SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-30


Menurut perkiraan para menteri yang setia, pilihan Kaisar tentu akan terjatuh kepada pangeran yang ke empat, yaitu Pangeran Yung Lok, yang saat itu merupakan pangeran tersayang dan juga seorang pangeran yang bijaksana dan disuka oleh para menteri setia. Selain itu, juga Yung Lok merupakan putera selir ke dua, sedangkan permaisuri tidak mempunyai putera. Maka sudah sepatutnyalah kalau Pangeran Yung Lok menjadi putera mahkota.

Hal ini pun diketahui pula oleh Pangeran Yung Ceng yang memiliki ambisi besar untuk menjadi kaisar. Dengan amat cerdiknya Yung Ceng lalu mendekati selir yang ke tiga dari ayahnya, seorang selir yang paling dicinta dan dimanja oleh Kaisar dan yang lebih sering berada di dalam kamar kaisar dari pada selir-selir lainnya. Selir ke tiga ini tidak mempunyai anak dan selain amat cantik juga pandai mengambil hati pria, maka Kaisar yang tua itu paling senang kalau ditemani selir ke tiga ini. Terjadilah persekutuan antara Pangeran Yung Ceng dan selir ke tiga ini.

Pada suatu malam, Sang Selir ke tiga ini menemui Yung Ceng dan mengabarkan bahwa kaisar yang sudah agak payah sakitnya itu sore tadi telah membuat surat wasiat yang ditulis oleh seorang pembantu kaisar.

“Dalam surat wasiat itu dijelaskan bahwa yang menggantikan kedudukan Beliau adalah Pangeran ke empat,” demikian selir itu memberi tahu.

Pangeran Yung Ceng terkejut sekali dan merasa gelisah. “Ibu harus dapat membantuku dalam hal ini.”

“Jangan khawatir,” kata selir ke tiga itu. “Mari kita rundingkan ini dengan Lan-thaikam.”

Thaikam adalah pembesar kebiri yang bertugas di dalam keraton kaisar. Segera mereka berdua menemui Lan-thaikam dan pembesar kebiri yang perutnya gendut inilah yang kemudian mencari siasat.

“Surat wasiat itu harus dapat kita pinjam untuk sebentar, agar kita dapat melakukan perubahan-perubahan di dalamnya.” Akhirnya dia mengemukakan siasatnya. Dan untuk tugas ini, tentu saja selir ke tiga yang paling mudah untuk melakukannya.

Pada malam berikutnya, ketika Kaisar tidur nyenyak setelah dilayani dan dipijati oleh selirnya yang ke tiga, selir itu lalu mengambil kunci dari ikat pinggang Kaisar, membuka peti kecil hitam yang berada di dekat pembaringan dan mengambil gulungan surat wasiat itu. Cepat-cepat dia keluar dari kamar, menutupkan pintunya dan berlari kecil menuju ke salah sebuah kamar di mana telah menanti Pangeran Yung Ceng bersama Lan-thaikam.

Sang Pangeran membuka surat wasiat itu dan mukanya menjadi merah. Dua tangannya dikepal ketika dia membaca sendiri surat wasiat itu di mana dengan jelas disebutkan bahwa yang berhak menggantikan kedudukan Kaisar adalah ‘Pangeran ke empat’! Dia sendiri adalah Pangeran ke empat belas, sebagai putera dari selir ke delapan, sebuah kedudukan yang tiada artinya dalam urutan pangeran.

“Harap Paduka jangan khawatir, hamba telah menemukan siasat yang amat bagus sekali,” kata Lan-thaikam, lalu dia membeber surat itu di atas meja, dan mengambil alat tulis.

Dengan hati-hati dia lalu membubuhi huruf angka sepuluh di depan empat, sehingga kini kalimat ‘Pangeran ke empat’ berbunyi ‘Pangeran ke empat belas’! Wajah pangeran itu berseri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat saking girangnya dan dia lalu merangkul pundak pembesar itu.

“Bagus, Paman, engkau sungguh hebat sekali. Aku pasti tidak akan melupakan kalian berdua. Kelak kalau aku sudah menjadi kaisar, kalian tentu akan kuberi kedudukan dan kekuasaan tinggi!”

“Hanya satu hal yang meragukan,” kata selir itu. “Huruf-huruf tulisan dari Coa-sianseng ini amat indah dan sukar dipalsukan, maka apakah penambahan huruf dari Lan-thaikam ini cukup dapat dipertanggung jawabkan? Orang lain mungkin tidak dapat melihat perbedaannya, akan tetapi Coa-sianseng sendiri yang menulisnya....”

“Hemm, Jangan kuatir. Dia seorang yang lemah, aku akan dapat menggertaknya!” kata Lan-thaikam. “Kalau dia tidak mau bekerja sama, biar kita habiskan saja.”

“Serahkan hal ini kepadaku, Paman,” kata Pangeran itu. “Pada hari dia membacakan surat wasiat itu, aku akan mengambil nyawanya untuk menutup mulutnya, tentu melalui tangan lain.” Lalu dia menceritakan siasatnya dan dua orang itu menjadi girang dan memuji siasat Sang Pangeran yang amat cerdik itu.

Selir ke tiga cepat-cepat mengembalikan surat wasiat yang sudah dirubah isinya itu, memasukkan kembali ke dalam peti kecil, menguncinya dan mengembalikan kuncinya di ikat pinggang Kaisar. Hal ini tidak ada yang mengetahui kecuali tiga orang itu.

Dan dalam bulan itu juga, Kaisar Kang Hsi meninggal dunia! Tentu saja seluruh isi istana berkabung dan pada hari yang ditentukan, peti wasiat itu dibawa ke balairung di mana terdapat singgasana Kaisar yang kosong. Suasana di ruangan itu sunyi dan diliputi suasana berkabung. Semua pembesar berkumpul dan pada wajah mereka terbayang kedukaan, sungguh pun tidak ada yang tahu pasti berapa orang di antara mereka itu yang benar-benar merasa berduka dengan kematian Sang Kaisar!

Yang sudah pasti, terdapat ketegangan-ketegangan, karena mereka menduga-duga siapa yang akan menjadi pengganti Kaisar, dan hal ini tentu saja amat penting bagi mereka karena penggantian itu mempunyai dua kemungkinan hebat dalam kehidupan mereka. Kalau kaisar baru itu pilihan mereka, tentu keadaan mereka terjamin, akan tetapi kalau bukan, besar kemungkinan kedudukan mereka akan dirampas. Dan hampir semua orang menduga bahwa yang akan diangkat sebagai pengganti sudah pasti Pangeran ke empat.

Ketegangan hebat itu terutama sekali terasa oleh mereka yang berkepentingan, yaitu oleh para pangeran yang telah berkumpul di tempat itu dengan pakaian seragam, pakaian berkabung. Keluarga mendiang Kaisar Kang Hsi kumpul semua di tempat itu, terutama para pembesar dalam istana. Ketika Coa-taijin, yaitu sastrawan yang menjadi pembantu Kaisar dalam hal tulis-menulis, yang dipercaya oleh mendiang Kaisar Kang Hsi, memasuki ruangan diikuti oleh dua orang thaikam yang membawa sebuah peti kecil hitam, semua orang memandang dengan hati berdebar penuh ketegangan.

Mereka semua tahu apa isinya peti kecil hitam itu, ialah surat wasiat peninggalan Kaisar yang akan dibacakan oleh Coa-taijin sendiri sebagai penulis surat wasiat yang telah dibubuhi cap kebesaran dan tanda tangan Kaisar itu. Suasana menjadi sunyi dan seluruh perhatian dari semua yang hadir tertuju kepada pembesar she Coa itu sehingga tidak ada seorang pun yang tahu bahwa terdapat gerakan aneh dan tidak wajar di belakang mereka, di atas balok-balok melintang di bawah atap ruangan itu.

Semua mata para pembesar yang hadir mengikuti semua gerak-gerik itu, seolah-olah dengan menahan napas, dari saat ketika Coa-taijin membuka tutup peti yang dikunci, kemudian mengeluarkan segulung kertas kuning. Dengan kedua tangan memegang kertas kuning itu diluruskan ke depan, mulailah Coa-taijin membaca surat wasiat itu dengan suara tenang dan terdengar jelas sekali karena suasana di ruangan itu sunyi sekali, bahkan kalau ada jarum jatuh ke atas lantai pun agaknya akan dapat terdengar suaranya.

Dengan ini kami meninggalkan pesan terakhir kami, bahwa setelah kami meninggal dunia, kami mewariskan tahta kerajaan dan kedudukan sebagai kaisar baru kepada putera kami, Pangeran ke.... empat.... ehhh.... empat belas....?”

Coa-taijin terbelalak, mukanya pucat, pucat sekali, kedua tangannya menggigil, dan dia seperti tidak percaya kepada pandang matanya sendiri sehingga bagian terakhir itu diulangnya beberapa kali. Dialah penulis surat wasiat itu, maka tentu saja dia tahu bahwa surat wasiat itu telah dirubah orang. Dia memandang ke arah Pangeran Yung Ceng dengan mata terbelalak dan telunjuk kanannya menuding ke arah Pangeran itu.
"
Akan tetapi sebelum dia mampu berkata-kata, tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu sebatang pisau telah menancap ke dada Coa-taijin, disusul oleh pisau ke dua yang menancap ke lehernya! Coa-taijin terhuyung, gulungan surat wasiat terlepas dari tangannya, dan sebelum dia roboh, dia masih menuding ke arah Pangeran Yung Ceng dengan mata melotot, lalu dia terguling roboh dan berkelojotan.

Semua orang menjadi panik dan gempar, dan tiba-tiba Pangeran Yung Ceng sudah berteriak keras, “Itu dia pembunuhnya....!” Dan dia menuding ke atas.

Semua orang memandang dan benar saja, di atas sebatang balok melintang nampak seorang laki-laki tinggi besar bersembunyi dan hendak melarikan diri. Beberapa orang komandan pengawal bergerak dengan sigap, berloncatan ke atas dan menyerang Si Pembunuh yang terpaksa meloncat lagi ke bawah, ke dalam ruangan itu.

Dia seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya memakai kedok hitam. Gerakannya gesit dan ringan ketika dia meloncat turun, tetapi dia segera disambut oleh seorang panglima yang berkepandaian tinggi. Terjadilah perkelahian yang tidak memakan waktu terlalu lama karena pembunuh itu dikeroyok oleh banyak panglima dan komandan pengawal yang rata-rata berilmu silat tinggi dan yang pada waktu itu memang sedang berkumpul di ruangan itu. Pembunuh itu roboh oleh sebuah tendangan dan sebelum dia sempat meloncat bangun, dia telah diringkus!

Seorang panglima merenggut kedoknya terlepas dan terkejutlah semua orang ketika mengenal orang itu sebagai salah seorang di antara pengawal-pengawal dalam istana! Seorang perwira pengawal yang biasanya bertugas mengawal di dalam harem Kaisar, tentu saja di bagian luar karena di bagian dalam hanya mempunyai penjaga-penjaga para thaikam (laki-laki kebiri).

“Plakk! Plakk!” Pangeran Yung Ceng sudah meloncat ke depan dan menampari muka orang ini yang masih diringkus oleh dua orang panglima.

“Hayo katakan, siapa yang menyuruhmu melakukan pembunuhan ini?” Pertanyaan Sang Pangeran nyaring sekali, terdengar oleh semua orang dan kini keadaan menjadi sunyi karena semua orang juga ingin mendengar jawaban dari mulut penjahat itu.

Pembunuh itu memandang dengan muka pucat sekali, kemudian dia menuding ke arah Pangeran Yung Lok, yaitu Pangeran ke empat sambil berkata, suaranya menggigil, “Dia.... dialah yang menyuruhku.... Pangeran Ke Empat....”

“Bohong kau! Keparat busuk, berani kau memfitnahku?” Pangeran Yung Lok berteriak dengan nada marah sekali.

“Pembunuh busuk!” teriakan ini terdengar dari mulut Yung Ceng dan sebelum ada yang tahu atau dapat mencegah, pangeran ini telah mencabut pedangnya, dan memasukkan pedangnya itu ke dada Si Pembunuh sampai tembus ke punggungnya!

Tentu saja dua orang panglima yang meringkusnya itu cepat melepaskan dan tubuh Si Pembunuh itu terpelanting. Sambil mendekap dada dengan tangan kiri, ia menudingkan tangan kanan ke arah Pangeran Yung Ceng, lalu tangan itu membentuk cengkeraman seolah-olah dia hendak mencengkeram Pangeran itu. Akan tetapi tenaganya habis dan dia pun terkulai lemas karena pedang yang ditusukkan tadi telah menembus jantungnya!

“Seorang pengacau dan pembunuh harus dibasmi!” kata Pangeran Yung Ceng dengan suara lantang, seolah-olah hendak membela diri dengan semua perbuatannya itu. “Dan pembacaan surat wasiat tidak boleh ditunda lagi!”

Lan-thaikam, sebagai kepala di istana, lalu membuka gulungan kertas wasiat yang tadi telah diselamatkannya ketika kertas itu terlepas dari tangan pembesar Coa, kemudian membacanya dengan suara lantang.

Dengan ini kami meninggalkan pesan terakhir kami, bahwa setelah kami meninggal dunia, kami mewariskan tahta kerajaan dan kedudukan sebagai kaisar baru kepada putera kami, Pangeran Ke Empat Belas, dan penobatan agar supaya segera dilakukan sehingga singgasana tidak terlalu lama dibiarkan kosong.

Tertanda:
Kaisar Kang Hsi

.

Begitu mendengar isi surat wasiat ini terdengar habis, semua orang, seperti diberi komando oleh suara yang hanya terdengar oleh mereka, menjatuhkan diri berlutut dan semua orang berseru, “Ban-swe, ban-ban-swe,” yang artinya sama dengan ‘Hidup’, sebagai penghormatan kepada Pangeran yang diangkat menjadi Kaisar baru serta menjadi junjungan mereka yang baru itu.

Demikianlah, Pangeran Yung Ceng dengan resmi kemudian diangkat menjadi kaisar dan perintahnya yang pertama kali adalah agar Pangeran Ke Empat, yaitu Pangeran Yung Lok, ditangkap dan dihukum mati! Tetapi, para panglima yang terkejut mendengar ini, maju berlutut dan mintakan ampun. Dengan sikap bijaksaana untuk menimbulkan kesan, Sang Kaisar baru berkata bahwa mengingat akan kesetiaan para panglima itu, dia mau mengampuni Pangeran Yung Lok dan membuang Pangeran itu ke selatan.

Demikianlah sedikit riwayatnya Kaisar Yung Ceng yang ketika masih muda memang dia seorang yang memiliki kekerasan dan kemauan hati yang amat kuat, akan tetapi sayang sekali, kekerasan ini pula yang masih mendorongnya pada saat dia mulai melakukan penyelewengan-penyelewengan dalam hidup, sama kuatnya ketika dia dengan keras hati mengejar-ngejar ilmu di Siauw-lim-si.

Setelah Pangeran ini menjadi kaisar, dia semakin haus akan kekuasaan, bahkan sering kali dia bertindak sewenang-wenang hanya untuk memperlihatkan kekuasannya. Lebih parah lagi, dia mulai tergelincir ke dalam lembah nafsu birahi sehingga dia seperti tiada puasnya mendapatkan wanita-wanita yang dikehendakinya. Dia tak segan-segan untuk mengganggu isteri-isteri para pejabat, para pembesar di istana, walau pun tentu saja di antara para pembesar itu banyak pula terdapat penjilat-penjilat yang memang sengaja mempergunakan isterinya yang cantik untuk mencari jasa sehingga mereka boleh mengharapkan anugerah dari Kaisar berupa kenaikan pangkat dan sebagainya.

Mula-mula para murid Siauw-lim-pai masih menganggap Kaisar ini sebagai seorang saudara seperguruan mereka sehingga ada pula yang datang berkunjung ke istana. Dan mereka ini selalu diterima oleh Kaisar Yung Ceng dengan ramah, diperlakukan sebagai tamu agung dan sebagai saudara seperguruan sendiri.

Akan tetapi, mulailah para anak murid Siauw-lim-pai geger ketika pada suatu hari, ketika seorang murid wanita Siauw-lim-pai yang terhitung sumoi (adik seperguruan) dari Kaisar sendiri datang berkunjung, Kaisar Yung Ceng yang memandang gadis pendekar itu dengan sinar mata lain, telah memaksa sumoi-nya itu untuk menuruti kemauannya!

Gadis Siauw-lim-pai itu dirayu dan digauli dengan setengah paksa. Gadis itu kemudian membunuh diri dan Kaisar lalu menyuruh orang-orangnya untuk mengubur jenazahnya dan merahasiakan peristiwa itu. Akan tetapi, tetap saja rahasia itu bocor dan akhirnya secara selentingan terdengar oleh para anak murid Siauw-lim-pai betapa murid wanita Siauw-lim-pai itu digauli oleh Kaisar dan membunuh diri! Karena tidak ada bukti, maka Siauw-lim-pai tidak dapat berbuat sesuatu, hanya mulai memandang kepada Kaisar dengan curiga.

Akan tetapi, rasa permusuhan dari Siauw-lim-pai terhadap Kaisar ini baru terasa ketika pada suatu hari datang seorang suheng dari Kaisar sendiri bersama isterinya. Suheng ini adalah seorang sahabat baik ketika Sang Kaisar masih tekun belajar di Siauw-lim-si, merupakan sahabat dan saudara terbaik.

Akan tetapi, celakanya adalah bahwa suheng ini datang bersama isterinya dan lebih celaka lagi isterinya itu adalah seorang wanita muda yang cantik manis. Seketika hati Kaisar muda itu tergiur dan karena Kaisar tahu bahwa suheng-nya itu adalah orang yang suka sekali main catur, maka dia lalu memanggil seorang thaikam yang pandai main catur.

Suheng-nya segera tenggelam di meja catur semalam suntuk dengan thaikam itu dan kesempatan ini, kesempatan yang memang sengaja diadakannya, dipergunakan oleh Kaisar untuk memasuki kamar suheng-nya yang asyik bertanding catur di ruangan tamu itu, dan diganggulah isteri suheng-nya! Diperkosanya wanita itu dengan paksa, dan oleh karena wanita itu tidak berani melawan, maka dia hanya bisa menangis saja, menyerah karena tidak berdaya. Pada esok paginya, ketika Sang Suheng kembali ke kamarnya, dia mendapatkan isterinya telah mati menggantung diri!

Peristiwa inilah yang membuat Siauw-lim-pai mengambil keputusan untuk secara resmi mengeluarkan Sang Kaisar dari Siauw-lim-pai, tidak diakuinya lagi sebagai anak murid Siauw-lim-pai! Betapa pun juga, Sang Suheng itu dapat menduga apa yang telah terjadi, mengapa isterinya itu secara tiba-tiba tanpa sebab telah membunuh diri.

Tindakan para pemimpin Siauw-lim-pai itu sungguh terlalu benar! Mengeluarkan Kaisar yang sedang berkuasa dari Siauw-lim-pai! Menganggapnya sebagai seorang murid murtad! Tentu saja hal ini amat menyakitkan hati Kaisar Yung Ceng yang mulai saat itu menganggap Siauw-lim-pai sebagai musuh, bukan lagi sebagai perguruan silat atau partai persilatan yang dibanggakannya sebagai tempat di mana dia pernah digembleng.

Akan tetapi Kaisar Yung Ceng juga tahu bahwa amatlah tidak menguntungkan kalau dia menuruti perasaan dendam pribadi dan menggempur Siauw-lim-pai dengan pasukan, karena betapa pun juga partai persilatan itu sangat kuat dan merupakan hal yang amat merugikan kalau pemerintah menghadapinya sebagai musuh. Betapa pun juga, orang orang Siauw-lim-pai masih dapat banyak diandalkan kalau negara menghadapi musuh dari luar. Maka sakit hati itu pun disimpannya di dalam hati dan menimbulkan dendam dan rasa tidak suka saja.

Demikianlah riwayat dan keadaan Kaisar Yung Ceng. Putera Kaisar itu, yaitu Pangeran Kian Liong merasa sangat berduka kalau dia memikirkan semua perbuatan ayahnya. Sampai kini pun ayahnya itu mudah sekali tergila-gila kepada wanita cantik. Pangeran yang bijaksana ini pun tahu bahwa ayahnya kini terjatuh ke dalam cengkeraman dan pelukan selir ke tiga yang pandai merayu dan yang bersekutu dengan Sam-thaihouw, yaitu Ibu Suri Ke Tiga yang agaknya amat disegani dan dihormati oleh ayahnya.

Dia tidak tahu bahwa memang ayahnya yang kini menjadi kaisar amat tunduk kepada Ibu Suri Ke Tiga karena ibu suri ini amat berjasa kepada ayahnya. Dia tidak tahu bahwa memang ada persekutuan antara ayahnya, Sam-thaihouw, dan Lan-thaikam yang juga merupakan kepala istana yang menguasai semua pejabat dan pembantu yang bekerja di dalam istana, dan bahwa Kaisar amat percaya kepada orang kebiri tua ini.

Hal yang amat menggelisahkan hati Pangeran Kian Liong adalah peristiwa yang terjadi bulan lalu. Ketika itu Jenderal Kao Cin Liong memimpin pasukan untuk menggempur pergolakan di barat, di perbatasan Himalaya, untuk membantu Tibet yang diserang oleh Nepal. Dan pada waktu itu, di kota raja dikabarkan banyak terdapat mata-mata musuh.

Mungkin karena memang ada mata-mata yang menyelundup ke dalam kuil, atau memang hanya dipergunakan sebagai alasan saja oleh Kaisar yang memang sudah membenci Siauw-lim-pai, Kaisar memerintahkan untuk menyerbu kuil Siauw-lim-si yang merupakan cabang dari pusat Siauw-lim-pai, sebuah kuil yang cukup besar di kota raja, di mana para hwesio Siauw-lim-pai lebih banyak mengurus soal pelajaran agama dari pada ilmu silat.

Serbuan itu merupakan gerakan pertama dari Yung Ceng yang memusuhi Siauw-lim-pai semenjak dia dipecat dari keanggotaannya. Kuil itu dibakar, semua pendetanya diusir, bahkan dalam bentrokan itu ada beberapa orang pendeta yang tewas. Akan tetapi karena alasan penyerbuan itu adalah untuk mencari dan membasmi mata-mata yang dikabarkan bersembunyi di kuil, maka pihak Siauw-lim-pai tidak dapat berbuat apa-apa, hanya memesan kepada semua muridnya agar berhati-hati karena jelas bahwa Kaisar membenci Siauw-lim-pai.

Hal ini pun membuat Pangeran Kian Liong merasa berduka dan prihatin sekali, karena dia tahu bahwa semenjak dulu, Siauw-lim-pai merupakan partai besar yang berdasarkan agama, yang tugasnya menyebarkan keagamaan di samping memberi pelajaran ilmu silat tinggi dan terdiri dari rata-rata orang-orang budiman dan pendekar-pendekar gagah perkasa yang tidak pernah memberontak terhadap negara.

Ketika rombongan Pangeran Kian Liong yang disertai oleh Kao Kok Cu dan Wan Ceng, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, pada malam hari itu memasuki kota raja, di istana terjadi kegemparan besar. Untunglah bahwa Pangeran Kian Liong berkeras mengajak dua pasang suami isteri itu langsung pergi ke istana dan menjadi tamu-tamunya.

“Kita telah melakukan perjalanan jauh, sebaiknya kalau kalian berempat langsung saja ke istana dan mengaso. Besok baru kita akan menghadap Ayahanda Kaisar.”

Akan tetapi, ternyata bahwa ketika mereka tiba di istana, di situ terjadi hal yang amat hebat. Kiranya malam hari itu, istana diserbu oleh seorang dara perkasa dan tujuh orang pendeta Siauw-lim-pai yang menyamar sebagai pengawal-pengawal istana!

Ketika itu, Kaisar baru saja memasuki kamarnya dan selir ke tiga telah datang untuk melayaninya ketika tiba-tiba di luar kamar itu terjadi keributan dan tiba-tiba terdengar teriakan nyaring.

“Ada penjahat....!”

Kaisar Yung Ceng adalah seorang kaisar yang memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai yang cukup tinggi, bukan seorang kaisar yang lemah, maka mendengar seruan ini, dia bukan lari berlindung, sebaliknya malah meloncat keluar dari dalam kamar, sedikit pun tidak merasa takut. Dan begitu keluar, dia sudah diserang oleh seorang dara yang berpakaian ringkas berwarna putih dan dibantu seorang hwesio yang menyamar dalam pakaian pengawal istana, akan tetapi yang kini telah membuang penutup kepalanya sehingga nampak kepalanya yang gundul. Selain dua orang ini yang mengeroyok Kaisar, masih ada enam orang hwesio lain yang semua menyamar dalam pakaian pengawal sedang bertempur dikepung oleh banyak pengawal istana.

“Ai Seng Kiauw manusia keji, bersiaplah engkau untuk mampus!” gadis itu membentak marah dan telah menyerang dengan dahsyatnya, menggunakan sebatang pedang yang tadi disembunyikan di balik jubahnya.

Hwesio tinggi besar yang membantunya juga telah menyerang Kaisar dengan sebatang golok, namun Kaisar Yung Ceng dengan sigapnya sudah meloncat lagi ke dalam kamar, menyambar sebatang pedang yang tergantung di kamarnya, lantas melawan dengan gagah. Melihat gerakan dua orang yang menyerangnya itu, tahulah Kaisar Yung Ceng bahwa dia diserang oleh murid-murid Siauw-lim-pai, maka dia pun marah bukan main. Pedangnya diputar cepat untuk melindungi tubuhnya dan dia membentak,

“Pemberontak-pemberontak Siauw-lim-pai!”

Akan tetapi dua orang penyerangnya tidak banyak cakap lagi melainkan memperhebat desakan mereka sehingga Sang Kaisar pun harus mempercepat gerakannya. Selirnya dan para dayang menjerit dan menyembunyikan diri di sudut kamar sambil berangkulan dengan tubuh menggigil ketakutan. Sementara itu, enam orang hwesio yang berada di luar kamar masih mengamuk, dikeroyok banyak pengawal yang berdatangan.

Pada saat itulah Pangeran Kian Liong datang bersama Wan Tek Hoat, Syanti Dewi, Kao Kok Cu, dan Wan Ceng. Tentu saja, tanpa diminta lagi, dua pasang suami isteri perkasa itu segera turun tangan.

“Kalian bantu para pengawal dan aku akan melindungi Kaisar!” kata Kao Kok Cu yang segera menerjang masuk ke dalam kamar Kaisar yang pintunya terbuka dan dari mana dia dapat melihat Kaisar sedang dikeroyok oleh dua orang.

“Li Hwa, kau larilah!” Hwesio tinggi besar itu berseru.

Walau dia sedang menghadapi Kaisar, dia masih mampu menggunakan tangan kirinya untuk mendorong tubuh gadis itu yang terhuyung ke arah jendela. Gadis itu maklum bahwa keadaan sangat berbahaya maka sekali loncat dia pun telah lenyap melalui jendela kamar.

Sementara itu Wan Tek Hoat, Syanti Dewi, dan Wan Ceng menerjang dengan tangan kosong, akan tetapi begitu mereka membantu para pengawal, enam orang hwesio Siauw-lim-pai itu terkejut bukan main. Sambaran tangan Tek Hoat mengeluarkan bunyi seperti pedang pusaka menyambar, juga pukulan-pukulan Wan Ceng mendatangkan angin dahsyat sekali, dan gerakan Syanti Dewi seperti seekor burung beterbangan dan tamparan-tamparannya juga seperti kilat menyambar-nyambar.

Biar pun enam orang hwesio itu masih berusaha untuk melawan mati-matian, namun dalam waktu belasan jurus saja mereka telah roboh terpelanting oleh pukulan-pukulan tiga orang yang baru datang ini, tak mampu bangkit kembali karena telah menderita luka parah, apalagi yang roboh membawa bekas pukulan tangan Wan Tek Hoat dan Wan Ceng, karena mereka itu tewas tak lama kemudian, dan hanya seorang di antara mereka, yang roboh oleh pukulan dan tamparan Syanti Dewi, yang masih hidup, biar pun dia juga tidak mungkin mampu melawan lagi.

Hwesio tinggi besar yang memimpin penyerbuan itu, yang tadi menyerang Kaisar bersama gadis itu, juga sudah roboh oleh Si Naga Sakti. Tulang pundaknya patah-patah terkena sentuhan jari tangan Kao Kok Cu dan kini dia memaki-maki Kaisar.

“Ai Seng Kiauw murid murtad, engkau membikin kotor nama Siauw-lim-pai! Engkau tak segan-segan untuk memperkosa murid Siauw-lim-pai dan isteri suheng-nya sendiri, dan biar pun engkau kini telah bersembunyi di dalam pakaian kaisar, namun kami para murid-murid Siauw-lim-pai sejati enggan hidup bersama orang durhaka macammu ini di atas bumi!” Setelah berkata demikian, hwesio itu menggerakkan pedang dengan tangan kirinya, menggorok leher sendiri!

Kaisar Yung Ceng terluka pundaknya dan sedang diperiksa oleh Kao Kok Cu. Akan tetapi ternyata luka itu tidak parah dan Kaisar marah sekali mendengar ucapan itu. Dia kini mengenal wajah para hwesio itu yang ternyata adalah suheng-suheng-nya sendiri saat dia belajar ilmu silat di Kuil Siauw-lim-si dahulu. Melihat bahwa masih ada seorang hwesio yang belum mati, Kaisar kemudian menghampiri dan membentak, “Pemberontak laknat, hayo katakan siapa yang menyuruh kalian melakukan penyerbuan ini!”

Akan tetapi hwesio yang terluka oleh pukulan Syanti Dewi itu memandangnya dengan mata mendelik dan tidak menjawab. Dia hendak membunuh diri dengan membenturkan kepala di lantai, akan tetapi Kaisar telah mendahuluinya, menotok lehernya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi.

“Hayo mengaku kalau engkau tidak ingin disiksa!” Kaisar membentak lagi, wajahnya berubah merah saking marahnya.

“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba hwesio itu tertawa dengan mata terbelalak, dan tiba-tiba dia menutup mulutnya.

Melihat ini, Wan Tek Hoat cepat bergerak maju memegang dagunya dan memaksanya membuka mulut. Namun terlambat! Ketika mulut itu terbuka, mulut itu penuh darah dan lidahnya sudah putus oleh gigitannya sendiri! Sungguh mengerikan sekali melihat mulut terbuka itu penuh darah dan potongan lidahnya jatuh keluar. Syanti Dewi sendiri sampai membuang muka melihat pemandangan yang mengerikan itu.

Kaisar semakin marah. Hwesio ini sudah putus lidahnya, berarti tidak akan mau bicara dan tentu akan mati. “Cepat cari gadis itu! Cari sampai dapat dan tangkap hidup-hidup!” teriaknya kepada para pengawal yang segera lari cerai-berai untuk memenuhi perintah Kaisar itu.

Setelah para pengawal berserabutan lari untuk mengejar dan mencari gadis itu, baru Kaisar mempunyai kesempatan untuk memperhatikan empat orang penolongnya. Tentu saja dia mengenal Kao Kok Cu dan Wan Ceng, ayah dan ibu seorang panglimanya yang paling diandalkan, jaitu Jenderal Muda Kao Cin Liong.

“Untung sekali kalian datang,” kata Kaisar ketika melihat dua orang suami isteri perkasa ini memberi hormat kepadanya. Kemudian dia mengangkat muka memandang kepada Wan Tek Hoat, lalu kepada Syanti Dewi dan wajahnya berubah, matanya mengeluarkan sinar berseri ketika dia memandang puteri itu dan agaknya pandang matanya enggan meninggalkan wajah yang luar biasa cantiknya itu.

“Dan siapakah orang gagah ini dan wanita cantik seperti bidadari ini?” tanyanya tanpa mengenal sungkan lagi.

Syanti Dewi menunduk dan memberi hormat dengan sikap sederhana, akan tetapi diam diam alisnya berkerut karena dia melihat pandang mata yang penuh nafsu di mata Kaisar itu yang ditujukan kepadanya. Juga Wan Tek Hoat melihat ini, akan tetapi dia pun menundukkan muka dengan sikap hormat.

Kao Kok Cu dan Wan Ceng tentu saja melihat pula sikap Kaisar, maka cepat-cepat Wan Ceng memberi keterangan, “Sri Baginda, dia ini adalah Kakak angkat hamba, yaitu puteri Bhutan bernama Syanti Dewi, bersama suaminya.”

Kaisar nampak tercengang dan mengangguk-angguk. “Ah, kiranya puteri Bhutan yang pernah membikin geger di istana belasan tahun yang lalu itu? Sungguh amat cantik luar biasa, dan memiliki kepandaian tinggi pula, pantas saja pernah membikin geger.”

Kao Kok Cu yang merasa tidak enak melihat betapa Kaisar yang mata keranjang ini agaknya tertarik sekali kepada Syanti Dewi, lalu maju dan berkata, “Sebaiknya kalau Paduka beristirahat lebih dahulu, biarlah hamba semua ikut membantu pengejaran terhadap gadis itu. Siapa tahu mereka itu masih mempunyai teman-teman yang tersebar di dalam istana, sehingga keselamatan Paduka masih terancam.”

Mendengar ucapan ini barulah Kaisar sadar akan keadaannya dan dia merasa betapa sikapnya tadi memang kurang sedap dipandang, apalagi mengingat bahwa wanita cantik ini disertai suaminya, bahkan suami isteri ini telah menyelamatkan dari ancaman bahaya maut. Kaisar lalu menarik napas panjang dan berkata dengan sikap ramah sekali, “Baiklah, akan tetapi kami minta kepada kalian berempat untuk bersama kami makan pagi sehingga terdapat banyak kesempatan bagi kita untuk bercakap-cakap. Nah, sampai jumpa besok pagi.”

Kaisar lalu diantar oleh selir dan para dayang, berikut pengawal pribadi untuk menuju ke sebuah kamar lain karena kamar itu telah dikotori oleh banyak darah. Keempat orang gagah itu lalu meninggalkan ruangan itu pula untuk membantu para pengawal mencari gadis yang buron tadi, juga mereka itu diam-diam merasa amat heran akan lenyapnya Pangeran Kian Liong yang tadinya datang bersama mereka akan tetapi yang kini tidak lagi nampak lagi batang hidungnya!

Ke manakah perginya Pangeran Kian Liong? Memang tadi dia datang bersama dua pasang suami isteri itu. Akan tetapi ketika dia melihat gadis yang menyerang Kaisar itu melarikan diri melalui jendela kamar ayahnya, Pangeran ini kemudian menyelinap dan melakukan pengejaran.

Dia tahu bahwa para penyerang ayahnya itu adalah orang-orang Siauw-lim-pai, maka diam-diam dia merasa menyesal sekali karena dia sudah dapat menduga pula apa yang menyebabkan orang-orang Siauw-lim-pai itu menyerbu istana dan menyerang ayahnya. Dan biar pun Pangeran ini tidak pandai ilmu silat, akan tetapi dia mengenal semua lorong dan jalan rahasia di dalam istana, maka dia dapat mengejar dan membayangi gadis yang melarikan diri itu.

Gadis itu sendiri merasa bingung. Memang ketika dia dan para susiok-nya (paman gurunya) menyelundup ke dalam istana, dia dan para susiok-nya itu menyamar sebagai pasukan pengawal. Akan tetapi dalam keadaan melarikan diri ini, tentu saja tidak mudah baginya untuk keluar dari lingkungan istana. Di mana-mana terdapat penjaga dan bahkan kini di atas genteng pun nampak para penjaga! Maka dia lalu menyelinap dan memasuki lorong-lorong dan makin dalam dia masuk, makin bingunglah dia, tidak tahu mana jalan keluar lagi. Beberapa kali dia terpaksa mengambil jalan lain dan menyelinap sembunyi ketika hampir kepergok para penjaga.

Ketika dia tiba di lorong yang lebar, sepasukan penjaga melihatnya. Mereka berteriak mengejar dan terpaksa gadis itu lari lagi mengambil jalan lain. Selagi dia kebingungan karena dari mana-mana muncul penjaga, tiba-tiba sebuah pintu di sebelah kirinya terbuka dan muncul seorang pemuda yang memberi isyarat kepadanya dengan tangan agar dia masuk ke pintu itu. Dia merasa heran dan curiga.

“Sssttt.... ke sinilah, Nona....,” kata pemuda itu berbisik.

Gadis itu masih meragu, akan tetapi kini terdengar derap langkah para penjaga dan pengawal yang sedang mencari-carinya, maka dia kemudian menghampiri pemuda itu. Seorang pemuda yang berwajah tenang dan tersenyum ramah.

“Masuklah dan engkau akan selamat dari pengejaran mereka,” pemuda itu berkata.

Karena tidak melihat jalan lain, gadis itu lalu memasuki pintu yang dibuka oleh pemuda itu, pedangnya masih tergenggam erat-erat di tangan kanannya. Untung dia bergerak cepat karena baru saja dia masuk, muncullah pasukan pengawal yang mengejarnya, tiba di depan pintu itu.

Si Pemuda masih berdiri di depan pintu dan kini menutupkan pintunya sedikit sehingga gadis itu tidak nampak dari luar. Gadis itu mengintai, pedangnya siap menusuk pemuda itu kalau Si Pemuda ternyata mengkhianatinya dan melapor kepada pasukan. Tetapi dia terheran-heran ketika melihat betapa semua pasukan, dipimpin oleh komandan mereka, memberi hormat kepada pemuda itu dan minta maaf kalau mereka itu mengganggu.

“Kalian ini mengapa ribut-ribut di sini dan sedang mencari apa?” tegur pemuda itu dengan lantang.

Komandan pasukan pengawal itu lalu menjawab dengan suara penuh hormat, “Harap maafkan jika hamba sekalian mengganggu Paduka Pangeran. Hamba sedang mencari seorang buronan, yaitu seorang gadis yang merupakan satu di antara para penyerbu yang mengacau di istana.”

“Hemm, aku sudah mendengar akan hal itu. Apakah belum tertangkap semua? Seorang gadis katamu? Sejak tadi aku berada di dalam taman dan tidak melihat seorang asing, apalagi seorang gadis. Pergilah kalian cari ke tempat lain.”

Pasukan itu memberi hormat dan pergi dari tempat itu. Derap kaki mereka makin menjauh dan akhirnya lenyap. Gadis itu memandang ke belakangnya. Kiranya pintu itu menembus ke sebuah taman yang indah, yang cuacanya cukup terang dengan adanya lampu-lampu gantung beraneka warna menghias pohon-pohon di tempat indah itu.

Sunyi sekali di situ. Namun dia pun merasa terheran-heran ketika mendengar betapa pasukan tadi menyebut pemuda ini pangeran! Kecurigaannya timbul kembali. Seorang pangeran, putera Ai Seng Kiauw, putera Kaisar yang menjadi musuh besarnya! Dia menggenggam pedang itu erat-erat ketika pemuda itu menutupkan daun pintu yang menembus ke taman itu. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang. Pangeran Kian Liong tersenyum melihat dara yang masih amat muda itu memandangnya penuh curiga dengan pedang siap menyerang!

“Untuk sementara ini engkau aman, Nona.”

Pegangan pada gagang pedang itu mengendur, akan tetapi suaranya masih gugup ketika bertanya, “Paduka.... Paduka seorang pangeran....?”

Pangeran Kian Liong mengangguk. “Benar, dan namaku adalah Kian Liong.”

“Ahhh....!” Gadis itu nampak terkejut sekali dan memandang wajah Pangeran itu dengan bengong.

Pangeran Kian Liong tersenyum. Ada sesuatu pada wajah dan terutama pada pandang mata gadis ini yang luar biasa baginya. “Mari kita bicara di taman yang sunyi itu, Nona, dan ceritakan siapakah Nona dan mengapa Nona yang masih begini muda tersangkut dalam urusan percobaan membunuh Sri Baginda, hal yang amat berbahaya sekali.”

Sikap dan suara Pangeran Kian Liong yang halus dan penuh ketenangan itu dapat mendatangkan ketenangan pula dalam hati gadis itu dan dia pun menurut saja ketika diajak ke dalam taman, bahkan kini dia telah menyimpan kembali pedangnya di dalam sarung pedang yang disembunyikan di bawah mantelnya.

Mereka duduk berhadapan di atas bangku-bangku yang terukir indah di tengah-tengah taman, menghadapi sebuah kolam ikan di mana banyak terdapat ikan-ikan emas yang beraneka warna dan bentuk, yang berenang-renang di sekeliling bunga-bunga teratai merah dan putih.

“Nama hamba Souw Li Hwa, Pangeran dan hamba.... hamba…. sama sekali tidak memusuhi Sri Baginda Kaisar, hamba bukan seorang pemberontak, melainkan seorang murid yang hendak membalaskan dendam Guru hamba yang hidup sengsara karena perbuatan murid Siauw-lim-pai murtad Ai Seng Kiauw!” Gadis itu mulai menceritakan keadaan dirinya.

Pangeran Kian Liong mengangguk maklum. “Aku pun mengerti dan dapat menduga, Nona, akan tetapi betapa pun juga orang yang bernama Ai Seng Kiauw dan dahulu menjadi murid Siauw-lim-pai itu sekarang adalah Kaisar! Nah, ceritakanlah semuanya, apa yang telah terjadi sehingga engkau malam ini dengan nekat bersama beberapa orang hwesio Siauw-lim-pai menyerbu istana dan mencoba membunuh Kaisar.”

Souw Li Hwa lalu bercerita. Dia seorang anak yatim piatu yang kedua orang tuanya tewas ketika dusunnya diserbu perampok. Dia masih kecil, baru berusia lima tahun ketika hal itu terjadi dan dia sendiri diselamatkan oleh pendekar Siauw-lim-pai yang kemudian mengangkatnya sebagai murid dan merawatnya seperti anak sendiri. Li Hwa diberi pelajaran ilmu silat dan ketika dia berusia empat belas tahun, penolongnya yang juga merupakan gurunya dan pengganti orang tuanya itu menikah dengan seorang gadis cantik. Dia masih terus ikut gurunya, sebagai murid dan juga sebagai pembantu isteri gurunya yang juga amat sayang kepadanya.

Karena suami isteri itu tidak mempunyai anak biar pun mereka sudah menikah selama tiga tahun, maka mereka makin sayang kepada Li Hwa yang mereka anggap sebagai anak sendiri. Kemudian terjadilah mala petaka itu! Guru itu dan isterinya yang masih muda, belum tiga puluh tahun usianya dan yang memang memiliki wajah cantik itu, pergi mengunjungi Kaisar di istana. Kaisar adalah murid Siauw-lim-pai dan terhitung sute dari guru Li Hwa, maka kedatangan suami isteri itu diterima dengan amat ramah oleh Kaisar. Akan tetapi, watak mata keranjang Kaisar itu menimbulkan mala petaka hebat menimpa keluarga yang tadinya hidup dengan rukun dan bahagia itu.

“Ketika Suhu sedang asyik main catur bersama seorang thaikam, dan hal ini agaknya sengaja dilakukan oleh Ai Seng Kiauw, maka isteri Suhu yang berada di dalam kamar seorang diri itu didatangi oleh Ai Seng Kiauw dan diperkosa. Memang tidak ada saksi atau bukti, akan tetapi apalagi yang menyebabkan isteri Suhu itu tiba-tiba menggantung diri dalam kamar itu? Suhu tidak berani menuduh Kaisar karena tidak ada bukti, akan tetapi peristiwa itu membuat Suhu menjadi sakit-sakitan dan bahkan akhir-akhir ini Suhu menderita tekanan batin yang membuat dia seperti orang yang tidak waras lagi....” Sampai di sini, gadis itu mengusap beberapa butir air mata yang membasahi pipinya.

Pangeran Kian Liong menarik napas panjang. Cerita ini tidak aneh baginya, karena memang dia pernah mendengar peristiwa yang terjadi kurang lebih setahun yang lalu itu.

Li Hwa kemudian melanjutkan ceritanya. Kiranya selagi masa mudanya dan menjadi murid Siauw-lim-pai, Ai Seng Kiauw bersama delapan orang lainnya yang juga menjadi murid-murid terpandai di Siauw-lim-pai merupakan sekelompok sahabat-sahabat akrab yang terkenal sebagai Sembilan Pendekar Siauw-lim-pai, demikianlah nama julukan yang mereka pilih dan mereka yang sembilan orang ini pernah bersumpah untuk saling setia. Di antara delapan orang ini termasuk pula guru Li Hwa, sedangkan tujuh orang lainnya adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-si, hanya Ai Seng Kiauw dan guru Li Hwa sajalah yang tidak menjadi pendeta.

“Karena menganggap semua perbuatan Ai Seng Kiauw sebagai hal yang keterlaluan, murtad dan mengotori nama baik Siauw-lim-pai, apalagi karena mengingat betapa Ai Seng Kiauw telah berbuat laknat terhadap Guru hamba dan berarti melanggar sumpah setianya sendiri, maka tujuh Susiok itu lalu mendukung niat hamba untuk membalas dendam. Akan tetapi....” Kembali gadis itu mengusap air matanya, “Ternyata kami telah gagal...., dan entah bagaimana nasib tujuh orang Susiok yang malang itu....”

Pangeran Kian Liong memandang tajam. Meski dia masih muda dan bukan merupakan seorang ahli silat yang pandai, namun pergaulan Pangeran ini amat luas dan dia sudah mengenal banyak sekali orang-orang pandai dan sakti. Dia melihat bahwa dara ini sebetulnya bukan merupakan seorang kang-ouw yang keras hati, melainkan seorang nona yang halus perasaannya. Dan entah mengapa, baru pertama kali ini Pangeran Kian Liong merasa tertarik kepada seorang gadis. Terutama sepasang mata dari dara inilah yang membuat dia terpesona, sepasang mata yang membayangkan penderitaan batin yang amat mendalam dan menimbulkan rasa iba dalam hatinya. Dia dapat membayangkan betapa dukanya hati nona ini.

“Nona, menyerbu istana merupakan perbuatan bodoh, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi, mengapa engkau meninggalkan tujuh orang Susiok-mu yang terkepung itu?”

Ditanya begini, dara itu nampak terkejut dan mukanya berubah pucat, lalu menjadi merah sekali, suaranya terisak ketika dia menjawab. “Itu bukan kehendak hamba! Akan tetapi, Toa-susiok memaksa hamba.... dan.... dan hamba pikir.... kalau kami semua harus tewas, lalu siapa yang kelak akan membalas dendam? Usaha kami ini kali tidak berhasil, mungkin semua Susiok gugur, akan tetapi hamba masih hidup dan hamba akan....”

Tiba-tiba dia teringat bahwa dia berhadapan dengan seorang pangeran, putera dari Kaisar yang hendak dibunuhnya itu dan dia memandang dengan mata terbelalak! Dia menjadi bingung! Pemuda ini adalah putera Kaisar, yaitu putera musuh yang akan dibunuhnya, tetapi juga penolongnya, bahkan sampai saat itu keselamatannya mungkin berada di tangan Pangeran ini!

“Nona, mengapa Nona membiarkan diri terperosok ke dalam lembah dendam ini?”

“Betapa tidak? Hamba kehilangan orang tua, guru, sahabat.... dan hamba kehilangan satu-satunya orang yang selama ini mengasihi hamba.... dan kini, hamba seolah-olah ditinggal sendiri.... dan melihat penderitaan Suhu.... ah, apa yang dapat hamba lakukan kecuali berbakti dan membalas dendam kepada musuhnya?”

Pangeran Kian Liong menggeleng kepalanya sambil tersenyum penuh kesabaran. “Ahh, engkau masih terlalu muda, engkau tidak tahu dan hanya menurutkan perasaan saja, Nona. Apakah sebabnya engkau mendendam kepada Kaisar?”

“Hamba tidak mendendam kepada Kaisar, melainkan kepada Ai....”

“Ya, katakanlah mendendam kepada Ai Seng Kiauw. Mengapa?”

Gadis itu memandang dengan sepasang mata yang bersinar-sinar penuh kemarahan. “Karena dia membuat Suhu menjadi gila! Karena dia membunuh isteri Suhu!”

Pangeran itu menggeleng kepalanya. “Benarkah itu? Suhu-mu itu menjadi sakit dan gila, menurut hematku karena kelemahannya sendiri, Nona.”

“Tidak, Suhu menjadi sakit karena kematian isterinya. Dan isterinya membunuh diri karena diperkosa....”

“Hemm, kalau dipikir secara demikian, memang segala ini ada sebab-sebabnya tentu. Misalnya, mungkin sikap isteri Suhu-mu terlalu manis, atau dia itu terlalu cantik, dan harus diingat lagi bahwa sebab terjadinya peristiwa itu adalah karena Suhu-mu datang mengunjungi Ai Seng Kiauw, dan malah membawa isterinya lagi! Coba bayangkan, andai kata dia tidak datang ke istana, dan andai kata dia tidak membawa isterinya, dan andai kata isterinya itu tidak cantik, dan andai kata dia itu tidak tergila-gila main catur.... dan masih banyak andai kata lagi yang menjadi sebab-sebab terjadinya suatu peristiwa. Oleh karena itu, mengapa Nona menyeret diri ke dalam dendam? Ingatlah bahwa Ai Seng Kiauw itu adalah kaisar, dan berusaha membunuh Kaisar, dengan dalih apa pun juga, merupakan pemberontakan!”

Gadis itu kelihatan semakin gelisah dan bingung mendengar ucapan pemuda itu.

“Tapi.... tapi.... kalau hamba diam saja.... berarti hamba menjadi seorang murid yang tidak berbakti....!”

Pangeran itu tersenyum lebar. “Ingat, Nona, tentu engkau tahu bukan siapakah aku ini? Aku adalah seorang pangeran, aku putera Kaisar, berarti aku putera seorang yang kau kenal sebagai Ai Seng Kiauw itu. Aku adalah putera musuh besar yang hendak kau bunuh! Dan apa yang kulakukan? Alangkah mudahnya kalau aku mau mencontohmu untuk berbakti! Sekali berteriak engkau akan tewas dikeroyok pengawal. Akan tetapi aku tidak mau berbakti seperti itu, berbakti dengan membunuh orang! Nona, tidak dapatkah engkau berbuat seperti aku, menghapuskan segala macam dendam sehingga tidak akan ada permusuhan di antara kita?”

Gadis itu kelihatan semakin bingung. Belum pernah dia bertemu, bahkan mendengar pun belum, akan adanya seorang putera yang tidak memusuhi orang yang hendak membunuh ayahnya seperti Pangeran ini! Malah Pangeran ini menolongnya, biar pun sudah tahu bahwa dia datang untuk membunuh ayah Pangeran itu!

“Aku.... aku tidak tahu....”

“Apakah Nona menghendaki kalau Nona bermusuhan dengan Ayahku, kemudian aku pun memusuhimu? Tidak akan ada habisnyakah dendam-mendendam ini?”

“Tapi.... tapi Ayahmu.... dia jahat....”

Pangeran itu menarik napas panjang, dan menggeleng kepala, “Ayahku dahulu juga seorang pendekar, seorang gagah. Dan harus diakui bahwa dia seorang kaisar yang amat baik. Hanya dia mempunyai kelemahan, atau katakanlah dia sedang dalam keadaan sakit.... dan benarkah kalau kita harus membunuh orang yang sedang sakit? Ataukah tidak lebih tepat kalau kita berusaha mengobatinya?”

Tiba-tiba terdengar derap kaki banyak orang berlarian, semakin lama semakin dekat. “Hemm, agaknya pasukan pengawal akan mencarimu ke tempat ini, Nona.”

Dara itu meloncat bangun dan mencabut pedangnya, akan tetapi Pangeran Kian Liong berkata, “Jangan, Nona. Percuma saja engkau melawan mereka.”

“Habis, apakah aku harus menyerahkan diri begitu saja?”

“Aku ada akal. Cepat Nona menyelam di dalam kolam ikan, dan sembunyikan kepala di bawah dan di antara daun-daun teratai. Cepat!”

Karena dia sendiri memang sedang bingung dan panik, Li Hwa tidak melihat akal lain dan dia pun lalu masuk ke dalam kolam ikan! Air kolam itu setinggi dadanya dan dia pun menekuk lututnya sehingga terbenam sampai ke bawah mulut dan dia menyembunyikan sisa kepalanya di antara daun-daun teratai, di bagian yang gelap dari kolam itu.

Ketika pasukan pengawal memasuki taman dan tiba di dekat kolam ikan itu, Pangeran Kian Liong sedang melempar-lemparkan batu-batu kecil ke tengah kolam, membuat air kolam itu tergerak-gerak dan agak berombak.

“Maaf, Pangeran,” kata seorang perwira pengawal setelah mereka semua memberi hormat. “Akan tetapi sebaiknya kalau Paduka masuk ke istana karena ada penjahat berkeliaran di sini. Tujuh orang sudah tewas, akan tetapi seorang dari mereka masih belum tertangkap.”

Pangeran Kian Liong mengerutkan alisnya. “Tidak perlu kalian mengurus aku! Pergilah dan carilah dia sampai dapat. Dia tidak berada di sini. Hayo pergi dan jangan ganggu, aku lagi!”

Komandan itu dan pasukannya menjadi ketakutan melihat Sang Pangeran bicara dengan sikap marah itu. Dengan hormat mereka lalu mengundurkan diri dan baru setelah tidak terdengar lagi langkah-langkah kaki mereka, Pangeran memberi isyarat kepada Li Hwa untuk keluar dari dalam air.

Gadis itu keluar dan Pangeran Kian Liong memandang dengan terpesona. Karena basah maka pakaian gadis itu melekat pada tubuhnya dan seperti mencetak bentuk tubuh yang padat langsing itu.

“Terima kasih, Paduka telah menyelamatkan hamba, Pangeran.”

Baru Sang Pangeran sadar ketika mendengar ucapan itu dan timbul rasa kasihan melihat seluruh tubuh gadis itu basah kuyup. “Ah, engkau basah kuyup, Nona. Engkau bisa sakit nanti. Mari ikut denganku, engkau harus bertukar pakaian dan baru nanti kuantar engkau keluar dari dalam istana.”

Tanpa banyak cakap lagi Li Hwa lalu diajak pergi dari taman, memasuki kamar Sang Pangeran. Beberapa orang pelayan memandang heran, juga beberapa orang thaikam yang bertugas menjaga malam itu. Akan tetapi Sang Pangeran menaruh telunjuk pada mulutnya dan mereka itu berlutut dan tidak berani mengangkat muka, maklum bahwa Sang Pangeran minta agar mereka menutup mulut. Mereka hanya merasa heran bukan main. Melihat Pangeran itu datang bersama seorang gadis cantik, tentu saja hal seperti itu tidak mendatangkan keheranan sungguh pun Pangeran Kian Liong bukan seorang pengejar wanita cantik. Akan tetapi datang bersama seorang gadis yang seluruh tubuhnya basah kuyup, sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali.

Pangeran Kian Liong mengajak Li Hwa memasuki kamarnya dan menutupkan pintu kamar itu. Kemudian ia mengambil satu stel pakaiannya dan memberikannya kepada Li Hwa. “Nah, kau boleh berganti pakaian kering ini, Nona. Dengan pakaianku ini engkau akan menjadi seorang pemuda dan akan mudah untuk kuantar keluar dari istana tanpa mendatangkan kecurigaan. Pakailah, engkau dapat berganti pakaian di balik tirai itu.”

Li Hwa menerima pakaian itu dengan muka berubah merah, lalu dia pergi ke balik tirai hijau yang tergantung di sudut kamar, menanggalkan pakaiannya yang basah, lalu mengenakan pakaian Pangeran itu yang tentu saja agak terlalu besar untuknya. Ketika dia telah selesai dan keluar dari balik tirai sambil membawa pakaiannya yang basah dan sudah digulungnya, Pangeran itu memandang dengan wajah berseri dan kagum.

“Ah, engkau telah berubah menjadi seorang kongcu yang tampan sekali!”

Li Hwa menunduk dan mukanya menjadi merah. Makin lama dia merasa makin tertarik kepada Pangeran ini sebagai seorang yang amat bijaksana dan dapat menghargai orang kang-ouw, juga amat adil dan berpandangan luas. Sekarang dia bertemu dengan Pangeran ini dan menyaksikan sendiri tindak-tanduk Pangeran ini yang memang amat bijaksana.

“Sekarang, bagaimana selanjutnya, Pangeran?” tanya Li Hwa sambil mengangkat muka memandang pangeran itu.

Kembali Pangeran Kian Liong terpesona. Sekarang mereka berada di dalam kamarnya yang terang dan dia melihat dengan jelas wajah itu, sepasang mata itu dan dia merasa benar-benar kagum sekali hingga pertanyaan itu seperti tak terdengar olehnya. Melihat betapa Pangeran itu memandang bengong kepadanya, Li Hwa kembali menunduk dan barulah Sang Pangeran sadar.

“Ohhh.... sekarang.... hemm, biarlah sekarang aku akan mengantarmu sendiri sampai keluar dari istana. Tidak akan ada yang berani menyentuh selembar rambutmu, Nona. Kemudian, setelah tiba di luar istana, engkau boleh keluar dari kota raja dan kau pakailah cincinku ini. Dengan cincin ini dan sepucuk suratku ini, engkau akan dapat pergi ke mana pun juga tanpa ada yang berani mengganggumu.” Pangeran itu lantas meloloskan sebuah cincin bermata merah yang ada ukiran huruf-huruf namanya, berikut sampul surat yang ditulisnya ketika Li Hwa bertukar pakaian tadi.

Li Hwa menerima cincin dan sampul itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sang Pangeran. “Pangeran telah menyelamatkan hamba, hamba telah hutang nyawa kepada Paduka. Hamba tak mungkin dapat membalasnya dan....”

“Li Hwa, bangkitlah.” Sang Pangeran memegang kedua pundaknya dan menariknya berdiri. Mereka berdiri berhadapan dekat sekali dan kedua tangan Pangeran itu masih berada di atas pundak Li Hwa. “Engkau tak perlu membalas, tak perlu berterima kasih. Aku akan merasa girang sekali kalau engkau mau membuang jauh-jauh dendam dari hatimu itu.”

Dara itu menunduk, dan mengangguk, lalu mengangkat muka memandang. Sepasang matanya bersinar lembut dan bisikannya menggetar. “Demi Paduka, mengingat akan kebijaksanaan Paduka, hamba berjanji akan membuang dendam itu, Pangeran. Kini hamba melihat bahwa memang tiada gunanya semua itu, bahkan Paduka sendiri yang semestinya yang menghukum hamba, bersikap begini mulia.”

“Bagus! Aku girang sekali, Li Hwa. Dan ingatlah, kelak.... kalau aku sudah menjadi kaisar....”

“Ya....?” Li Hwa mendesak, melihat pemuda bangsawan itu nampak malu-malu untuk melanjutkan ucapannya.

“....dan jika engkau masih bebas.... engkau boleh datang ke sini mengembalikan cincin ini...., dan engkau selamanya boleh tinggal bersamaku di dalam istana.... tentu saja di sampingku....”

Jantung Li Hwa berguncang keras, jalan darahnya menjadi cepat dan dia menundukkan muka sampai dagunya menempel di dada. Sungguh tak disangka-sangkanya sama sekali ucapan Pangeran ini! Dia sudah merasa berhutang budi, putera Kaisar yang sepatutnya menyerahkannya kepada pengawal, yang sepatutnya menghukumnya sebagai seorang pemberontak yang berusaha membunuh Kaisar, bukan hanya malah menyelamatkannya, menolongnya, bahkan kini secara tidak langsung mengaku cinta kepadanya dan minta dia untuk kelak mendampinginya atau menjadi isterinya!

Rasa haru yang amat mendalam membuat Li Hwa memejamkan matanya, hampir tidak percaya akan kata-kata yang didengarnya tadi. Kalau Pangeran ini bersikap kasar atau merayunya, mencoba untuk memperkosanya, hal itu tidak akan mengherankan hatinya, bahkan tadi dia sudah mempunyai dugaan seperti itu dan diam-diam sudah mengambil keputusan bahwa kalau Pangeran itu mencoba untuk memperkosanya atau bersikap kurang ajar kepadanya, dia akan membunuh Pangeran itu lalu mengamuk sampai titik darah terakhir.

Akan tetapi, sama sekali tidak terjadi hal seperti itu! Sang Pangeran ini bukan saja telah menyelamatkannya, bahkan bersikap amat sopan dan baik sekali kepadanya, bahkan kini menyatakan cintanya dengan cara tidak langsung, malah ‘meminangnya’ secara tidak langsung pula! Dia merasa terharu sekali, dan merasa terpukul betapa tadi dia merasa curiga dan mengira bahwa Pangeran itu akan memperkosanya…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman