SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-21


Sementara itu, para penonton, yaitu tiga orang gadis yang tingkat kepandaiannya belum setinggi Cu Han Bu dan dua orang adiknya, segera menjadi agak pening dan tidak dapat mengikuti jalannya perkelahian itu dengan pandang mata mereka. Mereka melihat betapa dua orang itu bergerak terlalu aneh dan terlalu cepat sehingga tubuh mereka terbungkus dua sinar yang sama-sama keemasan dan gilang-gemilang, sedangkan suara mendengung-dengung dari sabuk emas di tangan Han Bu itu kini ditambah lagi dengan suara suling melengking-lengking aneh sehingga terdengar luar biasa sekali. Suling di tangan Kam Hong itu seolah-olah tidak sedang digerakkan seperti sebatang senjata melainkan sedang ditiup dengan lagu yang aneh melengking-lengking, kadang-kadang tinggi serta kadang-kadang rendah dan mendatangkan kepeningan pada yang mendengarnya.

Memang hebat luar biasa perkelahian antara dua orang pendekar sakti itu. Bagi Kam Hong, semenjak ia meninggalkan gurunya dan pewaris ilmu-ilmu keluarga Suling Emas, yaitu Sin-siauw Sengjin, Cu Han Bu ini merupakan lawan yang paling lihai sesudah Yeti! Dan sebaliknya bagi pihak tuan rumah, Kam Hong merupakan lawan paling lihai yang pernah dijumpainya!

Setiap serangan mereka disertai sinkang yang amat kuat, dan setiap jurus serangan dibalas dengan jurus serangan lain. Dasar-dasar gerakan ilmu silat mereka sama, dan biar pun yang seorang menggunakan senjata sabuk emas dan yang lain menggunakan suling emas, namun mereka menggunakan senjata-senjata itu seperti orang memegang sebatang pedang dan ilmu silat yang mereka mainkan juga ilmu silat pedang! Akan tetapi perkembangan gerakan itu yang berbeda sehingga diam-diam Cu Han Bu harus mengakui bahwa ilmu silat lawan ini benar-benar luar biasa, merupakan ilmu silat pusaka keluarganya akan tetapi lebih ampuh dan lengkap. Juga dalam hal sinkang, dia merasa tidak mampu menandingi kekuatan pemuda sastrawan ini.`

Akan tetapi, keluarga Cu ini sudah terlampau lama, mungkin telah beberapa keturunan, merasa bahwa mereka adalah keluarga yang tidak dapat dikalahkan, yang memiliki kepandaian tinggi turun-temurun, maka mereka tidak biasa dengan kekalahan. Hal itu membuat mereka dalam mengasingkan diri selalu memandang rendah orang lain meski diam-diam keluarga ini amat memperhatikan dan mempelajari orang-orang kang-ouw yang terkenal, bukan hanya mengenal bentuk-bentuk mereka, julukan dan keistimewaan mereka, akan tetapi juga mempelajari keistimewaan mereka itu dan tiga orang saudara itu selalu mencari kelemahan mereka.

Akan tetapi mereka belum pernah mendengar tentang Kam Hong ini dan begitu pemuda yang tidak terkenal di dunia kang-ouw ini maju, mereka harus kalah! Tentu saja Cu Han Bu tidak dapat menelan ini, dan dengan penasaran memuncak dia pun melakukan perlawanan mati-matian dalam pertandingan itu.

Setelah lewat hampir dua ratus jurus, tahulah Kam Hong bahwa kalau pertandingan ini dilanjutkan, akhirnya tentu salah seorang di antara mereka akan roboh dengan terluka parah, kalau tidak tewas. Dan dia tidak ingin sampai menewaskan tuan rumah, apalagi karena memang tidak terdapat permusuhan apa pun di antara mereka.

Di dalam ilmu yang dipelajarinya dari catatan di tubuh jenazah itu, terdapat jurus yang dinamakan Tiang-khing-toan-san (Bianglala Memecahkan Bukit) dan jurus ini khusus untuk mematahkan senjata lawan yang bagaimana pun ampuhnya. Akan tetapi untuk ini dia harus mengerahkan seluruh tenaga khikang yang dihimpunnya dari latihan meniup suling. Kalau tidak berhasil, berarti dia akan menghamburkan banyak sekali tenaga dalam. Akan tetapi melihat bahwa itu merupakan jalan satu-satunya untuk mengakhiri pertandingan ini tanpa merobohkan lawan, maka dia lalu mulai memainkan jurus ini.

Cu Han Bu terkejut sekali ketika tiba-tiba gulungan sinar emas dari lawan itu berubah memanjang dan melengkung, dan terdengarlah suara melengking tinggi sekali sampai hampir tidak tertangkap oleh telinga, namun yang mengandung getaran yang luar biasa, membuat jantungnya terasa perih dan kedua kakinya menggigil! Semua orang yang berada di situ agaknya terpengaruh juga, karena Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu cepat duduk bersila menghimpun tenaga untuk melawan getaran itu, sedangkan Cu Pek In, Yu Hwi, dan Ci Sian cepat-cepat menggunakan kedua telapak tangan untuk menutup telinganya rapat-rapat karena mereka merasa telinga mereka seperti ditusuk-tusuk!

Kam Hong maklum akan hal ini, maka begitu tenaganya sudah bulat terhimpun, dia meluncurkan sulingnya ke atas, seolah-olah hendak menyerang kepala lawan. Cu Han Bu cepat mengangkat sabuk emasnya untuk melindungi kepala dan pada saat itu, dengan gerakan melengkung seperti bianglala, suling emas di tangan Kam Hong datang melayang dan menghantam ke arah sabuk emas itu.

“Cringggg....! Trakkkk!!”

“Aiihhhh....!”

Cu Han Bu meloncat jauh ke belakang, berdiri dengan muka pucat memandang ke arah sabuk emasnya yang telah patah menjadi dua hingga yang tinggal di tangannya hanya sepotong pendek sedangkan patahannya berada di atas tanah, di bawah kaki lawan.

Cu Han Bu boleh jadi adalah seorang yang berhati keras dan tidak pernah mau kalah oleh orang lain, tetapi dia memiliki kegagahan dan tahu bahwa dalam pertandingan ini, betapa pun sukar dipercaya, dia telah kalah oleh Kam Hong! Mukanya yang pucat itu menjadi merah sekali dan dia lalu melempar sisa sabuk emas itu ke atas lantai dan dengan sikap terpaksa sekali dia menjura ke arah Kam Hong sambil berkata,

“Aku Cun Han Bu harus mengakui bahwa dalam hal ilmu silat, engkau lebih unggul dari pada aku, sobat Kam Hong, sungguh pun aku sama sekali tidak mengerti bagaimana engkau dapat mainkan ilmu pusaka keturunan keluarga kami. Akan tetapi biarlah hal itu nanti kita bicarakan. Dalam ilmu silat aku kalah, akan tetapi sesuai dengan nama Suling Emas yang dipakai oleh kedua pihak, biarlah sekarang kita memperlihatkan siapa di antara kita yang lebih tepat memakai nama itu dengan cara meniup suling. Engkau yang membawa-bawa pusaka suling emas dan keluargamu memakai julukan Suling Emas tentu pandai sekali meniup suling. Maukah engkau melayaniku mengadu ilmu meniup suling, sobat Kam?”

Karena tantangan ini pun mengenai nama keluarganya, maka tentu saja Kam Hong tidak menolak, apalagi karena memang dia ingin melihat sampai di mana kepandaian keluarga yang mengaku sebagai keluarga Suling Emas dan yang ternyata mampu pula memainkan ilmu yang mirip dengan Kim-siauw Kiam-sut itu.

“Baik, aku sebagai tamu hanya melayani kehendak tuan rumah.”

Cu Han Bu lalu minta suling emas yang dibawa oleh Pek In, kemudian mempersilakan Kam Hong duduk sedangkan dia sendiri lalu duduk bersila di atas lantai. Kam Hong melihat tuan rumah duduk bersila menghadapinya, hanya dalam jarak kurang lebih empat meter mereka duduk bersila saling berhadapan. Sejenak, kedua orang yang sama-sama memegang suling emas yang bentuknya serupa benar itu, hanya suling di tangan Kam Hong agak lebih besar, saling pandang dengan penuh perhatian. Cu Han Bu menggunakan ujung baju lengan kirinya untuk mengusap keringat di dahi dan lehernya. Pertandingan selama dua ratus jurus yang mempergunakan banyak tenaga itu tadi membuat dia merasa lelah sekali dan tubuhnya basah oleh keringat. Akan tetapi sebaliknya, Kam Hong hanya berkeringat sedikit saja.

“Saudara Kam Hong, aku kagum sekali padamu,” akhirnya Cu Han Bu berkata, ucapan yang sejujurnya sungguh pun kekagumannya itu bercampur dengan rasa penasaran. “Kalau ternyata engkau juga mampu mengalahkan aku dalam hal meniup suling, biarlah aku mengaku kalah. Engkau bersiaplah menerima permainan sulingku.” Cu Han Bu lalu menoleh kepada puterinya dan berkata kepadanya, “Pek In, bagikan pelindung telinga kepada Nona tamu dan Yu Hwi.”

“Baik, Ayah,” jawab Cu Pek In dan dia mengeluarkan benda-benda kecil penyumbat telinga berwarna putih terbuat dari karet, lalu memberikan sepasang kepada Yu Hwi kemudian dia menghampiri Ci Sian dan diberinya pula sepasang kepada dara ini.

Akan tetapi Ci Sian tersenyum mengejek dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak perlu memakai pelindung telinga,” katanya.

Tentu saja wajah Pek In menjadi merah oleh penolakan ini. Dia sudah menjadi marah, akan tetapi ketika dia memandang kepada ayahnya, Cu Han Bu menggelengkan sedikit kepalanya sehingga dia mundur lagi, duduk di tempat semula dan dia pun kemudian mengenakan sepasang penyumbat telinga.

“Nona, kau harus memakai pelindung telinga, kalau tidak, maka akan berbahaya bagi keselamatanmu,” tiba-tiba Cu Seng Bu berkata karena tokoh ini merasa tidak enak kalau sampai pihak tamu yang tidak ikut mengadu ilmu kena celaka.

Ci Sian masih tersenyum ketika dia menggeleng kepala. “Mengapa celaka? Andai kata perlu melindungi telinga, bukankah aku masih memiliki dua tangan untuk menyumbat kedua telingaku?”

Cu Seng Bu tidak bicara lagi dan bersama Cu Kang Bu, dia pun menyumbat kedua telinganya dengan karet pelindung telinga itu karena dia maklum bahwa kakaknya akan mengeluarkan ilmu meniup suling yang mukjijat, yang suaranya dapat merobohkan lawan, bahkan dapat membunuhnya!

Sementara itu, Kam Hong terkejut bukan main saat melihat Ci Sian menolak pemberian pelindung telinga itu. Dia makin menghargai pihak tuan rumah yang ternyata demikian baik hati untuk menawarkan pelindung telinga kepada Ci Sian, akan tetapi celakanya, dara yang keras hati itu menolak dan dia tahu bahwa hal ini berarti bahaya besar bagi Ci Sian, mungkin bahaya maut karena suara tiupan suling yang dilakukan oleh orang yang amat kuat tenaga khikang-nya dapat merusak telinga atau bahkan membunuhnya. Akan tetapi karena Ci Sian sudah terlanjur menolak, dia pun tentu saja tidak mau memaksa gadis itu menarik kembali penolakannya karena hal itu sampai mati pun kiranya tidak akan dilakukan oleh Ci Sian yang keras hati. Maka dia pun lalu mengambil keputusan untuk melindungi Ci Sian dari bahaya ancaman suara suling Cu Han Bu.

Kini Cu Han Bu sudah mulai menempelkan ujung suling pada bibirnya dan mulailah dia meniup suling emas itu. Mula-mula terdengar suara suling yang merdu naik turun, akan tetapi kemudian suara suling itu terus menaik dan mulailah Ci Sian merasa tersiksa karena kedua telinganya bagai dikilik-kilik rasanya. Suara suling itu makin meninggi saja dan rasa yang mula-mula hanya geli itu makin nyeri dan telinganya seperti dimasuki semut dan digigit! Ci Sian tadinya hendak mempertahankan, akan tetapi akhirnya dia tidak kuat lagi dan dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi lubang telinganya!

Akan tetapi betapa kaget rasa hati Ci Sian bahwa suara itu masih saja terus mengiang di dalam telinganya, makin lama makin hebat sehingga kini terasa seperti telinganya ditusuk-tusuk jarum! Tubuhnya mulai menggigil dan matanya terbelalak memandang ke arah Kam Hong seolah-olah hendak minta tolong.

Pada saat itu, Kam Hong sudah mendekatkan suling di bibirnya dan meniup sulingnya sambil menutup semua lubang suling. Dia tahu bahwa jika dia menggunakan sulingnya untuk balas menyerang, dia akan dapat membuat lawan celaka, akan tetapi juga Ci Sian akan ikut celaka, maka kini ia meniup sulingnya dengan lembut sekali. Terdengar suara lembut dari sulingnya, suara yang bergelombang halus akan tetapi dapat menggulung suara melengking lirih yang mengandung getaran berbahaya dari suara suling Cu Han Bu.

Ci Sian merasa betapa perlahan-lahan kenyerian di telinganya lenyap, dan dia berani membuka kedua tangannya dan kini yang terdengar olehnya hanya suara suling lembut yang amat merdu dan mendatangkan rasa nikmat! Makin lama, makin lembut suara suling Kam Hong dan akhirnya Ci Sian tidak dapat menahan lagi, tubuhnya terguling dan dia tertidur pulas di atas lantai!

Suara suling dari suling emas yang ditiup Kam Hong itu semakin kuat saja, dan kini setelah dia meilhat Ci Sian tidur pulas, dia menambah kekuatan tiupannya dan suara suling itu menggetar halus, biar pun kedua telinga orang-orang yang berada di situ telah ditutup penyumbat telinga dari karet, namun getaran itu masih terus menyerang melalui urat saraf di atas telinga dan pelipis sehingga akhirnya, berturut-turut Cu Pek In dan Yu Hwi juga terguling dan roboh pulas!

Melihat ini, Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu terkejut sekali. Mereka berdua kini duduk bersila di atas lantai, mengerahkan tenaga sinkang mereka untuk melawan serangan suara suling dari suling Kam Hong.

Sementara itu, Cu Han Bu juga memperhebat suara sulingnya untuk menyerang lawan. Namun semua serangan suara sulingnya itu tenggelam di dalam kelembutan itu seperti bara api yang berkobar dijatuhkan ke dalam kubangan air dingin saja. Sedangkan alunan suara suling dari Kam Hong terus bergetar menyerang ketiga orang kakak beradik Cu itu yang kini makin hebat melakukan perlawanan dan mengerahkan sinkang mereka. Dari ubun-ubun kepala Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu sampai mengepul uap putih dan muka mereka menjadi merah sekali karena keduanya telah mengerahkan sinkang sekuatnya untuk menahan rasa kantuk hebat yang menyerang mereka. Syaraf mereka seperti diayun atau dibelai oleh suara itu, suara yang mengandung kekuatan mukjijat dan yang membuat seluruh tubuh terasa lemas dan satu-satunya hal yang mereka inginkan saat itu hanyalah tidur, lain tidak!

Memang hebat sekali kekuatan yang terkandung dalam suara suling yang ditiup secara istimewa oleh Kam Hong itu. Suara itu selain dapat menembus pelindung telinga, juga langsung menyerang dan merangsang syaraf-syaraf di kepala menembus kulit kepala yang perasa seperti di pelipis dan bagian lain, terutama sekali merangsang syaraf di pusat pendengaran. Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu yang merupakan orang-orang yang memiliki kesaktian dan memiliki tenaga sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi dan amat kuat itu, mereka telah mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh suara itu, akan tetapi lambat laun wajah mereka yang merah menjadi semakin pucat, uap putih yang mengepul di kepala mereka semakin menipis dan akhirnya keduanya tertidur pulas dalam keadaan masih duduk bersila!

Kini tinggal Cu Han Bu seorang yang masih terus melawan sambil meniup sulingnya. Cu Han Bu juga merasa betapa tenaga suara sulingnya itu kini sama sekali tidak dapat menembus suara suling lawan yang seolah-olah merupakan benteng yang amat kuat, dan dia pun bahkan mulai merasa betapa gelombang yang hebat menggulung dirinya, membuainya dengan nikmat sekali. Diam-diam dia terkejut, maklum bahwa suara suling Kam Hong benar-benar memiliki kekuatan yang amat dahsyat.

Dia berusaha melawan terus, kadang-kadang meniup sulingnya amat tinggi, kadang-kadang amat rendah, namun semua usahanya itu gagal karena semua perlawanannya itu membalik dan bahkan agaknya menambah kedahsyatan gelombang getaran dari suara suling Kam Hong. Akhirnya tanpa disadari sendiri, Cu Han Bu juga jatuh pulas dalam keadaan bersila sedang sulingnya masih berada dalam genggaman dan masih menempel di bibirnya yang tidak bergerak lagi. Dia seolah-olah telah berubah menjadi patung orang menyuling!

Setelah melihat lawannya tertidur, barulah Kam Hong menghentikan tiupan sulingnya. Wajahnya agak pucat dan seluruh tubuhnya basah oleh peluh! Kiranya dia pun telah mengerahkan banyak tenaga tadi dan baru setelah dia mengeluarkan semua tenaganya dia dapat menyelamatkan Ci Sian dan sekaligus membuat tidur semua orang, termasuk lawannya yang kuat itu. Dia menyimpan sulingnya lalu menggunakan sapu tangan untuk menyusuti peluhnya.

Setelah kini suara suling terhenti dan getaran suara yang amat kuat itu lenyap, berturut turut terjagalah mereka semua yang tertidur pulas itu. Pertama-tama adalah Cu Han Bu dan dua orang adiknya yang terjaga.

“Ahhhh....!” Cu Han Bu mengeluh dan terbelalak, lalu teringat akan segala yang telah terjadi, maka dia pun meloncat bangun lalu cepat-cepat dia menjura ke arah Kam Hong yang juga telah bangkit dengan tenang.

“Saudara Kam Hong, sungguh engkau luar biasa sekali dan aku Cu Han Bu benar-benar harus mengakui keunggulanmu, baik dalam hal ilmu silat mau pun dalam hal ilmu meniup suling. Engkau memang berhak memakai julukan Suling Emas!”

Juga Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu tidak ragu-ragu lagi untuk memberi hormat kepada pendekar yang jelas memiliki tingkat kepandaian di atas mereka itu.

Kam Hong cepat-cepat membalas penghormatan mereka dan dia pun berkata, “Harap Sam-wi tidak merendahkan diri karena terus terang saja, baru kini saya menemukan keluarga yang memiliki kepandaian sehebat yang dimiliki Sam-wi. Saya percaya bahwa tentu ada hubungannya antara Sam-wi dengan Suling Emas.”

Pada saat itu, tiga orang dara juga telah terjaga dan mereka mula-mula merasa bingung dan terheran-heran, tetapi setelah teringat dan melihat betapa sikap tiga orang she Cu itu amat menghormat Kam Hong, mereka maklum bahwa Kam Hong telah menangkan pertandingan aneh itu. Yu Hwi memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan, akan tetapi dia telah bangkit dan menghampiri Cu Kang Bu, kekasihnya. Sedangkan Ci Sian lari menghampiri Kam Hong.

“Paman, engkau telah menang?”

Kam Hong hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Tentu saja Ci Sian merasa sangat penasaran dan dia lalu menoleh kearah Cu Han Bu, dan bertanya dengan lantang, “Paman Cu Han Bu, apakah engkau mau bersikap jantan mengakui bahwa Paman Kam Hong telah memperoleh kemenangan dalam pertandingan ini?”

Cu Han Bu menarik napas panjang. Dara itu telah berkali-kali membikin sakit perasaan, akan tetapi dia tak dapat mengelak lagi. “Benar, Saudara Kam Hong telah mengalahkan kami.”

“Nah, apa kubilang? Dialah Pendekar Suling Emas yang sejati!”

“Ssssttt, Ci Sian, menyombongkan diri di atas kemenangan hanyalah perbuatan yang bodoh.” Kam Hong mencela dan Ci Sian mengerutkan alisnya, bersungut-sungut dan tidak banyak cakap lagi.

Dia sering kali ditegur Kam Hong dan setiap kali ditegur, dia merasa tidak senang, apalagi kini ditegur di depan banyak orang, di depan Yu Hwi terutama sekali. Dia ingin marah, akan tetapi tidak berani karena dia tahu bahwa kalau dia marah terhadap Kam Hong di depan banyak orang, hal itu akan merendahkan nama Kam Hong yang baru saja keluar sebagai pemenang. Maka dia pun lalu duduk diam saja di dekat Kam Hong, bibirnya yang merah mungil itu agak meruncing.

“Saudara Cu, kiranya sudah sepatutnya kalau sekarang Sam-wi menceritakan kepadaku tentang keluarga Cu yang tinggal di Lembah Suling Emas ini....“ Kam Hong berkata kepada Cu Han Bu karena memang dia ingin sekali mendengar riwayat keluarga yang amat lihai ini dan ingin tahu apa hubungan mereka dengan Suling Emas. “Setelah itu, baru saya akan menceritakan tentang keluarga Pendekar Suling Emas.”

Cu Han Bu mengangguk, lalu dia memandang ke arah Yu Hwi dan Ci Sian. “Riwayat keluarga kami adalah rahasia kami, tidak boleh didengar oleh orang lain. Engkaulah orang pertama yang akan mendengarnya, Saudara Kam Hong. Yu Hwi, biar pun engkau seorang luar, akan tetapi mengingat akan hubunganmu dengan Kang-te, berarti engkau merupakan calon keluarga juga, maka engkau boleh mendengarnya. Hanya Nona ini....“ Dia memandang Ci Sian dengan ragu-ragu.

“Dia adalah keponakanku dan juga boleh dianggap adik seperguruanku, maka kalau aku boleh mendengar, dia pun berhak mendengarkan pula.” Kam Hong cepat-cepat berkata karena dia tahu bahwa kalau sampai dara ini dilarang ikut mendengar, Ci Sian tentu akan marah dan entah apa yang akan dilakukan kalau dia marah. Dalam tempat seperti itu, dia tidak ingin membiarkan Ci Sian berpisah dari sampingnya, karena hal itu akan amat membahayakan keselamatannya.

Mendengar ini, lenyaplah sama sekali rasa tidak senang dari hati Ci Sian oleh teguran Kam Hong tadi. Dia tersenyum dan memandang kepada pihak tuan rumah dengan sinar mata menantang!

Cu Han Bu menarik napas panjang. “Kalau begitu baiklah, karena Saudara Kam Hong yang menanggung dia. Nah, dengarkanlah cerita singkat dari keadaan keluarga kami, terutama yang bersangkutan dengan Suling Emas…..” Maka mulailah pendekar yang menyembunyikan diri di lembah itu bercerita tentang keluarganya.

Dari cerita turun-temurun dalam keluarga itu, Cu Han Bu dan keluarganya mendengar bahwa seorang di antara nenek moyang mereka pada seribu tahun lebih yang lalu ialah seorang pangeran bernama Cu Keng Ong yang melarikan diri dari kota raja karena berselisih dengan kaisar. Cu Keng Ong ini mengasingkan diri ke lembah Kongmaa La di Pegunungan Himalaya itu bersama keluarganya dan hidup sebagai pertapa dan petani di tempat ini.

Cu Keng Ong adalah seorang pangeran yang berilmu tinggi, selain pandai ilmu silat juga ahli dalam hal kerajinan tangan, terutama mengukir dan membuat benda-benda dari pada emas. Ketika berada dalam pengasingan ini, Cu Keng Ong bahkan memperdalam ilmu-ilmunya dari para pertapa di Himalaya sehingga akhirnya dia menjadi seorang manusia yang amat lihai, tetapi yang selalu menyembunyikan diri dan hidup tenteram dalam lembah itu.

Karena kehidupan di lembah itu sama sekali tidak memerlukan emas, maka Cu Keng Ong lalu mengumpulkan semua emas yang mereka bawa sebagai bekal, kemudian dia melebur emas itu dan dibuatlah sebatang suling emas yang amat baik, bukan saja indah bentuknya akan tetapi terutama sekali dengan ukuran-ukuran sempurna sehingga akan mengeluarkan bunyi yang amat indah kalau dimainkan. Karena Cu Keng Ong sering kali bertiup suling di lembah itu dengan suling emasnya, dan suara sulingnya terdengar sampai jauh ke luar lembah, maka mulailah lembah itu diberi nama Lembah Suling Emas!

“Demikianlah asal-usul nama lembah ini menurut dongeng keluarga kami,” Cu Han Bu melanjutkan. “Akan tetapi sayang, menurut dongeng keluarga turun-temurun itu, tidak ada lanjutan tentang nenek moyang kami yang bernama Cu Keng Ong itu dan suling emas itu pun tidak ada pada keluarga kami lagi. Yang ada hanyalah suling emas ini yang dibuat oleh seorang nenek moyang kami kemudian yang bernama Cu Hak dan yang juga ahli dalam pembuatan benda-benda dari emas dan baja. Kakek buyut Cu Hak itu kabarnya hanya membuat suling ini disesuaikan dengan cerita keluarga itu tentang bentuk suling emas asli buatan Cu Keng Ong. Dan di samping suling ini, juga keluarga kami mewarisi ilmu silat yang menjadi pasangan dari suling ini, yaitu ilmu silat yang disebut Kim-siauw Kiam-sut dan yang telah kumainkan dengan sabuk emas karena saya lebih biasa berlatih dengan sabuk emas itu. Akan tetapi ternyata Saudara Kam Hong juga mainkan ilmu itu dengan suling emasnya, bahkan lebih sempurna dari pada saya!” Han Bu menarik napas panjang.

Diam-diam Kam Hong terkejut sekali dan saling lirik dengan Ci Sian. Kedua orang ini setelah mendengar riwayat keluarga Cu, dapat menduga bahwa kakek kuno yang jenazahnya mereka temukan itu tidak salah lagi tentulah Cu Keng Ong adanya! Akan tetapi mereka diam saja dan mendengarkan terus.

Cu Han Bu melanjutkan ceritanya. Nenek moyang yang bernama Cu Keng Ong itu menurut berita keluarganya telah lenyap, dan ada berita bahwa kakek itu mengawetkan jenazahnya dan jenazah itu mengandung rahasia ilmu keluarga mereka yang paling tinggi. Sejak turun-temurun, keluarga Cu berusaha mencari jenazah kakek Cu Keng Ong ini, akan tetapi tanpa hasil. Juga suling emas buatan Pangeran Cu Keng Ong itu lenyap dari keluarga Cu. Hanya bentuk-bentuk suling dan warisan turun-temurun yang sampai pada tiga orang kakak beradik Cu ini.

“Karena merasa khawatir bahwa suling pusaka itu akhirnya lenyap sama sekali, kami pernah melakukan penyelidikan. Dan kami mendengar bahwa suling itu terjatuh ke tangan Pendekar Suling Emas beberapa ratus tahun yang lalu. Kami berusaha untuk mendapatkan keturunannya, akan tetapi usaha kami sia-sia saja, seolah-olah keluarga Suling Emas itu sudah musnah dan bersama namanya terbawa lenyap pula. Agaknya Saudara Kam Hong telah mempelajari ilmu-ilmu keluarga kami dengan lebih sempurna dari pada yang kami warisi sendiri!” Ucapan terakhir itu keluar dengan nada penuh rasa penasaran.

Kam Hong dapat merasakan ini dan dapat mengerti mengapa pihak tuan rumah merasa penasaran dan diam-diam dia pun merasa kasihan. Sekarang mengertilah dia mengapa keluarga Cu ingin sekali mengalahkan dia dan merasa amat penasaran ketika tidak berhasil, karena itu berarti bahwa keluarga itu dikalahkan orang dengan menggunakan senjata pusaka dan ilmu pusaka keluarga mereka sendiri! Biar pun tahu bahwa hal itu bukan kesalahannya, namun dia sedikit merasa bahwa dia seolah-olah menjadi pencuri pusaka dan ilmu keluarga Cu.

“Demikianlah riwayat keluarga kami yang berhubungan dengan suling emas, Saudara Kam. Sekarang harap Saudara ceritakan tentang keluarga Saudara yang menggunakan nama Suling Emas, agar kami mengerti bagaimana duduk perkaranya,” kata Han Bu.

Kam Hong menghela napas. Dia harus menceritakan semuanya agar mereka ini tidak merasa penasaran dan menganggap bahwa keluarganya adalah pencuri-pencuri ilmu dan pusaka! Setelah memandang ke arah wajah tiga orang kakak beradik she Cu yang duduk dihadapannya itu, Kam Hong lalu berkata,

“Julukan Suling Emas dipakai oleh nenek moyangku yang bernama Kam Bu Song dan beliau pulalah yang pertama-tama memiliki suling emas ini yang menurut cerita keluarga kami diterimanya dari sastrawan besar Ciu Bun di Pulau Pek-coa-to (Pulau Ular Putih). Suling emas ini secara turun-temurun lalu dimiliki oleh keluarga Kam dan memang pada akhir-akhir beberapa keturunan ini keluarga kami menyembunyikan diri, sampai kepada saya. Demikianlah riwayat suling emas ini dan dapat kujelaskan bahwa suling emas ini kumiliki dari warisan nenek moyang yang sudah tujuh ratus tahunan lamanya, dan kakek besar Kam Bu Song itu pun menerima dari pemberian yang syah, bukan mencuri. Dan sekarang tentang ilmu yang baru saja kupergunakan untuk menghadapi Saudara Cu Han Bu.”

Tiga orang kakak beradik itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka dapat percaya keterangan itu dan mereka menduga bahwa tentu suling yang hilang itu akhirnya, entah secara bagaimana tak ada seorang pun mengetahui, terjatuh ke tangan sastrawan Ciu Bun itu dan diberikan kepada Pendekar Suling Emas. Dengan demikian, keluarga pendekar itu memang berhak memilikinya. Kini mereka ingin sekali mendengar bagaimana Kam Hong dapat mainkan Ilmu Silat Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup yang merupakan ilmu pusaka keluarga mereka dengan demikian baiknya, lebih baik dari pada yang mereka miliki.

“Tadinya saya hanya mewarisi ilmu-ilmu pusaka keluarga kami yang tidak Sam-wi kenal, yaitu ilmu-ilmu yang saya pakai saat menghadapi Saudara Cu Kang Bu tadi. Sedangkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut yang saya mainkan dengan suling ketika menghadapi Saudara Cu Han Bu tadi, juga ilmu meniup suling, baru saja saya pelajari selama kurang lebih empat tahun baru-baru ini, yaitu kupelajari dari catatan yang terdapat pada jenazah kuno yang kami temukan....“

“Ahhhh....!” Tiga orang gagah itu bangkit berdiri dan muka mereka pucat, mata mereka terbelalak karena kaget.

“Jadi engkau malah yang telah menemukan jenazah Kakek Cu Keng Ong leluhur kami itu....?” Cu Kang Bu bertanya dengan suara yang mirip bentakan.

Kam Hong mengangguk tenang. “Mungkin saja jenazah itu ialah jenazah Cu Keng Ong seperti yang kalian ceritakan tadi. Saya tidak tahu benar, hanya saya tahu dari catatan di tubuhnya bahwa dia adalah pembuat suling emas dan siapa yang dapat menemukan jenazahnya dianggap berjodoh untuk mewarisi ilmunya....“

“Celaka....!” Cu Seng Bu berseru nyaring dan penuh dengan penyesalan, dan dia sudah meloncat ke depan.

Akan tetapi Cu Han Bu cepat memegang lengannya dan memandang adiknya dengan sinar mata tajam penuh teguran. “Seng-te, bukan demikian sifat keluarga kita! Kita harus dapat mengendalikan diri dan tidak memalukan leluhur kita!” Kemudian Cu Han Bu menoleh kepada Kam Hong sambil berkata, “Sungguh aneh sekali mengapa suling pusaka dan ilmu pusaka keluarga kami dapat terjatuh semuanya kepadamu, Saudara Kam Hong. Maukah kau menceritakan tentang jenazah leluhur kami itu?”

“Terjadinya secara kebetulan. Saya dan Ci Sian diserang gunung salju longsor sehingga kami hampir saja tewas. Di antara gumpalan-gumpalan salju longsor itu, kami kemudian menemukan jenazah kuno itu dan setelah kami selidiki, jenazah mengandung tulisan-tulisan yang mewariskan ilmu-ilmu itu kepada kami. Karena kami dianggap sebagai jodoh yang berhak mewarisi ilmu, dan oleh karena di situ tidak disebut-sebut tentang keluarga di sini, maka tentu saja saya mempelajari ilmu-ilmu itu dan saya tidak merasa bersalah sedikit pun. Apalagi diingat bahwa suling emas buatan kakek itu juga telah menjadi milik keluarga sejak ratusan tahun! Nah, kupelajari ilmu-ilmu itu selama hampir lima tahun, dan sekarang saya ketahui siapa guru saya yang ternyata bernama Cu Keng Ong dan menjadi leluhur penghuni lembah ini....“

“Dan kau pergunakan pusaka dan ilmu itu untuk mengalahkan kami!” Cu Kang Bu berteriak lalu menutupi muka dengan kedua tangan.

Pendekar tinggi besar yang gagah perkasa ini menangis tanpa bersuara! Yu Hwi yang duduk di sampingnya lalu memegang tangannya hingga kedua tangan mereka saling genggam. Melihat ini, diam-diam Kam Hong merasa terharu juga dan dia merasa terheran-heran mengapa sebelum dia bertemu dengan Yu Hwi, sering kali dia amat merindukan dara itu, sering membayangkan wajahnya yang manis dan membayangkan kemesraan bersama calon isterinya itu! Akan tetapi sekarang, setelah bertemu dengan Yu Hwi, melihat Yu Hwi bermesraan dengan pria lain, dia tidak merasa cemburu atau sakit, walau pun pada pertama kalinya dia merasa penasaran dan marah. Apakah yang menyebabkan kedinginan terhadap Yu Hwi itu, dan perbedaan yang amat jauh antara dahulu ketika dia masih merindukan Yu Hwi dan sekarang?

Mendadak dia merasa ada tangan halus yang menyentuh lengannya. Dia menoleh dan memandang wajah Ci Sian yang jelita dan pada saat dua pasang mata mereka saling bertemu sinar pandangan, Kam Hong melihat kenyataan yang sangat mengejutkan hatinya. Bayangan Yu Hwi itu kiranya telah lama lenyap dari lubuk hatinya, sepenuhnya terganti oleh bayangan Ci Sian! Dia telah jatuh cinta kepada Ci Sian semenjak lama, semenjak Ci Sian masih merupakan seorang dara tanggung empat tahun yang lalu! Dan sekarang, Ci Sian telah menjadi seorang dara cantik jelita berusia tujuh belas tahun! Kenyataan yang nampak jelas olehnya itu membuat jantungnya berdebar tegang.

“Paman, marilah kita pergi saja dari sini....,” Ci Sian berkata halus dan ucapannya itu membuyarkan dunia mimpi aneh dan lamunan Kam Hong yang tadi seperti terpesona oleh kenyataan itu.

“Baik, mari kita pergi....,“ kata Kam Hong yang memegang tangan Ci Sian dan bangkit berdiri. Sejenak Kam Hong memandang ke arah Yu Hwi, lalu berkata, “Nona Yu, demi untuk kebaikan namamu sendiri, seyogianya kalau engkau pulang dan menerangkan kepada Suhu Yu Kong Tek akan keputusan yang kau ambil agar pertalian jodoh antara kita itu dapat dibatalkan atau diputuskan secara resmi.”

Yu Hwi membalas pandang mata Kam Hong, lalu menoleh kepada kekasihnya yang masih menunduk, kemudian dia berkata dengan suara lembut kepada Kam Hong, tidak berani lagi memandang rendah bekas tunangan itu yang ternyata telah menjadi seorang yang mempunyai kesaktian hebat. “Baiklah, sekali waktu aku pasti akan mengunjungi Kongkong.”

Setelah menerima janji ini, Kam Hong lalu menarik tangan Ci Sian diajak keluar dari gedung itu. Tidak ada seorang pun yang bergerak menghalangi, dan dengan langkah-langkah tenang mereka keluar dari dalam gedung. Akan tetapi ketika mereka tiba di pintu gerbang depan, nampak bayangan tiga orang berkelebat dan ternyata tiga orang kakak beradik she Cu itu telah berdiri di depan mereka, wajah mereka pucat.

“Hemm, apa lagi yang kalian kehendaki?” Kam Hong bertanya dengan berkerut, siap untuk menghadapi mereka kalau saja mereka hendak menggunakan kekerasan.

Cu Han Bu melangkah maju dan menjura sambil berkata. “Saudara Kam Hong, kami hanya hendak bertanya di mana kau temukan jenazah nenek moyang kami itu. Kiranya itu adalah hak kami untuk menanyakan di mana adanya jenazah leluhur kami.”

“Tentu saja, akan tetapi sayang sekali, jenazah kuno itu telah kubakar....“

“Dibakar....?” terdengar Seng Bu dan Kang Bu berteriak.

“Benar, sesuai dengan tulisan pesanan terakhir pada tubuh beliau. Jenazah itu telah kubakar menjadi abu dan kukubur di tempat itu.”

“Ahhhh....!”

Tiga orang itu saling pandang dengan muka putus asa. Tadinya mereka mempunyai harapan untuk menemukan jenazah leluhur itu untuk dapat mempelajari ilmu pusaka keluarga mereka, akan tetapi harapannya itu hancur sama sekali mendengar betapa jenazah itu telah dibakar oleh Kam Hong.

Dengan hati duka penuh kekecewaan Cu Han Bu mengepal tinjunya, kemudian berkata dengan suara mengandung geram kekecewaan dan kemarahan. “Nenek moyang kami Cu Keng Ong itu sudah mewariskan suling emas dan ilmu pusakanya kepadamu. Baiklah, mulai sekarang kami takkan memakai lagi nama Lembah Gunung Suling Emas, melainkan kami ganti menjadi Lembah Gunung Naga Siluman! Dan kau tunggulah, Kam Hong, biar pun engkau telah mewarisi ilmu yang tadinya menjadi milik keluarga kami, akan tetapi kami masih mempunyai ilmu pusaka yang lain, yang diciptakan oleh Toa-pek kami sendiri. Kelak akan tiba saatnya Ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu akan dikalahkan oleh ilmu keluarga kami, yaitu Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman)!”

Kam Hong menarik napas panjang dan menjura. “Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga. Perkenankanlah kami pergi dari sini.”

Cu Han Bu bisa mengatasi kekecewaannya. Melihat sikap tamunya yang cukup hormat dan tidak merasa tinggi hati oleh kemenangannya itu, dia pun menarik napas panjang dan balas menjura, “Saudara Kam Hong, maafkan sikap kami yang kecewa karena nasib telah mempermainkan kami yang kehilangan benda pusaka dan ilmu pusaka ini. Mari kuantar kalian sampai ke jembatan tambang.”

Setelah berkata demikian, Cu Han Bu seorang diri saja lalu menemani Kam Hong dan Ci Sian menuju ke tepi jurang yang amat curam itu. Ketika mereka tiba di tepi jurang, Cu Han Bu memandang ke arah para penjaga jembatan itu dan bertanya dengan tegas.

“Apakah kalian tadi melihat Nona di sini?”

Para penjaga nampak ketakutan mendengar pertanyaan itu. Seorang di antara mereka, yaitu kepala jaga, lalu memberi hormat dan menjawab, “Harap ampunkan kami.... tadi Cu-siocia (Nona Cu) memaksa kami memasang tambang dan dia telah menyeberang. Kami tidak berani menolak permintaannya.”

Dalam keadaan biasa tentu Cu Han Bu akan menjadi marah dan melakukan pengejaran kepada puterinya. Akan tetapi saat itu hatinya sedang kesal dan murung, maka dia pun tidak peduli, lalu memberi tanda agar jembatan tambang itu diangkat dan membiarkan dua orang tamunya menyeberang.

“Silakan, Saudara Kam Hong,” Cu Han Bu mempersilakan ketika jembatan tambang itu sudah diangkat dan membentang lurus menyeberang jurang.

Melihat jembatan tambang itu dan membayangkan betapa dia dan Kam Hong berdua harus menyeberang dan meninggalkan tuan rumah yang sedang dalam keadaan marah, kecewa dan penasaran itu, hati Ci Sian tentu saja merasa ngeri sekali.

“Nanti dulu, Paman Kam Hong,” katanya menahan lengan pendekar itu yang sudah siap menyeberang. “Berbeda dengan ketika kita datang sebagai tamu, kini kita pergi sebagai orang-orang yang dimusuhi dan tidak disukai, dan jika ketika datang kita menyeberang bersama mereka, kini kita harus menyeberang berdua saja. Bagaimana kalau selagi tiba di tengah-tengah jembatan, tambang ini lalu dibikin putus olehnya?”

Kam Hong terkejut sekali mendengar kelancangan ucapan Ci Sian ini, akan tetapi tiba tiba Cu Han Bu sudah mengeluarkan teriakan nyaring dan pendekar itu mengangkat tangan kanan ke atas. Kam Hong sudah siap untuk melindungi Ci Sian, akan tetapi pria yang sekarang matanya melotot dan mukanya menjadi merah itu menurunkan tangan kanannya dan mencengkeram jari kelingking tangan kirinya sendiri. Terdengar bunyi tulang patah dan darah mengucur ketika jari kelingking tangan kirinya sendiri itu telah remuk dan lenyap setengahnya! Ci Sian terbelalak memandang dengan muka pucat.

“Nona.... kau.... kau sudah berkali-kali terlalu menghina kami!” Cu Han Bu berkata, matanya masih melotot dan napasnya agak terengah menahan marah. “Kalau tidak melihat muka Saudara Kam Hong, aku tentu sudah membunuhmu! Akan tetapi kalau lain kali kita bertemu kembali, aku takkan dapat mengampunimu lagi!”

Ci Sian merasa ngeri, bukan hanya melihat sikap orang itu, akan tetapi juga melihat jari kelingking yang hancur dan masih meneteskan darah segar itu. Akan tetapi pada saat itu Kam Hong sudah menarik tangannya dan mengajaknya meloncat ke atas tambang dan dengan cepat berlari ke seberang. Setelah mereka dengan selamat meloncat ke daratan di seberang, tambang itu lalu diturunkan kembali dan lenyap di dalam kabut. Legalah rasa hati Ci Sian setelah mereka selamat sampai ke darat.

“Ci Sian, mengapa engkau begitu lancang mulut sehingga membikin marah Cu Han Bu seperti itu? Lain kali engkau harus berhati-hati kalau bicara, jangan menurutkan hati dan pergunakan kebijaksanaan.”

Ci Sian kaget, sejenak dia menatap wajah Kam Hong karena suara teguran itu benar benar dirasakan amat pedas dan menusuk, dan tiba-tiba ia menangis. Bukan menangis manja, melainkan menangis sedih sekali. Dia sudah tak punya siapa-siapa lagi, ayahnya yang diharapkannya itu ternyata mengecewakan hatinya dan dia tidak mungkin hidup di samping ayahnya yang telah mempunyai isteri begitu banyak. Kini tinggal Kam Hong seoranglah yang dianggapnya sebagai pelindung dan orang terdekat, dan sekarang.... Kam Hong agaknya marah-marah dan tidak senang kepadanya. Karena sedih, maka dia menangis.

Melihat Ci Sian menangis, Kam Hong menggeleng-geleng kepala, lalu menghampiri dan memegang pundaknya. “Sudahlah, kenapa kau malah menangis?”

Akan tetapi Ci Sian menarik pundaknya dari sentuhan Kam Hong, lalu di antara isaknya dia berkata. “Dia orang jahat.... hu-huuh, dia mengancam untuk membunuhku, kau.... kau peduli apa? Aku.... aku hanya membikin susah padamu saja....”

Kam Hong menyambar lengan dara itu dan menariknya mendekat, “Kau marah oleh teguranku tadi? Ci Sian, ingatlah, aku menegur demi kebaikanmu! Dan selama ada aku di sampingmu, takkan ada seorang pun yang boleh mengganggumu! Akan tetapi.... ada waktunya berkumpul tentu akan datang saatnya berpisah, dan karena itu engkau harus mempelajari ilmu yang kita temukan itu dengan tekun agar kelak engkau akan mampu menjaga diri sendiri kalau terancam oleh lawan yang lihai.”

Ci Sian mengangkat muka memandang wajah itu. “Kau.... kau tidak marah kepadaku, Paman?”

Terpaksa Kam Hong tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku tidak marah, aku tadi menegur agar engkau sadar bahwa hal itu berbahaya bagimu sendiri.”

Ci Sian cepat merangkul pundak dan menyembunyikan mukanya di dada Kam Hong. “Paman.....aku tidak punya siapa-siapa lagi kecuali engkau, maka janganlah kau marah padaku....”

Kam Hong mendekap dan sejenak hatinya merasa amat terharu, kemudian berdebar aneh ketika menyadari betapa dia mendekap dara remaja itu. Teringat akan ini segera dengan halus dia melepaskan dekapannya dan mendorong tubuh dara itu menjauh sambil berkata, “Sudahlah, mari kita mulai berlatih. Engkau telah mulai maju dalam latihan ginkang menurut ilmu penghimpunan khikang dari tiupan suling, maka mari kita lanjutkan latihan ginkang itu. Mari kita lari ke puncak bukit di depan itu dan pergunakan semua tenagamu.”

“Baik, Paman, mari kita berlomba!” Ci Sian telah melupakan kesedihannya. Air matanya masih belum kering, kedua pipinya masih basah, akan tetapi bibirnya yang manis itu telah tersenyum lagi ketika dia mulai meloncat dan lari ke depan dengan cepat seperti seekor kijang betina muda yang bahagia. Kam Hong tersenyum dan dia pun mengejar, maka berlarianlah dua orang itu menuju ke puncak bukit di depan.

Ketika dia berlari-lari di samping Ci Sian, Kam Hong seolah-olah mendengar suara nyanyian yang timbul dari perasaan hatinya sendiri, yang membuat dia merasa demikian senang. Dia sendiri merasa heran sekali dan dia masih dalam keadaan meraba-raba dan menduga-duga, apakah ini yang dinamakan cinta asmara? Benarkah dia jatuh cinta kepada Ci Sian? Pertanyaan ini selama ini selalu berbisik di dalam hatinya dan dia belum berani menentukannya.

Dahulu, sebelum bertemu dengan Ci Sian, Kam Hong selalu menganggap bahwa dia mencinta calon isterinya, Yu Hwi, sungguh pun antara dia dan Yu Hwi belum pernah terjadi hubungan yang akrab. Bahkan ketika Yu Hwi mendengar akan pertunangan itu, Yu Hwi lalu melarikan diri, hal itu juga membuktikan bahwa Yu Hwi tidak setuju dengan perjodohan itu dan berarti pula tidak cinta kepadanya. Akan tetapi, karena adanya ikatan jodoh itu membuat dia selalu mengenangkan Yu Hwi, kenangan yang luar biasa karena dia mula-mula mengenal Yu Hwi sebagai seorang pemuda bernama Kang Swi Hwa.

Dan dialah yang membuka rahasia Kang Swi Hwa itu sebagai seorang gadis ketika dia hendak mengobati ‘pemuda’ itu dan melihat bahwa pemuda itu mempunyai dada seorang dara! Kenangan inilah yang mengingatkan dia akan Yu Hwi sebagai seorang wanita, lebih lagi sebagai seorang calon isterinya, kenangan yang lucu, mesra dan aneh. Ini pula agaknya yang membuat dia merasa selalu rindu kepada Yu Hwi dan ini pula yang membuat dia mengira bahwa dia mencinta Yu Hwi.

Akan tetapi, semenjak dia bertemu dengan Ci Sian beberapa tahun yang lalu, sejak Ci Sian hanya seorang dara cantik berusia tiga belas tahunan, ada sesuatu di dalam hatinya yang melekat kepada dara ini. Kini, setelah berjumpai kembali dengan Ci Sian sebagai seorang dara yang sudah dewasa, dia merasa seolah-olah Yu Hwi hanya merupakan bayangan mati dan kini terganti oleh seorang dara yang benar-benar hidup dan yang membutuhkan perlindungannya!

Apalagi setelah dia berjumpa sendiri dengan Yu Hwi dan menyaksikan sikap calon isterinya itu, bayangan lama tentang Yu Hwi itu seketika lenyap sama sekali dan dia merasa gembira! Kalau dulu dia tidak berani memikirkan bahwa dia tertarik kepada Ci Sian sebab dia selalu ingat bahwa dia adalah seorang pria yang telah mempunyai calon isteri, jodoh yang sudah ditentukan sehingga haram baginya untuk menoleh kepada wanita lain, kini dia merasa seolah-olah dia telah terbebas dari belenggu ikatan itu. Dia telah bebas, sama bebasnya dengan Ci Sian. Inilah agaknya yang mendatangkan rasa senang sekali di saat dia berlari di samping Ci Sian itu. Benarkah dia telah jatuh cinta kepada dara ini? Dara yang memanggilnya paman, yang memang sepatutnya menjadi keponakannya? Dia tahu bahwa usia Ci Sian kurang lebih baru tujuh belas tahun, sedangkan dia sendiri sudah berusia dua puluh tujuh tahun! Pantaskah kalau dia jatuh cinta kepada dara remaja ini?

Akan tetapi, pada saat itu keraguan kecil ini segera lenyap seperti awan tipis terhembus angin. Dia merasa gembira, bahkan dia ingin berloncatan dan bermain-main seperti kembali menjadi anak-anak, atau setidaknya kembali menjadi semuda Ci Sian.

Cinta asmara memang sesuatu pengalaman hidup yang amat luar biasa bagi setiap orang manusia. Segala macam perasaan tercakup lengkap di dalamnya. Ada dorongan-dorongan yang timbul dari dalam, bukan dari pikiran, yaitu membuat kita merasa amat mesra, ingin selalu berdekatan, ingin selalu memandang, ingin selalu menyenangkan hatinya, ingin selalu mendengar suaranya. Ada sesuatu yang sukar diselidiki, yang timbul di luar kesadaran kita, sesuatu yang amat mengharukan, yang mendorong hati kita untuk condong bersatu dengan dia, takkan terpisah lagi, ada sesuatu yang lebih dari pada sekedar kegembiraan, sekedar dorongan birahi belaka.

Tetapi, jika kita tak berhati-hati, pikiran yang selalu ingin mengejar kesenangan pribadi, baik kesenangan jasmani atau rohani, pikiran dapat menimbulkan bayangan-bayangan kenikmatan nafsu yang menjurus kepada nafsu birahi dan sekali nafsu menguasai batin, menjadi yang terpenting, maka akan cemarlah yang dinamakan cinta itu. Birahi adalah soal yang wajar, tuntutan jasmani, daya tarik antara pria dan wanita, yang alamiah karena dari daya inilah lahirnya keinginan untuk bersatu dan dari sinilah pula datangnya rahasia perkembang-biakan manusia, anak beranak.

Daya tarik ini merupakan sesuatu yang wajar, tanpa ada unsur kesengajaan, karenanya alamiah dan gaib, dan hal itu tercakup pula dalam cinta. Akan tetapi, begitu nafsu birahi dipupuk oleh pikiran dengan dasar mencari kepuasan atau kenikmatan, akan rusaklah segala-galanya dan cinta menjadi sesuatu yang mungkin saja menimbulkan segala macam kerusakan, kekerasan, konflik dan kesengsaraan. Cinta yang telah dicengkeram dan dikuasai oleh nafsu birahi itu, yang pada hakekatnya adalah nafsu keinginan menyenangkan diri sendiri belaka, akan menimbulkan cemburu, ingin menguasai, dan bahkan dapat berbalik menjadi benci kalau keinginan menyenangkan dirinya sendiri itu terhalang.

Akan tetapi, kalau pikiran membentuk nafsu keinginan menyenangkan diri sendiri itu tidak mencampuri, tidak mengotori, yang tinggal hanyalah kewajaran cinta yang amat indah, cinta yang sinarnya memenuhi seluruh jagat dan menembus ke lubuk hati setiap orang manusia, yang getarannya menghidupkan segala sesuatu yang nampak mau pun yang tidak nampak. Kalau sudah ada sinar dan getaran cinta itu, maka tidak ada lagi persoalan, segala sesuatu menjadi indah dan suci, bahkan birahi pun menjadi sesuatu yang indah dan suci, cinta asmara antara seorang pria dan seorang wanita pun menjadi sesuatu yang indah dalam sinar cinta kasih

.

Pada saat Kam Hong berlari-larian dengan Ci Sian itu, sinar cinta kasih menerangi hatinya, mendatangkan perasaan yang amat luar biasa, kebahagiaan yang tak terpisah dari alam, dari segala-galanya yang nampak, batinnya begitu penuh dengan kebebasan dan keheningan, yang ada hanya rasa bahagia itu saja, yang lain-lain tidak ada lagi!

Kiranya tiap orang pernah merasakan hal ini, namun sayang, hanya sekilas saja karena batin sudah diserbu lagi oleh keinginan-keinginan memuaskan diri dengan kesenangan-kesenangan. Bahkan rasa bahagia itu pun lalu berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar! Sungguh sayang.....

Ketika mereka tiba di puncak bukit, tiba-tiba Ci Sian yang agak terengah-engah karena memang tenaganya belum kuat benar dan dia tadi telah mengerahkan terlalu banyak tenaga, berhenti berlari dan menuding ke depan. Keringat halus memenuhi leher dan dahinya.

Kam Hong ikut memandang ke depan dan nampaklah olehnya seorang pemuda di atas lereng bukit di depan, lalu pemuda itu berhenti dan muncul dua orang kakek. Agaknya terjadi percekcokan dan pemuda itu berkelahi dengan dua orang kakek. Akan tetapi hanya dalam waktu singkat, pemuda itu kena ditawan, agaknya pingsan lalu dipanggul oleh seorang di antara dua kakek itu dan dibawa pergi.

“Dia itu Cu Pek In....!” kata Kam Hong. “Ci Sian, kau tunggu saja di sini, aku harus mengejar mereka dan menolong Nona Cu!” setelah berkata demikian, sekali berkelebat saja Kam Hong telah pergi dan lenyap dari situ, mengejar ke depan, turun dari puncak bukit itu.

Ci Sian juga mengenal bahwa pemuda yang ditawan oleh dua orang kakek itu adalah Cu Pek In, gadis puteri majikan Lembah Suling Emas atau yang kini dirubah namanya menjadi Lembah Naga Siluman, merasa tidak enak ditinggal sendirian saja di puncak bukit yang sunyi itu. Maka dia pun lalu mengerahkan tenaganya ikut lari mengejar turun dari puncak itu. Akan tetapi, ternyata dua orang kakek itu sudah tidak nampak lagi bayangan mereka dan juga Kam Hong sudah lenyap sehingga Ci Sian menjadi bingung, akan tetapi dia masih terus mengejar, lari turun bukit menuju ke bukit di mana tadi Pek In dan dua orang kakek itu nampak.

Dengan napas terengah-engah dan tubuh basah oleh keringat, akhirnya terpaksa Ci Sian berhenti di lereng bukit itu karena dia merasa bingung. Dia tidak tahu ke mana larinya dua orang kakek yang menawan Cu Pek In tadi, juga tidak lagi melihat bayangan Kam Hong yang mengejar mereka. Dia juga tidak tahu apakah dia tidak tersesat jalan. Dia merasa bingung dan khawatir.

Membayangkan bahwa dia akan terpisah selamanya dari Kam Hong, ingin rasanya dia menangis dan ingin dia berteriak-teriak memanggil nama Kam Hong. Akan tetapi dia menahan diri. Dia merasa malu kalau harus berteriak-teriak memanggil, apalagi baru saja Kam Hong telah menegurnya. Dia tidak akan sembarangan lagi membuka mulut. Pula, Kam Hong adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian hebat, apa sukarnya bagi pendekar itu untuk mencari dan menemukannya? Dia harus bersikap tenang, seperti Kam Hong. Bukankah dia juga diakui sebagai adik seperguruan? Masa adik seperguruan Pendekar Suling Emas yang perkasa itu harus menjadi seorang gadis cengeng dan penakut?

Dengan pikiran itu yang merupakan hiburan baginya, pulihlah kembali semangat dan keberaniannya dan mulailah dia berjalan menuruni bukit itu dengan hati-hati sambil memasang mata, tidak lagi lari seperti tadi. Hari telah makin menua, matahari mulai ke barat, dan biar pun dia mulai merasa khawatir lagi, namun diberani-beranikan hatinya dan dia melangkah terus. Dia mendaki bukit penuh salju di depan karena dia melihat tapak kaki di atas salju tebal.

Ketika tiba di lereng bukit itu, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan memasang telinga dengan penuh perhatian. Ada suara berdengung-dengung atau mengaung-ngaung dari arah kiri. Tadinya dia mengira bahwa itu suara suling dari Kam Hong, tetapi ternyata bukan, suara suling tidak seperti itu, mengaung dan kadang-kadang berdesing tajam itu lebih mirip suara gerakan pedang yang luar biasa sekali, akan tetapi dia pun meragu karena mana mungkin gerakan pedang biasa berdengung seperti itu, seperti berirama dan menyanyikan lagu aneh.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman