SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-20
“Majulah!” katanya tenang sambil menghadapi dan menatap wajah lawan.
“Tidak, aku mewakili keluarga Lembah Suling Emas sebagai pihak tuan rumah, engkau mulailah, sobat.” jawab Kang Bu.
Kam Hong tersenyum. Kalau dia tidak ingat lagi tentang urusan Yu Hwi, tentu dia akan merasa kagum dan suka kepada keluarga yang sikapnya gagah ini. “Nah, sambutlah seranganku!” katanya, kemudian tubuhnya sudah bergerak ke depan. Dia mulai dengan tamparan tangan kirinya yang dilakukan dengan kecepatan luar biasa sehingga tahu-tahu tangan pendekar ini sudah menyambar ke arah leher lawan.
Sebelum dia mempelajari ilmu-ilmu yang mukjijat dari catatan di tubuh jenazah kuno, sebetulnya Kam Hong sudah memiliki kepandaian yang luar biasa. Seperti diketahui, di waktu masih remaja dia sudah digembleng oleh seorang tokoh besar dunia persilatan, yaitu Sai-cu Kai-ong yang telah menurunkan ilmu-ilmu silat tinggi Khong-sim Sin-ciang sebagai ilmu warisan dari Khong-sim Kai-pang kepadanya, di samping juga Ilmu Sai-cu Ho-kang yang dilakukan dengan pengerahan khikang pada suara sehingga dapat mengeluarkan suara gerengan singa yang melumpuhkan lawan yang kurang kuat sinkang-nya.
Kemudian dia digembleng pula oleh Sin-siauw Sengjin, yaitu kakek keturunan pelayan keluarga Suling Emas yang menjadi pemegang pusaka ilmu-ilmu Suling Emas, dan kakek ini dengan penuh kesungguhan menurunkan semua ilmu-ilmu itu kepada Kam Hong sebagai keturunan terakhir keluarga Kam, yaitu keluarga Suling Emas. Dari mendiang Sin-siauw Sengjin ini Kam Hong mewarisi ilmu-ilmu yang luar biasa hebatnya, yaitu Hong-in Bun-hoat, Pat-sian Kiam-hong-hoat, Kim-kong Sin-in, dan Lo-hai San-hoat.
Dengan ilmu-ilmu silat yang sangat tinggi itu saja sebetulnya dia sudah merupakan seorang tokoh yang akan sukar dicari tandingannya, apalagi setelah dia menemukan rahasia peninggalan jenazah kuno pembuat suling emas itu! Kim-siauw Kiam-sut merupakan ilmu pedang yang memang khusus diciptakan oleh pembuat suling itu untuk dimainkan dengan suling emas buatannya sehingga merupakan ilmu pedang yang luar biasa dahsyatnya, sedangkan ilmu meniup suling yang diajarkan melalui catatan rahasia di tubuhnya itu pun merupakan ilmu tinggi yang memperkuat khikang hebat pula.
Cu Kang Bu adalah seorang pemuda yang sejak kecil tekun mempelajari ilmu-ilmu warisan keluarganya, ilmu-ilmu silat kuno simpanan yang sudah jarang dilihat di dunia persilatan. Dalam keluarganya, di antara kakak beradik yang tiga orang itu, kiranya Cu Han Bu yang lebih tinggi setingkat kepandaiannya, akan tetapi mereka memiliki keistimewaan masing-masing dan Cu Kang Bu terkenal dengan kekuatan tubuhnya yang hebat sehingga dia dijuluki Ban-kin-sian atau Dewa Bertenaga Selaksa Kati, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar. Biar pun dia merupakan seorang pemuda perkasa yang kasar dan jujur, namun dia bukanlah orang bodoh dan dia tidak memandang rendah lawan karena dia dapat menduga bahwa bekas tunangan kekasihnya ini bukan seorang yang lemah.
Maka begitu melihat tamunya sudah mulai menyerang dengan tamparan tangan kiri yang menyambar cepat ke arah lehernya, dia pun sengaja mengerahkan tenaganya yang besar pada lengan kanan dan menangkis sambil membuat gerakan memutar. Maksudnya adalah untuk mengadu tenaga, dan kekuatan yang ditimbulkan oleh lengan yang diputar itu bukan main dahsyatnya, dapat mematahkan tulang lengan lawan yang ditangkisnya. Pendeknya dia mengandalkan kekuatannya untuk mengadu tenaga dan mengalahkan lawan dalam segebrakan saja atau setidaknya dia akan dapat mengukur sampai di mana kekuatan Kam Hong.
Melihat tangkisan kasar ini, Kam Hong tersenyum dan tahulah dia apa yang dikehendaki oleh lawan. Dengan tenang ia melanjutkan tamparannya tanpa mempedulikan tangkisan itu.
“Plakk!”
Tangkisan itu keras dan kuat bukan main. Lengan kanan Cu Kang Bu yang menangkis itu seolah-olah berubah menjadi tongkat baja yang keras dan kuat, yang bukan hanya akan dapat mematahkan tulang, bahkan senjata besi pun kiranya akan dapat dibikin patah atau melengkung. Akan tetapi, ketika lengan itu bertemu dengan lengan Kam Hong, wajah Cu Kang Bu berubah, matanya terbelalak karena dia merasa betapa lengannya yang keras bertemu dengan benda yang lunak dan lentur hingga lengannya itu membalik seolah-olah sepotong besi memukul karet saja! Mengertilah dia dengan kaget bukan main bahwa lawannya telah memiliki tenaga sinkang yang amat tinggi tingkatnya, yang mampu mempergunakan tenaga lemas sedemikian rupa sehingga di balik kelunakan itu terdapat kekuatan dan keuletan yang amat ampuh sehingga dia tidak mungkin lagi dapat mengandalkan kekuatan tenaga besar.
“Bagus!” pujinya dan dia pun kini membalas dengan pukulan-pukulan dahsyat yang datangnya beruntun dan setiap pukulan mengandung hawa pukulan dahsyat, juga kedua tangan yang memukul itu berubah-rubah, kadang-kadang terkepal, kadang-kadang terbuka jari-jari tangannya, sedangkan dari kedua tangan itu menyambar hawa pukulan yang kadang-kadang keras, kadang-kadang lemas, sehingga terasa hawa yang kadang-kadang panas dan kadang-kadang dingin!
“Hemmm....!” Kam Hong berseru kaget dan juga kagum.
Dia memang sudah menyangka akan kelihaian lawan, namun apa yang diperlihatkan lawan dalam serangkaian serangan ini benar-benar merupakan ilmu yang amat tinggi dan berbahaya. Maka dia pun lalu cepat menyambutnya dengan mainkan ilmu silat tangan kosong Khong-sim Sin-ciang.
Ilmu silat warisan dari Khong-sim Kai-pang ini mengandalkan kepada kekosongan untuk melawan yang berisi, mengandalkan keluwesan menghadapi kekasaran, mengandalkan kelembutan menghadapi kekerasan. Karena lawannya menyerang dengan kekerasan, maka yang paling tepat baginya untuk menghadapi serbuan itu adalah dengan Ilmu Silat Khong-sim Sin-ciang itulah. Dan memang sesungguhnya, semua serbuan itu seolah olah tenggelam tak berbekas, semua serangan dapat dielakkan atau ditangkis dengan mudah sehingga dalam serangkaian serangan yang tidak kurang dari dua puluh jurus banyaknya, Cu Kang Bu sama sekali tidak berhasil mengenai tubuh lawannya.
Tiba-tiba Cu Kang Bu berseru nyaring dan seruan itu melengking seperti suara suling! Kam Hong terkejut bukan main. Itulah suara lengkingan yang didasari khikang yang mirip dengan yang dipelajarinya, hanya tingkatnya masih belum begitu tinggi, namun sudah tentu akan dapat menggetarkan perasaan orang yang kurang kuat sinkang-nya jika diserang oleh suara ini.
Kang Bu melengking dan terus menubruk, kini gerakan-gerakannya bagaikan seekor harimau, kedua lengannya juga ditekuk di bagian siku, pergelangan tangan dan buku-buku jari persis menyerupai cakar harimau. Itulah semacam Houw-kun (Ilmu Silat Harimau) yang hebat, karena kalau Ilmu Silat Harimau itu biasanya mengandalkan tenaga otot dan jari-jari terlatih saja, kini didasari tenaga sinkang yang amat kuat sehingga sebelum ‘cakaran’ datang lebih dulu telah ada hawa pukulan yang menyerang lawan dan hawanya amat panas sehingga dari kedua tangan yang membentuk cakar harimau itu mengepul uap putih!
Kam Hong maklum akan lihainya Ilmu Silat Harimau yang aneh dan lain dari pada yang lain itu, sementara itu suara melengking-lengking masih kadang-kadang terdengar dari kerongkongan lawan yang mengiringi setiap tubrukan atau cakaran tangan. Melihat gerakan Cu Kang Bu, lawan yang kurang kuat sinkang-nya tentu akan melihat seolah-olah pemuda tinggi besar itu telah benar-benar berubah menjadi seekor harimau yang amat kuat dan ganas!
Kam Hong lalu mengerahkan tenaga dari dalam pusarnya dan ketika dia menggunakan khikang melalui tenggorokan, terdengarlah gerengan singa yang menggetarkan tanah di sekeliling tempat itu! Itulah Sai-cu Ho-kang, ilmu yang dipelajarinya dari Sai-cu Kai-ong, akan tetapi karena tenaga khikang di dalam diri Kam Hong sudah jauh maju setelah dia mempelajari ilmu meniup suling dari ilmu rahasia jenazah kuno, maka kekuatannya sudah sedemikian hebatnya sehingga kalau kalau Sai-cu Kai-ong sendiri mendengarnya dia tentu akan merasa terkejut dan heran.
Hebatnya ilmu ini adalah hawa suara itu dapat dipusatkan dan diarahkan kepada yang hendak diserang saja, sehingga kalau lain orang di situ hanya merasakan getaran hebat saja, tidaklah demikian dengan Cu Kang Bu. Dia terhuyung dan mukanya agak pucat karena suara gerengan itu seolah-olah memasuki tubuhnya dan menyerang jantungnya, dan selagi dia terhuyung itu Kam Hong sudah maju dan melakukan tamparan-tamparan dengan Ilmu Khong-sim Sin-ciang yang lembut namun amat berbahaya itu.
Cu Kang Bu mengeluarkan seruan kaget dan dia cepat melindungi dirinya dengan putaran kedua tangan, akan tetapi tetap saja dia didesak dan dihimpit oleh lawan. Bukan main heran dan kagetnya rasa hati pendekar tinggi besar ini. Dia memang tidak memandang rendah lawan dan dapat menduga bahwa lawannya lihai, akan tetapi sama sekali tidak pernah diduganya akan sedahsyat ini! Maka sambil mengeluarkan bentakan nyaring karena dirinya sudah terdesak dan terancam bahaya, tiba-tiba tangannya meraba ke pinggang dan nampaklah sinar hitam berkelebat disusul suara ledakan yang mengeluarkan asap putih dan tahu-tahu tangan kanan pendekar ini telah memegang sebatang cambuk baja yang tadinya menjadi ikat pinggangnya.
Cambuk baja lemas ini berwarna hitam dan kini meledak-ledak di udara. Akan tetapi, Cu Kang Bu sama sekali tidak menyerang lawan, hanya membunyikan cambuknya di udara tanpa berkata-kata, sikapnya menantang dan penuh rasa penasaran bahwa dia telah dikalahkan oleh bekas tunangan kekasihnya itu dalam adu silat tangan kosong. Di tempatnya dari pinggiran, Yu Hwi memandang dengan mata terbelalak keheran-heranan melihat betapa ‘Siauw Hong’ yang dulu merupakan kacung dari Pendekar Siluman Kecil itu ternyata kini mampu menandingi seorang pendekar sakti seperti Cu Kang Bu yang menjadi kekasihnya.
Sementara itu, biar pun dia agak pening oleh lengkingan-lengkingan dan gerengan-gerengan yang menggetarkan tadi ditambah mengikuti gerakan mereka yang amat cepat, namun Ci Sian dapat menduga bahwa pihak Kam Hong tentu menang karena kalau tidak, tidak nanti pihak lawan mengeluarkan senjata. Melihat cambuk hitam itu meledak-ledak mengeluarkan asap, hatinya gentar bukan main, akan tetapi sambil tertawa dia berkata, “Paman Kam Hong, lawanmu telah kalah dan kini mengandalkan cambuk kerbau! Hati-hati, jangan kena dicurangi olehnya!”
Tentu saja ucapan Ci Sian ini membikin panas perut Cu Kang Bu dan saudara-saudaranya, akan tetapi tetap saja Cu Kang Bu tidak mau menyerang lawan yang masih bertangan kosong. Katanya dengan suara parau karena menahan kemarahan, “Sobat Kam Hong, ilmu silatmu dengan tangan korong hebat sungguh, akan tetapi marilah kita main-main dengan senjata sebentar dan kau hadapi cambukku ini!”
Diam-diam Kam Hong juga kagum. Sukar atau jaranglah mencari orang gagah seperti Cu Kang Bu ini. Ilmu silatnya jelas amat lihai dan tinggi, dan selain tidak sombong, juga sama sekali tidak curang dan tidak mau mempergunakan senjata menyerang dia yang masih bertangan kosong. Betapa pun juga, pria ini agaknya tidak akan mengecewakan kalau menjadi suami Yu Hwi dan pilihan Yu Hwi kiranya tidaklah keliru! Akan tetapi, batinnya terasa panas juga kalau mengingat betapa Yu Hwi adalah tunangannya, calon isterinya yang hendak direbut oleh pemuda tinggi besar ini!
“Hemmm, kau masih penasaran? Hendak mengadu senjata? Baiklah, akan tetapi aku bukan tukang bunuh atau tukang siksa maka tidak membawa senjata mengerikan. Aku hanya membawa sebuah alat pengusir panasnya badan dan batin ini!”
Tangan kirinya bergerak dan seperti sedang main sulap saja, tahu-tahu tangan itu telah memegang sehelai kipas yang dikembangkan dan dipakai mengipasi lehernya seolah olah dia merasa gerah sekali. Namun, meski kipasnya digerak-gerakkan, tiga pasang mata dari kakak beradik penghuni Lembah Suling Emas yang memiliki penglihatan terlatih dan tajam sekali itu dapat membaca huruf yang tertulis di permukaan kipas yang digoyang-goyangkan itu. Tentu saja untuk dapat melakukan hal ini orang harus memiliki kepandaian yang sudah amat tinggi sehingga mata mereka sedemikian tajamnya dapat mengikuti gerakan kipas yang bagi mata biasa tentu membuat huruf-huruf itu kabur dan tidak terbaca. Diam-diam mereka bertiga memandang dan membaca huruf-huruf itu. Kipas itu permukaannya putih bersih dan huruf-huruf indah itu berwarna hitam, maka jelas sekali bagi mereka.
Hanya yang kosong dapat menerima tanpa meluap
Hanya yang lembut dapat menerobos yang kasar
Yang merasa cukup adalah yang sesungguhnya kaya raya!
“Hmm, khong-sim (hati kosong). Sobat Kam Hong masih mempunyai hubungan apakah dengan yang terhormat Sai-cu Kai-ong Ketua Khong-sim Kai-pang?” tiba-tiba terdengar Cu Han Bu bertanya dengan suara halus.
Kam Hong terkejut dan diam-diam kagum akan keluasan pengetahuan orang itu.
“Beliau pernah menjadi Guruku,” jawabnya jujur dan sederhana.
“Dia memang pernah menjadi seorang yang disebut Pangeran Pengemis!” Tiba-tiba Yu Hwi berkata dan di dalam suaranya mengandung cemooh.
Kini mulai mengertilah Kam Hong mengapa dara itu tidak setuju menjadi jodohnya. Kiranya latar belakang kehidupannya yang dahulu, pertemuan mereka yang pertama di mana dia menjadi pengemis dan menjadi semacam pelayan dari Siluman Kecil, yang membuat gadis ini memandang rendah kepadanya! Dia tersenyum.
“Benar sekali.... aku hanya seorang pengemis dan sekarang pun bukan majikan yang kaya raya!”
Akan tetapi melihat betapa pemuda itu menyindir kekasihnya, Cu Kang Bu sudah menjadi marah lagi. “Kam Hong, kalau kipas itu merupakan senjatamu, beranikah engkau menghadapi cambuk bajaku dengan kipas itu?”
“Mengapa tidak berani? Aku hanya melayanimu, sobat!” berkata Kam Hong sambil tersenyum.
“Hajarlah dia, Paman Kam Hong! Dia belum mengenal kipas mautmu!” Ci Sian berkata lagi, sungguh pun di dalam hatinya dia merasa kecut sekali melihat senjata pihak lawan yang berupa cambuk hitam panjang terbuat dari baja itu sedangkan ‘senjata’ Kam Hong hanya sebuah kipas yang lebih tepat untuk mengusir kegerahan saja. Namun, kini telah semakin tebal kepercayaannya kepada Kam Hong, maka ia mengusir kekhawatirannya dan diam-diam dia mendekati See-thian Coa-ong, gurunya.
“Suhu.... bagaimana pendapat Suhu....? Apakah Paman Kam Hong dapat menang?” bisiknya.
Sungguh lucu dara ini. Dia berbisik seolah-olah tidak akan dapat terdengar oleh orang-orang yang berilmu tinggi. Ia bicara hanya sambil berbisik-bisik, semua orang termasuk juga Yu Hwi dapat menangkap bisikannya itu, tetapi mereka terlalu tegang memandang ke arah kedua orang pendekar yang sudah siap untuk bertanding lagi itu dan tidak mempedulikan ulah Ci Sian.
“Apa....?” Kakek hitam botak itu berkata, lalu menarik napas panjang. “Aahhhh, aku seperti baru sadar dari mimpi! Sungguh mati, selama hidupku baru ini menyaksikan pertandingan seperti ini! Sungguh beruntung mata ini dapat menyaksikan pertandingan tingkat atas yang demikian hebatnya. Ternyata Pegunungan Himalaya yang tinggi masih ada yang melebihi tingginya....“ kakek itu menarik napas panjang lagi.
“Suhu, bagaimana? Apakah Paman Kam Hong akan dapat menang?” kembali Ci Sian bertanya sambil mengguncang lengan gurunya yang seperti orang sedang terpesona memandang ke arah dua orang pendekar itu.
“Siapakah aku ini yang dapat menentukan kalah menangnya pertandingan antara dua ekor naga? Kita lihat saja, Ci Sian, kita lihat saja....,“ katanya pelan tanpa mengalihkan pandangannya.
Ci Sian menjadi makin gelisah dan diam-diam dia lalu duduk bersila dan mengerahkan kekuatan batinnya untuk memanggil ular-ular sebanyak mungkin ke tempat itu untuk dapat membantu Kam Hong! Akan tetapi tiba-tiba dia merasa betapa pencurahan kekuatannya itu membuyar dan terdengar suara See-thian Coa-ong, “Anak bodoh kau, pembelamu itu takkan kalah!”
Ci Sian lalu teringat betapa dia pernah memanggil ular-ular ketika menghadapi isteri-isteri ayah kandungnya, dan akibatnya malah ular-ularnya yang tewas dan dia dimarahi oleh Kam Hong! Maka dia tidak jadi melanjutkan usahanya itu dan kini dia memandang ke arah perkelahian yang sudah mulai berlangsung.
“Tar-tar-tarrrr....!”
Cambuk hitam itu melayang-layang ke udara kemudian turun meluncur dan melecut sampai tiga kali ke arah kepala Kam Hong, tetapi dengan tenang pendekar ini mengelak dua kali dan sambaran yang ketiga kalinya dia kebut dengan kipasnya. Aneh sekali, ujung cambuk baja itu begitu kena dikebut lalu menyimpang atau melecut ke samping, menyeleweng seperti sehelai rambut ditiup saja! Dan ujung cambuk itu luput mengenai kepala Kam Hong, menyambar ke bawah dan mengeluarkan ledakan nyaring, mengenai sebuah batu sebesar kepala orang yang pecah berantakan menjadi beberapa potong! Melihat ini, Ci Sian merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan dingin. Batu saja terkena lecutan menjadi pecah berantakan, apalagi kepala manusia!
Akan tetapi Kam Hong masih tetap bersikap tenang, seolah-olah melihat batu pecah berantakan terkena ujung cambuk itu hanya merupakan permainan anak-anak baginya. Dan kini dia tidak membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan cambuk, melainkan kedua kakinya bergerak dengan langkah-langkah indah dan tahu-tahu dia sudah menyusup dekat melalui gulungan sinar hitam dari cambuk itu dan menggunakan ujung kipas untuk membalas serangan lawan dengan totokan-totokan ke arah jalan darah dari ubun-ubun sampai ke lutut lawan! Gerakan kipasnya cepat dan tak terduga-duga datangnya, sebab dia telah mainkan ilmu silat kipas Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang merupakan satu di antara ilmu silat warisan nenek moyangnya, yaitu Pendekar Suling Emas!
Memang satu-satunya jalan untuk melawan musuh yang menggunakan senjata panjang hanya dengan cara melakukan perkelahian jarak dekat, apalagi kalau dia sendiri hanya bersenjata sebuah kipas yang amat pendek. Kam Hong juga melakukan siasat ini, dia menggunakan langkah-langkah Pat-kwa-pouw dari Ilmu Silat Pat-sian-kun-hoat dan dengan langkah-langkah ini dia dapat selalu mendekati lawan hingga dapat menyerang dengan kipasnya.
Akan tetapi Cu Kang Bu adalah seorang tokoh yang sudah mahir sekali menggunakan senjata yang diandalkannya itu, maka biar pun senjatanya merupakan senjata untuk menyerang dari jarak jauh, ujung cambuk bajanya itu dapat membalik dan menyerang dari arah belakang, kanan, kiri atau atas bawah! Hebat bukan main gerakan cambuknya dan ujung cambuk itu seolah-olah hidup menuruti segala gerakan pergelangan tangan Kang Bu.
Bukan main serunya perkelahian itu. Kipas di tangan kiri Kam Hong berubah-ubah, sebentar terbuka untuk mengebut ujung cambuk lawan, kadang-kadang tertutup untuk menyerang dengan totokan-totokan yang amat berbahaya. Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang mendesak dan siapa yang terdesak karena mereka seolah-olah saling menukar serangan yang selalu dapat dipecahkan dan dilumpuhkan oleh lawan. Kurang lebih seratus jurus telah lewat dan perkelahian itu diikuti oleh semua orang sambil menahan napas karena memang amat menegangkan hati.
Kam Hong sendiri merasa kagum. Semenjak tadi, dia hanya mempergunakan ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya dari Sai-cu Kai-ong dan dari Sin-siauw Sengjin, yang telah dikuasainya dengan matang sehingga akan sukarlah mencari lawan yang mampu menandinginya dengan ilmu-ilmu itu. Akan tetapi, dengan ilmu-ilmu itu dia hanya dapat berimbang saja dengan lawannya ini.
Diam-diam dia merasa penasaran juga dan dikumpulkannyalah tenaga khikang yang diperolehnya ketika dia mempelajari ilmu pusaka yang tercatat di tubuh jenazah kuno. Dan tiba-tiba saja suara pernapasannya terdengar mencicit nyaring, makin lama makin tinggi sehingga tidak tertangkap oleh telinga, namun bagi Cu Kang Bu, dia merasakan getaran yang luar biasa hebatnya dari tubuh lawannya! Dia terkejut sekali dan berusaha untuk meloncat mundur sambil menggerakkan pecut bajanya.
Akan tetapi, kini Kam Hong mendesak ke depan, kipasnya terbuka dan begitu kipasnya mengebut, ada angin dingin menyambar ke arah muka lawan dan Cu Kang Bu hampir tidak kuat membuka matanya yang tersambar angin dingin. Begitu matanya berkejap, maka ujung kipas itu telah meluncur dan melakukan totokan-totokan, membuat Kang Bu kaget setengah mati dan terhuyung ke belakang sambil memutar cambuk dan tangan kiri melindungi tubuhnya. Akan tetapi lawannya mendesak dan akhirnya, maklumlah bahwa mempertahankan diri sama dengan mencari mati, Kang Bu meloncat jauh ke belakang lalu turun dan merangkap kedua tangan depan dada.
“Aku Cu Kang Bu mengaku kalah!”
Kam Hong membuka kipas di depan dada dan dia merasa semakin kagum dan suka kepada bekas lawannya itu, seorang yang kasar jujur namun juga tidak keras kepala dan mampu menghadapi kekalahan sendiri secara jantan. Seorang yang benar-benar patut, bahkan terlalu baik mungkin, untuk menjadi jodoh Yu Hwi!
“Saudara Cu Kang Bu, kepandaianmu sungguh amat hebat, aku kagum sekali!” katanya membalas penghormatan orang.
Akan tetapi dengan muka pucat Cu Han Bu melangkah maju. Pendekar ini diam-diam merasa penasaran bukan main melihat kekalahan adiknya. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa adiknya dengan cambuk bajanya dapat dikalahkan lawan yang hanya memegang setangkai kipas! Sungguh kekalahan yang menghancurkan keharuman nama besar keluarga Lembah Suling Emas, apalagi di situ ada orang-orang lain yang menyaksikan seperti See-thian Coa-ong dan terutama sekali dara murid Coa-ong yang pandai bicara itu, yang tentu akan menyiarkan berita kekalahan keluarga Lembah Suling Emas ke seluruh dunia kang-ouw! Mukanya menjadi pucat karena penasaran dan marah.
“Saudara Kam Hong, harap jangan membikin kami penasaran dan jangan bertindak kepalang-tanggung. Kau kalahkanlah aku sebagai orang pertama dari Lembah Suling Emas, agar kami yakin benar bahwa di luar lembah ada orang yang lebih pandai dari pada kami!” Setelah berkata demikian, sambil membungkuk dan memberi hormat, Cu Han Bu melolos sebuah sabuk emas dari pinggangnya.
Sikap orang ini sedemikian sungguh-sungguh sehingga Kam Hong maklum bahwa jalan satu-satunya baginya adalah memenuhi tantangan orang pertama dari Lembah Suling Emas ini. Pula, diam-diam dia pun merasa penasaran bahwa dialah yang benar-benar keturunan keluarga Suling Emas dan mereka ini hanya kebetulan saja memakai nama Lembah Suling Emas. Kalau dia dapat menangkan orang pertama dari keluarga lembah yang aneh ini, tentu dia berhak untuk minta dengan hormat kepada mereka agar nama Suling Emas tidak mereka pakai lagi.
Kam Hong maklum bahwa sebagai orang pertama dari keluarga itu, tentu pria yang berpakaian sederhana dan bersikap halus dan dingin ini tentulah memiliki tingkat kepandaian yang hebat dan lebih tinggi dari pada tingkat Kang Bu. Padahal, Kang Bu saja sudah demikian lihainya. Maka dia pun tidak boleh main-main lagi dan dia tentu akan harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mencapai kemenangan. Maka, sambil tetap membuka kipasnya dengan tangan kiri, tangan kanannya lalu meraih ke pinggang dan begitu bergerak, nampak sinar emas berkilauan dan tangan kanan itu telah memegang sebatang suling emas yang tadinya tersembunyi di balik jubahnya!
Kalau tadi ketika Cu Han Bu mengeluarkan dan melolos sabuk emas dari pinggangnya nampak sinar keemasan yang menyilaukan mata, kini suling emas di tangan kanan Kam Hong itu mengeluarkan cahaya yang amat gemilang, apalagi karena gerakannya ketika mengeluarkan amat cepat sehingga selain mengeluarkan cahaya yang amat kemilau, juga terdengar suara mendengung seolah-olah suling itu ditiup!
“Silakan!” katanya dengan suara tenang.
Akan tetapi, Cu Han Bu dan dua orang adiknya berdiri seperti kena pesona, mata mereka terbelalak menatap suling emas di tangan Kam Hong dan muka mereka menjadi pucat sekali.
“Suling Emas....!” Tiba-tiba mereka bertiga berseru dengan suara hampir berbareng dan ketiganya sudah melangkah maju menghadapi Kam Hong.
Tentu saja Kam Hong bersiap siaga dan alisnya berkerut, karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa orang-orang gagah itu akan maju bertiga! Benarkah apa yang dikhawatirkan oleh Ci Sian tadi bahwa orang-orang ini dapat bertindak curang dan hendak mengeroyoknya? Dengan sinar mata mencorong dia memandang mereka dan siap untuk menghadapi mereka dengan suling dan kipasnya.
Akan tetapi Han Bu malah menyimpan kembali sabuk emasnya dan dengan muka masih pucat dia berkata dengan suara gemetar, “Sobat Kam Hong.... dari mana engkau memperoleh suling itu....?”
Kam Hong memandang kepada suling di tangannya, lalu kepada mereka bertiga dan menjawab tenang, “Suling ini telah ada pada keluargaku semenjak ratusan tahun yang lalu, semenjak jaman Kerajaan Sung tujuh delapan ratus tahun yang lalu....“
“Ahhh....! Keluarga Pendekar Suling Emas....?”
Kam Hong memandang tajam penuh selidik. Ia maklum bahwa keluarganya itu memiliki banyak musuh di samping sahabat, oleh karena itu banyak pula orang kang-ouw yang berlomba untuk mendapatkan pusaka-pusaka dari nenek moyangnya dan terpaksa dia sampai harus disembunyikan di waktu kecil sebagai keturunan terakhir dari keluarga itu, demikian Sin-siauw Sengjin bercerita kepadanya. Dia tidak tahu apakah ketiga orang kakak beradik yang amat lihai ini merupakan golongan sahabat ataukah musuh. Akan tetapi dia tidak takut menghadapi mereka, baik sebagai sahabat mau pun musuh.
“Benar, aku adalah turunan terakhir dari keluarga Suling Emas! Hemm, kalian kelihatan heran, padahal aku sendiri juga merasa amat heran, kenapa di tempat ini ada keluarga Lembah Suling Emas!”
Pada saat itu terdengar suara suling yang amat merdu, akan tetapi juga amat nyaring melengking dan di dalam suara itu terkandung kekuatan yang menggetarkan dada pendengarnya. Itu bukan suara suling sembarangan, melainkan suara yang diciptakan dengan tiupan yang didasari khikang kuat! Semua orang menoleh ke arah datangnya suara suling itu dan tidak lama kemudian nampaklah seorang pemuda tampan sekali berjalan perlahan-lahan menuju ke tempat itu sambil meniup sebatang suling. Suling itu berkilauan dan dari jauh saja sudah nampak bahwa suling itu terbuat dari pada emas.
Kam Hong memandang dengan heran dan penuh perhatian. Suling yang ditiup oleh pemuda itu lebih kecil dari pada sulingnya, akan tetapi modelnya serupa benar! Dan pemuda yang meniupnya itu juga amat menarik. Wajahnya amat tampan, terlalu tampan malah dan usianya masih tampak amat muda dan caranya meniup suling menunjukkan bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan dan telah memiliki khikang yang lumayan kuatnya.
Setelah pemuda tampan itu tiba dekat, terdengar Cu Han Bu menegur dengan suara halus, di balik suara teguran itu terkandung kasih sayang mendalam.
“Pek In, hentikan tiupan sulingmu yang bodoh itu!”
Dengan gerakan cepat Kam Hong telah menyimpan kembaii sulingnya di balik jubah lebarnya dan dia memandang kepada pemuda itu dengan penuh perhatian. Pemuda itu menghentikan tiupan sulingnya, memainkan suling emas itu di antara jari-jari tangan yang kecil meruncing, diputar-putarnya di antara jari-jari tangannya dengan gerakan yang gagah sekali, akan tetapi mulutnya cemberut dan dia memandang kepada Cu Han Bu dengan sikap manja.
“Ayah, mengapa tidak boleh bermain suling? Mengunjungi Suheng tidak boleh, bermain suling sendiri mengusir sunyi juga tidak boleh, aihh, betapa menjemukan hidup ini....!” Akan tetapi dia segera menghentikan kata-katanya karena pada saat itu dia baru melihat bahwa ayahnya dan para pamannya sedang berhadapan dengan seorang pria berpakaian sastrawan yang memegang sebatang kipas dan di situ terdapat pula seorang dara jelita, seorang kakek botak kurus dan juga di situ terdapat Yu Hwi, murid Cui-beng Sian-li yang dia tahu berpacaran dengan pamannya dan yang diam-diam tidak disukainya itu.
Akan tetapi Cu Han Bu tidak mempedulikan puterinya, dan dia sudah menjura kepada Kam Hong. “Maafkan gangguan puteriku tadi.”
Kam Hong kini mengerti mengapa pemuda itu luar biasa tampan dan halusnya, kiranya seorang dara! “Kulihat puterimu juga mempunyai sebatang suling yang mirip dengan sulingku.”
“Itulah dia Saudara Kam Hong! Di antara keluarga kita ada sesuatu yang perlu kita bicarakan. Sudah lama kami mendengar tentang keluarga pendekar Suling Emas, dan kami pernah mencoba mencarinya namun tidak berhasil. Maka, mendengar bahwa engkau adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan melihat pula bahwa memang engkau yang memiliki suling emas pusaka itu, kami terkejut bukan main. Juga girang, karena yang kami cari-cari ternyata kini malah datang menjenguk kami. Oleh karena itu, kami persilakan kepadamu untuk berkunjung ke lembah kami di mana kita akan bicara lebih mendalam tentang suling emas agar semua rahasia dapat saling kita ketahui.”
“Paman Kam Hong, hati-hatilah, jangan kena dibujuk mereka. Siapa tahu mereka hendak menjebakmu!” Ci Sian berseru.
“Nona, harap jangan bicara sembarangan!” Cu Seng Bu yang sejak tadi diam saja kini berseru keras. “Kami bukanlah sebangsa pengecut yang suka bermain curang dan suka menjebak orang! Gurumu See-thian Coa-ong berada di sini dan engkau juga. Kalian berdua dapat menjadi saksi kalau kami bermain curang dan tentu dunia kang-ouw akan mengutuk kami!”
“Ci Sian, tenanglah. Aku percaya kepada mereka, dan pula, siapakah yang takut akan jebakan dan kecurangan. Aku akan pergi mengunjungi mereka,” kata Kam Hong dengan sikap tenang dan tersenyum.
“Aku ikut!” Ci Sian berkata nyaring.
“Ci Sian, jangan kau lancang....!” See-thian Coa-ong menegur muridnya dengan suara khawatir.
Dia menganggap muridnya terlalu lancang bersikap seberani itu terhadap keluarga Lembah Suling Emas yang demikian lihainya, akan tetapi diam-diam dia pun merasa amat bangga dan girang bahwa muridnya itu mengenal baik bahkan kelihatan akrab dengan pendekar yang memiliki suling emas dan yang kepandaiannya juga amat luar biasa tingginya itu. Apalagi ketika dia juga mendengar bahwa pria sakti itu adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas, hati kakek ini sudah menjadi gembira bukan main. Ia merasa beruntung sekali pada hari itu dapat menyaksikan pertandingan hebat dan bertemu dengan orang-orang yang amat hebat, yaitu penghuni Lembah Suling Emas dan bahkan dengan keturunan Pendekar Suling Emas.
“Tidak, Suhu! Paman Kam Hong orangnya terlalu baik hati, terlalu mengalah, maka perlu aku harus menemaninya untuk menjadi saksi apakah benar-benar mereka ini tidak hendak menjebaknya. Kulihat mereka tidak berniat baik, mungkin hendak merampas senjata keramat dari Paman Kam Hong. Biarlah aku ikut untuk menjadi saksi di dalam lembah, dan Suhu tinggal menanti di sini, sebagai saksi di luar lembah. Kalau Paman Kam Hong dan teecu tidak keluar lagi dari lembah, berarti kami berdua sudah masuk perangkap dan dicelakai mereka, dan Suhu boleh siarkan kepada seluruh dunia bahwa para penghuni lembah ini adalah orang-orang yang curang dan jahat.”
“Hei! Dari mana datangnya perempuan liar yang membuka mulut seenaknya memburuk-burukkan keluarga Lembah Suling Emas?” Tiba-tiba Pek In berseru marah sambil memandang kepada Ci Sian dengan mata berapi-api. “Kami adalah keluarga baik-baik, tidak seperti engkau ini perempuan siluman yang menggunakan kata-kata buruk untuk memaki orang!”
Ci Sian bersungut-sungut dan memandang kepada Cu Pek In, kemudian tersenyum mengejek. “Memang keluarga Lembah Suling Emas tak bisa dipercaya. Ada isteri yang menyeleweng dengan pendekar yang menjadi tamunya! Ada perempuan yang sudah bertunangan melarikan diri dan ditampung di lembah! Ada pula hubungan gelap antara paman guru dan murid keponakannya sendiri. Dan sekarang muncul lagi seorang.... banci! Phuh, sungguh tidak layak dipercaya!”
Wajah Pek In yang putih halus itu seketika berubah merah. Baru sekarang ini selama hidupnya ada orang berani memakinya seperti itu. Dia dinamakan banci! Kalau saja dia memakai pakaian wanita seperti umumnya, kiranya makian ini tak akan mendatangkan kemarahan di hatinya. Akan tetapi karena memang sejak kecil dia mengenakan pakaian pria, yang mulanya dilakukan oleh ayah bundanya yang menginginkan anak laki-laki sehingga dia menjadi terbiasa dan lebih suka mengenakan pakaian pria setelah dia remaja dan dewasa, maka makian itu sungguh menyentuh dan menyinggung perasaan dan membuat dia marah bukan main!
“Aku bukan banci! Kau perempuan siluman!” Dan dara ini sudah mencabut sulingnya pula yang tadi ditancapkan di ikat pinggang dan dia sudah meloncat dan menyerang Ci Sian.
“Huh, siapa takut padamu?” Ci Sian mengelak dan balas menyerang.
“Tahan!” Cu Han Bu berseru keras. “Pek In, kau mundurlah. Mereka ini adalah tamu-tamu kita, bukan musuh.”
“Tapi mulutnya busuk, Ayah. Dia memakiku!”
“Dan kau pun memakiku. Siapa memaki aku perempuan liar dan perempuan siluman? Huh, tak tahu diri!” Ci Sian juga berteriak.
“Ci Sian, harap kau bersabar dan mari kita mengunjungi mereka dan bicara dengan baik-baik,” kata Kam Hong kepada Ci Sian.
Seketika lenyaplah kemarahan Ci Sian. Dia tadi sudah merasa khawatir kalau-kalau tidak akan diperbolehkan mengunjungi lembah menemani Kam Hong, akan tetapi kini Kam Hong mengajaknya! Kegirangan hatinya mengusir semua kemarahan.
“Aku boleh pergi menemanimu, Paman? Baiklah, mari kita pergi dan aku tidak akan banyak cakap lagi.”
“Sobat Kam Hong, silakan!” kata Cu Han Bu.
Kam Hong mengangguk dan balas memberi hormat, lalu melangkah bersama pihak tuan rumah meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata See-thian Coa-ong yang kelihatan tegang dan girang bukan main. Dia merasa gembira dan bangga sekali menjadi satu-satunya orang yang menyaksikan pertemuan antara orang-orang sakti yang hebat itu, apalagi karena kini Ci Sian, muridnya, menemani pendekar keturunan Pendekar Suling Emas memasuki lembah itu bersama keluarga Lembah Suling Emas! Betapa hebatnya peristiwa ini dan tentu akan menggemparkan dunia kang-ouw kalau dia menceritakan di luar.
Melihat Ci Sian berjalan di samping Kam Hong, Yu Hwi dan juga Pek In memandang kepada dara itu dengan sinar mata tidak senang. Apalagi Pek In yang sedang jengkel itu. Seperti diketahui, kurang lebih empat lima tahun yang lalu, Sim Hong Bu diterima di lembah itu sebagai murid keluarga Cu, atau sebagai ahli waris dari Ouwyang Kwan yang berubah menjadi Yeti, mewarisi pedang Koai-liong-po-kiam dan Ilmu Koai-liong Kiam-sut yang hanya boleh dipelajari oleh pemuda itu.
Semenjak itu, Sim Hong Bu digembleng oleh ketiga orang saudara Cu itu secara bergantian sehingga dia memperoleh kemajuan yang amat pesat, apalagi karena memang pada dasarnya Hong Bu mempunyai bakat yang amat baik sekali. Dan di antara pemuda itu dan Pek In pun terjalin hubungan persahabatan yang amat akrab. Melihat ini, dan melihat betapa baiknya bakat dalam diri Sim Hong Bu dan melihat pula bahwa pemuda itu memiliki dasar watak yang gagah perkasa, jujur dan bernyali besar, diam-diam tiga orang saudara Cu itu merasa kagum. Apalagi melihat hubungan yang akrab antara pemuda itu dan puteri tunggalnya, diam-diam timbul dalam hati Cu Han Bu untuk menjodohkan puterinya dengan murid itu.
Dalam waktu hampir empat tahun, berkat ketekunan dan kesungguhan hati tiga orang saudara Cu itu, Sim Hong Bu telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dan sudah memiliki dasar yang cukup kuat untuk mulai dengan pelajaran ilmu peninggalan Ouwyang Kwan! Pada waktu itu, tingkat kepandaian Sim Hong Bu bahkan telah jauh melampaui tingkat kepandaian Pek In karena memang selain Hong Bu memiliki dasar atau bakat yang lebih besar, juga tiga orang she Cu itu mencurahkan seluruh perhatian dan harapan mereka kepada pemuda ini untuk kelak mengangkat tinggi nama Lembah Suling Emas!
Setelah memiliki dasar yang cukup kuat, ketiga orang gurunya itu lalu menyuruh Hong Bu untuk memulai mempelajari ilmu-ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang Kwan dalam kulit Yeti-nya, dan untuk keperluan ini, Hong Bu tidak boleh diganggu siapa pun juga karena hanya dia seorang yang diperbolehkan mempelajari ilmu-ilmu itu. Maka, dia diharuskan oleh guru-gurunya untuk belajar sendiri di dalam goa di mana terdapat mayat suami isteri Kam Lok dan Loan Si yang tewas oleh pedang Koai-liong-kiam itu! Di tempat sunyi inilah dia harus mempelajari catatan ilmu-ilmu peninggalan Ouwyang Kwan, terutama Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Hanya beberapa pekan sekali ketiga orang gurunya datang menjenguknya dan melihat muridnya berlatih.
Sementara itu, Cu Pek In memang diam-diam cinta kepada suheng-nya itu, kepada Sim Hong Bu dan walau pun dia tidak pernah menyatakannya dengan kata-kata, namun dalam hubungan mereka yang akrab itu nampak jelas bahwa dara ini memang jatuh cinta. Maka, dapat dibayangkan betapa dara itu merasa kesepian setelah pemuda yang dicintanya itu ‘bertapa’ di luar lembah dan tak pernah dapat dijumpainya. Bahkan ketika dia minta kepada ayahnya untuk menjenguk suheng-nya, ayahnya melarangnya dan mengatakan bahwa Sim Hong Bu tidak boleh diganggu untuk waktu sedikitnya satu tahun! Inilah yang membuat dara itu menjadi amat kesepian dan gelisah, juga jengkel sehingga kejengkelannya itu nampak ketika dia bertemu dengan Ci Sian.
Ketika mereka tiba di tepi jurang lebar yang dijadikan tempat penyeberangan ke lembah, Cu Kang Bu mengeluarkan pekik melengking nyaring untuk memberi tanda kepada para penjaga di seberang sana untuk menarik tambang yang kalau tidak akan dipergunakan lalu diturunkan sehingga lenyap di dalam kabut tebal yang memenuhi jurang. Tak lama kemudian, nampaklah tambang itu dari bawah, makin lama makin naik dan akhirnya menegang, merupakan jembatan yang aneh dan mengerikan.
“Maaf, hanya inilah jembatan yang akan membawa kita ke Lembah Gunung Suling Emas!” kata Cu Kang Bu kepada Kam Hong. “Harap saja Saudara Kam Hong dan Nona tidak merasa sungkan untuk menyeberang dengan menggunakan tambang ini.”
Di dalam hatinya, Ci Sian merasa ngeri. Kalau hanya berjalan di atas tambang, tentu saja bukan hal sukar baginya. Disuruh lari pun dia sanggup. Akan tetapi, kalau tambang itu menyeberang di atas jurang yang tak nampak dasarnya seperti itu, penuh kabut, tak dapat diukur betapa dalamnya, tentu saja hatinya terasa ngeri bukan main dan dia merasa mulutnya kering!
“Tidak mengapa, jembatan ini cukup baik,” kata Kam Hong dengan tenang.
Mendengar ucapan ini, Ci Sian kemudian menarik napas panjang dan menenteramkan jantungnya yang berdebar penuh ketegangan dan kengerian itu. “Cukup baik.... cukup baik....,” katanya dan dia tidak berani bicara banyak-banyak, takut kalau-kalau suaranya terdengar menggigil!
Akan tetapi tetap saja dia khawatir. Bagaimana kalau dia dan Kam Hong menyeberang tambang itu dan tiba di tengah-tengah lalu pihak tuan rumah membikin putus tambang itu? Ngeri dia membayangkan peristiwa ini, membayangkan bahwa dia dan Kam Hong meluncur turun ke bawah jurang! Teringat dia akan pengalamannya ketika terjatuh ke dalam jurang dan nyaris nyawanya melayang kalau saja tidak ada See-thian Coa-ong yang menyelamatkannya. Dara itu merasa jantungnya berdebar, tengkuknya dingin dan rasa takut mencekam hatinya.
Rasa takut memang selalu menguasai kehidupan manusia semenjak masa kanak-kanak sampai sudah tua sekali pun. Dari manakah timbulnya rasa takut ini? Mengapakah hidup ini penuh dengan rasa takut atau khawatir, cemas dan tidak menentu sehingga kebanyakan dari kita lalu hendak melarikan diri dari rasa takut ini, mencari perlindungan, mencari keamanan, mencari hiburan agar rasa takut atau khawatir terlupa? Takut akan setan, takut tidak lulus ujian sekolah, takut kehilangan pekerjaan, takut kehilangan orang-orang yang dicinta, takut menderita, takut sengsara, takut sakit, takut mati dan selanjutnya. Mengapa kita selalu dikelilingi oleh rasa takut ini?
Dapatkah kita hidup bebas dari rasa takut yang seolah-olah menjadi bayangan kita ini? Dapatkan kita menghentikan sumber dari mana timbul rasa takut yang terus-menerus ini? Mengalahkan, rasa takut satu demi satu tidaklah mungkin, karena selama sumber itu masih terus menciptakan rasa takut, maka tidak akan ada habisnya selama kita hidup dan kita akan harus bergulat mengatasi rasa takut itu satu demi satu. Akan tetapi kalau sumbernya sudah diketahui sehingga sumber itu tidak lagi menciptakan rasa takut, maka kita tidak perlu lagi mengalahkan rasa takut satu demi satu.
Apakah rasa takut itu dan bagaimana timbulnya? Rasa takut adalah bayangan pikiran akan sesuatu yang mungkin akan mendatangkan kesusahan kepada kita atau akan sesuatu yang mungkin akan merampas kesenangan kita. Rasa takut adalah bayangan pikiran akan sesuatu yang belum ada atau belum terjadi. Jadi, rasa takut atau khawatir, gelisah, cemas dan sebagainya adalah permainan dari pikiran sendiri.
Pikiran selalu mengenang masa lalu, memisah-misahkan pengalaman-pengalaman di masa lalu antara yang menyenangkan dan yang menyusahkan. Kemudian pikiran selalu berusaha untuk mengejar kesenangan, untuk mengulang semua kesenangan yang telah dialaminya, dan berusaha untuk menolak segala kesusahan yang pernah dialaminya. Dan apabila pikiran melihat masa depan, membayangkan bahwa dia akan ditimpa hal yang tidak menyenangkan, lalu timbul rasa takut!
Hal ini dapat kita lihat kalau kita mau membuka mata memandang diri sendiri, kalau sewaktu timbul rasa takut kita mau menghadapi rasa takut itu TANPA MELARIKAN DIRI, menyelidiki dan mempelajarinya. Jadi, jelaslah bahwa pikiran itu sendiri yang menjadi pencipta rasa takut. Tanpa adanya pikiran yang membayang-bayangkan hal yang belum terjadi, takkan ada rasa takut itu.
Mungkin ada yang bertanya, apakah kita lalu harus acuh sehingga kita menjadi lengah terhadap sesuatu yang mengancam di masa depan? Tanpa membayangkan hal-hal yang belum terjadi, mana mungkin kita dapat bersiap-siap menjaga diri dan menghindar dari bencana atau menghindarkan bencana?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu timbul dari rasa takut itu sendiri! Sama sekali bukan menjadi tidak acuh. Bahkan kita selalu waspada, bukan waspada yang timbul dari rasa takut, bukan waspada terhadap sesuatu yang mengancam, melainkan waspada setiap saat akan diri sendiri lahir batin dan akan keadaan sekeliling.
Sebaliknya, rasa takut yang mencekam hati akan membuat kita melakukan hal-hal yang menyeleweng, membuat kita mungkin saja menjadi pengecut saking takutnya, dan tidak jarang membuat kita menjadi kejam karena dalam usaha melenyapkan hal-hal yang mendatangkan rasa takut itu dapat terjadi perbuatan-perbuatan kejam! Banyak sekali orang-orang yang melakukan hal-hal kejam terhadap manusia lain sebenarnya didorong oleh rasa takut yang mencekam hatinya! Dia selalu merasa terancam dan oleh karena itu, untuk menghalau semacam itu dia tidak segan-segan mendahului dan melenyapkan orang lain yang dianggap menjadi sumber atau penyebab rasa takutnya. Atau karena rasa takut, maka kita lalu melarikan diri mencari hiburan dan dari sinilah timbulnya segala pelarian kepada ilmu klenik dan ramalan-ramalan.
Sebaliknya, kalau kita menghadapi rasa takut itu sebagaimana adanya, bukan ingin mengendalikan atau mengalahkannya, melainkan menghadapinya dan mengamatinya di waktu rasa takut timbul, mempelajarinya, akan nampak jelaslah bahwa rasa takut itu hanyalah permainan pikiran yang ingin mengulang kesenangan dan ingin menjauhi kesusahan belaka! Tanpa permainan pikiran yang mengenang-ngenang masa lalu dan membayang-bayangkan masa depan, yang ada hanyalah kewaspadaan dan kesadaran setiap saat terhadap segala sesuatu yang terjadi! Dan di dalam kewaspadaan ini, perhatian sepenuhnya ini, tidak ada rasa takut, yang ada hanyalah tindakan yang timbul dari kecerdasan dan kewajaran. Jadi, setiap saat timbul rasa takut, atau khawatir dan sebagainya, kita mengamatinya, menyelidikinya, mempelajarinya. Cobalah.....
“Sebagai pihak tuan rumah, silakan Saudara menyeberang lebih dulu,” kata Kam Hong dengan nada suara halus kepada Cu Han Bu dan hati Ci Sian lega bukan main. Kiranya Kam Hong juga cerdik, pikirnya.
Cu Han Bu memandang dan tersenyum. “Agaknya sobat Kam Hong masih curiga?” tanyanya akan tetapi dia pun lalu meloncat ke atas tali itu.
“Bukan curiga, hanya berhati-hati,” jawab Kam Hong tersenyum pula dan dia pun lalu meloncat ke atas tali di belakang Cu Han Bu.
Ci Sian juga melangkah ke depan dan menginjak tali itu, lalu melangkah hati-hati di belakang Kam Hong dan dia melihat bahwa di belakangnya melangkah pula pihak tuan rumah. Hatinya lega karena kalau tali putus, mereka semua yang akan jatuh, bukan hanya dia dan Kam Hong!
Lihatlah betapa besar si Aku menguasai batin manusia! Setiap kali tertimpa mala petaka atau tercekam rasa takut, manusia akan merasa terhibur kalau melihat ada orang lain juga tertimpa hal yang sama! Seolah-olah melihat orang lain tertimpa mala petaka, apalagi kalau lebih besar dari pada mala petaka yang menimpa dirinya, hal itu menjadi hiburan yang amat manjur! Tangis karena menyedihi mala petaka yang menimpa diri bisa saja berubah tawa ketika melihat orang lain mengalami hal yang sama atau lebih parah!
Sebaliknya, si Aku ini selalu tidak rela kalau dalam menerima keuntungan lalu ada orang lain yang juga menerima keuntungan yang sama, apalagi yang lebih besar. Timbullah iri hati! Ahhh, kalau saja kita mau mengamati diri setiap saat, akan nampaklah dalam diri sendiri segala kekotoran, kemunafikan, kepalsuan, kebencian, iri hati dalam si Aku ini! Sayang, kita hanya suka mengamati orang lain, mencela orang lain, tidak pernah mau mengamati diri sendiri, atau kalau mau pun kita hanya mau melihat kebaikan-kebaikan diri sendiri belaka dan itu bukanlah pengamatan namanya!
Mereka semua dapat menyeberang dengan selamat sampai di seberang dan setelah semua orang melompat ke tepi jurang di daerah lembah, tali itu lalu dikendurkan lagi sehingga menghilang tertutup kabut.
“Mari silakan, sobat!” Cu Han Bu mempersilakan ketika mereka tiba di depan sebuah gedung yang cukup megah di tengah-tengah lembah.
Dengan tenang Kam Hong bersama Ci Sian mengikuti tuan rumah memasuki gedung itu dan mereka lalu dipersilakan untuk duduk di ruangan dalam yang luas dan di sinilah dua orang tamu ini dijamu oleh pihak tuan rumah. Mereka semua mengelilingi sebuah meja panjang. Kam Hong dan Ci Sian duduk bersanding di tempat kehormatan, kemudian berturut-turut duduk Cu Han Bu, Cu Seng Bu, Cu Kang Bu, lalu Yu Hwi dan Pek In sendiri duduk di dekat ayahnya. Mereka duduk makan minum sambil bercakap-cakap atau lebih tepat, yang bercakap-cakap adalah Kam Hong dan Cu Han Bu berdua saja, karena yang lain hanya diam mendengarkan.
Ci Sian melihat betapa kadang-kadang Yu Hwi mengerling ke arah Kam Hong dan dia menangkap pandang mata penuh kagum dari wanita itu kepada bekas tunangannya. Hati Ci Sian merasa puas. Hemm, perempuan tolol, pikirnya, menolak Kam Hong dan memilih pria tinggi besar itu sama dengan menolak batu intan dan memilih batu karang! Tentu saja dia tidak tahu bahwa sebetulnya tidaklah demikian.
Yu Hwi sudah jatuh cinta kepada Kang Bu dan tentu saja baginya tidak ada pria yang lebih hebat dari pada kekasihnya itu. Dia memandang kagum kepada Kam Hong adalah karena kekaguman yang sungguh-sungguh, mengingat bahwa dulu kepandaian bekas tunangannya ini hanya setingkat dia, bahkan lebih rendah mungkin. Akan tetapi kini, ternyata bukan hanya mampu menandingi Kang Bu, bahkan sekarang berani memasuki Kim-siauw San-kok dengan sikap demikian tenangnya. Betapa bedanya dibandingkan dengan Siauw Hong dahulu!
Setelah mereka selesai makan minum dan semua mangkok piring telah dibersihkan dari meja, Cu Han Bu lalu berkata kepada Kam Hong, “Nah, sekarang kami harap sudilah kiranya engkau menceritakan mengenai nenek moyangmu, keluarga Pendekar Suling Emas, sobat Kam Hong.”
Kam Hong tersenyum. “Saudara Cu, bukan aku yang sengaja datang, melainkan karena kalian yang mengundangku, oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau engkau lebih dulu menceritakan keadaan keluargamu dan mengapa ada hubungan di antara keluarga kita seperti yang kau katakan. Apa pula sebabnya tempat ini memakai nama Suling Emas, dan bagaimana puterimu dapat memiliki sebatang suling emas yang serupa dengan sulingku, sungguh pun lebih kecil.”
Cu Han Bu juga tersenyum, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, “Hemm, rahasia keluarga kami tidak boleh diceritakan begitu saja kepada siapa pun juga.”
“Demikian pun keadaan keluarga nenek moyangku bukan untuk diceritakan kepada pihak lain.”
“Betapa pun juga, kita berdua mempunyai hubungan melalui suling emas, oleh karena itu terpaksa kita harus saling menceritakan keadaan kita. Dan karena tidak ada jalan untuk menentukan siapa yang harus bercerita lebih dulu, marilah kita tentukan dengan cara menguji kepandaian masing-masing, sobat Kam Hong. Adikku telah kalah olehmu, maka aku ingin sekali untuk mengukur sendiri kehebatanmu, dan biarlah ini dijadikan penentu siapa yang lebih dulu menceritakan keadaannya.”
“Hemm, aku tidak ingin bertanding, akan tetapi kalau pihak tuan rumah meminta, aku sebagai tamu tidak berani menolak.”
“Bagus, sikapmu amat mengagumkan hatiku, sobat!” kata Cu Han Bu yang tadinya khawatir kalau-kalau tamunya akan menolak.
Ketika melihat adiknya kalah, hatinya sudah dipenuhi rasa penasaran dan ingin sekali dia maju untuk menandingi pemuda itu. Akan tetapi oleh sikap dan kata-kata Ci Sian, pula karena baru saja adiknya kalah, apa pula ditonton oleh See-thian Coa-ong, dia merasa sungkan juga untuk langsung menantang Kam Hong. Juga melihat adanya senjata suling emas itu sangat mengejutkan hatinya maka dia tidak berani lancang menantang di tempat itu, di luar lembah.
Kini mereka tengah berada di dalam lembah dan dia memperoleh kesempatan untuk menantang Kam Hong dengan cara yang lebih ‘lunak’, dalam suasana persahabatan, sebagai seorang tuan rumah menghidangkan sesuatu kepada tamunya yang terpaksa harus diterimanya. Dalam pertandingan ‘persahabatan’ ini, kalau sampai kalah, tidaklah begitu menjatuhkan nama, tidak seperti dalam pi-bu yang memang sengaja diadakan untuk menentukan siapa kalah siapa menang, siapa lebih pandai.
Kini meja itu disingkirkan dan semua orang duduk di atas kursi yang ditarik ke pinggir dekat dinding sehingga ruangan itu menjadi sebuah tempat terbuka yang cukup luas. Cu Han Bu telah mengeluarkan sabuk emasnya dan sambil tersenyum dia melangkah maju ke tengah ruangan yang luas itu.
“Silakan, sobat Kam Hong!” katanya.
Kam Hong juga melangkah maju. Tanpa sungkan lagi ia pun mencabut suling emasnya. Melihat lawan hanya memegang sebatang senjata, dia pun tak mengeluarkan kipasnya, sungguh pun dibantu oleh kipasnya, dia akan menjadi semakin lihai.
Kemudian Cu Han Bu berkata lagi, “Saling uji kepandaian ini selain untuk menentukan siapa yang harus lebih dahulu menceritakan keadaan keluarganya, juga biarlah untuk menentukan siapa yang berhak memakai nama Suling Emas.”
Kam Hong mengerutkan alisnya, memandang dengan mata mencorong tajam kemudian berkata dengan suara lambat namun mengandung tekanan kuat, ”Saudara Cu Han Bu, apa maksudmu dengan kata-kata itu?”
“Sobat, engkau memakai julukan Pendekar Suling Emas, atau setidaknya mengaku sebagai keturunan keluarga Pendekar Suling Emas, sedangkan kami mengaku sebagai keluarga penghuni Lembah Suling Emas dari mana datangnya suling emas yang asli. Karena itu, biarlah kita mengeluarkan ilmu warisan keluarga kita masing-masing untuk menentukan siapa yang asli dan siapa yang kalah berarti tidak boleh lagi menggunakan julukan Suling Emas, baik bagi namanya mau pun bagi tempat tinggalnya. Jelaskah?”
Suling Emas mengangguk-angguk. Tentu saja di dalam hatinya dia tidak setuju dengan taruhan gila ini, namun dia pun terpaksa tidak dapat menolak karena seorang pendekar amat memegang kehormatan dan nama baik. “Jikalau demikian kehendakmu, baiklah,” jawabnya.
“Bagus, sikapmu memang amat mengagumkan. Nah, kau sambutlah, sobat Kam Hong.”
Cu Han Bu sudah mulai menyerang dan begitu menyerang, dia sudah mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan semua tenaganya. Sabuk emas yang lemas itu tiba-tiba menjadi kaku bagaikan sebatang pedang dan ketika Cu Han Bu bergerak menyerang, hampir Kam Hong berseru kaget oleh karena dia mengenal bahwa gerakan itu mirip sekali dengan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut yang telah dipelajarinya dari catatan jenazah kuno!
Memang gerakan itu tidak serupa benar, perkembangan selanjutnya bahkan berbeda, akan tetapi gerakan dasar dan permulaannya tak dapat diragukan lagi adalah Kim-siauw Kiam-sut! Dan bukan main hebat dan dahsyatnya, tenaganya amat besar dan sabuk itu mengeluarkan suara berdesing kemudian mengaung-ngaung dan mengeluarkan suara seperti suling ditiup, sungguh pun tidak melengking terlalu tinggi! Lenyaplah tubuh Cu Han Bu, terbungkus sinar keemasan yang bergulung-gulung.....
Komentar
Posting Komentar