahu, Hong Bu. Kami berdua tidak mempunyai tujuan tertentu. Kami melakukan perjalanan bersama mencari Hek-i-mo buat membalas dendam atas kematian Ibuku, dan di sepanjang perjalanan Suheng mengajarkan ilmu kepadaku. Tapi.... ahhh, tak kusangka dia akan pergi begitu saja....”
Ci Sian benar-benar merasa kehilangan dan berduka. Tiba-tiba saja ia merasa bahwa di dunia ini tidak ada lagi lain orang kecuali Kam Hong baginya. Dan Kam Hong pergi begitu saja meninggalkannya tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk membantah atau menahannya.
“Jadi engkau tidak tahu dia akan pergi ke mana? Kalau engkau tahu, kita akan dapat mengejarnya.”
“Kita....?”
“Ya, aku akan membantumu, Ci Sian. Aku pun tidak mempunyai tujuan tertentu dalam perjalananku ini. Aku mau membantumu mencari Kam-twako.”
“Mari kita pergi dulu dari tempat terkutuk ini!” Ci Sian berkata sambil melompat pergi.
Hong Bu mengejar dan mereka berlari-lari meninggalkan sarang Hek-i-mo itu. Mereka berlari terus dan Ci Sian terus berlari, membiarkan Hong Bu mengikutinya, tanpa bicara. Mereka keluar dari daerah itu akan tetapi ketika mereka tiba di luar kota, di jalan kecil yang sunyi, dan malam menjadi agak gelap karena bulan telah condong ke barat dan tertutup awan yang mulai berkumpul, Ci Sian berhenti berlari. Di tepi jalan terdapat sebuah pondok kosong, tempat para petani mengaso di waktu siang sehabis bekerja. Mereka duduk di atas bangku bambu di bawah pondok.
“Kita menanti sampai pagi di sini saja,” kata Ci Sian.
Hong Bu mengangguk. “Sebaiknya begitulah.”
Dan mereka pun hanya duduk diam, tidak ada yang mulai bicara. Suasana amat sunyi dan Hong Bu dapat merasakan betapa kesedihan menyelubungi hati dara itu. Dia merasa kasihan, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana dapat menghiburnya dan dia khawatir kalau-kalau salah bicara, maka dia memilih diam saja.
Berulang kali Ci Sian menarik napas panjang. Memang dara ini membiarkan pikirannya melayang-layang, membayangkan semua pengalamannya semenjak kecil sampai dia bertemu dengan Kam Hong dan mengalami banyak hal bersama. Kiranya pendekar itu melakukan perjalanan bersama hanya untuk dua hal, yaitu pertama untuk mengajarkan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut yang dahulu mereka temukan berdua, dan membantunya membalas dendam terhadap Hek-i-mo.
Tidak ada hal lain lagi kecuali itu! Tidak ada hal lain! Inilah yang membuat Ci Sian termenung dan merasa berduka. Dia.... dia tidak mencintaku! Demikian pikiran yang membuat Ci Sian merasa berduka. Kalau Kam Hong mencintanya, tidak mungkin mau meninggalkannya, meninggalkannya seorang diri saja di dunia ini. Kembali ia menarik napas panjang.
Hong Bu yang sejak dahulu telah jatuh hati kepada dara ini, dan sekarang dia merasa kagum bukan main karena tadi dia melihat sendiri betapa lihainya Ci Sian sekarang dengan ilmu sulingnya, merasa tidak tega. Dia dapat menduga bahwa Ci Sian merasa berduka ditinggalkan suheng-nya, dan merasa hidupnya kesepian, merasa sendirian saja di dunia yang luas ini.
“Bagaimana kalau engkau beristirahat dan tidur di sini? Biar kubuatkan api unggun dan aku menjaga di sini,” kata Hong Bu dengan lirih dan halus.
Hampir saja Ci Sian lupa dan mengira bahwa yang bicara itu adalah Kam Hong! Akan tetapi begitu ia menoleh dan melihat bahwa yang duduk di sampingnya dan yang bicara halus tadi adalah Hong Bu, ia menggeleng kepala. “Aku tidak mengantuk. Dan lebih baik tidak membuat api unggun. Setelah apa yang terjadi di sana tadi, tentu ada orang-orang jahat yang mengejar kita. Biarlah kita beristirahat sambil duduk di sini sampai pagi. Ehh, Hong Bu, bagaimana kau dapat muncul secara tiba-tiba dan membantuku menghadapi, raja iblis itu?” Tiba-tiba Ci Sian teringat dan perhatiannya mulai teralih kepada Hong Bu dan hal ini cukup untuk membuat ia melupakan kesedihannya karena ia seperti tidak merasa kesepian dan sendiri lagi.
Hong Bu tersenyum, tetapi senyum pahit. “Nasibku agaknya tidak lebih menyenangkan dari pada nasibmu, Ci Sian. Aku pun hidup sendirian saja di dunia ini, tiada sanak saudara, tiada handai taulan, bahkan tanpa tujuan sama sekali! Kadang-kadang kalau aku sedang berjalan seorang diri dan memandang ke atas, aku merasa seakan-akan menjadi segumpal kecil awan yang terpencil sendirian terbawa angin, entah hendak dibawa ke mana oleh angin itu. Kadang-kadang aku merasa kesepian dan bingung. Apalagi kalau teringat bahwa aku telah menjadi seorang buronan dan dikejar-kejar oleh orang-orang sakti yang diutus oleh Kaisar untuk menemukan aku!”
“Ehhh? Kenapa? Apa dosamu maka engkau dikejar-kejar oleh Kaisar?”
Hong Bu menepuk pedang di pinggangnya. “Karena pedang inilah.”
“Koai-liong Po-kiam?”
“Ya, Koai-liong Po-kiam. Ci Sian, engkau pasti sudah mendengar riwayat pedang yang meributkan ini. Walau pun pedang ini buatan nenek moyang keluarga Cu, akan tetapi pernah lenyap dan tahu-tahu berada di Istana Kaisar tanpa ada yang tahu bagaimana. Kemudian Bibi guru Tang Cun Ciu mencurinya dari istana, yang sesungguhnya bagi kami bukan mencuri melainkan mengambil kembali hak milik keluarga Cu. Kemudian, karena oleh mendiang Supek Ouwyang Kwan yang dulu menjadi Yeti itu aku diangkat sebagai ahli waris ilmu Koai-liong Po-kiam dan pedangnya, maka pedang dan ilmu itu jatuh kepadaku.”
“Ya, dan engkau bersembunyi lalu berlatih di dalam goa itu,” kata Ci Sian.
“Benar, akan tetapi selagi aku beristirahat, baru-baru ini, di lembah kedatangan orang-orang sakti utusan Kaisar yang menuntut dikembalikannya pedang pusaka ini. Tentu saja Suhu Cu Han Bu dan Susiok Cu Seng Bu yang berada di lembah menentang dan terjadi pertempuran, dengan janji bahwa kalau pihak Suhu kalah, Suhu dan Susiok akan menjadi hwesio dan memberitahu di mana adanya pedang. Sebaliknya kalau utusan itu yang kalah, utusan itu tidak boleh mengganggu lagi. Nah, terjadi pertempuran dan akibatnya.... Suhu dan Susiok kini menjadi hweslo....”
“Hah....?!” Ci Sian terbelalak, kaget sekali. “Maksudmu.... kedua Locianpwe itu telah kalah?”
Hong Bu mengangguk.
“Tapi.... tapi menurut kata Suheng, Gurumu itu memiliki kesaktian yang luar biasa sekali, bahkan menurut Suheng, saat Suheng dan Gurumu pi-bu, Suheng mengalami kesulitan besar untuk memperoleh kemenangan tipis! Kalau begitu, alangkah saktinya utusan Kaisar ltu. Siapakah mereka itu?”
“Mereka adalah Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya. Dia bersama puteranya yang telah mengalahkan dan melukai Suhu dan Susiok.”
“Jenderal Muda Kao Cin Liong dan ayahnya? Ahhh....!” Ci Sian terkejut dan dia pun mengerti sekarang mengapa guru dan Susiok Hong Bu sampai kalah, sungguh pun hal itu juga amat mengherankan hatinya. Dia tahu bahwa Kao Cin Liong adalah seorang pemuda sakti, akan tetapi tidak pernah mengira bahwa jenderal muda itu akan mampu mengalahkan tokoh penghuni Lembah Suling Emas!
“Agaknya engkau telah mengenal mereka.”
“Tentu saja, aku mengenal baik Jenderal Muda Kao Cin Liong. Jadi, kini engkau menjadi buruan mereka?”
“Ya, karena pedang pusaka ada padaku, dan karena memenuhi perjanjian pi-bu itu Suhu memberitahukan mereka bahwa pedang ada padaku tanpa memberitahu aku berada di mana, maka tentu mereka itu akan mencariku dan kalau bertemu, tentu mereka akan menuntut agar aku menyerahkan pedang ini.”
“Dan engkau akan menyerahkan pedang itu?”
“Tidak!” jawab Hong Bu dengan tegas. “Aku sudah bersumpah kepada Suhu, bahwa aku akan mempertahankan pedang ini, karena pedang ini sesungguhnya adalah milik keluarga Cu dan aku telah menjadi ahli-warisnya. Betapa pun juga, akan kupertahankan dengan taruhan nyawa.“
Diam-diam Ci Sian memandang khawatir. “Ahh, engkau berada dalam keadaan yang amat tidak enak, Hong Bu.”
Hong Bu menarik napas panjang. “Memang, demikianlah kenyataannya. Tetapi bukan menghadapi Naga Sakti Gurun Pasir sekeluarganya yang membuat hatiku merasa amat tidak enak, melainkan menghadapi.... Suheng-mu.”
“Ehhh....?” Ci Sian lalu teringat akan semua yang terjadi ketika suheng-nya melakukan pi-bu (adu ilmu silat) melawan penghuni lembah, dan kata-kata Cu Han Bu bahwa kelak akan terbukti keunggulan Koai-liong Kiam-sut terhadap Kim-siauw Kiam-sut. “Jadi kau.... kau hendak mewakili keluarga Cu untuk menentang Suheng? Engkau hendak menebus kekalahan Gurumu?”
“Begitulah pesan Suhu kepadaku ....“
Sebelum Hong Bu melanjutkan kata-katanya untuk menyatakan bahwa sesungguhnya dia sama sekali tidak setuju dan tidak ingin berhadapan dengan Kam Hong yang amat dikaguminya itu sebagai lawan, Ci Sian sudah segera meloncat keluar dari pondok dan mencabut sulingnya!
“Bagus! Tidak perlu kau bersusah payah mencari Suheng! Mari hadapilah aku kalau engkau masih penasaran! Aku juga merupakan ahli-waris Kim-siauw Kiam-sut dan jangan harap dengan ilmu pedang tumpulmu itu akan mampu menandingi Kim-siauw Kiam-sut kami!”
“Eh-eh.... Ci Sian....!” Hong Bu meloncat keluar pula dengan maksud untuk membantah, tetapi dia sudah disambut oleh sinar keemasan yang mengeluarkan bunyi melengking ketika suling di tangan Ci Sian itu bergerak menyambar dengan serangan yang amat hebat.
Hampir saja kepala Hong Bu kena disambar suling. Oleh karena datangnya serangan demikian dahsyat dan tak terduga-duga, terpaksa dia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan, barulah dia terlepas dari cengkeraman maut!
“Ehhh, nanti dulu, Ci Sian....!”
Akan tetapi Ci Sian sudah menyerang lagi sambil membentak, “Mau bicara apa lagi? Mari kita lihat siapa lebih unggul di antara kita!” Dan gulungan sinar kuning emas itu sudah menyembar dengan dahsyatnya.
“Tringgg....!” Bunga api berpijar pada saat pedang Koai-liong Po-kiam bertemu dengan suling emas di tangan Ci Sian.
Dara itu merasa tangannya tergetar hebat, akan tetapi ia kini bukan seorang dara yang lemah, maka dengan kecepatan kilat ia sudah menyerang lagi. Percuma saja bagi Hong Bu yang berkali-kali minta gadis itu bersabar sehingga terpaksa dia pun harus mainkan pedangnya karena serangan-serangan Ci Sian sama sekali tak boleh dipandang ringan. Gadis itu kini telah menguasai sebuah ilmu yang amat lihai, bahkan tadi pun mampu melawan seorang tokoh sakti seperti Hek-i Mo-ong.
Terjadilah perkelahian antara pedang dan suling yang amat hebat di waktu menjelang pagi itu. Suara beradunya kedua senjata itu terdengar berkali-kali dan pertandingan yang terjadi di tempat sunyi itu benar-benar amat hebat. Baik gerakan pedang mau pun suling keduanya mengeluarkan suara yang aneh. Pedang itu mengaung-ngaung seperti seekor naga yang marah, sedangkan suling itu mengeluarkan suara berlagu, sehingga nampaknya seolah-olah seekor naga yang sedang menari-nari diiringi musik yang gagah!
Ci Sian menyerang dengan sungguh-sungguh karena ia sudah marah sekali. Marah dan kecewa. Tadinya ia menganggap Hong Bu seorang pemuda yang amat menyenangkan, dan seorang sahabat yang boleh dipercaya. Akan tetapi ternyata tidak demikian! Hong Bu adalah seorang musuh yang hendak mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut! Maka dari itu, kemarahannya membuat gerakannya menjadi semakin hebat. Kekecewaan karena kenyataan bahwa pemuda ini adalah seorang musuh yang membuat Ci Sian menjadi nekat seperti itu, ditambah lagi dengan perasaan duka karena suheng-nya telah pergi meninggalkannya! Biarlah, pikirnya nekat, kalau aku kalah dan mati, biar suheng akan menyesal seumur hidup!
Sebaliknya, Hong Bu menjadi sibuk dan bingung bukan main. Dia telah jatuh cinta pada gadis ini, seorang gadis yang amat dikaguminya dan dicintanya. Akan tetapi gadis ini sekarang menyerangnya kalang-kabut dan nekat. Dia tadi telah berterus terang, hanya karena dia tidak ingin menyimpan rahasia terhadap Ci Sian, hanya karena dia ingin bersikap jujur. Akan tetapi sebelum dia menyatakan bahwa dia tidak setuju dengan perintah gurunya, gadis itu telah menyerangnya demikian dahsyatnya hingga terpaksa dia harus membela diri.
Dan makin lama mereka bertanding, Hong Bu merasa makin tertarik. Tadi pun, ketika dia membantu Ci Sian menghadapi Hek-i Mo-ong, dia sudah melihat kenyataan yang amat mengherankan hatinya. Yaitu, bahwa ilmu pedangnya dapat bekerja sama dengan ilmu suling yang dimainkan Ci Sian. Bahkan terasa enak dan cocok, saling mengisi, saling melindungi dan bahkan saling melengkapi.
Karena itulah, ketika kini Ci Sian menyerangnya secara bertubi-tubi, timbul keinginan tahunya untuk mempelajari ilmu suling itu, apalagi ketika dia melihat bahwa pada dasarnya, dia seperti tidak asing dengan dasar gerakan dari Kim-siauw Kiam-sut. Biarlah dia melayani Ci Sian untuk beberapa lama sehingga dia dapat menyelami bagai mana sesungguhnya Kim-siauw Kiam-sut dan di mana letak ketangguhannya. Maka dia pun membela diri, bukan hanya menangkis dan mengelak, tetapi juga balas menyerang karena dia hendak melihat pula bagaimana ilmu pedang yang dimainkan dengan suling itu dalam pertahanan dan serangan balasan. Juga dia amat mengagumi kekuatan khikang dahsyat yang keluar dari suara suling itu ketika dimainkan sedemikian cepatnya oleh Ci Sian.
Sebetulnya, tidaklah aneh kenyataan yang dilihat oleh Hong Bu itu, seperti juga sudah dilihat oleh Kam Hong dan yang diduga dengan tepat oleh pendekar ini. Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu pedang yang dimainkan dengan suling, ciptaan Si Pencipta suling itu sendiri, yaitu Cu Keng Ong. Sedangkan Koai-liong Po-kiam adalah ilmu pedang ciptaan Cu Hak, seorang keturunan dari Cu Keng Ong yang lihai, yang telah membuat pedang Koai-liong Pok-kiam, dan ilmu pedang ini lalu disempurnakan oleh Ouwyang Kwan. Tentu saja penciptaan ilmu pedang ini menjadi amat dipengaruhi oleh Kim-siauw Kiam-sut, bahkan ilmu inilah yang menjadi sumbernya, maka pada dasarnya banyak terdapat persamaan-persamaan.
Dalam gembiranya karena dapat mempelajari ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu, Hong Bu lupa diri dan dia terus melayani Ci Sian sampai berjam-jam. Entah sudah berapa ratus jurus mereka bertanding dan Hong Bu selalu hanya menjaga diri saja, hanya kadang-kadang membalas serangan lawan kalau dia terlalu terdesak. Sampai matahari pagi menerangi bumi, kedua orang muda remaja itu masih saja bertanding!
Muka dan leher Ci Sian sudah basah oleh keringat dan dia sudah lelah sekali karena malam tadi dia sudah banyak memeras keringat ketika melawan Mo-ong. Maka dapat dibayangkan rasa gemas hati dara ini. Gemas dan marah sekali karena dia merasa dipermainkan! Kalau ia segera roboh dan tewas, ia tidak akan merasa penasaran. Akan tetapi sekarang ini keadaannya sungguh menggemaskan dan melelahkan, menang tidak kalah pun tidak!
Jurus apa pun yang dikeluarkannya, pihak lawan hanya sebentar saja terdesak, akan tetapi segera Hong Bu dapat memperbaiki kedudukannya lagi dan melawan dengan tangguhnya. Ia merasa seperti menghadapi dinding baja saja terhadap pemuda ini. Semua serangannya gagal total! Dan serangan-serangan pemuda itu agaknya tidak sungguh-sungguh, seolah-olah Hong Bu memandang rendah kepadanya.
Hal ini sungguh-sungguh membuat ia mendongkol dan marah sekali. Sudah dicobanya untuk mendesak dengan sekuat tenaga, tetapi, sesungguhnya latihan-latihannya belum cukup matang dan memang dia kalah tenaga dari Hong Bu. Maka sampai tangannya yang memegang suling rasanya seperti lumpuh dan napasnya sudah memburu, belum juga ada ketentuannya dalam pertandingan itu. Saking jengkelnya, beberapa butir air mata keluar dari kedua matanya tanpa dapat dicegah lagi!
“Tring-trangggg....!”
Keduanya melangkah mundur saking kerasnya senjata mereka beradu dan Hong Bu terbelalak.
“Ci Sian....! Kau.... kau menangis....?”
“Siapa menangis? Ahhh, kau.... kau.... manusia kejam!” Dan Ci Sian sudah menyerang lagi, tidak peduli betapa air matanya bertambah deras oleh pertanyaan pemuda tadi.
“Ah, maafkan aku.... ah, bukan maksudku.... aku hanya ingin memperhatikan ilmumu yang amat hebat itu, Ci Sian.... ahhh….”
“Tranggg....!”
Dan melihat Ci Sian menangis seperti itu, air matanya menetes-netes, tiba-tiba Hong Bu merasa seluruh tubuhnya lemas. Dia memasukkan pedangnya di sarung pedang, dan berdiri sambil bersedakap. Suling itu menyambar datang dan Hong Bu memejamkan mata, tidak mengelak atau menangkis!
“Wuuuuttt....!”
Suling itu lewat di atas kepalanya karena Ci San terkejut setengah mati melihat pemuda itu tidak mengelak, maka ia tadi menyelewengkan serangannya, lalu tangan kirinya memukul ke arah pundak pemuda itu.
“Desss....!”
Tubuh Hong Bu terguling roboh. Biar pun tidak terlalu keras, namun pada waktu itu Ci Sian sudah memiliki sinkang yang sangat kuat, maka pukulannya tadi cukup untuk membuat Hong Bu yang sama sekali tidak mengerahkan sinkang itu terpelanting.
“Bangun! Hayo lawanlah! Pengecut!” Ci Sian memaki.
Hong Bu yang telentang itu memandang dan tersenyum. Dia pun berkeringat pada muka dan lehernya. “Tidak, Ci Sian, maafkan aku. Sungguh mati aku tidak bermaksud membikin engkau marah dan berduka sampai menangis....”
“Aku tidak menangis, keparat! Hayo bangkit dan lawanlah aku, mari kita lanjutkan dan bertanding sampai seorang di antara kita mampus!”
Akan tetapi Hong Bu hanya bangkit duduk dan menggeleng kepalanya. “Tidak, aku.... tidak sanggup lagi melawanmu, Ci Sian....“
“Pengecut kau, keparat! Jangan mempermainkan aku, kau!” Dan Ci Sian menggerakkan sulingnya ke atas, lalu suling itu menyambar ke bawah.
Akan tetapi Hong Bu hanya memandang, sedikit pun tidak pernah berkedip, seolah-olah dia siap menghadapi kematian dengan rela. Sinar keemasan yang menyambar turun itu berhenti dan ujung suling itu sudah menyentuh kulit leher Hong Bu, dan di bawah kulit itulah terdapat jalan darah yang mematikan. Sedikit saja suling itu ditotokkan, maka nyawa Hong Bu akan melayang! Namun, pemuda itu hanya tersenyum pahit.
“Aku tidak mempermainkan engkau, Ci Sian. Aku tidak mau melawanmu....”
“Hayo bangkit engkau, keparat! Atau.... hemm, kubunuh engkau sehingga mati konyol!” ujung suling itu menempel lebih ketat.
“Terserah kepadamu, Ci Sian. Aku akan rela mati di tanganmu. Memang lebih baik mati dari pada aku harus berhadapan denganmu sebagai musuh. Aku tak bisa memusuhimu, Ci Sian, dan aku rela mati di tanganmu karena aku.... aku cinta padamu....”
“Ihhhhh....!” Ci Sian meloncat ke belakang dan melepaskan sulingnya seolah-olah suling itu kini telah berubah menjadi seekor ular! Matanya terbelalak, dan air matanya masih menetes-netes turun ke atas kedua pipinya.
“Kau.... kau....”
Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena hatinya terasa seperti diremas-remas. Ia menjadi bingung, penuh dengan perasaan marah, menyesal, juga terharu. Tidak tahu ia harus bagaimana menanggapi pengakuan cinta itu. Hong Bu cinta padanya? Apakah cinta itu? Bagaimanakah cinta itu? Ia menjadi bingung dan karena bingung itulah ia menangis!
Hong Bu kini bangkit berdiri dan memandang dengan muka yang agak pucat. “Maafkan aku, Ci Sian.... mungkin aku menyinggung perasaanmu dengan pengakuanku itu.... Aku tahu bahwa aku tidak berharga untuk seorang dara seperti engkau.... akan tetapi, aku tidak dapat pula merahasiakan ini. Semenjak kita saling bertemu.... aku telah jatuh cinta padamu. Entah, begitulah kenyataannya dan kalau tadi aku melayanimu bertanding, maksudku hanya untuk melihat begaimana sesungguhnya ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu karena aku melihat betapa ilmu kita begitu serasi dan....”
Tetapi Ci Sian sudah menyambar sulingnya. Hong Bu siap untuk menerima serangan maut, akan tetapi gadis itu meloncat pergi dan lari secepatnya sambil masih menangis.
“Ci Sian....! Aku cinta padamu....!” Hong Bu melangkah beberapa tindak ke depan, dua tangannya diulur ke depan, akan tetapi dia hanya menarik napas panjang berulang kali, lalu menundukkan mukanya yang menjadi muram ketika melihat dara itu menghilang. Dia tidak mau mengejar, karena pengejarannya tentu akan menambah marah dan dia sama sekali tidak ingin membikin marah atau susah kepada dara yang dicintanya itu.
Cinta asmara memang sesuatu yang amat aneh. Tidak akan ada habis-habisnya kalau dibicarakan, dan di dunia ini terdapat entah berapa banyak kisah-kisah tentang cinta asmara dan akibat-akibatnya. Cinta asmara memiliki kekuasaan yang tidak terbatas! Dapat menundukkan manusia yang bagaimana kuatnya pun. Dapat membuat hati yang sekeras-kerasnya menjadi selunak-lunaknya, sebaliknya bisa mendatangkan kekerasan yang amat mengerikan. Cinta asmara dapat mengakibatkan perbuatan yang selembut-lembutnya dan sebaik-baiknya, tapi dapat pula mendatangkan perbuatan yang sekejam-kejamnya.
Betapa pun hidup tanpa cinta sama dengan pohon tanpa bunga, seperti bumi tanpa matahari, hampa dan tidak ada artinya sama sekali. Akan tetapi, tidak seperti yang kebanyakan dari kita kehendaki, yang dimaksudkan dengan cinta di sini bukanlah cinta orang lain kepada kita, melainkan yang terpenting adalah cinta kita kepada orang lain!
Cinta di dalam batin kita itulah api kehidupan, itulah kebajikan, itulah kebahagiaan. Dan cinta ini baru ada apabila batin sudah bersih dari pada kebencian, iri hati, dan keinginan untuk senang sendiri. Yang penting adalah sinar kasih itu bernyala dalam hati, dan ini baru terjadi apabila hati kita kosong dan terbuka. Keinginan akan cinta kasih orang lain terhadap kita tiada lain hanyalah keinginan untuk menikmati kesenangan melalui orang yang kita harapkan cintanya itu. Lain tiada.....
********************
Komentar
Posting Komentar