SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-18
“Apakah sekarang kau hendak mengatakan bahwa dia tidak terlalu tinggi? Apakah kau masih berani memandang rendah?” Nandini bertanya dan yang ditanya seperti orang kahabisan akal karena terkejutnya.
“Ahhh, siapa kira akan terjadi peristiwa aneh ini? Tidak kelirukah kalian? Benarkah Jenderal Muda itu putera Naga Sakti Gurun Pasir?”
“Dia telah diperkenalkan pada saat terakhir. Maka, dapat kau bayangkan betapa kaget dan bingungku ketika anak kita memberitahukan hal itu. Aku hanya seorang wanita Nepal, mana mungkin membicarakan hal ini dengan keturunan Jenderal Kao Liang? Akan tetapi, mengingat bahwa orang tua jenderal itu adalah pendekar yang amat kenamaan, maka sebaiknya engkau yang menemuinya, Bu-taihiap, sebagai sesama pendekar kiranya akan lebih mudah membicarakan urusan jodoh itu.”
Bu Seng Kin mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya masih berkerut. “Akan tetapi aku tidak berani bertindak ceroboh. Siok Lan anakku, benarkah engkau dan putera Naga Sakti Gurun Pasir itu saling mencinta?”
Ditanya seperti itu, tentu saja jantung dara itu berdebar dan mukanya berubah merah sekali. Akan tetapi dia adalah keturunan orang gagah yang sejak kecil mengutamakan kegagahan, maka cepat dia membuang rasa malu itu dan memandang wajah pria yang menjadi ayahnya itu dan menjawab, “Aku tidak tahu bahwa dia adalah seorang jenderal muda, lebih tidak tahu lagi bahwa dia putera seorang pendekar sakti dan cucu seorang jenderal terkemuka. Pada waktu itu aku hanya mengenalnya sebagai seorang pemburu muda, Ayah.”
“Tidak peduli tentang itu, yang penting, apakah benar bahwa kalian saling mencinta?”
“Aku.... aku cinta padanya.... Ayah.”
“Dan dia? Apakah dia juga cinta padamu?”
“Kukira begitulah.”
“Ehhh, bagaimana ini? Cinta orang tidak, anak baik. Apakah engkau tidak yakin benar bahwa dia cinta padamu?”
“Aku yakin.”
“Lalu mengapa engkau mengira-ngira saja? Apakah dia sudah menyatakan cintanya kepadamu dengan jelas, melalui kata-kata?”
Dara itu menggeleng. “Habis bagaimana? Ayah, perlukah kujelaskan hal ini? Seorang wanita akan dapat mengetahui apakah pria itu mencintanya ataukah tidak, melalui sinar matanya, melalui senyumnya, melalui suaranya, dan.... dan.... pendeknya aku yakin dia pun cinta padaku, Ayah.”
“Hemmm.... kita tidak boleh ceroboh, Anakku. Sekali aku, Ayahmu ini, mengajukan perjodohan, haruslah diterima oleh pihak sana, karena kalau tidak, hal itu akan dapat menimbulkan kesan yang menghina, kecuali kalau pihak sana mengemukakan dua alasan, yaitu pertama, bahwa putera mereka tidak cinta atau jika dia sudah bertunangan dengan orang lain. Oleh karena itu, sebelum aku menemui Naga Sakti Gurun Pasir, hal yang selama hidupku belum pernah kuimpikan, aku harus yakin dulu bahwa pihak sana akan menerima.”
“Jadi engkau mau mengurus perjodohan anak kita?” tanya Nandini dengan girang.
“Tentu saja, itu sudah menjadi kewajibanku. Semenjak Siok Lan kecil, aku tidak pernah memperlihatkan kasih sayang sebagai seorang ayah, maka kini aku berkesempatan membuktikan sayangku kepada anak.”
“Lalu apa yang akan kau lakukan?”
“Kita bersama pergi ke kota raja! Ya, kita semua, aku, Siok Lan, dan kalian bertiga. Kalau memang kalian bertiga sudah bertekad untuk hidup bersamaku, suka duka ditanggung berempat, mari kalian ikut bersamaku ke kota raja. Di sana, biar Siok Lan bertemu dengan jenderal muda itu dan memperoleh ketegasan bahwa dia memang mencinta anak kita dan bahwa jenderal muda itu belum terikat jodoh dengan orang lain. Setelah ada ketentuan ini, barulah aku akan pergi menghadap pendekar sakti itu.”
“Baik, Ayah, aku setuju,” kata Siok Lan yang maklum akan maksud ayahnya itu.
“Hemm, belum mau turun jugakah kamu yang berada di atas sejak senja tadi?” tiba-tiba orang she Bu itu berseru sambil memandang ke atas.
Ci Sian mendengar semua urusan yang dibicarakan di bawah itu dan hatinya terasa semakin berduka. Sambil menahan isak dia hendak meloncat turun, maka ketika tiba-tiba dia mendengar suara pria yang sesungguhnya adalah ayah kandungnya sendiri itu, dia seperti didorong saja dan cepat dia melayang turun dari atas genteng.
“Ada orang! Dan kau sudah mengetahui sejak tadi, mengapa diam saja?” Tang Cun Ciu berteriak dan wanita ini sudah berkelebat keluar melalui jendela untuk melakukan pengejaran.
Khawatir kalau kekasihnya yang berhati keras dan berwatak ganas itu akan melakukan sesuatu yang lancang, Bu Seng Kin mengejar dan dua orang wanita lain bersama Siok Lan juga melakukan pengejaran.
Keadaan di luar malam itu ternyata cukup terang karena bulan tersenyum di atas, seolah-olah mentertawakan ulah manusia-manusia di dunia ini. Tidak ada segumpal pun awan menghalangi senyumnya sehingga keadaan cukup terang. Nampaklah bayangan Ci Sian berlari-lari meninggalkan puncak itu, dikejar oleh mereka semua.
Pengejar Ci Sian itu adalah orang-orang yang tinggi ilmunya, maka sebentar saja Ci Sian tersusul, apalagi karena memang dara ini tidak ingin berlomba lari. Dia terpaksa menghentikan larinya dan berdiri tegak menanti orang-orang yang mengejarnya itu. Diam-diam ia lalu mengerahkan tenaga dan ilmunya, terdengar suara melengking tinggi dari mulutnya yang menggetarkan seluruh keadaan sekeliling tempat itu. Mendengar suara ini, Bu Seng Kin mengeluarkan seruan heran, demikian pula Tang Cun Ciu karena mereka berdua mengenal khikang yang tinggi dan aneh.
Dan ketika mereka semua tiba di depan dara yang berdiri tegak itu, mereka terbelalak kaget melihat betapa banyak ular berdatangan dari segenap penjuru dan sekarang mengelilingi tempat di mana dara itu berdiri, seolah-olah merupakan pasukan pengawal yang melindungi dara itu. Sedikitnya ada seratus ekor ular besar kecil berada di situ dan dari jauh masih nampak beberapa ekor ular bergerak datang. Agaknya semua ular yang berada di puncak dan sekitarnya telah memenuhi panggilan dara pawang ular itu!
Tang Cun Ciu merasa seperti mengenal dara itu, akan tetapi begitu melihat Ci Sian, Nandini dan Siok Lan berseru heran.
“Ci Sian....!” Nandini berseru.
“Sian-moi, engkau di sini? Mengapa engkau di sini dan mengapa engkau melakukan pengintaian? Singkirkan ular-ularmu itu, Sian-moi, kita bukanlah musuh!”
Akan tetapi dengan sikap dingin Ci Sian lalu berkata, “Pergilah kalian semua, aku tidak butuh dengan kalian semua. Pergi....!”
“Omitohud, bocah siluman ini berbahaya!” kata Gu Cui Bi yang merasa ngeri melihat begitu banyak ular yang seakan-akan melindungi dara itu.
“Hemm, tak semudah itu, Nona!” Bu Seng Kin membentak. Dia tidak ingin mengganggu nona muda itu, akan tetapi dia tahu bahwa nona muda inilah orang pertama yang mendatangi pondoknya dan sejak tadi mengintai.
“Dia ini yang siang tadi berkeliaran menanyakan tempat tinggalmu!” Gu Cui Bi berseru dan Bu Seng Kin merasa makin curiga, lalu dia bergerak maju hendak menangkap dara itu. Tetapi Ci Sian mengeluarkan suara melengking nyaring dan ular-ularnya bergerak menyerang semua orang itu!
Terdengar jerit-jerit karena jijik, akan tetapi wanita-wanita yang lihai itu tentu saja tidak mudah menjadi korban ular dan mereka pun mengelak dan menendang atau menginjak ular-ular itu. Ci Sian sendiri mengamuk, menyerang orang yang berani mendekatinya dan karena yang berani menyerangnya adalah Tang Cun Ciu dan Bu Seng Kin, maka dia menerjang dua orang ini dengan kemarahan meluap-luap! Dara ini mengeluarkan seluruh ilmunya yang dipelajarinya dari See-thian Coa-ong. Akan tetapi dia berhadapan dengan Cui-beng Sian-li Tang Cu Ciu dan Bu-taihiap yang memiliki ilmu silat tinggi, maka tentu saja dia terdesak hebat dan ular-ularnya pun banyak yang mati. Bahkan kalau saja Bu Seng Kin menghendaki, tentu dalam waktu singkat dia yang dikeroyok dua itu akan roboh.
Akhirnya, semua ularnya mati dan Ci Sian yang melihat ini merasa begitu marah dan berduka sehingga dia menjerit dan tidak dapat mengelak ketika tangan Cui-beng Sian-li menampar ke arah lehernya. Melihat serangan dahsyat yang mengancam nyawa dara muda itu, Bu Seng Kin cepat menyentuh lengan kekasihnya itu sehingga menyeleweng dan hanya mengenai pundak Ci Sian, namun cukup membuat Ci Sian roboh terguling dalam keadaan pingsan karena selain terkena tamparan itu, juga dara ini menderita tekanan batin yang hebat sejak dia tiba di pondok itu.
Tang Cun Ciu memiliki watak yang sangat keras. Melihat betapa tamparannya disentuh oleh kekasihnya sehingga menyeleweng dan hanya mengenai pundak, hatinya tidak puas sekali. “Budak siluman ini harus dibunuh!” Dan dia pun sudah mengirim pukulan lagi ke arah tubuh yang sudah tidak bergerak itu.
“Cun Ciu, jangan....!” Bu Seng Kin mencegah dan dia pun bergerak maju mengulur tangan untuk mendahului wanita itu, menyelamatkan nyawa dara itu.
“Dukkkk!”
Tiba-tiba ada sesosok bayangan berkelebat, sebuah lengan menangkis tangan Cun Ciu dan Bu Seng Kin sekaligus. Pendekar sakti dan kekasihnya yang juga berilmu tinggi itu terkejut bukan main sebab tangkisan lengan itu membuat mereka terdorong ke belakang sampai terhuyung! Ketika mereka memandang ke depan, sudah tidak ada apa-apa lagi di situ kecuali bangkai seratus lebih ular-ular mati. Tubuh dara muda yang tadi menggeletak pingsan itu pun telah lenyap!
“Ehh, ke mana dia....?” Bu Seng Kin berseru kaget.
“Aku hanya melihat bayangan berkelebat,” kata Gu Cui Bi, nikouw itu.
Nandini dan Siok Lan juga melihat berkelebatnya bayangan hitam dan mereka pun tidak melihat ke mana perginya Ci Sian yang tadi terpukul roboh.
“Ahh.... telah muncul seorang yang memiliki kepandaian luar biasa hebatnya!” seru Bu Seng Kin dengan nada suara penuh kagum dan juga khawatir. “Mudah-mudahan saja dia tidak salah paham, bukan maksud kita untuk mencelakai dara itu. Sungguh heran, siapakah dara itu, dan mengapa ia datang ke sini?”
“Ayah, dia bernama Ci Sian dan....”
“Ah, aku ingat sekarang! Dia adalah gadis murid See-thian Coa-ong itu! Ya benar, gadis yang.... ahhh, sekarang aku mengerti mengapa dia datang ke sini. Apakah engkau tidak sempat melihat wajahnya, Kin-koko?” Tokoh wanita Lembah Suling Emas ini menyebut kekasihnya Kin-koko, sebutan yang mesra.
“Tidak, aku tidak begitu memperhatikan wajahnya.”
“Dia serupa benar dengan mendiang Sim Loan Ci, isterimu....!”
“Ahhh....! Benar, dia Anakku sendiri! Bu Ci Sian, aihh, kenapa aku bisa melupakan dia?” Sekali berkelebat, tubuh pendekar ini sudah lenyap.
Ketiga orang kekasihnya hanya mengangkat pundak, maklum bahwa agaknya pendekar itu hendak melakukan pengejaran terhadap puterinya yang lenyap dibawa orang itu. Mereka lalu kembali ke dalam pondok.
Tak lama kemudian Bu Seng Kin memasuki pondok dengan wajah muram. Dia kelihatan kecewa dan menyesal sekali. “Dia lenyap tak berbekas. Orang yang membawanya sungguh memiliki kepandaian yang luar biasa sekali. Mungkinkah gurunya, See-thian Coa-ong yang membawanya pergi?”
“Tidak mungkin. Aku pernah bertanding melawan kakek itu dan biar pun terus terang saja aku tidak mampu mengalahkan dia, akan tetapi sebaliknya dia pun tidak dapat mengalahkan aku. Sedangkan tangkisan tadi bukan main kuatnya, jauh lebih kuat dari pada tenaga Raja Ular itu,” kata Tang Cun Ciu.
Bu Seng Kin menjatuhkan diri duduk di atas bangku sambil menarik napas panjang, nampaknya dia menyesal bukan main. “Dan dia sudah sejak tadi mengintai di atas, kudiamkan saja. Ahh, dia telah mendengar semuanya, tahu akan kematian ibunya, tentu dia merasa berduka, kecewa dan menyesal sekali. Ah, mengapa tidak dari tadi kusuruh dia turun?”
“Hemm, sesal kemudian tiada gunanya! Semua adalah salahmu sendiri. Karena itu, Bu Seng Kin, kau bertobatlah dan mintalah ampun atas semua dosa-dosamu. Semua yang terjadi adalah karena kesalahanmu sendiri, maka sekarang engkau memetik buah dari pohon yang kau tanam sendiri. Omitohud....!” Nikouw Gu Cui Bi berkata dengan nada menegur.
Pendekar itu hanya menarik napas panjang. Kemudian Gu Cui Bi, wanita nikouw itu, menggandeng tangan Nandini dan berkata, “Marilah Nandini Cici, engkau dan puterimu sebaiknya ikut bersamaku, bermalam di kuilku yang cukup luas, tidak seperti gubuk ini yang terlalu sempit.”
Nandini mengangguk dan bersama Siok Lan dia lalu bangkit dan berjalan menuju ke pintu bersama nikouw itu. Setibanya di pintu, nikouw itu berhenti dan menengok, lalu memandang ke arah Bu Seng Kin yang nampak bingung dan kepada Tang Cun Ciu yang duduk tenang saja di atas bangku, lalu berkata kepada pendekar itu, “Bu Seng Kin, kalau malam nanti engkau tidak datang ke kuil menengok Cici Nandini, berarti engkau seorang laki-laki yang selain tidak punya budi juga tidak adil sama sekali dan tidak pantas mempunyai tiga orang isteri.” Setelah berkata demikian, dia lalu pergi bersama Nandini dan Siok Lan.
“Hemm, jangan khawatir, aku tentu akan datang menengokmu, Cui Bi.”
“Bukan aku, melainkan Cici Nandini!” teriak nikouw itu dari luar, tetapi yang terdengar hanya suara tawa pendekar itu disusul padamnya lampu di dalam pondok itu!
“Sialan, dasar laki-laki mata keranjang!” Cui Bi Nikouw itu mengomel dan melanjutkan perjalanannya bersama Nandini dan puterinya.
Dua orang ini segera dapat akur karena mereka berdua maklum bahwa di antara tiga orang kekasih Bu Seng Kin, kepandaian Tang Cun Ciu paling tinggi dan mereka berdua masing-masing bukanlah tandingan wanita tokoh Lembah Suling Emas itu. Oleh karena itu, mereka segera saling mendekati karena kalau mereka maju berdua, kiranya mereka akan mampu menandingi Cun Ciu! Pula, biar bagaimana rindu hati mereka terhadap Bu Seng Kin, kalau harus bermalam bersama-sama di pondok yang kecil itu, tentu saja mereka merasa malu, apalagi di situ terdapat Siok Lan.
Sementara itu, diam-diam Seng Kin menjadi bingung dan mengeluh sendiri karena dia tahu bahwa bagaimana pun juga, malam itu harus mengunjungi kuil di mana dia tidak tahu bagaimana dia harus melayani tiga orang wanita yang seperti tiga ekor harimau betina yang kelaparan itu! Lempoh…..
********************
Ci Sian merasa terapung-apung di angkasa gelap. Dia melihat seorang pria, ayah kandungnya, bersama seorang wanita yang tidak begitu jelas air mukanya, berjalan di sebelah depan, seperti melayang-layang. Ibunya, pikirnya. Itulah ibunya yang berjalan bersama ayahnya. Tetapi tiba-tiba ayahnya melihat ke depan dan berlari meninggalkan ibunya, mengejar banyak sekali wanita-wanita yang tertawa-tawa genit. Ibunya lalu terhuyung dan terjatuh, melayang turun dari angkasa! Dia terkejut sekali, berusaha hendak lari mengejar sambil menjerit, “Ibu.... Ibu....!” Akan tetapi dia pun tergelincir dan jatuh tergelincir.
“Ibu....!”
Sebuah tangan yang halus menjamah dahinya yang berkeringat dan agak panas.
“Ibu....,“ Ci Sian mengeluh lirih dan tangan yang halus itu mengusap rambut di atas dahinya, dia merasa nyaman dan tidak begitu pening lagi, lalu tertidur kembali, sekali ini tanpa mimpi.
Tak jauh dari situ nampak api unggun bernyala memberi cahaya yang cukup terang dan ternyata bahwa dara itu rebah di dalam sebuah goa yang besar, bertilamkan rumput kering dan berselimutkan jubah panjang. Seorang pria duduk bersila di dekatnya dan setelah dara itu tidur pulas, pria itu memejamkan mata sambil terus bersila sampai pagi.
Pada keesokan harinya, ketika sinar matahari kemerahan telah mulai memasuki goa itu dari samping, Ci Sian mengeluh panjang kemudian membuka matanya. Dia mengejap-ngejapkan matanya sebab silau oleh sinar merah yang menerobos masuk dan menimpa lantai dekat kepalanya, lalu dia terbelalak keheranan ketika melihat bahwa dia berada di sebuah goa yang diketahuinya karena melihat langit-langit batu itu. Lalu dia menoleh dan melihat seorang pria duduk bersila di sebelahnya, seorang pria yang berwajah tampan dan ramah, yang memandang kepadanya sambil tersenyum.
“Ah.... ahh.... aku.... aku masih mimpi....,“ Ci Sian mengejap-ngejapkan dan menggosok-gosok kedua matanya.
“Tidak, Ci Sian, engkau tidak mimpi,” kata pria itu dengan halus.
Ci Sian terbelalak, lalu bangkit duduk, memandang kepada pria itu. “Engkau.... engkau Paman Kam Hong....!”
Pria itu mengangguk dan tersenyum, lalu menambahi kayu bakar sehingga api unggun membesar karena hawa pagi itu amat dinginnya meski sinar matahari telah memasuki goa. Pria itu tentu saja dikenalnya baik-baik. Wajah itu tak pernah meninggalkan lubuk hatinya dan ternyata pendekar itu tidak berubah sama sekali setelah berpisah hampir lima tahun dengan dia! Masih seperti dahulu, tampan, pendiam dan tenang, begitu tenangnya!
“Tapi.... tapi.... mengapa aku di sini? Bukankah aku dikeroyok....”
“Engkau terlalu menuruti nafsu amarah dan engkau pingsan, maka kubawa lari ke tempat ini, Ci Sian.”
Setelah merasa yakin bahwa dia tidak mimpi, tiba-tiba saja Ci Sian menutupi mukanya. Tidak terdengar isaknya, hanya pundaknya terguncang dan di antara celah-celah jari kedua tangannya mengalir air mata. Dia menangis! Akan tetapi dasar hatinya keras, dia menahan tangisnya sehingga tidak mengeluarkan bunyi.
“Kalau engkau sedang merasa berduka, kecewa dan penasaran, menangislah, Ci Sian, menangislah, tidak ada yang mendengarmu di sini,” kata Kam Hong yang memandang dengan penuh iba.
Ci Sian menggeleng kepala dengan kedua tangan masih menutupi mukanya. “Aku tidak mau menangis! Aku tidak mau menangis! Mereka.... mereka telah membunuh semua ular itu....!” Dan kembali dia menunduk dan air matanya menetes-netes.
“Karena itu, lain kali janganlah sembarangan minta bantuan ular-ular untuk menghadapi lawan, Ci Sian. Apa sih kekuatan ular-ular itu kalau menghadapi orang pandai? Hanya bisa menakut-nakuti anak kecil saja dan sayang membuang nyawa ular-ular yang tidak bersalah apa-apa.”
Mendengar suara yang nadanya menegur ini, Ci Sian menurunkan kedua tangannya dan muka yang masih basah air mata itu dihadapkan kepada pendekar itu, sepasang mata yang masih merah basah itu memandang tajam. “Kau salahkan aku....?”
Kam Hong mengangguk. Sejenak Ci Sian memandang dengan penuh penasaran, akan tetapi akhirnya dia pun menangis, sekali ini mewek dan bersuara! “Kau.... kau malah memarahiku.... hu-hu-huuh, ahhh.... Ibuku telah mati.... Ayahku.... Ayahku.... aku benci Ayahku! Aku benci manusia itu, aku benci! Hu-huuh, aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini....”
“Hemm, masih ada aku, Ci Sian.”
“Kau.... kau malah memarahiku.... hu-huuhh!”
Diam-diam Kam Hong merasa geli akan tetapi juga terharu sekali. Orang-orang yang sedang dikuasai perasaannya, baik itu perasaan terlalu girang, terlalu marah, atau terlalu duka, suka bersikap seperti kanak-kanak. Dara ini sekarang sudah dewasa, akan tetapi pada saat itu dikuasai oleh himpitan batin yang hebat. Perasaan kecewa, penasaran, marah dan duka menindihnya sehingga dia tidak mampu menguasai dirinya lagi dan bersikap seperti kanak-kanak, sungguh patut dikasihani. Maka dia pun lalu mendekati dan mengelus rambut kepala dara itu bagaikan sikap seorang paman yang menghibur seorang keponakannya yang masih nakal.
“Sudahlah, tenanglah, aku tidak marah padamu, Ci Sian, sama sekali tidak....”
Mendengar ucapan itu, dan merasa betapa tangan yang mengelus kepalanya itu amat lembut dan penuh perasaan sayang, Ci Sian menjerit lalu menyembunyikan mukanya pada dada pendekar itu, lalu menangislah dia sejadi-jadinya. Kam Hong membiarkan saja karena hal itu amat baik bagi Ci Sian. Kekuatan yang mendorong perasaan marah atau duka amatlah kuatnya dan kalau tidak disalurkan keluar melalui tangis, akan terpendam di dalam dan selain dapat meledak menjadi pelampiasan marah yang berbahaya, juga amat berbahaya bagi kesehatan dara itu sendiri.
Setelah menangis sesenggukan tanpa mengekangnya, akhirnya Ci Sian merasa dadanya lapang sekali. Dia teringat betapa dia menangis di atas dada Kam Hong dan membuat baju pendekar itu menjadi basah, maka cepat-cepat dia menjauhkan dirinya dan memandang kepada baju yang basah itu.
“Maaf, Paman.... aku telah membasahi bajumu.”
Kam Hong melihat bajunya dan tersenyum sabar. “Baju basah bisa dijemur, Ci Sian. Yang penting, engkau tidak menyimpan perasaan dalam batin lagi. Nah, mari kita bicara sekarang.”
Ci Sian mengerutkan alis dan menarik napas panjang. Terasa hawa yang disedotnya itu memenuhi paru-paru sampai ke pusar, dan terasa dadanya nyaman sekali. Mengertilah dia kini mengapa pendekar itu membiarkan dia menangis sepuasnya di dadanya tadi, dan dia merasa berterima kasih sekali.
“Aku sedih sekali mengingat nasib Ibuku, Paman. Aku tidak tahu mengapa Ibu dapat menjadi lemah begitu, padahal menurut penuturan Ayah.... ahhh, orang itu, Ibu adalah seorang pendekar wanita. Aku belum tahu jelas mengapa sampai meninggal dunia begitu mudah, hanya karena sakit-sakitan. Tubuh seorang pendekar wanita mana mungkin sakit-sakitan begitu?”
“Aku tahu, Ci Sian.”
“Ehh? Bagaimana kau tahu?”
“Kebetulan saja. Setelah membawamu ke sini, aku berjaga-jaga dan melihat Ayahmu itu....“
“Jangan sebut dia Ayahku lagi! Aku benci mempunyai Ayah macam dia!”
“Membenci bukanlah sikap bijaksana dalam hidup.”
“Lanjutkan ceritamu, Paman, apa yang kau lihat dan dengar?”
“Ayahmu itu agaknya mencari-carimu, akan tetapi tanpa hasil dan diam-diam aku lalu membayanginya sebab aku ingin memperoleh keyakinan apakah benar kita tidak dikejar orang. Dan aku membayanginya sampai ke pondoknya di mana dia bicara dengan.... ehh, wanita-wanita yang menjadi isterinya itu dan dia menceritakan bahwa Ibumu yang bernama Sim Loan Ci itu menjadi lemah dan sakit-sakitan semenjak dia dan Ayahmu bertanding melawan gerombolan siluman di Sin-kiang yang terkenal dengan sebutan Hek-i-mo (Iblis Baju Hitam).”
“Siapakah itu Hek-i-mo?”
“Aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka, akan tetapi sudah kudengar nama mereka. Hek-i-mo adalah perkumpulan, atau lebih tepat dinamakan gerombolan yang merajalela di daerah Sin-kiang. Selain berpengaruh dan mempunyai hubungan dekat dengan penguasa, juga gerombolan itu lihai bukan main, dipimpin oleh datuk-datuk kaum sesat dan memiliki pasukan yang kuat.”
“Jadi ibu berpenyakitan setelah bertanding melawan mereka?”
“Begitulah menurut penuturan Ayahmu kepada seorang di antara isterinya, karena dalam pertempuran antara orang tuamu melawan gerombolan itu, mendiang Ibumu menderita pukulan beracun dan pada waktu itu Ibumu sedang mengandung. Hanya itulah yang kudengar dari percakapan mereka dan aku lalu pergi karena merasa tidak enak mendengarkan pembicaraan suami isteri.”
“Kalau begitu, aku akan mencari Hek-i-mo dan akan membasminya untuk membalaskan kematian Ibu!”
“Hemm, jangan kira hal itu mudah saja, Ci Sian. Sepanjang pendengaranku, Hek-i-mo merupakan gerombolan yang amat berbahaya dan sudah banyak pendekar-pendekar berilmu tinggi yang gagal dan bahkan menemui kematian ketika berhadapan dengan mereka. Bahkan Ayah Ibumu yang demikian lihai pun agaknya gagal.”
“Aku tidak takut gagal, aku tidak takut mati!”
Kam Hong menahan senyumnya. Dara ini masih seperti dulu, pemberani dan keras hati sehingga amat mengkhawatirkan karena sikap seperti itu banyak mengakibatkan mala petaka kepada diri sendiri.
“Biar pun engkau berusaha, kalau sudah pasti bahwa engkau akan gagal, apa artinya? Engkau harus memperdalam ilmu kepandaianmu, dan untuk itu, aku mau membantumu, Ci Sian. Ingat, aku masih ada hutang padamu.”
“Hutang? Hutang apa?”
“Hutang ilmu. Lupakah kau akan ilmu yang kita bersama temukan pada tubuh jenazah kakek kuno itu? Aku masih harus mengajarkannya kepadamu dan engkau pun berhak mempelajarinya, karena kita berdualah yang menemukannya.”
Ci Sian mengerti bahwa apa yang dikatakan oleh pendekar ini memang benar. Biar pun tadinya dia merasa bahwa ilmu kepandaian yang dipelajarinya dari See-thian Coa-ong cukup tinggi, namun ternyata bahwa ilmunya itu masih jauh dari pada cukup jika dia berhadapan dengan orang-orang pandai, juga ular-ularnya itu tidak ada artinya kalau dia bertemu dengan lawan tangguh. Dan dia percaya bahwa pendekar ini memang memiliki ilmu yang tinggi sekali, kalau tidak demikian, mana mungkin dapat melarikan dia dari tangan ayahnya dan isteri-isteri ayahnya yang demikian lihainya?
“Baiklah, Paman, aku akan belajar darimu.”
“Nah, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi denganmu semenjak kita saling berpisah. Ke manakah engkau pergi ketika kita berdua terdampar di lembah tanpa jalan keluar itu? Kau ingat ketika bukit itu longsor dan kita terasing di lembah salju?”
“Aku sedang mencari burung dan aku lalu terpeleset jatuh ke dalam jurang.”
“Hemm, sudah kuduga begitu. Akan tetapi bagaimana engkau dapat tetap hidup setelah terjatuh ke dalam jurang yang sedemikian dalamnya?”
“Aku ditolong oleh seorang kakek yang bernama See-thian Coa-ong, Paman.” Dara itu lalu menceritakan pengalamannya sampai dia diambil murid oleh kakek Raja Ular itu.
“Bagus sekali, engkau beruntung, selain dapat diselamatkan dari ancaman bahaya maut, juga masih menemukan seorang guru yang pandai. Pantas saja engkau pandai bermain-main dengan ular.”
“Paman, hal itu belum seberapa penting. Yang kuanggap paling menarik dan penting adalah ketika aku diajak oleh guruku itu untuk menemui musuhnya di Lembah Suling Emas, yaitu di luar lembah di mana tinggal musuh Guruku. Di situ aku bertemu degan seseorang yang tentu akan membuat Paman terkejut sekali, dan tak mungkin Paman dapat menduganya siapa.”
Di dalam hatinya, Kam Hong tertarik sekali, akan tetapi dia tetap nampak tenang dan tersenyum, seperti seorang dewasa mendengarkan penuturan seorang anak kecil saja. “Siapakah dia yang kau maksudkan itu?”
“Musuh Guruku itu adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, seorang di antara.... eh, isteri Ayah, wanita yang paling galak dan paling lihai yang hampir membunuhku malam tadi. Dia adalah seorang tokoh Lembah Suling Emas dan ilmunya tinggi sekali.”
“Hemm, sungguh aneh sekali ada lembah yang bernama Lembah Suling Emas.”
“Aku pun tadinya merasa heran, Paman. Menurut Guruku, Lembah Suling Emas itu adalah lembah tempat keluarga yang amat sakti, yaitu keluarga Suling Emas.”
“Hemmm....!” Kam Hong mengelus dagunya dan alisnya berkerut. Apa pula ini?
“Aku pun merasa penasaran, Paman. Bukankah Paman satu-satunya Pendekar Suling Emas dan Paman memiliki sebuah suling dari emas, juga Paman malah memiliki ilmu-ilmu peninggalan Pendekar Suling Emas, namun di Pegunungan Himalaya ada lembah yang yang bernama lembah Suling Emas dan menjadi tempat tinggal keluarga Suling Emas! Akan tetapi Guruku tidak dapat bercerita lebih jelas. Akan tetapi Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu itu memang lihai bukan main sehingga Suhu-ku sendiri hanya mampu mengimbangi dalam ilmu silat tanpa dapat mengalahkannya. Dan yang luar biasa adalah muridnya, Paman.”
“Murid wanita itu? Bagaimana hebatnya?”
“Dia itu bukan lain adalah Yu Hwi!”
Sekali ini benar-benar Kam Hong terkejut bukan main dan dia menatap wajah dara itu dengan mata terbelalak. Akan tetapi hanya sekejap saja karena dia sudah bersikap biasa kembali, tenang dan agak dingin. “Sungguh-sungguhkah engkau, Ci Sian?”
“Mengapa tidak, Paman? Aku malah sudah menegurnya, dan mengingatkan dia akan namamu, dan.... ahhh, sungguh aku tidak mengerti akan sikap isterimu itu, Paman. Mengapa dia begitu.... ehhh, agaknya begitu membencimu dan tidak peduli kepadamu? Aku sudah menegurnya, mengingatkan dia tentang engkau, akan tetapi dia malah marah-marah. Dan tahukah engkau apa yang terjadi? Gurunya, Si Cui-beng Sian-li itu, mengadakan perjanjian dengan suhuku, See-thian Coa-ong, untuk mengadukan murid-murid mereka, yaitu Yu Hwi itu dan aku, setelah belajar lima tahun lamanya. Coba pikir, bukankah perjanjian itu gila?”
Kam Hong menarik napas panjang. “Yu Hwi adalah calon isteriku, ikatan jodoh antara kami telah disahkan oleh orang-orang tua yang menjadi wali kami. Dia belum menjadi isteriku, akan tetapi menurut keputusan wali-wali kami, kami harus saling berjodoh. Di manakah dia, Ci Sian? Aku harus menemuinya.”
“Hemm, Paman Kam Hong. Kalau dia tak mau, apakah akan dipaksa menjadi isterimu?”
“Justru aku harus menemuinya untuk membicarakan urusan kami itu. Selain itu, aku pun ingin sekali berkenalan dengan keluarga yang tinggal di Lembah Suling Emas itu, Ci Sian.”
“Baik, aku akan mengantarmu ke sana, Paman. Akan tetapi dengarkanlah lanjutan ceritaku….”
Ci Sian lalu menceritakan tentang semua pengalamannya, betapa dia setelah belajar empat tahun dari See-thian Coa-ong lalu meninggalkan pertapaan gurunya itu dan hendak mencari Kam Hong atau Lauw-piauwsu untuk menanyakan di mana adanya orang tuanya seperti yang diceritakan oleh kakeknya kepada piauwsu itu. Kemudian betapa dia terlibat dalam perang di Lhagat, tentang Jenderal Kao Cin Liong, tentang Siok Lan, panglima wanita Nandini dan lain-lain sampai kemudian perang berakhir dengan kekalahan di pihak tentara Nepal dan dia mendengar tentang tempat tinggal ayahnya dari Lauw-piauwsu yang tewas karena luka-lukanya.
“Begitulah, aku bertemu dengan Ayahku, akan tetapi dalam keadaan yang sama sekali tidak menyenangkan hatiku dan aku tidak sudi bertemu dengan dia! Sekarang, kau ceritakan pengalamanmu semenjak kita berpisah, Paman.”
“Mari kita berangkat, Ci Sian. Di dalam perjalanan nanti akan kuceritakan semua itu kepadamu.”
Mereka melakukan perjalanan lagi, seperti lima tahun yang lalu. Hanya bedanya, kini Ci Sian bukan lagi anak-anak, bukan lagi anak perempuan tiga belas tahun, melainkan seorang dara remaja yang sudah berusia tujuh belas tahun, seorang dara remaja yang amat cantik dengan tubuh yang padat meranum, seperti setangkai bunga yang sedang mulai mekar! Diam-diam Kam Hong harus mengakui bahwa dia kagum sekali kepada dara ini, kagum akan kecantikannya yang sukar dicari keduanya itu, dan diam-diam dia merasa amat bergembira dapat bertemu kembali dengan Ci Sian dan dapat melakukan perjalanan bersama kembali. Lenyaplah segala rasa kesunyian dan nelangsa sebagai akibat perpisahan dengan Yu Hwi semenjak dia bertemu dengan dara ini kurang lebih lima tahun yang lalu.
Sebaliknya, setelah kini berjumpa dengan Kam Hong hati Ci Sian merasa begitu ringan dan gembira. Semua kekecewaan dan rasa penasaran, semua rasa duka yang tertimbun sejak kekecewaannya menyaksikan hubungan antara Siok Lan dan Cin Liong sampai kepada kenyataan yang amat pahit dari keadaan ayah kandungnya, kini lenyap tak berbekas dan wajahnya yang jelita itu berseri-seri! Dia lupa sama sekali kepada bayangan Cin Liong yang tadinya amat dikaguminya itu, dan dia merasa bergembira sekali, gembira dan puas seolah-olah dia memperoleh kembali sesuatu yang hilang dari lubuk hatinya.
Seperti juga dulu, mereka melakukan perjalanan melalui gunung-gunung yang tinggi, lembah-lembah yang dingin dan puncak-pucak bukit yang tertutup es. Seperti juga dulu, Kam Hong yang bersikap pendiam dan tenang, bahkan agak dingin itu, seperti gunung es menghadapi api karena sikap Ci Sian sebaliknya dari pada dia. Dara ini, panas dan penuh semangat, penuh gairah hidup dan selalu jenaka, kocak dan gembira, agak kenakal-nakalan sehingga mulai mencairlah gunung es dalam hati Kam Hong itu!
Sambil melakukan perjalanan seenaknya, Kam Hong bercerita tentang pengalamannya semenjak dia berpisah dari Ci Sian. Akan tetapi tidak banyak yang dapat diceritakan. Seperti kita ketahui, ketika Ci Sian tergelincir ke dalam jurang yang mengelilingi ‘pulau salju’ terpisah dari tempat-tempat lain itu, Kam Hong merasa amat gelisah, khawatir sekali dan berduka. Dia mengira bahwa tentu dara itu telah tewas tergelincir ke dalam jurang.
Akan tetapi dia tidak dapat berbuat sesuatu. Biar pun dia sudah berusaha keras untuk mencari jalan turun, namun dia mendapatkan kenyataan yang makin mendukakan hatinya bahwa tidak mungkinlah menuruni tempat itu dan siapa yang tergelincir ke bawah yang tidak nampak dasarnya saking dalamnya itu, agaknya tidak mungkin dapat diharapkan akan selamat. Pendekar itu selama beberapa hari termenung di tepi jurang, penuh kedukaan dan hampir dia menangis kalau teringat betapa gadis cilik itu kini telah mati! Batinnya yang sudah tertekan selama bertahun-tahun dengan lenyapnya Yu Hwi, kini bertambah berat dengan dugaan bahwa Ci Sian telah mati tergelincir ke dalam jurang.
Sampai hampir sepekan dia merenungi keadaan yang menyedihkan itu, akan tetapi akhirnya dia sadar bahwa membiarkan diri tenggelam ke dalam kedukaan merupakan hal yang tidak baik sama sekali, maka dia lalu menyibukkan diri dengan latihan ilmu yang baru saja dia peroleh dan pelajari dari catatan di tubuh jenazah tua. Dan ilmu itu memang hebat bukan main, merupakan ilmu yang amat tinggi, sakti dan penuh rahasia. Ilmu meniup suling berdasarkan sinkang yang luar biasa tingginya itu dipelajarinya dengan amat susah payah, kemudian dia melatih pula ilmu pedang Kim-siauw Kiam-sut yang dilakukan dengan suling.
Selama setahun lebih Kam Hong terasing di tempat itu, tidak memperoleh kesempatan untuk keluar dari tempat itu. Kemudian, setelah pergantian musim, puncak bukit di atas longsor dan jutaan ton es batu tanah dan salju menutup jurang sehingga tempat itu kembali tertutup dan dia dapat keluar dari pengasingan itu! Maka dipilihnyalah tempat yang amat baik untuk melatih ilmu, di lereng sebuah puncak yang subur, tidak seperti di tempat pengasingan itu yang hanya terdiri dari batu es dan salju yang amat dinginnya. Di tempat ini, Kam Hong melanjutkan latihannya setelah beberapa hari dia mencari-cari di sekitar tempat pengasingan itu dan tidak berhasil menemukan Ci Sian, bahkan tulang kerangkanya pun tak dapat ditemukannya. Dia menduga bahwa tentu gadis cilik itu telah tertimbun es dan tidak mungkin ditemukan lagi kerangkanya.
Selama tiga tahun Kam Hong memperdalam ilmunya sampai dia berhasil menguasai ilmu-ilmu itu, walau pun untuk bersuling tanpa suling dia masih belum sanggup melakukannya. Akan tetapi, kini dia dapat menyuling tanpa menutup lubang-lubang sulingnya dan dapat menyanyikan lagu apa pun juga melalui sulingnya tanpa memainkan jarinya. Bahkan dia dapat mainkan ilmu pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) sedemikian rupa sehingga sulingnya mengeluarkan suara berlagu merdu!
Kemudian dia meninggalkan tempat pertapaannya untuk melanjutkan usahanya mencari Yu Hwi, dan dalam perjalanan inilah dia mendengar tentang perang yang terjadi di Lhagat, dan tentang pasukan pemerintah yang terkepung di lembah oleh pasukan-pasukan Nepal. Kedatangannya tepat sekali, karena pada waktu itu, pasukan Kerajaan Ceng, dibantu oleh pasukan Tibet dan orang-orang kang-ouw yang lihai sedang mulai dengan gerakan mereka.
Melihat betapa pasukan yang terkurung itu mulai membuka bendungan sehingga air dari puncak membanjir, disusul gerakan pasukan yang terkepung itu untuk membobolkan kepungan, Kam Hong segera turun tangan pula membantu, diam-diam dia mengamuk dan mengacaukan pasukan Nepal yang mengepung, seperti yang juga telah dilakukan oleh Si Jari Maut Wan Tek Hoat! Akan tetapi karena mereka berdua itu bergerak di kanan kiri air bah, jadi terpisah, maka mereka tak saling jumpa. Setelah melihat betapa pasukan pemerintah Ceng berhasil merebut Lhagat, Kam Hong tak mencampuri perang tadi dan dia menyingkir tanpa memperlihatkan diri.
Tetapi dia melihat panglima wanita Nepal bersama seorang dara melakukan perjalanan tergesa-gesa dan diam-diam dia membayangi mereka dari jauh sampai ke Pegunungan Kongmaa La.
“Demikianlah, tanpa tersangka-sangka olehku, aku dapat bertemu denganmu, Ci Sian.” Pendekar itu mengakhiri ceritanya. “Mula-mula aku memang pangling, apalagi ketika melihat seorang dara memanggil ular-ular itu. Aku hanya ingin menolongnya karena dia dikeroyok oleh orang-orang yang demikian lihainya, dan baru aku mengenalmu setelah aku membawamu ke dalam goa itu.”
“Dan aku merasa seperti dalam mimpi begitu membuka mata dan melihatmu, Paman. Akan tetapi sekarang, setelah aku yakin bahwa kita benar telah berkumpul kembali, aku merasa seolah-olah perpisahanku denganmu selama hampir lima tahun itu hanya mimpi belaka!”
Kam Hong tersenyum karena ucapan itu sama benar rasanya seperti yang berada dalam hatinya. Dia seolah-olah tak pernah berpisah dari Ci Sian, seolah-olah semua yang dialaminya sendiri tanpa Ci Sian selama ini hanya sebuah mimpi saja…..
********************
Gadis itu bersilat dengan cepatnya. Gerakannya gesit bukan main, pukulan-pukulannya mendatangkan angin bersuitan dan daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang, bahkan ada yang rontok tertiup angin pukulan kedua tangan dan kakinya yang berloncatan ke sana sini seperti seekor burung yang sedang berlagak di pagi hari itu. Pagi hari itu cerah dan indah sekali dan lapangan rumput itu amat bersih, kehijauan, segar, hening tidak nampak seorang pun manusia lain di situ.
Gadis itu memang lihai sekali karena dia ini bukan lain adalah Yu Hwi. Usianya sudah dua puluh delapan tahun, akan tetapi dia nampak masih muda, agaknya hanya dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun. Pakaiannya yang serba merah muda itu membuat dia nampak lebih muda dari pada usia yang sebenarnya. Dan memang gadis ini lihai bukan main. Apalagi sekarang setelah dia menjadi murid tersayang dari Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang sakti, tentu saja kepandaiannya meningkat dengan amat pesatnya.
Dulu pun dia telah merupakan seorang pendekar wanita yang amat lihai, yang terkenal dengan julukan Ang Siocia karena pakaiannya selalu kemerahan. Dari gurunya yang pertama, yaitu Hek-sim Touw-ong Si Raja Maling, dia telah mewarisi ilmu silat yang tinggi, bahkan ilmunya yang disebut Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) amat hebatnya. Dengan tangan kosong dia mampu memutuskan benda-benda keras bagai disabet dengan pedang atau golok saja! Di samping ilmu Kiam-to Sin-ciang ini, dia pun terkenal pandai melakukan penyamarannya, dan pandai pula dalam ilmu mencuri atau mencopet, kepandaian khas dari Hek-sim Touw-ong!
Seperti telah kita ketahui dari cerita JODOH RAJAWALI, hati gadis ini merasa kecewa bukan main. Sebagai seorang dara jelita, dia pernah jatuh cinta. Dia jatuh hati kepada seorang pendekar sakti, yaitu Pendekar Siluman Kecil, atau Suma Kian Bu putera dari Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es! Akan tetapi cintanya bertepuk tangan sebelah, pendekar yang dicintanya itu ternyata mencinta dara lain sehingga hati gadis ini menjadi hancur dan patah-patah.
Kemudian Yu Hwi mendengar tentang rahasia dirinya, bahwa ia adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek dan bahwa sejak kecil dia diculik oleh gurunya Si Raja Maling. Hal ini tidak menyusahkan hatinya, akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia mendengar bahwa sejak kecil dia telah ditunangkan dengan seorang anak laki-laki yang bukan lain adalah Siauw Hong atau Kam Hong, pemuda yang sudah dikenalnya, bahkan pemuda yang tanpa disengaja pernah membuka rahasia penyamarannya pada saat itu sebagai seorang pemuda.
Maka, karena malu terhadap Kam Hong, juga karena berduka mengingat bahwa hatinya telah jatuh cinta kepada Siluman Kecil, Yu Hwi kemudian melarikan diri, meninggalkan kakeknya, dan mengambil keputusan tidak mau kembali lagi. Dia telah gagal cintanya dengan Siluman Kecil, dan dia tidak sudi dikawinkan dengan orang lain, apalagi yang bukan pilihannya sendiri, sungguh pun harus diakuinya bahwa tunangannya itu adalah seorang pemuda yang hebat pula. Dia sudah terlanjur malu dan tidak mau kembali lagi.
Dan di dalam perjalanannya itulah dia bertemu dengan Cui-beng Sian-Ii Tang Cun Ciu dan diambil sebagai murid. Hatinya menjadi girang sekali, apalagi saat ia diperkenalkan dengan keluarga sakti yang menjadi penghuni Lembah Suling Emas. Hatinya kagum bukan main, terutama sekali kepada seorang di antara para tokoh lembah itu, yang masih terhitung susiok-nya (paman seperguruannya), yaitu yang bernama Cu Kang Bu, pemuda sakti tinggi besar dan gagah itu. Dia merasa kagum bukan main terhadap keluarga yang amat sakti itu, terutama para paman gurunya yang menurut subo-nya bahkan lebih lihai dari pada subo-nya sendiri yang sudah amat dikaguminya itu!
Selama beberapa hari ini, subo-nya nampak murung saja, tetapi hatinya girang karena subo-nya mengatakan bahwa pelajarannya telah tamat, dan bahwa waktu yang lima tahun itu sudah hampir tiba dan dia akan harus berhadapan dengan murid See-thian Coa-ong untuk memenuhi janji dua orang yang bermusuhan secara aneh itu, untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Dahulu, dalam pertempuran mati-matian antara Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu dan See-thian Coa-ong, tiada yang kalah atau menang, kepandaian mereka seimbang. Maka kini, murid-murid mereka yang akan menentukan siapa yang lebih unggul di antara mereka.
Yu Hwi merasa girang, bukan hanya karena dia akan bertanding mewakili subo-nya, melainkan karena dia telah bebas dan setelah melakukan pertandingan itu, dia boleh turun gunung atau pergi dari tempat itu, melanjutkan perjalanan atau perantauannya. Dan dia sudah merasa rindu untuk kembali ke timur, ke dunia ramai. Akan tetapi, harus diakui bahwa ada sesuatu yang membuat dia merasa berat meninggalkan Lembah Suling Emas, dan selama berbulan ini wajah yang gagah dari susiok-nya sering muncul di alam mimpi, menggerakkan gairah di dalam hatinya yang sudah lebih dari dewasa, bahkan yang sudah agak terlambat itu, mengingat usianya sudah dua puluh delapan tahun!
Pagi hari itu, dalam cuaca cerah dari hari yang indah itu, Yu Hwi bersilat dengan tangan kosong, berlatih sebaik-baiknya dan dia merasa girang karena dapat bergerak dengan lancar sekali dan merasa yakin bahwa dalam mewakili subo-nya, dia tentu akan dapat mengalahkan anak perempuan murid See-thian Coa-ong yang bicara lancang tentang Kam Hong itu!
Setelah dia berhenti bersilat dan menghapus keringat di lehernya, tiba-tiba terdengar tepuk tangan. Yu Hwi terkejut bukan main. Kalau ada orang mampu datang ke tempat itu tanpa diketahuinya, tentu ilmu kepandaian orang itu tinggi bukan main. Akan tetapi ketika dia menoleh dengan kaget dan melihat siapa yang bertepuk tangan itu, wajahnya berseri dan kedua pipinya berubah kemerahan.
“Aihh.... kiranya Sam-susiok (Paman Guru ke Tiga).... ah, gerakanku amat buruk, harap Susiok jangan mentertawakan,” katanya dengan sikap agak genit, tersenyum manis dan mengerling tajam.
Pria yang tinggi besar dan telah berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu tersenyum dan meloncat turun dari atas sebuah batu besar di mana dia tadi berdiri, menghampiri gadis itu dengan pandang mata penuh kagum.
“Sungguh mati, Yu Hwi, aku tidak mentertawakan. Gerakan-gerakanmu tadi lincah dan hebat, dan amat manis sekali, sungguh pun aku melihat adanya beberapa kelemahan yang agaknya tidak nampak oleh Subo-mu.”
“Ahh, betulkah Sam-susiok? Harap Susiok sudi memberi petunjuk kepadaku. Harap Susiok ingat bahwa beberapa hari lagi aku harus menghadapi murid See-thian Coa-ong mewakili Subo untuk mengadu kepandaian seperti janji mereka lima tahun yang lalu.”
Pria itu menarik napas panjang. “Ahh, Toaso…, Subo-mu itu, selalu menuruti hati panas sehingga suka berjanji untuk mengadu ilmu. Mempelajari ilmu silat bukan untuk diadu seperti ayam jago atau jangkerik.”
Yu Hwi tersenyum. “Betapa pun, janji tetap janji dan apa jadinya kalau Subo melanggar janjinya? Sam-susiok, berlakulah baik untuk memberi petunjuk agar supaya aku dapat memperbaiki kekurangan atau kesalahan itu. Susiok tidak ingin melihat aku kalah dalam pertandingan itu, bukan?”
“Tentu saja tidak. Nah, dalam jurus ke sebelas dan dua belas, juga jurus ke sembilan belas dan ke dua puluh, kau terlalu menekankan kepada penyerangan, terlalu bernafsu sehingga kau melalaikan pertahananmu hingga pada bagian-bagian itu pertahananmu amat lemah dan mudah sekali dimasuki lawan.”
“Ahhh, begitukah, Susiok? Akan tetapi menurut Subo, permainanku sudah sempurna,” kata Yu Hwi dengan kaget.
“Mari kita coba. Kau seranglah aku dengan jurus ke sebelas itu.”
Karena maklum betapa lihainya susiok-nya yang ganteng dan gagah ini, yang menurut subo-nya memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari subo-nya, dan karena dia akan memperoleh petunjuk, maka Yu Hwi menjadi girang dan tanpa ragu-ragu kemudian dia mengerahkan tenaganya dan menyerang sambil berseru, “Awas Susiok!”
Jurus ke sebelas disebut Lam-hong Tong-te (Angin Selatan Getarkan Bumi), dilakukan dengan pukulan tangan kiri yang disambung dengan langkah kaki kanan ke depan lalu kaki kiri menyambar dari samping dengan jalan memutar. Gerakan yang amat cepat dan tidak tersangka oleh lawan, berbahaya sekali.
“Pinggang kananmu terbuka!” kata Kang Bu.
Dan dengan memutar tubuh, setelah mengelak dan menepuk kaki yang menendang, tahu-tahu tangannya sudah mencengkeram ke arah pinggang kanan Yu Hwi. Tentu saja tidak dia lanjutkan, hanya jari-jari tangannya menyentuh pinggang itu, menimbulkan rasa geli.
“Seharusnya tangan kananmu merapat ke pinggang, seperti ini!” Dengan jelas Kang Bu lalu memberi contoh dan memegang tangan kanan Yu Hwi, merapatkan di pinggang.
“Mengertikah engkau? Setiap serangan sudah tentu membuka sebagian dari tubuh kita, dan hal itu akan dipergunakan oleh lawan yang tangguh untuk mencari titik kelemahan kita, dan oleh karena itu, di samping penyerangan kita harus mengenal titik kelemahan sendiri sewaktu menyerang dan sedapat mungkin melindungi kelemahan itu.”
Yu Hwi mengerti dan mengulang jurus itu sampai beberapa kali sehingga Kang Bu mengangguk-angguk puas. “Nah, sekarang coba seranglah aku dengan jurus ke dua belas,” katanya pula.
“Baik, nah, awas Susiok! Haitttt....!”
Jurus ke dua belas ini memang seharusnya dilakukan dengan bentakan nyaring. Jurus ini disebut Sia-hong-khai-bun (Angin Bawah Membuka Pintu). Serangan ini lebih hebat dari pada tadi karena tiba-tiba dara itu merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua lututnya dan kedua tangannya mendorong dari bawah ke atas dengan kekuatan hebat karena didasari tenaga sinkang yang amat kuat sehingga angin pukulannya menyambar dahsyat. Namun tiba-tiba tubuh Kang Bu meloncat ke atas, berjungkir balik dan kedua tangannya dari atas melakukan dua pukulan, yang kiri menusuk ke arah mata Yu Hwi sedangkan yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun!
“Aihhhhh....!” Yu Hwi terkejut sekali dan cepat dia membuang tubuh ke belakang dan bergulingan, mukanya berubah pucat.
Kang Bu sudah berdiri di depannya sambil tersenyum. “Bagus sekali cara engkau tadi menyelamatkan diri. Akan tetapi hal itu tidak perlu karena apa kau kira aku hendak mencelakakan engkau dengan sungguh-sungguh?”
“Aku.... aku kaget, Susiok....“ kata Yu Hwi dan dia pun tersenyum malu-malu ketika Kang Bu membantunya membersihkan pakaiannya yang terkena tanah ketika tadi dia bergulingan.
“Nah, engkau lihat betapa berbahayanya jika engkau mencurahkan seluruh tenaga dan perhatianmu untuk menyerang di jurus ke dua belas itu. Memang jurus ini merupakan jurus berbahaya bagi lawan, akan tetapi kalau lawanmu memiliki ginkang yang tinggi dan melihat keterbukaan bagian kepalamu, engkau sebaliknya akan terancam bahaya. Oleh karena itu, pada saat memukul, perhatikan gerakan musuh, kalau dia membalikkan keadaan dengan meloncat dan mengancam kepalamu, kau tinggal melanjutkan pukulan itu ke atas, mendahuluinya, dan menghantamnya dari bawah. Mengertikah engkau?”
“Baik, aku telah mengerti dan terima kasih, Sam-susiok. Memang engkau benar sekali, Susiok.”
“Sekarang jurus ke sembilan belas dan ke dua puluh. Kedua jurus itu merupakan jurus yang bergandengan, yaitu See-hong-coan-in (Angin Barat Menerjang Awan) yang lalu disambung dengan Pak-hong-sang-thian (Angin Utara Naik Langit) dan merupakan dua jurus terampuh dari Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) itu. Coba kau serang aku dengan dua jurus yang bersambungan itu.”
“Baik, Susiok.”
Yu Hwi kemudian menyerang. Gerakannya cepat bukan main, kedua tangan bergantian melakukan pukulan sambil meloncat, lalu dengan kedua kaki ditekuk dua tangannya menyambar ke depan ke arah leher dan pusar lawan.
“Lihat dadamu terbuka!” terdengar susiok-nya itu berkata dan kedua tangannya telah terpentang oleh tangkisan dan tangan susiok-nya yang besar dan kuat itu tiba-tiba telah mencengkeram ke arah dadanya, hampir saja menyentuh buah dadanya, akan tetapi Kang Bu sudah cepat menarik kembali tangannya. Kemudian Yu Hwi melanjutkan gerakannya, tubuhnya meloncat ke atas dan kedua kakinya menyerang dengan totokan dari atas ke arah pundak dan ubun-ubun kepala lawan. Gerakannya memang cepat bukan main sehingga dalam pertandingan yang sungguh-sungguh, pihak lawan akan terancam bahaya.
“Bagian belakangmu kosong!” teriak pula Kang Bu dan dia sudah menggeser kaki sehingga dua tendangan itu luput dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di sebelah belakang Yu Hwi dan sekali tangannya menyambar, sepatu kiri Yu Hwi telah copot!
“Ihhh....!” Yu Hwi terkejut dan melayang turun dengan muka merah, memandang ke arah kakinya yang hanya tinggal berkaus saja sedangkan sepatu kaki kirinya telah berada di tangan susiok-nya.
“Maaf, ini hanya untuk membuktikan betapa bahayanya jurus-jurus itu kalau engkau tidak hati-hati. Jadi ingat baik-baik, jurus ke sembilan belas jaga baik-baik dadamu dan jurus ke dua puluh memiliki kelemahan di bagian belakang tubuhmu pada saat engkau meloncat.”
Yu Hwi tak dapat berkata-kata, mukanya merah sekali dan jantungnya berdebar-debar ketika dia melihat betapa paman gurunya itu berjongkok dan memasangkan sepatu kirinya. Lebih berdebar lagi rasa jantungnya ketika dia melihat betapa jari-jari tangan yang kokoh kuat dari pendekar yang lihai itu gemetar tidak karuan ketika membantunya memakai kembali sepatunya!
Mereka lalu duduk berhadapan di atas rumput hijau, bercakap-cakap dengan mesranya. Seperti biasa, dalam pertemuan dan percakapan ini, Cu Kang Bu memberi petunjuk-petunjuk dalam hal ilmu silat kepada Yu Hwi, sikapnya amat ramah dan juga mesra, jelas sekali nampak betapa pria muda itu ‘ada hati’ terhadap murid keponakan yang manis itu! Dan diam-diam Yu Hwi juga harus mengakui bahwa dia amat tertarik kepada pemuda ini, seorang pria yang jantan, matang, pendiam, jujur dan tidak pernah berpura-pura, sikapnya terbuka dan ilmu kepandaiannya amat luar biasa. Pria seperti ini dapat dibandingkan dengan Pendekar Siluman Kecil sekali pun!
Tanpa mereka sadari, dari tempat yang agak jauh sepasang mata bening memandang ke arah mereka, dan kemudian sepasang mata itu nampak tidak senang, dan akhirnya lenyap…..
Komentar
Posting Komentar