SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-32


Mendengar kata-kata Yu Hwi ini, Cu Kang Bu mengangguk dan dia menyentuh lengan kekasihnya. “Mudah-mudahan segalanya akan berjalan baik, Hwi-moi.” Dia tahu bahwa Yu Hwi menghadapi persoalan yang cukup menegangkan dan tidak enak bagi gadis itu yang terpaksa harus membicarakan tentang keputusan untuk membatalkan ikatan jodoh antara dia dan Kam Hong, yang berarti tentu saja menentang keputusan yang telah diambil oleh kakeknya, yaitu Sai-cu Kai-ong.

Matahari telah naik tinggi dan pemandangan di Puncak Bukit Nelayan itu indah sekali. Akan tetapi, rumah besar yang seperti istana kuno itu nampak sunyi sekali, sesunyi puncak-puncak lain di Pegunungan Tai-hang-san itu. Berdebar rasa jantung Yu Hwi ketika dia membuka pintu gerbang yang tidak terkunci itu. Tempat yang terlalu besar untuk kakeknya yang agaknya kini hanya dapat menyendiri saja di tempat ini, apalagi kalau tempat itu nampak kosong seperti itu, menjadi amat menyeramkan, seperti rumah kediaman para iblis dan siluman.

Tiba-tiba terdengar suara halus yang terdengar dari jauh di dalam gelap itu, akan tetapi terdengar jelas oleh Yu Hwi, “Siapa di luar....? Harap jangan mengganggu aku seorang tua yang sudah tidak ingin berurusan dengan siapa pun....!”

Mendengar suara ini, Yu Hwi berseru girang. “Kongkong...., ini aku, Yu Hwi yang datang....”

Hening sejenak, seolah-olah suara Yu Hwi itu mengejutkan pendengarannya, sampai lenyap gema suara gadis itu. Yu Hwi berdiri di ruangan depan yang luas, menanti sejenak dan dari dalam nampaklah seorang kakek yang pakaiannya sederhana, tubuh itu masih tinggi tegap dan gagah akan tetapi mukanya kelihatan amat tua dan tidak bersemangat, muka dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek! Mereka berhadapan dan saling pandang, kemudian Yu Hwi menjatuhkan diri berlutut.

“Kongkong....!”

“Yu Hwi.... engkaukah....? Benarkah engkau yang datang?”

Kakek itu mengejap-ngejapkan kedua matanya memandang wajah yang menengadah itu. Selama bertahun-tahun dia terus mengharap-harap kedatangan cucunya ini, bahkan kemudian pergi merantau bertahun-tahun mencarinya, sampai akhirnya membawanya ke Pegunungan Himalaya, namun semua usahanya sia-sia belaka dan akhirnya, semua harapan itu memudar dan setelah dia merasa bahwa tubuhnya telah terlalu tua dan sahabatnya, yaitu Sin-siauw Sengjin yang pada tahun-tahun terakhir bertapa di sebuah puncak berdekatan dengan puncak Nelayan di mana dia berada itu meninggal dunia, kakek ini tak lagi pergi mencari Yu Hwi, bahkan tak lagi mengharapkan kedatangannya. Dia mengira bahwa cucunya itu telah tiada lagi di dunia ini, dan harapannya melihat cucunya berjodoh dengan keturunan Suling Emas sudah membuyar.

Akan tetapi, pagi hari ini dia mendengar suara Yu Hwi dan bahkan kini dia berhadapan dengan cucunya itu! Dia masih mengenal wajah cantik itu dan keharuan yang amat sangat membuat kakek ini memejamkan mata dan menahan dua butir air mata yang hendak runtuh. Betapa pun juga, dia adalah bekas Raja Pengemis, seorang tokoh besar di dunia kang-ouw yang gagah perkasa, dan semenjak dia muda, menangis merupakan pantangan baginya. Namun, perjumpaan ini seolah-olah perjumpaan dengan seorang yang baru bangkit dari kematian, maka dia terkejut, heran, terharu dan girang sekali.

“Cucuku....!” Dia maju dan menyentuh kepala gadis itu.

“Kongkong...., ampunkanlah bahwa baru sekarang saya datang menghadap....!” Yu Hwi berkata dengan suara mengandung isak karena gadis ini pun merasa terharu sekali.

Semenjak kecil dia telah diculik dan dibawa pergi oleh orang yang kemudian menjadi gurunya yang tercinta, yaitu Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling dan semenjak kecil dia terpisah dari kakeknya. Kemudian, setelah mereka saling bertemu kembali, ia melarikan diri ketika mendengar bahwa sejak kecil dia dijodohkan dengan Kam Hong! Dan sejak itu, kembali dia berpisah dari kakeknya dan baru sekarang mereka saling bertemu kembali.

“Yu Hwi.... Yu Hwi, ke mana sajakah engkau selama ini pergi? Betapa dengan susah payah aku mencari-carimu Yu Hwi....”

“Maaf, Kongkong, saya hanya mendatangkan banyak pusing dan susah saja kepada Kongkong selama ini.”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Hemmm.... dan kedatanganmu ini pun hanya akan menimbulkan kecewa padaku, bukan?”

“Maaf... agaknya demikianlah... Kedatangan saya ini hanya untuk meresmikan putusnya pertalian jodoh yang Kong-kong adakan dahulu antara saya dengan Kam Hong.”

Akan tetapi ucapan itu sudah tidak lagi mendatangkan kekecewaan dalam hati kakek itu yang memang sudah tidak mengharapkan lagi dapat dilanjutkannya ikatan jodoh itu. Dia menarik napas panjang. “Sin-siauw Sengjin juga sudah meninggal dunia...., dia kiranya dapat memaafkan aku. Akan tetapi, pemutusan ikatan itu tidak mungkin dapat dilakukan sepihak saja, Yu Hwi, maka harus dibicarakan dengan yang bersangkutan, yaitu Kam Hong....”

“Hal itu sudah beres, Kongkong. Saya telah berjumpa dengan Kam Hong dan kami berdua sudah membicarakan tentang itu. Adalah Kam Hong yang menasehatkan agar saya datang kepadamu dan memberitahukan akan pemutusan ikatan itu agar resmi.”

Kakek itu mengangguk-angguk. Agaknya, kini sudah kehilangan kesungguhan hatinya tentang hal itu. “Sesukamulah.... sesukamulah...., tetapi kalau boleh aku mengetahui, kalau engkau masih menganggap aku sebagai Kakekmu, apakah sebabnya maka engkau memutuskan ikatan itu? Apakah tidak ada kecocokan antara engkau dengan Kam Hong....?”

“Sesungguhnya karena saya.... saya sudah menemukan calon suami saya sendiri, Kongkong.”

“Hemmm....”

“Bahkan dia pun mengantar saya menghadap Kongkong, tetapi saya suruh menanti di luar agar tidak mengejutkan hati Kongkong. Kalau Kongkong memperkenankan, saya akan memanggil dia masuk....” Yu Hwi memandang kepada kongkong-nya dengan ragu-ragu, lalu bangkit berdiri.

Untuk beberapa lamanya kakek itu memandang wajah cucunya. Harus diakui bahwa cucunya itu telah jauh lebih matang sekarang dan dia pun tahu bahwa bagi seorang wanita, cucunya itu telah lewat batas usia kepantasan untuk menikah dan diam-diam dia menaruh hati iba kepada cucunya ini.

“Cukup, tahukah engkau berapa usiamu sekarang?”

Yu Hwi tersenyum. “Tentu saja, Kongkong. Antara dua puluh tujuh dan dua puluh delapan tahun.”

Sai-cu Kai-ong. menarik napas panjang. “Dan baru sekarang engkau menemukan calon suamimu? Berapa usia calon suamimu itu?”

“Dia sudah berusia tiga puluh tahun, Kongkong....,” jawab Yu Hwi.

Wajah kakek itu agak berseri mendengar ini. Setidaknya, cucunya memperoleh seorang calon suami yang sepadan usianya.

“Tentu saja aku ingin sekali berkenalan dengan calon cucu mantuku. Suruh dia masuk, Yu Hwi.”

Yu Hwi lalu membalikkan tubuhnya dan mengeluarkan kata-kata seperti sedang bicara dengan orang yang berdiri di depannya saja, perlahan-lahan dan biasa saja, “Bu-koko, Kongkong telah memperkenankan engkau masuk. Masuklah, Koko!”

Biar pun ucapan itu lirih saja, namun Sai-cu Kai-ong terkejut bukan main. Suaranya tadi mengandung getaran yang tinggi dan dengan getaran seperti itu, suara itu akan dapat dikirim sampai jauh. Itulah semacam Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) yang mengandalkan khikang yang amat kuat. Dia sendiri pun belum tentu sekuat itu!

Dan dari luar masuklah sesosok tubuh seorang pria yang membuat kakek itu kagum. Tubuh seorang pria yang tinggi besar seperti tokoh Kwan Kong dalam dongeng Sam Kok dan setelah pria muda itu tiba di depannya dan memberi hormat dengan sikap yang amat gagah, Sai-cu Kai-ong diam-diam merasa girang sekali. Keadaan pria ini sungguh merupakan obat yang mujarab untuk menghapus sama sekali sisa-sisa kekecewaan atas terputusnya tali perjodohan antara cucunya dengan Kam Hong. Pria ini sungguh tidak mengecewakan, bahkan mengagumkan. Begitu gagah perkasa dan jantan! Akan tetapi, di samping rasa puas ini pun dia merasa terkejut karena dia merasa seakan-akan pernah dia bertemu dengan pemuda tinggi besar dan gagah perkasa ini.

“Ehh.... rasanya.... aku pernah berjumpa dengan Sicu yang gagah ini....,” katanya sambil memandang wajah itu penuh selidik.

Pemuda perkasa itu segera menujura. “Tidak salah apa yang Locianpwe katakan. Kami sekeluarga di Lembah Suling Emas pernah menerima kehormatan dengan kunjungan Locianpwe beberapa tahun yang lalu.”

“Ahh, sekarang aku ingat....! Sicu adalah seorang di antara tiga saudara Cu yang sakti itu!”

Kembali Cu Kang Bu menjura. “Saya adalah Cu Kang Bu, saudara termuda dari Cu.”

Tentu saja Sai-cu Kai-ong menjadi terkejut, terheran dan juga diam-diam merasa girang sekali. Dia pernah menyaksikan kehebatan ilmu silat pemuda tinggi besar ini yang tidak kalah lihainya ketika melawan Ji-ok, orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok! Pemuda seperti ini mungkin tak kalah dalam ilmu silatnya dibandingkan dengan keturunan Suling Emas, Kam Hong sekali pun! Gagal mempunyai cucu mantu seperti Kam Hong akan tetapi mendapatkan pengganti seperti ini tidaklah terlalu mengecewakan!

“Dan Cu-taihiap yang menjadi calon suami cucuku yang bodoh?”

Kang Bu adalah seorang pemuda yang jujur dan sederhana, maka disebut Taihiap itu dia cepat berkata, “Harap Locianpwe tidak menyebut Taihiap kepada saya karena keluarga kami sejak dahulu tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw. Tidak salah bahwa Hwi-moi dan saya telah bersepakat untuk menjadi suami isteri dan mohon doa restu dan ijin dari Locianpwe.”

Sai-cu Kai-ong tertawa gembira. “Ah, tentu saja! Sejak dahulu, bukankah Yu Hwi telah menentukan pilihannya sendiri? Yu Hwi, anak nakal, bagaimana engkau dapat bertemu dan bersahabat, hingga akhirnya berjodoh dengan Cu Kang Bu?”

“Kongkong, sesungguhnya Kang Bu Koko ini masih Susiok saya sendiri!”

“Susiok-mu? Engkau menjadi murid siapakah?”

“Cui-beng Sian-li Tan Cun Ciu adalah Subo saya....”

“Apa?! Orang yang sudah mengambil pedang pusaka dari istana itu?” Sai-cu Kai-ong menggeleng-gelengkan kepalanya.

Pantas saja cucunya menjadi demikian lihai, kiranya menjadi murid wanita yang sudah menggegerkan dunia kang-ouw ketika mencuri pedang pusaka dari gudang pusaka istana tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya. “Sungguh nasibmu amat luar biasa, Cucuku. Sejak kecil sekali sudah menjadi murid seorang seperti Hek-sin Touw-ong, kemudian menjadi murid Cui-beng Sian-li, dan kini malah menjadi jodoh seorang seperti Cu Kang Bu!”

Yu Hwi lalu menceritakan kepada kongkong-nya segala hal yang telah dialaminya semenjak dia meninggalkan kakeknya itu dan juga tentang pertemuannya dengan Kam Hong. Setelah mendengarkan semua penuturan Yu Hwi, kakek itu mengangguk-angguk dan beberapa kali menarik napas panjang. Walau pun wajahnya masih memperlihatkan tanda bahwa dia merasa girang juga, kalau dia teringat betapa hubungan antara keluarga Kam dan keluarga Yu terjalin semenjak ratusan tahun yang lalu, dan kini, pada keturunan terakhir, dia gagal untuk mengikatkan perjodohan antara dua keluarga itu, hatinya terasa amat berduka.

“Kongkong, setelah kami berdua datang menghadap Kongkong, dan Kongkong dapat menyetujui ikatan jodoh antara kami, kami mohon agar Kongkong sudi bersama kami ke Lembah Suling Emas di mana kami akan meresmikan pernikahan kami dan agar Kongkong dapat memberi doa restu kepada kami!”

Kini kakek itu mengerutkan alisnya dan menjawab, “Sayang sekali, hal itu tidak mungkin aku lakukan, Yu Hwi. Tentu saja aku tidak keberatan kalau engkau berjodoh dengan Cu Kang Bu, akan tetapi aku sendiri tidak mungkin menghadiri pernikahan....”

“Kenapa, Kongkong?”

“Aku telah bersumpah untuk mengikatkan keluarga Kam dan keluarga Yu kita dalam ikatan perjodohan, namun aku telah gagal. Aku telah mengecewakan leluhur kita, bagai mana mungkin aku dapat menghadiri pernikahanmu dengan keluarga lain? Aku sudah tua dan aku akan tinggal di sini, mengasingkan diri sampai mati. Aku tidak akan keluar meninggalkan tempat ini, apa pun yang akan terjadi di luar. Nah, kalian kembaliiah ke barat dan jadilah suami isteri yang baik, tentu saja doa restuku menyertai kalian berdua.”

Jawaban ini menyedihkan hati Yu Hwi, akan tetapi karena semenjak kecil dia tidak bersama kakeknya, maka dia pun dapat menguasai hatinya. Maka untuk terakhir kalinya dia lalu berlutut di depan kakek itu untuk berpamit, diikuti pula oleh Cu Kang Bu karena kakek itu adalah calon kongkong-nya juga.

Melihat betapa dua orang itu berlutut di depannya, Sai-cu Kai-ong merasa tarharu juga. “Semoga Thian selalu melindungimu, Cucu-cucuku, Dan kalau kebetulan kalian bertemu dengan Kam Hong, katakanlah kepadanya bahwa sebelum aku mati aku ingin berjumpa dengannya, minta agar dia suka datang ke sini mengunjungiku.”

Demikianlah, setelah mendapat doa restu kakek itu, Yu Hwi dan Cu Kang Bu lalu meninggalkan Puncak Bukit Nelayan itu dan menuruni Pegunungan Tai-hang-san untuk kembali ke Lembah Suling Emas atau yang sekarang telah berubah namanya menjadi Lembah Naga Siluman. Mereka, termasuk juga Yu Hwi, tidak merasa bersedih, bahkan sebaliknya, mereka merasa gembira sekali karena mereka kini menuju pulang untuk segera melangsungkan pernikahan mereka! Mereka sudah mendapat persetujuan dan doa restu Sai-cu Kai-ong, bahwa ikatan jodah antara Yu Hwi dengan Kam Hong telah putus secara resmi. Tidak ada lagi yang menjadi penghalang atau ganjalan di antara mereka untuk dapat menikah dengan resmi.

Senang dan susah mirip ombak dalam samudera kehidupan, susul-menyusul dan datang silih berganti. Tangis dan tawa merupakan bumbu-bumbu kehidupan seperti masam dan manis dalam masakan. Selagi terbuai dalam kesenangan, kita tidak tahu bahwa kesusahan sudah berada di ambang pintu untuk mendapat giliran menguasai kita, menggantikan kesenangan yang terbang lalu tanpa meninggalkan bekas lagi.

Yu Hwi dan Kang Bu melakukan perjalanan menuju ke Lembah Naga Siluman dengan hati girang, bermesraan di sepanjang perjalanan, sama sekali tidak tahu bahwa pada saat mereka melakukan perjalanan itu, terjadi sesuatu yang hebat di lembah itu. Apakah yang terjadi? Mari kita menengok keadaan lembah itu dan meninggalkan sepasang calon suami isteri, sepasang kekasih yang penuh kemesraan dan kebahagiaan itu…..

********************

Pada pagi yang cerah itu, Cu Pek In, gadis berusia delapan belas tahun yang selalu berpakaian pria, dengan rambut digelung ke atas dan ditutup sebuah topi pelajar itu, sedang berjalan pulang ke lembah dengan wajah riang. Dia baru saja kembali dari goa rahasia di mana Sim Hong Bu masih tekun ‘bertapa’ sambil menyempurnakan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Tidak ada orang yang mengetahui tempat rahasia itu kecuali keluarga Cu, bahkan selama Hong Bu bertapa di situ memperdalam ilmu pedang pusaka itu, tidak ada orang lain yang boleh masuk kecuali Pek In. Gadis inilah yang dalam waktu beberapa hari sekali datang menjenguk sambil membawakan bahan makanan untuk Hong Bu.

Pada pagi hari itu Pek In baru saja kembali dari kunjungannya kepada Hong Bu, pemuda yang dicintanya itu, dan karena sikap Hong Bu kepadanya cukup manis, maka hatinya gembira sekali pada pagi hari itu. Ia berjalan sambil kadang-kadang berloncatan dan bernyanyi-nyanyi gembira, lupa bahwa suara nyanyiannya ini sepenuhnya suara wanita, jauh berbeda dengan pakaiannya. Kalau dia tidak mengeluarkan suara, tentu dia akan disangka seorang pemuda yang amat tampan sekali. Sebagai seorang gadis, kecantikan Pek In biasa saja, tidak terlalu menonjol. Akan tetapi kalau dia dianggap pria karena pakaiannya, maka dia adalah seorang pria yang amat ganteng, dengan muka yang putih dan mata yang jeli dan menarik.

Sebagai puterti tunggal Cu Han Bu orang pertama dari keluarga Cu, tentu saja dara ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Namun, kini dia tidak tahu bahwa ada tiga pasang mata yang mengikuti gerak-geriknya dari jarak dekat! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa tingkat kepandaian tiga orang yang membayanginya itu jauh lebih tinggi lagi dibandingkan dengan dia. Tiga orang ini baru melihatnya setelah dia berada di dekat lembah, dan memang sudah sejak kemarin tiga orang ini mengintai di lembah itu.

Tiga orang ini bukan lain adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya. Mereka sudah tiba di pegunungan ini dan tahu bahwa Lembah Suling Emas yang dimaksudkan sebagai tempat tinggal keluarga Cu itu tentu di sekitar tempat ini. Akan tetapi mereka belum juga menemukan tempat itu, maka mereka kemudian menyembunyikan diri dan mengintai karena mereka merasa yakin bahwa pada suatu waktu tentu ada penghuni lembah yang keluar untuk suatu keperluan.

Sudah sehari semalam tiga orang sakti ini menanti dan akhirnya usaha mereka berhasil. Mereka melihat Cu Pek In berjalan seorang diri dengan sikap gembira sekali. Keluarga Naga Sakti Gurun Pasir tentu saja dengan sekali pandang sudah tahu bahwa ‘pemuda’ yang berjalan seorang diri itu adalah seorang gadis. Mereka lalu membayangi dengan hati-hati. Mereka melihat bahwa dara yang berpakaian pria itu menuju ke tepi sebuah jurang yang amat lebar dan amat dalam, jurang yang pernah mereka datangi.

Ketika tiba di tepi jurang, seperti biasa Pek In menoleh ke kanan kiri dan belakang, setelah merasa yakin bahwa di tempat itu tidak terdapat orang lain, kemudian dia mengeluarkan suling emasnya dari balik bajunya dan meniup sulingnya. Terdengar suara melengking nyaring yang mengejutkan hati ketiga orang pengintai itu. Mereka maklum bahwa tiupan suling itu bukanlah tiupan biasa, melainkan tiupan seorang yang memiliki khikang yang kuat.

Tiga orang yang melakukan pengintaian itu memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan dan juga kekaguman ketika mereka melihat betapa dari dasar jurang itu kini nampak sehelai tambang yang cukup besar dan kuat, perlahan-lahan naik ke atas dan akhirnya melintang menyeberang jurang. Mengertilah mereka kini bahwa dara itu tadi mempergunakan suara suling untuk memberi tanda kepada orang-orang di seberang jurang yang tidak nampak, dan orang-orang itu telah menarik tambang yang merupakan jembatan dan jembatan tambang itu tadinya menjulur kendur ke bawah, tersembunyi kabut.

Memang benar dugaan mereka, karena sekarang dengan gerakan ringan sekali, dara berpakaian pria itu meloncat ke atas tambang itu dan berjalan di atas tali dengan gerakan yang lincah.

“Cepat, aku akan mendahuluinya dan kalian di belakangnya. Dia akan membawa kita ke seberang sana!” bisik Si Naga Sakti Gurun Pasir kepada isteri dan puteranya.

Wan Ceng dan Cin Liong mengerti apa yang dimaksudkan oleh pendekar sakti itu, maka mereka mengangguk dan begitu pendekar itu berkelebat cepat meloncat ke depan, Wan Ceng dan Cin Liong juga meloncat dengan kecepatan kilat menuju ke tepi jurang. Bagaikan seekor burung saja, tubuh pendekar berlengan satu itu telah berada di atas tambang, dan gerakannya sedemikian ringannya sehingga Pek In yang berjalan di depan itu sama sekali tidak tahu bahwa di belakangnya ada orang yang mengikutinya.

“Nona, perlahan dulu!”

Ucapan itu mengejutkan Pek In dan dia menoleh sambil menunda langkahnya. Akan tetapi pada saat itu, orang yang tiba di belakangnya telah meloncat ke atas, melewati kepalanya dan tahu-tahu seorang laki-laki yang bertubuh tegap dan berlengan satu telah berdiri di atas tambang di depannya!

Pek In memandang dengan mata terbelalak. Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang yang berani melakukan perbuatan yang amat berbahaya seperti itu, ialah meloncati atas kepalanya dan turun lagi ke atas tambang di depannya. Hanya seekor burung saja yang agaknya akan mampu melakukan hal itu! Akan tetapi, dia tidak sempat terheran-heran terlalu lama, karena tambang itu bergoyang di belakangnya dan ketika dia menengok, ternyata di belakangnya terdapat dua orang lain yang sudah berjalan di atas jembatan tambang itu. Dia telah dikepung dari depan dan belakang!

“Siapa kalian?! Mau apa kalian?” bentaknya, maklum bahwa dia tidak berdaya, dan bahwa para penjaga yang bertugas menarik dan mengendurkan tambang itu pun tidak berdaya karena kalau mereka itu mengendurkan tambang, bukan hanya tiga orang asing, itu yang akan terjerumus ke dalam jurang, akan tetapi dia juga karena dia berada di tengah-tengah antara mereka!

“Maaf, Nona. Kami hanya ingin agar Nona membawa kita ke seberang. Kami ingin bertemu dengan para penghuni Lembah Suling Emas!” kata Kao Kok Cu dan dia pun segera melangkah ke depan, mendahului gadis itu menyeberang.

Pek In tidak membantah karena tahu bahwa percuma saja membantah. Dia pun lalu melangkah ke depan, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan di belakangnya, “Tunggu dulu. Biarkan kami jalan lebih dulu!” Dan Pek In menghentikan langkahnya, menoleh.

Pada saat itu, nampak dua sosok tubuh melayang lewat dan seperti orang pertama dua orang itu pun melayang seperti burung terbang saja ke depannya melalui atas kepala dan kini mereka bertiga bersicepat mendahuluinya menyeberang! Tentu saja Pek In terkejut bukan main. Lembah itu telah didatangi oleh tiga orang yang kepandaiannya amat tinggi! Maka dia pun cepat menyeberang. Setelah dia menyeberang, dia memberi isyarat dengan tangannya dan para penjaga tambang lalu menurunkan lagi tambang itu sampai tidak nampak tertutup kabut yang bergantung di dalam jurang.

“Siapa kalian dan mau apa kalian memasuki tempat kami dengan paksa?” Pek In membentak setelah dia berhadapan dengan tiga orang itu. Dia memperhatikan mereka dan mendapat kenyataan bahwa selain orang pertama, yang buntung lengannya dan bersikap gagah tadi, juga wanita setengah tua dan pemuda yang berdiri di depannya itu membayangkan kegagahan yang mengagumkan.

“Nona, benarkah di sini yang dinamakan Lembah Suling Emas? Kami tidak sangsi lagi bahwa di sinilah Lembah itu, maka kami minta kepada Nona sukalah membawa kami bertemu dengan para penghuni lembah, yaitu keluarga Cu. Kami mempunyai keperluan yang penting untuk kami bicarakan dengan mereka.”

Sampai beberapa lamanya dara itu memandang kepada mereka dengan penuh selidik, kemudian tiba-tiba dia berkata sambil bertepuk tangan, “Aih, bukankah aku berhadapan dengan Si Naga Sakti Gurun Pasir?”

Kao Kok Cu dan anak isterinya tertegun. Tak mereka sangka bahwa dara berpakaian pria ini memiliki pemandangan yang demikian tajamnya, dan sekali bertemu telah dapat mengenal mereka.

Dan memang Pek In dapat menduga siapa adanya mereka karena dara itu melanjutkan, “Dan kalau Paman ini Naga Sakti Gurun Pasir, tentu Bibi ini adalah isteri Paman dan dia ini tentulah Jenderal Kao Cin Liong, putera Paman!”

“Hemm, siapakah engkau, Nona? Dan bagaimana engkau dapat mengenal kami?” Wan Ceng bertanya, sinar matanya tajam penuh selidik ditujukan kepada wajah dara itu.

Cu Pek In tersenyum bangga. Memang dia memiliki pengetahuan yang amat luas tentang orang-orang kang-ouw yang belum pernah dilihatnya. Dia mendengar banyak keterangan dari ayah dan para pamannya, dan juga dari bibinya, Tang Cun Ciu. Dia pernah mendengar tentang Naga Gurun Pasir, dan cacad pada lengan yang buntung sebelah, maka ketika dia menyaksikan kehebatan kepandaian pria berlengan buntung itu, kemudian menyaksikan kelihaian wanita dan pemuda itu, tidak sukarlah baginya untuk menebak siapa adanya mereka. Apalagi dia pun sudah mendengar banyak tentang diri Jenderal Kao Cin Liong yang telah memperoleh kemenangan gemilang atas pasukan Nepal baru-baru ini.

“Namaku Cu Pek In dan kalau kalian hendak menjumpai Ayahku, marilah!”

Setelah berkata demikian, gadis yang lincah ini lalu berlari ke depan, meloncat dan menggunakan seluruh kepandaian ginkang-nya untuk berlari secepat mungkin. Tentu saja maksudnya untuk menguji kepandaian tiga orang ini. Dia memang memiliki ginkang yang hebat, maka larinya seperti terbang saja. Setelah lari cepat beberapa lamanya, dia menoleh dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya melihat bahwa tiga orang yang ditinggalkannya itu kini berada tepat di belakangnya, kelihatan berjalan seenaknya saja namun tak pernah tertinggal sedikit pun olehnya! Maka tahulah dia bahwa nama besar Naga Sakti Gurun Pasir sekeluarganya bukan nama kosong belaka dan malah diam-diam dia merasa khawatir sekali karena dia belum tahu apa maksud kedatangan mereka, maksud bersahabat ataukah maksud bermusuh.

Dan pada saat itu, yang berada di dalam lembah hanyalah ayahnya dan Pamannya, Cu Seng Bu, sedangkan pamannya yang lain, Cu Kang Bu sedang pergi bersama Yu Hwi, juga Sim Hong Bu yang boleh diandalkan itu masih berada di dalam goa. Betapa pun juga, Pek In menenteramkan hatinya dengan penuh kepercayaan bahwa bagaimana saktinya pihak tamu, kalau sampai terjadi hal yang tidak diinginkan, dia percaya bahwa ayahnya dan pamannya yang kedua akan mampu menanggulanginya.

Lembah ini memang telah dilengkapi dengan alat-alat rahasia sehingga ketika Pek In membawa tiga orang tamunya itu sampai ke depan rumah besar keluarga Cu, maka dua orang gagah itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, telah berada di situ menanti kedatangan mereka! Kiranya para penjaga yang tadi melihat kedatangan tiga orang yang setengah memaksa Pek In, diam-diam telah mengirim berita melalui alat rahasia sehingga sebelum gadis itu tiba bersama para tamu itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu telah mengetahui dan kini mereka telah menanti kedatangan Pek In di depan rumah.

Pek In mengerti bahwa tentu ayahnya telah mendengar dari para penjaga bahwa ada tamu yang amat lihai datang dengan cara memaksa Pek In, maka kini dia ingin mencoba ayah dan pamannya, dengan ucapan gembira, “Ayah, Paman, tahukah Ayah siapa yang datang sekali ini?”

Sejak tadi Cu Han Bu dan Cu Seng Bu memang telah mencurahkan perhatian mereka kepada Kao Kok Cu dan diam-diam mereka terkejut sekali! Kalau ada pendekar yang amat tinggi kepandaiannya dan dia itu hanya berlengan satu, dengan isterinya yang cantik dan gagah penuh semangat, dan puteranya yang juga gagah perkasa dan memiliki mata seperti ayahnya, mata yang mencorong seperti mata naga, siapa lagi pendekar itu kalau bukan Si Naga Sakti Gurun Pasir yang hanya pernah mereka dengar namanya seperti dalam dongeng itu? Maka Cu Han Bu lalu menjura, diikuti oleh Cu Seng Bu yang juga sudah dapat menduga seperti kakaknya.

“Maaf, kalau dugaan kami keliru. Akan tetapi benarkah bahwa lembah kami yang buruk ini memperoleh kehormatan besar dengan kunjungan pendekar besar Si Naga Sakti Gurun Pasir beserta isteri dan puteranya?”

Kembali keluarga itu terkejut. Orang-orang lembah ini sungguh lihai. Naga Sakti Gurun Pasir boleh jadi amat terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi tidak pernah keluar sehingga jarang ada yang mengenalnya, akan tetapi keluarga lembah ini sekali lihat telah dapat menebaknya dengan tepat.

Kao Kok Cu lalu balas menghormat dan berkata tenang. “Tidak salah dugaan itu, kami adalah keluarga Kao dan kami datang untuk bicara dengan majikan lembah.”

“Kami adalah keluarga Cu, pemilik lembah ini. Saya bernama Cu Han Bu dan dia adalah adik saya bernama Cu Seng Bu, dan dia itu adalah Cu Pek In, anak tunggal saya. Keluarga kami kebetulan hanya kami bertiga inilah yang saat ini berada di sini, oleh karena itu, Kao-taihiap sekeluarga silakan masuk dan mari kita bicara di ruangan tamu.”

“Terima kasih.”

“Silakan!” Cu Han Bu mendahului para tamunya masuk, dan setelah tiga orang tamu itu mengikutinya, Cu Seng Bu dan Pek In lalu mengikuti pula dari belakang.

Yang disebut ruang tamu itu adalah sebuah ruangan yang amat luas dan di sinilah mereka dipersilakan duduk oleh pihak tuan rumah. Mereka berenam duduk mengelilingi sebuah meja besar.

Setelah memandang wajah Naga Sakti Gurun Pasir sejenak, akhirnya Cu Han Bu berkata, suaranya datar dan tegas, namun penuh hormat, “Kao-taihiap, setelah Taihiap sekeluarga berhadapan dengan kami, nah, silakan memberitahu keperluan apakah yang membawa Taihiap bertiga datang mengunjungi kami.”

Kao Kok Cu menarik napas panjang. Tugas yang dipikul bersama isteri dan puteranya itu sungguh bukan merupakan tugas yang enak di hati. Sudah menjadi peraturan umum yang tak tertulis di dunia kang-ouw bahwa orang yang telah dapat menguasai sebuah benda dengan mengandalkan ilmu kepandaiannya, maka dia pun berhak menjadi pemilik benda itu. Akan tetapi, betapa pun juga, dia dan isterinya hanya membela puteranya yang mengabdi kepada Kaisar.

“Cu-taihiap, tiada lain kedatangan kami ini adalah untuk bicara dengan keluarga Cu tentang pedang Koai-liong-pokiam!”

Pada wajah Cun Han Bu dan Cu Seng Bu tidak nampak perubahan sesuatu, hanya Cu Pek In yang memandang dengan alis berkerut tanda bahwa hati dara ini merasa tidak senang. Cu Han Bu memandang tajam dan berkata, “Apakah Naga Sakti Gurun Pasir termasuk orang-orang yang hendak memperebutkan pedang pusaka itu seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang kang-ouw beberapa tahun yang lalu?” Pertanyaan ini merupakan serangan atau ejekan yang membuat Kao Kok Cu merasa agak bingung.

Akan tetapi dia ditolong oleh puteranya. Dengan suara lantang dan tegas Kao Cin Liong berkata, “Hendaknya Cu-lo-enghiong ketahui bahwa kami datang bukan atas nama pribadi, melainkan atas perintah Sri Baginda Kaisar. Saya adalah seorang panglima yang diutus oleh Kaisar untuk menemukan kembali pedang Koai-liong-pokiam yang telah lenyap dicuri orang dari gedung pusaka istana beberapa tahun yang lalu. Dan Ayah Bunda saya hanya menemani saya dalam tugas ini.”

Ucapan itu tegas dan jelas. Dua orang saudara Cu itu saling pandang, dan sejenak mereka tidak dapat menjawab. Menghadapi orang-orang kang-ouw, mereka memang tidak usah merasa malu dan sungkan akan kenyataannya bahwa pedang itu dicuri oleh keluarga mereka, akan tetapi menghadapi utusan Kaisar lain lagi soalnya! Mereka bukan hanya dapat dituduh pencuri hina, akan tetapi bahkan juga sebagai pemberontak!

Kalau jenderal muda ini datang bersama pasukan besar, tentu mereka tidak dapat melawan dan terpaksa melarikan diri. Akan tetapi jenderal muda itu datang tanpa pasukan, hanya ditemani ayah bundanya, hal ini berarti bahwa mereka datang sebagai orang-orang gagah yang mengandalkan kepandaian sendiri, walau pun sebagai utusan Kaisar. Dan kedatangan orang gagah yang hendak merampas kembali pedang pusaka harus dihadapi dengan kegagahan pula, dengan kepandaian! Agaknya hal ini sudah diperhitungkan oleh jenderal muda itu, dan oleh karena itulah dia datang bersama ayah dan ibunya yang sakti.

Cu Han Bu mengangguk-angguk lalu berkata, “Tidak kami sangkal lagi bahwa pencuri pedang dari dalam gudang pusaka adalah seorang di antara keluarga kami. Akan tetapi hal itu hendaknya tidak dianggap sebagai pencurian, melainkan sebagai hak kami untuk mengambil kembali pedang pusaka keluarga kami yang dulu hilang. Pedang itu adalah buatan nenek moyang kami dan kami yang berhak atas pedang itu! Jadi, kami tidak merasa mencuri dari istana.”

“Hemm, kami tidak tahu dari mana asal pedang itu. Yang kami ketahui hanyalah bahwa pedang Koai-liong-pokiam itu berada di dalam gudang pusaka istana sebagai satu di antara benda-benda pusaka kerajaan. Tentang asal mulanya, seperti juga asal mula semua benda pusaka di istana, kami tidak tahu. Kenyataannya adalah bahwa pedang itu dicuri dari dalam gudang pusaka, dan untuk itulah kami datang, sebagai utusan Kaisar untuk mengambil kembali pedang itu. Kami harap keluarga Cu sadar akan hal ini dan suka mengembalikan pedang itu kepada kami, supaya memudahkan tugas kami sebagai utusan Kaisar.”

Jelaslah bahwa Cin Liong selalu mempergunakan nama Kaisar sebagai kesan bahwa dia sama sekali tidak berniat mencampuri urusan pedang pusaka dan hanya bertindak sebagai utusan, bukan mencampuri permusuhan atas nama pribadi. Dan ayahnya setuju dengan sikap puteranya, walau pun ibunya, Wan Ceng, bersungut-sungut dan menganggap puteranya itu terlalu merandahkan diri!

“Pedang itu kini tidak ada pada kami lagi,” kata Cu Han Bu dengan suara tenang.

Cin Liong memandang tajam penuh selidik dan penghuni lembah itu harus mengakui bahwa sinar mata pemuda itu membuat bulu tengkuknya meremang karena sepasang mata itu amat tajam dan mencorong.

“Cu-lo-enghiong, banyak tokoh kang-ouw menjadi saksi bahwa keluarga Cu berhasil mendapatkan pedang itu dari Yeti dan bahwa pencurinya dari istana adalah Cui-beng Sian-li yang menjadi keluarga di sini. Kalau pedang itu kini tidak ada pada keluarga Cu, lalu berada di mana?”

Cu Han Bu bangkit berdiri, alisnya berkerut. “Orang muda, engkau terlalu mendesak!”

Kao Cin Liong juga bangkit berdiri, sikapnya gagah. “Lo-enghiong, saya adalah utusan Kaisar, harap engkau orang tua tidak menyembunyikan di mana pedang itu kini.”

“Kalau aku tidak mau memberi tahu?”

“Kami akan menganggap bahwa engkau yang menyembunyikan pedang itu!”

“Hemm, pedang itu didapat dengan mengandalkan kepandaian dan karena pedang itu adalah milik keluarga kami, maka bagaimana pun juga harus kami pertahankan. Tapi, kami tidak ingin dianggap memberontak terhadap pemerintah. Nah, keluarga Kao, kami hanya mau memberitahukan di mana pedang itu sekarang berada....”

“Ayah....!” Pek In berseru akan tetapi ayahnya memberi isyarat dengan tangan agar puterinya itu duduk kembali yang segera ditaati oleh Pek In, akan tetapi dengan wajah penuh kekhawatiran.

“Untuk mendapatkan keterangan dari kami, lebih dulu Sam-wi harus dapat mengalahkan keluarga Cu!”

“Bagus! Kenapa tidak dari tadi bicara begitu? Berliku-liku bukan sikap orang gagah!” bentak Wan Ceng yang sudah bangkit berdiri.

Akan tetapi Kao Kok Cu bersikap tenang, dan dia menyentuh lengan isterinya untuk menyabarkannya. Lalu ia menghadapi Cu Han Bu dengan suara yang terdengar tenang, sedikit pun tidak dipengaruhi amarah, namun terdengar penuh wibawa, “Saudara Cu Han Bu telah menyatakan kehendaknya. Kita bukan anak-anak kecil, juga bukan orang-orang yang suka mencari permusuhan. Kami datang untuk menemukan kembali pedang pusaka istana, dan Saudara Cu agaknya hendak mempertahankan pedang itu atau segan memberitahu di mana adanya pedang itu tanpa lebih dulu ditebus dengan adu ilmu. Nah, bagaimana syarat yang diajukan oleh kalian sebagai pihak tuan rumah?”

Cu Han Bu bersikap hati-hati sekali. Ketenangan Naga Sakti Gurun Pasir itu sedikit banyak mendatangkan rasa jeri di dalam hatinya, karena dia maklum bahwa seperti itulah sikap seorang pendekar sejati yang tidak ragu-ragu lagi akan kekuatan diri sendiri dan selalu bersikap tenang dalam menghadapi apa pun juga, tak lagi dapat dipengaruhi oleh rasa marah, rasa takut atau lain perasaan lagi, kokoh kuat seperti batu karang di tengah laut.

“Di pihak keluarga kami pada saat ini hanya ada saya dan Adik Cu Seng Bu. Kami berdua akan maju mewakili keluarga kami untuk menghadapi pihak utusan Kaisar,” kata Cu Han Bu, sengaja menggunakan sebutan utusan ‘Kaisar’ untuk menekankan bahwa mereka tidak menganggap keluarga Naga Sakti Gurun Pasir sebagai musuh-musuh pribadi.

“Hemm, dua lawan dua, itu sudah adil,” kata Cin Liong. “Saya dan Ayah akan maju menghadapi kalian. Akan tetapi bagaimana kalau di antara dua orang yang seorang kalah dan seorang lagi menang?”

“Yang menang akan saling berhadapan, sampai ada yang kalah,” sambung Cu Han Bu, tenang.

“Bagaimana kalau kami kalah?” tanya lagi Cin Liong.

Cu Han Bu tersenyum. “Kami tidak terlalu mengharapkan itu. Akan tetapi kalau pihak kami menang, kalian harus pergi dari sini dan bersumpah tidak akan mengganggu kami lagi dalam urusan pedang.”

“Tapi itu berarti mengabaikan perintah Kaisar!” Cin Liong berseru.

“Terserah! Tapi itulah perjanjian dalam adu ilmu ini, tentu saja kalau pihak kalian tidak keberatan.”

Cin Liong mengepal tinju. Kata ‘keberatan’ itu sama dengan ‘takut’!

“Baik.” jawabnya. “Kalau kami kalah, kami akan pergi dan kami bersumpah tidak akan mengganggu kalian dalam urusan pedang, dan aku sendiri akan mengundurkan diri dari kedudukanku di istana karena berarti tidak mampu melaksanakan perintah Kaisar!”

“Cin Liong....!” Wan Ceng berseru kaget, akan tetapi suaminya kembali menyentuh lengannya.

“Ucapan Liong-ji cukup tepat sebagai seorang gagah,” katanya tenang.

“Dan bagaimana kalau kalian yang kalah?” Cin Liong kini balas mendesak.

Cu Han Bu tidak tersenyum, melainkan memandang tajam. “Kalau kami yang kalah, kami akan memberitahukan di mana adanya pedang itu dan di samping itu, kami berdua akan menggunduli kepala dan mengasingkan diri, menghabiskan sisa hidup sebagai hwesio.”

“Ayah....!” Pek In berseru kaget, mukanya pucat.

“Pek In, seorang laki-laki harus mempunyai harga diri. Tadi Jenderal Muda Kao telah mempertaruhkan kedudukannya yang tinggi, maka keputusan itu patut dihormati dan diimbangi dengan keputusan kami mempertaruhkan keputusan kami pula. Dan, kalah dalam tangan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir merupakan kekalahan yang terhormat. Keputusanku tidak dapat dirubah pula.”

“Aku setuju dengan keputusan yang diambil Bu-twako,” sambung Cu Seng Bu yang memang sebelum mereka menghadapi keluarga Naga Sakti Gurun Pasir itu telah berunding dengan kakaknya dan keduanya mengambil keputusan ini.

“Baik sekali. Nah, kita boleh mulai,” kata Kao Kok Cu dengan tenang dan ia pun bangkit berdiri, siap untuk bertanding.

Akan tetapi Cin Liong sudah maju ke depan ayahnya. “Tidak, Ayah. Biarkan aku maju lebih dulu.”

Melihat ini, Kao Kok Cu tersenyum dan duduk kembali. Dia percaya penuh kepada puteranya yang telah mewarisi sebagian besar dari ilmu-ilmunya dan dia tahu bahwa biar pun masih muda, namun Cin Liong bukan orang yang sembrono, bahkan sudah banyak pengalamannya dalam menghadapi lawan yang pandai pada saat menjalankan tugas-tugas sebagai seorang panglima perang.

Kao Cin Liong sudah melangkah maju ke tengah ruangan di mana telah menanti Cu Seng Bu yang maju lebih dulu mewakili keluarga Cu.

Cu Seng Bu berdiri tegak dan menatap calon lawannya itu dengan penuh perhatian. Pemuda itu masih muda sekali, paling banyak sembilan belas tahun atau dua puluh tahun usianya, dia berpikir. Biar pun pemuda itu putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi dalam usia semuda itu, mana mungkin memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi? Rasanya mustahil kalau dia sampai kalah oleh seorang yang baru saja dewasa.

Akan tetapi dia tidak berani memandang rendah. Sim Hong Bu, muridnya dan murid kakaknya juga sebaya dengan pemuda ini, dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian Sim Hong Bu akan melampaui dia kalau pemuda itu sudah dapat menguasai Koat-liong Kiam-sut secara sempurna.

Cu Seng Bu berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan). Julukan ini saja sudah menunjukkan bahwa dia tentu seorang ahli ginkang yang hebat, sehingga saking cepatnya dia bergerak, saking ringan tubuhnya, maka dia mendapat julukan itu, karena seolah-olah dia dapat berkelebat tanpa nampak bayangannya saking cepatnya. Oleh karena itu, dia menanti datangnya Cin Liong tanpa mencabut pedangnya, karena dia percaya bahwa dengan kecepatan gerakannya, dia akan mampu mengalahkan pemuda itu.

Kini mereka sudah berdiri, saling berhadapan dengan sinar mata saling pandang, saling menilai dan menyelidik.

“Kao-goanswe, kau majulah!” Cu Seng Bu menantang. “Engkau adalah tamu, maka silakan mulai lebih dahulu!”

Cin Liong tersenyum. Dia tahu bahwa dalam ilmu silat yang sudah tinggi tingkatnya, siapa maju menyerang lebih dulu berada di pihak yang lebih lemah. “Cu-lo-enghiong, pihakmulah yang menantang, maka silakan mulai lebih dulu, aku menanti,” katanya.

“Hemm, pemuda ini cukup tenang, sikap yang mengkhawatirkan dan berbahaya.” Cu Seng Bu pun tidak mau membuang waktu lagi, diam-diam dia mengerahkan semua tenaganya dan berseru nyaring, “Jaga seranganku!”

Belum juga habis ucapan itu keluar dari mulutnya, tubuhnya telah melesat ke depan dengan kecepatan yang mengejutkan dan tahu-tahu tangan kanannya yang membentuk paruh garuda yang runcing melengkung itu telah mematuk ke arah leher Cin Liong. Kecepatan itu amat mengejutkan, dan tenaga yang terkandung dalam serangan itu pun dahsyat bukan main.

Akan tetapi Cin Liong memiliki ketenangan ayahnya dan ketabahan ibunya. Dia menghadapi serangan dahsyat itu dengan mata tanpa berkedip, dan cepat namun tenang sekali dia sudah menggeser kaki ke kiri, mengelak dan mencari lubang pada lawan.

Akan tetapi, sungguh hebat lawannya itu karena begitu melihat serangannya gagal, tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas serangan, Cu Seng Bu sudah merubah serangannya. Sekarang dari samping dia menubruk lagi, tangan kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala, sedangkan tangan kanan tetap merupakan paruh garuda menotok ke arah pusar!

Gerakannya mirip dengan seekor burung garuda yang mencakar dan mematuk, akan tetapi berbeda dengan ilmu silat garuda yang lajim, terutama sekali gerakan kakinya yang berbeda, sedangkan tubuhnya meliuk seperti tubuh ular atau seperti leher bangau. Dan yang amat berbahaya adalah kecepatannya itulah. Dari serangan gagal tadi dia dapat melanjutkan serangan ke samping, ini menunjukkan bahwa orang itu selain ahli ginkang juga sudah menguasai setiap gerakannya dengan sempurna.

Namun Cin Liong tidak mau didesak. Dia mengelak ke bawah untuk menghindarkan cengkeraman pada ubun-ubun kepala dan dengan tangan kiri dia menangkis totokan pada pusarnya. Sedangkan tangan kanannya, pada saat itu juga, selagi tubuhnya merendah, sudah menghantam ke arah lutut kaki kiri lawan dengan tangan miring, tidak kalah dahsyatnya dibandingkan kalau dia menggunakan golok membacok kaki itu, dan kalau mengenai sasaran, tentu sedikitnya sambungan lutut itu akan terlepas kalau tidak tulangnya remuk sama sekali.

Namun, Cu Seng Bu sungguh memiliki gerakan yang cepat bukan main karena tiba-tiba saja tubuhnya sudah melesat ke atas seperti burung terbang saja. Akan tetapi sungguh tidak diduganya bahwa pemuda itu pun memiliki kecepatan yang hebat karena melihat lawannya mencelat ke atas, Cin Liong juga meloncat mengejar dan mengirim pukulan dengan dahsyat dengan tangan terbuka. Pada saat itu, Cu Seng Bu juga menyambut lawan dengan tendangan tumit kakinya. Tak dapat dihindarkan lagi, tangan dan kaki itu saling bertemu selagi tubuh mereka masih di udara.

“Dessss....!”

Keduanya terpental dan keduanya dapat turun ke atas lantai dengan baiknya. Dan masing-masing merasakan getaran yang cukup hebat akibat benturan itu.

“Haiiittttt....!”

Cu Seng Bu sudah menyerang lagi, gerakannya indah, tangan kirinya terbuka melingkar ke depan merupakan serangan gertakan, tetapi yang sungguh-sungguh menyerang adalah tangan kanannya yang mencuat dari bawah lengan kiri itu, dan langsung menghantam ke arah dada lawan dari bawah dengan kecepatan luar biasa dan tenaga dahsyat. Itulah jurus yang disebut Hio-te-hoan-hwa (Mencari Bunga di Bawah Daun).

Cin Liong maklum bahwa jurus itu mempunyai banyak sekali perubahan, maka dia pun mengelak dengan menggeser kaki kiri ke belakang. Benar saja dugaannya, lawannya tiba-tiba telah merubah gerakan, tubuhnya merendah dan dari bawah kedua tangan itu menyambar bergantian ke atas, menyerang pusar dan perut, kemudian disambung dengan tendangan sambil bangkit berdiri, tendangan yang amat kuat mengarah pada dagunya! Itulah jurus Hai-ti-lauw-goat (Menyelam Laut Mencari Bulan)!

Cin Liong lalu menangkis sambil berloncatan dan selanjutnya dia pun membalas dengan jurus-jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat, ilmu silat istimewa dari ayahnya. Tubuh Cin Liong meliuk-liuk bagai seekor naga beterbangan di angkasa, dan kedua tangannya membentuk cakar-cakar naga, serangannya datang dari atas dan bawah secara tidak terduga-duga karena tubuhnya yang naik turun dengan cepat dan lincah sekali.

Melihat betapa pemuda itu menguasai kelincahan seperti dia, Cu Seng Bu menjadi penasaran. Ketika dia melihat pemuda itu memukulnya dengan lengan kanan membuat gerakan melengkung dari samping mengarah pelipisnya, dia pun lantas mengerahkan tenaganya dan menangkis sambil membentak keras.

“Dukkk!”

Kedua lengan itu bertemu dan keduanya telah mengerahkan sinkang masing-masing. Kuda-kuda kaki Cin Liong tergeser dan dia mundur dua langkah, akan tetapi tubuh Cu Seng Bu terhuyung-huyung! Dari kenyataan ini saja terbukti bahwa dalam hal tenaga, ternyata Cu Seng Bu masih kalah setingkat!

Akan tetapi, Cu Seng masih penasaran dan berkali-kali mereka saling tangkis, tidak mengelak lagi, menggunakan kekerasan. Terdengar suara ‘dak-duk’ menggetarkan jika lengan mereka saling bertemu dan berkali-kali tubuh mereka tergetar dan terdorong atau terhuyung.

Perkelahian itu telah berlangsung sampai seratus jurus dan belum juga ada yang kalah atau menang, sungguh pun sudah beberapa kali Cu Seng Bu nampak terhuyung dan beberapa kali pula dia menyeringai seperti menahan sakit. Memang dalam benturan-benturan tenaga sinkang, dia kalah kuat dan dia mengalami guncangan hebat yang ditahan-tahannya. Sayang bahwa keluarga Cu biasanya memandang diri sendiri terlalu tinggi, dan sikap seperti ini menimbulkan sifat tidak mau kalah atau sukar menerima kenyataan bahwa dirinya kalah kuat. Setiap kekalahan mendatangkan rasa penasaran dan Cu Seng Bu menjadi semakin nekat.

Tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring dan dengan dahsyatnya dia menubruk maju, kedua tangannya didorongkan dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Melihat ini, Cu Han Bu sampai menggerakkan kedua tangan ke depan, seolah-olah ingin mencegah adiknya.

Sementara itu, melihat hebatnya serangan yang dia tahu seperti hendak mengadu nyawa ini, Cin Liong maklum bahwa dia harus berani mengambil keputusan. Maka dia pun mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya pun tiba-tiba meluncur ke depan dalam kedudukan seperti menelungkup, bagaikan seekor naga yang sedang terbang! Itulah ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam di Tanah) dan biar pun ilmu itu untuk seorang yang berlengan satu, namun Kao Kok Cu mengajarkan juga kepada Cin Liong. Tentu saja gerakannya menjadi kaku dan pemuda ini tidak sepenuhnya dapat menguasai ilmu ini, akan tetapi tenaga yang timbul karena ilmu ini amat dahsyatnya, terpusat kepada lengan yang menjulur ke depan.

“Bressss....!”

Hebat sekali pertemuan antara dua orang yang berilmu tinggi ini di udara. Seolah-olah ada dua bintang bertubrukan dan tubuh Cu Seng Bu terlempar ke belakang seperti layang-layang putus talinya, kemudian terbanting ke atas lantai. Dia mengeluarkan keluhan lirih dan merangkak bangun, dari ujung mulutnya menitik darah segar. Dapat juga dia bangkit berdiri dan meraba gagang pedangnya, sebatang pedang lemas.

Akan tetapi, melihat keadaan adiknya, dan melihat betapa pemuda perkgsa itu masih berdiri tegak dalam keadaan segar. Cu Han Bu maklum bahwa adiknya telah kalah dan kalau dibiarkan maju lagi dengan berpedang, hal itu amat memalukan sebab merupakan suatu kenekatan yang terdorong oleh sikap tidak tahu diri dan tidak mau kalah.

“Cukup, Adik Seng Bu. Engkau sudah kalah dan biarkan aku yang maju sekarang!” kata Cu Han Bu sambil memegang lengan adiknya dan menariknya mundur dengan lembut.

Cu Seng Bu tidak membantah, melepaskan lagi gagang pedangnya dan dia menarik napas panjang berkali-kali, kelihatan menyesal sekali. “Adikmu ini tiada guna, Twako,” katanya dan tiba-tiba dia muntahkan darah segar.

“Mengasolah, Adikku,” kata kakaknya.

Cu Seng Bu menolak tangan Cu Pek In yang hendak memapahnya, dan dia pun lalu kembali ke tempat duduknya, duduk dengan kedua kaki dinaikkan, bersila dan mengatur pernapasan untuk mengobati luka di sebelah dalam dadanya akibat benturan hebat dengan lawan yang amat tangguh tadi.

Dia diam-diam menyesal mengapa tidak sejak semula dia menghadapi lawan itu dengan pedangnya. Kalau dia menggunakan pedang dan pemuda itu pun bersenjata, belum tentu dia kalah dan andai kata dia kalah pun, lebih banyak kemungkinan dia mati, tidak seperti sekarang ini, menderita luka dan tidak tewas sehingga dia harus menghadapi kekalahannya dan menderita rasa malu.

Melihat Cu Han Bu maju dan menoleh kepadanya, Cu Pek In lalu berseru, “Sambutlah, Ayah!”

Dan begitu tangan kanannya bergerak nampak sinar emas berkelebat menuju ke arah ayahnya itu yang mengangkat tangan kanan menyambutnya. Ternyata yang dilontarkan oleh dara itu adalah sebatang suling emas! Cu Han Bu memegang suling emas itu, memandangnya sebentar, menarik napas panjang lalu menggeleng kepala.

“Tidak, Pek In! Aku adalah penghuni Lembah Naga Siluman, bukan lagi Lembah Suling Emas!”

Dia tersenyum pahit mengenangkan kekalahannya terhadap Kam Hong yang lebih tepat berjuluk Suling Emas dan sejak kekalahannya itu, dia tidak ingin lagi mengingat tentang suling emas, apalagi mempergunakan suling emas sebagai senjata karena hal itu hanya mengingatkan akan kekalahannya dan seperti ejekan saja.

Dia lalu melontarkan kembali suling itu kepada putrinya yang menyambutnya dengan alis berkerut, penuh kekhawatiran karena dara ini maklum bahwa di antara semua senjata, bahkan dibandingkan dengan sabuk emas yang dipakai ayahnya, suling itu merupakan senjata yang paling ampuh bagi ayahnya.

Cu Han Bu sudah melolos sabuk emasnya dan berdiri tegak memandang kepada Kao Kok Cu, dengan sinar mata yang mempersilakan pendekar itu maju melawannya. Melihat ini, Kao Kok Cu juga sudah bangkit dari tempat duduknya.

Akan tetapi Cin Liong yang masih berdiri tegak dan belum kembali ke tempat duduknya, berkata, “Ayah, akulah yang wajib melaksanakan perintah dari Sri Baginda. Ayah hanya membantu saja kalau aku telah gagal. Oleh karena itu, sebelum aku kalah, harap Ayah jangan turun tangan terlebih dahulu. Marilah, lo-enghiong, mari kita tentukan hasil adu kepandaian ini. Ayah hanya akan maju kalau aku sudah kalah“

Cun Han Bu memandang kagum. Kalau saja keadaan tidak memaksa mereka itu saling berhadapan sebagai musuh, dia akan merasa bangga dan senang sekali mempunyai sahabat seperti keluarga Kao yang gagah perkasa ini. Maka dia pun menghampiri pemuda itu dengan sabuk emas dipegang gagangnya oleh tangan kanan sedangkan ujungnya yang lain dipegang oleh tangan kiri. Sikapnya kereng ketika dia berkata,

“Kao-goanswe, engkau sungguh hebat dan Adikku sudah kalah olehmu. Kalau sekarang aku pun kalah olehmu, maka berarti pihak kami mengaku kalah. Nah, silakan engkau mengeluarkan senjatamu!”

Kao Cin Liong telah mempelajari ilmu-ilmu sakti dari ayahnya dan dia telah digembleng sehingga kedua tangan dan kakinya seakan-akan sudah menjadi pengganti senjata. Seperti ayahnya, dia tidak pernah memegang senjata, kecuali kalau berpakaian dinas sebagai jenderal. Pedang yang tergantung di pinggangnya kalau dia berpakaian dinas hanya merupakan tanda pangkat belaka. Maka pada saat itu pun dia tidak membawa senjata.

Melihat ini, Wan Ceng lalu melolos pedangnya dan memandang kepada suaminya untuk minta persetujuan suaminya. Kao Kok Cu mengangguk dan isterinya lalu melontarkan pedang itu ke atas.

“Cin Liong, terimalah pedang ini!” serunya dan pedang itu meluncur ke atas, kemudian seperti mempunyai mata saja, pedang itu berputaran di udara lalu meluncur turun ke arah Cin Liong yang menerimanya dengan manis.

Itulah pedang Ban-tok-kiam! Pedang ini sangat berbahaya karena mengandung racun-racun yang amat hebat, nampak kehitaman seperti penuh karat, nampak menyeramkan sekali. Jangankan sampai tertusuk bagian tubuh yang penting, baru tergores saja sudah dapat membawa maut…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman