SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-31


“Li Hwa.... jawablah, maukah engkau....?”

Li Hwa membuka mata dan sejenak mereka saling berpandangan, kemudian gadis itu mengangguk dan menggenggam cincin itu. “Hamba.... akan menyimpan cincin ini.... sampai akhir hayat....”

“Tok-tok-tokk!”

Keduanya terkejut sekali dan otomatis Li Hwa melangkah mundur, membalikkan tubuh memandang ke arah daun pintu itu.

“Siapa....?” Pangeran Kian Liong membentak dengan suara kereng.

“Saya, Pangeran. Harap buka pintu!” terdengar suara wanita dari luar pintu.

Mendengar suara ini, Sang Pangeran mengerutkan alisnya dan tahulah dia bahwa dia menghadapi ancaman! Akan tetapi, dia bersikap tenang dan pura-pura tidak mengenal suara itu, lalu bertanya. “Saya siapa?”

“Saya Ibumu ke tiga, Pangeran.”

“Ahh, harap Ibu tidak mengganggu, saya ingin tidur.”

“Bukalah, Pangeran, dan tidak perlu lagi berpura-pura. Ibumu sudah tahu bahwa engkau menyembunyikan wanita pemberontak itu di dalam kamar!”

“Singgg....!” Li Hwa mencabut pedangnya.

Namun Pangeran Kian Liong memberi isyarat agar wanita itu bersikap tenang, bahkan dia lalu memegang dan menggandeng tangan kiri Li Hwa dan berbisik menyuruh gadis itu menyarungkan pedangnya. Kemudian dia berkata, menghadapi pintu.

“Tunggu, saya hendak keluar dengan teman saya.” Dan Pangeran itu lalu menggandeng tangan Li Hwa, diajaknya menghampiri pintu, membuka daun pintu dan melangkah keluar sambil menggandeng tangan gadis yang kini memakai pakaian pria yang agak kedodoran itu! Diam-diam Li Hwa merasa gelisah sekali, jantungnya berdebar tegang dan dia sudah siap untuk melawan kalau-kalau dia hendak diserang atau ditangkap.

Melihat Pangeran Mahkota itu melangkah dengan amat gagah menggandeng seorang ‘pemuda’ yang pakaiannya kebesaran, Sam-thaihouw, yaitu Ibu Suri Ke Tiga itu terbelalak dan tahulah dia bahwa ‘pemuda’ itu tentu wanita pemberontak yang tengah dikejar-kejar. Tadi dia menerima laporan mata-matanya, yaitu seorang di antara para pelayan thaikam yang melihat Pangeran itu masuk ke kamar bersama wanita yang pakaiannya basah kuyup.

“Pangeran, tunggu! Engkau tidak boleh....”

“Apa?” Pangeran itu berhenti, membalik diri dan menghadapi wanita tua itu, kemudian memandang tajam kepada para pengawal yang datang bersama ibu suri itu, pandang matanya penuh tantangan, “Siapa berani menghalangi aku keluar dari sini? Siapa? Ingin kulihat orangnya yang berani menghalangiku!” Sikapnya amat gagah dan menantang sehingga semua pengawal menundukkan muka, tidak berani menentang pandang mata Pangeran itu.

Melihat ini, Pangeran Kian Liong tersenyum dan dia pun lalu menggandeng tangan Li Hwa dan terus diajak berjalan keluar. Sejenak Sam-thaihouw tertegun menyaksikan keberanian Pangeran itu dan kemudian dia pun sadar bahwa bagaimana pun juga, tidak akan ada pengawal yang berani menghalangi Pangeran Mahkota itu. Kalau dia yang mengerahkan pengawal pribadinya, tentu pengawalnya akan berani, akan tetapi dia tahu bahwa hal itu amat tidak baik baginya. Betapa pun juga, Pangeran itu adalah Pangeran Mahkota, putera terkasih dari Kaisar, maka dia harus bersikap hati-hati.

Maka, dengan marah dan mendongkol sekali dia berkata, “Pangeran, tunggu saja nanti apa kata Sri Baginda kalau mendengar bahwa Pangeran telah meloloskan seorang pemberontak dan pembunuh Kaisar!”

Tetapi Kian Liong pura-pura tidak mendengarnya, terus mengajak Li Hwa keluar dari istana itu. Setiap pengawal dan penjaga yang masih sibuk mencari-cari ‘pemberontak’ wanita itu, begitu melihat Pangeran itu bergandengan tangan dengan seorang ‘pemuda’ yang mereka tentu saja kenal sebagai gadis pemberontak yang mereka kejar-kejar itu, berdiri tertegun, bengong dan tidak tahu harus berbuat apa, kemudian begitu bertemu dengan pandang mata Pangeran yang menantang, mereka memberi hormat dan menundukkan muka!

Li Hwa merasa betapa tubuhnya panas dingin saking tegangnya ketika dia digandeng oleh Pangeran itu keluar dari istana, melalui lorong-lorong dan ruangan-ruangan luas yang penuh dengan penjaga-penjaga. Diam-diam dia merasa makin terharu. Pangeran ini ternyata sungguh-sungguh menolongnya dan dia tahu bahwa untuk ini, Pangeran itu mengorbankan diri terancam oleh kemarahan Kaisar! Dia tidak dapat membayangkan bagaimana akan marahnya Kaisar kalau mendengar bahwa puteranya sendiri yang meloloskan orang yang hendak membunuhnya!

Akan tetapi, tak ada seorang pun berani menegur, apalagi menghalangi Pangeran yang menggandeng tangan gadis yang menyamar pria itu sampai mereka keluar dari pintu gerbang istana! Pangeran Kian Liong melewati penjaga terakhir di pintu gerbang dan terus mengajak Li Hwa berjalan keluar tembok istana dan berhenti di tempat yang gelap oleh bayangan tembok pagar dan pohon.

“Nah, dari sini engkau dapat melanjutkan perjalanan keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan, Li Hwa. Ingat, perlihatkan cincin dan suratku, dan kutanggung takkan ada seorang pun yang berani mengganggumu.”

Li Hwa menjatuhkan diri berlutut. “Pangeran telah menunjukkan budi kebaikan dan cinta kasih yang amat besar, untuk itu hamba Souw Li Hwa tidak akan melupakan selama hidup hamba....”

Pangeran Kian Liong membungkuk dan memegang kedua pundak gadis itu, menariknya bangun berdiri dan biar pun cuaca cukup gelap di tempat ini, terlindung bayangan tembok dan pohon, akan tetapi karena mereka berdiri berhadapan dekat sekali, mereka dapat saling melihat garis muka masing-masing.

“Li Hwa, kalau benar engkau tidak akan melupakan, kelak engkau tentu akan memenuhi janji datang kepadaku dan hidup bersamaku.”

Li Hwa merasa demikian terharu dan juga berbahagia sehingga dia agak terisak ketika berbisik, “Hamba bersumpah....” akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena bibir pangeran itu telah menutup mulutnya dalam sebuah ciuman yang mesra dan penuh kasih sayang.

Dalam dorongan gairah asmara yang bergelora, dibangkitkan oleh rasa terima kasih, gadis itu hanya merintih dan membalas ciuman itu dan merangkulkan kedua lengannya pada leher Sang Pangeran.

“Pemberontak, kalian hendak lari ke mana?”

Bentakan ini tentu saja membuat mereka terkejut, melepaskan ciuman dan rangkulan masing-masing dan Li Hwa sudah mencabut pedangnya. Sesosok bayangan orang yang tinggi besar telah berada di situ, berdiri bertolak pinggang dengan sikap mengejek. Pangeran Kian Liong yang mengira bahwa orang itu tentu seorang di antara para penjaga pintu gerbang istana, menjadi marah.

“Hemm, manusia lancang. Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan?”

Akan tetapi, sikap dan jawaban orang itu sungguh mengejutkan hati Sang Pangeran. Orang itu tertawa bergelak, “Hoa-ha-ha-ha-ha, tentu saja aku tahu. Engkau adalah Pangeran yang mengkhianati Kaisar, membantu pembunuh melarikan diri!”

“Eh, siapa engkau? Dan mau apa kau?” Pangeran membentak, wajahnya berubah agak pucat karena maklum bahwa ada terjadi sesuatu yang luar biasa dan yang mengancam keselamatannya, terutama sekali keselamatan Li Hwa.

“Aku? Ha-ha-ha, aku adalah orang yang hendak menangkap kalian, mati atau hidup!” Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar orang tinggi besar ini bergerak maju.

Melihat ini, Li Hwa yang sudah memegang pedang di tangan kanannya itu segera menerjang, mendahului orang yang mengancam keselamatan Pangeran Kian Liong. Gerakannya cepat dan ganas sekali karena dara ini sudah menjadi marah dan nekat. Kalau orang ini hendak mencelakai Sang Pangeran, biarlah dia mengadu nyawa! Maka, seluruh kekuatan dan kepandaiannya dikerahkan dalam serangan-serangannya tanpa mempedulikan bagian pertahanan lagi.

Akan tetapi, orang tinggi besar itu hanya tertawa dan dengan lengan dan tangan kosong dia menangkis pedang nona itu.

“Trakkk!”

Sekali tangkis, pedang di tangan gadis itu patah menjadi dua seperti bertemu dengan benda yang luar biasa kerasnya! Li Hwa terkejut bukan main, akan tetapi dia tak mundur sama sekali.

“Keparat, jangan kau berani mengganggu Pangeran!” bentaknya dan dengan pedang buntung itu dia menerjang lagi, pedang buntungnya membacok dan tangan kirinya mengirim pukulan ke arah pusar lawan, gerakannya amat ganas.

“Bressss....!”

Orang tinggi besar itu memapaki dengan tendangan tanpa mempedulikan serangan gadis itu, yang pada waktu bertemu dengan tubuhnya yang kebal bagaikan menyerang orang-orangan dari karet yang amat kuatnya, sedangkan tendangan itu membuat tubuh Li Hwa terjengkang dan terbanting sampai berguling-gulingan.

“Li Hwa....!” Pangeran Kian Liong lari menghampiri dan berlutut, merangkul dara itu.

“Hamba tidak apa-apa, Pangeran. Paduka menyingkirlah, biar hamba mengadu nyawa dengan keparat ini!” Li Hwa bangkit lagi akan tetapi dia dirangkul oleh Pangeran Kian Liong.

Melihat ini, orang tinggi besar itu tertawa.

“Biarlah kami menyerah, engkau boleh menangkap kami dan kami tidak akan melawan,” kata Pangeran itu yang merasa khawatir kalau-kalau gadis yang dicintanya itu akan terluka atau tewas di tangan orang yang lihai itu.

“Ha-ha-ha, sungguh-sungguh lucu! Pangeran Mahkota berpacaran dengan perempuan pemberontak yang berusaha membunuh Kaisar, ayahnya sendiri. Ha-ha, sayang sekali, Pangeran, perintah yang tadi kuterima adalah menangkap kalian dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Bersiaplah kalian untuk mati bersama, mati yang mesra, ha-ha-ha!”

Orang tinggi besar itu menerjang maju. Pangeran Kian Liong dan Li Hwa yang maklum akan kesaktian orang itu hanya menanti datangnya pukulan maut tanpa dapat membela diri lagi.

“Dessss....!”

Tubuh orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan matanya terbelalak mencoba menembus kegelapan malam dalam pandang matanya ketika dia melihat seorang pria yang berlengan satu sudah berdiri di situ dan laki-laki itulah yang tadi menangkisnya!

“Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir....” Orang tinggi besar itu tergagap.

“Hemm, Sam-ok, keberanianmu melewati batas!” kata orang berlengan satu itu yang bukan lain adalah Kao Kok Cu.

Kiranya orang tinggi besar yang lihai itu adalah Sam-ok Ban-hwa Sengjin, maka pantas saja Li Hwa sama sekali tidak berdaya menghadapi datuk kaum sesat yang sakti ini. Karena usahanya digagalkan, biar pun dia tahu akan kesaktian Si Naga Sakti, Sam-ok menjadi nekat dan rasa penasaran membuat dia lupa diri! Tubuhnya sudah membuat gerakan berpusing cepat dan dia sudah mainkan ilmunya yang amat diandalkan, yaitu ilmu Silat Thian-te Hong-i (Badai Mengamuk Langit Bumi).

Sambil berpusing, tubuhnya yang lenyap menjadi bayangan berpusing cepat itu telah meluncur ke arah Si Naga Sakti. Kao Kok Cu adalah seorang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali, maka melihat gerakan lawan ini dia bersikap tenang-tenang saja dan hanya berloncatan ke kanan kiri, untuk menghindar setiap kali dari bayangan berpusing itu mencuat sinar yang merupakan serangan-serangan tangan atau kaki yang amat berbahaya dari Sam-ok.

Sementara itu, melihat munculnya pendekar sakti itu yang menolongnya, hati Pangeran Kian Liong menjadi lega dan dia lalu rnendekap Li Hwa, menciumnya satu kali dan berkata, “Li Hwa, cepat kau pergilah dari sini. Ingat, pergunakan cincin dan surat!”

Li Hwa terisak, “Pangeran.... selamat tinggal....”

“Jangan lupa pesanku, Li Hwa.”

Gadis itu lalu meloncat dan melarikan diri ke dalam kegelapan malam, menuju ke pintu gerbang kota raja sebelah selatan. Dengan cincin dan surat itu, tentu saja dia akan dengan mudah dapat keluar dari kota raja, karena di dalam surat itu Sang Pangeran memerintahkan agar gadis itu dilindungi dan siapa yang berani membangkang terhadap perintah gadis itu berarti membangkang terhadap perintahnya dan si pembangkang akan dihukum berat!

Sungguh terjadi perubahan besar sekali atas batin Li Hwa. Kalau tadi ketika memasuki istana dia merupakan seorang gadis yang penuh semangat permusuhan, serta penuh kebencian dan dendam terhadap Kaisar, kini dia meninggalkan kota raja dengan hati seperti tertinggal di istana penuh keharuan, kekaguman dan juga cinta kasih terhadap Pangeran Kian Liong, juga kedukaan bahwa dia harus berpisah dari Pangeran yang amat dikaguminya itu. Dia masih merasa putus asa untuk dapat berjumpa kembali dengan Pangeran yang dicintanya itu, sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa kelak dialah yang menjadi selir paling terkasih di antara para selir Pangeran Kian Liong setelah Pangeran itu menjadi Kaisar yang amat berkuasa kelak!

Sementara itu pertandingan antara Kao Kok Cu melawan Sam-ok tidak berjalan lama. Baru belasan jurus saja sudah dua kali tubuh Sam-ok terpental sampai jauh dan biar pun dia tidak mengalami luka parah, namun dadanya terasa sesak setiap kali dia bertemu tangan dengan pendekar sakti itu. Dan akhirnya Sam-ok lalu melompat dan melarikan diri karena kalau sampai datang pasukan pengawal, tentu dia akan celaka.

Kao Kok Cu tidak mengejar, melainkan berkata kepada Pangeran Kian Liong dengan tenang, “Sebaiknya Paduka kembali ke dalam istana.”

“Kembali engkau telah menyelamatkan aku, Paman,” jawab Pangeran Kian Liong yang lalu menambahkan, “Harap Paman menyimpan rahasia tentang apa yang Paman lihat pada malam hari ini.”

Kao Kok Cu mengangguk, paham bahwa yang dimaksudkan tentulah rahasia Pangeran itu yang mengenal diri gadis Siauw-lim-pai itu. Kemudian dia mengawal Sang Pangeran kembali ke istana, disambut oleh Wan Ceng, Wan Tek Hoat, dan Syanti Dewi. Lima orang ini bercakap-cakap dan Wan Tek Hoat yang pernah mengintai keadaan Im-kan Ngo-ok, menceritakan bahwa Im-kan Ngo-ok adalah tokoh-tokoh yang diperalat oleh Sam-thaihouw, demikian pula murid-murid Im-kan Ngo-ok, yaitu Su-bi Mo-li. Pangeran Kian Liong yang sudah menduga akan hal ini, diam-diam marah sekali dan mengambil keputusan untuk tidak akan mendiamkan saja sepak terjang Sam-thaihouw yang amat membahayakan ayahnya itu.

Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, setelah menanti sampai lama, dua pasang suami isteri pendekar itu dipersilakan memasuki ruangan makan pagi seperti yang dikehendaki oleh Kaisar, yaitu mereka diundang untuk makan pagi bersama Kaisar untuk bercakap-cakap. Dalam pertemuan ini hadir pula Pangeran Kian Liong yang sekalian membuat laporan kepada Kaisar tentang perjalanan ke Pulau Kim-coa-to.

Tetapi Kaisar agaknya hanya setengah hati mendengarkan laporan puteranya. Pandang matanya lebih banyak ditujukan kepada Syanti Dewi yang lebih sering menundukkan mukanya. Wan Tek Hoat, Wan Ceng dan Kao Kok Cu, juga Sang Pangeran sendiri, dengan mudah dapat menduga bahwa Kaisar yang terkenal mata keranjang itu mulai tertarik oleh kecantikan Syanti Dewi yang memang luar biasa itu.

“Kami mendengar bahwa Anda memiliki ilmu silat amat lihai,” dalam suatu kesempatan Kaisar berkata, dan ditujukan kepada Syanti Dewi. “Timbul keinginan hati kami untuk menyaksikan, bagaimana seorang puteri yang demikian halus dan cantik, lemah lembut seperti Anda pandai main silat. Maka, hendaknya Anda suka memperlihatkan ilmu pedang Anda antuk membuka mata kami yang selalu haus untuk mengagumi ilmu silat yang baik.”

Semua orang diam-diam terkejut mendengar ini. Ini namanya sudah keterlaluan. Biar pun dia seorang kaisar, akan tetapi yang diperintahnya adalah tamu, dan seorang wanita yang baru saja menikah pula. Mana mungkin Kaisar memerintah orang yang bukan menjadi pengawal atau anak buahnya begitu saja, apalagi kalau orang itu seorang wanita seperti Syanti Dewi dan perintahnya untuk bermain silat lagi?

Syanti Dewi dengan sikap tenang lalu menjura. “Harap Paduka sudi mengampunkan hamba. Hamba hanya belajar sedikit, mana berani hamba memperlihatkan kejelekan di hadapan Paduka?”

“Aih, Anda terlalu merendahkan diri. Kami sendiri telah mendengar desas-desus, bahwa dewi dari Kim-coa-to selain cantik jelita seperti bidadari juga memiliki ilmu silat yang amat tinggi, yang sukar dicari bandingannya. Kecantikan seperti bidadari itu telah kami buktikan dan malah melebihi desas-desus itu kenyataannya, hanya ilmu silat itu belum kami saksikan. Harap Anda jangan menolak, demi untuk menggembirakan suasana pagi ini.” Kaisar mendesak sambil tersenyum dengan sikap ceriwis, tanpa sungkan sedikit pun juga meski pun di situ hadir suami puteri itu, hadir pula puteranya dan suami isteri pendekar yang selama ini amat dikaguminya.

Syanti Dewi melirik ke arah suaminya, akan tetapi Tek Hoat duduk dengan tenang-tenang saja, jelas bahwa suaminya tidak hendak mencampuri dan menyerahkan Si Isteri untuk mengambil keputusan sendiri bagaimana cara menghadapi permintaan Kaisar itu.

Akan tetapi pada saat itu terdengar pemberitahuan dari pengawal yang berseru dengan suara lantang, “Yang Mulia Sam-thaihouw berkenan menghadap Sri Baginda Kaisar!”

Kaisar menoleh dan mengerutkan alisnya karena merasa terganggu, tetapi sebelum dia membantah, dan kiranya belum tentu Kaisar berani membantah kalau ibu suri ke tiga itu muncul, Sang Ibu Suri sudah memasuki ruangan itu dari pintu. Seorang nenek yang masih nampak jelas bekas-bekas kecantikannya, dengan muka yang dirias tebal, rambut yang ditambah dengan cemara tebal dan hitam digelung rapi, pakaian yang mewah sekali dan begitu dia muncul tercium bau semerbak wangi yang amat mencolok hidung. Tentu ada setengah botol minyak wangi yang dihamburkan di atas pakaian dan tubuhnya.

Setelah menghampiri meja itu, Sam-thaihouw lalu menjura ke arah Kaisar dan untuk menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang tahu aturan, Kaisar juga bangkit berdiri dan membalas penghormatan orang yang menjadi Ibu tirinya itu.

“Semoga Thian memberkahi Sri Baginda!” kata Sam-thaihouw.

“Semoga Ibu selalu dalam keadaan sehat,” balas Sri Baginda Kaisar.

Sam-thaihouw lalu memutar tubuh dan menghadapi Pangeran Kian Liong yang masih tetap duduk di atas bangkunya, bersikap tidak mengacuhkan ketika wanita ini masuk. Kemudian dengan gerakan lambat seperti gerakan teratur seorang pemain wayang, Sam-thaihouw mengangkat lengan kirinya, mengeluarkan tangannya yang tersembunyi di dalam lengan baju yang panjang, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Pangeran itu dan mulutnya mengeluarkan kata-kata lantang, “Sri Baginda sudah makan pagi bersama dengan seorang pengkhianat.”

Tentu saja Kaisar merasa terkejut sekali dan dengan alis berkerut dia memandang kepada ibu tirinya itu dan akhirnya bertanya, “Apa yang Ibunda maksudkan?”

“Tentu Sri Baginda telah memaklumi bahwa seorang di antara gerombolan pemberontak yang semalam menyerang Paduka, yaitu seorang penjahat wanita, telah berhasil lolos. Tahukah Paduka apa yang terjadi semalam? Saya telah melihat sendiri di mana adanya gadis pemberontak itu semalam!” Dia berhenti lagi, untuk menambah ketegangan dan memperbesar keinginan tahu kaisar.

“Di mana?” Kaisar mendesak dan memang Kaisar merasa terkejut, heran dan ingin tahu sekali.

“Di dalam kamar Pangeran Kian Liong!”

“Ahhh....” Kaisar terkejut sekali dan menoleh, memandang kepada puteranya.

“Bukan itu saja, Sri Baginda. Bahkan Pangeran Kian Liong juga telah ikut membantu pemberontak itu, membawanya sendiri sampai keluar dari dalam istana, menyelamatkan perempuan jahat itu dari tangan para pasukan pengawal. Itulah sebabnya maka saya berani mengatakan bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pengkhianat!”

Wajah Kaisar berubah merah serta sinar matanya jelas membayangkan kemarahan besar ketika kini dia memandang kepada Pangeran Kian Liong. Dua pasang suami-isteri pendekar itu memandang kepada Sang Pangeran dengan hati gelisah, akan tetapi juga mereka kagum bukan main ketika melihat betapa Pangeran itu kelihatan tenang-tenang saja, bahkan ada senyum bersembunyi di balik sinar matanya.

“Pangeran, apa jawabanmu sekarang? Benarkah apa yang tadi sudah dikatakan oleh Sam-thaihauw?” Karena di situ terdapat orang-orang lain sebagai tamu, maka sikap Kaisar terhadap puteranya itu kaku dan penuh aturan.

Pangeran Kian Liong mengangguk! “Harap Paduka dengarkan dengan sabar penjelasan hamba tentang gadis itu. Gadis itu datang bersama orang-orang Siauw-lim-pai yang tentu Paduka kenal, dan gadis itu datang bukan sebagai pemberontak melainkan ada kunjungan dengan urusan pribadi, yaitu antara Suhu-nya dan Paduka. Jadi urusan tadi malam adalah urusan dalam keluarga perguruan Siauw-lim-pai, tidak ada hubungannya dengan pemberontak dan Kaisar. Memang hamba telah menyuruh Nona itu pergi setelah hamba berhasil menyadarkannya akan kekeliruan tindakan murid-murid dari Siauw-lim-pai. Hamba juga menyuruh dia menyadarkan para murid Siauw-lim-pai bahwa menganggap Paduka sebagai murid Siauw-lim-pai adalah keliru, dan hamba ingatkan Paduka adalah Kaisar dan siapa pun yang menentang Paduka, dengan dalih apa pun, berarti memberontak. Hamba mengampuni dan menyelamatkan gadis itu demi untuk menghentikan rasa permusuhan dari para murid Siauw-lim-pai terhadap Paduka. Kalau Paduka tetap menganggap hamba bersalah, hamba hanya menyerahkannya kepada kebijaksanaan Paduka Ayahanda Kaisar!”

Mendengar jawaban yang terus terang ini, Kaisar mengangguk-angguk. Tentu saja dia mengerti apa yang telah terjadi. Dia pun mengenal tujuh orang suheng-suheng-nya dari Siauw-lim-pai yang telah tewas semua itu dan dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu murid dari suheng-nya yang datang bersama isterinya yang cantik beberapa bulan, bahkan sudah setahun yang lalu itu. Agaknya puteranya itu pun tahu akan hal itu dan betapa bijaksana puteranya yang tidak membuka rahasia itu. Biar pun dia kurang puas karena seorang di antara calon-calon pembunuhnya itu lolos, bahkan diselamatkan oleh puteranya sendiri, namun betapa pun juga puteranya berusaha untuk menghentikan permusuhan dalam hati para murid Siauw-lim-pai terhadap dirinya.

Melihat Kaisar mengangguk-angguk, diam-diam Sam-thaihouw merasa tidak puas sama sekali. Dia melihat kesempatan baik sekali untuk menjatuhkan Sang Pangeran yang dibencinya, untuk menjauhkan Pangeran ini dari ayahnya, dan untuk membangkitkan kebencian atau setidaknya kemarahan di hati Kaisar terhadap Pangeran Mahkota, akan tetapi melihat Kaisar itu justru mengangguk-angguk mendengar jawaban Pangeran Kian Liong, dia menjadi kecewa sekali.

“Sungguh keterangan yang bohong!” teriaknya. sambil menudingkan telunjuknya pada Pangeran Muda itu. “Pangeran telah jatuh cinta kepada gadis itu! Kedua mataku belum lamur, aku melihat sendiri betapa gadis itu memakai pakaian Pangeran! Dan betapa Pangeran menggandeng tangan gadis itu amat mesranya! Dan kalau pangeran sudah bersekongkol, bercinta dengan seorang musuh yang baru saja hendak membunuh Paduka, sungguh hal itu merupakan bahaya besar bagi Sri Baginda, seolah-olah mempunyai musuh di dalam selimut! Karena itu, sudah sepantasnya kalau Paduka mengeluarkan perintah menangkap pemberontak ini, pengkhianat ini dan menyelidikinya dengan cermat berapa jauh hubungannya dengan para pemberontak. Siapa tahu dia pula yang memungkinkan para pemberontak malam tadi itu memasuki istana....”

Pangeran Kian Liong bangkit berdiri, sikapnya masih tenang saja, akan tetapi suaranya lantang ketika dia memotong kata-kata nenek tirinya itu, “Tidakkah akan lebih lengkap lagi bagi Sri Baginda untuk mendengar cerita Sam-thaihouw tentang Im-kan Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat itu yang kini menjadi kaki tangan Sam-thaihouw, termasuk juga Su-bi Mo-li, empat orang siluman betina itu?”

Sam-thaihouw terkejut mendengar itu, tetapi dia cepat menegakkan leher dan berkata dengan suara mengandung wibawa yang keluar dari keangkuhan dan keyakinan akan kekuasaannya, “Apa salahnya aku menggunakan tokoh-tokoh kang-ouw dari golongan mana pun juga? Dari golongan mana pun, mereka adalah rakyat yang setia kepada kerajaan, dan aku menggunakan mereka demi untuk menyelamatkan negara, bukan sebaliknya untuk mengkhianati Negara, bahkan Kaisar sendiri!” Sam-thaihouw kembali menyerang dan memang nenek ini pandai berdebat.

Mendengar perdebatan mereka, Kaisar menjadi bingung. Dia hanya menoleh kepada dua orang itu berganti-ganti mengikuti perdebatan itu dan nampaknya tertarik.

Pangeran Kian Liong tersenyum. Pangeran ini biar pun masih muda namun sebenarnya dia sangat cerdik dan memang tadi dia hanya memancing saja. Begitu mendengar pembelaan diri Sam-thaihouw, dia tersenyum dan merasa pancingannya berhasil dan merasa yakin akan kemenangannya. Memang jawaban inilah yang ditunggu-tunggunya.

“Sam-thaihouw menuduh saya bersekutu dengan pemberontak, padahal sudah jelas bahwa orang-orang Siauw-lim-pai itu bukan pemberontak dan saya hanya berusaha melenyapkan sikap bermusuhan mereka terhadap Kaisar. Akan tetapi Sam-thaihouw agaknya sengaja hendak menutup mata akan kenyataan siapa adanya Im-kan Ngo-ok! Sam-thaihouw kiranya dapat menceritakan kepada Sri Baginda, siapa adanya orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok? Siapakah adanya Sam-ok Ban-hwa Sengjin itu? Yang sudah berkali-kali hendak menculik saya ketika saya pergi ke Kim-coa-to?”

Wajah Sam-thaihouw menjadi agak pucat. Dia mulai bingung dan gelisah, memandang kepada wajah Kaisar, kemudian kepada wajah Sang Pangeran dan mulutnya sedikit bergerak-gerak, akan tetapi tidak mengeluarkan suara apa-apa.

“Kenapa Sam-thaihouw tidak mau berterus-terang saja? Sam-ok Ban-hwa Sengjin yang kini menjadi orang yang paling dipercaya di antara Im-kan Ngo-ok oleh Sam-thaihouw, bukan lain adalah bekas koksu dari Nepal yang pernah mengatur pemberontakan dan penyerangan terhadap tanah air kita.”

Kaisar terkejut sekali mendengar ini. Tak disangkanya sama sekali ibu tirinya itu, yang sejak dulu kelihatan amat setia kepadanya, ternyata diam-diam dia telah mengumpulkan tenaga-tenaga dari pihak musuh! Dia cepat menoleh dan memandang kepada nenek itu dan melihat betapa wajah yang tertutup bedak tebal itu menjadi pucat sekali, matanya terbelalak ketakutan dan kedua kaki yang tertutup pakaian panjang itu menggigil, membuat tubuhnya bergoyang-goyang!

“Harap Ibunda menjelaskan apa artinya semua ini!” terdengar suara Kaisar yang kini kelihatan marah terhadap nenek itu.

“Saya.... saya.... tidak tahu akan hal itu.”

“Sam-thaihouw tidak tahu? Hemm, berbeda sekali dengan semua yang telah saya alami. Im-kan Ngo-ok berusaha untuk menculik saya ketika saya pergi Kim-coa-to, berusaha untuk merusak nama saya dan semua itu adalah atas perintah Sam-thaihouw. Bahkan nyaris mereka itu berani untuk membunuh saya dan hal itu tentu sudah terlaksana kalau saya tidak dilindungi oleh orang-orang gagah, temasuk orang-orang Siauw-lim-pai! Dan empat orang iblis betina Su-bi Mo-li itu pun pernah menculik putera kembar Paman Gak Bun Beng. Mereka pun mengaku bahwa perbuatan itu adalah atas perintah Sam-thaihouw! Usaha Sam-thaihouw dengan mempergunakan tenaga-tenaga macam bekas Koksu Nepal semua itu bukankah semata-mata untuk menyingkirkan saya agar kelak yang menggantikan kedudukan kaisar adalah pilihan Sam-thaihouw di mana Sam-thaihouw akan dapat memegang kekuasaan tertinggi?” Serangan ucapan Pangeran Kian Liong memang sudah diperhitungkan baik-baik dan wajah nenek itu nampak semakin ketakutan.

Kaisar semenjak tadi terus mendengarkan ucapan puteranya sambil menatap wajah Sam-thaihouw. Tanpa diketahui oleh nenek itu, Kaisar sesungguhnya amat mencinta dan sayang, juga kagum kepada puteranya itu, maka segala usaha nenek itu untuk memisahkan putera mahkota ini dari ayahnya sungguh merupakan usaha yang sia-sia, bahkan memukul diri sendiri! Baru sekaranglah Sam-thaihouw menyadari akan hal ini, dia merasa menyesal sekali atas kebodohannya sendiri. Menyesal, bingung dan juga ketakutan.

“Benarkah semua itu, Ibunda? Kalau tidak benar, harap Ibunda suka menyangkal dengan bukti-bukti!”

Sam-thaihouw sudah terpojok dan tidak mampu bicara lagi, akhirnya menundukkan mukanya.

Kaisar menjadi marah. Akan tetapi mengingat bahwa nenek, itu memiliki kekuasaan yang cukup besar dan mengingat akan jasa-jasanya di masa lampau, maka dia pun tidak memerintahkan pengawal untuk menangkapnya, melainkan hanya menudingkan telunjuk ke arah pintu sambil berkata, “Pergilah, Sam-thaihouw!”

Nenek itu lalu melangkah ke arah pintu, agak terhuyung dan dia seolah-olah dalam waktu beberapa menit saja telah berubah menjadi seorang nenek yang sudah amat tua dan lemah. Setelah tiba di luar pintu, dia dikawal oleh pasukan pengawal pribadinya meninggalkan tempat itu, akan tetapi sebelum tiba di kamarnya sendiri, dia roboh dan terpaksa digotong oleh para pengawalnya. Akan tetapi, tak lama kemudian, sebelum dia tiba di kamarnya, nenek ini telah menghembuskan napas terakhir. Kiranya dia tewas karena serangan jantungnya yang memang kurang begitu kuat sejak beberapa tahun akhir-akhir ini. Rasa penyesalan, kekagetan dan rasa takut dan bingung membuat jantung yang lemah itu terserang dan mengakibatkan dia tewas seketika!

Kematian Sam-thaihouw ini secara tidak langsung telah menyelamatkan Syanti Dewi! Atau setidaknya menghindarkan wanita cantik ini dari hal-hal yang amat tidak enak baginya. Sudah terasa olehnya, bahkan diketahui pula oleh suaminya dan oleh suami isteri Pendekar Naga Sakti bahwa Kaisar yang berwatak mata keranjang itu telah tergila-gila kepada Syanti Dewi. Bahkan setelah minum arak agak banyak di pagi hari itu, kata-katanya mulai berani ditujukan kepada Syanti Dewi, seakan membayangkan kehendaknya agar Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi untuk sementara tinggal di istana sebagai tamu agungnya!

Akan tetapi, selagi mereka berenam masih melanjutkan percakapan setelah makan pagi, mendadak datang laporan bahwa Sam-thaihouw telah meninggal dunia secara mendadak. Hal ini tentu saja mengejutkan juga kepada Kaisar dan pertemuan itu segera diakhiri.

Peristiwa kematian Sam-thaihouw mendatangkan beberapa kesibukan dan kesempatan ini dipergunakan oleh Tek Hoat dan Syanti Dewi, dibantu oleh Pangeran Kian Liong, untuk meninggalkan istana dan pulang ke Bhutan tanpa menemui Kaisar lagi, cukup berpamit kepada Pangeran Kian Liong saja. Bahkan mereka tidak mau dikawal oleh pasukan, hanya menerima sebuah kereta kecil dengan dua ekor kuda dan hanya membawa surat dari Pangeran Kian Liong untuk Raja Bhutan, ayah Syanti Dewi.

Demikianlah, bagaikan sepasang burung baru terlepas dari sangkar emas yang mengancam akan mengurung mereka dan menghadapkan mereka kepada hal-hal yang amat tidak enak, bahkan mungkin sekali berbahaya, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi lolos dari kota raja, melakukan perjalanan yang amat jauh namun amat penuh dengan kebahagiaan mereka berdua, bagaikan sepasang pengantin baru melakukan tamasya di tempat-tempat sunyi nan indah. Mereka menuju ke Bhutan, naik kereta berdua dan kadang-kadang berhenti untuk mengaso atau untuk bercumbuan! Dunia penuh dengan keindahan terbentang luas di depan mereka, seolah-olah menjadi hadiah bagi mereka berdua yang sudah bertahun-tahun lamanya menderita kerinduan dan kesunyian yang mendatangkan kedukaan.

Biar pun Kaisar telah mengetahui rahasia Sam-thaihouw dan diam-diam telah menyuruh tangkap semua kaki tangan nenek itu yang tidak keburu melarikan diri dan melempar mereka ke dalam tahanan, namun demi menjaga nama baik keluar istana, kematian Sam-thaihouw menjadi peristiwa perkabungan resmi. Bahkan Kaisar melakukan upacara sembahyang seperti lajimnya, dan menerima ucapan bela sungkawa dari negara-negara tetangga.

Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong muncul bersama guru mereka, yaitu sastrawan Pouw Tan, dan dua orang pemuda putera Milana yang masih mempunyai hubungan darah dengan keluarga-keluarga Kaisar ini lalu diantar oleh Pangeran Kian Liong untuk pergi menghadap Kaisar.

Dua orang pemuda ini lalu mengulang semua pengalamannya ketika beberapa tahun yang lalu mereka ditangkap oleh Su-bi Mo-li, mengulang semua yang telah diceritakan oleh Sang Pangeran kepada Kaisar. Mendengar penuturan ini, Kaisar menjadi semakin sadar bahwa selama ini ia telah berdekatan dengan orang-orang yang pada hakekatnya ingin menyeretnya ke dalam kekuasaan mereka.

Dengan terbongkarnya kebusukan Sam-thaihouw ini, maka terbongkar pula kepalsuan Lan-thaikam, orang kebiri yang dahulu pernah membantu Kaisar melakukan kecurangan dalam memperebutkan kekuasaan menggantikan kedudukan Kaisar Kang Hsi. Setelah diselidiki, ternyata Lan-thaikam ini menyimpan harta kekayaan yang banyaknya luar biasa, yang menyaingi isi gudang kekayaan Kaisar sendiri. Ribuan tail emas berada di dalam gudang rahasianya, belum lagi tanah yang tak terbatas luasnya!

Karena maklum bahwa antara Lan-thaikam dan mendiang Sam-thaihouw terdapat hubungan yang amat erat, dan bahwa terbongkarnya rahasia Sam-thaihouw itu akan membuat Lan-thaikam menjadi berhati-hati dan berbahaya, maka dengan rahasia Kaisar lalu membunuh thaikam ini dengan jalan menyuruh orang meracuninya! Maka, tidak lama kemudian, hanya beberapa hari setelah Sam-thaihouw meninggal, tewas pulalah thaikam tua itu yang dianggap sebagai kematian wajar karena usia tua sehingga tidak menimbulkan keributan.

Setelah upacara pemakaman Sam-thaihouw selesai, datang pula Kao Cin Liong dari barat. Jenderal Kao Cin Liong yang muda belia dan gagah perkasa ini telah berhasil menumpas pergolakan di barat. Jenderal muda ini disambut dengan upacara kebesaran ketika menghadap Kaisar dan menceritakan atau melaporkan semua pelaksanaan tugasnya kepada Kaisar yang mendengarkan dengan girang.

Kaisar menghujani jenderal muda dengan hadiah dan pujian, akan tetapi di dalam pertemuan yang dihadiri pula oleh suami isteri Pendekar Naga Sakti dan Pangeran Kian Liong, Kaisar menyatakan rasa penasaran dan tidak puasnya dengan hilangnya pusaka istana Koai-liong Pokiam yang lenyap dicuri orang itu. Pasukan yang dikirim dari istana untuk menyelidiki hilangnya pedang pusaka ini ternyata telah mengalami kegagalan.

“Kiranya tidak ada orang lain kecuali Kao-goanswe (Jenderal Kao) yang akan dapat menemukan kembali pedang pusaka itu,” kata Kaisar antara lain, dan lalu melanjutkan. “Pedang itu sendiri tidaklah sangat penting dan istana masih mempunyai banyak pedang pusaka yang lebih baik lagi. Akan tetapi, hal ini menyangkut kehormatan istana. Sungguh memalukan sekali kalau sampai pemerintah tidak berdaya menghadapi seorang pencuri saja dan tidak dapat merampas kembali pedang yang dicuri. Lalu bagaimana akan kata dunia kang-ouw terhadap kebesaran istana sehingga para pengawal dan ponggawanya tidak mampu menangkap seorang maling saja?”

Jenderal Muda Kao Cin Liong menyatakan kesanggupannya dan baru setelah mereka semua kembali ke rumah gedung tempat tinggal jenderal muda itu, Pangeran Kian Liong yang ikut pula berkunjung ke situ mengajak mereka semua berunding. Dari Wan Tek Hoat, Pangeran ini telah mendengar tentang pedang Koai-liong-kiam. Di depan Kaisar, Pangeran itu memang tidak mengatakan sesuatu, karena tentu Kaisar akan marah sekali dan mungkin akan mengirim pasukan ke Lembah Suling Emas untuk merampas kembali pedang itu. Maka dia diam saja dan baru sekarang, dia menceritakan tentang pedang yang diperebutkan oleh orang-orang kang-ouw itu, menceritakan kepada Cin Liong dan ayah bundanya, seperti yang didengarnya dari Tek Hoat.

“Menurut ceritanya itu, jelaslah bahwa pedang Koai-liong-kiam yang telah menjadi pusaka istana itu dahulunya adalah milik keluarga Cu di Lembah Suling Emas,” kata Kao Cin Liong. “Betapa pun juga, perintah Kaisar harus ditaati, dan pula, memang sudah belasan tahun pedang itu menjadi pusaka istana, maka kita pun berhak untuk menuntutnya dan untuk itu, tak perlu mempergunakan pasukan. Pangeran, hamba akan berangkat sendiri tanpa pasukan, karena menghadapi keluarga yang menurut cerita Paman Wan Tek Hoat kepada Paduka itu adalah keluarga sakti yang menyembunyikan diri, sebaiknya diambil jalan menurut kebiasaan kang-ouw, bukan dengan serbuan pasukan tentara.”

Sang Pangeran mengerutkan alisnya. “Tetapi, apakah tidak akan terlalu berbahaya? Perjalanan ke tempat itu, yang berada di Pegunungan Himalaya, amatlah jauhnya dan sukar sekali. Pula, menurut Paman Wan Tek Hoat, ilmu kepandaian keluarga Cu itu sungguh amat hebat, bahkan katanya jauh lebih hebat dari pada tingkat kepandaian Paman Wan Tek Hoat sendiri.”

“Memang berbahaya, akan tetapi itulah pekerjaan seorang pendekar, Pangeran,” kata Kao Kok Cu dengan tenang. “Dan kami berdua akan menemani Liong-ji (Anak Liong) untuk mencari pedang itu dan membawanya kembali ke istana.”

Mendengar ucapan itu, bukan main girangnya hati Pangeran itu. Terasa lapang dadanya, karena kalau pendekar itu bersama isterinya ikut, maka dia yakin bahwa pedang pusaka itu akan dapat didapatkan kembali dan dia tidak usah mengkhawatirkan keselamatan jenderal muda yang menjadi sahabat baiknya itu. Dia tertawa dan bangkit berdiri. “Kalau begitu, saya tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi.” Pangeran itu lalu kembali ke istana di mana telah menanti dua orang muda kembar yang masih ada hubungan keluarga dengan dia, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong.

Sementara itu, setelah Sang Pangeran kembali ke istana dikawal oleh pengawal-pengawalnya, barulah Kao Kok Cu dan isterinya mempunyai kesempatan untuk bicara secara bebas dengan putera mereka. Suami isteri ini merasa bangga sekali melihat betapa putera mereka kembali dari tugas ke barat dan mendapatkan sambutan yang meriah dari Kaisar. Mereka bertiga kini pesta sendiri dengan suasana santai dan bebas di ruangan gedung jenderal muda itu. Dalam kesempatan inilah suami isteri pendekar itu lalu bertanya kepada Cin Liong tentang Bu Siok Lan, gadis keluarga Bu itu.

Tentu saja Kao Cin Liong terkejut dan merasa heran bagaimana tiba-tiba orang tuanya bertanya tentang gadis itu. Dan melihat betapa ayah bundanya memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, tahulah dia bahwa mereka itu serius dan tentu telah terjadi sesuatu yang ada hubungannya dengan gadis itu, maka dia pun menjawabnya dengan terus terang.

“Ahh, Bu Siok Lan? Dia adalah puteri musuh, akan tetapi telah berjasa besar dalam usaha menyelamatkan pasukan yang terkepung di barat itu. Dan ibunya memang hebat, seorang Panglima Nepal yang tangguh sekali!”

Ayah bundanya mendengarkan dengan mata terbelalak heran ketika Cin Liong bercerita tentang usaha menyelamatkan pasukan yang terkepung itu dan betapa dia berhasil menyelundup ke markas musuh dan bahkan memperoleh kepercayaan dari Panglima Nandini, dan menjadi sahabat baik dari Bu Siok Lan, puteri panglima itu, sampai bagaimana akhirnya dia berhasil menyelamatkan pasukan dan mengalahkan musuh, menghancurkan siasat Panglima Nandini yang pandai itu.

“Nah, demikianlah ceritanya,” dia menutup kata-katanya. “Dan bagaimana Ayah dan Ibu dapat mengenal nama Bu Siok Lan? Apakah yang telah terjadi?” Kini dialah yang ingin sekali mendengar dari mereka tentang Siok Lan yang tak pernah dijumpainya semenjak mereka berpisah sebagai musuh.

“Jadi dia itu puteri Panglima Nepal? Sialan!” Wan Ceng mengepal tinjunya dan nampak marah sekali. “Ini penghinaan namanya!”

“Tenanglah, isteriku. Ingat bahwa ayahnya adalah Bu-taihiap, seorang pendekar besar yang pernah menyelamatkan Pangeran....”

“Tidak peduli ayahnya pendekar atau dewa sekali pun, ibunya adalah seorang Panglima Nepal, panglima musuh. Bagaimana mereka itu berani menemui kita dan bicara tentang perjodohan?” Nyonya itu berkata lagi dengan marah.

“Ayah, Ibu, apa yang sesungguhnya telah terjadi? Siapakah mereka yang akan datang menemui Ayah Ibu dan bicara tentang perjodohan?” Cin Liong ingin sekali mendengar keterangan mereka.

Karena melihat isterinya marah-marah, Kao Kok Cu mewakili isterinya, memandang kepada puteranya dan bertanya, suaranya sungguh-sungguh, “Cin Liong, katakanlah, apakah ada hubungan cinta antara engkau dan Nona Bu Siok Lan itu?”

“Apa.... apa maksud Ayah....?” Cin Liong bertanya dengan heran.

“Mendengar penuturanmu tadi, jelaslah bahwa antara kau dan dia terdapat hubungan persahabatan, sungguh pun hubungan di pihakmu itu terjadi sebagai siasatmu untuk menyelamatkan pasukanmu yang terkepung. Akan tetapi di samping itu, apakah engkau jatuh cinta kepada gadis itu?”

Cin Liong mengerutkan alisnya dan membayangkan keadaan yang lalu ketika ia masih menjadi sahabat Siok Lan dan juga Ci Sian. Cintakah dia kepada Siok Lan? Terbayang wajah Ci Sian dan dia lalu menjawab tenang, “Tidak, Ayah! Aku memang suka padanya karena dia seorang gadis yang amat baik, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku cinta padanya.”

“Nah, apa kataku? Mereka itu tidak tahu malu!” Wan Ceng berkata lagi.

“Mengapakah mereka, Ibu?” Cin Liong bertanya.

“Keluarga yang tak tahu malu itu pernah bertemu dengan Pangeran Kian Liong dan hanya karena mereka kebetulan menyelamatkan Sang Pangeran maka mereka itu telah minta kepada Pangeran untuk menjadi perantara bagi mereka untuk memberitahukan kami bahwa mereka itu secara tak tahu malu sekali hendak mengikatkan perjodohan antara anak perempuan mereka itu denganmu!”

“Ahhh....!” Cin Liong terkejut juga mendengar berita ini. Tak pernah disangkanya bahwa Panglima Nandini, yang telah dikalahkannya, yang tentu malah mendendam kepadanya, kini malah hendak menjodohkan puterinya yang tunggal itu dengan dia!

“Kita harus menghadapi urusan ini dengan kepala dingin,” Kao Kok Cu berkata, sambil memandang kepada isterinya yang masih cemberut. “Jadi sudah jelas bahwa antara engkau dan gadis itu tidak ada hubungan cinta, Cin Liong?”

“Tidak, Ayah.”

“Dan bagaimanakah pendapatmu tentang uluran tangan mengadakan ikatan jodoh ini? Ingat, urusan perjodohan adalah urusanmu sendiri, Cin Liong, maka engkaulah yang berhak untuk memutuskan sendiri. Apalagi dalam hal ini, kami sebagai Ayah Bundamu belum pernah melihat gadis itu dan tidak tahu bagaimana watak-wataknya, sebaliknya engkau malah sudah bersahabat dengan dia sehingga engkau tentu mengerti pula bagaimana keadaan dan wataknya. Nah, bagaimana pendapatmu?”

Pemuda yang sudah menjadi jenderal dan sudah terbiasa dengan hal-hal yang hebat-hebat, bahaya yang besar-besar, namun sekali ini, ditanya tentang perjodohan, dia tidak mampu menyembunyikan rasa malunya dan wajahnya menjadi merah sekali.

“Ayah.... Ibu.... terus terang saja, aku belum mempunyai pikiran tentang perjodohan....”

“Jadi, berarti engkau menolaknya?”

“Ya, begitulah. Bukan menolak karena Siok Lan bukan seorang gadis yang baik, tetapi karena aku belum mempunyai pikiran untuk menikah, Ayah.”

“Baiklah, kalau begitu, kami dapat memberi jawaban yang tegas kalau sampai keluarga itu datang menemui kami.”

Urusan itu tidak diusik lagi dan keluarga ini lalu melanjutkan makan siang, kemudian Kao Kok Cu dan isterinya beristirahat, demikian pula Cin Liong yang baru saja pulang dan masih merasa lelah. Mereka mengambil keputusan untuk pergi atau berangkat melakukan tugas baru mencari pedang pusaka itu tiga hari kemudian.

Akan tetapi pada keesokan harinya, lewat pagi menjelang siang, serombongan tamu datang mengunjungi rumah Jenderal Kao Cin Liong. Cin Liong keluar menyambut dan terkejutlah dia ketika melihat Siok Lan yang datang bersama laki-laki setengah tua yang gagah perkasa, dan tiga orang wanita cantik, seorang di antaranya dikenalnya sebagai Panglima Nandini!

Dia sudah diceritakan oleh ibunya yang mendengarnya dari Pangeran Kian Liong bahwa ayah Bu Siok Lan yang terkenal dengan julukan Bu-taihiap itu memiliki banyak isteri, dan Panglima Nandini, ibu Siok Lan adalah seorang di antara isteri-isterinya, entah isteri yang keberapa! Baru saja Cin Liong keluar, dia sudah disusul oleh ibunya dan ayahnya.

Melihat Puteri Nandini dan Siok Lan yang sudah dikenalnya, Cin Liong segera maju memberi hormat dan bersikap biasa sebagai kenalan, seolah-olah puteri atau panglima itu bukan merupakan bekas panglima musuhnya. “Ahh, kiranya Bibi dan Adik Siok Lan yang datang berkunjung. Selamat datang, dan siapakah Paman dan para Bibi yang lain ini?”

Semenjak tadi, dengan sepasang mata yang mencorong tajam itu Bu-taihiap sudah memandang kepada pihak tuan rumah dan dia kagum bukan main melihat pemuda yang gagah perkasa itu, juga dia sedikit terkejut kemudian kagum memandang pria berlengan satu itu. Tak perlu diperkenalkan lagi, dia dapat menduga siapa adanya pria berlengan satu itu.

“Ah, kalau mataku yang sudah mulai tua ini tidak salah lihat, agaknya kami sekeluarga berhadapan dengan pendekar sakti yang namanya menjulang tinggi di langit, Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu, benarkah dugaan saya?” kata Bu-taihiap sambil menjura dengan sikap hormat namun terbuka dan sederhana.

Melihat sikap dan mendengar ucapan ini saja, Kao Kok Cu sudah merasa tertarik sekali. Dia dapat mengenal orang yang sikapnya terbuka dan membayangkan pemandangan yang luas dan tajam.

Dia pun cepat membalas penghormatan orang dan menjawab. “Dan saudara yang perkasa tentulah pendekar yang dikenal dengan Bu-taihiap, bukan?”

“Ha-ha-ha, orang macam saya ini mana pantas disebut pendekar oleh Si Naga Sakti Gurun Pasir?”

“Silakan, silakan masuk, biarlah kami mewakili putera kami untuk mempersilakan tamu masuk ke ruangan dalam untuk bicara,” kata Kao Kok Cu, merasa tidak enak melihat betapa isterinya menerima kedatangan rombongan tamu itu dengan sikap cemberut dan muram.

“Terima kasih, akan tetapi biarlah saya memperkenalkan dulu keluarga kami. Memang benar bahwa saya adalah Bu Seng Kin, ayah Bu Siok Lan puteri kami yang telah dikenal oleh putera Taihiap. Dan dia adalah Puteri Nandini Ibu dari Siok Lan, yang ini adalah Tang Cun Ciu, dan dia itu adalah Gu Cui Bi. Mereka bertiga adalah isteri-isteri saya.” Tanpa sungkan-sungkian atau malu-malu, pendekar she Bu itu memperkenalkan isteri-isterinya yang cantik.

Terpaksa Wan Ceng membalas pengbormatan mereka, tetapi dia tetap mengerutkan alisnya dan cemberut. Akan tetapi karena suaminya telah mempersilakan mereka, maka terpaksa Wan Ceng mendahului mereka menuju ke ruang tamu di mana para tamu itu dipersilakan duduk.

Setelah mereka semua duduk di ruangan yang cukup luas itu, Kao Kok Cu yang maklum bahwa pertemuan ini tidak akan membawa kegembiraan bagi kedua pihak, tidak mau membuang banyak waktu lagi dan segera dia membuka kata-kata dengan suara tenang dan halus, “Kami sekeluarga mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada keluarga Bu yang telah datang mengunjungi kami. Mengingat bahwa hubungan antara kedua pihak hanya pernah dilakukan oleh putera kami Kao Cin Liong dengan puteri Cu-wi dan ibunya, maka apakah kunjungan ini hanya karena perkenalan itu ataukah ada keperluan lain?”

Bu Seng Kin tersenyum dan memandang kagum. Begitu bertemu, dia pun merasa suka dan kagum kepada pendekar berlengan satu itu, yang dilihatnya sebagai seorang yang benar-benar gagah, tidak berliku-liku dan bersikap jantan tanpa sungkan-sungkan. Dia menarik napas panjang.

“Kao-taihiap, maafkanlah kedatangan kami kalau kami mengganggu. Namun sebelum saya mewakili keluarga mengemukakan apa yang menjadi keperluan kunjungan kami, terlebih dahulu saya ingin bertanya apakah Taihiap sekalian telah mendengar sesuatu tentang keluarga kami dari Pangeran Mahkota Kian Liong?”

Si Naga Gurun Pasir mengangguk. “Benar, kami sudah bertemu dengan Pangeran Mahkota dan beliau telah menyampaikan keinginan Bu-taihiap sekeluarga untuk dapat mengadakan ikatan jodoh antara anak-anak kita.”

Mendengar ini, Bu Siok Lan mengerling ke arah Cin Liong, akan tetapi pemuda itu menundukkan kepalanya dengan alis berkerut. Dapat dibayangkan betapa tidak enak rasa hati pemuda ini. Ia akan lebih suka dihadapkan dengan musuh-musuh yang ganas dari pada sekarang ini, di mana dia menghadapi hal yang tidak amat enak. Dia dapat menduga bahwa Siok Lan jatuh cinta kepadanya, dan agaknya keluarga Siok Lan telah mengambil keputusan untuk mengikatkan perjodohan antara dia dan Siok Lan. Kalau pihak wanita sudah mengemukakan keinginan seperti itu, dan pihak pria menolaknya, dan hal itu terpaksa harus dilakukannya karena dia tidak jatuh cinta kepada Siok Lan, maka tentu akan menimbulkan perasaan ditolak dan hal ini dapat mengakibatkan rasa terhina di pihak si wanita.

“Ah, Kao-taihiap telah bersikap terus terang dan terbuka, sungguh melegakan hati kami. Memang benar demikian, Taihiap. Saya sendiri baru sekarang berkesempatan melihat putera Taihiap yang gagah perkasa, akan tetapi Siok Lan dan Ibunya telah memperoleh kehormatan untuk bertemu dan berkenalan dengan putera Taihiap untuk mengikatkan perjodohan antara puteri kami Siok Lan dan putera Taihiap. Dan untuk membicarakan keinginan kami itulah maka sekarang kami sekeluarga datang bertemu dengan Taihiap sekeluarga.”

Bagi Kao Kok Cu, tugas menjadi wakil pembicara keluarganya ini pun tidaklah ringan. Dia juga merasakan, seperti juga puteranya, betapa tidak enaknya suasana saat itu. Akan tetapi sebelumnya dia sudah membicarakan urusan itu dengan isterinya dan puteranya, maka kini tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjawab dengan suara tenang namun tegas, “Harap Bu-taihiap sekeluarga suka memaafkan kami kalau kami terpaksa memberi jawaban yang tidak sesuai dengan harapan Cu-wi (Anda Sekalian). Setelah kami mendengar dari Pangeran Mahkota, kami bertiga telah membicarakan hal itu dan kami telah mengambil keputusan bahwa pada waktu ini, putera kami Kao Cin Liong belum mempunyai keinginan untuk mengikatkan diri dalam perjodohan dengan siapa pun juga.”

Jawaban itu sungguh mengejutkan keluarga Bu dan kini Bu Seng Kin dan dua orang isterinya yang lain semua memandang pada Nandini dan puterinya, Siok Lan. Bukankah Nandini dan Siok Lan telah mengatakan, bahwa ‘ada apa-apa’ antara jenderal muda itu dan Siok Lan. Bukankah pinangan atau usul perjodohan ini sudah pasti akan diterima? Maka, penolakan halus ini sungguh di luar dugaan mereka dan amat mengejutkan. Apalagi Bu-taihiap yang merasa terpukul sekali, wajahnya menjadi pucat ketika dia menoleh kepada isterinya, Nandini.

Siok Lan sendiri mengangkat muka dengan kaget dan memandang kepada Cin Liong, tetapi pemuda itu bersikap tenang saja. Puteri Nandini yang merasa terpukul, terhina dan malu, lalu bangkit berdiri dan menegur Cin Liong, “Kao Cin Liong apakah engkau hendak mempermainkan Anakku?”

Mendengar kata-kata keras ini dan melihat sikap Nandini yang bangkit berdiri, Wan Ceng tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan dia pun bangkit berdiri. “Beginikah sikap seorang tamu yang baik? Ataukah tamu kami ini hanya seorang yang tidak tahu aturan dan liar?”

Dua orang wanita itu saling pandang dengan sinar mata berapi. Nandini lalu berkata lagi, ditujukan kepada Wan Ceng, dan karena memang dia itu seorang yang biasa memimpin pasukan dan tidak biasa bersikap sopan-santun, dia berkata dengan lantang dan sejujurnya, “Puteramu telah saling mencinta dengan puteriku, akan tetapi sekarang dia menolak puteriku dengan dalih belum ingin mengikatkan diri dalam perjodohan, bukankah itu bararti puteramu hendak mempermainkan puteriku?”

“Siapa mencinta puterimu?” Wan Ceng semakin marah. “Kalau anakku bersikap baik kepada kalian, apakah itu berarti dia mencinta puterimu?”

“Siok Lan!” Nandini yang sudah marah itu membentak puterinya. “Apa artinya ini? Kau bilang bahwa kalian sudah saling mencinta!”

Dapat dibayangkan betapa perihnya hati seorang gadis dalam keadaan seperti itu. Akan tetapi, dengan muka pucat dia memandang kepada Cin Liong dan menjawab. “Aku memang cinta kepadanya, Ibu, dan.... aku yakin dia pun cinta padaku....”

“Cin Liong, aku percaya engkau cukup gagah untuk berkata sejujurnya dan memberi penjeiasan tentang hal ini,” terdengar Kao Kok Cu berkata kepada puteranya, suaranya tegas penuh wibawa.

“Aku tidak pernah mencintanya dan tidak pernah menyatakan cinta kepada Adik Siok Lan!” kata Jenderal Muda itu, suaranya juga tegas dan lantang sambil matanya menatap ke arah gadis itu, sehingga tidak dapat disangsikan lagi kebenarannya.

Dengan suara gemetar Nandini berseru, “Siok Lan....?”

Gadis itu menundukkan mukanya dan beberapa butir air mata menuruni pipinya. Dapat dibayangkan betapa hancur hati seorang dara menghadapi semua itu, di mana seorang pemuda yang dicintanya terang-terangan menyatakan bahwa tidak mencinta dirinya! Padahal tadinya dia sudah begitu yakin!

“Dia memang tak pernah menyatakan cinta, akan tetapi.... suaranya, pandang matanya, senyumnya..... ahhh, Ibu, bunuh saja aku....!” Dan dia pun menangis!

Wan Ceng sekarang merasa menang dan dia pun menjadi penasaran sekali. “Hemm, sungguh tidak tahu diri! Mana mungkin puteraku bisa jatuh cinta kepada anak seorang panglima pasukan musuh? Dan bagaimana pun juga, aku tidak sudi menjadi besan seorang Panglima Pasukan Nepal!”

“Jaga mulutmu!” Nandini membentak. “Jangan mencampurkan urusan jodoh dengan kedudukan!”

“Huh, kau mau apa? Kau kira aku takut kepadamu?” Wan Ceng menantang.

Kedua orang wanita itu sudah saling pandang bagaikan dua ekor singa betina yang memperebutkan anak mereka, akan tetapi pada saat itu, Kao Kok Cu sudah memegang lengan isterinya dan berbisik, “Tenanglah, mereka adalah tamu-tamu yang harus kita hormati.”

Sementara itu, Bu-taihiap juga melerai dan berkata kepada isterinya, “Hushhh, diamlah, kita adalah tamu-tamu dan pula penolakan pinangan adalah hal wajar, mengapa harus ribut-ribut?” Kemudian, pendekar ini dengan muka merah sekali menghadapi Kao Kok Cu, memberi hormat dan berkata, “Harap Kao-taihiap suka memaafkan kami yang tidak tahu diri. Memang tadinya kami sudah berpendapat bahwa tidak mungkin orang seperti Naga Sakti Gurun Pasir mau berbesan dengan kami yang bodoh. Maafkanlah dan kami mohon diri.”

Kao Kok Cu merasa tidak enak sekali. Dia pun balas memberi hormat dan berkata, “Harap Bu-taihiap tidak terlalu merendahkan diri. Taihiap juga tahu bahwa urusan jodoh adalah urusan anak-anak, dan kalau mereka tidak mau, tidak mungkin dipaksakan.”

“Kami mengerti, selamat tinggal.”

“Selamat jalan!”

Bu-taihiap bersama tiga orang isterinya dan Siok Lan yang ditarik oleh ibunya, pergi dari rumah itu dengan muka merah dan diam-diam Kao Kok Cu yang mengantar sampai ke depan itu maklum bahwa tanpa dapat dicegah lagi, tentu timbul semacam dendam antara keluarga Bu dan keluarga Kao, sungguh pun hal itu bukan karena kesalahan pihak keluarga Kao. Betapa pun juga, keluarga Bu tentu merasa terhina oleh peristiwa ini.

Dua hari kemudian, Kao Kok Cu, Wan Ceng, dan putera mereka, Jenderal Kao Cin Liong, berangkat meninggalkan kota raja untuk melakukan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar, yaitu mencari dan merampas kembali Koai-liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) yang telah lenyap dicuri orang dari gudang pusaka istana beberapa tahun yang lalu…..

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman