SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-24


Lukisan itu masih selalu disimpan di dalam buntalannya dan tadi hampir saja terampas oleh orang jahat kalau tidak muncul Si Jari Maut yang menyelamatkannya. Bahkan nyaris dia terbunuh oleh penjahat itu. Akan tetapi, dia bukan orang bodoh. Tadi dia sudah dapat melihat bahwa ada seorang jembel terus mengikutinya dan dia dapat menduga bahwa Si Jembel ini tentulah Si Jari Maut, oleh karena itu dia bersikap tenang saja dan menurut saja dibawa keluar kota oleh tiga orang itu. Andai kata dia tidak yakin bahwa jembel itu tentu pendekar sakti itu, tentu dia tidak mau dibawa keluar kota seperti seekor domba dituntun ke pejagalan begitu saja.

Melihat pendekar itu agaknya telah tertidur, Pouw Toan juga lalu merebahkan diri dan tak lama kemudian dia pun tertidur pulas dan bermimpi indah. Pouw Toan adalah seorang manusia bebas yang selalu merasa bahagia, dimana pun juga dia berada.

Akan tetapi, begitu pelukis itu pulas, Tek Hoat terbangun dan dia duduk bersila. Dari bawah jembatan itu kini nampak bulan yang condong ke barat, sinarnya gemilang sebab tidak terhalang awan. Agak jauh dari bulan sepotong itu nampak berkelap-kelipnya bintang dan jauh di timur nampak sebuah bintang terpencil sendirian, sunyi. Teringat Tek Hoat akan bunyi sajak pelukis yang kini tertidur itu. Dia masih hafal bunyinya karena amat tertarik.

....batin kosong tanpa isi....
....alam pun sunyi sepi....
....hening.... diam.... suci....
....seniman tua asyik
sepi sendiri....

Dia menarik napas panjang. Membaca sajak itu, dia seperti dapat meraba kesunyian itu, keheningan yang maha luas, sebagai pencerminan dari kesepian di hatinya. Akan tetapi, kalau pelukis itu agaknya menikmati kesunyian yang disebutnya keheningan yang diam dan suci, sebaliknya dia tersiksa oleh kesepian diri, karena kerinduannya yang tidak kunjung henti terhadap Syanti Dewi. Dia kini merasa seperti bintang yang terpencil di timur itu, bintang kecil tersendiri, miskin papa dan hina, seperti dia, tidak cemerlang, hidup sia-sia.... dan dia pun menarik napas panjang lagi.

Kalau saja dia sudah yakin bahwa Syanti Dewi sudah tidak ada lagi di dunia ini, tentu hal itu akan amat meringankan penderitaan hatinya. Kalau begitu halnya, hanya ada dua pilihan, hidup dengan bebas atau mati. Akan tetapi dia yakin bahwa pujaan hatinya itu masih hidup, entah di mana! Dan andai kata dia dapat menjumpainya, dia pun sangsi apakah Syanti Dewi mau sekali lagi mengampunkannya. Dosanya sudah bertumpuk-tumpuk terhadap Syanti Dewi pujaannya itu. Apakah dia akan begini terus dan akhirnya seperti pelukis itu, yang menamakan dirinya sendiri seniman tua? Dia hanya akan menjadi jembel tua kelak!

Hampir setiap orang pernah merasakan kesepian yang amat menyiksa dan menakutkan batin itu. Rasa kesepian yang mencekam, sungguh pun kita dikelilingi keluarga, harta benda, dan segala milik kita lahir batin. Rasa kesepian ini kadang-kadang muncul kalau kita melihat betapa sesungguhnya kita ini tidak memiliki apa-apa, betapa kita ini hidup terpisah dari semuanya itu, betapa pada suatu saat kita akan berpisah dari kesemuanya itu, apabila kematian datang menjemput kita.

Rasa kesepian ini, rasa betapa diri ini kosong tanpa isi, tiada arti, mendorong kita untuk mengikatkan diri kepada apa pun juga yang kita anggap lebih berharga, lebih tinggi dan karena itu dapat mendatangkan hiburan yang membuat kita terhibur dan senang. Kita yang merasa betapa diri sendiri ini kosong tak berarti, lalu mengikatkan diri. Kepada keluarga, kepada kelompok, kepada suku atau agama, kepada kepercayaan, kepada negara, dan sebagainya lagi.

Namun pada hakekatnya, akar dari pada pengikatan itu bersumber kepada pelarian diri, diri atau si Aku yang ingin lari dari pada kesepian dan kekosongan yang mengerikan itu, si Aku yang ingin terhibur, yang ingin terjamin keamanan dan keselamatannya, si Aku yang selalu ingin dalam keadaan yang menyenangkan. Karena itulah maka timbul pengukuhan dan jerih payah, daya upaya untuk mempertahankan kepada yang kita pentingkan itu di mana kita mengikatkan diri. Yang penting lalu keluargaku, bangsaku, agamaku, Tuhanku, kepercayaanku. Jelaslah bahwa yang penting itu adalah ‘ku’ nya. Peduli apa dengan agama orang lain, karena semua itu tidak ada hubungannya, tidak menyenangkan aku! Yang penting adalah segala-gala yang menjadi punyaku, yang menjadi kepentinganku.

Kesepian berbeda dengan keheningan! Kalau kita berada seorang diri, di lereng gunung yang sunyi, atau di tepi laut, atau di mana saja tidak terdapat seorang pun kecuali kita sendiri, kalau kita berada di tempat itu dengan batin kosong, dengan pikiran yang tidak mengoceh, dengan mata dan telinga terbuka, dengan kewaspadaan dan penuh kesadaran, maka akan terasalah adanya keheningan yang menyelubungi seluruh alam termasuk kita sendiri. Keheningan yang menembus sampai ke lubuk hati dan seluruh lahir batin kita, yang tiada bedanya dengan keheningan yang berada di luar diri, keheningan yang mencakup seluruhnya di mana diri kita termasuk, keheningan yang tidak memisah-misahkan antara kita dengan pohon, dengan burung yang terbang, dengan embun di ujung daun atau rumput, dengan awan berarak di angkasa. Di dalam keheningan seperti ini tidak terdapat rasa khawatir, tidak terdapat rasa takut, rasa sepi, tiada lagi pikiran yang membanding-bandingkan antara susah dan senang, puas dan kecewa, hidup mati dan sebagainya.

Akan tetapi, pikiran yang membentuk si Aku ini masuk dan mengacau keheningan dalam diri yang segera memisahkan diri dari keheningan yang menyelimuti seluruh alam, si Aku yang begitu masuk lalu menciptakan keinginan-keinginan. Ingin terus memiliki dan menikmati keheningan itu tadi. Ingin terbebas dari semua kesengsaraan! Ingin ini dan ingin itu dan justru keinginan inilah yang meniadakan segala-galanya, kecuali mendatangkan kesenangan sekilas lalu saja, dan akhirnya akan mendatangkan kesepian karena semua kesenangan itu hanya selewatan belaka. Maka, pikiran yang membentuk si Aku itulah yang mendatangkan lingkaran setan yang tiada akhirnya!

Keheningan sebelum si Aku masuk adalah keheningan yang menyeluruh, keheningan di mana tidak terdapat si Aku yang menikmati keheningan itu. Segala macam suara tidak akan mengganggu karena tercakup di dalam keheningan itu. Hanya pikiran dengan si Akunya sajalah yang mendorong kita keluar dari keheningan, membuat kita kemudian memisahkan diri, mengasingkan diri dalam kurungan nafsu kesenangan lahir batin.

Ada orang yang mengira bahwa keheningan menyeluruh itu dapat dicapai dengan daya upaya dan pengejaran. Ada yang mengejarnya melalui meditasi, melalui pertapaan, melalui pengasingan diri di tempat-tempat sunyi, di dalam goa-goa atau di puncak-puncak gunung. Padahal, bukan tempatnya yang penting, bukan caranya yang penting, melainkan kewaspadaan dan kesadaran akan dirinya sendiri. Karena kebebasan itu baru ada apabila kita bebas, bebas dari segala ikatan apa pun.

Bebas berarti hening. Tidak akan dapat didaya upayakan, dicari dengan sengaja. Dalam keadaan terikat, takkan mungkin bebas. Kalau tidak terikat oleh apa pun, maka tanpa dicari kebebasan pun ada. Selama masih terikat oleh sesuatu, berarti masih dikuasai oleh nafsu keinginan, dan dalam keadaan begini, mencari kebebasan tiada artinya karena yang mencari itu adalah nafsu ingin senang, maka dicari-cari dan dikejar-kejar. Mungkin saja bisa didapatkan apa yang dikejar-kejar, akan tetapi yang didapatkan itu bukanlah yang sejati. Yang sejati tidak dapat dikejar, melainkan akan memasuki batin yang bebas dan terbuka, karena hanya batin yang terbebas sajalah yang terbuka dan bersih, yang dapat ditembus sinar cinta kasih

.

Pada keesokan harinya, ketika Pouw Toan terbangun, dia melihat Si Jari Maut masih duduk bersila di situ. Girang hati pelukis ini, karena tadinya dia khawatir kalau-kalau orang aneh itu telah pergi sebelum dia terbangun. Dan memang Tek Hoat menantinya sampai terbangun. Ada sesuatu yang menarik hati Tek Hoat dalam sajak itu, dan dia ingin bertanya tentang itu kepada si pembuat sajak.

“Selamat pagi, Wan-taihiap,” kata Pouw Toan.

“Hemm....“ Tek Hoat hanya bergumam saja karena selama bertahun-tahun ini baru kini dia mendengar ada orang menyalam selamat pagi padanya.

“Bukan main indah sejuknya pagi ini!” Pouw Toan bangkit berdiri dan mengembangkan dadanya dengan membuka kedua lengannya serta menghirup hawa udara pagi yang masih sunyi itu sebanyaknya.

Mendengar suara yang terdengar amat gembira ini, Tek Hoat menoleh dan memandang penuh perhatian. Orang itu memang kelihatan gembira sekali. Dia merasa heran karena dia tak melihat sesuatu yang patut untuk membuat orang itu gembira! Sungguh seorang manusia yang amat aneh!

“Siapakah namamu, Paman?” Akhirnya dia bertanya.

Dia tidak tahu betapa girangnya hati Pouw Toan mendengar pertanyaannya ini. Kiranya dia sudah mampu menggetarkan hati yang beku dari pendekar itu!

“Wan-taihiap, namaku adalah Pouw Toan.”

Wan Tek Hoat mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat. Dia sudah hampir lupa akan nama-nama orang, tetapi dia masih samar-samar ingat bahwa nama ini banyak disebut orang dengan nada kagum.

Melihat pendekar ini termenung mendengar namanya, Pouw Toan kemudian berkata, “Agaknya ada sesuatu yang ingin kau tanyakan kepadaku? Silakan….”

Menerima dorongan dari pelukis itu, Tek Hoat lalu berkata, “Aku ingin sekali tahu tentang arti sajakmu semalam, ketika engkau membaca sajak di dalam kamar losmen.” Kemudian, dengan suara lirih Tek Hoat mengulang bunyi sajak empat baris itu.

Pouw Toan terbelalak heran. Dia sendiri sudah lupa akan bunyi sajak yang digubahnya secara iseng-iseng dalam kamar itu. Dan kini sajak itu telah dihafal oleh pendekar ini! Dan tahulah dia mengapa demikian. Sajak itu agaknya mengena benar di hati pendekar ini yang tentu saja sedang dilanda kesepian yang amat hebat sehingga membuatnya seperti orang gila itu, kesepian yang tercipta karena kerinduan.

“Ah, jadi engkau masih ingat akan bunyi sajak itu, Taihiap? Dan engkau telah berada di atas genteng ketika tiga orang kasar itu datang kepadaku? Sungguh hebat! Sajak itu sudah begitu jelas, tentang keheningan dan kesepian. Bagian manakah yang kau tidak mengerti?”

“Keadaan yang sunyi sepi amat menggelisahkan dan menyiksa hatiku selama bertahun-tahun ini, akan tetapi mengapa engkau yang agaknya merasakan pula kesunyian itu malah nampak gembira dan menghadapi segala sesuatu selalu tenang dan tenteram seolah-olah tiada sesuatu di dunia ini yang dapat menyusahkan hatimu?”

“Ahhh....!” Pouw Toan memandang dengan penuh iba. “Mengapa aku harus susah? Aku tidak membutuhkan apa-apa, tidak ada apa-apa yang mengikat diriku lahir batin, kenapa aku harus susah? Tidak, aku tidak pernah susah dan selalu gembira karena memang hati yang kosong dari segala keinginan berarti telah memiliki segala-galanya dan oleh karenanya yang ada hanyalah kegembiraan saja. Akan tetapi engkau, Taihiap, kulihat engkau amat sengsara hatimu. Agaknya engkau merindukan sesuatu, menginginkan sesuatu, kecewa akan sesuatu yang membuat engkau merasa iba diri, kesepian dan sengsara. Mengapa engkau menyiksa diri seperti ini? Engkau masih muda, gagah perkasa, apa pun yang kau inginkan tentu dapat terlaksana. Andai kata engkau mencinta seorang wanita dan amat merindukannya, ingin memperisterinya, mengapa tidak kau lakukan itu? Mengapa menyiksa diri sendiri, menyepi dan menjauhkan diri?”

Semua ucapan itu benar-benar mengenai hati Tek Hoat. Selama ini dia tidak pernah menceritakan semua penderitaannya kepada siapa pun juga. Akan tetapi pribadi pelukis ini amat menarik hatinya dan menimbulkan kagum, maka kini mendengar ucapan yang amat mengena itu dia pun menarik napas panjang dan untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, dia memandang dengan sinar mata orang waras.

“Apa yang dapat kuharapkan? Aku manusia tidak berharga ini mana mungkin dapat mengharapkan balasan cinta seorang wanita yang amat mulia? Mana mungkin dia mau mengampuni semua dosaku yang sudah bertumpuk-tumpuk?” Pertanyaan ini seperti diajukannya kepada diri sendiri tanpa memandang kepada pelukis itu, maka Pouw Toan yang tahu diri itu pun tidak langsung menjawab, melainkan diam saja sehingga keadaan menjadi sunyi di tempat itu. Akan tetapi kadang-kadang ada gerobak atau orang lewat di atas jembatan, memecahkan kesunyian.

“Andai kata dia masih hidup, belum tentu dia mau mengampuniku, dan andai kata mau mengampuniku, belum tentu dia masih mencintaiku. Andai kata dia sudah mati, lalu apa artinya hidup ini bagiku? Ahhh, hidupku sudah hampa....!”

“Aihh, Taihiap. Adakalanya awan mendung menutup langit sehingga sinar matahari tak nampak sama sekali. Akan tetapi itu pun akan lenyap dan akan berubah, matahari akan bersinar kembali! Memang kesenangan tidak kekal di dunia ini, akan tetapi kesusahan pun tidak kekal adanya. Siapa yang masih berada dalam cengkeraman suka-duka, tidak perlu berkecil hati selagi gelap dan tak perlu berbesar kepala selagi terang. Terang dan gelap datang silih berganti dalam hidup. Hanya orang yang telah mengatasi suka-duka sajalah yang bebas. Kalau engkau belum bebas, mengapa harus menyerah kepada kegagalan? Siapa tahu kalau-kalau orang yang Taihiap rindukan itu pun kini sedang menanti-nanti kedatangan Taihiap penuh kerinduan?”

Tek Hoat menggeleng kepalanya, lalu bangkit meninggalkan kolong jembatan itu sambil berkata. “Tidak mungkin.... tidak mungkin....“

“Heiii! Ke mana Taihiap hendak pergi?” Pouw Toan berseru akan tetapi pengemis muda itu sudah mendaki ke atas jalan, tidak menjawab dan tidak menoleh pula.

“Sungguh keras kepala....,” Pouw Toan mengomel dan dia pun bergegas mendaki dari kolong jembatan dan naik ke jalan yang masih sunyi.

“Tunggu dulu, Wan-taihiap! Aku mempunyai sesuatu untuk kuberikan kepadamu!”

Akan tetapi Tek Hoat tanpa menoleh berkata, “Aku tidak menerima apa pun dari siapa pun!”

“Tapi, ini adalah tanda terima kasihku telah kau tolong malam tadi....”

“Lupakan saja!”

“Wan Tek Hoat, setidaknya kau lihatlah lukisanku ini!” seru Pouw Toan sambil membuka gulungan sebuah lukisannya dan berdiri menghadang di depan pendekar yang seperti jembel itu.

Dengan tidak sabar Tek Hoat hendak menghindar, akan tetapi ketika dia melirik ke atas lukisan yang dibentang itu dan kebetulan matahari pagi menimpa lukisan itu, dia tersentak kaget sekali, matanya terbelalak, mukanya pucat, tubuhnya menggigil dan sekali sambar dia telah merampas lukisan itu dan memandang lukisan dengan mata bersinar menyeramkan. Itulah lukisan Syanti Dewi! Tidak salah lagi! Mata itu, hidung itu, bibir itu....!

Tiba-tiba dia mengeluarkan bunyi seperti seekor singa menggereng dan tahu-tahu dia telah menyambar ke depan dan telah mencengkeram leher baju Pouw Toan, kemudian diangkatnya orang itu tinggi ke atas seperti orang menangkap seekor kelinci dengan memegang pada telinganya saja.

“Hayo katakan, di mana dia! Di mana dia! Cepat jawab!” Dia membentak-bentak dengan muka pucat sekali seperti kertas.

Diperlakukan begini, Pouw Toan tidak takut, malah mencela keras, “Pantas saja dahulu dia menjauhkan diri darimu, Wan Tek Hoat. Wanita mana yang dapat bertahan untuk berdekatan dengan orang yang wataknya begini kasar, keras dan tidak patut?”

Sejenak kedua pasang mata itu bertemu pandang. Sejenak mata pelukis itu tajam dan sedikit pun tidak gentar, sinarnya seperti memasuki lubuk hati Tek Hoat, membuat pemuda itu sadar akan perbuatannya dan tiba-tiba Tek Hoat mengeluarkan suara bagai orang dicekik, pegangannya pada baju itu terlepas dan dia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya, tangan kanannya masih memegang gulungan lukisan dan dia pun terisak, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pouw Toan!

“Maafkan aku.... ohhh.... maafkan aku dan jangan siksa aku lagi.... katakanlah di mana adanya dia....”

Pouw Toan terkejut sekali, akan tetapi juga amat girang. Orang ini sesungguhnya belum kehilangan sifat-sifat baiknya, sifat-sifat pendekarnya, hanya karena kekecewaan dan kedukaan saja yang membuatnya menjadi seperti itu. Dia pun cepat membangunkan Tek Hoat, mengajaknya duduk di tepi jalan dan dengan hati-hati dia pun lalu bercerita tentang Syanti Dewi.

“Puteri Syanti Dewi masih hidup dalam keadaan sehat, Taihiap. Dan dia telah menjadi seorang seperti bidadari, disanjung dan dipuja oleh seluruh manusia, terutama kaum prianya sehingga kabarnya Pangeran Kian Liong sendiri pun menjadi sahabatnya! Dia hidup sebagai seorang puteri di Pulau Kim-coa-to....“ Dan dengan singkat Pouw Toan memberi tahu letaknya pulau itu.

Akan tetapi belum sampai dia bercerita lebih jauh, Tek Hoat sudah bangkit menjura dan dengan mata bersinar-sinar dia memberi hormat berkali-kali.

“Terima kasih, Paman Pouw, terima kasih....”

“Nanti dulu, belum sempat kuceritakan bahwa aku bertemu dengan dia, dan dialah yang memberikan lukisanku itu kepadaku dengan pesan untuk diberikan kepadamu....”

“Dia.... dia masih ingat padaku?”

“Ingat? Ahh, dia menitikkan air mata ketika mendengar akan keadaanmu seperti yang sudah kudengar dari banyak tokoh kang-ouw.”

“Ahhh...., mungkinkah itu? Dewi.... Dewi....“ Tek Hoat lalu menangis dan dia meloncat pergi dari situ untuk segera mencari kekasihnya.

“Heii, tunggu dulu, Taihiap, tunggu dulu....!” Pouw Toan lari mengejar karena dia ingin sekali menasehati pemuda itu sebelum pergi mengunjungi Syanti Dewi dalam keadaan seperti itu.

Pemuda itu sedang dilanda kebingungan dan tekanan batin yang hebat, maka jika tak mendapat nasehat yang benar dan menghadap Syanti Dewi dalam keadaan seperti itu, tentu keadaan hubungan antara dua orang itu akan menjadi semakin berbahaya. Akan tetapi Tek Hoat tidak mau berhenti dan mana mungkin seorang tua lemah seperti Pouw Toan dapat menyusulnya?

Pada saat itu nampak berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu dua orang pemuda telah berdiri menghadang Tek Hoat dan seorang di antara mereka membentak, “Paman Pouw telah minta kau berhenti!” Kedua orang itu dengan gerakan yang cekatan sekali telah menghadang dan mendorongkan kedua tangan mereka ke arah Tek Hoat yang sedang lari.

Bukan main kaget hati Tek Hoat karena dari dorongan tangan mereka itu menyambar hawa yang amat kuat, yang menahan dia dan hendak memaksa dia untuk berhenti. Dia memandang penuh perhatian dan melihat bahwa mereka adalah dua orang pemuda berusia kurang lebih tujuh belas tahun yang tampan sekali, akan tetapi hebatnya, wajah dan pakaian mereka, bahkan gerak-gerik mereka, pandang mata mereka, semuanya sama sehingga mudah menduga bahwa mereka tentulah dua orang saudara kembar!

“Kalian minggirlah!” kata Tek Hoat. Kedua tangannya telah dipentang untuk mendorong mereka ke kanan kiri, akan tetapi kembali dua orang muda itu dengan langkah kaki yang ringan dan sigap sekali telah dapat mengelak, bahkan lalu menangkap pergelangan tangannya dari kanan kiri!

“Paman Pouw menyuruh kau berhenti!” kata seorang di antara mereka, entah yang bicara tadi atau bukan sukar bagi Tek Hoat untuk mengenalnya karena wajah mereka yang sama benar.

Cara mereka mengelak, kemudian menangkap pergelangan kedua tangannya, sudah membuktikan bahwa mereka memang benar-benar memiliki ilmu silat yang lihai sekali, maka timbul keinginan dalam hati Tek Hoat untuk mencoba mereka. Dia tahu bahwa dua orang pemuda kembar yang lihai ini tentu masih keluarga pelukis aneh itu, maka tentu saja dia pun tidak mempunyai niat buruk melainkan hanya ingin menguji mereka.

“Kalian hendak menggunakan kekerasan? Baiklah!” katanya dan dia pun lalu segera menggunakan kepandaiannya, sekali bergerak kedua lengannya terlepas dan dia pun lalu mengirim serangan ke arah mereka dengan kedua tangannya secara bertubi-tubi, yaitu menampar dari samping dengan tangan terbuka.

Dua orang pemuda kembar itu bukan lain adalah Gak Jit Kong dan adik kembarnya, yaitu Gak Goat Kong. Tentu saja keduanya, biar baru berusia tujuh belas tahun, telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat karena sejak kecil mereka digembleng oleh ayah dan ibu mereka, yaitu pendekar sakti Gak Bun Beng dan Puteri Milana! Mula-mula mereka terkejut ketika melihat betapa pengemis yang dikejar-kejar oleh Pouw Toan itu dapat melepaskan pegangan dengan mudah, dan lebih kaget lagi melihat tamparan-tamparan tangan yang jelas mengandung tenaga sinkang yang amat tangguh itu.

Cepat mereka pun bergerak mengelak dan balas menyerang, karena mengira bahwa pengemis ini tentu orang jahat yang entah melakukan hal apa terhadap Pouw Toan. Terjadilah perkelahian satu lawan dua yang amat hebat. Makin lama, Tek Hoat menjadi semakin kagum. Tak disangkanya dia akan bertemu dengan dua orang pemuda remaja kembar yang demikian tangguhnya! Ilmu silat mereka amat halus dan tangguh, ilmu silat golongan bersih yang luar biasa sekali dan anehnya, gerakan-gerakan mereka baginya tidak begitu asing, bahkan seakan-akan ada dasar-dasar yang sama antara ilmu silat mereka dengan ilmu silatnya yang pernah dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo. Di lain pihak, dua orang saudara kembar itu pun terkejut sekali mendapat kenyataan bahwa pengemis itu benar-benar amat lihai, mempunyai ilmu silat tinggi sehingga pengeroyokan mereka tidak membuat pengemis itu terdesak.

Sejak tadi Pouw Toan hanya menonton saja sambil tersenyum. Dia cukup maklum akan watak dua orang pemuda kembar itu yang tak akan menjatuhkan tangan kejam kepada siapa pun juga, apalagi kepada orang yang tidak mereka ketahui kesalahannya seperti Tek Hoat itu. Dan dia pun maklum bahwa Tek Hoat adalah seorang pendekar, biar pun sedang bingung, yang tidak akan mencelakakan orang tanpa sebab. Biarkanlah mereka saling bertanding dan saling berkenalan melalui ilmu silat, pikirnya, karena pelukis yang banyak bergaul dengan orang-orang dari dunia persilatan ini maklum akan ‘penyakit’ para pendekar yang suka sekali akan pertandingan ilmu silat, menonton atau ditonton!

Setelah membiarkan mereka bertanding sampai beberapa lamanya, Pouw Toan yang tidak mengenal ilmu silat itu merasa khawatir juga dan dia pun cepat maju dan berseru keras, “Jangan berkelahi....! Kalian masih saudara-saudara sendiri, masih keluarga sendiri!”

Tentu saja mendengar seruan ini mereka berhenti dan dua orang pemuda kembar itu memandang kepada Tek Hoat dengan terheran-heran. Masih keluarga sendiri? Mereka sungguh tak dapat menduga siapa adanya jembel yang dikatakan keluarga sendiri oleh pelukis itu. Sedangkan Tek Hoat yang tadinya tidak mau pedulikan segala hal, kini menjadi tertarik juga dan dia menoleh kepada Pouw Toan dengan sinar mata bertanya.

“Murid-muridku yang baik, ini dia Si Jari Maut, Wan Tek Hoat yang menjadi keponakan tiri dari Ibu kandung kalian.”

Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong terkejut sekali. Tentu saja mereka sudah pernah mendengar nama ini dari penuturan ibu mereka, akan tetapi ibunya menggambarkan orang yang bernama Wan Tek Hoat dan berjuluk Si Jari Maut itu tidak seperti seorang jembel seperti ini. Betapa pun juga, mereka tidak meragukan keterangan Pouw Toan dan mereka lalu menjura kepada Tek Hoat.

“Wan-piauwko, maafkan kami yang tidak mengenalmu,” kata Jit Kong.

“Wan-taihiap, mereka adalah adik-adik misanmu sendiri, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, putera kembar Bibi tirimu Puteri Milana dan suaminya. Mereka ini diserahkan kepadaku untuk belajar sastra, ha-ha-ha!”

Giranglah hati Tek Hoat dan dia kagum sekali melihat Puteri Milana, bibi tirinya itu, telah mempunyai putera kembar setampan dan selihai ini.

“Ah, tidak mengapa, Adik-adikku yang lihai. Maafkan, aku tidak dapat menemani kalian lebih lama lagi. Paman Pouw, terima kasih atas segala-galanya dan selamat tinggal!”

“Taihiap....!” Akan tetapi seruan ini percuma karena sekali ini Tek Hoat telah berkelebat dan lenyap dengan cepat sekali dari situ. Pouw Toan menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aneh....dia manusia aneh.... kasihan sekali....“

“Tapi.... Si Jari Maut yang digambarkan Ibu tidak seperti itu, melainkan seorang pria yang kata Ibu tampan dan gagah, bukan seorang pengemis yang begitu terlantar....“ Goat Kong berkata.

Pouw Toan menghela napas. “Begitulah kehidupan manusia. Setiap manusia boleh saja mempelajari segala macam ilmu, menjadi orang pandai, menjadi orang perkasa, namun selama dia tidak mampu membebaskan diri dari segala nafsu yang mencengkeramnya, dia akan menjadi permainan suka duka. Kedukaan kadang-kadang membuat manusia kehilangan kesadaran dan menyeretnya ke lembah kesengsaraan yang hebat seperti dia itu.”

Bagaimanakah dua orang pemuda kembar itu dapat muncul pada saat itu? Seperti telah kita ketahui, lima tahun yang lalu dua orang pemuda ini pernah ikut pula dengan arus orang-orang kang-ouw dan berkeliaran di Pegunungan Himalaya! Pada waktu itu usia mereka baru kurang lebih dua belas tahun! Dan seperti kita ketahui, mereka itu disusul oleh Su-bi Mo-li, yaitu wanita-wanita iblis yang terkenal sebagai murid-murid utama dari Im-kan Ngo-ok, ditawan dan dibawa kembali ke kota raja.

Mereka berdua itu sempat ditolong oleh Bu Ci Sian yang dibantu oleh gurunya, yaitu See-thian Coa-ong, akan tetapi melihat keganasan ular-ular yang dipergunakan oleh Ci Sian, dua orang pemuda kembar itu memaki Ci Sian sebagai siluman ular, lalu pergi meninggalkan para penolongnya untuk mengejar Su-bi Mo-li. Kiranya mereka berdua memang sengaja membiarkan diri ditawan oleh Su-bi Mo-li untuk dibawa menghadap Sam-thaihouw yang mengutus empat orang wanita iblis itu!

Dua orang anak kembar ini adalah putera pendekar sakti, dan ibunya adalah seorang yang amat terkenal pula, maka tentu saja mereka memiliki watak aneh dan keberanian luar biasa sekali. Biar pun usia mereka baru dua belas tahun, namun di dalam darah mereka terdapat jiwa petualang besar. Maka pada waktu mendengar tentang lenyapnya pedang pusaka Koai-liong-kiam secara aneh dari gudang pusaka keraton, jantung mereka berdegup penuh ketegangan dan dua orang saudara kembar itu diam-diam lalu berunding dan akhirnya mereka memutuskan untuk pergi melakukan pengejaran dan pencarian terhadap pencuri pedang itu!

Memang lucu sekali kalau diingat betapa mereka itu, biar pun sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi, tentu saja tidak mungkin dapat menandingi kehebatan seorang pencuri yang dapat mengambil sebatang pedang pusaka dari dalam gudang pusaka istana begitu saja tanpa ada yang mengetahui! Pencuri seperti ini tentulah seorang pencuri yang sakti. Mereka pergi diam-diam dan hanya meninggalkan pesan kepada seorang kakek tetangga yang tinggal jauh di dusun kaki Gunung Beng-san agar kakek itu suka memberi kabar kepada ayah mereka bahwa mereka berdua hendak pergi ‘merantau’ untuk meluaskan pengetahuan!

Tentu saja Gak Bun Beng dan Milana terkejut bukan main mendengar berita dari kakek tetangga itu. Mereka sudah mencoba untuk mencari-cari, namun tiada hasilnya. Dua orang anak mereka seolah-olah lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas! Mereka sudah mencari keterangan, akan tetapi tidak ada yang pernah melihat dua orang anak laki-laki kembar lewat di tempat mereka! Hal ini adalah karena kecerdikan kakak beradik itu yang meninggalkan tempat mereka sambil menyamar, berpakaian lain dan juga Jit Kong merubah cara dia menggelung rambut dan mencoreng-moreng mukanya sehingga tidak sama dengan muka adik kembarnya! Baru setelah mereka berdua pergi jauh sesudah lewat berpekan-pekan, mereka berpakaian biasa kembali seperti anak kembar.

Akhirnya Gak Bun Beng dan isterinya kembali ke rumah mereka di puncak Beng-san. “Tenanglah, tidak mungkin anak-anak kita itu akan mengalami bencana. Mereka sudah cukup besar dan mereka pun bukan anak-anak yang biasa ceroboh. Juga, kurasa kepandaian mereka sudah cukup untuk mereka pergunakan melindungi diri sendiri.”

“Tapi mereka itu baru berusia dua belas tahun, masih belum dewasa dan di dunia ini terdapat amat banyak orang jahat!” kata Puteri Milana menyatakan kekhawatirannya.

“Betapa pun juga, mereka pergi berdua dan mereka dapat saling bantu. Biarlah, biar mereka mencari pengalaman dan merasakan betapa pahitnya dan bahayanya hidup di dunia ramai. Ingat, isteriku, kita pun dahulu merupakan petualang-petualang besar dan kita tetap selamat sampai setua ini. Mengapa terlalu mengkhawatirkan mereka?”

Puteri Milana adalah seorang wanita gagah perkasa, bahkan beberapa kali dia pernah memegang kedudukan panglima dan memimpin pasukan pemerintah untuk menghadapi pemberontak-pemberontak, maka sudah tentu saja dia bukan seorang wanita cengeng. Maka walau pun kekhawatiran kadang-kadang masih mencekam hatinya, dia dapat menenteramkan diri dan menanam keyakinan bahwa apa yang diucapkan suaminya itu memang benar. Betapa pun juga, suaminya harus berjanji kepadanya bahwa kalau sampai satu tahun anak kembar mereka itu belum pulang, mereka berdua akan turun gunung mencarinya sendiri!

Demikianlah asal mula Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong dapat berada di Pegunungan Himalaya, terbawa arus orang-orang kang-ouw yang mereka dengar berlomba mencari pedang pusaka yang jejaknya dikabarkan menuju ke pegunungan itu. Mereka tidak tahu bahwa kehadiran mereka diketahui oleh Im-kan Ngo-ok, dan kemudian murid-murid mereka, yaitu empat orang iblis betina Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik) melakukan pengejaran dan menawan dua orang anak kembar itu.

Karena maklum bahwa empat orang wanita itu lihai sekali, apalagi mereka adalah murid-murid utama dari Im-kan Ngo-ok yang juga nama besar mereka telah didengar oleh Jit Kong dan Goat Kong, maka kedua orang anak kembar ini tidak melakukan perlawanan dan menurut saja dibawa kembali ke timur. Untuk menjaga supaya mereka tidak lari, mereka diborgol! Sampai mereka berdua itu bertemu dengan Ci Sian yang menolong mereka.

Kalau Jit Kong dan Goat Kong menghendaki, tentu saja dengan mudah mereka dapat melepaskan diri. Empat orang iblis betina itu terlalu memandang rendah tawanan mereka. Kalau dua orang anak kembar itu menghendaki, sekali berontak mereka akan dapat mematahkan borgol mereka dan dapat melarikan diri. Akan tetapi mereka tidak mau melakukan ini dan pura-pura menjadi anak-anak tak berdaya dan menyerahkan diri saja karena mereka itu diam-diam merasa gembira dan ingin tahu apa yang akan terjadi kalau mereka sudah dihadapkan dengan majikan dari Su-bi Mo-li, yaitu yang katanya adalah Sam-thaihouw atau Ibu Suri Ke Tiga di istana kerajaan.

Tentu saja mereka tidak merasa takut karena bukankah mereka berdarah keluarga kaisar? Nenek mereka adalah Puteri Nirahai yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Nenek mereka itu adalah seorang puteri istana asli, masih terhitung bibi dari kaisar sekarang, sungguh pun neneknya itu puteri selir saja. Kalau dihitung-hitung, ibu kandung mereka masih terhitung saudara misan dari kaisar yang sekarang, malah mereka sendiri pun sebetulnya masih merupakan dua orang pangeran! Ingin mereka tahu apa yang akan terjadi dengan mereka, apalagi kalau diketahui bahwa mereka adalah putera dari Panglima Milana, cucu dari Puteri Nirahai yang amat terkenal itu!

Akan tetapi Ci Sian, gadis yang mengerikan dengan ular-ularnya itu, telah ‘menolong’ mereka dan merusak permainan sandiwara mereka. Betapa pun, semua pengalaman mereka itu membuka mata mereka bahwa merantau di tempat itu sungguh berbahaya sekali karena ternyata di situ banyak berkeliaran orang-orang pandai dan orang-orang jahat. Maka, mereka pun mengambil keputusan untuk pulang ke Beng-san, apalagi mereka kini teringat bahwa tentu ayah bundanya akan menjadi khawatir sekali dengan kepergian mereka.

Dan memang dugaan mereka itu benar. Ketika mereka tiba di rumah orang tua mereka, yaitu di Puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san, mereka disambut oleh tangis kegembiraan oleh ibu mereka, akan tetapi kemudian mereka pun menerima teguran keras dari ayah bunda mereka atas kelancangan mereka pergi merantau.

“Bukan kalian tidak boleh pergi merantau, akan tetapi harus mendapat restu orang tua, lebih dulu diperbincangkan dengan kami sehingga tidak menyusahkan hati orang tua. Lagi pula, kalian masih terlalu muda untuk pergi mencari pengalaman di luar,” demikian antara lain ayah mereka menegur.

“Kemana saja engkau pergi selama setengah tahun ini?” Milana bertanya, matanya masih basah akan tetapi wajahnya berseri kembali setelah selama berbulan-bulan ini nampak muram dan gelisah.

“Kami mendengar tentang pusaka Koai-liong-kiam yang hilang dari istana dan kabarnya dilarikan maling ke Pegunungan Himalaya, maka kami berdua pergi ke sana dengan harapan kalau-kalau kami akan dapat menemukan kembali pedang pusaka istana itu,” kata Jit Kong.

Milana terbelalak. “Kalian ke Pegunungan Himalaya?” Dan wanita cantik ini tertawa geli. “Ah, Ayahmu ingin sekali ikut mengejar ke barat, dan andai kata kalian tidak pergi, tentu Ayahmu juga pergi ke sana.”

Gak Bun Beng tertawa dan menggeleng-geleng kepala. “Aihh, sungguh tidak kunyana, aku yang ingin sekali pergi, malah kalian yang mendahului. Tetapi biarlah, hitung-hitung kalian mewakili aku. Asal saja kalian di sana tidak melakukan hal-hal yang memalukan. Apa yang telah kalian alami di sana? Banyakkah orang kang-ouw pergi ke sana?”

“Banyak sekali, Ayah. Di sana amat banyak orang-orang aneh dan orang-orang pandai,” kata Goat Kong.

“Dan bagaimana pula kabarnya dengan pedang pusaka itu? Apakah sudah ditemukan pencurinya dan pedang itu dapat dirampas kembali?” tanya Milana.

Jit Kong menggeleng kepala. “Mereka semua itu agaknya bukan mencari pedang untuk dikembalikan ke istana, Ibu, melainkan saling memperebutkan untuk masing-masing diri sendiri.”

“Ahhh....!” Milana berseru kecewa.

“Tidak aneh, apakah engkau lupa akan watak orang-orang kang-ouw yang tamak akan benda-benda pusaka, isteriku? Lalu kabarnya siapa yang mendapatkan pusaka itu?” tanya Bun Beng.

“Kami tidak tahu, Ayah, karena baru saja tiba di sana kami sudah ditangkap orang,” kata Jit Kong.

Tentu saja keterangan ini mengejutkan hati suami isteri pendekar itu. Milana bangkit dari tempat duduknya, mukanya yang masih cantik dalam usianya yang sudah mendekati lima puluh tahun itu menjadi kemerahan. “Ditangkap orang? Siapa yang menangkap kalian dan mengapa kalian ditangkap?”

“Kami ditangkap oleh empat orang wanita berjuluk Su-bi Mo-li....”

“Hemm! Su-bi Mo-li? Siapa mereka itu?” Milana membentak marah.

“Aku pun tidak mengenal nama itu,” kata Gak Bun Beng dan memang suami isteri ini selama ini tidak pernah keluar ke dunia kang-ouw sehingga mereka sama sekali tidak mengenal nama-nama baru. “Siapakah mereka itu?” tanyanya kepada kedua orang puteranya.

“Menurut yang kami dengar, mereka itu adalah murid-murid dari Im-kan Ngo-ok....”

“Ahhh, keparat! Kiranya murid-murid Im-kan Ngo-ok?” bentak Bun Beng dan Milana terkejut sekali mendengar nama Im-kan Ngo-ok yang dia tahu amat terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat dan amat lihai itu. “Kenapa kalian ditangkap mereka? Apakah kalian tidak melawan?”

“Mereka menghadang kami dan mengatakan bahwa kami harus ikut bersama ke kota raja untuk menghadap Sam-thaihouw. Kami sengaja tak melawan dan membiarkan diri ditangkap karena kami ingin sekali melihat apa yang akan terjadi dengan kami di istana. Kami tidak takut untuk dibawa ke istana!”

“Sam-thaihouw....?” Milana terbelalak dan dia lantas mengangguk-angguk, “Pantas...., kiranya empat iblis betina itu adalah kaki tangan Sam-thaihouw....!”

Gak Bun Beng juga sudah tahu betapa Sam-thaihouw, ibu suri ke tiga itu menaruh dendam kepada isterinya karena banyak hal, akan tetapi terutama karena kegagalan pemberontakan dua orang Pangeran Liong. Maka kini dia pun mengerti mengapa dua orang puteranya itu ditangkap atas perintah Sam-thaihouw dan dia mengerutkan alis, akan tetapi kemudian merasa lega bahwa dua orang puteranya itu telah selamat.

“Sudahlah, sekarang ceritakan bagaimana kalian ditawan dan bagaimana pula kalian dapat meloloskan diri dan pulang ke sini,” katanya kemudian.

Dengan cara bergantian, Jit Kong dan Goat Kong lalu menceritakan semua pengalaman mereka semenjak mereka pergi dari rumah menuju ke Himalaya dan betapa mereka ditangkap, kemudian betapa mereka ditolong oleh seorang gadis cantik bersama kakek Nepal yang mendatangkan ular-ular dan yang mengalahkan Su-bi Mo-li.

“Gadis itu mengacaukan rencana kami, Ayah!” kata Jit Kong.

“Dia itu seperti siluman ular saja. Mengerikan!” kata pula Goat Kong.

“Eh, ehh! Bagaimana kalian dapat berkata demikian? Bukankah mereka telah bersusah payah melawan Su-bi Mo-li untuk menolong kalian?” tanya Milana.

Dua orang anak kembar itu bersungut-sungut. “Akan tetapi, kami memang sengaja menyerahkan diri untuk ditangkap karena kami ingin melihat apa yang terjadi di istana dengan kami. Kami toh hanya pura-pura menyerah.... tahu-tahu gadis liar itu merusak sandiwara kami dan mencampuri. Karena sudah terlanjur bebas, maka kami lalu pulang karena daerah itu amat berbahaya dan terdapat banyak orang jahat yang amat lihai.”

“Siapakah gadis yang bermain-main dengan ular itu? Siapa namanya?” tanya Milana yang merasa tertarik.

“Kami tidak tahu, Ibu. Kami tidak tanyakan namanya. Untuk apa menanyakan nama gadis siluman ular itu?” kata Goat Kong.

“Ah, jangan berkata demikian!” Milana membentak. “Apa kau kira asal orang bermain atau mampu mendatangkan ular-ular lalu kau anggap dia jahat dan siluman? Tahukah kalian bahwa Bibimu, Isteri dari Pamanmu Suma Kian Lee juga seorang ahli tentang ular beracun?”

Dibentak demikian oleh ibunya, dua orang anak kembar itu diam saja dan di dalam hati mereka mengaku bahwa mereka memang bersikap salah terhadap gadis yang menolong mereka itu. Sesungguhnya bukan semata-mata ular-ular itu yang membuat mereka tidak suka kepada gadis itu, melainkan melihat keganasan ular-ular itu dan juga karena gadis itu telah menggagalkan rencana dan sandiwara mereka.

Pada malam harinya, setelah dua orang anak mereka itu tidur di kamar mereka sendiri, suami isteri pendekar ini lalu mengadakan perundingan. Mereka maklum bahwa dalam keadaan seperti dua orang anak mereka itu, yang sedang remaja dan menjelang dewasa, maka jiwa petualangan mereka itu sedang mencapai puncaknya, maka kalau tidak diberi saluran, mungkin saja pada suatu hari mereka itu minggat lagi.

Mereka lalu berunding untuk menyerahkan mereka kepada sastrawan Pouw Toan yang tinggal di lereng sebelah utara, seorang sastrawan yang menjadi sahabat baik mereka yang mereka hormati karena sastrawan itu merupakan seorang terpelajar yang amat mulia dan bijaksana. Biarlah anak mereka belajar ilmu tentang hidup dan memperdalam ilmu kesusastraan dari kakek itu. Mereka mengenal betul siapa Pouw Toan, seorang ahli sastra, seorang ahli lukis, seorang seniman sejati yang biar pun tidak pernah belajar ilmu silat, namun memiliki tubuh sehat kuat karena suka merantau dan yang mengenal hampir semua pendekar sakti di dunia ini.

Demikianlah, beberapa pekan kemudian suami isteri ini pergi mengunjungi rumah pondok Pouw Toan di lereng utara dan kebetulan sekali bagi mereka bahwa Pouw Toan baru saja kembali dari perantauannya. Pouw Toan menyambut kunjungan suami isteri sahabatnya itu dengan ramah dan gembira. Dia amat mengagumi pendekar dan isterinya itu, apalagi mengingat bahwa isteri pendekar itu adalah seorang puteri kandung dari Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai, masih berdarah keluarga kaisar akan tetapi memilih tinggal di puncak sunyi itu, rela meninggalkan kemuliaan dan kemewahan serta memilih hidup sederhana namun tenteram.

Setelah minum arak yang disuguhkan Pouw Toan, mereka duduk bercakap-cakap dan suami isteri ini menceritakan tentang petualangan dua orang putera kembar mereka sampai ke Pegunungan Himalaya! Mendengar itu Pouw Toan tersenyum dan amat tertarik. Setelah selesai dia menarik napas panjang.

“Ahhh, sungguh hebat puteramu itu, Taihiap. Akan tetapi aku tidak dapat menyalahkan mereka. Mereka itu adalah putera-putera suami isteri pendekar seperti Ji-wi, tentu saja memiliki keberanian dan jiwa petualang, dan tentu tertarik mendengar akan lenyapnya pedang pusaka itu. Aku sendiri seorang tua bangka lemah ini pun amat tertarik dan aku sudah banyak mendengar dan menyelidiki tentang pedang itu, sungguh pun aku tidak berkesempatan untuk ikut beramai-ramai pergi ke Himalaya!”

Setelah bercakap-cakap tentang bermacam hal sampai beberapa lamanya, akhirnya suami isteri itu menyatakan keperluan mereka datang berkunjung kepada sastrawan itu, yaitu untuk menitipkan dua orang putera mereka agar belajar ilmu sastra dan filsafat kepada kakek itu.

“Setelah mereka pergi dengan diam-diam, kami berdua merasa khawatir kalau-kalau mereka pergi lagi. Mereka masih hijau, apalagi dalam soal-soal hidup, oleh karena itu kami mohon Pouw Twako suka menerima mereka menjadi murid.”

“Ha-ha-ha, sungguh lucu mendengar bahwa Ji-wi, suami isteri pendekar sakti yang amat kukagumi malah menyerahkan putera Ji-wi kepadaku untuk menjadi murid! Betapa pun juga, hati siapa takkan merasa bangga menjadi guru dari cucu Pendekar Super Sakti? Tentu saja aku dengan senang hati menerimanya, namun, untuk mematangkan mereka, bukan hanya harus belajar dari buku-buku melainkan mengajak mereka merantau dan melihat kehidupan di tempat-tempat ramai.”

“Terserah kepada Pouw-twako kalau hendak mengajak mereka merantau. Biarlah mereka itu belajar selama dua tiga tahun sebelum mereka mempelajari Ilmu-ilmu silat yang lebih berat dan mendalam. Selain itu, juga kami berdua ingin pergi ke kota raja untuk menyelidiki apa maksudnya Sam-thaihouw menculik anak-anak kami.”

Setelah mereka bersepakat, Jit Kong dan Goat Kong diberi tahu. Dua orang anak ini menerima dengan girang perintah ayah mereka, apalagi pada saat mendengar bahwa mereka selain diajar ilmu kesusastraan juga akan diajak pergi merantau oleh Paman Pouw yang sudah mereka kenal dan yang mereka kagumi karena kakek itu pandai melukis dan pandai sajak.

Demikianlah, sejak itu, Jit Kong dan Goat Kong ikut dengan Pouw Toan, bahkan lalu diajak pergi merantau oleh kakek yang tidak betah tinggal terlalu lama di suatu tempat itu. Dan pada hari itu, seperti telah diceritakan di bagian depan, kakek itu bertemu dengan Wan Tek Hoat. Ketika dia berjumpa dengan Tek Hoat dan ketika dia dibawa pergi oleh tiga orang untuk dipaksa melukis hartawan Thio, dua orang muridnya itu sedang pergi untuk memberi peringatan atau hajaran kepada seorang penguasa dusun tak jauh dari kota itu yang terkenal sebagai penindas dan pemeras para penduduknya. Memang Pouw Toan tidak melarang, bahkan menganjurkan dua orang muridnya itu untuk mempergunakan ilmu silat yang mereka pelajari dari orang tua mereka untuk melawan kelaliman di mana pun mereka berada.

Dan malam itu juga Jit Kong dan Goat Kong pergi membereskan penasaran yang terjadi di dusun itu, mendatangi kepala dusun, menundukkannya, kemudian pada keesokan harinya mereka memaksa kepala dusun untuk mengembalikan sawah ladang yang dirampasnya dari para penduduk tani, dan menyaksikan kepala dusun mengucapkan janji untuk menjadi kepala dusun yang baik di depan para penduduk. Setelah selesai, barulah dua orang remaja kembar yang luar biasa ini meninggalkan dusun dan kembali ke kota di mana mereka melihat gurunya mengejar-ngejar seorang laki-laki jembel.

Setelah pertemuan dengan Wan Tek Hoat itu, Pouw Toan lalu melanjutkan perjalanan bersama dua orang murid kembarnya menuju ke utara, karena dia ingin mengajak dua orang muridnya merantau ke kota raja…..

********************

Sementara itu, bagaikan orang kesetanan, Wan Tek Hoat melakukan perjalanan cepat sekali, hampir tak pernah berhenti kecuali kalau kedua kakinya sudah seperti hendak patah-patah, napasnya seperti hendak putus dan tenaganya sudah habis saking lelah, haus dan laparnya, menuju ke timur. Dia melakukan perjalanan sambil berlari cepat siang malam, hanya kalau terpaksa saja dia berhenti untuk minum, makan dan tidur. Tujuannya hanya satu, yaitu ke Kim-coa-to, tempat tinggal kekasihnya, Syanti Dewi!

Pendekar yang sudah hampir rusak hidupnya dan kini seperti orang dalam kegelapan melihat titik cahaya terang itu, sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu pula di Pulau Kim-coa-to sedang dipersiapkan oleh penghuni atau majikan Pulau Kim-coa-to, yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yang Hui yang disebut Toanio (Nyonya Besar) oleh semua orang yang mengenalnya, dan selain dihormati, juga amat disegani bahkan ditakuti karena semua orang tahu belaka betapa nyonya yang berwajah amat cantik jelita dan kadang-kadang bermata dingin ini berdarah dingin pula dan betapa mudah membunuh orang dengan kepandaiannya yang luar biasa lihainya!

Pesta apakah gerangan yang diadakan oleh Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui yang biasanya pendiam dan suka menyendiri, tidak suka akan segala keramaian itu? Pesta ini diadakan demi rasa sayangnya kepada Syanti Dewi yang dianggap sebagai muridnya, adiknya, bahkan seperti anaknya sendiri itu. Pesta perayaan ulang tahun Syanti Dewi genap tiga puluh tahun! Tadinya Syanti Dewi menolak diadakannya pesta itu.

“Enci Hui....,” bantahnya, dan memang dua orang wanita yang sama cantiknya ini saling menyebut enci dan adik, “Perlu apa diadakan pesta perayaan ulang tahun? Selain aku tidak menginginkan itu, juga apa sih enaknya dirayakan ulang tahun kita jika kita sudah berusia tiga puluh tahun? Kiraku, tidak ada wanita yang suka memamerkan ketuaan umurnya!”

Ouw Yan Hui tersenyum. “Adikku yang manis, jangan kau berkata demikian. Pesta ini memang kusengaja, dengan bermacam maksud yang tersembunyi di baliknya. Sudah berkali-kali kukatakan kepadamu, Adikku, bahwa keramahanmu yang menerima semua persahabatan dari sekian banyaknya pria amatlah tidak baik jadinya. Oleh karena itu, biarlah kuadakan pesta ini untuk melihat siapakah sesungguhnya di antara mereka yang patut menjadi suamimu. Maka, pesta ini akan kita jadikan sebagai suatu kesempatan bagimu untuk memilih jodoh.”

“Enci....!”

“Jangan kau menolak lagi sekali ini, Syanti! Engkau takkan hidup seratus tahun dan biar pun engkau memiliki kecantikan seperti bidadari, dua puluh tahun lagi engkau sudah berusia setengah abad! Lihatlah diriku! Aku memang tetap cantik, tetapi apa gunanya semua kecantikan ini? Jangan kau sia-siakan hidupmu, Adikku. Maka biarkanlah aku yang mengatur semua itu. Aku akan memilihkan seorang di antara mereka yang paling tampan, paling gagah, paling kaya dan pendeknya yang tiada tandingnya di antara semua pria yang pernah kau kenal. Atau setidaknya, biarlah pangeran mahkota sendiri yang akan mempersuntingmu!”

“Enci....!”

“Adikku, mengapa engkau selalu berkeras hati? Aku tahu bahwa engkau bukanlah seorang wanita yang dingin seperti aku. Aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita berdarah panas yang selalu mendambakan cinta kasih seorang pria. Dan cintamu terhadap kekasihmu yang pertama itu tidak pernah padam! Itu menunjukkan betapa panasnya cintamu. Akan tetapi, kalau orang yang kau cinta sudah tidak peduli lagi akan dirimu, apakah engkau akan tetap setia dan menantinya sampai akhir jaman? Tidak, Adikku, itu sama sekali tidak benar dan aku yang sangat sayang kepadamu akan menentang ini!”

Menghadapi wanita yang biasanya pendiam dan dingin akan tetapi sekarang begitu banyak bicara karena penasaran itu, Syanti Dewi tak dapat banyak membantah. Betapa pun juga, dia pun sayang kepada wanita ini dan dia sudah berhutang budi sampai bertumpuk-tumpuk kepada wanita ini.

Memang, tadinya terdapat rasa sayang yang tidak wajar dalam hati Ouw Yan Hui, rasa sayang bercampur birahi yang aneh, yang dimiliki oleh wanita yang kini lebih suka bercumbu dan bermain cinta dengan sesama wanita karena dia pembenci pria. Akan tetapi setelah Ouw Yan Hui yakin benar bahwa Syanti Dewi tidak sudi melayani hasrat birahinya yang tidak wajar itu, Ouw Yan Hui tidak memaksanya dan birahinya lenyap bersatu dalam cinta kasihnya sebagai seorang sahabat atau saudara, atau bahkan seorang ibu!

Syanti Dewi merasakan benar kasih sayang wanita ini terhadap dirinya dan biar pun kasih sayang itu sifatnya tidak ingin menguasai dirinya, namun sedikitnya dia harus tahu diri dan tidak boleh selalu membantah mengukuhi kehendak sendiri. Selain itu, dia pun diam-diam melihat kebenaran dalam pendapat-pendapat Ouw Yan Hui. Memang dia masih mencinta Tek Hoat, akan tetapi mungkinkah pria itu masih dapat diharapkan lagi? Mengapa dia begitu bodoh menyiksa diri dalam kedukaan dan selalu menolak cinta kasih pria yang demikian banyaknya? Dia tinggal memilih! Tepat seperti yang dikatakan oleh Ouw Yan Hui. Dan usianya kini sudah tiga puluh tahun!

“Tiga puluh tahun! Ahhh, perlukah dirayakan Enci Hui? Bukankah itu sama dengan membuka rahasia bahwa aku sudah tua sekali?”

“Hemm, tiga puluh tahun belumlah tua sekali, Adikku. Pula, biarlah mata mereka terbuka bahwa engkau sudah berusia tiga puluh tahun, sudah cukup matang dan bukan seorang kanak-kanak lagi, akan tetapi juga agar mereka semua melihat betapa dalam usia tiga puluh tahun engkau tidak kalah segar dan cantiknya dibanding dengan seorang dara berusia tujuh belas tahun!”

“Aihh, Enci bisa saja menjawab.”

“Bagaimana, engkau sekali ini tidak akan mengecewakan hati Enci-mu, bukan?”

Syanti Dewi menunduk, merasa seperti seorang dara disuruh kawin dan mukanya lalu menjadi merah sekali. “Terserah kepadamu sajalah, Enci. Aku merasa seperti menjadi barang dagangan di pulau Kim-coa-to ini dan engkau hendak mencari pembeli yang berani menawar paling tinggi!”

Mendengar ucapan ini, Ouw Yan Hui kemudian merangkul Syanti Dewi. Kalau saja dia dirangkul oleh wanita lain, atau kalau saja dia tidak sudah tahu akan kesukaan Ouw Yan Hui bermain cinta dengan sesama wanita, tentu dia akan merasa terharu dan senang dirangkul. Akan tetapi kini, rangkulan Ouw Yan Hui terasa lebih menyeramkan dari pada rangkulan seorang pria yang tak dikenalnya, dan Ouw Yan Hui juga merasakan betapa tubuh puteri itu menegang, maka dia pun cepat melepaskan rangkulan sambil menarik napas panjang. Padahal dia tadi merangkul dara itu dengan perasaan seorang ibu merangkul anaknya.

“Syanti Dewi, mengapa engkau sekejam itu berkata demikian kepadaku? Engkau tahu bahwa seujung rambutku tidak ada pikiran mengganggumu sebagai barang dagangan. Engkau boleh memilih sendiri pria yang cocok untukmu, bukan karena melihat uangnya, tapi semuanya. Ya ketampanannya, ya kegagahannya, ya kedudukannya, ya hartanya. Pendeknya, seorang pria pilihan!”

“Terserah kepadamu, Enci!” kata pula Syanti Dewi sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan.

Ouw Yan Hui tersenyum, menepuk-nepuk pundak puteri itu, lalu meninggalkannya.

Dan mulailah persiapan dilakukan. Undangan-undangan dibagikan dan pengumuman-pengumuman disebarkan sampai jauh ke daratan besar, bahkan undangan khusus juga disampaikan kepada Pangeran Mahkota Kian Liong! Turut disampaikan pula undangan kepada para pemuda yang dianggap pantas untuk menjadi tamu undangan, pemuda putera dari para ketua perkumpulan yang berpengaruh, hartawan-hartawan dan para pemuda yang tampan, ahli sastra atau ahli silat.

Pendeknya, Ouw Yan Hui berusaha mengumpulkan semua pemuda pilihan yang bisa didapatkan di seluruh daerah yang dikenalnya, termasuk pula Sang Pangeran Mahkota sendiri yang memang sudah lama menjadi sahabat baik dari Syanti Dewi! Undangan-undangan yang dikirim, juga pengumuman-pengumuman itu tentu saja hanya berisi undangan untuk menghadiri perayaan hari ulang tahun Syanti Dewi, akan tetapi di samping itu, sebagai berita desas-desus yang santer dan menarik, dikabarkan bahwa Sang Puteri cantik itu hendak menggunakan kesempatan itu untuk menentukan pilihan jodohnya! Berita desas-desus inilah yang menggemparkan hati semua pemuda yang sudah lama tergila-gila kepada puteri yang amat cantik jelita seperti bidadari itu…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman