SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-15
Menurut pendapat Siok Lan dan ibunya, Su Khi malah dianggap sebagai kaki tangan mata-mata yang sengaja menimbulkan kekeruhan di Lhagat! Memang, sejak terjadinya pencurian di dalam kamar kerja panglima oleh seorang maling yang berilmu tinggi itu, setiap orang dicurigai dan setiap hari para pengawal menangkapi orang-orang yang dicurigai sehingga penjara menjadi penuh menampung orang-orang tangkapan baru ini.
Puteri Nandini sebagai panglima yang paling merasa terpukul dengan adanya pencurian benda-benda penting dari kamar kerjanya, bertindak keras, bahkan setiap kali ada orang tangkapan baru, dia sendiri datang untuk memeriksa. Ingin sekali dia dapat menemukan maling yang telah memasuki kamar kerjanya itu.
Ketika pada suatu pagi ada laporan bahwa tertangkap pula seorang pemuda yang amat mencurigakan karena malam-malam pemuda itu berkeliaran di dekat bukit tempat tentara musuh terkurung, cepat panglima itu berpakaian, naik kuda dan datang sendiri ke tempat penangkapan itu. Begitu panglima itu tiba di tempat penjagaan, para penjaga mendorong seorang pemuda yang kedua kakinya dibelenggu, demikian pula kedua lengannya. Seorang pemuda yang tampan dan berpakaian sederhana, berwajah terang dan sama sekali tidak menunjukkan wajah seorang jahat. Akan tetapi justru wajah demikian ini yang menimbulkan kecurigaan, karena bukankah yang dikirim oleh pihak musuh adalah orang-orang pandai dan mungkin saja orang-orang yang juga memiliki kedudukan tinggi?
Dari atas kudanya, panglima wanita itu mengamati pemuda tawanan itu dengan penuh perhatian. Pemuda seperti ini memang pantas menjadi seorang utusan, karena biar pun nampaknya seorang yang lemah, akan tetapi sinar matanya berkilat membayangkan kekuatan dan kecerdasan. Komandan jaga maju memberi hormat kepada panglima wanita itu, lalu melaporkan bahwa pemuda itu pagi-pagi sekali tadi ditangkap ketika sedang menyusup-nyusup seorang diri di dekat perkemahan para penjaga yang sedang bertugas mengurung bukit di mana pihak musuh terjebak itu.
“Alasannya adalah mencari jejak binatang buruan dan setelah kami menggeledahnya, kami tidak menemukan senjata pada dirinya, melainkan kalung ini.” Komandan jaga menutup laporannya sambil menyerahkan seuntai kalung kepada panglimanya.
Puteri Nandini menerima kalung itu dan menyembunyikan kagetnya ketika dia mengenal kalung itu. Sebuah kalung dengan hiasan berbentuk sebatang bunga teratai emas yang terhias permata. Tentu saja dia mengenalnya oleh karena kalung itu adalah kalungnya sendiri di waktu muda dan yang sudah diberikannya kepada puterinya, Siok Lan! Diam diam dia terkejut dan marah, dan hampir saja dia berteriak membentak pemuda itu untuk bertanya dari mana pemuda itu memperoleh kalung puterinya. Akan tetapi dia masih sempat menahan diri dan tidak mau membuka rahasia puterinya sehingga kalau terdengar oleh para penjaga bahwa kalung puterinya berada pada pemuda ini, tentu akan menimbulkan prasangka yang buruk.
“Engkau seorang pemburu?” panglima itu bertanya tanpa turun dari atas punggung kudanya.
Pemuda itu mengangguk. “Benar, Li-ciangkun. Saya adalah seorang di antara para pemburu di bukit sebelah sana itu.”
“Kenapa kau berkeliaran di sini?”
“Semalam kawan-kawan saya mengepung seekor harimau yang amat buas dan yang sudah lama kami coba untuk menangkapnya. Akan tetapi harimau itu dapat lolos dan saya mengikuti jejaknya sampai ke sini, tahu-tahu saya ditangkap....”
“Hemm, mengikuti jejak harimau dengan pakaian seperti itu? Pakaianmu bukan seperti pakaian pemburu!”
“Maaf, karena semalam saya memang sudah hendak tidur, sudah terlalu lelah memburu pada siang harinya. Tetapi mendengar suara ribut-ribut para kawan, saya terbangun dan ikut mengejar harimau yang lolos....”
Panglima wanita itu lalu memerintahkan untuk menahan pemuda itu di dalam kamar tahanan di tempat penjagaan itu. “Aku hendak memeriksanya sendiri,” katanya.
Dia pun meloncat turun dari atas kudanya, mengikuti para penjaga yang mendorong pemuda tawanan itu memasuki rumah penjagaan. Setelah menyuruh semua penjaga pergi, Puteri Nandini memandang kepada pemuda yang disuruh duduk di depannya itu dengan sinar mata penuh selidik. Kemudian dia mengeluarkan kalung dari saku bajunya dan memperlihatkannya kepada pemuda itu.
“Dari mana engkau memperoleh kalung ini?” tanyanya halus, tetapi pandang matanya seperti hendak menembus dada menjenguk isi hati.
Pemuda itu nampak tenang-tenang saja, hanya agak kemalu-maluan ketika mendengar pertanyaan ini. “Dari.... dari seorang dara....,” jawabnya.
“Hemm, mengapa dia memberikan kalung ini kepadamu?”
Pemuda itu kelihatan semakin malu. “Sebetulnya.... hanya kebetulan saja, Li-ciangkun. Ketika itu.... saya melihat seorang gadis menunggang kuda dan kudanya itu terkejut karena bertemu harimau, harimau keparat yang kami kejar-kejar itulah! Dan kudanya terpeleset ke dalam jurang. Kebetulan saya berada di dekat situ dan saya memang sudah siap dengan laso untuk menangkap harimau, maka saya berhasil mencegah dia terbawa jatuh ke dalam jurang dengan laso saya....“
Puteri Nandini tidak terkejut karena memang dia tadi sudah menduga demikian. Oleh karena dia menduga bahwa pemuda ini adalah penyelamat puterinya itulah maka dia tadi memerintahkan penjaga membawa pemuda itu ke sini untuk diajak bicara. Akan tetapi sekarang pun dia tidak memperlihatkan perasaan apa-apa pada wajahnya yang nampak bengis namun masih tetap cantik itu. Tadi sebelum memasuki tempat ini dia sudah diam-diam menyuruh pengawalnya untuk cepat-cepat memanggil Siok Lan agar datang ke tempat ini.
Puteri Nandini menyuruh pemuda itu menceritakan riwayatnya dan mengapa jauh-jauh ke tempat ini untuk berburu. Pemuda itu bercerita dengan singkat bahwa dia dan rombongannya adalah pemburu-pemburu yang selain memiliki pekerjaan memburu dan hidup dari hasil buruan, juga suka dengan pekerjaan ini.
“Kami sudah banyak menjelajahi daerah-daerah yang terkenal memiliki binatang-binatang aneh dan buas. Kami sebetulnya tiba di sini karena tertarik oleh berita tentang binatang atau makhluk aneh yang dinamakan Yeti atau dikabarkan sebagai manusia salju di daerah Himalaya. Akan tetapi ternyata kami tidak berhasil menjumpai makhluk itu, maka kami memburu harimau dan lain-lain binatang buas di bukit itu.” Demikian antara lain pemuda itu bercerita. Dia mengaku she Liong bernama Cin dan sebagai seorang pemburu yang banyak bertualang ke tempat-tempat jauh, dia menguasai bahasa Tibet, bahkan sedikit dia dapat berbahasa Nepal.
Selagi mereka bicara, terdengarlah suara derap kaki dua ekor kuda di luar rumah penjagaan itu dan tak lama kemudian masuklah dua orang dara ke dalam ruangan itu. Mereka ini bukan lain adalah Siok Lan dan Ci Sian. Siok Lan datang dengan sangat cepat setelah menerima panggilan ibunya dan dia mengajak Ci Sian, apalagi ketika mendengar dari pengawal itu bahwa para penjaga menangkap seorang pemuda yang mengaku sebagai seorang pemburu dan kini sedang diperiksa oleh panglima.
Begitu mereka masuk dan melihat Liong Cin, Siok Lan segera berkata kepada Ci Sian, “Benar, dia!” Lalu dia menghampiri ibunya. “Ahhh, Ibu, mereka salah tangkap! Dia ini adalah pemburu yang pernah menyelamatkan aku dulu!”
Puteri Nandini mengangguk. “Aku sudah menduganya, hanya menanti kedatanganmu untuk kepastiannya.” Lalu Sang Puteri ini memandang kepada pemuda itu, tersenyum dan berkata. “Orang muda, kau maafkan kesalahan para penjaga kami. Akan tetapi engkau juga bersalah mengapa mengejar buruan sampai dekat dengan perkemahan kami. Harap beritahu kawan-kawanmu agar jangan mendekati tempat ini.”
Liong Cin menggeleng kepalanya dengan sedih. “Tak mungkin mereka berani mendekat ke sini lagi, Li-ciangkun. Setelah mendengar atau melihat saya ditangkap, saya berani memastikan bahwa mereka tentu sudah lari ketakutan dan tidak akan kembali lagi ke tempat ini.”
Panglima itu mengerutkan alisnya dan memandang tajam. “Kalau begitu kini engkau ditinggalkan oleh teman-temanmu?”
Liong Cin mengangguk. “Selama ini kami memang sudah khawatir melihat betapa tempat buruan kami dekat dengan medan perang dan sudah sering kali kami beruding untuk pergi saja. Akan tetapi harimau itu....”
“Sudahlah, orang muda. Aku menyesal bahwa engkau terpaksa ditinggalkan teman-temanmu. Sekarang engkau boleh bebas. Engkau adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi, harap kau suka melepaskan belenggu tangan dan kakimu sendiri.” Panglima itu mencoba.
Tetapi pemuda itu menggeleng kepala dan mukanya menjadi merah. “Harap Li-ciangkun tidak main-main. Mana mungkin saya dapat melepaskan diri dari belenggu yang sekuat ini?”
“Tapi engkau telah mampu menyelamatkan puteriku.”
“Itu lain lagi, Li-ciangkun. Saya memang mempelajari ilmu mempergunakan tali laso, akan tetapi untuk mematahkan belenggu-belenggu ini.... sungguh saya tidak sanggup melakukannya.”
Panglima itu tersenyum. Senyumnya hanya sebentar saja, seperti kilatan cahaya di hari mendung. Lalu dihampirinya pemuda itu dan dengan kedua tangannya panglima wanita itu mematah-matahkan belenggu pada kaki tangan itu sedemikian mudahnya, bagaikan mematahkan ranting-ranting kecil saja! Pemuda itu terbelalak penuh kaget dan kagum menyaksikan kehebatan tenaga panglima wanita ini.
Dan memang itulah yang dikehendaki oleh Puteri Nandini, agar pemuda ini terkejut dan jeri sehingga tidak akan berani melakukan hal-hal yang dapat merugikan pasukan Nepal. Biar pun dia percaya kepada pemuda ini, akan tetapi pemuda ini adalah bangsa Han, maka sudah tentu saja sedikit banyak dia masih bersikap hati-hati dan curiga.
Siok Lan menghampiri pemuda itu dan berkata dengan suara menyesal. “Harap kau suka memaafkan, Liong Cin. Karena ingin berhati-hati, para pasukan penjaga telah salah tangkap, engkau yang menjadi penolongku malah disangka mata-mata musuh.”
Liong Cin juga tersenyum dan menjura. “Tidak mengapa, Nona. Ini malah merupakan tambahan pengalamanku, hanya sayang... sahabat-sahabatku telah pergi meninggalkan aku di sini....”
“Kalau begitu, mari ikut bersama kami ke Lhagat,” Siok Lan mengajak dan sebelum pemuda itu menjawab, dara ini sudah segera berpaling kepada ibunya. “Ibu, harap Ibu perkenankan Liong Cin untuk ikut bersama kita ke Lhagat, sekedar untuk membalas budinya dan untuk minta maaf kepadanya atas perlakuan kita yang tidak semestinya terhadap seorang penolong.”
Siok Lan memang pandai bicara dan ibunya tidak dapat menolak, tidak enak untuk menolak setelah puterinya mengeluarkan kata-kata seperti itu. Biar pun, di dalam hatinya dia tidak setuju karena hal itu memungkinkan adanya bahaya kalau-kalau pemuda ini benar-benar kaki tangan musuh, namun mana mungkin dia menolak dengan adanya kenyataan bahwa pemuda ini telah menyelamatkan puterinya, kemudian malah ditangkap karena disangka mata-mata? Menolaknya sama dengan menampar muka sendiri!
Siok Lan sudah meneriaki pengawal minta seekor kuda untuk Liong Cin dan tak lama kemudian, Siok Lan, Ci Sian, dan Liong Cin sudah membalapkan kuda mereka menuju ke Lhagat. Di sepanjang perjalanan, Ci Sian tidak pernah bicara kepada Liong Cin, akan tetapi diam-diam dia amat memperhatikan pemuda itu dan dia pun melihat betapa terjadi perubahan besar pada diri Siok Lan. Dara ini kelihatan amat gembira sekali, sikapnya menjadi semakin lincah dan jenaka!
Mulai saat itu, Liong Cin diterima sebagai seorang tamu terhormat, atau juga seorang sahabat baik dari Siok Lan, dan diberi sebuah kamar tersendiri di dalam gedung tempat tinggal panglima itu. Puteri Nandini sendiri yang mengusulkan hal ini. Pada lahirnya dia hendak bersikap baik terhadap pemuda yang pernah menyelamatkan nyawa puterinya itu, akan tetapi di dalam hatinya dia menghendaki agar pemuda itu tinggal di gedung karena dengan demikian akan lebih mudah baginya untuk mengawasi gerak-geriknya. Juga dia melihat betapa agaknya puterinya tertarik kepada pemuda itu, dan mengingat bahwa pemuda itu, biar pun harus diakuinya bahwa pemuda itu tampan dan gagah, hanya seorang pemburu biasa saja, maka sudah tentu hatinya tidak rela dan dia pun ingin mengamat-amati hubungan antara puterinya dan pemuda itu.
Mula-mula Liong Cin menolak halus dan menyatakan bahwa dia tak ingin mengganggu keluarga panglima itu, akan tetapi Siok Lan cepat mendesaknya. “Saudara Liong Cin, sudah jelas kini dari pelaporan para penyelidik bahwa benar seperti dugaanmu, semua kawanmu, rombongan pemburu yang tadinya berkemah di bukit itu telah melarikan diri semua, entah ke mana. Oleh karena itu, tidak baik kalau engkau pergi mencari mereka, dalam keadaan gawat dan dalam ancaman perang ini. Sebaiknya engkau beristirahat dahulu di sini bersama kami, kelak kalau keadaan sudah aman barulah engkau pergi mencari kawan-kawanmu. Setidaknya, berilah kesempatan kepadaku untuk menyatakan terima kasih dan membalas budimu.”
Meghadapi ucapan Siok Lan ini, Liong Cin tidak dapat membantah dan demikianlah, mulai hari itu dia tinggal di gedung panglima dan diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat dan memperoleh kebebasan. Dia bergaul dengan akrab sekali dengan Siok Lan, dan tentu saja Ci Sian juga sering menemani mereka bercakap-cakap, akan tetapi agaknya di antara dua orang muda ini, keduanya merupakan tamu dan sahabat Siok Lan, terdapat sesuatu yang membuat hubungan mereka agak renggang. Ada celah di antara keduanya, dan kadang-kadang mereka saling pandang dengan sinar mata membayangkan kecurigaan dan keraguan.
Memang sesungguhnyalah Ci Sian menaruh rasa curiga kepada pemuda itu, rasa curiga yang sama sekali bukan tanpa alasan. Semenjak pemuda itu datang, dia selalu mengamati gerak-geriknya dan meski dia melakukan hal ini secara diam-diam, agaknya terasa juga oleh Liong Cin sehingga pemuda ini pun merasa tidak enak terhadap Ci Sian. Bahkan semenjak Liong Cin berada di gedung itu, setiap malam Ci Sian kurang dapat tidur nyenyak karena pikirannya selalu membayangkan pemuda itu dengan penuh curiga, dan bahkan sering kali diam-diam gadis ini keluar dari dalam kamarnya untuk bersembunyi dan melakukan pengintaian!
Dan beberapa hari kemudian, pada suatu malam kecurigaannya ini memperoleh bukti. Dia melihat bayangan berkelebat cepat dan dia dapat mengenal Liong Cin yang bergerak cepat melakukan penyelidikan di dalam gedung dan keluar dari gedung itu menuju ke taman bunga dengan sikap yang mencurigakan sekali. Akan tetapi, pemuda itu ternyata lihai bukan main. Walau pun Ci Sian sudah membayangi dengan hati-hati sekali, mengerahkan ginkang-nya sehingga tubuhnya bergerak cepat dan ringan tanpa menimbulkan suara berisik, agaknya pemuda itu telah tahu bahwa ada orang yang membayanginya dan tiba-tiba pemuda itu berhenti dan menoleh ke belakang, tahu-tahu telah berhadapan dengan Ci Sian yang bersembunyi di balik pohon dan semak-semak!
Keduanya terkejut ketika saling berhadapan itu. Sejenak mereka hanya saling pandang dengan alis berkerut tanpa dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Ci Sian tersenyum berkata. “Terkejut? Aku tahu siapa engkau, Liong Cin!”
Pemuda itu memandang dengan sinar mata penuh selidik. “Apa maksudmu? Tentu saja engkau mengenalku. Aku sedang jalan-jalan dan kau mengejutkan aku, Nona....“
“Hemm, tidak perlu engkau berpura-pura sebagai pemburu yang tolol! Engkaulah Si Pengail yang kami tanya tentang prajurit itu, dan engkau pula prajurit yang membunuh perwira yang hendak memperkosa wanita itu, engkau mata-mata....“
Cepat seperti kilat tangan pemuda itu sudah menangkap pundak Ci Sian dan jari-jari tangan kirinya sudah menempel di ubun-ubun kepala dara itu, ancaman maut yang amat mengerikan karena sekali jari-jari tangan itu bergerak, dara itu pasti akan tewas seketika!
Ci Sian sendiri terkejut bukan main karena biar pun dia sudah waspada, ternyata dia sama sekali tidak mampu mengelak atau menangkis, dan tahu-tahu dia sudah ‘ditodong’ seperti itu, sama sekali tidak berdaya! Akan tetapi dia tersenyum, sedikit pun tidak menjadi gentar sehingga berbalik pemuda itulah yang terheran-heran. Dan apa yang keluar dari mulut Ci Sian membuat dia semakin heran dan sedemikian kaget sehingga pegangannya pada pundak dara itu terlepas.
“Jenderal, engkau salah tangkap!”
Wajah pemuda itu berubah pucat, matanya terbelalak dan dia bertanya dengan suara tegas, “Siapa engkau?”
Ci Sian tersenyum. “Aku? Aku bernama Ci Sian dan menjadi sahabat Siok Lan seperti yang kau ketahui.”
“Tidak! Kalau demikian keadaanmu, tentu engkau sudah membuka rahasiaku. Ci Sian, jangan main-main, katakan siapa engkau, jangan sampai aku kesalahan tangan.”
Ucapan itu mengandung kesungguhan yang membuat bulu tengkuk Ci Sian meremang. Tahulah dia bahwa kalau dia main-main dan salah bicara, tentu bagi orang ini tidak akan ragu-ragu lagi untuk turun tangan membunuhnya karena dia tentu dianggap berbahaya telah mengetahui rahasia orang itu.
“Aku bukan kaki tangan orang Nepal! Aku ke sini juga hendak mencari seseorang yang ditahan, seorang piauwsu bernama Lauw Sek. Harap kau jangan curigai aku.”
Pemuda itu kelihatan lega hatinya dan dia menarik napas panjang. “Katakan, bagai mana engkau dapat mengetahui keadaanku?”
“Dari sinar matamu,” jawab Ci Sian. “Engkau boleh menyamar, merubah bentuk muka dan berganti pakaian, berganti suara, akan tetapi engkau tak mungkin menyembunyikan sinar matamu.”
“Sinar mataku....? Mengapa dengan sinar mataku?”
“Sinar matamu mencorong seperti sinar mata seseorang yang tidak pernah dapat kulupakan. Sinar matamu persis seperti sinar mata Pendekar Suling Emas.”
“Pendekar Suling Emas? Siapa itu?”
“Dia she Kam, bernama Hong.”
Pemuda itu menggeleng kepala. “Aku tidak mengenalnya. Ternyata pandang matamu tajam betul, Ci Sian. Sekarang katakan, bagaimana engkau dapat tahu bahwa aku seorang jenderal....?”
Ci Sian tersenyum. “Hanya orang tolol saja yang tidak dapat menduga. Begitu mudah seperti dua tambah dua sama dengan empat. Desas-desusnya sudah santer dikabarkan orang bahwa akan ada seorang jenderal sakti dari Kerajaan Ceng yang datang untuk menyelidik kesini dan membebaskan pasukan yang terkepung. Kini melihat keadaanmu, melihat kelihaianmu, siapa lagi engkau kalau buka Si Jenderal yang didesas-desuskan orang itu?”
“Engkau luar biasal” pemuda itu berseru dan berbisik. “Mari kau ikut aku. Tidak leluasa bicara di sini!” Setelah berkata demikian, tubuhnya melesat dengan cepat sekali dari taman itu.
Ci Sian terpaksa harus mengerahkan seluruh ginkang-nya untuk mengejar, akan tetapi betapa pun dia mengerahkan tenaga, tetap saja dia tertinggal jauh dan kadang-kadang pemuda itu terpaksa harus menunggunya hingga akhirnya mereka tiba di sebuah tanah perkuburan di pinggir kota yang amat sunyi. Sunyi dan menyeramkan, membuat Ci Sian bergidik. Biar pun ia seorang dara perkasa yang dapat dibilang tidak takut menghadapi lawan yang bagaimana pun juga, akan tetapi pada malam hari gelap itu berada di dalam tanah kuburan, benar-benar merupakan pengalaman yang belum pernah dihadapinya.
Malam itu bulan sepotong menyinari permukaan tanah kuburan, menambah seramnya pemandangan. Gundukan-gundukan tanah itu seolah-olah dalam cuaca remang-remang merupakan tubuh-tubuh manusia raksasa yang telentang, dengan perut besar dan seperti bergerak dan bernapas. Hembusan angin pada daun-daun pohon yang tumbuh di tanah kuburan itu seperti bisikan-bisikan, agaknya dalam keadaan mati pun manusia masih tidak dapat melepaskan kebiasaannya yang lama semasa hidup, yaitu mengoceh dan membicarakan keadaan orang-orang lain, terutama tentang kesalahan-kesalahan orang lain. Ci Sian merasa seolah-olah dialah yang kini menjadi bahan pergunjingan dalam bisikan-bisikan itu dan dia menggigil.
“Nah, kau mau bicara apa?” katanya dan suaranya agak gemetar menahan rasa ngeri.
Pemuda itu tersenyum di bawah sinar bulan yang pucat, membuat wajahnya yang tampan nampak pucat juga. “Kau takut dan seram juga? Ahh, tempat ini merupakan tempat paling aman bagi kami....“
“Kau dan anak buahmu?”
Pemuda itu mengangguk. “Engkau memang luar biasa dan aku kagum padamu, Nona Ci Sian, atau.... namamu itu juga nama palsu?”
“Namaku tidak palsu, apa perlunya aku harus memakai narna palsu seperti engkau, Jenderal?”
“Hemm, engkau sudah menduga sedemikian jauh sehingga tahu akan nama yang kupakai?”
“Engkau seorang yang amat penting dan ternama tentu saja, maka akan bodohlah kalau engkau menggunakan nama sendiri selagi melakukan tugas mata-mata.”
“Engkau memang cerdik luar biasa dan aku percaya padamu, Nona. Ketahuilah, aku memang utusan kaisar untuk menolong pasukan kami yang terkurung. Dan di sana aku memang menjadi jenderal. Biar pun nama yang kupakai palsu, akan tetapi tidak banyak selisihnya dengan namaku yang tulen, hanya di balik. Namaku adalah Cin Liong, Kao Cin Liong.”
Semenjak kecil Ci Sian sudah banyak bertemu orang pandai, akan tetapi belum pernah dia mendengar nama ini. Kalau dia tahu siapa pemuda ini, tentu dia akan terkejut setengah mati. Pemuda ini sesungguhnya bukanlah orang biasa, melainkan keturunan pasangan suami isteri pendekar yang pernah menggegerkan kolong langit dengan ilmu kepandaian mereka yang amat tinggi.
Para pembaca cerita SEPASANG RAJAWALI dan JODOH RAJAWALI tentu dapat mengingat atau menduga siapa adanya pemuda she Kao ini. Kao Cin Liong ini adalah cucu Jenderal Kao Liang yang sangat terkenal, seorang jenderal yang gagah perkasa dan yang membiarkan dirinya tewas terbakar demi setianya terhadap kerajaan dan demi menjaga nama baik keluarga Kao.
Ayah dari Kao Cin Liong bukan lain adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu, seorang pendekar yang memiliki kepandaian luar biasa dan terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Ibunya yang bernama Wan Ceng atau Candra Dewi adalah saudara angkat dari Puteri Bhutan Syanti Dewi, dan juga ibunya memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Suami isteri ini tinggal di dalam Istana Gurun Pasir dan merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan yang disegani.
Agaknya darah kakeknya mengalir dalam dari Cin Liong karena semenjak kecil, selain suka akan ilmu silat dan sastra, anak ini juga tertarik sekali akan sejarah para pahlawan. Apalagi riwayat kakeknya seperti yang dia dengar dari ayahnya amat menarik hatinya dan sejak kecil dia pun bercita-cita untuk menjadi seperti kakeknya, menjadl seorang pahlawan dan panglima di kerajaan! Melihat bakat dan semangat puteranya, setelah puteranya itu memperoleh pendidikan Ilmu silat yang cukup tinggi darinya, Kao Kok Cu dengan persetujuan isterinya lalu membawa Kao Cin Liong ke kota raja dan dengan perantaraan adiknya, yaitu Kao Kok Han yang telah menjadi seorang perwira tinggi, Cin Liong lalu memasuki ketentaraan.
Karena kepandaian silatnya memang hebat sekali, dan kaisar amat kagum kepadanya, apalagi mengingat bahwa pemuda itu adalah cucu mendiang Jenderal Kao Liang yang gagah perkasa, maka dalam waktu pendek saja pemuda perkasa ini telah memperoleh kedudukan tinggi. Apalagi ketika beberapa kali dia berhasil memimpin pasukan untuk menindas pemberontakan-pemberontakan di sepanjang pantai Po-hai dan di utara, bahkan melakukan pembersihan terhadap para bajak laut, dia berjasa besar dan dalam usia yang masih amat muda dia sudah berpangkat jenderal! Tercapailah cita-citanya untuk hidup seperti mendiang kakeknya yang amat dikaguminya. Dalam melaksanakan tugasnya, pemuda ini memang hebat dan tegas, persis seperti kakeknya dahulu.
Ketika Kaisar mendengar pelaporan bahwa pasukan Nepal mengganggu perbatasan Tibet dan memukul mundur pasukan Tibet yang melakukan penjagaan di tapal batas, bahkan telah menduduki Lhagat, dia lalu memerintahkan untuk menggempur pasukan Tibet yang telah menjadi daerah taklukan itu. Lima ribu orang pasukan dikirim ke barat, dipimpin oleh panglima yang amat gagah perkasa karena panglima ini bukan lain adalah Kao Kok Han. Akan tetapi, karena kelihaian panglima Nepal, pasukan ini terjebak dan terkurung di lembah bukit sehingga tidak mampu lagi untuk membobolkan kepungan.
Mendengar ini, Kaisar menjadi marah dan hendak mengirim pasukan lebih besar. Akan tetapi Jenderal Muda Kao Cin Liong lalu menghadap Kaisar dan kepada panglima besar dia pun minta ijin untuk diperkenankan melakukan penyelidikan ke barat karena dia merasa yakin bahwa dengan bantuan orang-orang Tibet dia akan dapat menyelamatkan pasukan yang terkepung itu! Tentu saja dalam hal ini, Cin Liong bukan hanya ingin menyelamatkan pasukan itu, melainkan juga untuk menyelamatkan pamannya, yaitu Kao Kok Han pemimpin pasukan yang terkepung itu. Dia telah ditangisi oleh keluarga pamannya itu untuk menyelamatkan pamannya dan anak buahnya.
Demikianlah, karena ingin melakukan penyelidikan secara bebas terhadap kedudukan panglima wanita yang lihai itu, maka Cin Liong dengan jalan menyelamatkan Siok Lan dan membiarkan dirinya ditangkap akhirnya dapat diterima sebagai sahabat dari puteri panglima itu dan memperoleh kebebasan di Lhagat sehingga dia dengan mudah dapat melakukan penyelidikan, apalagi karena dia disuruh tinggal di gedung panglima!
Mendengarkan penuturan panglima muda itu, diam-diam Ci Sian menjadi kagum bukan main. Pemuda ini sungguh berani dan juga amat cerdik. Kalau saja dia sendiri tidak mengenal sinar mata mencorong itu, agaknya dia pun tidak nanti akan menduga bahwa pemuda itu adalah jenderal sakti yang datang utuk menolong pasukan yang terkepung itu!
“Dan mengapa engkau begini percaya kepadaku, Ciangkun?”
“Ahhh, Nona, harap engkau jangan menyebutku dengan sebutan ciangkun. Ingat, aku masih menyamar sebagai Liong Cin di sini, maka jangan kau merubah sebutanmu agar tidak menimbulkan kecurigaan. Engkau tentu mau membantu kami, bukan?”
Ci Sian tersenyum. Orang ini begitu percaya kepada diri sendiri! “Baiklah, Liong Cin.... Aihh… betapa janggalnya menyebut nama palsu orang! Aku ingin sekali tahu mengapa engkau begini percaya kepadaku sehingga engkau telah berani membongkar rahasiamu kepadaku? Bukankah hal ini berbahaya sekali? Kalau aku membocorkan rahasiamu, bukan saja usahamu akan gagal, pasukan yang terkepung tak akan dapat diselamatkan, dan engkau sendiri tentu akan tertimpa bencana.”
Cin Liong menggeleng kepala. “Aku yakin bahwa engkau tidak akan melakukan hal itu.”
“Bagaimana engkau dapat yakin?” Ci Sian mendesak. “Kita baru saja bertemu dan berkenalan, engkau tidak mengenalku, tidak mengenal watakku.”
“Nona, di dalam ilmu perang terdapat ilmu mengenal watak orang dari wajahnya, dari sikap dan gerak-geriknya. Engkau memiliki kepandaian silat yang tinggi dan wajahmu membayangkan kegagahan, bahwa engkau tidak mungkin berbuat hal-hal yang rendah dan jahat. Pula, aku dapat melihat dari sinar matanya bahwa panglima wanita itu menaruh curiga kepadamu, sungguh pun Nona Siok Lan percaya penuh kepadamu. Dari semua itu saja aku sudah tahu bahwa engkau bukanlah musuh dan dapat menjadi sekutuku.”
“Hemm, terus terang saja, aku tidak mau terlibat dalam perang dan permusuhan. Apalagi harus memusuhi Siok Lan yang begitu baik. Sekarang aku hanya ingin mencari Lauw-piauwsu.”
“Aku berjanji akan mencari piauwsu itu dan membawanya kepadamu asal engkau mau membantuku, Nona.”
“Membantu bagaimana?”
“Menutupi rahasiamu.”
“Ahh, kalau hanya begitu, tentu saja aku tidak keberatan.”
Tiba-tiba jenderal muda itu memegang lengan Ci Sian dan menariknya bersembunyi ke balik sebuah batu besar di tanah kuburan itu. Ci Sian hampir menjerit ngeri ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia telah ditarik dan mendekam di atas gundukan tanah kuburan! Akan tetapi melihat kesungguhan pemuda itu, dia pun memandang ke depan.
Ternyata ada bayangan orang yang berjalan seenaknya ke arah mereka dan bayangan itu mengomel panjang pendek, kemudian setelah dekat, bayangan itu berkata, “Huhh, dasar tidak tahu malu, berkencan di tanah kuburan! Berjanji simpan-simpan rahasia lagi! Persekutuan busuk, ha-ha.... sungguh persekutuan busuk!”
Tentu saja Ci Sian terkejut bukan main. Akan tetapi Cin Liong sudah meloncat keluar dan tanpa banyak cakap dia sudah menyerang dengan totokan ke arah pundak orang itu.
“Desss....!”
Keduanya terdorong ke belakang dan tentu saja Cin Liong terkejut bukan main karena ternyata orang itu memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, atau setidaknya dapat mengimbangi tenaganya sendiri sehingga ketika orang itu menangkis, dia sampai terpental ke belakang. Sebaliknya orang itu yang juga terpental, kemudian tertawa, membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari tanah kuburan yang sunyi itu. Cin Liong yang merasa terkejut dan curiga, cepat melakukan pengejaran. Melihat itu, Ci Sian juga lalu mengejar sekuatnya karena dua orang yang berkejaran itu ternyata dapat berlari secepat angin!
Bayangan yang dikejar oleh Cin Liong itu berlari terus dan melompat dinding kota tanpa mempedulikan para penjaga yang banyak berkeliaran di tempat itu. Tentu saja Cin Liong tidak mau melepaskannya karena orang yang lihai itu amat mencurigakan, dan dia terus mengejar. Demikian pula Ci Sian melakukan pengejaran. Melihat berturut-turut ada tiga bayangan orang berkelebatan meloncati pagar tembok, para penjaga menjadi geger dan mencoba untuk melakukan pengejaran, namun mereka tertinggal jauh dan komandan jaga yang merasa khawatir cepat memberi laporan ke dalam.
Sementara itu, bayangan yang dikejar-kejar itu seperti hendak mempermainkan Cin Liong dan Ci Sian yang terus melakukan pengejaran. Kadang-kadang dia tersusul dekat dan terdengar suaranya tertawa-tawa, akan tetapi kemudian tiba-tiba dia melesat jauh sekali dan meninggalkan para pengejarnya. Setelah tiba di sebuah bukit, bayangan itu mendaki naik, akan tetapi ketika tiba di lereng bukit, tiba-tiba dia memutar dan turun kembali, kini bahkan lari ke arah kota Lhagat!
“Gila dia!” Cin Liong memaki dalam hatinya dan terus mengejar.
Karena bulan sepotong sudah turun ke barat, maka malam yang menjadi gelap itu menyulitkan dia untuk dapat menyusul orang itu, sedangkan Ci Sian sudah mandi keringat karena lelah. Mereka berkejaran sampai setengah malam, dipermainkan oleh bayangan itu dan akhirnya, ketika malam terganti pagi dan cuaca tidak gelap lagi, orang itu berhenti berlari, bahkan sekarang berhenti di tengah jalan menanti para pengejarnya sambil bertolak pinggang dan tertawa-tawa. Namun wajahnya yang penuh ditumbuhi jenggot itu juga mengkilap basah oleh peluh, tanda bahwa main berlari-larian itu telah membuatnya lelah juga!
Cin Liong sudah berhadapan dengan orang itu ketika Ci Sian datang terengah-engah dan kedua kakinya terasa lelah dan lemas. Mereka berdua menatap orang yang mempermainkan mereka itu dan diam-diam. Ci Sian terkejut. Untuk ketiga kalinya dia bertemu dengan orang yang matanya mencorong. Pertama adalah mata Kam Hong, ke dua mata Kao Cin Liong dan ke tiga adalah mata orang ini! Dan begitu melihat wajah yang menyeramkan itu, dan melihat bibir yang tersenyum menyeringai di balik jenggot dan kumis yang awut-awutan, tiba-tiba Ci Sian teringat. Dia pernah bertemu dengan orang ini! Akan tetapi dia telah lupa lagi di mana.
“Siapakah engkau?” Dengan suara penuh wibawa Cin Liong bertanya sambil menatap tajam.
Orang itu berusia tiga puluh tahun lebih, hampir empat puluh tahun agaknya. Tubuhnya sedang dan tegap, tapi pakaiannya seperti pakaian pengemis. Rambutnya, jenggot dan kumisnya tak terpelihara, awut-awutan, padahal dalam keadaan seperti itu pun masih nampak bahwa orang ini memiliki wajah yang gagah dan tampan, terutama sekali sepasang matanya yang tajam dan memancarkan cahaya aneh, tetapi kadang-kadang sinar mata itu menjadi suram dan seperti lampu hampir padam diliputi kedukaan.
Mendengar pertanyaan itu, orang berpakaian jembel ini tertawa dan ketika dia tertawa, nampak deretan giginya yang kuat dan putih, sungguh berbeda dengan keadaan rambut dan pakaiannya. “Ha-ha-ha, siapa aku, dan siapa engkau? Siapa jenderal yang menjadi mata-mata? Siapa yang masih muda sudah menjadi seorang perwira tinggi, mengejar kedudukan? Ha-ha-ha!”
Wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Begitu berjumpa dia dimaki orang, orang jembel dan gila lagi, dimaki sebagai pengejar kedudukan!
“Siapa engkau? Kalau engkau tidiak mau mengaku, jangan katakan aku kejam kalau terpaksa aku akan menyerangmu!” bentaknya mengancam.
“Kau? Menyerang aku? Ha-ha-ha, anak kecil berhati besar. Hayo sekarang majulah, seranglah, siapa takut padamu? Ha-ha!”
Ditantang seperti ini, tentu saja Cin Liong menjadi marah. Akan tetapi dia dapat menguasai hatinya, karena maklum bahwa kemarahan bukanlah cara untuk mengatasi keadaan. Dia menatap tajam, kemudian berkata, “Aku akan menyerangmu karena engkau mungkin membahayakan usahaku.”
“Ha-ha-ha, anak kecil, kau majulah!”
Cin Liong lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menyerang dengan pukulan cepat dan kuat sekali ke arah lawan. Orang jembel itu tertawa dan cepat dia mengelak. Gerakannya aneh dan cepat sekali, juga ketika dia membalas dengan tamparan tangan kirinya, gerakannya memang hebat. Cin Liong terkejut dan maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh. Dia menduga bahwa agaknya orang ini yang menyamar seperti orang gila tentu utusan dari panglima musuh! Maka dia pun lalu menangkis dan menyerang bertubi-tubi dengan pengerahan tenaganya sehingga dari kedua tangannya menyambar hawa yang mengeluarkan suara bercuitan. Lawannya berseru kagum dan juga bergerak cepat, jari-jari tangannya terbuka dan pada waktu tangannya bergerak, jari tangannya meluncur seperti pedang dan mengeluarkan suara bercuitan pula!
Setelah saling serang dan saling mengelak sampai beberapa belas kali, mendadak mereka harus mengadu lengan dan mereka saling mengerahkan tenaga.
“Dukkk!” Untuk ke sekian kalinya dua lengan yang sama kuatnya bertemu dan keduanya terpental ke belakang!
“Ha-ha-ha, heh-heh-heh, kau hebat juga....!” Pengemis aneh itu tertawa lagi dan kini wajahnya berseri, nampak gembira dan dalam keadaan seperti itu dia tidak kelihatan tua benar sehingga usianya tentu tidak lebih banyak dari empat puluh tahun.
Dan melihat wajah yang tertawa, mata yang berseri-seri itu, tiba-tiba Ci Sian teringat di mana dia pernah bertemu dengan jembel ini. Dahulu, di waktu dia melakukan perjalanan dengan rombongan Lauw-piauwsu! Pengemis yang dapat mencengkeram golok sampai rompal di dalam goa itu!
“Benar dialah itu!” tiba-tiba dia berseru.
Dan kedua orang yang sedang berhadapan itu menengok dengan heran dan kaget. Ci Sian menghampiri pengemis itu dan menudingkan telunjuknya ke arah muka pengemis itu. “Benar dia! Inilah jembel yang menolak roti dan mencengkeram golok anak buah Lauw-piauwsu itu!”
Jembel itu tertawa dan kini dia menubruk lagi kepada Cin Liong yang cepat mengelak dan berseru, “Ci Sian, kau mundurlah!” Karena dia tahu betapa lihainya jembel itu dan amatlah berbahaya bagi Ci Sian kalau sampal diserang oleh orang itu.
Akan tetapi dia terlalu memandang rendah Ci Sian. Setelah menjadi murid See-thian Coa-ong, dara ini telah memiliki kepandaian yang tinggi, maka tentu saja tidak menjadi gentar dan kini dia malah ikut maju dan menyerang. Begitu tangan kanannya bergerak, seekor ular belang kuning hitam telah menyambar ke arah leher jembel itu.
“Ular! Ular....!” teriak Si Jembel dan dia mencoba untuk mencengkeram ular itu dengan tangannya.
Namun ular itu dapat mengelak dan dengan pergelangan tangannya, Ci Sian membuat ular itu membalik dan menggigit ke arah lengan Si Jembel. Namun jembel itu memang lihai sekali dan dia dapat mengelak sambil meloncat ke kanan dan kini kedua tangannya menyambar-nyambar, dengan jari-jari tangan terbuka menotok dan menampar ke arah Cin Liong dan Ci Sian secara hebat sekali.
Kembali Cin Liong terkejut. Pertama dia kagum menyaksikan kehebatan Ci Sian, kedua kalinya dia terkejut karena benar-benar jembel itu amat lihai. Betapa pun juga, dia masih mengkhawatirkan keselamatan Ci Sian, dan selain itu dia pun merasa malu kalau harus mengeroyok seorang jembel sinting, padahal dia adalah seorang jenderal muda yang terkenal memiliki kepandaian tinggi. Ayah bundanya tentu akan marah kalau mendengar bahwa dia mengeroyok seorang jembel sinting.
“Ci Sian, aku belum kalah, biarkan aku menghadapinya. Tidak perlu kita mengeroyok!” katanya.
“Ha-ha-ha, he-he-heh! Keroyokan juga boleh! Boleh kau tambah lagi dengan barisan mata-matamu, orang muda, heh-heh!”
Tadinya Ci Sian tidak mau menurut perintah Cin Liong, akan tetapi mendengar ucapan jembel itu, dia merasa malu sendiri. Seorang jembel cacat pikirannya, orang sinting begini, mana pantas dikeroyok berdua? Maka dia pun meloncat mundur dan hanya menonton dan diam-diam dia menjadi kagum. Dia harus mengakui bahwa pemuda itu hebat sekali ilmu silatnya, akan tetapi gerakan-gerakan jembel itu pun lihai dan aneh.
Tiba-tiba jembel itu merebahkan diri ke atas tanah dan dengan menolak tanah menggunakan kedua tangan, kakinya meluncur dengan serangan aneh ke arah tubuh lawan. Hebatnya, dari kedua kakinya itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat bukan main! Cin Liong mengelak, akan tetapi masih terhuyung, dan saat itu dipergunakan oleh lawannya untuk berjungkir balik dan kedua tangannya dengan jari tangan terbuka sudah menghujankan tamparan bertubi-tubi.
Melihat ini, Cin Liong yang agak terdesak mudur itu tiba-tiba mengeluarkan lengking nyaring dan dia merubah ilmu silatnya, kedua lengannya kadang-kadang membentuk cakar naga dan tubuhnya lalu menggeliat-geliat seperti seekor naga. Itulah Ilmu Silat Sin-liong-ciang-hoat (Ilmu Silat Tangan Kosong Naga Sakti) dan begitu dia mainkan ilmu ini, Si Jembel itu berseru kaget dan terdesak hebat. Begitu Jembel itu mundur, Cin Liong terus mendesak dan biar pun jembel itu masih berusaha mempertahankan diri, namun serangan-serangan Cin Liong terlampau hebat membuat dia kewalahan dan tiba-tiba dia meloncat jauh ke belakang.
“Aihh, putera Ceng Ceng sungguh kurang ajar sekali, berani melawan orang tua!”
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Cin Liong berhenti bergerak dan memandang dengan mata terbelalak kepada jembel itu. Dan anehnya, jembel itu yang tadinya tertawa-tawa, kini mulai menangis!
“Ceng Ceng.... Ceng Ceng.... kau memiliki putera yang lihai.... kau bahagia.... sungguh membuat aku mengiri padamu.... hu-hu-huuhh....!” Jembel itu menangis sesenggukan seperti anak kecil.
Cin Liong dan Ci Sian memandang dengan penuh keheranan dan juga mulai merasa kasihan kepada orang lihai yang sinting itu. Akan tetapi kalau Ci Sian hanya terheran-heran, sebaliknya Cin Liong terkejut sekali mendengar ucapan dalam tangis Si Jembel itu. Wajahnya yang tampan itu berubah dan dia memandang dengan mata terbelalak, kemudian melangkah maju dan bertanya dengan suara meragu. “Apakah Paman.... ehhh.... Si Jari Maut....?”
Mendengar pertanyaan ini, jembel sinting itu menghentikan tangisnya, mengangkat muka memandang Cin Liong dan seketika tangisnya terganti senyum ramah “Ehh, engkau.... engkau sudah mengenalku....?”
Cin Liong merasa terharu bukan main. Kiranya jembel sinting itu adalah pendekar yang terkenal itu, saudara seayah lain ibu dengan ibunya sendiri, jadi masih terhitung pamannya sendiri! Jembel sinting ini adalah Wan Tek Hoat, saudara seayah lain Ibu dari ibunya yang bernama Wan Ceng dan menurut penuturan ibunya Wan Tek Hoat adalah seorang pendekar besar yang tampan dan gagah, dan bahkan telah diambil mantu oleh Raja Bhutan, juga diangkat menjadi seorang panglima di Kerajaan Bhutan! Akan tetapi mengapa kini pendekar itu menjadi seperti ini, seorang jembel yang sinting?
“Maafkan saya, Paman Wan Tek Hoat.... karena saya tidak mengenal Paman, maka saya telah bertindak kurang ajar. Akan tetapi Paman.... ahh, mengapa keadaan Paman menjadi seperti ini....?” Cin Liong berkata sambil menjura dengan sikap hormat, hal yang membuat Ci Sian menjadi bengong terheran-heran.
Orang seperti jembel yang sinting itu memang Wan Tek Hoat. Karena himpitan kecewa dan duka karena asmara gagal, pendekar ini akhirnya menjadi seperti orang sinting, suka tertawa dan menangis, dan hidup tidak mempedulikan apa pun, bahkan tidak peduli akan keadaan dirinya yang sepertl jembel itu! Kadang-kadang, kalau dia lagi sendirian di tempat sunyi, teringatlah dia akan semua kebahagiaan yang dinikmatinya ketika dia berada di samping kekasihnya, Puteri Syanti Dewi.
Teringatlah dia akan cinta kasih puteri itu kepadanya yang teramat besar, lalu teringat pula dia akan semua penyelewengannya, akan semua perbuatannya yang menyakiti hati Sang Puteri, maka timbullah penyesalan yang amat hebat, yang menghentak-hentak di dalam hatinya, yang menghimpit hatinya dan mendatangkan kedukaan dan kekecewaan serta penyesalan yang hampir tidak kuat ditahannya dan yang membuat dia beberapa kali hampir mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri saja! Hidup ini rasanya seperti dalam neraka baginya! Bertahun-tahun dia menderita, rasa rindu yang menggerogoti kalbu, penyesalan diri yang amat mendalam, kemudian rasa khawatir bahwa kekasihnya itu mungkin sekarang telah melupakannya, bahkan mungkin sekali kini telah menjadi isteri orang. Semua ini membuat keadaan batin pendekar ini makin lama makin lemah dan tertekan.
Sepintas lalu kita akan merasa kasihan kepada pendekar ini. Namun kita lupa bahwa betapa kita sendiri pun hampir setiap hari menghadapi hal-hal yang sama atau tidak jauh selisihnya dengan keadaan Tek Hoat.
Hidup di dunia ini begini penuh kesengsaraan, begini penuh konflik dan duka nestapa, hanya kadang-kadang saja kita dapat menikmati kebahagiaan selintas seperti cahaya kilat di antara awan mendung yang memenuhi angkasa kehidupan. Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan, seluruh dunia ini penuh dengan konflik, kebencian, dendam, permusuhan yang tidak kunjung habis, bahkan yang kadang-kadang meletus dalam perang yang menewaskan ratusan ribu orang umat manusia! Bunuh-membunuh, dendam-mendendam yang terjadi di dalam dunia kita ini, dalam jaman modern dan ‘maju’ ini, ternyata jauh lebih hebat dan mengerikan dari pada yang terjadi dalam cerita silat mana pun!
Di dalam kenyataan hidup sehari-hari, kita semakin menjauhi ke-Tuhan-an dan peri kemanusiaan! Ke-Tuhanan dan peri kemanusiaan hanya menjadi hiasan bibir belaka bagi kita, hanya kita dengang-dengungkan sebagai slogan-slogan kosong! Kenyataan pahit ini harus kita hadapi dengan mata dan telinga terbuka, dan untuk menyelidiki kebenarannya, kita harus membuka mata mengamati diri kita sendiri masing-masing!
Benarkah kita ini ber-Tuhan? Benarkah kita ini berperi kemanusiaan? Tak perlulah untuk menilai orang lain apakah dia atau mereka itu ber-Tuhan atau berperi kemanusiaan, karena penilaian kepada orang lain itulah yang membuat kita menjadi palsu, yang membuat kita menggunakan pengertian ber-Tuhan dan berperi kemanusiaan itu untuk menyalahkan dan menyerang orang lain! Akan tetapi marilah kita mengamati diri kita sendiri masing-masing!
Kita semua mengaku beriman, kita semua mengaku ber-Tuhan, akan tetapi mari kita singkirkan semua pengakuan yang tidak ada arti dan gunanya ini, melainkan kita mengamati batin sendiri apakah benar-benar kita ber-Tuhan! Kalau kita benar-benar ber-Tuhan, sudah tentu setiap saat kita waspada, setiap saat kita sadar bahwa Tuhan mengamati semua perbuatan kita, mendengarkan semua suara hati dan mulut kita!
Sebaliknya, kalau kita ber-Tuhan hanya di mulut belaka, maka terjadilah seperti yang sekarang ini terjadi di dunia, di antara kita semua, yaitu bahwa dalam keadaan menderita saja kita ingat kepada Tuhan, sedangkan waktu selebihnya kita lupakan begitu saja, lupakan dengan sengaja karena kita haus akan kesenangan dan Tuhan kita anggap sebagai penghalang kesenangan!
Dapatkah kita hidup ber-Tuhan bukan dengan kata-kata kosong, pengakuan mulut, melainkan dengan sepenuhnya, secara mendalam, mendarah daging dan nampak dalam setiap gerakan, ya, bahkan setiap tarikan napas kita? Dapatkah? Yang menjawab hanya bukti pada diri kita sendiri, karena semua jawaban teori hanya kosong melompong tanpa arti. Penghayatan dalam kehidupan setiap saatlah yang menentukan segalanya.
Kita selalu ingin disebut sebagai orang yang berperi kemanusiaan! Betapa menggelikan dan juga menyedihkan! Seolah-olah peri kemanusiaan hanya semacam cap atau semacam hiasan belaka! Pernahkah kita meneliti, mengamati diri sendiri lahir batin apakah kita ini berperi kemanusiaan ataukah tidak! Adakah api ‘kasih’ bernyala dalam batin kita? Tidak ada! Api itu padam sudah! Yang ada hanya abu dan asapnya saja yang membutakan mata. Yang ada hanyalah pengejaran uang, kedudukan, dan pengejaran kesenangan jelas meniadakan cinta kasih! Pengejaran kesenangan memupuk dan membesarkan si aku yang ingin senang, dan makin besar adanya si aku, makin jauhlah sinar cinta kasih dari batin.
Semua itu, yang nampak demikian gemilang dan menyilaukan, yang nampak demikian menyenangkan, sesungguhnya hanyalah lorong lebar menuju kepada kesengsaraan hidup. Memang, kita boleh tersenyum mengejek dengan sinis, boleh saja. Kita semua seperti dalam keadaan buta selagi mengejar-ngejar kesenangan yang kita namakan dengan istilah-istilah muluk seperti kemajuan dan sebagainya.
Kapankah kita akan sadar bahwa hidup tanpa cinta kasih tidak mungkin membuat kita hidup ber-Tuhan dan berperi kemanusiaan? Ber-Tuhan berarti hidup penuh sinar cinta kasih! Berperi kemanusiaan berarti penuh cinta kasih! Dunia penuh dengan konflik, penuh kebencian, penuh pertentangan dan permusuhan, penuh pemberontakan dan peperangan, namun kita masih selalu bicara tentang damai tentang peri kemanusiaan dan sebagainya! Hal ini sama dengan membicarakan tentang bunga dan buah selagi pohonnya sakit dan rontok
.Mendengar pertanyaan Cin Liong, Wan Tek Hoat sejenak bengong, lalu dia menjawab dengan heran, “Aku mengapa? Keadaanku mengapa?”
Cin Liong tidak berani menyinggung lagi keadaan pamannya itu. Dia tahu bahwa orang sakti seperti pamannya ini kadang-kadang memang mempunyai watak yang aneh, dan siapa tahu bahwa pakaian jembel itu, sikap sinting itu, adalah sesuatu yang disengaja karena memang banyak orang-orang sakti di dunia kangouw yang bersikap aneh-aneh.
“Paman, setelah Paman mengetahui tugas saya berada di sini, mengingat beratnya tugas itu dan betapa pasukan kita terkepung dan terancam bahaya, saya mohon bantuan dan petunjuk Paman.” Pemuda yang cerdik ini merubah bahan percakapan dan langsung saja dia mengeluarkan isi hatinya.
“Kao Cin Liong, begitu namamu, bukan? Sudah lama aku mengamati gerak-gerikmu dan engkau memang hebat sekali. Apa lagi yang dapat kubantu? Kulihat banyak orang pandai telah membantumu, bahkan Nona muda ini pun merupakan seorang pembantu yang hebat.”
Cin Liong lalu mengajak mereka bertiga untuk duduk di bawah sebatang pohon di tempat sunyi itu dan dia lalu menceritakan apa yang telah dilakukannya sebagai siasat untuk menyelamatkan pasukannya yang terkepung musuh. Kiranya jenderal muda ini memang amat cerdik dan lihai sekali. Dengan kepandaiannya yang tinggi dia telah berhasil menyusup ke atas bukit di mana pasukan itu dikurung dan selama beberapa hari dia mempelajari keadaan bukit itu bersama pamannya, yaitu Panglima Kao Kok Han.
Ketika melihat anak sungai yang mengalir menuruni lembah, dia kemudian mencari sumbernya dan begitu bertemu dengan sumber air, dia lalu memerintahkan pasukan untuk membuat bendungan besar untuk menampung air sebanyak-banyaknya di tempat yang tinggi. Pasukan menggali waduk besar dan membendung air dari sumber itu. Melihat besarnya air yang keluar dari sumber itu, Cin Liong sudah memperhitungkan berapa lama dia harus menampung air itu untuk dapat dipakai melaksanakan siasatnya.
Kemudian diam-diam ia lalu mengatur pasukan Tibet, dipilihnya pasukan-pasukan yang gagah berani dan kuat, kemudian sebagian besar dari pasukan itu diselundupkannya ke Lhagat dan sekitarnya, tetapi ada pula yang bersama dia menyamar sebagai pemburu-pemburu, sebagai pedagang-pedagang atau pencari-pencari ikan.
“Kita masih harus menunggu tiga hari lagi, Paman. Tiga hari lagi air waduk itu akan cukup banyak untuk dipergunakan. Sementara itu, aku harus tetap berada di Lhagat untuk memimpin pasukan gerilya kalau saatnya tiba. Tetapi ternyata panglima wanita itu lihai sekali dan kalau aku tidak hati-hati, tentu dia dapat mengetahui rahasiaku.”
Wan Tek Hoat mengangguk-angguk. Dalam menghadapi percakapan serius itu ‘gilanya’ tidak kumat dan dia dapat mempergunakan pikirannya dengan baik. “Jangan khawatir, aku mendapatkan jalan untuk membantumu agar engkau tidak dicurigai lagi.”
Ketika Cin Liong menanyakan ‘jalan’ itu, Tek Hoat tidak mau menerangkan, melainkan menyuruh dua orang muda itu cepat kembali ke Lhagat.
Akan tetapi tiba-tiba mereka mendengar suara orang dan Tek Hoat sudah menerjang Cin Liong dengan pukulan-pukulan dahsyat sambil berbisik. “Cepat lawan aku!”
Cin Liong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Biar pun terkejut, dia sudah dapat mengetahui siasat pamannya itu, maka dia pun cepat menangkis dan balas menyerang. Ci Sian juga seorang dara yang cerdik, akan tetapi sejenak dia bengong karena tidak tahu mengapa jembel sinting yang ternyata masih paman dari jenderal muda itu, tiba-tiba malah menyerang pemuda itu. Akan tetapi ketika dia mendengar derap kaki banyak kuda, mengertilah dia dan dia pun segera membantu Cin Liong menyerang jembel sinting itu!
Terkejutlah tiga orang yang sedang bertempur ini ketika melihat bahwa pasukan yang datang itu adalah pasukan Nepal yang dipimpin sendiri oleh panglima wanita, Puteri Nandini yang ditemani oleh Siok Lan.
“Kalian harus roboh....,“ bisik Wan Tek Hoat dengan cepat dan lirih, hanya terdengar oleh dua orang muda itu, dan dia pun cepat melakukan serangan dahsyat kepada dua orang muda itu.
Cin Liong dan Ci Sian menangkis, akan tetapi mereka berteriak kaget dan terlempar, terpelanting dan roboh. Melihat ini, Puteri Nandini dan Siok Lan membalapkan kuda mereka dan berloncatan sambil mencabut senjata dan menyerang Wan Tek Hoat. Akan tetapi jembel sinting ini mengelak dari sambaran pedang panglima wanita itu, kemudian dengan jari tangan terbuka dia menghantam pedang di tangan Siok Lan dari samping. Dara ini menjerit kaget karena pedangnya menjadi patah-patah ketika bertemu dengan jari-jari tangan itu! Puteri Nandini juga terkejut dan cepat dia menerjang sambil memberi aba-aba agar pasukannya bergerak.
Wan Tek Hoat tertawa bergelak melihat pasukan maju hendak mengeroyoknya itu. Dia melempar tubuh ke belakang dan bergulingan di atas tanah, terus melompat jauh sambil tertawa terus. Puteri Nandini mencoba untuk mengejar, namun jembel sinting itu telah lenyap di balik pohon-pohon dan dia hanya dapat memerintahkan para pembantunya untuk melakukan pengejaran dan pencarian. Sementara itu, Siok Lan sudah cepat lari menghampiri Ci Sian dan Cin Liong.
Akan tetapi pertama-tama dara ini berlutut di dekat pemuda itu dan bertanya dengan nada suara khawatir, “Kau terluka....?”
Cin Liong bangkit dan mengeluh lirih. Pangkal lengan kirinya terluka, baju di bagian itu robek berikut kulit dan sedikit dagingnya. Hanya luka kecil saja. Juga Ci Sian menderita luka kecil pada pundaknya, berdarah sedikit.
“Tidak berapa parah, Nona. Penjahat itu lihai luar biasa.... kami berdua tidak mampu menangkapnya....”
“Hemm, kurasa dia itulah mata-mata yang pernah mencuri dalam gedung, Enci Lan! Tentu dia itulah yang dikabarkan orang-orang jenderal dari kota raja Ceng itu!” Ci Sian menyambung dengan bersungut-sungut.
Panglima wanita itu cepat memeriksa luka mereka dan mengobatinya, lalu mengajak mereka bicara. Dia menanyakan bagaimana keduanya dapat berada di tempat ini dan bertanding dengan jembel yang lihai itu.
Ci Sian dan Ci Liong lalu saling bantu, menceritakan betapa malam tadi mereka berdua melihat bayangan berkelebat di gedung. Karena tidak ingin menggegerkan gedung dan pula karena percaya pada diri sendiri bahwa mereka berdua akan mampu menangkap penjahat itu, keduanya kemudian mengejar. Akan tetapi ternyata penjahat itu lihai dan mempermainkan mereka, melarikan diri keluar dari kota sampai ke tempat ini, bahkan berlari-larian dan berkejaran sampai pagi, baru penjahat itu menanti mereka dan terjadi perkelahian yang merugikan mereka berdua.
Cin Liong menarik napas panjang ketika mengakhiri ceritanya. “Li-ciangkun, harap suka berhati-hati. Mata-mata itu sungguh amat lihai. Saya dan Nona Ci Sian sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa terhadapnya dan kalau dia menghendaki, agaknya kami berdua sudah tewas sewaktu kami melawannya tadi. Masih untung bahwa kami hanya menderita luka yang tidak parah.”
“Biar dia lihai seperti setan, kalau lain kali bertemu dengan dia, aku akan menantangnya untuk berkelahi sampai seribu jurus!” Ci Sian berseru dan kelihatan amat penasaran.
“Akan tetapi, bagaimana bisa begitu kebetulan bahwa hanya kalian berdua saja yang melihat mata-mata itu pada saat yang sama?” Tiba-tiba Siok Lan bertanya dan dari sikap dan suaranya jelas dapat ditangkap bahwa dara ini merasa cemburu!
“Enci Lan, engkau menyangka apa?” Ci Sian membentak dengan wajar, sesuai dengan wataknya yang memang keras dan sikapnya ini banyak menolong dia dan Cin Liong dari pengamatan dua pasang mata yang memandang tajam dari Siok Lan dan ibunya. “Seperti biasa, malam itu karena gerah aku keluar dari kamar dan aku memang selalu waspada untuk membantumu mengamat-amati gedung kalau-kalau ada tamu yang tak diundang menyelundup. Dan tiba-tiba aku melihat bayangan penjahat itu, dibayangi oleh Liong Cin. Dia memberi isyarat kepadaku bahwa dia mengejar orang di depan, maka aku pun ikut mengejar. Kami membantumu untuk mengejar mata-mata dan kini engkau hendak mencurigai kami?”
“Memang benar demikian, Nona Siok Lan. Malam itu mendengar orang di luar jendela kamarku. Aku lalu mengintai dari jendela dan melihat bayangan orang itu longak-longok seperti maling. Aku sengaja tidak menegur, melainkan diam-diam aku membayanginya, maka ketika dia lari keluar dari gedung dan aku mengejarnya. Nona Ci Sian melihat kami dan ikut mengejar.”
“Biarlah aku pergi saja dari Lhagat kalau sudah tidak kau percaya lagi, Enci Lan!”
Siok Lan memegang lengan Ci Slan. “Maaf, Adik Sian. Bukan kami tak percaya padamu atau kepada Saudara Liong Cin, melainkan.... ehh, kami harus hati-hati dalam keadaan seperti ini.... Sudahlah, kami sungguh berterima kasih kepada kalian berdua, sungguh pun amat sayang bahwa mata-mata itu dapat meloloskan diri.”
“Lain kali, jika kalian melihat hal-hal yang mencurigakan, harap suka berteriak memberi tahu supaya kami semua dapat serentak bergerak menangkapnya.” Puteri Nandini juga berkata, akan tetapi dari sikap panglima ini dan puterinya, mereka berdua agaknya sudah tak curiga lagi dan tentu saja hal ini membuat Ci Sian dan Cin Liong merasa lega.
Akan tetapi, di samping kelegaan hati itu, ada sesuatu perasaan amat tidak enak dalam hati Ci Sian. Semenjak peristiwa itu, kalau kini dia melihat Cin Liong bersama Siok Lan berdua sedang berjalan-jalan atau bercakap-cakap, melihat betapa mesranya sikap Siok Lan kepada pemuda itu, diam-diam dia merasa tidak senang!
Kadang-kadang dia melawan perasaannya sendiri ini. Apakah dia cemburu? Ihh, mana mungkin? Perasaan ini timbul ketika dia merasa betapa Siok Lan cemburu terhadapnya. Dia amat sayang kepada Siok Lan dan merasa bahwa di samping semua keadaan mereka yang berlawanan, namun terdapat perasaan suka dan sayang antara mereka, perasaan suka antara dua orang sahabat yang cocok.
Akan tetapi setelah kini dia merasa yakin bahwa Siok Lan jatuh cinta kepada pemuda itu. Dialah yang kini merasa tidak senang atau setidaknya ada perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Tentu saja dia mengambil sikap tidak peduli dan selalu dia menekankan di dalam hatinya bahwa sikap manis Cin Liong kepada Siok Lan itu merupakan ‘alasan’ dari jenderal muda itu untuk menjauhkan kecurigaan dan untuk menyembunyikan diri, tentu saja…..
Komentar
Posting Komentar