SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-23


“Bocah lancang she Kam, lebih baik serahkan suling itu kepada kami!” bentak Sam-ok sambil memandang ke arah suling emas di tangan Kam Hong seperti seorang anak kecil melihat sebuah mainan yang amat menarik hatinya.

Tentu saja Im-kan Ngo-ok sudah pernah mendengar mengenai keluarga Suling Emas yang meninggalkan pusaka suling emas dan ilmu-ilmu mukjijat, dan kini melihat pemuda ini, perhatian mereka jadi bercabang, sebagian masih menginginkan Koai-liong Po-kiam akan tetapi sebagian lagi menginginkan suling emas pusaka itu!

“Hemm, kalian ini orang-orang tua yang terlalu jauh tersesat,” kata Kam Hong.

Dan dia pun segera menggerakkan suling dan kipas untuk menerjang mereka. Kini dia menerjang lebih dulu karena dia sedang berusaha untuk mencegah mereka mengejar Pek In yang sudah melanjutkan larinya. Biarlah dara itu menyelamatkan diri lebih dulu, karena kalau dara itu sudah terbebas dari ancaman lima orang ini, dia pun akan mudah meninggalkan mereka.

Akan tetapi sekali ini, lima orang Im-kan Ngo-ok agaknya sudah mempersiapkan diri. Dan memang semalam mereka telah berunding bagaimana sebaiknya kalau mereka berhadapan lagi dengan pemuda yang luar biasa lihai itu. Kemarin sore, Ji-ok, Sam-ok, Su-ok dan Ngo-ok telah mengeroyoknya dan merasakan kelihaiannya yang luar biasa, dan kini mereka semua maju. Dipimpin oleh Toa-ok yang mengeluarkan suara geraman aneh, mereka berlima sudah berlompatan mengurung Kam Hong.

Mula-mula Ngo-ok mengeluarkan gerengan serigala dan tubuhnya telah berjungkir balik, berloncatan di atas kedua tangan dan kadang-kadang menggunakan kepalanya dengan gerakan yang gesit dan terlatih. Su-ok juga sudah merendahkan tubuhnya yang sudah pendek sekali itu hingga dia nampak seperti seekor katak yang siap hendak menerkam dan meloncat, perutnya menggembung mengumpulkan tenaga pukulan Katak Buduk.

Ada pun Sam-ok Ban-hwa Sengjin, yang biar pun termasuk orang ke tiga dari mereka namun memiliki kepandaian yang setingkat dengan Ji-ok dan memiliki pengalaman yang paling luas di antara para saudaranya, juga sudah memasang kuda-kuda lalu tubuhnya mulailah bergerak berpusing perlahan-lahan seperti kitiran yang mulai digerakkan oleh angin lembut! Inilah pembukaan dari ilmu yang paling dia andalkan, yaitu Ilmu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi).

Ji-ok, nenek bertopeng tengkorak tulen itu sudah siap dengan ilmunya yang hebat, yaitu pukulan-pukulan dengan Ilmu Kiam-ci atau Jari Pedang, dengan kedua telunjuk tangan yang berubah berkilauan itu. Dan orang pertama dari mereka, Toa-ok, juga sudah siap dengan kedua tangan panjang tergantung di kanan kiri, kelihatannya dia seperti tidak memasang kuda-kuda, tetapi kakek seperti gorila ini sesungguhnya amat berbahaya.

Melihat mereka berlima telah siap dan mulai bergerak mengelilinginya dalam kepungan, Kam Hong menerjang ke arah Toa-ok sebagai orang pertama yang disangkanya tentu paling lihai. Sulingnya berubah menjadi sinar kuning emas yang lebar, panjang dan terang, yang mengeluarkan suara melengking merdu. Suara itu menyambar ke arah telinga sedangkan ujung suling menotok ke arah jalan darah di bawah telinga itu.

“Huhhh....!” Toa-ok mendengus dan lengan kirinya yang panjang itu segera menyambar. Lengannya menangkis suling sedangkan tangannya dilanjutkan mencengkeram ke arah leher lawan.

Namun Kam Hong sudah mengelak dan menggerakkan sulingnya ke atas, bersiap-siap melanjutkan serangannya. Kipasnya dibuka, kemudian diputar ke kiri untuk menangkis serangan Ngo-ok dan Ji-ok sekaligus. Lalu, dengan mengeluarkan suara berdengung aneh, sulingnya membuat corat-coretan di udara secara aneh karena tubuhnya juga terbawa oleh gerakan suling dan ternyata dia menulis di udara, mencorat-coretkan huruf Tiong yang membuat sulingnya bergerak melingkar membentuk segi empat, sekaligus setiap gerakan menyerang seorang lawan sehingga empat orang lawan di sekelilingnya itu disambar sinar suling semua, kecuali Toa-ok yang menerima serangan langsung sebagai penutup huruf Tiong itu, serangan mengerikan karena suling itu menyambar dari atas ke bawah seperti petir menyambar.

“Ohhh....!” Toa-ok menahan dengan kedua lengannya, dibantu oleh Ji-ok yang menahan suling itu dengan Kiam-ci.

“Dessss.... takkkk!”

Tubuh Toa-ok dan Ji-ok terpelanting. Mereka tidak terluka hebat, tapi tetap saja mereka terpelanting dan mengalami kekagetan hebat karena mereka merasakan seolah-olah serangan suling tadi bagaikan serangan petir sungguh-sungguh. Mereka menjadi marah dan mulailah mereka menghujankan serangan bertubi-tubi dan secara teratur, satu demi satu namun saling berganti dan saling membantu sehingga serangan itu terus menerus dan sambung-menyambung.

Menghadapi penyerangan Im-kan Ngo-ok yang agaknya menggabungkan ilmu mereka itu, Kam Hong tidak berani berlaku lengah atau sembrono, maka dia pun mengeluarkan teriakan melengking nyaring. Tiba-tiba gerakan sulingnya berubah. Ia telah menyimpan kipasnya dan kini sepenuhnya mengandalkan sulingnya dalam permainan Kim-siauw Kiam-sut yang hebat luar biasa. Nampaklah gelombang sinar dan suara, sinar kuning emas yang memenuhi tempat itu dan gelombang suara yang tinggi rendah, amat aneh dan menggetarkan jantung siapa yang mendengarnya.

Sementara itu, dengan lari secepatnya akhirnya Cu Pek In telah tiba di daerah goa yang dijadikan tempat berlatih Sim Hong Bu, suheng-nya. Tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika dia melihat suheng-nya itu duduk di luar goa yang tertutup batu besar itu, duduk di atas sebongkah batu dan di depannya duduk pula seorang gadis cantik yang segera dikenalnya karena gadis itu bukan lain adalah Ci Sian! Akan tetapi rasa girang dan lega hatinya mengalahkan keheranannya, maka begitu Hong Bu bangkit berdiri dan memandang kepadanya, serta dengan mata terbelalak berseru,

“Sumoi....!”

Pek In lalu menghampiri dan segera merangkul pundak suheng-nya itu dan menangis!

“Ehhh, ada apakah, Sumoi? Apa yang telah terjadi?” tanya Sim Hong Bu dengan kaget bukan main.

Dia tadi sudah merasa terheran-heran melihat Pek In berlari-lari mendatangi di pagi hari itu dan kini keheranannya bertambah dan dia terkejut melihat sumoi-nya menangis, hal yang amat jarang terjadi karena sumoi-nya adalah seorang dara perkasa yang gagah dan bahkan agaknya pantang menangis atau setidaknya juga tidak secengeng wanita biasa.

“Suheng.... aku.... aku baru saja terlepas dari bahaya.... Im-kan Ngo-ok telah…. telah menangkapku.... dan aku.... aku tertolong oleh....“

“Di mana mereka?” Hong Bu sudah memotong kata-kata itu. Pada saat itu terdengarlah bunyi lengking suling itu.

“Penolongku sedang menghadapi mereka.... kau bantulah dia, Suheng....,” kata Pek In dan mendengar suling itu, Ci Sian sudah melompat bangun.

“Itu.... itu suling Paman.... ehh.... Suheng-ku Kam Hong....!” Dan dia pun lalu lari ke arah suara suling itu.

Sementara itu, tahulah Hong Bu bahwa sumoi-nya telah tertolong oleh suheng dari Ci Sian seperti yang diceritakan oleh dara itu, maka dia pun cepat lari memasuki goa, mengambil pedangnya, lalu menutup kembali batu di depan goa dan menarik tangan sumoi-nya, “Mari kita bantu dia!” Mereka pun berlari-lari menuju ke arah suara itu ke mana Ci Sian sudah lebih dulu lari.

Ketika Hong Bu dan Pek In tiba di tempat itu, mereka melihat Ci Sian sudah berada di situ dan mendengar dara ini mengeluarkan suara keras, memaki-maki dan mengejek lima orang pengeroyok itu.

“Cih, kalian ini lima ekor siluman tua bangka sungguh tak bermalu! Mau ditaruh ke mana muka kalian yang sudah perot kempot itu, hah? Lima tua bangka mengeroyok seorang pemuda, sungguh tidak tahu malu. Itukah namanya tokoh kang-ouw? Huh, pengecut curang, tak berharga! Malu! Malu!”

Diam-diam Hong Bu tersenyum geli dan tahulah dia bahwa Ci Sian adalah seorang dara yang penuh semangat dan gairah, jenaka, galak, keras, hangat dan beraninya luar biasa. Akan tetapi dia pun amat kagum menyaksikan sinar kuning emas bergulung-gulung seperti gelombang dahsyat itu. Dan karena memang sejak pertemuan pertama kali dia sudah amat kagum kepada Kam Hong, maka kini diam-diam dia merasa makin kagum dan suka kepada pendekar sakti itu. Akan tetapi dia pun terkejut karena maklum bahwa lima orang pengeroyok itu pun bukan orang sembarangan dan merupakan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi bukan main. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi dia pun lalu meloncat ke depan, menghunus pedangnya dan berseru. “Kam-taihiap, biar aku membantumu!”

Kam Hong sudah melihat munculnya Ci Sian dan hatinya merasa girang, tetapi juga mulai khawatir. Tadi dia melindungi Pek In dan setelah nona itu dapat menyelamatkan diri, eh, kini muncul Ci Sian yang tentu saja harus dilindunginya! Kemudian muncul pula Pek In dan seorang pemuda yang kelihatannya gagah perkasa sekali.

Ketika melihat pemuda itu mencabut pedang dan meloncat ke dalam pertandingan, dia merasa kaget dan kagum bukan main, juga sekarang dia mulai ingat bahwa dia agaknya pernah bertemu dengan pemuda perkasa ini. Namun dia tidak sempat bertanya atau mengingat-ingat karena sudah dibikin kagum bukan main menyaksikan gerakan pedang dari pemuda itu. Gerakan pedang yang mengimbangi gelombang sinar sulingnya, dan pedang itu bahkan mengeluarkan suara mengaung-ngaung yang menandingi lengking suara sulingnya! Sebatang pedang yang ampuh dan ilmu pedang yang luar biasa.

“Ahhh, Koai-liong Po-kiam dan Suling Emas kedua-duanya hendak diserahkan kepada kita, ha-ha!” Sam-ok tertawa akan tetapi suara ketawanya ini sebetulnya hanya untuk menyembunyikan rasa khawatirnya menyaksikan permainan pedang sehebat itu yang membantu gelombang sinar suling yang sukar dilawan itu.

Dan memang kekhawatiran Sam-ok itu beralasan. Hebat bukan main permainan suling dan pedang itu, bergulung-gulung seperti dua ekor naga bermain-main di angkasa, bergelombang seperti badai mengamuk sehingga tempat itu penuh dengan sinar pedang yang kebiruan dan sinar suling yang keemasan! Indah bukan main sehingga baik Pek In mau pun Ci Sian sampai memandang bengong terlongong. Indah dan juga menggetarkan sampai debu salju bertebaran dan semua itu ditambah lagi dengan suara melengking dari suling dan suara mengaung dari pedang, seolah-olah ada dua suara saling sahut atau saling mengiringi dalam perpaduan suara yang aneh sekali.

Lima orang Im-kan Ngo-ok itu berusaha untuk mempertahankan diri, akan tetapi kini keadaannya berbalik sudah. Bukan Im-kan Ngo-ok berlima yang mengeroyok, bahkan mereka berlima itulah yang terkurung dan terdesak oleh sinar pedang dan suling yang datang dari semua jurusan, seolah-olah mereka itu dikeroyok oleh belasan orang lawan! Selama mereka hidup, baru sekarang Im-kan Ngo-ok mengalami hal seperti ini, bertemu dengan dua orang muda yang tak terkenal, akan tetapi telah memiliki kepandaian yang luar biasa dahsyatnya dan masing-masing memegang pusaka-pusaka yang telah di jadikan rebutan oleh dunia kang-ouw. Suling Emas dan Pedang Naga Siluman muncul bersama! Bukan main!

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan susul-menyusul dan mula-mula tubuh Ngo-ok yang berjungkir balik itu roboh terguling disusul terlemparnya tubuh Su-ok dan keduanya memegangi pundak dan paha yang berdarah terkena sambaran pedang! Kemudian disusul Toa-ok terjengkang terkena totokan ujung suling yang mengenai pundak kirinya, dan juga Ji-ok terkena hantaman suling pada punggungnya yang membuat nenek ini terguling. Pada saat yang berikutnya, hanya berselisih beberapa detik saja, sinar pedang dan sinar suling menyambar ke arah Sam-ok! Sam-ok sudah ternganga ketika sinar biru menyambar ke arah lehernya!

“Tak perlu membunuh!” terdengar Kam Hong berseru dan Sam-ok roboh terguling kena tertotok ujung suling yang mengenai tengkuknya.

“Cringgg!” nyaring sekali suara susulan disertai muncratnya bunga api ketika suling itu langsung menangkis pedang yang nyaris membabat leher Sam-ok.

Baik Kam Hong mau pun Hong Bu meloncat ke belakang dengan tangan tergetar dan cepat-cepat mereka memeriksa senjata masing-masing dan merasa lega bahwa senjata mereka tidak rusak.

Lima orang Im-kan Ngo-ok itu tidak terluka parah dan mereka sudah bangkit kembali, sejenak memandang kepada dua orang muda itu bergantian, kemudian mereka lalu melompat dan pergi meninggalkan tempat itu tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut mereka.

“Tak usah dikejar musuh yang sudah mengaku kalah dan melarikan diri,” kata pula Kam Hong melihat Hong Bu hendak mengejar mereka.

Sim Hong Bu menyimpan pedangnya dan menghadapi Kam Hong, sinar matanya penuh kagum dan ia lalu menjura. “Sungguh beruntung dapat bertemu dengan Kam-taihiap lagi di tempat ini, terutama dapat menikmati ilmu Taihiap yang sungguh amat mengagumkan sekali.”

Kam Hong menarik napas panjang. Dia kini dapat mengerti bahwa pemuda inilah yang menjadi suheng dari Pek In dan kalau pemuda ini dengan pedang yang diandalkan oleh keluarga Cu, maka mereka itu bukanlah omong kosong belaka, “Engkau pun memiliki kepandaian yang amat mengagumkan hatiku, orang muda....”

“Taihiap, namaku adalah Sim Hong Bu, kita pernah saling bertemu beberapa tahun yang lalu....”

“Hong Bu pernah menolongku pada waktu Su-bi Mo-li muncul dahulu, Paman.... ehhh, Suheng....!” kata Ci Sian.

Mendengar sebutan yang ragu-ragu ini, Kam Hong tersenyum. Dia maklum akan isi hati dara ini, yang tentu telah bercerita kepada Hong Bu bahwa dia adalah suheng-nya, maka kini menyebutnya suheng. Dan memang sesungguhnyalah, bukankah Ci Sian itu sumoi-nya, mengingat bahwa mereka berdualah yang berhak menjadi murid kakek kuno yang mewariskan ilmu-ilmu itu. Mereka berdua sajalah yang berhak menyebut diri sebagai pewaris-pewaris ilmu itu dan menjadi murid jenazah kuno yang bernama Cu Keng Ong itu. Dan karena itu, maka sudah sepatutnyalah kalau mereka berdua saling menyebut suheng dan sumoi. Untuk menghilangkan keraguan Ci Sian dan juga untuk memberi muka kepada dara itu, dia pun lalu menjawab.

“Ya, aku teringat akan hal itu, Sumoi. Memang Sim Hong Bu ini seorang yang gagah, dahulu menolongmu dan sekarang pun menolongku pula.”

“Ahhh, Kam-taihiap harap jangan merendahkan diri. Sesungguhnya bukanlah aku yang menolong Taihiap, melainkan Taihiaplah yang menolong Sumoi-ku....”

“Ehh, Hong Bu, setelah kita saling mengenal seperti ini, perlu lagikah engkau menyebut-nyebut Taihiap kepada Suheng? Rasanya tidak enak benar,” Ci Sian mencela.

Kam Hong tertawa. “Benar apa yang dikatakan Sumoi, Hong Bu. Mulai sekarang jangan menyebut Taihiap, sebut saja Toako, cukuplah.”

“Suheng, mari kita pergi dari sini.... Ayah tentu akan merasa gelisah sekali karena sejak kemarin aku belum pulang. Kau antarlah aku pulang agar supaya Ayah dan para Paman percaya apa yang telah terjadi,” kata Pek In dan dia pun lalu memegang tangan Hong Bu dan menarik pemuda itu untuk pergi.

“Sumoi, engkau telah diselamatkan oleh Kam-tai.... Kam-twako, sudah sepatutnya kita menghaturkan terima kasih.”

“Aku.... aku....!” Pek In memandang bingung dan membuang muka.

Kam Hong maklum akan apa yang dirasakan oleh dara itu, maka dia pun tertawa. “Sudahlah, di antara kita, perlukah bersikap sungkan dan pakai segala macam terima kasih segala?”

“Suheng, marilah!” Pek In kembali menarik tangan Hong Bu. Pemuda ini memandang kepada Ci Sian dengan pandang mata penuh kasih sayang dan kemesraan, juga penuh dengan perasaan kecewa dan duka karena mereka harus berpisah itu.

“Ci Sian.... kapankah kita dapat saling bertemu kembali?” Suara pemuda remaja itu terdengar gemetar penuh perasaan, penuh harapan.

Sinar mata Sim Hong Bu dan suaranya ini tidak lepas dari perhatian Kam Hong yang berpandangan tajam dan tahulah dia bahwa pemuda perkasa itu agaknya jatuh hati kepada Ci Sian! Juga Pek In adalah seorang wanita dan biasanya, seorang wanita amat peka terhadap sikap pria dan seorang wanita akan mudah sekali mengetahui apabila melihat pria yang jatuh cinta, maka Pek In juga dapat melihat sinar mata penuh kasih dan suara yang menggetar mesra penuh harapan itu.

Pada saat yang sama itu, timbullah rasa cemburu yang amat menyakitkan hati di dalam diri Cu Pek In dan.... Kam Hong! Pendekar ini terkejut sendiri. Cepat dia memejamkan mata dan menarik napas panjang untuk mengusir pikiran yang dianggapnya tidak benar itu. Mengapa dia merasa cemburu kalau ada seorang pemuda jatuh cinta kepada Ci Sian, hal yang sudah sewajarnya itu?

Sementara itu, Ci Sian sendiri hanya merasa suka terhadap Hong Bu, pemuda yang selain amat baik, gagah perkasa, ternyata juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat itu. Dalam keadaan biasa, tentu dia pun akan bersikap biasa dan ramah saja terhadap pemuda itu. Tetapi melihat betapa sikap Pek In amat mesra dan manja, melihat betapa dara itu kelihatan tak senang ketika Hong Bu bicara dengannya, timbul perasaan panas di hati dara ini. Maka dia pun tersenyum manis sekali kepada Hong Bu dan berkata. “Hong Bu, kalau ada jodoh tentu kita kelak akan dapat saling bertemu kembali! Selamat berpisah, Hong Bu.”

Ucapan ini sebetulnya biasa, akan tetapi karena sikap Ci Sian sengaja dibuat menjadi sangat mesra, maka tentu saja kata-kata itu bisa diartikan lain, yaitu memang dara ini mengharap dengan sangat akan pertemuan kembali antara mereka, bahkan memakai kata ‘jodoh’ segala!

Pek In menjadi semakin cemberut, menarik tangan suheng-nya dan berkata, “Marilah Suheng!”

Karena ditarik tangannya, terpaksa Hong Bu pergi juga, akan tetapi sampai tiga kali dia menoleh ke arah Ci Sian yang berdiri sambil memandang dengan tersenyum manis.

“Dia memang seorang pemuda yang hebat!”

Mendengar ucapan Kam Hong ini, Ci Sian terkejut. Dia tadi masih memandang ke arah lenyapnya bayangan dua orang itu, dan kini dia terkejut mendengar kata-kata Kam Hong, bukan terkejut karena isi kalimatnya, melainkan karena suaranya. Suaranya amat berbeda, dan ketika dia menoleh dan memandang, dia merasa lebih berat lagi karena pada wajah yang tampan itu tampak bayangan kemarahan!

“Paman.... ehhh, Suheng.... bolehkan aku mulai sekarang menyebutmu Suheng saja? Bukankah engkau telah menganggapku sebagai Sumoi karena kita sama-sama menjadi murid jenazah kuno.... ehhh, siapa namanya...., Cu Keng Ong itu?”

Baru saja hatinya penuh dengan cemburu, tetapi kini melihat wajah Ci Sian yang cerah dan mendengar ucapannya, lenyaplah rasa cemburu itu dan Kam Hong tersenyum, lalu mengangguk. “Tentu saja boleh, bahkan memang engkau seharusnya menyebut aku Suheng, Sumoi.”

Ci Sian juga sudah merasa lega melihat Kam Hong tersenyum, “Ehh, Suheng, engkau tadi kenapa sih?”

“Kenapa bagaimana?”

“Suaramu tadi kaku dan wajahmu.... ah, aku berani bersumpah bahwa engkau tadi, baru saja, sedang dilanda kemarahan besar. Kenapa sih?”

Kam Hong merasa betapa wajahnya menjadi panas, maka cepat-cepat ia mengerahkan sinkang untuk menahan agar wajahnya tidak berubah merah. Dia tersenyum lagi dan cepat mencari alasan untuk sikapnya tadi, “Ahh, aku hanya tidak setuju melihat sikap Nona Cu tadi, menarik-narik Hong Bu seperti itu....”

“Memang gadis banci itu amat menjemukan! Dia kelihatan begitu manja dan mesra kepada Hong Bu, seolah-olah....”

“Memang Nona itu amat mencinta Hong Bu, apakah engkau tidak dapat menduganya?” dengan cepat Kam Hong berkata dan agaknya kata-kata ini baginya merupakan berita menyenangkan yang harus disampaikan secepatnya kepada Ci Sian.

Dara itu memandang kepada Kam Hong dengan alis berkerut, agaknya berita itu tidak menyenangkan hatinya. “Hemm, bagaimana engkau bisa tahu, Suheng?” tanyanya, tidak rela membayangkan bahwa di antara pemuda seperti Hong Bu itu terdapat cinta kasih dengan gadis seperti Cu Pek In.

“Ahhh, sudah nampak dengan jelas sekali, bagaimana aku tidak akan tahu? Lihat saja sikapnya ketika memandang kepada Hong Bu, saat bicara, dan cara dia menggandeng tangan pemuda itu....”

“Huh, dasar banci tidak tahu malu! Akan tetapi, belum tentu kalau Hong Bu juga cinta padanya, Suheng.”

Kini, Kam Hong mengerutkan alisnya. Memang demiklanlah kenyataan yang dilihatnya. Hong Bu agaknya tidak mencinta Pek In, sebaliknya dia khawatir kalau pemuda itu jatuh cinta kepada Ci Sian. Akan tetapi dia tidak mau bicara tentang ini.

“Entahlah, Sumoi. Akan tetapi, harus kuakui bahwa Hong Bu memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali....”

“Aku sudah tahu, Suheng. Aku pernah mendengar suara pedangnya yang mengaung-ngaung ketika aku lewat di sini, suara itu keluar menembus batu besar yang menutup goa ini. Dan dia mendorong batu besar ini dengan satu tangan saja. Sekarang aku tahu bahwa dia.... sengaja membiarkan dirinya kena pukul olehku kemarin....”

“Engkau memukulnya?”

Ci Sian lalu menceritakan pertemuannya dengan Hong Bu yang mengira dia Pek In sedangkan dia sendiri menyangka Kam Hong yang berada di balik batu. “Kami memang saling mengenal begitu bertemu muka, Suheng. Akan tetapi ketika dia mengaku bahwa dia adalah murid keluarga Cu, aku segera menganggapnya musuh dan menyerangnya. Iia tak pernah melawan, akhirnya aku dapat memukul dadanya sampai dia terpelanting, dan kemudian kami berbaikan. Sekarang aku tahu bahwa dia agaknya kemarin sengaja membiarkan dirinya terpukul. Suheng, dia adalah murid keluarga Cu itu! Dialah yang mewarisi pedang pusaka itu, juga ilmu pedang pusaka....”

“Benar sekali, kuduga akan hal itu ketika aku tahu bahwa dia adalah suheng Nona Cu. Dan melihat cara dia bermain pedang, aku pun dapat menduga bahwa tentu itulah ilmu yang dimaksudkan oleh Cu Han Bu. Hemmm.... Ilmu Koai-liong Kiam-sut itu memang hebat dan agaknya memang dapat merupakan lawan tangguh sekali dari Kim-siauw Kiam-sut kita, Sumoi.”

“Tidak mungkin!”

“Apa maksudmu, Sumoi?”

“Tidak mungkin Hong Bu mau memusuhi kita! Dia seorang yang baik, tidak seperti keluarga Cu.”

Kam Hong menarik napas panjang lagi. Kenapa hatinya merasa tidak enak mendengar dara ini memuji diri Hong Bu? Padahal, dia sendiri pun harus mengakui kebenaran ucapan itu. Hong Bu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik.

“Mungkin saja dia sendiri tidak, tetapi bagaimana kalau masih ada anggota atau murid keluarga Cu yang lain, yang memiliki ilmu pedang itu dan kelak berusaha mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut kita?”

“Akan kita hadapi! Kim-siauw Kiam-sut kita tidak harus kalah!”

“Bagus sekali semangat itu, Sumoi. Tetapi untuk membuktikan hal itu, ada syaratnya, yaitu bahwa kita harus mempelajari ilmu kita sebaik mungkin sampai sempurna. Nah, mulai sekarang kau tekunlah berlatih, Sumoi.”

“Baik, Suheng.”

“Sekarang aku pun akan kembali ke timur, bagaimana.... bagaimana dengan engkau, Sumoi?”

“Ke timur....?” Ci Sian terkejut karena tak pernah terpikirkan olehnya bahwa dia akan mendengar kata-kata ini. “Kenapa Suheng?”

“Aihh, Sumoi, apakah engkau lupa? Aku datang ke tempat ini sebetulnya adalah untuk mencari Yu Hwi, seperti pernah kuceritakan kepadamu. Sekarang setelah kutemukan dia dan engkau mendengar sendiri janjinya untuk pulang mengunjungi kakeknya agar urusan pertalian antara dia dan aku dapat diputuskan secara resmi dan terhormat.”

“Ke manahah engkau hendak pergi, Suheng?”

“Ke Pegunungan Tai-hang-san. Di sana selalu tinggal kakek dari Yu Hwi yang pernah membimbingku sebagai guru, yaitu Sai-cu Kai-ong, juga kini tinggal pula Sin-siauw Sengjin, kakek tua yang seperti kakekku sendiri. Kakek inilah satu-satunya orang seperti keluargaku, sungguh pun antara kami tidak ada hubungan darah. Dia adalah keturunan dari orang yang pernah menjadi pembantu nenek moyangku, dan dia pulalah yang dengan setia menyimpan dan mewarisi ilmu-ilmu dari nenek moyangku untuk kemudian diturunkan kepadaku. Aku berhutang budi banyak sekali kepada dua orang kakek itu. Dan karena Kakek Sin-siauw Sengjin kini tinggal pula di Tai-hang-san, tidak berjauhan dengan Suhu Sai-cu Kai-ong, maka mudah bagiku untuk pergi mengunjungi mereka berdua.”

“Selain mereka, engkau tidak mempunyai keluarga lainnya?”

Kam Hong menggeleng kepala. “Aku tidak mempunyai keluarga lain lagi. Sumoi, aku hendak pergi meninggalkan daerah yang dingin bersalju ini, ke timur di mana dunia penuh dengan sinar matahari. Maukah.... kau ikut bersamaku, Sumoi? Tidak! Bahkan aku akan senang sekali kalau engkau bersamaku, Sumoi. Ataukah.... kini engkau ingin mengunjungi orang tuamu.... aku boleh mengantarmu....”

“Tidak, aku tidak sudi bertemu dengan Ayahku! Aku akan ikut dengan Suheng, karena hanya engkau seoranglah yang kupunyai di dunia ini.”

Wajah yang tampan dan biasanya sangat tenang itu nampak gembira sekali, sepasang matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum. “Bagus, Sumoi! Dan kita akan berlatih silat di sepanjang jalan. Mari kita pergi!”

Demikianlah, dua orang itu, yang menjadi suheng dan sumoi secara kebetulan saja, yang mempunyai nasib yang sama, yaitu tidak mempunyai keluarga lagi di dunia ini yang boleh mereka tumpangi, kini melakukan perjalanan menuju ke timur, meninggalkan barisan Pegunungan Himalaya yang penuh dengan keajaiban itu…..

********************

Sudah terlalu lama kita tinggalkan Ang Tek Hoat yang hidup secara amat menyedihkan, seperti seorang jembel yang sama sekali tidak mengurus diri, selalu hidup seperti keadaan seorang gelandangan, juga sikapnya membayangkan otak yang tidak waras atau yang oleh umum mungkin dianggap seperti orang yang gila.

Kehidupan manusia memang kadang-kadang nampak menyedihkan sekali karena perubahan-perubahan yang terjadi menimpa diri seorang manusia seolah-olah membuat manusia yang tadinya berada di puncak tertinggi kini berada di tempat yang paling rendah. Si Jari Maut Ang Tek Hoat ini pernah menjadi calon mantu Raja Bhutan, di samping kedudukan panglima muda yang dipegangnya, menjadi calon suami seorang puteri cantik jelita seperti Syanti Dewi yang dicintanya. Betapa tinggi kedudukannya ketika itu, betapa penuh bahagia hidupnya. Dan dibandingkan dengan sekarang ini, sungguh orang takkan mau percaya bahwa jembel yang seperti orang gila itu adalah Si Jari Maut Ang Tek Hoat itu!

Orang akan melontarkan kesalahan kepada nasib. Namun, benarkah nasib yang mempermainkan kehidupan manusia? Apakah adanya nasib itu? Nasib hanya sebutan yang dipakai orang untuk menyatakan keadaan seseorang dalam kehidupannya. Dan kita tidak pernah mau membuka mata mempelajari suatu persoalan dengan penuh kewaspadaan, apalagi kita tidak mau menjenguk ke dalamnya untuk melihat bahwa segala sesuatu itu bersumber kepada diri kita sendiri. Melihat kesalahan diri sendiri merupakan hal yang tidak menyenangkan, juga mengerikan, maka kebanyakan dari kita lebih suka menutup mata dan melontarkan sebab-sebabnya kepada nasib!

Biar kelihatannya seperti orang gila, tetapi pria yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini tidak pernah menyesalkan nasib. Dia tahu benar akan kesesatan-kesesatan, kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukannya pada masa muda. Hal ini dapat dibuktikan betapa sering kali dia termenung dan mengeluh panjang pendek, bahkan kadang-kadang lirih terdengar kata-katanya seperti bicara kepada diri sendiri dan hal inilah yang membuat orang-orang menyangka dia gila.

“Ijinkanlah aku bertemu dengan dia sekali lagi untuk minta ampun dan membuktikan bahwa aku telah bertobat....!”

Kata-katanya itu sebenarnya sama dengan doa yang ditujukan kepada Tuhan agar dia dapat dipertemukan sekali lagi dengan kekasihnya, dengan Syanti Dewi supaya dia memperoleh kesempatan untuk meminta ampun atas semua kesalahannya kepada dara itu. Baru sekarang ia sadar benar betapa dia telah banyak menyebabkan penderitaan hidup atas diri dara yang amat dicintainya itu! Baru dia sadar betapa sebenarnya puteri itu amat mencintainya, mencintainya dengan murni, tidak seperti dirinya yang cintanya penuh dengan pementingan diri pribadi sehingga penuh dengan cemburu yang gila.

Hanya karena mencari Syanti Dewi maka Tek Hoat sampai terbawa arus orang-orang kang-ouw menuju Pegunungan Himalaya. Di Bhutan dia sudah menyelidiki dan ternyata Sang Puteri itu tidak berada di Bhutan. Jadi seolah-olah lenyap tanpa bekas! Maka dia pun ikut berkeliaran di Himalaya, sampai-sampai ia terbawa oleh orang-orang kang-ouw mengunjungi Lembah Gunung Suling Emas, bahkan lalu dia terlibat dalam pertempuran membantu Jenderal Muda Kao Cin Liong, keponakannya sendiri, menghadapi pasukan-pasukan Nepal. Tentu saja ia tak mau menerima penawaran jenderal muda yang masih keponakannya sendiri itu untuk membantu terus, dan dia pun langsung meninggalkan Lhagat. Dan karena merasa yakin bahwa dia tidak akan dapat menemukan Syanti Dewi di Pegunungan Himalaya, maka dia melakukan perjalanan kembali ke timur.

Meski dia sudah menjadi seorang yang berpakaian jembel dan hidupnya merana, tidak teratur, namun Tek Hoat sekarang jauh lebih mendekati kehidupan seorang manusia utama dibandingkan dahulu ketika dia masih menjadi hamba nafsu-nafsunya. Kini dia merupakan orang yang telah bertobat benar-benar, tidak pernah mau melakukan hal-hal yang buruk, bahkan menghadapi siapa pun juga, dia tidak memiliki sedikit pun perasaan benci atau ingin mengganggu.

Namun, hal ini bukan berarti bahwa dia bersikap masa bodoh dan tidak peduli, karena setiap menghadapi hal-hal yang tidak patut, melihat kejahatan berlangsung di depan mata, sudah pasti dia turun tangan membela atau melindungi pihak lemah dan menentang mereka yang bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi lenyaplah sudah Si Jari Maut yang dahulu mudah membunuh orang, karena kini dia cukup menggunakan kepandaiannya mengalahkan orang dan membuat orang itu takut untuk melanjutkan kejahatannya saja. Paling hebat dia hanya merobohkan lawan dan melukainya, luka yang tidak berbahaya bagi keselamatan nyawa lawan itu. Inilah Si Jari Maut Ang Tek Hoat atau juga Wan Tek Hoat sekarang, biar pun menjadi jembel miskin namun sepak terjangnya seperti seorang pendekar tulen!

Beberapa bulan kemudian setelah dia meninggalkan Lhagat, pada suatu hari dia sudah tiba di kota Kiu-kiang, sebuah kota yang cukup besar di ujung utara Propinsi Kiang-si. Tujuannya adalah ke Telaga Wu-ouw, yaitu sebuah telaga yang besar sekali di Propinsi Kiang-su, di sebelah utara kota Hang-kouw karena dia mendengar bahwa telaga yang amat besar itu indah sekali pemandangannya.

Seperti biasa, ketika dia memasuki sebuah kota, Tek Hoat langsung mencari tempat penginapan, bukan hotel atau losmen, melainkan dia mencari rumah-rumah kosong, atau kuil kosong. Akan tetapi sungguh sial baginya, kota Kiu-kiang itu merupakan kota yang ramai dan teratur sehingga dia tidak dapat menemukan sebuah pun rumah atau kuil kosong! Akhirnya, karena hari sudah hampir malam, dia terpaksa memilih tempat bermalam di bawah sebuah jembatan besar di tepi kota.

Dia membersihkan tempat itu yang penuh batu-batu dan semak berduri, menumpuk rumput kering lalu dia pun merebahkan diri di bawah jembatan sambil melamun. Asyik juga rebah di situ, melihat betapa jembatan itu agak bergerak-gerak kalau ada kuda atau kereta lewat, dan dari situ dia pun dapat mendengarkan orang-orang bercakap cakap di atas jembatan itu tanpa yang bicara tahu bahwa di bawah jembatan ada orang yang mendengarkan percakapan mereka. Bermacam-macam hal dibicarakan orang dan kadang-kadang Tek Hoat tersenyum sendiri jika mendengar percakapan yang lucu-lucu baginya.

Dalam keadaan seperti itu, di mana kita bebas dari segala hal yang kita dengar atau lihat, barulah kita dapat merasakan alangkah lucunya dan juga menyedihkan adanya kehidupan manusia ini. Percekcokan suami isteri akan terdengar lucu, karena sebelum mereka menjadi suami isteri, atau di waktu mereka masih pengantin baru, tentu suami isteri itu sendiri tak pernah membayangkan bahwa akan ada saat percekcokan di antara mereka, di mana kemarahan bahkan kebencian meracuni hati.

Kata-kata seseorang yang semanis madu terhadap orang lain tentu akan terdengar lucu karena kita akan melihat betapa kemanisan itu hanya merupakan kedok belaka, menjadi sebuah jembatan untuk mencapai sesuatu yang menjadi pamrih. Kepalsuan-kepalsuan dalam kehidupan kini nampak jelas oleh Tek Hoat, membuat dia makin merasa betapa kotornya dirinya, betapa dia telah melakukan segala macam kekotoran dan kepalsuan.

Karena kenyataan betapa palsunya dirinya dan semua manusia di sekelilingnya, betapa di balik setiap sikap, setiap senyum, kata-kata manis, bahkan hampir setiap perbuatan selalu bersembunyi sesuatu yang lain yang menjadi pamrih yang mendorong perbuatan palsu itu, maka mungkin saja inilah yang membuat Tek Hoat menjadi tak peduli kepada diri sendiri. Dia seperti orang yang merasa muak dengan dirinya sendiri dan seolah-olah membiarkan dirinya demikian untuk sekedar ‘menghukumnya’!

Tiba-tiba Tek Hoat bangkit duduk ketika dia mendengar percakapan yang amat menarik hatinya. Dan kebetulan sekali yang bicara itu agaknya berhenti di atas jembatan! Dia cepat mengerahkan pendengarannya untuk menangkap semua percakapan itu setelah kalimat pertama ini amat menarik hatinya.

“Kalau dia tidak mau seret saja sudah!” Kalimat Inilah yang membangkitkan perhatian Tek Hoat karena membayangkan akan terjadinya tindakan sewenang-wenang terhadap orang lemah.

“Ahh, orang macam dia mana bisa menggunakan kekerasan? Sebaiknya dibujuk saja,” terdengar suara orang ke dua.

“Oleh karena itulah maka aku mencari kalian dan kebetulan sekali bertemu dengan kalian di sini. Thio-wangwe mengatakan bahwa dia bersedia membayar lima belas tail perak kepada pelukis itu kalau mau melukisnya.”

“Lima belas tail?” seru suara pertama.

“Wah, sebuah lukisan untuk lima belas tail? Gila itu!”

“Bahkan dia masih menjanjikan untuk memberi hadiah dua tail perak kepadaku kalau aku dapat membujuknya,” kata orang ke tiga.

“Wah, hebat! Dari mana dapat mencari uang semudah itu? Mari kita pergi dan kita bujuk dia sampai dia mau!”

“Kalau tidak mau dibujuk, biar kuancam dia.”

“Aihhh, harus hati-hati, supaya dia mau. Kalau dia sudah mau dan menerima uang itu.... heh-heh-heh, mudah saja menggasak uang itu darinya. Pelukis tua kerempeng seperti itu mana bisa mempertahankan uang lima belas tail?”

Ketiga orang itu lalu meninggalkan jembatan, tidak tahu bahwa tak jauh di belakang mereka ada seorang pengemis brewok yang berjalan seenaknya sambil membayangi mereka. Pengemis ini bukan lain adalah Si Jari Maut!

Karena cuaca sudah mulai gelap, Tek Hoat lalu mendahului tiga orang itu ketika mereka lewat di bawah sinar lampu jalan dan dia melihat bahwa tiga orang itu berwajah licik dan kejam seperti wajah orang-orang yang biasanya melakukan kecurangan-kecurangan dengan jalan apa pun untuk memperoleh uang. Salah seorang di antara mereka bahkan membawa sebatang golok yang tergantung di pinggang dan selain bertubuh besar juga nampak bengis.

Mereka bertiga itu menuju ke sebuah losmen kecil di ujung kota yang letaknya agak terpencil dan sunyi. Tiga orang itu menerobos masuk dan ternyata pengurus losmen itu agaknya sudah mengenal Si Tinggi Besar yang membawa golok karena begitu melihat orang ini, pengurus itu kelihatan takut-takut dan menyambut dengan sikap menjilat.

Akan tetapi dengan bengis Si Tinggi Besar itu bertanya, “Di mana kamar pelukis tua she Pouw itu?”

“Di.... di sana, paling belakang, tetapi kami harap.... mohon agar jangan mengganggu tamu kami....”

Sementara itu, Tek Hoat sudah menahului mereka dan mengintai dari atas genteng. Mudah baginya menemukan kamar pelukis tua itu, karena memang tidak terlalu sukar menemukan seniman-seniman seperti pelukis, penyair dan sebagainya. Seorang kakek kurus yang berada di dalam kamar sendiri, bernyanyi-nyanyi kecil membaca sajak atau menggubah sajak karena tangannya tidak memegang apa-apa! Ketika dia tiba di atas kamar pelukis itu, dia mendengar orang tua itu sedang mendeklamasikan sajak yang agaknya tengah digubahnya.

....batin kosong tanpa isi....
....alam pun sunyi sepi....
....hening.... diam.... suci....
....seniman tua asyik
sepi sendiri....

“Tok-tok!” Ketukan pintu kamarnya mengejutkannya dan menariknya kembali ke dunia kenyataan. Dia bersikap tenang dan tanpa turun dari atas pambaringan di mana dia duduk bersila, dia menoleh ke pintu dan suaranya halus dan lirih, seolah-olah dia belum sepenuhnya kembali atau keluar dari dalam khayalnya.

“Siapa di luar?”

“Pouw-lo-siucai.... harap suka buka pintu, saya ada keperluan penting untuk dibicarakan dengan Lo-siucai!”

Kakek itu adalah sastrawan pelukis Pouw Toan. Seperti pernah kita kenal, sastrawan pelukis ini ketika dia mengunjungi Puteri Syanti Dewi di Pulau Kim-coa-to, Pouw Toan adalah seorang sastrawan perantau yang pandai sekali membuat sajak, menulis huruf indah dan melukis. Selain ini, dia juga seorang sastrawan yang banyak merantau di dunia kang-ouw dan banyak mengenal orang-orang gagah di seluruh dunia, bahkan dia adalah seorang sahabat baik dari suami isteri pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya yang amat terkenal, yaitu Puteri Milana.

Kakek Pouw Toan tersenyum pahit mendengar sebutan Lo-siucai itu. “Hemm, siapakah yang menjadi siucai? Aku tak pernah merebutkan titel, aku hanyalah rakyat kecil biasa, jangan sebut aku dengan Lo-siucai segala. Siapakah engkau yang berada di luar dan mengganggu orang yang sedang asyik sendiri?”

“Saya.... saya pelayan, ada perlu penting sekali!” kata suara di luar mendesak.

“Hemmm, aku ini seniman miskin, tidak takut maling dan rampok maka pintu kamarku tidak perlu dikunci. Kalau ingin masuk dan bicara, dorong saja pintunya terbuka,” kata Pouw Toan.

Daun pintu didorong dari luar. Diam-diam Tek Hoat telah siap dengan pecahan genteng di tangan, siap melindungi kakek itu jika tiga orang itu hendak menggunakan kekerasan. Dia tahu bahwa dengan pecahan genteng itu saja dia akan mampu melindungi kakek di dalam kamar yang aneh itu. Dia merasa amat tertarik kepada kakek itu, apalagi ketika mendengar sajaknya yang luar biasa tadi dan ingin sekali dia mengenal kakek itu lebih jauh, tentu saja mengenalnya dengan diam-diam karena selama bertahun-tahun ini dia tidak mau mengenal orang secara berdepan.

Ketika melihat bahwa yang masuk ada tiga orang yang memiliki wajah yang licik, Pouw Toan mengerutkan alisnya. “Hemm, kalian datang mau apakah? Jangan katakan bahwa kalian ini pelayan losmen.“

Salah seorang di antara mereka, yaitu orang yang diutus oleh Hartawan Thio dan yang membujuk dua orang kawannya untuk membantunya, menjura kepada Pouw Toan dan berkata, “Pouw-lo-siucai....”

“Sudah kukatakan aku bukan siucai segala! Lekas katakan apa keperluan kalian.”

“Eh.... ehh, begini, Pouw-sianseng....” katanya gagap karena biar pun kakek itu nampak kurus kerempeng, harus diakui bahwa dia amat berwibawa dan sikapnya bagai seorang pendekar gagah perkasa. “Kedatangan saya ini adalah atas kehendak Thio-wangwe. Saya diutus untuk....”

“Sudahlah, katakan kepada Thio-wangwe bahwa saya bukan tukang gambar orang....“

“Tapi Sianseng kemarin melukis seorang bocah penggembala kerbau di luar kota itu. Dan karena tertarik melihat hasil lukisan Sianseng, maka Thio-wangwe ingin sekali dirinya dilukis oleh Sianseng.”

“Beberapa kali sudah dia minta kepadaku untuk melukis dan aku sudah menolak. Aku hanya melukis apa yang ingin kulukis, biar dia itu penggembala kerbau atau benda berupa sampah sekali pun. Aku tidak mau dipaksa melukis seorang raja sekali pun, atau setangkai bunga indah sekali pun kalau aku tidak menghendakinya.”

Si Tinggi Besar itu agaknya sudah tidak sabar lagi. “Heiii, pelukis tua yang sombong! Thio-wangwe hendak memberimu lima belas tail perak, tahukah engkau? Lima belas tail perak! Ingat, dalam waktu berbulan-bulan engkau tidak akan mampu memperoleh uang sebanyak itu!”

Pouw Toan mengangkat mukanya memandang wajah Si Tinggi Besar yang bersikap kasar itu. Dia tersenyum sambil menggeleng kepalanya. “Seorang tua bodoh seperti aku ini sudah tak membutuhkan apa-apa, tidak butuh uang banyak, hanya butuh kebebasan untuk melukis, untuk bernyanyi, untuk apa saja yang mendatangkan kebahagiaan dalam hatiku. Apa artinya uang lima belas tail perak bagiku?”

“Bagimu tidak ada artinya, akan tetapi bagi kami ada!” bentak Si Tinggi Besar dengan marah dan tiba-tiba dia telah mencabut goloknya dan menodongkan ke arah dada kakek pelukis itu.

Tek Hoat hanya memandang dengan urat saraf menegang, akan tetapi dia belum turun tangan karena maklum bahwa Si Tinggi Besar itu hanya mengancam dan keselamatan Si Pelukis itu belum perlu dibela. Dia ingin melihat bagaimanakah sikap kakek lemah yang perkasa itu dan bagaimana perkembangan selanjutnya. Dia ingin mengenal kakek itu, mengenal dari sikap dan gerak-geriknya dalam menghadapi ancaman itu.

Kakek Pouw Toan adalah orang yang sudah puluhan tahun bertualang di dunia, sudah ribuan kali menghadapi ancaman mala petaka, maka tentu saja penodongan ini hanya merupakan hal kecil saja baginya. Biar pun dia seorang yang sama sekali tidak pernah belajar ilmu silat, akan tetapi dia telah memiliki keberanian dan kegagahan seorang pendekar tulen. Maka dia hanya tersenyum saja memandang kepada penodongnya, lalu menarik napas panjang.

“Hemm, sungguh untung sekali kau!” katanya sambil tersenyum kepada penodongnya.

Tentu saja Si Tinggi Besar itu menjadi melongo keheranan. Selama dia menjadi tukang pukul yang gemar mempergunakan kekerasan serta ancaman untuk memaksakan kehendaknya, baru sekarang ini ia bertemu dengan seorang kakek lemah yang ditodong tidak memperlihatkan sedikit pun rasa kaget dan tak takut, sebaliknya malah tersenyum dan mengatakan dia yang untung!

“Ahhh, sudah gilakah engkau? Apa maksudmu?” bentaknya.

“Ha, untung bahwa dua orang muridku sedang pergi, kalau mereka berada di sini, aku terpaksa akan menaruh rasa kasihan kepadamu.” Memang aneh sekali ucapan itu, akan tetapi nampaknya kakek itu tidak menggertak.

“Sudahlah, katakan, kau mau melukis Thio-wangwe atau tidak? Kalau mau, mari ikut dengan kami ke gedung Hartawan Thio, kalau tidak, golokku akan minum darahmu di sini juga!” Si Tinggi Besar mengancam.

Pouw Toan menggerakkan pundaknya. Dia tahu bahwa seorang penjahat cilik kasar macam ini memang berbahaya, mungkin saja membunuh hanya untuk soal dan uang kecil saja. Maka dia menarik napas panjang dan bangkit berdiri. “Yah, karena diancam golok, mau apa lagi? Baik, aku akan melukisnya, akan tetapi jangan salahkan aku kalau hasil lukisannya jelek.”

“Siapa peduli baik atau jelek? Yang penting kau lukis dan menerima upah lima belas tail perak!” kata utusan Hartawan Thio itu dengan girang melihat hasil ancaman temannya itu berhasil. “Mari kita berangkat!”

Ketiga orang itu berhasil menggiring Pouw Toan keluar dari losmen itu dan pengurus losmen menarik napas lega melihat bahwa kedatangan tiga orang itu ternyata tidak menimbulkan keributan seperti yang dikhawatirkannya. Dengan sikap tenang-tenang saja Pouw Toan mengikuti mereka, sedikit pun tak kelihatan takut seolah-olah dia bukan pergi sebagai seorang yang dipaksa dan diancam, melainkah sedang pergi ‘jalan-jalan’ bersama tiga orang sahabatnya, bahkan di sepanjang perjalanan dia bersenandung! Tidak jauh di belakang mereka, seorang pengemis berjalan mengikuti dan pengemis ini tentu saja adalah Si Jari Maut yang semakin tertarik dan semakin kagum terhadap diri pelukis tua itu.

Thio-wangwe menerima kedatangan Pouw Toan dengan girang sekali. Cepat dia sendiri menyambut Pouw Toan, mempersilakan pelukis itu bersama tiga orang ‘pengantarnya’ masuk ke dalam ruangan tamu di samping rumah dan segera hartawan itu berdandan dan mempersiapkan dirinya untuk dilukis, sedangkan pelayan-pelayannya menyediakan alat lukis seperti yang diminta oleh Pouw Toan karena pelukis ini hanya membawa ‘senjatanya’ saja, yaitu sebuah mauw-pit (pena bulu) alat melukis. Semua ini dilihat oleh Tek Hoat yang kembali sudah mengintai di atas wuwungan rumah gedung itu.

Untuk peristiwa luar biasa yang sangat menggembirakan hatinya ini, Thio-wangwe membolehkan isteri dan para selirnya menonton ketika dia dilukis dan hal ini malah mendatangkan kegembiraan, karena dia pun ingin agar gambarnya memperlihatkan wajah gembira dan bahagia. Di antara para selirnya ada yang mengipasinya, ada yang menyuguhkan hidangan dan minuman, dan hartawan ini duduk di atas kursi empuk, tersenyum-senyum memandang kepada Pouw Toan yang asyik melukisnya.

Dan pelukis itu pun nampak melukis dengan sungguh-sungguh, mencorat-coret ke atas kain yang dibentangkan di depannya sedangkan tiga orang pengantarnya tadi duduk di sudut, menghadapi hidangan dan minuman, memandang dengan wajah berseri karena mereka membayangkan upah yang besar dan juga mereka bermaksud untuk merampas uang yang akan dihadiahkan kepada pelukis itu!

Diam-diam Tek Hoat agak kecewa juga. Biar pun pelukis itu bersikap gagah dan berani, namun ternyata dia pun hanya orang yang tunduk terhadap keadaan yang memaksanya sehingga kini, biar pun tidak memperlihatkan rasa takut, tetap saja pelukis itu memenuhi permintaan Si Hartawan, bukan karena uang, melainkan karena paksaan. Kegagahan macam apa ini, pikirnya dengan kecewa. Tetapi dia tetap menanti di atas wuwungan sambil memperhatikan keadaan. Dari tempatnya bersembunyi, dia tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana hasil lukisan dari kakek itu.

Setelah kurang lebih setengah jam Pouw Toan membuat corat-coret, kadang-kadang memandang ke arah tuan rumah, kadang-kadang kepada lukisannya dan akhirnya dia mengangkat lukisannya itu ke atas, memandangnya dan berkata dengan wajah berseri, “Sudah selesai!”

Ketika dia mengangkat lukisannya itu, dari atas genteng Tek Hoat dapat melihat lukisan tadi dan hampir saja dia tertawa bergelak. Dia melihat lukisan yang aneh dan lucu, lukisan seorang yang pakaiannya sama benar dengan pakaian hartawan itu, akan tetapi wajahnya yang biar pun semodel dengan wajah Thio-wangwe, akan tetapi mempunyai ciri-ciri seperti wajah seekor babi! Dan orang bermuka babi itu sedang makan dengan lahapnya, air liurnya membasahi ujung bibir, tangan kiri memegang paha ayam, tangan kanan meraba dada montok seorang wanita setengah telanjang dan ada wanita-wanita cantik lain mengerumuninya. Persis seperti gambar Ti Pat Kai, yaitu tokoh siluman babi menjelma manusia dalam cerita See-yu, yang sedang dirayu oleh sekumpulan siluman wanita. Muka yang seperti babi itu membayangkan nafsu-nafsu angkara murka, penuh dengan gairah birahi dan kegembulan, muka seorang pelahap dan juga seorang yang gila perempuan!

Mendengar pelukis itu mengatakan bahwa lukisannya telah selesai, Thio-wangwe cepat meloncat bangun berdiri, dengan wajah berseri-seri dia lalu berlari menghampiri pelukis itu. “Sudah selesai? Cepat amat! Wah, perlihatkan padaku....!” Dan dia pun menyambar lukisan itu dari tangan Pouw Toan, dengan wajah yang gembira dia memandang dan.... seketika matanya terbelalak, mukanya berubah merah sekali.

“Kau.... kau.... sungguh kurang ajar sekali!” teriaknya dan dia merobek lukisan itu menjadi dua dan melemparkannya ke atas lantai.

Pouw Toan bangkit, menjura dan berkata, “Sudah kukatakan bahwa aku tidak memiliki keinginan melukismu, Wangwe. Dan oleh karena dipaksa, maka aku hanya melukiskan nafsu-nafsu yang bergelimangan memenuhi tempat ini. Maaf, aku tidak bermaksud menghinamu, Wangwe, namun aku melihat betapa Wangwe terkurung dalam kurungan emas, terbelenggu oleh nafsu-nafsu yang suatu saat nampak sebagai menyenangkan dan memuaskan, akan tetapi pada lain saat akan berubah menjadi menyusahkan dan mengecewakan, membosankan. Karena itu....”

“Pergi!” Kau manusia tidak sopan, pergi dari sini! Hayo bawalah dia pergi!” bentak hartawan itu kepada tiga orang yang mengantar Pouw Toan datang tadi.

Utusan Thio-wangwe tadi memberi isyarat pada dua orang kawannya untuk mengantar Pouw Toan keluar dan dia sendiri tinggal di situ untuk minta upahnya. Dengan sikap uring-uringan Thio-wangwe melemparkan upah kepada orang itu yang cepat menyusul teman-temannya keluar.

“Sialan!” katanya kepada teman-temannya. “Upahku diberikan dengan marah-marah, akan tetapi upah lukisan itu dia tidak mau berikan.”

“Kenapa?” tanya Si Tinggi Besar.

“Kau tidak melihat lukisannya?” Yang ditanya menggeleng.

“Lihat ini! Dia melemparkan lukisan ini pada mukaku ketika aku menuntut upah lukisan!” kata utusan itu dan Si Tinggi Besar bersama kawannya lalu melihat lukisan yang telah robek menjadi dua itu di bawah lampu luar gedung.

Ketika mereka berdua melihat lukisan itu, seorang di antara mereka tertawa. “Heh, mirip memang!”

“Hushh!” bentak Si Tinggi Besar. “Si Tua Bangka ini sengaja mempermainkan sehingga kita yang tidak memperoleh rejeki. Orang macam ini harus dihajar!” bentaknya dan dia menghampiri pelukis itu.

“Sabar, kawan,” kata temannya. “Sebaiknya kita antar dia kembali ke losmen. Tidak ada untungnya memukul orang tua lemah seperti dia.”

Kembali Pouw Toan berjalan seenaknya dan dengan tenang saja diiringkan tiga orang yang kelihatan kecewa dan marah-marah itu. Tidak jauh di belakang mereka, Tek Hoat juga selalu membayangi dan diam-diam dia mulai kagum kepada Pouw Toan. Kiranya Pouw Toan tidaklah mengecewakan hatinya. Pelukis tua itu benar-benar hebat! Karena dipaksa, dia mau melukis, tetapi lukisannya dilakukannya seenak sendiri saja sehingga menjadi lukisan yang mengejek dan menelanjangi hartawan yang berenang dalam lautan nafsu itu. Sungguh tepat sekali lukisannya dan sepatutnya hartawan itu berterima kasih kepadanya karena telah disadarkan!

Setelah tiba di losmen, Si Tinggi Besar itu mengantar Pouw Toan ke kamarnya dan dengan suara keras memerintahkan pelukis itu untuk mengumpulkan seluruh barang bawaan dan miliknya yang berada di kamar itu, kemudian memaksanya keluar lagi.

“Ehhh, kalian hendak membawaku ke mana lagi?” tanya Pouw Toan.

“Huh, kusuruh melukis!” bentak Si Tinggi Besar.

“Melukis apa?”

“Melukis neraka!”

“Ha-ha-ha, aku senang sekali melukis neraka. Coba katakan, neraka itu macam apa?”

“Tolol! Mana aku pernah melihat neraka?”

“Aku pun belum, ha-ha-ha!” Pouw Toan tertawa senang.

“Mari ikut dengan kami, kau akan melihat neraka dan akan dapat melukisnya,” kata Si Tinggi Besar yang mendorong kakek itu. Mereka pergi lagi tetapi kini mereka membawa Pouw Toan ke luar kota dan di tempat yang sunyi, Si Tinggi Besar merampas buntalan Pouw Toan dari pundaknya.

“Ehh, apa yang kau lakukan ini?”

“Aku ingin mengirim kau ke neraka agar engkau dapat melukisnya. Ha-ha-ha! Nah, buka pakaianmu itu!” Si Tinggi Besar menodongkan goloknya, namun pada saat itu tampak bayangan berkelebat.

“Desss! Aughhhhh.... !”

Si Tinggi Besar terpelanting ketika pundaknya ditampar oleh Tek Hoat yang tidak dapat menahan kesabaran lagi melihat betapa pelukis itu hendak dibunuh setelah barangnya dirampas, bahkan sebelum dibunuh pakaiannya disuruh buka!

Dua orang teman Si Tinggi Besar terkejut sekali melihat munculnya seorang pengemis yang berani memukul temannya, segera menyerang. Akan tetapi, Tek Hoat menanti sampai tangan yang menyerangnya itu mendekat, kemudian dia mengangkat kedua lengannya menangkis.

“Krekk! Krekk!”

Lengan kedua orang itu patah tulangnya pada saat bertemu dengan lengan Tek Hoat! Mereka mengaduh-aduh dan memegangi lengan yang patah tulangnya.

“Jembel busuk, kau bosan hidup!” bentak Si Tinggi Besar yang sudah bangun dan kini dia menyerang dengan goloknya.

Akan tetapi Tek Hoat menerima golok itu dengan tangannya, menangkap golok itu dan sekali mengerahkan tenaga, golok itu patah-patah dan dia lalu menampar lengan Si Tinggi Besar dengan pecahan golok masih di tangan.

“Creppp!”

Kembali Si Tinggi Besar menjerit dan kali ini tangan kanannya hancur dengan pecahan goloknya sendiri menancap sampai ke dalam daging dan mengenai tulangnya yang hancur. Dia merintih-rintih, kemudian bersama kedua orang temannya dia melarikan diri tunggang-langgang setelah meninggalkan buntalan milik Pouw Toan.

Sejenak suasana menjadi sunyi. Dua orang itu berhadapan di tempat remang-remang karena kegelapan hanya dilawan oleh sinar bulan sepotong. Kemudian terdengar Pouw Toan tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, sejak tadi engkau selalu membayangi kami, Si Jari Maut!”

Bukan main kagetnya Tek Hoat mendengar ini. Kakek lemah itu tidak saja tahu bahwa sejak tadi dia membayanginya, akan tetapi bahkan telah mengenalnya pula! Akan tetapi dia tidak peduli dan membalikkan tubuhnya, lalu pergi dari situ. Dia tahu bahwa pelukis itu mengikutinya, akan tetapi dia pun tidak peduli akan hal ini dan Tek Hoat lalu kembali ke jembatan yang menjadi tempat bermalamnya itu. Dia melihat kakek pelukis itu terus mengikutinya, tetapi dia pura-pura tidak melihat dan dia lalu turun ke bawah jembatan, lalu rebah melingkar lagi di tempatnya semula sebelum dia tertarik oleh percakapan orang di atas jembatan tadi.

“Ha-ha, sungguh tempat yang jauh lebih menyenangkan dari pada losmen itu!” kata Pouw Toan. “Wan Tek Hoat Taihiap, bolehkah aku ikut bermalam di sini?”

Kembali Tek Hoat terkejut. Orang ini bukan saja mengenalnya sebagai Si Jari Maut, bahkan mengetahui she-nya yang sesungguhnya, padahal jarang ada yang tahu akan she Wan itu, kebanyakan hanya tahu bahwa she-nya adalah Ang!

“Ini tempat umum, siapa pun boleh pakai,” jawabnya singkat, kemudian disambungnya, “dari mana kau tahu aku she Wan?”

“Ha-ha, Taihiap, aku tua bangka tak berguna ini mengenal hampir semua tokoh di dunia kang-ouw, maka begitu melihat Taihiap aku pun segera mengenalmu. Aku banyak mendengar tentang dirimu dari sahabatku yang teramat baik, yaitu pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana yang masih terhitung bibimu sendiri, bukan?”

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia tidak senang mendengar dirinya dikenal, apalagi dihubungkan dengan orang-orang yang berkedudukan tinggi seperti Milana, walau pun harus diakuinya bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti dan pendekar itu adalah kakek tirinya!

“Sudahlah, aku sendiri sudah lupa siapa diriku, apalagi engkau, seorang lain!” Setelah berkata demikian, Tek Hoat lalu tidur dan sebentar saja dia sudah pulas.

Diam-diam Pouw Toan menghela napas panjang berkali-kali dan dia merasa kasihan sekali kepada pendekar ini. Teringat dia akan pertemuannya dengan Puteri Syanti Dewi dan diam-diam dia merasa heran sekali bagaimana seorang puteri cantik bagai bidadari itu dapat begitu mendalam jatuh cinta kepada pendekar yang kini menjadi seperti jembel gila? Akan tetapi dia pun dapat menduga bahwa mungkin keadaan pendekar ini sampai menjadi begini justru karena Si Puteri itulah! Patah hati.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman