SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-22


Betapa pun juga, dia merasa yakin bahwa itu pasti bukan suara angin bertiup melalui lubang atau mempermainkan pohon karena di bukit itu semua pohon gundul tertutup salju. Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa suara itu tentu ditimbulkan oleh manusia, dan siapa pun adanya manusia itu, harus dia temui untuk ditanya kalau-kalau tadi melihat Kam Hong. Dan siapa pun dia, lebih baik bertemu manusia lain dari pada berkeliaran seorang diri saja di tempat yang lengang itu.

Dengan hati tabah dia lalu melanjutkan langkahnya, kini dengan langkah lebar menuju ke kiri, melalui bagian yang banyak batunya dan akhirnya dia tiba di depan sebuah batu besar sekali dan berhenti, memandang dengan bengong dan mau tidak mau bulu tengkuknya meremang karena kini jelas olehnya bahwa suara mengaung-ngaung itu keluar dari dalam batu besar itu! Hampir dia tidak percaya! Akan tetapi tak salah lagi, suara itu keluar dari dalam batu besar. Dia menempelkan telinganya pada batu itu dan suara itu makin jelas, dan kini dia tidak salah lagi, suara itu pasti suara gerakan pedang yang memang amat luar biasa sekali. Akan tetapi, mana mungkin pedang digerakkan orang di dalam sebuah batu yang amat besar, sebesar pondok?

Mulailah dia membayangkan siluman atau iblis penghuni batu besar itu. Akan tetapi, selama hidupnya, biar pun dia sering kali mendengar dongeng tentang setan dan iblis, dia belum pernah bertemu dengan iblis! Maka dia lalu mengambil sebuah batu dan mengetuk-ngetuk batu besar itu beberapa kali. Dan tiba-tiba suara mengaung-aung itu pun berhenti! Suasana menjadi sunyi sekali setelah suara itu berhenti, sunyi yang terasa amat tidak enak bagi Ci Sian. Suara itu setidaknya meyakinkan dia bahwa dia tidak seorang diri saja di tempat yang lengang itu. Dan menghilangnya suara itu membuat dia merasa ditinggalkan sendirian lagi. Maka dia mengetuk-ngetuk lagi pada batu besar dan kini disusul teriakannya, “Haiii! Adakah orang di dalam batu ini?”

Karena ketegangan hatinya takut ditinggalkan orang, Ci Sian sampai tidak sadar betapa lucu pertanyaan yang dikeluarkannya itu. Biasanya, jika orang bertanya, tentu bertanya apakah ada orang di dalam rumah, tetapi kini dia bertanya apakah ada orang di dalam batu! Mana mungkin ada orang di dalam batu?

“Haiii! Siapakah yang berada di dalam batu ini?” kembali dia berteriak dan memukul-mukulkan batu yang dipegangnya itu pada batu besar.

Mendadak terdengar suara dari dalam batu itu! Suara itu terdengar aneh, seperti mulut tersumbat, akan tetapi cukup dapat didengarnya, “Sumoi, engkaukah itu?”

Bukan main girang hatinya. Tentu itu Kam Hong! Siapa lagi yang menyebutnya sumoi kalau bukan Kam Hong? Meski biasanya Kam Hong menyebutnya Ci Sian, akan tetapi bukankah pendekar itu sudah mengakui dia sebagai sumoi-nya? Dan kalau suara Kam Hong seperti itu, tidak aneh karena pendekar itu berada di dalam batu! Tentu suaranya seperti tersumbat. Dan di dunia ini mana ada manusia lain kecuali Kam Hong yang memiliki cukup kesaktian untuk masuk ke dalam batu besar?

“Benar, Suheng, ini aku!” teriaknya dengan nyaring. Karena Kam Hong menyebutnya sumoi, mengapa dia tidak menyebutnya suheng? Masa kalau dia dipanggil sumoi (adik seperguruan), lalu dia menjawabnya dengan sebutan paman? Dan lagi, kalau diingat-ingat, dia memang jauh lebih senang menyebut suheng dari pada menyebut paman kepada Kam Hong.

“Mau apa engkau datang menyusulku, Sumoi?” kembali terdengar suara itu, suara aneh karena tentu saja tidak leluasa keluarnya dari dalam batu itu.

“Mau apa menyusulmu?” Ci Sian mulai terheran dan mendongkol! Jangan-jangan Kam Hong telah menjadi miring otaknya, jika tidak masa menyembunyikan diri di dalam batu besar seperti itu dan masih bertanya lagi kepadanya mengapa dia datang menyusul?

“Bukalah aku mau bicara!” katanya dengan nyaring karena tidak enak jika berbantahan dari luar dan dalam batu!

“Tunggu sebentar....!”

Ci Sian melangkah mundur. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana Kam Hong akan keluar dari dalam batu itu. Jangan-jangan batu itu akan meledak dari dalam. Yang lebih mengherankan lagi, bagaimana masuknya? Dia menyabarkan diri karena kalau sudah keluar, tentu Kam Hong akan dapat menjawab semua keheranannya.

Mendadak batu besar itu bergerak ke kanan! Dalam keheranannya, Ci Sian hendak menegur, tetapi dia menahan diri ketika melihat betapa di balik batu itu kelihatan lubang hitam yang makin lama semakin melebar. Setelah lebarnya cukup, batu itu berhenti dan dari dalam goa yang tersembunyi di balik batu besar itu muncullah seorang pemuda yang langsung meloncat keluar. Ci Sian terkejut, pemuda itu pun terkejut ketika mereka saling pandang. Lalu wajah mereka nampak berseri ketika mereka saling mengenal.

“Engkau....?”

“Engkau....?” Pemuda itu pun berseru hampir berbareng. “Bukankah engkau ehhh...., Siauw Goat dan kita pernah berjumpa lima tahun yang lalu?” Suaranya penuh keraguan karena ketika dia bertemu dengan dara ini, belumlah sebesar ini, masih merupakan seorang gadis cilik, bukan seorang dara remaja yang cantik jelita seperti ini.

“Dan engkau tentu Sim Hong Bu, pemuda pemburu itu, bukan?” Ci Sian menjawab.

“Kau tadi kusangka Sumoi....”

“Dan engkau kusangka Suheng....”

Keduanya diam dan segera keduanya tertawa karena baru terasa oleh mereka betapa pertemuan itu membuat mereka terkejut, heran dan juga girang sekali sehingga mereka mengeluarkan kata-kata yang hampir berbareng dan bersamaan artinya, sehingga tidak terjadi tanya jawab sebagaimana mestinya dan percakapan itu menjadi kacau!

“Hong Bu, ketika kita saling jumpa, kita masih belum dewasa, masih kecil. Akan tetapi engkau dapat mengenalku dengan seketika, apakah aku masih sama saja dengan ketika masih kecil dahulu?”

Hong Bu yang sejak tadi memandang dengan bengong seperti orang penuh pesona, penuh kagum, mendengar pertanyaan yang jujur itu, lalu menjawab sejujurnya pula. “Memang tidak ada bedanya dalam pandang matamu yang tajam, senyummu yang khas, akan tetapi engkau.... engkau sekarang, hemmm, cantik jelita sekali, Siauw Goat!”

Tiba-tiba wajah dara itu berubah merah, bukan merah karena marah melainkan karena malu, dan untuk menyembunyikan rasa malu ini dia cepat berkata, “Jangan sebut aku Siauw Goat lagi, Aku bukan anak kecil lagi maka namaku bukanlah Bulan Kecil lagi, melainkan Ci Sian, Bu Ci Sian. Hong Bu, siapakah adanya Sumoi-mu yang tadi kau sebut-sebut?”

“Bu Ci Sian....? Sungguh nama yang indah sekali... tetapi mengapa dulu namamu Siauw Goat....?”

Mendengar pujian ini dan betapa Hong Bu tidak menjawab pertanyaannya, bahkan bertanya tentang namanya, Ci Sian cemberut, akan tetapi menjawab juga. “Siauw Goat hanya nama julukan yang diberikan orang kepadaku di waktu aku masih kecil saja, namaku yang sebenarnya adalah Bu Ci Sian, akan tetapi nama itu sama sekali tidaklah indah....“

“Siapa bilang tidak indah? Nama itu bagus sekali, Siauw.... ehhh, Ci Sian!”

“Sudahlah, sekarang jawab pertanyaanku, siapakah Sumoi-mu itu?”

“Sumoi-ku? Ahh, Sumoi-ku bernama Cu Pek In....“

Hong Bu terhenti karena melihat betapa dara itu menjadi terkejut sekali dan wajah dara yang jelita itu berubah, alisnya berkerut dan pandang matanya tak senang. Kemudian, semakin terkejutlah hati Hong Bu ketika dia melihat dara itu mengepal tinjunya dan melangkah maju mendekatinya dengan sikap mengancam.

“Bagus, jadi engkau adalah murid keluarga Cu yang jahat itu, ya? Engkau murid keluarga siluman itu? Nah, suatu kesempatan bagiku untuk membasmi muridnya lebih dulu sebelum membasmi guru-gurunya!” Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali Ci Sian lalu menerjang ke depan dan menyerang dada Hong Bu!

“Eh, Ci Sian.... eh, ada apa ini....?” Hong Bu terkejut akan tetapi dia hanya mengelak ke kanan kiri saat dara itu menyerangnya secara bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga yang cukup dahsyat. Akan tetapi Ci Sian tak bicara lagi, melainkan menyerang semakin ganas.

Harus diketahui bahwa pada saat itu tingkat kepandaian Sim Hong Bu telah mengalami perubahan yang amat hebat. Selama hampir lima tahun dia telah digembleng oleh tiga orang kakak beradik Cu yang melatihnya dengan tekun dan keras, sesuai dengan pesan mendiang Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti. Dan karena Hong Bu memang seorang anak kecil yang amat berbakat, ditambah lagi semangatnya yang besar, maka dalam waktu empat tahun saja dia telah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi keluarga itu dengan baiknya, bahkan dalam hal penghimpunan tenaga sinkang dan kematangan ilmu silat, dia telah jauh melampaui Cu Pek In, dan bahkan sudah mendekati tingkat Cu Kang Bu atau pun Cu Seng Bu.

Kini, dia mulai disuruh oleh guru-gurunya untuk mengasingkan diri di dalam goa di mana ia pernah diajak oleh Yeti, dan disuruh mematangkan ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya selama ini dan juga untuk mulai melatih diri dengan ilmu-ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang Kwan, terutama sekali Ilmu Pedang Koai-liong-kiam itu.

Oleh karena itu, kini menghadapi Ci Sian, kalau dia mau melawan tentu tidak sukar baginya untuk merobohkan dara ini yang belum benar-benar menerima pelajaran ilmu silat dari Kam Hong. Akan tetapi, Sim Hong Bu sama sekali tidak tidak mau melawan. Begitu berjumpa dengan Ci Sian, terjadi sesuatu yang aneh dalam hatinya. Ia terpesona dan kagum, tertarik sekali kepada dara yang pernah dijumpainya lima tahun yang lalu itu. Kini menghadapi serangan-serangan ganas dari Ci Sian, dia hanya merasa terkejut dan terheran-heran saja. Sedikit pun ia tak bermaksud untuk melawan, hanya mengelak terus dan kadang-kadang saja menangkis tanpa menggunakan terlalu banyak tenaga karena dia tidak ingin menyakiti lengan Ci Sian.

Akan tetapi, hal itu malah menambah kemarahan dan rasa penasaran di dalam hati Ci Sian. Melihat betapa Hong Bu hanya selalu mengelak dan menangkis tanpa membalas sedikit pun, sedangkan dia sudah mengeluarkan semua kepandaian untuk menyerang dan semua tiada hasilnya sama sekali membuat dia penasaran dan hampir menangis.

“Balaslah! Hayo balaslah, kau pengecut, murid keluarga iblis!” bentaknya berkali-kali sambil terus menyerang.

Hong Bu yang merasa terkejut dan terheran-heran itu mengerti bahwa sikapnya yang tidak melawan itu agaknya malah menyinggung hati Ci Sian. Dia tidak mengerti akan watak yang dianggapnya aneh dan lucu itu, akan tetapi dia pun merasa kasihan ketika mendengar betapa di dalam suara dara itu terkandung isak tertahan. Maka ketika Ci Sian memukul lagi ke dadanya, dia sengaja berlaku lambat ketika mengelak.

“Dukkkk....!” Tubuhnya terlempar ke belakang dan terpelanting.

Begitu melihat pukulannya mengenai sasaran, Ci Sian merasa girang akan tetapi juga berbareng merasa kaget bukan main. Akan tetapi hatinya lega melihat Hong Bu tidak mati dan dia malah menjadi ragu-ragu untuk menyerang lebih lanjut ketika melihat Hong Bu bangkit kembali dengan wajah memperlihatkan rasa penasaran dan juga kedukaan itu.

“Ci Sian, harap kau bersabar.... mengapa engkau marah-marah dan benci kepadaku, lalu menyerang tanpa alasan?” Hong Bu bertanya sambil mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor oleh debu saat ia terjatuh tadi. Tentu saja pukulan yang sengaja diterimanya dengan dada tadi sama sekali tidak melukainya dan tidak terasa nyeri karena dia sudah melindungi dadanya dengan sinkang yang lemas sehingga dara itu pun tidak sampai terluka tangannya.

Ci Sian memandang ke arah dada kiri pemuda yang terpukul olehnya tadi. Dia tadi mengerahkan tenaga dan pukulannya tadi keras sekali, cukup keras untuk membunuh orang!

“Tidak.... tidak sakitkah dadamu yang kupukul?”

Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Hong Bu tertawa. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk menahan rasa geli di hatinya itu dan juga dia merasa amat girang. Kiranya Ci Sian bukanlah seorang dara kejam, buktinya begitu dia kena terpukul, gadis itu bertanya dengan nada penuh kekhawatiran! Maka dia cepat-cepat meringis dan mengusap-usap dadanya yang tadi terpukul.

“Bukan main nyerinya.... pukulanmu tadi kuat dan dahsyat sekali.... akan tetapi.... tidak mengapalah, biarlah sebagai hukumanku kalau aku memang bersalah. Akan tetapi, bersalahkah aku kepadamu, Ci Sian? Dan kalau ada salah, apakah kesalahanku itu maka engkau menjadi begitu marah dan memukulku?”

Setelah dia berhasil memukul dada Hong Bu, sudah lenyaplah rasa penasaran dan kemarahan dari hati Ci Sian dan timbul rasa kasihan kepada pemuda itu. Bagaimana pun juga, pemuda itu sama sekali tidak mempunyai kesalahan apa pun terhadap dia. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mengakui hal ini dan dengan muka tetap cemberut, biar pun suaranya tidak sekeras tadi dia berkata, “Keluarga Cu itu gurumu, bukan? Benar, keluarga penghuni Kim-siauw San-kok (Lembah Gunung Suling Emas ) karena mulai sekarang mereka tidak berhak memakai lagi nama julukan Suling Emas. Mereka itu telah kalah oleh Suheng-ku dan sudah berjanji tak akan lagi memakai nama Suling Emas.”

“Ehh, apakah yang telah terjadi, Ci Sian? Aku tidak mengerti apa yang kau katakan itu, juga aku sama sekali tidak tahu mengapa engkau memusuhi keluarga Cu sehingga engkau marah-marah kepada aku yang menjadi murid mereka. Marilah, kita duduk dan bicara dengan tenang.”

Mereka lalu duduk di depan batu besar yang menutupi goa itu. Ci Sian sudah tak marah lagi sungguh pun ada rasa kecewa dalam hatinya bahwa pemuda yang menyenangkan ini ternyata adalah murid dari musuh-musuhnya yang dibencinya. Ya, dia membenci keluarga Cu, karena bukankah keluarga itu hendak membunuhnya, bahkan pada waktu menjelang perpisahan, Cu Han Bu masih juga mengeluarkan ancamannya?

“Nah, sekarang ceritakanlah kepadaku, apa artinya semua ini, Ci Sian?”

“Ceritakan dulu bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi murid mereka,” kata Ci Sian.

Hong Bu tersenyum, kemudian menarik napas panjang. Dara ini sungguh amat memikat hatinya, dan biar pun dara ini sedang berada dalam keadaan marah, akan tetapi tidak mengurangi daya tariknya yang amat kuat. Dan dia merasa yakin bahwa kemarahan dara itu kepadanya secara tiba-tiba bukannya tidak ada alasannya yang kuat, karena itu biar pun belum mendengarkan alasan itu pun dia sudah dengan rela memaafkan gadis itu!

“Aku menjadi murid mereka secara kebetulan saja,” dia mulai menceritakan keadaan dirinya. Dia harus merahasiakan tentang mendiang Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti. “Secara kebetulan aku terbawa oleh rombongan orang-orang kang-ouw menjadi tamu di Lembah Suling.... ehhh, di lembah keluarga Cu itu dan karena ternyata bahwa pedang Koai-liong-kiam berada di tanganku, maka aku ditetapkan menjadi ahli waris pedang itu dan ilmunya, dan karena pedang itu berasal dari keluarga Cu, maka dengan sendirinya aku menjadi murid mereka. Selama hampir lima tahun aku belajar ilmu dari mereka, yaitu ketiga orang Suhu-ku she Cu itu. Nah, demikianlah pengalamanku mengapa aku dapat menjadi murid mereka, Ci Sian. Dan sekarang, ceritakanlah mengapa engkau membenci mereka....?”

“Jika engkau murid mereka, mengapa engkau kini berada di sini sehingga engkau tidak tahu apa yang terjadi di lembah?” Ci Sian masih merasa tidak puas.

“Sejak tiga bulan yang lalu aku tidak pernah keluar dari dalam goa di balik batu ini, Ci Sian, karena telah tiba saatnya bagiku untuk mempelajari ilmu pedang yang diwariskan kepadaku. Kalau tidak engkau mengetuk-ngetuk pada batu tadi, sampai sekarang pun aku belum keluar dari dalam goa itu.”

“Dan kau sangka.... aku.... Sumoi-mu.... hemm.... gadis yang berpakaian pria itu?”

“Ya, benar. Kau sudah mengenal Sumoi Cu Pek In?”

“Tentu saja, aku sudah bertemu dengan banci itu!”

“Banci?” Sepasang mata Hong Bu terbelalak heran.

“Ya, banci. Seorang dara yang selalu mengenakan pakaian pria, apalagi kalau bukan banci namanya?”

Hong Bu tertawa geli dan Ci Sian memandang marah. “Kenapa kau tertawa?”

“Karena kau lucu, Ci Sian. Dia bukan banci. Dia berpakaian pria semenjak kecil, karena dahulu, mendiang ibunya ingin sekali mempunyai seorang anak laki-laki. Maka dia menjadi terbiasa dan sampai sekarang suka sekali berpakaian pria.”

Mendengar bahwa ibu dari Pek In sudah tiada, diam-diam Ci Sian merasa berkurang bencinya kepada dara yang senasib dengan dia itu.

“Apakah yang telah terjadi di lembah dan mengapa engkau dapat datang ke tempat ini, Ci Sian?”

“Aku dan Suheng, kau tahu siapa Suheng, dia adalah Pendekar Suling Emas tulen Kam Hong, datang....”

“Ahhh.... ! Pendekar perkasa yang dahulu pernah menolong kita itu? Yang senjatanya mempergunakan suling emas dan kipas?”

“Benar, dialah orangnya!” kata Ci Sian bangga. “Karena Suheng merasa penasaran dengan julukan Lembah Suling Emas yang menyamai julukannya, maka kami datang ke lembah dan di sana, untuk menentukan siapa yang lebih berhak memakai nama Suling Emas, Suheng mengalahkan tiga orang she Cu itu....”

“Ahhh....!” Hong Bu terkejut, di dalam hatinya hampir tidak dapat percaya bahwa ketiga orang gurunya dapat dikalahkan orang.

“Apa ahhh?” Ci Sian menatap tajam.

“Tidak apa-apa, hanya aku teringat bahwa menurut penuturan para suhu, memang pusaka suling emas itu buatan nenek moyang keluarga Cu, seperti juga halnya pedang Koai-liong-kiam. Oleh karena itulah maka lembah itu dinamakan Lembah Gunung Suling Emas.”

“Andai kata benar begitu, suling itu sudah ratusan tahun menjadi milik keluarga Suheng Kam Hong, dan secara gaib Ilmu Kim-siauw Kiam-sut juga diwariskan kepada kami oleh pencipta suling itu, maka Suheng-lah yang berhak menyebut diri Suling Emas yang asli.”

“Lalu bagaimana, Ci Sian? Apakah dalam adu ilmu itu juga ada yang terluka atau tewas?” tanya Hong Bu dengan hati khawatir sekali. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi dan diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cu.

“Hemm, kalau Suheng tidak ingin memberi ampun, apa sukarnya bagi Suheng untuk membasmi mereka yang sombong itu? Suheng hanya mengalahkan mereka dan memenangkan hak memakai nama Suling Emas. Kami lalu meninggalkan lembah....“

“Kalau begitu, mana Suheng-mu itu? Dan mengapa engkau datang sendirian di sini? Jadi kau kira tadi aku Suheng-mu itukah?”

“Ya, aku sedang menyusul Suheng, maka kukira tadi engkaulah Suheng Kam Hong. Semua adalah gara-gara Si Banci.... ehhh, Cu Pek In itulah.”

“Gara-gara Sumoi? Mengapa? Apa yang terjadi?”

“Aku dan Suheng sedang meninggalkan lembah setelah menyeberangi tambang. Ketika kami tiba di puncak bukit, kami melihat Cu Pek In berjalan seorang diri dan dari tempat jauh itu kami melihat betapa dia diserang dan ditawan oleh dua orang kakek....”

“Ahhh....!” Sim Hong Bu terkejut bukan main mendengar penuturuan ini.

“Melihat itu, Suheng lalu lari melakukan pengejaran dan meninggalkan aku,” kata Ci Sian dengan suara tak senang. “Maka aku lalu mengejar pula, akan tetapi tentu saja Suheng lenyap karena cepatnya gerakannya.”

“Ahhh! Ke mana perginya kakek yang menculik Sumoi itu? Aku harus menolongnya!”

“Hemm, kalau aku tahu, apa kau kira aku berada di sini? Aku pun sedang mencari-cari Suheng yang melakukan pengejaran.”

“Kalau begitu, biar aku mencarinya untuk membantu Suheng-mu menghadapi dua orang kakek itu dan menolong Sumoi.”

“Ke mana kau hendak mencarinya? Pula, kau pikir Suheng membutuhkan bantuanmu? Kita tunggu saja di sini, pasti Suheng akan datang membawa Sumoi-mu itu dalam keadaan selamat.”

“Benarkah? Benarkah Suheng-mu akan dapat menyelamatkannya? Apakah tidak perlu kucari mereka dan kubantu Suheng-mu?”

“Hemm, bantuanmu itu hanya akan membikin Suheng repot saja dan membantunya berarti menghinanya. Sudahlah, kita tunggu di sini, Suheng pasti akan dapat mencari aku di sini.”

Sejenak Hong Bu merasa bimbang. Akan tetapi kemudian menurut apa yang diusulkan oleh Ci Sian. Pertama, kalau dia mencari, ke mana dia harus mencari kalau tidak tahu ke arah mana sumoi-nya dilarikan dua orang kakek itu, dan juga, bukankah pendekar Kam Hong yang sakti itu telah melakukan pengejaran? Ke dua, kalau dia pergi, lalu bagaimana dengan Ci Sian yang seorang diri itu?

“Kalau begitu, marilah kita masuk ke dalam goa, Ci Sian. Hari sudah hampir gelap dan hawa akan sangat dingin malam ini di luar sini. Di dalam lebih hangat dan kita bisa menanti di dalam.”

“Akan tetapi bagaimana kalau Suheng datang mencariku di sini?“

“Hemm, bukankah Suheng-mu sedang menolong Sumoi? Sumoi tahu akan tempat ini walau pun dia belum pernah memasuki goa ini. Dan andai kata Sumoi langsung kembali ke lembah, besok pagi-pagi kita dapat menyusul ke lembah dan tentu kita akan mendengar segalanya dan engkau akan dapat bertemu dengan Suheng-mu.”

Karena tidak ada lain jalan dan memang cuaca mulai menjadi gelap dan hawa menjadi dingin sekali, Ci Sian mengikuti Hong Bu memasuki goa itu dan dia melihat dengan penuh takjub betapa pemuda itu mendorong batu besar itu dengan tangan kirinya saja untuk menutup lubang goa itu! Diam-diam dia merasa heran mengapa tadi ketika menangkisnya, dia tidak merasakan kedahsyatan tenaga tangan pemuda itu!

Akan tetapi dia tidak sempat lagi memikirkan hal ini karena ketika Hong Bu menyalakan api penerangan, dia menjadi takjub bukan main menyaksikan keindahan goa itu yang seolah-olah merupakan sebuah dunia lain dengan dinding-dinding es yang kemilau dan runcing bergantungan dari langit. Akan tetapi, untuk tidak membuka rahasia tempat itu, Hong Bu tidak mengajak Ci Sian ke sebelah dalam di mana terdapat mayat-mayat yang tidak rusak karena terbungkus oleh es. Mereka hanya duduk di ruangan depan yang luas dan Ci Sian menerima dengan girang ketika Hong Bu menghidangkan roti kering dan air jernih untuk makan malam.

Mereka makan minum sambil mengobrol dan diam-diam Hong Bu harus mengakui bahwa dia tertarik sekali kepada Ci Sian, dan dia merasa khawatir karena menduga bahwa dia telah jatuh cinta kepada dara itu! Segala gerak-gerik bibirnya ketika bicara, cara dara itu menggerakkan cuping hidung tanpa disadarinya, lesung pipit di tepi mulut sebelah kiri, cara dara itu memandang dengan kepala agak dimiringkan, cara dara itu mengusap anak rambut yang berjuntai di dahinya, pendeknya setiap gerak-gerik dara itu begitu menarik dan mempesonakan hatinya, membuatnya tergila-gila!

Di lain pihak, Ci Sian juga amat suka kepada Hong Bu karena semenjak pertemuan lima tahun yang lalu, dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda yang berwatak mulia, gagah perkasa dan juga jujur. Oleh karena itu, ketika malam telah larut dan dia telah mengantuk, dia tidak ragu-ragu sama sekali ketika Hong Bu mempersilakan dia mengaso dan tidur di atas setumpuk daun kering di sudut ruangan depan goa itu. Dia tidak merasa takut dan khawatir sama sekali dan sebentar saja, dara yang sudah lelah ini tertidur pulas.

Hong Bu berjaga tak jauh di situ sambil menjaga api unggun agar tidak sampai padam untuk memberi hawa hangat kepada dara yang sedang tidur pulas. Sambil menatap ke arah wajah dan tubuh yang tidur miring itu, berkali-kali Hong Bu menghela napas panjang. Melihat betapa hawa amat dingin dan biar pun di situ tidak sedingin di luar, apalagi sudah ada api unggun yang bernyala, akan tetapi tetap saja dara itu tidur meringkuk kedinginan, dia kemudian masuk ke dalam, mengambil baju mantelnya dan menyelimuti Ci Sian, kemudian duduk kembali dekat api unggun…..

********************

Sementara itu, Kam Hong yang melakukan pengejaran terpaksa harus mengerahkan tenaganya karena dua orang kakek yang menawan Pek In itu juga lihai sekali dan dapat melarikan diri dengan kecepatan luar biasa, dan selain itu memang jarak di antara mereka cukup jauh. Baiknya, dua orang kakek itu sama sekali tidak mengira bahwa kini mereka telah dikejar orang. Karena inilah agaknya maka Kam Hong akhirnya dapat juga menyusul dua orang kakek itu. Setelah kini dapat melihat jelas, diam-diam Kam Hong terkejut.

Dia belum pernah jumpa dengan dua orang kakek itu, akan tetapi melihat bentuk tubuh mereka, dia dapat menyangka bahwa dua orang kakek yang menawan Pek In itu tentulah dua orang di antara Im-kan Ngo-ok dan kalau dia tidak salah, kakek yang berpakaian seperti tosu yang tingginya luar biasa itu, sedikitnya dua setengah meter, tentulah Ngo-ok Toat-beng Sian-su, sedangkan kakek berkepala gundul dan berpakaian hwesio, bertubuh gendut pendek sekali, hanya setengahnya Ngo-ok itu tentulah Su-ok Siauw Siang-cu atau orang ke empat Im-kan Ngo-ok!

Kam Hong telah mendengar tentang mereka satu demi satu, akan tetapi belum pernah bertemu dengan mereka. Kini, melihat betapa tubuh Pek In tidak bergerak dipanggul di pundak kakek tinggi kurus itu, dia mempercepat larinya. Akan tetapi, ternyata dua orang kakek itu lihai bukan main karena tiba-tiba mereka menengok dan melihat betapa ada orang mengejar mereka dengan amat cepatnya mereka pun segera mempercepat lari mereka!

Kam Hong terus mengejar dan ternyata dua orang itu melarikan diri ke sebuah kuil tua yang berada di kaki bukit, agaknya kuil kosong yang sudah ditinggalkan penghuninya bertahun-tahun yang lalu, karena kuil itu tidak terawat. Mereka berdua lenyap memasuki kuil melalui pintu depan yang tidak berdaun pintu lagi dan keadaan amat sunyi di situ ketika Kam Hong sampai di pekarangan depan kuil yang tidak terawat, yang dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan liar yang dapat tumbuh di tempat dingin itu. Tidak ada salju di sini, akan tetapi hawa udara bahkan lebih dingin dari pada di puncak bukit yang tertiup salju.

Kam Hong tidak berani ceroboh memasuki kuil. Dia tahu bahwa Im-kan Ngo-ok adalah datuk-datuk kaum sesat yang berkedudukan tinggi sekali, maka menghadapi mereka tak boleh disamakan dengan menghadapi penjahat-penjahat biasa. Sejenak dia meneliti keadaan dan setelah dia merasa yakin bahwa dari tempat dia berdiri itu dia akan dapat melihat apabila ada orang keluar dari dalam kuil itu baik melalui jurusan mana pun juga, dia lalu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua lengan bersilang di depan dada, kemudian dia berseru dengan suara tenang dan nyaring.

“Yang berada di dalam kuil, bukanlah Im-kan Ngo-ok? Silakan keluar, aku Kam Hong ingin bicara!”

Hening sejenak sampai gema suara Kam Hong itu menghilang. Kemudian terdengar teriakan dari dalam kuil. “Mana keluarga Cu? Apakah orang yang datang ini utusan keluarga Lembah Gunung Suling Emas?” Suara yang berteriak itu terdengar menggetar penuh dengan tenaga khikang yang amat kuat dan tahulah Kam Hong bahwa orang yang berteriak itu sengaja memamerkan kepandaian untuk menakutinya.

“Aku bukan utusan siapa pun, aku datang atas namaku sendiri karena melihat seorang gadis kalian tawan!” kata Kam Hong terus terang.

“Huh, apamukah Nona ini maka engkau lancang mencampuri?” terdengar suara orang membentak marah dari dari dalam kuil itu.

“Bukan keluarga, bukan teman, bukan apa-apa, tetapi melihat seorang gadis ditawan dengan paksa apakah kalian mengira bahwa aku akan diam saja? Im-kan Ngo-ok, telah lama aku mendengar nama besar kalian sebagai datuk-datuk perkasa, apakah kini aku harus melihat kenyataan bahwa kalian hanyalah penculik-penculik gadis yang pengecut saja dan tidak berani menghadapi aku sebagai laki-laki?”

“Sombong....!”

Tiba-tiba sesosok bayangan seperti bola menggelundung dari pintu kuil dan tahu-tahu seorang pendek gendut seperti hwesio itu sudah mencelat ke depan dan menghantam ke arah dada Kam Hong setelah tadi menggelundung bagai seekor binatang trenggiling turun dari lereng. Hantaman itu dahsyat bukan main sampai angin pukulannya terasa menyambar oleh Kam Hong. Melihat serangan maut ini, Kam Hong maklum betapa lihai dan kejamnya orang ini, maka dia pun mengerahkan tenaga pada lengan kirinya dan menangkis.

“Dukkk! Bresss!”

Tubuh yang pendek gendut itu terguling dan kembali tubuh itu bergulingan menjauh, lalu meloncat bangun dengan mata terbelalak memandang ke arah pemuda yang mampu menangkis serangannya sehebat itu.

Dugaan Kam Hong memang tepat karena pada saat itu, dari pintu kuil keluarlah empat orang lain dan dengan penuh perhatian Kam Hong memandang ke arah mereka, dan dia kini bertemu dengan lima orang yang gambarannya telah lama dia dengar sebagai Im-kan Ngo-ok.

Orang pertama adalah seorang kakek yang wajahnya mirip sekali dengan seekor gorilla. Gerak-geriknya halus dan meski wajahnya mengerikan seperti gorila, namun mulutnya selalu membayangkan senyum ramah! Dia inilah Toa-ok Su Lo Ti, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok.

Orang ke dua merupakan seorang nenek yang mukanya tertutup topeng tengkorak. Tubuhnya kecil ramping seperti tubuh wanita muda. Sepasang mata di balik tengkorak itu mencorong seperti mata setan, agak kemerahan mengerikan. Dia inilah Ji-ok Kui-bin Nio-nio orang ke dua dari Lima Jahat Dari Akhirat ini.

Orang ke tiga merupakan seorang kakek raksasa yang berkepala botak. Dia memakai mantel merah dan pakaiannya mewah, sikapnya penuh wibawa dan pandang matanya bengis. Inilah Sam-ok Ban-hwa Sengjin, orang ke tiga. Orang ke empat adalah Su-ok Siauw siang-cu yang tadi telah menyerang Kam Hong, seorang hwesio pendek gendut yang mukanya nampak gembira. Sedangkan orang ke lima, yang kini memanggul tubuh Pek In yang lemas, adalah Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang jangkung seperti gila. Kakek ke lima ini mukanya selalu nampak sedih dan matanya sipit hampir selalu terpejam.

Setelah yakin benar bahwa mereka ini adalah Im-kan Ngo-ok, Kam Hong lalu menjura dan berkata. “Kiranya benar bahwa aku berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok yang sudah tersohor. Mengingat akan besarnya nama Ngo-wi, maka aku harap Ngo-wi akan dapat bersikap sesuai dengan kedudukan dan suka membebaskan gadis ini, dan aku bersedia minta maaf atas gangguanku ini.” Kam Hong tidak ingin menanam bibit permusuhan, apalagi dengan lima orang datuk kaum sesat ini. Bukan dia merasa takut, akan tetapi merasa segan untuk mencari permusuhan yang berarti akan mendatangkan gangguan terus-menerus dalam kehidupannya.

Lima orang itu pun mengamati Kam Hong dengan penuh perhatian dan mereka pun merasa heran mengapa mereka belum mengenal pemuda ini, padahal, melihat betapa pemuda ini tadi menangkis serangan Su-ok, jelas membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan!

“Siapakah engkau?” tanya Toa-ok Su Lo Ti, seperti biasa suaranya amat halus dan ramah.

“Namaku Kam Hong dan sekali lagi kuharap Ngo-wi suka membebaskan gadis ini.”

“Hemmm, engkau sudah mengenal kami, akan tetapi masih berani mencampuri urusan kami? Apakah kau sudah bosan hidup? Ehhh, bocah she Kam, kalau kami tidak mau membebaskan gadis ini, habis kau mau apa?” tiba-tiba Su-ok yang merasa penasaran bertanya sambil mendekati Kam Hong.

“Kalau Ngo-wi tetap memaksa, apa boleh buat, aku akan memberanikan diri untuk menyelamatkan gadis ini dengan menggunakan kekerasan,” kata Kam Hong.

“Apa? Engkau menantang kami? Nah, mampuslah kalau begitu!” Su-ok sudah maju menerjang dan gerakannya cepat bukan main karena memang demikian watak para datuk sesat ini, selalu tak segan-segan menggunakan kecurangan demi untuk mencapai kemenangan.

Agaknya dari pertemuan tenaga pertama kali tadi, Su-ok maklum bahwa pemuda sastrawan itu bukan merupakan lawan yang lemah, maka kini begitu dia menyerang, dia telah mempergunakan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu pukulan Katak Buduk. Angin pukulan dahsyat menyambar disertai bau yang amis sekali, menyambar ke arah perut Kam Hong!

Namun pemuda ini semenjak tadi sudah siap, maka pukulan itu pun sudah dihadapinya dengan tenang. Cepat-cepat dia mengelak ke kiri dan mengambil keputusan untuk tidak memperpanjang waktu perkelahian. Yang terpenting bukanlah perkelahian itu, tetapi bagaimana dia harus menyelamatkan Pek In yang masih berada dalam pondongan Ngo-ok. Kalau dia dapat merampas Pek In, dia dapat melarikan dara itu dan dia percaya bahwa dia akan dapat melarikan diri dengan selamat mengandalkan ginkang-nya yang sekarang sudah meningkat dengan hebat sekali semenjak dia mempelajari ilmu dengan menghimpun khikang melalui ilmu bertiup suling.

Maka, sekali mengelak ke kiri, dia sudah menubruk ke arah Ngo-ok yang berdiri tak jauh dari situ, tangan kiri mencengkeram ke arah muka Si Tinggi Kurus itu sedangkan tangan kanannya berusaha untuk merampas tubuh Cu Pek In. Serangan ini dilakukan dengan kecepatan kilat sehingga mengejutkan Ngo-ok. Akan tetapi, sayang sekali bahwa justru Ngo-ok ini merupakan orang yang paling tinggi ginkang-nya di antara para saudaranya, maka walau serangan itu amat hebat dan mengejutkan, Si Jangkung itu masih mampu melesat ke samping sehingga cengkeraman kedua tangan Kam Hong itu meleset dan saat itu Su-ok sudah datang lagi menubruk dan menghantamnya.

Terpaksa Kam Hong menangkis dan melayani Su-ok yang merupakan seorang lawan yang tidak boleh dipandang ringan. Selagi dia mendesak Su-ok, tiba-tiba ada sambaran angin dari belakangnya. Cepat dia membalik dan menangkis sambil balas memukul. Kiranya Ngo-ok sudah datang pula mengeroyoknya! Ketika Kam Hong melirik, ternyata bahwa Si Jangkung itu telah melepaskan Pek In ke atas tanah, akan tetapi dara itu berada dalam keadaan tertotok sehingga tidak mampu bergerak dan di sana masih ada tiga orang dari Im-kan Ngo-ok yang menjaganya! Diam-diam Kam Hong merasa kecewa sekali. Kalau begini caranya, akan lebih sukar untuk merampas Pek In dan agaknya jalan satu-satunya baginya adalah bahwa dia harus mengalahkan mereka lebih dulu!

“Baiklah kalau kalian menghendaki kekerasan!” bentaknya.

Dan segera tubuhnya bergerak dengan aneh dan cepat. Sedemikian cepat gerakannya sehingga para pengeroyoknya itu tidak merasa mengeroyok satu orang lagi, bahkan seakan mereka berhadapan dengan lebih dari dua orang! Apalagi karena Kam Hong mengerahkan tenaga khikang sehingga setiap kali mereka beradu lengan, Su-ok dan Ngo-ok selalu terpental dan terhuyung, tanda bahwa mereka berdua itu kalah kuat!

Melihat betapa lihainya lawan, Ngo-ok mengeluarkan gerengan seperti seekor serigala dan tubuhnya sudah berjungkir balik dan dia sudah menyerang Kam Hong dengan kedua kakinya yang panjang dan berada di atas, dibantu oleh kedua tangan dari bawah. Gerakannya bahkan lebih gesit dan lebih cepat dibandingkan kalau dia berdiri dengan kedua kaki di bawah! Sedangkan Su-ok juga sudah mengirim pukulan-pukulan Katak Buduk yang amat dahsyat itu.

Akan tetapi, Kam Hong tidak gentar menghadapi mereka. Dengan Khong-sim Sin-ciang, dibantu oleh tenaga khikang dahsyat yang disalurkan kepada seluruh tubuh, terutama kepada kedua lengannya, dia masih dapat mendesak kedua orang lawan itu, bahkan dia telah berhasil menampar masing-masing satu kali kepada dua orang pengeroyoknya dan biar pun tamparan itu tidak mengenai dengan telak, namun cukup membuat mereka menjadi agak jeri dan selanjutnya terus didesaknya dua orang lawan itu dengan hebat.

Melihat ini, Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok terbelalak memandang penuh kagum. Kalau saja yang dikeroyok oleh Su-ok dan Ngo-ok itu merupakan tokoh kang-ouw sakti yang sudah mereka kenal maka tentu saja mereka tidak akan merasa penasaran dan heran melihat betapa mereka terdesak. Akan tetapi pemuda ini sama sekali belum mereka kenal. Bagaimana mungkin kini pemuda yang agaknya baru muncul di dunia kang-ouw ini telah dapat memiliki ilmu kepandaian sedemikian lihainya?

“Tahan....!” Tiba-tiba Sam-ok meloncat ke depan dan menahan pukulan Kam Hong yang mendesak Su-ok yang sudah bergulingan itu.

“Dukkkk!”

Sam-ok tergeser mundur oleh tangkisan itu dan diam-diam dia makin terkejut. Ketika dia menangkis untuk menyelamatkan Su-ok dan juga untuk menghentikan perkelahian itu tadi, dia menggunakan tenaga sepenuhnya, akan tetapi pertemuan tenaga lewat lengan itu ternyata membuat dia terdorong dan kuda-kudanya tergeser! Bukan main hebatnya kekuatan pemuda sastrawan ini, pikirnya.

Karena pihak lawan minta perkelahian dihentikan dan ingin bicara, Kam Hong tidak melanjutkan serangan dan dia pun berdiri tegak dan memandang dengan sikap tenang, namun dengan penuh kewaspadaan karena dia sudah mendengar akan nama Im-kan Ngo-ok yang tersohor sebagai datuk-datuk kaum sesat yang paling curang dan paling jahat.

“Orang she Kam, sesungguhnya kami tidak ingin bermusuhan dengan engkau yang tidak kami kenal. Biar pun engkau memiliki sedikit kepandaian, akan tetapi jangan harap engkau akan dapat menentang kami. Jangan kau mencampuri urusan kami yang tidak kau ketahui sama sekali.”

“Hemm, apa artinya aku bersusah payah mempelajari ilmu jika aku harus mendiamkan saja melihat seorang dara diculik orang?” jawab Kam Hong dengan suara dingin.

“Ah, kau salah paham, sobat muda,” kata Sam-ok dengan nada suara mengejek. “Kami tidak bermaksud mengganggu anak perempuan ini. Kami hanya menahannya untuk memaksa ayahnya datang menemui kami....“

“Hemm.... sungguh cara yang curang untuk bertemu dengan penghuni Lembah Gunung Suling Emas. Kalau ada kepentingan, mengapa tidak langsung saja menemui keluarga Cu di sana?” Kam Hong mencela. “Mengapa harus menawan puterinya?”

Lima orang itu saling lirik. “Aha, jadi engkau mengenal mereka, ya? Engkau sahabat mereka dan hendak membela mereka?”

“Aku bukan sahabat mereka dan aku hanya membela orang yang terancam bahaya, dalam hal ini adalah Nona inilah. Bebaskan dia dan aku tak akan mencampuri urusanmu dengan keluarga Cu di sana.”

“Engkau tidak tahu persoalannya, orang muda. Kami ingin keluarga itu menukar puteri mereka dengan pedang pusaka yang kami kehendaki....”

“Hemm, Koai-liong Po-kiam yang diperebutkan itu, ya?” Kam Hong sudah mendengar tentang ribut-ribut pedang pusaka itu yang dulu kabarnya dilarikan pencuri dari istana kaisar. “Aku pun tidak peduli tentang pedang itu, akan tetapi rebutlah dengan cara yang jantan, bukan dengan menawan seorang gadis remaja.”

“Bocah sombong, engkau sungguh bosan hidup!” Sam-ok sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan dia sudah menerjang dengan dahsyatnya.

Kam Hong cepat mengelak dan balas menyerang, akan tetapi pada saat itu Su-ok dan Ngo-ok sudah mengeroyoknya pula. Dikeroyok oleh tiga orang tokoh yang lihai ini, terutama sekali Sam-ok yang lebih lihai dari pada Su-ok dan Ngo-ok, Kam Hong merasa repot juga. Ilmu kepandaian tiga orang pengeroyoknya itu telah berada di tingkat yang amat tinggi dan jurus-jurus ilmu silat mereka aneh-aneh dan berbahaya sekali, maka Kam Hong menggerakkan tangan kirinya dan nampak sinar putih ketika dia mencabut kipasnya dan dia pun mulai melayani mereka dengan kipasnya. Dengan ilmu silat Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang telah diwarisinya dari peninggalan nenek moyangnya, dia melawan mereka, dibantu oleh tangan kanannya yang melancarkan tamparan-tamparan dan totokan-totokan dahsyat, dia berhasil menahan mereka bertiga.

Tentu saja Sam-ok merasa penasaran sekali melihat betapa mereka bertiga sama sekali tak mampu mendesak lawan, bahkan dia sendiri pun harus berhati-hati karena gerakan kipas itu benar-benar amat dahsyat. Semua serangan kandas oleh tangkisan-tangkisan gagang kipas yang sambil menangkis juga lantas menotok jalan darah di pergelangan tangan atau sikut, dan angin yang menyambar dari kipas yang dikembangkan kadang-kadang membuat dia bingung sehingga dua kali dia hampir tertotok oleh gagang kipas. Harus diakuinya bahwa tanpa bantuan dua orang saudaranya, seorang diri saja dia akan sukar sekali dapat bertahan melawan pendekar muda yang belum dikenalnya itu! Dia merasa semakin penasaran, akan tetapi juga geram ketika mendengar betapa Ji-ok memuji-muji pemuda itu.

“Bagus, bagus! Ilmu kipas yang bagus! Wah, Sam-te, engkau dengan bantuan Su-te dan Ngo-te masih tidak mampu mengalahkan dia? Sungguh memalukan sekali!”

“Ji-ci, dari pada banyak cerewet, lebih baik lekas bantu kami agar urusan kita dapat segera diselesaikan!” kata Sam-ok dengan marah karena ejekan itu.

“Hi-hik! Kalau aku sekali turun tangan, tentu bocah ganteng ini akan kehilangan kepala. Sungguh sayang!”

“Hemm, Si Mulut Besar! Hendak kulihat kenyataan bualanmu!” kata pula Sam-ok karena dia merasa yakin bahwa biar pun Ji-ok sendiri agaknya akan mengalami kesulitan untuk mengalahkan bocah ini. Kepandaiannya sendiri tidak lebih rendah dibandingkan dengan Ji-ok, meski sampai sekarang dia belum mampu menandingi Kiam-ci (Jari Pedang) dari nenek itu yang benar-benar luar biasa hebatnya, namun pada umumnya kepandaiannya setingkat dibandingkan dengan Ji-ok.

“Hi-hik, kau lihat sajalah!” kata Ji ok dan dia pun menerjang ke depan.

“Singggg.... cuiiiiitttt....“

“Ehhhhh....!” Kam Hong terkejut sekali dan cepat-cepat dia meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari sinar kilat pada saat telunjuk tangan nenek itu menyambar dan mengeluarkan hawa dingin berkilat yang amat dahsyatnya.

“Hi-hi-hik, engkau kaget, bocah ganteng? Nah, lekaslah berlutut minta ampun, Nenekmu akan mempertimbangkan,” kata Ji-ok.

Namun Kam Hong sudah menjadi marah sekali. Tidak disangkanya bahwa nama besar Im-kan Ngo-ok yang tersohor sebagai datuk-datuk kaum sesat yang berkedudukan tinggi itu ternyata sekelompok orang yang berjiwa pengecut dan tidak segan-segan dan tidak malu-malu untuk melakukan pengeroyokan untuk mencapai kemenangan.

“Siapa takut padamu?!” bentaknya dan di lain saat, empat orang pengeroyoknya itu menjadi silau dan terkejut melihat berkelebatnya sinar kuning emas yang cemerlang. Mereka terkejut bukan main ketika melihat betapa kini pemuda yang mereka keroyok itu memegang sebatang suling emas yang berkilauan.

“Suling Emas....!” Tiba-tiba Toa-ok berseru keras. “Cepat rampas suling pusaka itu!”

Empat orang itu pun sudah mengenal suling emas yang pernah mereka dengar seperti dongeng itu, maka serentak mereka pun menerjang ke depan untuk menyerang dan berusaha merampas benda pusaka itu.

Namun Kam Hong sudah mainkan ilmu silat sakti dengan mencorat-coretkan sulingnya di udara, membentuk huruf Thian (Langit). Dan empat kali sulingnya membuat gerakan mencoret dari kiri ke kanan, dua kali untuk menangkis serangan Ngo-ok dan Sam-ok, disusul coretan dari atas kanan ke kiri, disusul dari atas ke kanan memanjang dan Ji-ok tertangkis mundur sedangkan Su-ok terjungkal lalu bergulingan.

Ternyata dalam segebrakan itu saja, sebuah jurus dari ilmu sakti Hong-in-bun-hoat yang merupakan gerakan silat yang berdasarkan mencorat-coret atau ‘menulis’ huruf di udara menggunakan suling, sekaligus telah menangkis serangan empat orang sakti bahkan telah melukai pundak Su-ok dan juga membuat tangan Ji-ok terasa nyeri bukan main! Empat orang itu terkejut dan sejenak mereka merasa gentar.

“Hayo serang dia!” Toa-ok memberi komando.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara lengking panjang bersama sinar emas bergulung-gulung, dan itulah sinar suling emas yang digerakkan oleh Kam Hong dengan Ilmu Silat Kim-siauw Kiam-sut yang baru saja dia pelajari sambil mengerahkan seluruh tenaga khikang-nya sehingga suling yang dimainkan itu mengeluarkan suara melengking tinggi dan semakin lama semakin tinggi sekali.

Empat orang itu kalang-kabut dan mengelak ke sana-ke sini, tetapi mereka terserang oleh suara melengking-lengking itu, makin tinggi suaranya makin menusuk telinga dan seolah-olah hendak menembus jantung! Ketika lima orang itu menjauh dan sengaja mengerahkan sinkang untuk melindungi diri dari ancaman suara khikang suling itu dan bersiap untuk mengepung, mendadak saja Kam Hong meloncat ke arah Pek In yang masih rebah di atas tanah, menyambar tubuh dara itu, memanggulnya dengan lengan kiri setelah menyimpan kipasnya, kemudian meloncat jauh dan terus berloncatan sambil mengerahkan ginkang-nya. Sejenak Im-kan Ngo-ok tertegun, akan tetapi mereka segera menjadi marah sekali dan langsung saja mereka berloncatan melakukan pengejaran sambil memaki-maki karena merasa dipermainkan oleh pemuda itu.

Biar pun pada waktu itu Kam Hong telah memiliki kepandaian ilmu berlari cepat yang hebat berkat tenaga khikang yang terhimpun di dalam tubuhnya, tapi para pengejarnya itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang menduduki tingkat satu dan mereka, terutama sekali Ngo-ok, mempunyai ginkang yang amat hebat. Apalagi Kam Hong masih harus memondong tubuh Cu Pek In.

Dan senja mulai tiba, maka setelah berlari cukup lama, tetap saja lima orang itu masih terus mengejarnya. Kam Hong berpikir bahwa kalau dia tidak cepat lari ke bagian yang ditumbuhi pohon-pohon yang pada saat itu sebagian besar gundul, sukar baginya untuk membebaskan diri karena di daerah pegunungan salju itu dari jarak yang jauh pun dia masih akan nampak dan dapat terus dikejar. Maka dia pun lalu melarikan diri ke sebuah bukit yang berbatu-batu dan ditumbuhi pohon-pohon.

Sementara itu, malam mulai tiba dan keadaan cuaca mulai gelap sehingga hal ini pun menyukarkan Kam Hong untuk dapat berlari cepat. Kegelapan akan memungkinkan dia salah langkah dan tergelincir ke dalam jurang. Maka dengan hati-hati dia memasuki daerah yang tidak gundul itu. Batang-batang pohon dan batu-batu di sana akan dapat menyembunyikan dirinya dari penglihatan musuh. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa lima orang itu masih terus mengejarnya.

Dia teringat bahwa biar pun dirinya tidak kelihatan, akan tetapi kelima orang itu masih dapat mengikutinya dari jejak kakinya di atas tanah yang tertutup salju. Dan pula dara ini bagi mereka teramat penting untuk di jadikan sandera, guna ditukar dengan pedang pusaka, maka tentu lima orang itu tidak mau mengalah dan akan terus mengejarnya. Karena itu, Kam Hong pun tidak pernah berhenti, mengharapkan bahwa setelah cuaca gelap benar, lima orang itu akan kehilangan jejak kakinya.

Harapannya itu memang tidaklah sia-sia. Setelah cuaca menjadi gelap benar, Im-kan Ngo-ok terpaksa menghentikan pengejaran mereka. Akan tetapi mereka sama sekali bukan berarti mundur dan menghentikan usaha mereka, karena Toa-ok berkata, “Kita berhenti di sini. Besok pagi kita lanjutkan mengikuti jejak kakinya.”

Kam Hong pun terpaksa menghentikan langkahnya karena cuaca amat gelap dan amat berbahaya untuk melanjutkan perjalanan. Dia menurunkan Pek In dan setelah meraba tengkuk, kedua pundak dan punggung dara itu, dia menotoknya dan membebaskannya dari totokan. Dara itu mengeluh lirih, memijit-mijit kaki tangannya yang terasa lemas.

“Kiranya engkau malah yang telah menolongku....,“ katanya lirih.

“Hemm, hanya kebetulan saja. Aku harus membebaskanmu dari mereka yang jahat.”

“Im-kan Ngo-ok sungguh manusia-manusia busuk yang tidak tahu malu. Mereka pernah berkunjung ke lembah sebagai tamu, dan sekarang malah hendak menawanku sebagai sandera. Kalau Ayah tahu, mereka pasti takkan diberi ampun. Ehhh, di mana dia?”

“Siapa?”

“Anak perempuan itu, ehhh, Ci Sian....”

“Kutinggalkan dia di puncak sebuah bukit. Tak kusangka bahwa aku akan berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok dan memakan waktu lama untuk membebaskanmu, bahkan sekarang pun mereka tak jauh dari sini. Tentu mereka menanti dan besok pagi akan melanjutkan pengejaran. Kita sendiri tidak dapat melanjutkan perjalanan, begini gelap dan aku tidak mengenal jalan....”

“Aku mengenal tempat ini, akan tetapi di malam gelap begini tidak mungkin kita dapat melanjutkan perjalanan. Besok pagi-pagi kita dapat pergi dari sini.... dan tempat Suheng bertapa tidak jauh dari sini, kita bisa ke sana dan minta bantuannya.”

“Suheng-mu? Bertapa?”

“Ya, dan dia tentu akan dapat menghalau Im-kan Ngo-ok, dia tidak kalah lihai walau pun dibandingkan Ayah.”

Kam Hong tidak bertanya lagi, akan tetapi diam-diam dia kagum sekali dan teringat akan pesan Cu Han Bu ketika mereka hendak saling berpisah. Tokoh keturunan kakek pencipta suling emas itu mengatakan bahwa keluarga mereka masih mempunyai ilmu pusaka, yaitu Koai-liong Kiam-sut yang mereka harapkan kelak akan bisa mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut yang diwarisinya. Keluarga itu memang hebat, maka tidaklah aneh andai kata benar ucapan Pek In bahwa dara ini masih memiliki seorang suheng yang sedang bertapa dan bahwa suheng ini mempunyai kepandaian yang tidak kalah lihai dibandingkan dengan kepandaian ayahnya.

Malam itu mereka terpaksa berdiam di tempat itu.

“Sekarang kau tidurlah, Nona, biar aku menjagamu di sini. Sayang bahwa kita tak dapat menyalakan api unggun untuk membantu menghangatkan tubuh, sebab jika kita lakukan itu tentu mereka akan melihat dan akan datang.”

Pek In merasa lelah dan baru saja mengalami ketegangan. Kini dia merasa lega, segera merebahkan diri miring dan tak lama kemudian dia tidur pulas dengan tubuh meringkuk kedinginan.

Melihat hal ini, hanya melihat remang-remang saja karena yang membantu pandangan mata hanya sedikit sinar bintang di langit, Kam Hong lalu melepaskan jubahnya yang lebar dan menyelimutkan jubahnya pada tubuh dara itu. Dia sama sekali tidak dapat menduga bahwa pada saat yang sama, di dalam sebuah gua, seorang pemuda lain sedang menyelimuti tubuh Ci Sian pula!

Sebetulnya, baik Ci Sian mau pun Pek In sudah mempunyai kepandaian dan tenaga sinkang yang cukup kuat untuk melawan dingin saja. Akan tetapi dalam keadaan tidur tentu saja mereka tidak dapat mengerahkan sinkang dan hawa dingin membuat mereka dalam keadaan tidak sadar itu meringkuk seperti anak kecil kedinginan. Ada pun Kam Hong yang berilmu tinggi, tentu saja dapat menahan hawa dingin itu dengan penyaluran sinkang-nya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Pek In sudah terbangun. Dia cepat merenggut jubah itu dari tubuhnya ketika melihat betapa dirinya diselimuti jubah itu. Dia bangkit dan melihat Kam Hong masih duduk bersila tak jauh dari situ. Cuaca masih gelap remang-remang tertutup kabut.

“Engkau sudah bangun?” Kam Hong yang peka sekali pendengarannya itu menoleh.

“Terima kasih untuk jubahmu ini,” kata Pek In sambil mengembalikan baju itu kepada Kam Hong yang menerimanya. “Kita harus berangkat sekarang, aku tahu jalannya.”

“Masih agak gelap, sukar melihat jelas ke depan.”

“Aku tahu jalannya, marilah.”

Keduanya lalu bangkit dan berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Biar pun Pek In sebagai penunjuk jalan berjalan di depan, akan tetapi Kam Hong tak pernah mengurangi kewaspadaan, diam-diam menjaga kalau-kalau Pek In terperosok ke dalam jurang atau mengalami halangan lain. Matahari pagi telah mengusir kabut gelap ketika mereka keluar dari daerah berbatu itu dan tiba di kaki sebuah bukit.

“Tak jauh lagi dari sini, di lereng bukit itu tempat Suheng bertapa,” kata Pek In dengan nada suara girang.

“Lihat, mereka sudah mengejar!” Tiba-tiba Kam Hong berkata. “Mari kita cepat lari!”

Pek In menengok dan benar saja, lima sosok bayangan sedang menuruni lereng dari mana mereka berdua datang tadi dan gerakan mereka amat cepat.

“Mari kupondong kau, Nona!” kata Kam Hong.

“Tidak, jangan sentuh aku!” tiba-tiba Pek In berkata dengan cepat dan wajah Kam Hong menjadi merah sekali ketika dia bertemu pandang dengan dara itu. Dari pandang mata itu dia melihat kemarahan!

“Ahhh, aku hanya bermaksud agar kita dapat melarikan diri lebih cepat, Nona, tiada maksud lain,” katanya menghela napas.

Sejenak mereka berpandangan, kemudian Pek In menunduk. “Maafkan aku.... aku.... biarlah aku lari sendiri saja.”

“Terserah.”

Mereka lalu berlari mendaki bukit itu. Akan tetapi Kam Hong maklum bahwa betapa pun lihainya nona ini, namun dalam hal berlari cepat, dia masih kalah jauh dibandingkan dengan Im-kan Ngo-ok, maka kalau terlalu lama waktunya berlari, tentu akan dapat disusul oleh Im-kan Ngo-ok. Dugaannya benar karena kini terdengar bentakan-bentakan dari belakang, tanda bahwa lima orang lawan itu sudah mengejar semakin dekat.

“Nona, mereka telah datang dekat,” kata Kam Hong, tidak berani menawarkan lagi untuk memondong nona itu, meski pun dia ingin sekali untuk diperbolehkan memondongnya, karena dengan jalan itu dia masih sanggup untuk melarikan diri dari jangkauan lima orang itu.

Akan tetapi Pek In berkata, sambil menunjuk ke depan. “Tempat Suheng sudah dekat!”

“Kalau begitu, cepatlah kau lari ke sana dan berlindung, biar aku menghalangi mereka mengejarmu, Nona,” kata Kam Hong.

Dan dia sudah berdiri tegak membalikkan diri, menanti datangnya lima orang itu dengan kipas di tangan kiri dan suling emas di tangan kanan. Sikapnya amat gagah sehingga sejenak Pek In memandang penuh kagum, kemudian dia pun segera lari menuju ke lereng bukit di mana dia tahu terdapat goa tempat suheng-nya ‘bertapa’ dan melatih diri dengan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Dia belum pernah memasuki goa itu karena dilarang oleh ayahnya, akan tetapi dia sudah tahu tempatnya, maka kini dia pun tidak ragu-ragu lari menuju ke situ.

Sementara itu, Kam Hong yang berdiri tegak itu, menghadang datangnya kelima orang Im-kan Ngo-ok, kini sudah berhadapan dengan mereka.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman