SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-16
Cin Liong terkejut akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu. Dia bukan hanya terkejut karena teguran yang membuktikan ketajaman mata dara ini, akan tetapi juga terkejut mendengar sebutan Liong-ko. Hanya jarang sekali dara ini menyebutnya koko, biasanya hanya menyebut namanya saja, terutama kalau berada di depan ibu dara ini atau di depan Ci Sian.
“Ahh, tidak apa-apa, Nona.”
Mereka berjalan terus melalui tempat penjagaan dan tidak mempedullkan pandangan para prajurit Nepal yang menyeringai. Mereka berdua terus asyik bercakap-cakap dan agaknya sudah bukan rahasia lagi betapa akrabnya hubungan antara puteri panglima itu dengan pemuda ‘pemburu’ itu.
Mereka sekarang tiba di puncak bukit kecil itu dan mereka duduk berdampingan di atas rumput hijau, memandang ke arah utara di mana nampak bukit yang dikepung tentara Nepal, bukit di mana terdapat lembah di mana tentara Ceng sedang dikepung. Sudah hampir sebulan mereka dikepung tak berdaya di tempat itu! Melihat bukit ini, tak terasa lagi jantung Cin Liong berdebar keras sekali, penuh ketegangan.
Malam nanti saat itu tiba, seperti telah diaturnya dengan matang. Ia telah menghubungi semua pembantunya dan semua pembantu itu tentu telah bersiap-siap melaksanakan semua perintah dan siasatnya sampai ke bagian yang sekecil-kecilnya. Dia sendiri perlu berada di Lhagat, selain mengamati gerakan panglima musuh, juga untuk membantu lancarnya penyerbuan ke Lhagat setelah malam nanti pasukannya berhasil lolos dari kepungan. Dan dia yakin pasukannya akan berhasil. Semua sudah diperhitungkannya masak-masak.
Dia dapat membayangkan apa yang akan terjadi kalau bendungan di atas itu dibobol dan air yang dipergunakan sebagai pasukan pelopor untuk menghantam dan menjebol kepungan musuh. Dan pada saat yang sama, pasukan-pasukan Tibet yang sudah dipersiapkannya akan bergerak pula menghantam dari arah lain untuk mengalihkan perhatian lawan. Dan pada saat air menipis, pasukan yang terkepung akan meloloskan diri, turun dari bukit, keluar dari lembah melalui jalan yang telah dibikin rata dan aman oleh air bah itu! Dan dengan kekuatan disatukan dengan pasukan-pasukan Tibet, lalu pasukannya akan menggempur Lhagat! Untuk semua itu, dia juga amat mengharapkan bantuan orang-orang pandai yang telah diam-diam diselundupkan ke Lhagat dan sekitarnya!
“Liong-koko....”
Cin Liong terkejut dan sadar dari lamunannya. Dengan enggan dia menarik kembali pandang matanya yang sejak tadi ditujukan ke arah bukit itu dan dia menoleh kepada dara yang duduk di sampingnya. Dia melihat betapa sepasang mata yang jeli itu menatapnya dengan sayu, sepasang mata yang nampaknya seperti setengah terpejam, seperti mata yang mengantuk, akan tetapi ada sinar aneh dari sepasang mata di balik bulu-bulu mata yang lentik itu.
Siok Lan memang cantik sekali, kecantikan yang manis dan aneh seperti biasa terdapat pada kecantikan dara-dara yang berdarah campuran. Siok Lan adalah seorang dara berdarah peranakan Han dan Nepal dan agaknya dara ini menerima kurnia yang luar biasa dari alam, dia agaknya telah mewarisi segi-segi baiknya saja dari ayah bundanya yang berbeda bangsa itu.
Kulitnya putih kuning halus seperti kulit wanita bangsa ayahnya, demikian pula pada kehitaman dan kelebatan rambutnya, ramping dan semampainya bentuk tubuhnya. Dan dia memiliki sepasang mata yang lebar dan indah dengan bulu mata lentik, hidung yang agak mancung dan dagu meruncing seperti kemanisan wajah ibunya.
Cin Liong adalah seorang pemuda yang semenjak kecil mengejar ilmu kepandaian dan belum pernah melibatkan diri dengan hubungan antara pria dan wanita. Hubungannya dengan Siok Lan hanya merupakan hubungan yang berdasarkan siasat perangnya belaka, maka selama ini dia menganggap dara ini sebagai puteri dari panglima pasukan musuhnya, sungguh pun secara pribadi dia amat mengagumi dara ini, juga ibunya yang dianggapnya seorang panglima yang pandai. Dan dara ini memiliki watak yang sangat baik.
Kini, dalam keadaan santai, duduk berdua di tempat sunyi itu, mendengar suara Siok Lan memanggilnya, kemudian setelah menoleh bertemu pandang mata yang demikian indah dan penuh getaran perasaan memandangnya, jantung Cin Liong terasa berdebar aneh. Selama dia hidup baru kini dia merasakan suatu getaran aneh dalam hatinya, dan wajah dara itu seolah-olah baru sekarang dilihatnya, baru sekarang dia menemukan keindahan dan kecantikan luar biasa pada mata dan bibir itu!
Sejenak dua pasang mata itu bertemu pandang, bertaut seolah-olah ada sesuatu yang membuat mereka terpesona dan seolah-olah pandang mata saling melekat tak dapat dipisahkan lagi. Akan tetapi akhirnya Cin Liong dapat menguasai debaran jantungnya dan kedua pipinya menjadi merah ketika dia bertanya lirih. “Ada apakah, Nona?”
Siok Lan juga baru sadar bahwa sejak tadi dia seperti terayun dalam alam mimpi, dan dia menjadi malu sekali. Cepat dia menunduk dan mukanya yang menjadi lebih merah dari pada muka pemuda itu. “Liong-ko, sejak tadi kulihat engkau melamun saja, seperti orang yang berduka, atau seperti orang yang khawatir. Ada apakah?”
Cin Liong tersenyum. “Tidak apa-apa, Nona.”
Dara itu mengangkat muka memandang dan kini sepasang matanya tidak sayu lagi seperti tadi, melainkan bersinar tajam penuh selidik. “Sejak kita datang ke tempat ini, engkau duduk melamun dan memandang ke arah bukit di sana itu, Liong-ko. Aku dapat merasakan bagaimana kedukaan dan kekhawatiran menekan hatimu melihat pasukan kerajaan itu terkepung di sana sudah sebulan....”
“Ahh, tidak....!” Cin Liong cepat membantah dan diam-diam dia terkejut sekali.
Apakah dara ini mengetahui pula rahasianya? Kalau begitu, amat berbahaya dan dia harus cepat turun tangan. Terbongkarnya rahasianya akan berbahaya sekali, dan dapat menggagalkan siasatnya yang akan dilaksanakan malam nanti.
Akan tetapi dara itu nampak tenang saja, bahkan tersenyum pahit. “Aku mengerti, Liong-koko. Engkau adalah seorang bangsa Han, dan tentu saja tidak senang melihat pasukan bangsamu terkepung dan menghadapi kehancuran....”
Karena masih meragu, Cin Liong belum turun tangan, dan ia memancing. “Engkau tahu bahwa aku hanyalah seorang pemburu Nona, aku tidak mencampuri urusan perang....”
“Aku mengerti, Liong-ko, akan tetapi aku pun dapat menduga betapa hatimu duka dan khawatir oleh akibat perang yang mengancam pasukan bangsamu. Aku sendiri pun benci perang! Aneh kedengarannya. Ibu seorang panglima perang, namun aku benci perang. Dan tahukah engkau, Liong-ko, Ibu sendiri pun benci perang!”
“Ehh....?” Cin Liong benar-benar terkejut mendengar ini, dan dia menatap wajah cantik itu dengan heran.
Siok Lan mengangguk kemudian menunduk, merenung. “Ya, Ibuku benci perang. Ibuku adalah seorang puteri Nepal, sejak kecil mempelajari kesenian dan kesusastraan. Akan tetapi dia pun mempelajari ilmu silat dan perang. Walau pun begitu, dia selalu mencela perang!”
“Akan tetapi mengapa dia menjadi panglima?”
“Karena.... patah hati.... gagal dalam asmara.”
“Ahhh....!”
Dara itu menoleh dan menatap wajah Cin Liong, kemudian dia menggeser duduknya sehingga berhadapan dengan pemuda itu. Sejenak dia menatap tajam, kemudian dia berkata, “Dengarlah, Liong-ko, aku akan menceritakan riwayat kami kepadamu. Akan tetapi harap semua ini dirahasiakan.” Cin Liong hanya mengangguk-angguk dan merasa heran mengapa dara ini demikian percaya kepadanya.
“Ibuku adalah seorang wanita Nepal, puteri dari seorang pendeta yang semenjak kecil mempelajari seni, ilmu sastra, silat dan ilmu perang. Kemudian Ibuku menikah dengan seorang pangeran Nepal, seorang pangeran tua yang menjadi Ayah tiriku.”
“Ayah tirimu....?”
“Ya, aku.... Ayah kandungku adalah seorang pria berbangsa Han, seperti juga engkau, Liong-ko.”
“Hemmm.... sudah kuduga itu, melihat keadaanmu.”
“Karena Ibu lebih perkasa dan pandai dari pada Ayah tiriku, maka Ibu lalu diangkat menjadi perwira tinggi dalam ketentaraan. Ibu menerima pengangkatan itu hanya untuk menghibur hatinya, karena.... karena sesungguhnya Ibu tidak mencinta suaminya yang jauh lebih tua, dan hal itu terjadi sampai Ayah tiriku meninggal dunia. Semenjak itu Ibu menjadi panglima dan biar pun dia membenci perang, terpaksa dia melakukan tugas kewajibannya sebaik mungkin.”
“Dan.... Ayah kadungmu?”
Dara itu menggeleng kepala. “Ibu merahasiakannya. Aku bahkan tidak tahu siapa she Ayahku itu. Aku tidak tahu di mana dia, masih hidup ataukah sudah mati. Heran sekali, Ibu agaknya amat membenci Ayah kandungku sehingga setiap kali aku bertanya, dia marah-marah dan bahkan pernah menamparku karena bertanya tentang itu. Agaknya.... agaknya dia akan sanggup membunuhku kalau aku bertanya terus.” Dan sampai di sini Siok Lan, dara yang biasanya lincah gembira itu kelihatan berduka, bahkan ada air mata menitik turun dari kedua matanya.
Diam-diam Cin Liong merasa kasihan sekali, akan tetapi dia diam saja, masih terheran-heran mendengar cerita yang luar biasa itu. Ibu dara ini, panglima yang pandai dan perkasa itu, ternyata menyimpan rahasia kehidupan yang amat menyedihkan! Siok Lan mengusap air matanya, berhenti menangis, kemudian menarik napas panjang berulang-ulang.
“Liong-ko, betapa inginku pertemuan antara kita tidak terjadi di tempat ini, pada waktu perang seperti ini. Ahhh, betapa akan senangnya duduk bercakap-cakap denganmu di tempat ini kalau tidak ada perang di situ, kalau keadaan tenteram dan damai. Akan tetapi.... betapa pun juga.... oleh karena adanya perang inilah, maka kita dapat saling bertemu.”
Cin Liong diam saja, tidak tahu harus mengatakan apa dan dia pun tidak tahu mengapa dara itu mengeluarkan ucapan seperti itu.
“Liong-ko, di mana adanya Ayah Bundamu?”
Pertanyaan tiba-tiba ini mengejutkan Cin Liong juga, akan tetapi dengan sikap tenang dia menjawab, “Mereka tinggal jauh di utara, Nona.”
“Liong-ko, harap kau jangan menyebut Nona padaku, Panggil saja namaku!”
“Akan tetapi, Nona....”
“Apakah engkau tidak mau menganggap aku sebagai seorang.... sahabat baikmu?” bertanya demikian, dara itu mengangkat muka dan menatap wajah Cin Liong dengan sepasang mata yang tajam berseri. Akhirnya Cin Liong menunduk dan mengangguk.
“Baiklah, Lan-moi (Adik Lan). Engkau sungguh baik sekali.”
“Bukan aku, melainkan engkaulah yang baik sekali, Liong-ko. Aku berhutang budi dan nyawa padamu....”
“Cukuplah itu, harap engkau jangan sebut-sebut lagi soal itu. Engkau dan Ibumu telah menerimaku di sini dengan baik sekali, malah akulah yang harus malu....“ Cin Liong teringat betapa kehadirannya itu adalah sebagai mata-mata padahal dara ini demikian baik kepadanya. Nampak makin jelaslah olehnya betapa keji dan kejamnya perang!
“Akan tetapi, peristiwa itu tidak akan terlupakan olehku selama hidup, Liong-ko. Dan.... kalung itu.... apakah masih kau simpan?”
Otomatis tangan kiri Cin Liong meraih ke lehernya, dan gerakan ini saja membuat Siok Lan merasa girang sekali dan dia yakin bahwa kalung itu masih dipakai oleh pemuda ini, maka ia lalu melanjutkan kata-katanya. “Terima kasih jika masih kau simpan. Liong-ko, ketahuilah jika aku.... aku memberikan kalung itu.... dengan sepenuh hati.... kalung itu pemberian Ibu dan.... mewakili diriku....” Tiba-tiba dia menunduk dan mukanya menjadi merah sekali.
Cin Liong juga dapat merasakan kejanggalan kata-kata ini dan makna mendalam yang dikandungnya, maka dia pun tiba-tiba merasa jengah dan malu. Sejenak mereka berdua yang duduk berhadapan itu tidak mengeluarkan kata-kata, keduanya lebih banyak menunduk dan kalau kebetulan saling pandang, lalu tersenyum canggung! Hati Cin Liong tergetar dan tertarik.
Dara ini memang memiliki daya tarik yang kuat sekali, akan tetapi selama ini, biar pun bergaul dengan akrab, dia tidak merasakan daya tarik ini karena seluruh perhatiannya tercurah kepada tugasnya. Kini baru dia merasakan daya tarik itu yang membuat dia ingin sekali memandang wajah itu dan menikmati kejelitaannya, ingin sekali bersikap dan berbicara manis, ingin sekali menyentuh dan merangkul mesra. Akan tetapi Cin Liong masih ingat akan kedudukan dan tugasnya, maka dia mengeraskan hatinya dan akhirnya dia bangkit berdiri. Siok Lan juga ikut bangkit dan memandang heran.
“Nona.... eh, Adik Siok Lan, marilah kita pulang. Ibumu tentu akan mencarimu, dan tidak baik bagimu kalau berlama-lama kita duduk berdua saja di tempat ini.”
Dara itu mengerutkan alisnya dan sinar matanya mengandung kekerasan. “Liong-ko, mengapa tidak baik bagiku? Aku tidak peduli dengan orang lain, dan Ibu tentu tidak akan melarang kalau aku berdua di sini bersamamu.”
Cin Liong tersenyum. Dalam marahnya, dara itu bahkan nampak semakin cantik! “Syukurlah kalau begitu, Lan-moi. Akan tetapi, akulah yang merasa tidak enak, karena aku adalah seorang tamu yang diterima dengan ramah dan baik, dan aku hanya seorang pemburu miskin biasa, sedangkan kau.... kau puteri panglima....“
“Hussshh, jangan ucapkan lagi kata-kata seperti itu, Liong-ko! Ingat, Ibuku hanya anak seorang pendeta sederhana yang miskin dan bodoh. Dan aku.... hemm, aku bahkan tidak pernah kenal siapa Ayah kandungku! Engkau yang mempunyai Ayah Bunda yang jelas dan terhormat, engkau lebih terhormat dari pada aku.”
Kembali Cin Liong tersenyum. Banyak segi-segi yang baik pada diri dara ini, pikirnya. “Baiklah, Lan-moi. Engkau benar, akan tetapi sudah lama kita di sini, mari kita kembali.”
Tanpa disengaja, tangannya menyentuh tangan dara itu. Perbuatan tidak disengaja oleh Cin Liong ini berakibat besar karena dara itu merasa tangannya dipegang dan dia cepat memegang tangan pemuda itu dan jari-jari tangan mereka saling pegang, kemudian sambil bergandeng tangan mereka menuruni bukit itu. Dua orang muda remaja yang selama hidupnya baru pertama kali ini mendekati lawan jenisnya, merasa betapa ada getaran-getaran halus pada jari tangan mereka, getaran yang timbul dari hati mereka yang berdebar-debar tidak karuan, getaran mesra yang menjalar ke seluruh tubuh, yang membuat mereka kadang-kadang saling pandang, saling senyum tanpa kata-kata.
Namun apa artinya lagi kata-kata dalam keadaan seperti itu? Senyum dan pandang mata ini sudah cukup mengeluarkan seluruh apa yang terkandung dalam perasaan masing-masing, yang belum tentu dapat dilukiskan dengan kata-kata yang betapa indah sekali pun.
Tiba-tiba Cin Liong melepaskan tangannya yang saling bergandengan dengan gadis itu dan Siok Lan juga cepat-cepat agak menjauhkan diri dari pemuda itu ketika dia melihat munculnya Ci Sian di tikungan depan.
“Eh, Enci Lan, kucari engkau ke mana-mana tidak tahunya berada di sini. Hemm, maaf ya, aku mengganggu, ya?” kata dara ini sambil tersenyum menggoda, sungguh pun ada perasaan tidak enak di dalam hatinya, perasaan tidak enak yang dia sendiri tidak tahu mengapa.
“Ahh, ada-ada saja engkau, Sian-moi. Siapa mengganggu siapa? Aku bercakap-cakap dengan.... ehhh, Liong-ko....”
Akan tetapi dia berhenti karena teringat bahwa baru sekarang di depan Ci Sian dia menyebut pemuda itu dengan sebutan koko. Mukanya menjadi merah sekali dan melihat ini, Ci Sian tersenyum walau pun hatinya terasa semakin tidak enak. Mereka bertiga kemudian kembali ke gedung di mana Puteri Nandini sudah menunggu karena memang panglima inilah yang menyuruh Ci Sian untuk pergi mencari Siok Lan dan memanggilnya pulang karena dia perlu untuk bicara.
Setelah tiba di dalam gedung, Siok Lan langsung memasuki kamar ibunya dan di situ dia melihat bahwa ibunya sedang berunding dengan para panglima pembantu ibunya, dan sikap mereka menunjukkan bahwa tentu terjadi sesuatu yang gawat.
“Ibu, ada apakah?” tanyanya.
“Duduklah. Dengar baik-baik, Siok Lan. Menurut para penyelidik, ada sesuatu yang aneh sedang direncanakan oleh pihak musuh, entah apa. Ada pergerakan dari pasukan-pasukan Tibet yang telah kita kalahkan. Kita tidak percaya bahwa pasukan Tibet akan berani bergerak menyerang Lhagat tanpa suatu rencana tertentu. Agaknya mereka merahasiakan rencana itu dan keadaan pasukan musuh yang terkepung juga nampak tenang-tenang saja. Ketenangan inilah yang membuat hatiku tidak enak. Maka, siapa pun harus kita curigai. Engkau bertugas selain menjaga keamanan gedung ini, juga untuk memata-matai dua orang tamu kita itu.”
“Apa? Ibu maksudkan Adik Sian dan Liong-koko?”
Mendengar puterinya menyebut koko pada pemuda itu. Puteri Nandini memandangnya dengan sepasang mata penuh selidik dan mata ibu yang tajam ini melihat betapa ada warna kemerahan pada kedua pipi puterinya.
“Ya, dua orang itu adalah orang-orang asing bagi kita. Biar pun sampai kini tidak ada gerakan-gerakan dan bukti-bukti yang menjadikan kecurigaan kita, namun kita harus tetap waspada. Dan karena mereka adalah teman-temanmu, maka sebaiknya engkau yang menyelidiki dan membayangi keadaan mereka agar tidak terlalu mencolok.”
Siok Lan tidak dapat membantah, apalagi di situ hadir banyak pembantu ibunya, maka dia cepat mengangguk dan menjawab, “Baiklah, Ibu.”
Mereka lalu berunding dan Sang Panglima Wanita itu lalu membagi-bagi tugas untuk memperketat penjagaan dan bahkan memutuskan bahwa kalau sampai dua hari lagi pasukan yang terkepung tidak menyerah dan tidak ada tanda-tanda kedatangan orang-orang penting dari kota raja, maka lembah itu akan digempur dan pasukan terkurung itu akan dipaksa untuk menyerah!
Malam itu tiada bulan nampak di langit. Hanya ada bintang-bintang gemerlapan di langit hitam, seperti ratna mutu manikam di atas kain beludru hitam, berkilauan cemerlang, berkedip-kedip seperti ada selaksa bidadari bermain mata kepada manusia di atas bumi. Bima sakti nampak nyata, dibentuk oleh kelompok bintang-bintang yang berderet memanjang putih, sehingga nampaknya seperti awan putih cemerlang, membentuk bayang-bayang hitam yang tetap dan dalam.
Pada malam hari yang indah dan kelihatan penuh ketenteraman itu, dengan angin malam lembut bersilir, orang-orang di Lhagat dan sekitarnya tiba-tiba dikejutkan oleh sinar yang berluncuran dari bawah. Sinar-sinar yang seperti kembang api meluncur tinggi ke atas, berwarna hijau, kuning dan merah. Mula-mula warna merah yang lebih dulu meluncur dari lembah bukit di mana pasukan Ceng terkepung, lalu disusul oleh luncuran warna-warna lain dari bukit-bukit dan bahkan dari dalam kota Lhagat!
Selagi orang-orang menonton kembang api itu dengan heran, kagum hati bertanya-tanya siapa yang meluncurkan ke atas dan apa artinya itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari atas puncak bukit di mana pasukan musuh terkepung, suara ledakan keras disusul gemuruhnya air membanjir! Itulah permulaan dari gerakan yang dilakukan oleh Panglima Kao Kok Han bersama pasukannya yang terkepung, sesuai dengan siasat yang telah diatur oleh Panglima Kao Cin Liong!
Mula-mula saling diluncurkan anak-anak panah api ke atas oleh para pasukan yang terkepung, yang disambut oleh pasukan-pasukan Tibet, kemudian disambut pula oleh para anggota pasukan gerilya yang telah menyelundup ke dalam kota Lhagat. Lalu, Panglima Kao Kok Han, yaitu paman dari Kao Cin Liong, memimpin anak buahnya membobolkan bendungan air yang telah merupakan danau kecil di puncak karena mereka membendung air yang keluar dari sumber sehingga terkumpul amat banyaknya. Jebolnya bendungan ini tentu saja membuat air yang amat banyak itu membanjir ke bawah dengan derasnya, kemudian langsung menyerbu ke arah pasukan Nepal yang mengepung di bagian barat lembah bukit itu!
Tentu saja pasukan Nepal di sebelah barat bukit ini menjadi kaget, panik dan kacau balau diserang oleh banjir yang datang dari puncak bukit itu. Mereka tidak tahu apa yang terjadi sehingga ada air yang mendadak menyerbu mereka dari atas, menyeret perkemahan mereka, dan membunuh banyak orang serta menyeret orang-orang itu, menghempaskan mereka kepada batu-batu dan pohon-pohon. Mereka masih belum menyangka bahwa ini adalah perbuatan musuh, dan kepanikan menjadi semakin hebat ketika tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan hujan anak panah datang dari sebelah luar kepungan yang merobohkan lebih banyak orang lagi karena mereka tidak sempat berlindung dan masih panik oleh serangan air bah dari atas bukit.
Kepanikan ini menjadi-jadi ketika pasukan dari atas bukit yang terkepung itu tiba-tiba menyerbu turun, mengikuti air yang makin menipis. Pasukan Nepal yang mengepung segera memusatkan kekuatan di tempat itu, akan tetapi karena mereka sudah kena gempuran air dan pasukan Tibet yang menghujankan anak panah tadi, mereka mengira bahwa tentu pasukan Ceng-tiauw memperoleh bantuan barisan Ceng-tiauw yang besar, dan mereka sudah terlalu panik sehingga mereka melakukan perlawanan dengan hati takut.
Makin banyaklah pasukan-pasukan Tibet muncul dari berbagai jurusan, menghadang bagian pasukan Nepal yang tadinya mengepung dari arah lain dan kini berdatangan ke tempat itu untuk membantu kawan-kawan mereka. Pasukan-pasukan gerilya Tibet ini memotong-motong pasukan itu dan terjadilah pertempuran di sana-sini membuat pasukan Nepal yang mengepung itu terpecah-pecah dan kacau-balau.
Mereka mencoba untuk mempertahankan diri, namun akhirnya, menjelang fajar mereka semua terpaksa harus mundur dan memasuki kota Lhagat setelah mereka kehilangan lebih dari separuh jumlah pasukan yang sebagian tewas atau roboh oleh air bah, sebagian pula oleh hujan anak panah dan yang terbesar karena pertempuran yang berat sebelah itu karena kalau pihak Nepal bertempur dengan hati panik dan ketakutan, adalah pihak tentara Ceng-tiauw yang ingin bebas dari kepungan dan tentara Tibet yang ingin mengusir musuh itu bertempur dengan penuh semangat!
Panglima wanita Nandini dengan pakaian perang ternoda banyak darah musuh yang dirobohkannya dalam pertempuran tengah malam itu, dan muka serta leher basah oleh peluh terpaksa memimpin sisa pasukan itu memasuki Lhagat. Siok Lan yang bertugas menjaga kota itu menyambut bersama para pengawalnya dan terkejut melihat keadaan ibunya. Tanpa banyak tanya pun dia tahu bahwa pasukan Ibunya kalah dan kini sisa pasukan itu mundur memasuki Lhagat.
Akan tetapi, baru saja pasukan yang sudah patah semangat itu memasuki kota Lhagat, nampak kebakaran terjadi di semua penjuru kota itu! Orang-orang berteriak-teriak kebakaran dan keadaan menjadi semakin panik ketika dengan marah sekali Panglima Nandini memerintahkan para pembantunya untuk memeriksa kebakaran-kebakaran itu dan memadamkannya.
“Di mana Ci Sian? Di mana Liong Cin?” Panglima itu membentak dengan muka agak pucat kepada Siok Lan.
Siok Lan memandang ibunya, wajahnya juga menjadi pucat dan dia berkata dengan hati tegang. “Tadi mereka membantuku melakukan perondaan, bahkan aku memberi tugas kepada mereka berdua untuk menjaga di sekitar penjara agar jangan sampai tawanan memberontak dan membobol penjara dalam keadaan seperti ini, Ibu.”
Panglima itu mengangguk-angguk, tetapi tetap saja alisnya berkerut karena dia merasa ragu-ragu. Dia sudah memperoleh pukulan hebat dan sama sekali tidak disangkanya bahwa musuh demikian lihai menjalankan siasatnya sehingga dia benar-benar tak dapat menduga sama sekali bahwa pasukan yang terkepung itu akan mampu meloloskan diri. Tentu ada pengaturnya semua siasat itu, dan pengaturnya tentulah jenderal sakti yang dikabarkan orang datang dari kota raja dan yang kabarnya amat lihai itu. Kini baru dia tahu bahwa berita itu tidak berlebih-lebihan, bahwa di pihak musuh terdapat seorang ahli siasat perang yang hebat.
“Celaka, Li-ciangkun..!” Tiba-tiba seorang penjaga dengan tubuh luka-luka parah datang berlari dan langsung roboh di depan kaki panglima itu.
Biar pun orang itu sudah terluka parah, akan tetapi melihat orang itu dalam keadaan ketakutan seperti itu, Panglima Nandini membentak, “Pengecut! Bangun dan ceritakan apa yang terjadi!” Suara panglima ini penuh kemarahan.
“Penjara.... bobol dan semua tawanan.... lolos.... kami tak dapat menahan mereka....“
“Ahh! Bagaimana terjadinya? Siapa yang berkhianat?”
“Mereka.... mereka.... seorang pemuda dan gadis.... tamu Li-ciangkun....”
“Keparat!” Panglima itu membentak marah dan sekali meloncat dia telah berada di atas kudanya kemudian melarikan kudanya itu ke arah penjara, diikuti oleh Siok Lan yang wajahnya menjadi pucat sekali dan ada dua butir air mata meloncat turun ke atas pipinya. Hampir dia tidak percaya, Liong Cin seorang pengkhianat? Seorang mata-mata musuh yang meloloskan para tawanan bersama Ci Sian? Dan Ci Sian....? Ahhh, dia hampir tidak dapat mempercayai hal ini.
Akan tetapi para tawanan memang telah lolos keluar dan terjadilah pertempuran di mana-mana antara para tawanan dan para penjaga, juga di antara para tawanan itu terdapat beberapa orang yang lihai berbangsa Tibet dan Han, dan mereka ini bukanlah tawanan yang lolos, melainkan tenaga-tenaga baru yang entah muncul dari mana!
Puteri Nandini dengan marah lalu mengamuk dan merobohkan empat orang tawanan yang tidak dapat menahan sambaran pedangnya. Akan tetapi pada saat itu terdengar tambur tanda bahaya dari menara dan ternyata pasukan musuh telah mulai menyerang pintu-pintu gerbang kota Lhagat! Hal ini tentu saja mengejutkan Nandini dan terpaksa dia meninggalkan tempat itu untuk pergi ke menara. Penyerbuan musuh dari luar lebih penting dari pada pemberontakan para tawanan itu. Siok Lan juga mengikuti ibunya karena bagaimana pun juga, dalam keadaan yang genting dan gawat itu, dia harus selalu mendekati ibunya untuk membantu ibunya.
Dan memang pasukan Ceng-tiauw yang dibantu oleh banyak sekali pasukan Tibet telah mulai menyerbu benteng tembok Lhagat dari pelbagai jurusan! Serbuan itu dimulai pagi sekali ketika cuaca masih gelap. Tentu saja pasukan-pasukan Nepal menjadi semakin panik karena mereka baru saja mengalami kekalahan dan gempuran hebat. Dalam keadaan lelah lahir batin mereka kini terpaksa dikerahkan untuk mempertahankan kota itu dari kepungan musuh. Celakanya, dari sebelah dalam juga terjadi serbuan-serbuan, pembakaran-pembakaran, yang amat menggelisahkan para pasukan itu.
Terutama sekali Puteri Nandini yang menerima laporan bertubi-tubi tentang adanya serbuan-serbuan pada gedung-gedung pemerintah, pembakaran-pembakaran, bahkan gedung tempat tinggalnya tidak terkecuali mengalami penyerbuan dan para pengawal gedung itu tewas semua. Mendengar laporan-laporan ini, maklumlah Sang Puteri yang menjadi panglima ini bahwa kota Lhagat ternyata penuh dengan mata-mata yang kini dibantu oleh para tawanan yang lolos untuk mengacaukan kota. Kalau kekacauan di sebelah dalam ini tak segera dibasmi, tentu akan membahayakan pertahanan kota dari serbuan musuh di luar.
Oleh karena itu, sambil mengajak puterinya dia lalu turun dari menara, menyerahkan pengaturan penjagaan pintu-pintu gerbang kepada komandannya dan dia bersama puterinya lalu menuju ke tempat-tempat terjadinya penyerbuan para pengacau itu. Akan tetapi para pengacau itu bergerak secara bergerilya. Kalau pihak penjaga terlampau kuat mereka menghilang, menyelinap di antara rumah-rumah penduduk dan membakar atau mengacau di bagian lain, dan tujuan mereka agaknya selain untuk mengacaukan penjagaan juga untuk mendekati pintu-pintu gerbang karena mereka bertugas untuk membobolkan pintu itu dari sebelah dalam.
Dirongrong seperti ini dari dalam, para penjaga Nepal menjadi semakin panik dan lelah sekali dan akhirnya, pintu gerbang sebelah selatan bobol dan dengan suara hiruk-pikuk pasukan Kerajaan Ceng-tiauw bersama pasukan Tibet menyerbu masuk bagaikan air bah terlepas dari bendungan yang pecah. Keadaan dalam kota Lhagat menjadi semakin kacau dan bersama dengan terbitnya matahari, pasukan Ceng dan Tibet yang terbagi bagi menjadi beberapa pasukan itu menyerbu dari semua pintu gerbang yang akhirnya dapat dibobolkan.
Terjadilah pertempuran-pertempuran di dalam kota itu dengan hebatnya. Bala tentara Nepal kehilangan kepercayaan diri, dan para pemimpin mereka tak dapat lagi memberi komando secara langsung karena pertempuran telah pecah di mana-mana memenuhi kota itu. Penduduk yang memang banyak bersimpati kepada Tibet, sekarang keluar dan membantu pihak Tibet untuk menggempur pasukan Nepal yang mereka benci! Dan di dalam pasukan mata-mata yang menyelinap di dalam kota dan tadi telah melakukan pembakaran-pembakaran terdapat cukup banyak orang-orang pandai yang mengamuk bagaikan harimau-harimau buas, membuat pasukan Nepal menjadi makin gelisah.
Di antara pertempuran-pertempuran yang pecah di mana-mana secara kacau-balau itu, pertempuran-pertempuran jarak dekat yang amat seru, nampak Panglima Nandini dan Siok Lan mengamuk bahu membahu. Dengan pedang di tangan, ibu dan puterinya ini mengamuk, bukan lagi mempertahankan kota atau demi pasukan Nepal, melainkan untuk mempertahankan diri yang dikepung dan dikeroyok!
Sementara itu, yang membongkar penjara adalah Cin Liong sendiri dibantu oleh Ci Sian. Dara itu ikut membongkar penjara karena dia hendak mencari Lauw-piauwsu yang dia tahu berada di antara mereka yang menjadi tawanan. Setelah penjara terbongkar dan semua tawanan menyerbu keluar, Ci Sian seorang diri memasuki penjara dan bertanya-tanya kepada para tawanan yang lolos itu di mana adanya Lauw-piauwsu. Para tawanan itu yang menjadi gembira sekali memberi tahu bahwa Lauw-piauwsu dalam keadaan sakit payah dan mendengar ini Ci Sian segera berlari-lari menuju ke kamar tahanan orang tua itu.
Akhirnya dia melihat laki-laki tua itu rebah di atas lantai beralaskan rumput kering dalam keadaan mengenaskan sekali. Biar pun selama bertahun-tahun Ci Sian tidak bertemu dengan orang ini dan keadaan Lauw-piauwsu amat menyedihkan, namun Ci Sian segera mengenalnya dan cepat dia berlutut di atas lantai dekat tubuh yang kurus kering itu. Tubuh itu kurus sekali, dengan muka pucat dan mata sayu, napasnya tinggal satu-satu dan tubuhnya amat panas. Kiranya kakek itu diserang demam hebat. Sungguh menyedihkan sekali keadaan Toat-beng Hui-to Lauw Sek yang dulunya adalah seorang kakek yang demikian gagahnya itu!
“Paman Lauw....,” Ci Sian memanggil dengan hati terharu melihat keadaan orang ini.
Lauw Sek membuka matanya yang tadinya dia pejamkan, seolah-olah dalam keadaan mata terbuka sayu tadi dia sama sekali tidak melihat gadis itu memasuki kamarnya setelah mematahkan rantai yang mengunci daun pintu.
Sejenak mata yang sudah kelihatan tidak bersemangat itu memandang, akan tetapi agaknya dia tidak ingat lagi kepada Ci Sian. “Siapa.... siapa engkau....?”
“Paman Lauw, lupakah engkau kepadaku? Aku Ci Sian....”
“Ci.... Sian....?”
“Aku Ci Sian atau.... Siauw Goat, cucu dari Kakek Kun, lupakah kau, Paman?”
“Ahhh....” Sejenak mata itu bersinar dan agaknya dia teringat. “Engkau.... ahhh, Nona.... aku.... aku.... amat payah....”
“Paman, tolong kau beritahukan aku menurut penuturan Kakek Kun dahulu itu, siapakah adanya Ayah kandungku, Ibu kandungku, dan di mana aku dapat mencari mereka?”
“Ahhh.... aku.... aku tidak kuat lagi membawamu ke sana....”
“Aku akan mencari sendiri, Paman. Harap kau katakan saja di mana mereka dan siapa mereka itu.”
Lauw Sek terengah-engah, agaknya pertemuannya dengan gadis yang sama sekali tak disangka-sangkanya ini, gadis yang tadinya disangkanya sudah tewas, mendatangkan ketegangan yang menambah berat penyakitnya.
“Paman.... Paman.... tolonglah, kuatkan dirimu, dan beritahu aku....“ Ci Sian memegang pundak orang itu.
Mata yang sudah terpejam itu terbuka lagi. “Ayahmu.... Bu-taihiap.... petualang besar.... Ibu.... Ibumu.... telah meninggal.... kau disia-siakan dan ditinggal.... sebab dia sudah mempunyai isteri lain lagi.... Dia.... dia di....”
Kakek itu terkulai lemas dan Ci Sian cepat meletakkan telapak tangannya pada dada orang tua itu untuk menyalurkan tenaga sinkang dan membantu peredaran darahnya. Mata itu dibuka lagi, nampaknya terkejut dan heran menyaksikan kelihaian dara itu.
“Di mana dia, Paman? Di mana Ayah?”
“Di puncak.... Merak Emas.... di Kongmaa La.... Kakekmu.... dia.... Kiu-bwe Sin-eng Bu Thai Kun.... Ayahmu.... Ayahmu....” Kakek itu mengeluh, terkulai dan Ci Sian menarik kembali tangannya.
Kakek itu telah mengakhiri hidupnya, tanpa sempat memberitahukan nama ayahnya. Dia hanya tahu bahwa ayahnya disebut Bu-taihiap, dan hal ini amat mendatangkan rasa nyeri di dalam dadanya. Teringatlah dia akan sikap dan ucapan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang pernah berhubungan dengan seorang pendekar yang disebut Bu-taihiap! Dan juga menurut penuturan mendiang Lauw Sek, ayahnya seorang petualang besar, dan Ibunya sudah meninggal dunia pula. Bahkan dia telah ditinggalkan oleh ayahnya itu, disia-siakan!
Ci Sian mengepal tinjunya. Teringat dia akan pesan kakeknya bahwa dia harus bertemu dengan ayahnya yang bertanggung jawab padanya. Sekarang, ternyata ayahnya adalah seorang laki-laki yang tidak bertanggung jawab, seorang petualang besar, agaknya gila perempuan karena buktinya, bersama isterinya, dan entah isteri yang mana, entah ibu kandungnya atau bukan, pernah datang menemui Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang cantik dan ayah kandungnya itu berjinah dengan Tang Cun Ciu. Betapa memalukan dan rendah! Ayahnya seperti itu! Apa pula perlunya dia mencari ayahnya jauh-jauh?
Dia lalu meninggalkan jenazah itu setelah menggerakkan bibir mengucapkan terima kasih kepada mendiang Lauw-piauwsu, kemudian berlari keluar dari penjara. Di mana-mana terjadi pertempuran dan malam telah terganti pagi, cuaca sudah tidak gelap lagi. Matahari telah terbit disambut oleh aliran darah dan teriakan-teriakan kematian, mayat berserak-serakan, dan di antara suara beradunya senjata terdengar nyaring pekik-pekik kemenangan dan jerit-jerit kesakitan.
Melihat keadaan ini, tahulah Ci Sian bala tentara Ceng sudah berhasil menyerbu dan memasuki kota Lhagat, dibantu oleh pasukan-pasukan Tibet. Maka diam-diam dia merasa kagum bukan main kepada Cin Liong, karena dia tahu bahwa pemuda itulah yang mengatur segala-galanya. Dia lalu teringat kepada Siok Lan dan mengkhawatirkan keselamatan sahabat baiknya itu. Maka dia kemudian mencari-cari, tidak mempedulikan pertempuran yang terjadi di sekelilingnya.
Akhirnya dia dapat menemukan ibu dan anak itu yang sedang mengamuk, dikeroyok oleh kurang lebih dua puluh orang tentara dan perwira yang rata-rata mempunyai kepandaian silat tangguh. Puteri Nandini yang masih berpakaian perang itu kelihatan telah lelah sekali, bahkan pundaknya telah luka berdarah, sedangkan Siok Lan sudah terpincang-pincang karena kaki kirinya terluka. Namun dua orang wanita itu dengan gagahnya, agaknya mengambil keputusan tidak akan sudi menyerah selama masih mampu melawan dan akan melawan sampai titik darah terakhir.
Melihat ini, hati Ci Sian menjadi tidak tega. Dia telah mengenal Siok Lan yang amat baik kepadanya, dan tahu akan kegagahan dara itu, maka melihat sahabat itu dikeroyok, mana mungkin dia mendiamkannya saja?
“Lan-cici, jangan khawatir, aku membantumu!” bentaknya dan dia pun meloncat ke dalam kalangan pertempuran.
Begitu dia maju menubruk, dia telah berhasil menampar dari samping yang mengenai leher seorang pengeroyok. Orang itu berteriak kaget dan jatuh terpelanting tak dapat bangkit kembali, pedangnya telah pindah ke tangan Ci Sian!
“Sian-moi....!” Siok Lan berteriak girang bukan main, bukan girang oleh karena dibantu semata, melainkan girang dan lega melihat bahwa gadis yang oleh ibunya disangka memberontak dan membantu musuh, berkhianat itu, ternyata tidak demikian dan kini dibuktikannya dengan membantu dia dan Ibunya!
Juga Puteri Nandini terkejut, akan tetapi diam-diam girang juga bahwa ternyata dara yang menjadi sahabat puterinya itu bukanlah pengkhianat, melainkan seorang sahabat sejati. Maka dia pun cepat memutar pedangnya dan merobohkan seorang pengeroyok pula.
Akan tetapi kini kepungan makin ketat dengan datangnya pasukan baru dan jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang! Tentu saja tiga orang wanita itu, betapa pun lihai mereka, mulai terdesak dan kepungan semakin sempit sehingga gerakan-gerakan mereka semakin tidak leluasa.
“Adik Sian, cepat panggil ular-ularmu!” Siok Lan berseru, melihat keadaan mereka yang terancam.
“Ahhh, mana mungkin, Enci Lan? Kota penuh orang yang bertempur, ular-ular itu tidak berani muncul!” jawab Ci Sian sambil memutar pedang rampasannya tadi.
Kini dia tak lagi dapat menyerang lawan, melainkan hanya membela diri dan menangkis semua sanjata para pengeroyok yang datang menyambar bagaikan hujan. Demikian pula Siok Lan dan ibunya yang hanya mampu menangkis. Mereka bertiga kini saling membelakangi, membentuk posisi segi tiga dan menahan serbuan senjata-senjata para pengeroyok dari luar. Namun keadaan mereka sungguh sudah sangat terdesak dan mudah dibayangkan bahwa tak lama lagi akhirnya mereka tentu akan roboh juga.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan tiga orang wanita itu, tiba-tiba terdengar bentakan halus, namun nyaring dan penuh wibawa. “Tahan semua senjata! Hentikan pengeroyokan!”
Luar biasa sekali bentakan ini, sebab selain dapat menembus semua suara kegaduhan, juga semua pengeroyok itu seketika berhenti, mundur dan berdiri dengan amat hormat, memberi jalan kepada seorang pemuda yang mengeluarkan perintah yang amat ditaati itu. Panglima Nandini dan Siok Lan memandang kepada orang itu dan mata mereka terbelalak, karena mereka mengenal pemuda yang berpakaian jenderal amat indah dan mentereng ini.
“Liong-ko....!” Siok Lan berseru kaget sekali karena jenderal muda yang gagah itu bukan lain adalah Liong Cin.
“Hemm…, kiranya Liong Cin adalah jenderal sakti yang dikabarkan orang itu?” Puteri Nandini juga berkata dengan kaget dan penasaran.
Akan tetapi Cin Liong yang begitu masuk memandang kepada Ci Sian, berkata kepada dara itu dengan alis berkerut, “Ci Sian, engkau membantu mereka?”
Ditanya dengan suara penuh teguran itu, Ci Sian menegakkan kepalanya, sepasang matanya bersinar marah dan dia menjawab gagah, “Tentu saja! Aku diterima dengan baik di sini, Enci Siok Lan adalah sahabatku, melihat dia dan Ibunya terancam bahaya, tentu saja aku membantu dan membela mereka. Aku bukan seorang yang tidak kenal budi!”
Mendengar jawaban ini, Cin Liong menahan senyumnya dan dia memandang kepada Siok Lan yang masih terbelalak. Ketika dara ini melihat betapa sahabatnya itu agaknya sama sekali tidak heran melihat keadaan Liong Cin yang muncul sebagai jenderal, dia lalu berkata, “Dia.... dia.... jenderal musuh....?”
“Ya, Enci Lan, jangan kaget. Dialah jenderal yang dikabarkan orang itu, jenderal muda sakti yang datang menyelundup dan kalian malah telah menerimanya sebagai tamu dan sahabat! Dan namanya bukanlah Liong Cin, melainkan Kao Cin Liong!” jawab Ci Sian yang tahu bahwa keadaan panglima muda itu tidak perlu lagi disembunyikan sekarang.
Mendengar bahwa nama yang dikenalnya itu hanya nama palsu, atau nama asli yang dibalikkan saja, Siok Lan memandang kepada panglima muda itu dengan heran, akan tetapi ibunya, Puteri Nandini menjadi terkejut bukan main.
“She Kao?” Panglima wanita itu berseru. “Apakah hubungannya dengan Jenderal Kao Liang?”
Cin Liong mengangguk kepada puteri peranakan Nepal yang gagah itu. “Mendiang Jenderal Kao Liang adalah Kakekku.”
“Hemm....” Puteri Nandini mengangguk-angguk, tidak penasaran lagi bahwa dia telah dikalahkan oleh jenderal muda ini karena nama Jenderal Kao Liang telah sangat terkenal dan tentu saja cucunya ini pun mewarisi kepandaian yang hebat dari jenderal besar itu. “Jadi kalau tidak salah, Ciangkun adalah putera pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?”
Kembali Cin Liong mengangguk tanpa menjawab oleh karena dia memang tidak ingin memamerkan keadaan keluarganya.
“Setelah kami kalah, apa yang hendak kau lakukan dengan kami?” kini Puteri Nandini bertanya, dalam suaranya mengandung tantangan.
“Li-ciangkun, dan.... Nona Siok Lan, tepat seperti yang dikatakan oleh Ci Sian tadi, kami bukanlah orang-orang yang tidak mengenal budi. Oleh karena itu, sebagai pembalasan budi, silakan kalian pergi dengan aman.”
“Apa? Engkau berani membebaskan kami?” Puteri Nandini berteriak kaget dan juga heran. Dia adalah seorang panglima musuh yang telah kalah, dan sekarang dibebaskan begitu saja oleh panglima ini!
“Li-ciangkun hanya seorang petugas, bukan biang keladi peperangan ini. Silakan!”
“Mari, Anakku!” kata Nandini sambil menarik tangan Siok Lan. Dara ini masih menoleh dan memandang kepada Cin Liong, mukanya pucat dan sepasang matanya basah.
“Selamat jalan, Nona, mudah-mudahan kita dapat saling bertemu kembali dan maafkan semua kesalahanku,” kata Cin Liong sambil menjura ke arah Siok Lan yang terisak dan menutupi mukanya.
“Ci Sian, engkau sahabat baik kami, apakah engkau tidak mau pergi bersama kami?” Puteri Nandini mengajak Ci Sian akan tetapi dara ini menggeleng kepala dengan sikap yang keras. Kembali ada rasa tidak enak di hatinya menyaksikan sikap Cin Liong dan Siok Lan.
“Tidak, Bibi, aku mau pergi sendiri, aku mempunyai urusan pribadi!” katanya dan tanpa banyak cakap lagi, bahkan tanpa menoleh kepada Cin Liong, dia lalu meloncat dan pergi dari tempat itu.
“Adik Sian....!” Terdengar panggilan Siok Lan dengan suara mengandung isak.
Ci Sian berhenti, menoleh dan berkata kepada sahabatnya itu, “Sampai jumpa, Enci Lan!” Dan dia pun melanjutkan larinya tanpa mempedulikan lagi.
“Mari, Siok Lan!” Puteri Nandini menarik tangan puterinya, akan tetapi Siok Lan masih menoleh dan memandang kepada Cin Liong. Akhirnya, dengan menahan isak, dia pun mengikuti ibunya lari pergi dari tempat itu, diikuti dan dikawal oleh pasukan pengawal atas perintah Cin Liong agar ibu dan anak itu tidak diganggu dan dibiarkan lolos dari kota Lhagat di mana masih terjadi pertempuran-pertempuran dengan sisa pasukan Nepal yang masih melakukan perlawanan. Sebagian besar pasukan Nepal sudah roboh atau melarikan diri.
Setelah Panglima Nandini dan puterinya pergi lolos dari Lhagat, pertempuran pun tak lama kemudian berhenti karena pasukan Nepal sudah kehilangan semangat dan keberanian. Sebagian dari mereka melarikan diri atau membuang senjata dan menaluk. Para taklukan ini oleh Cin Liong diserahkan kepada para pimpinan pasukan Tibet untuk dijadikan tawanan, kemudian Cin Liong yang menduduki gedung bekas tempat tinggal Puteri Nandini mengumpulkan para pembantunya. Di antara mereka itu terdapat pula Wan Tek Hoat yang berjasa besar ketika membantu pasukan membobolkan kepungan karena pendekar sinting ini yang mengamuk sehingga membuat pasukan kocar-kacir.
“Paman, saya telah menerima perintah untuk melanjutkan gerakan ini ke Nepal, untuk menghajar pemerintah Nepal yang telah berani menyerang dan memasuki wilayah Tibet. Saya sedang minta bantuan pasukan dari kerajaan untuk memperkuat barisan. Harap Paman sudi membantu kami.”
Akan tetapi Tek Hoat menggeleng kepala. “Aku tidak mau lewat Bhutan, aku tidak mau perang, aku tidak bisa ikut.”
Cin Liong hanya menarik napas panjang. Dia merasa kasihan sekali kepada pamannya yang gagah perkasa ini dan melihat keadaannya seperti jembel sinting ini dia merasa kasihan sekali.
“Kalau begitu sebaiknya Paman mengunjungi orang tua saya, Ibu tentu akan senang sekali bertemu dengan Paman.”
Cin Liong lalu memberi bekal, kuda, pakaian dan uang secukupnya. Akan tetapi Tek Hoat tertawa bergelak melihat pemberian ini.
“Jenderal muda, kau kira aku masih membutuhkan semua itu? Bukan itu yang sekarang kubutuhkan, sama sekali bukan....” Dia masih tertawa ketika berlari pergi meninggalkan Cin Liong yang menjadi bengong.
Jenderal muda ini lalu menggeleng kepala dan menarik napas panjang berkali-kali. Dia sudah banyak bertemu orang-orang pandai di dunia kang-ouw yang memang wataknya aneh-aneh, dan pamannya itu mempunyai watak yang lebih aneh lagi…..
********************
“Siok Lan, diamlah jangan menangis lagi!” Nandini membentak dengan marah.
Di sepanjang perjalanan puterinya hanya menangis saja, menangis demikian sedihnya. Semenjak kecil, puterinya itu adalah seorang anak yang tabah dan tidak cengeng, bahkan belum pernah dia melihat Siok Lan menangis seperti sekarang ini, menangis demikian sedihnya! Dikiranya bahwa anaknya itu menangis karena kekalahannya yang dideritanya.
“Di dalam perang, kalah menang adalah hal yang lumrah sekali, seperti juga dalam pertempuran dunia persilatan. Harus kita akui bahwa pihak musuh mempunyai seorang ahli yang amat lihai dan siasatnya itu sama sekali tidak pernah kusangka-sangka dan kuperhitungkan. Kita sudah kalah, mengapa harus ditangisi? Biasanya engkau bukanlah seorang anak cengeng!”
Siok Lan tidak menjawab akan tetapi tangisnya semakin sedih.
“Semula memang aku sudah menduga bahwa tidak mungkin bala tentara Nepal akan mampu mengalahkan bala tentara Kerajaan Ceng-tiauw yang amat kuat. Semua adalah kesalahan koksu jahat itu yang membikin Nepal bermusuhan dengan Kerajaan Ceng. Dan kekalahanku ini membuat aku tidak ada muka untuk kembali ke Nepal....! Ahh, kita hanya hidup berdua, Anakku, kita tidak mempunyai apa-apa di Nepal, maka jangan kau terlalu menyusahkan kekalahan ini.”
“Bukan.... bukan itu, Ibu,” kata Siok Lan yang berhenti berjalan dan dara ini duduk di tepi jalan, di antara sebuah batu besar dan kembali air matanya jatuh berderai.
Nandini terkejut dan memandang penuh selidik. “Kalau bukan karena kekalahan itu, habis mengapa kau menangis dan begini berduka?”
“Ibu.... dia ternyata jenderal musuh.... hu-hu-huuuuhhh....“ dan kini Siok Lan menangis sesenggukan dan menubruk kaki ibunya, berlutut sambil menangis.
Nandini terkejut dan sejenak dia termenung, menunduk, kemudian memandang kepala anaknya yang menangis di depan kakinya. Lalu dia mengangkat bangun anaknya itu setengah paksa, merangkul dan membawanya duduk kembali di atas batu, membiarkan anaknya itu menangis di atas dadanya. Puteri itu memejamkan matanya dan tiba-tiba terbayanglah semua pengalamannya di waktu dahulu, di waktu dia masih muda, masih sebaya dengan puterinya ini.
Nandini adalah puteri seorang pendeta bangsa Nepal yang hidup di atas puncak sebuah bukit yang sunyi. Ayahnya adalah seorang pertapa yang sakti dan oleh ayahnya, dia digembleng dengan ilmu-ilmu ketangkasan dan ilmu silat. Pada suatu hari, pada saat Nandini sedang memburu binatang di dalam salah sebuah hutan, dia melihat perampok-perampok sedang merampok seorang Pangeran Nepal.
Nandini menggunakan kepandaiannya menolong pangeran itu, dan Sang Pangeran amat berterima kasih dan sekaligus jatuh cinta kepadanya, lalu melamar Nandini dari tangan ayahnya. Sang pendeta tentu saja merasa terhormat dan menerima lamaran itu dengan girang. Akan tetapi Nandini sendiri merasa berduka karena dia tidak suka kepada pangeran itu.
Biar pun kedudukannya tinggi, sebagai seorang pangeran yang tentu saja terhormat, mulia dan kaya raya, namun pangeran itu sudah berusia kurang lebih empat puluh tahun, berwajah kasar buruk dan kabarnya telah memiliki belasan orang selir. Biar pun dia akan diambil sebagai isteri, bukan selir, namun hatinya tidak senang. Akan tetapi sebagai seorang wanita, tentu saja dia tidak berani menolak kehendak ayahnya dan demikianlah, dia menjadi tunangan pangeran tua itu!
Dan pada suatu hari, beberapa bulan sebelum dia menikah, bertemulah dia dengan pendekar itu di dalam hutan! Seorang pendekar bangsa Han yang masih muda, tampan, sakti sekali, dan di samping itu, pandai merayu hatinya sehingga jatuhlah hati Nandini! Apalagi jika dia membandingkan pendekar muda ini dengan calon suaminya, membuat Nandini kehilangan kesadarannya dan dia menyerahkan dirinya kepada pendekar itu yang memang merayunya. Terjadilah hubungan di antara mereka di dalam hutan itu, hubungan mesra yang kini terbayang oleh sepasang mata yang dipejamkan itu.
Akan tetapi hubungan antara mereka itu akhirnya ketahuan! Ayahnya menjadi marah dan menyerang pendekar itu, tetapi ayahnya sama sekali bukan tandingan pendekar itu dan ayahnya malah tewas dalam penyerangan itu, bukan tewas oleh karena tangan Si Pendekar, tetapi tewas karena serangan jantung karena kemarahannya yang meluap-luap.
Kemudian terjadilah hal yang sangat menyakitkan hatinya. Pendekar itu kemudian pergi meninggalkannya! Meninggalkannya begitu saja, padahal dia sudah mengandung! Hasil dari pada pencurahan kasih dan nafsu birahi antara mereka selama hampir satu bulan di dalam hutan!
Namun, pangeran tua itu ternyata amat mencintainya dan bahkan mau memaafkan semua hubungannya dengan Si Pendekar. Pangeran itu tetap saja mengawininya, dan tidak mau menjamahnya sampai dia melahirkan seorang anak perempuan, yaitu Siok Lan! Melihat kebaikan pangeran itu, sungguh pun sebagian dari penyebabnya adalah karena pangeran itu ingin menutupi aib yang akan mencemarkan namanya sendiri, akhirnya Nandini menerima nasib dan mau melayani pangeran itu sebagai suaminya. Kemudian, berkat ilmu kepandaiannya, suaminya memberi jalan kepada Nandini sehingga dia dapat bertugas di dalam ketentaraan dengan pangkat lumayan. Dan ketika pangeran itu meninggal dunia karena suatu penyakit, Nandini terus menanjak dalam kedudukannya sampai akhirnya dia mendapat kedudukan tinggi sebagai seorang panglima perang!
Dan akhirnya kedudukannya itu berakhir dengan kekalahan yang amat memalukan! Dia tidak berani kembali lagi ke Nepal. Kemudian, mendengar tangis puterinya, teringatlah dia akan semua pengalamannya itu, terbayanglah wajah tampan pendekar itu!
“Siok Lan, apa yang sudah terjadi antara engkau dan Jenderal muda itu?” Akhirnya dia bertanya, setengah mengkhawatirkan bahwa peristiwa yang dialaminya dahulu itu kini terulang lagi pada puterinya!
Siok Lan memandang ibunya dan melihat sinar mata ibunya tajam penuh selidik, dia pun membalas dengan pandang mata bersih dan tenang. “Tidak ada terjadi apa-apa kalau itu yang kau maksudkan, Ibu. Akan tetapi kami.... kami telah saling jatuh cinta.... akan tetapi.... tentu saja kusangka bahwa dia seorang pemburu muda biasa, bukan seorang jenderal besar.... hu-huuuhh, apalagi jenderal musuh....”
Nandini mengelus rambut kepala puterinya. “Aku girang bahwa tidak terjadi apa-apa antara engkau dan dia.... dia memang seorang pemuda yang patut mendapat cintamu, Anakku, akan tetapi.... dia jenderal musuh! Mana mungkin dia mau menikah atau berjodoh dengan seorang seperti engkau....”
“Tapi, kami sudah saling mencinta, Ibu!”
Hemm.... dia seorang ahli siasat perang! Siapa tahu bahwa cintanya kepadamu itu pun hanya merupakan siasatnya belaka....“
“Ibu....! Jangan begitu kejam.... ahhh, tidak mungkin itu! Ibu, aku mau susul dia, akan kutanyakan hal itu. Kalau.... kalau benar cintanya itu hanya siasat, aku.... aku akan....”
“Kau mau apa?”
“Aku akan membunuhnya!”
Nandini tersenyum sedih. Dia pun dahulu ingin membunuh pendekar tampan itu, akan tetapi dia tahu bahwa biar pun dia belajar sampai sepuluh tahun lagi, tidak mungkin dia dapat menandingi pendekar itu. Dan puterinya ini, biar belajar puluhan tahun lagi mana mungkin dapat menandingi putera Naga Sakti Gurun Pasir dan cucu mendiang Jenderal Kao Liang?
“Kau takkan menang Anakku.”
“Tidak peduli! Kalau dia menipuku, hanya bersiasat dalam cintanya, biar dia atau aku yang mati!”
“Hemm, itu tidak bijaksana, Siok Lan. Ingat, engkau adalah puteri panglima musuh, selain perbuatanmu menyusul jenderal musuh itu amat memalukan, juga begitu muncul engkau tentu akan dianggap musuh dan dikeroyok para anak buah pasukan....“
“Aku tidak takut!” kata Siok Lan yang nampak amat penasaran mengingat betapa cinta pemuda itu mungkin hanya siasat perang saja! “Lebih baik aku mati dikeroyok dari pada tidak ada harapan berjodoh dengan dia!”
Siok Lan sudah nekat. Memang benar bahwa pemuda itu dan dia masing-masing belum pernah menyatakan cinta dengan kata-kata melalui mulut, akan tetapi dia merasa benar ketika mereka saling pandang, saling senyum dan saling bergandeng tangan. Dia dapat merasakan cinta kasih itu melalui sinar mata, melalui seri senyum, melalui getaran dalam sentuhan jari-jari tangan antara mereka.
“Siok Lan, jangan terburu nafsu. Aku sebagai ibumu dapat memaklumi perasaanmu dan aku setuju sepenuhnya andai kata engkau dapat berjodoh dengan Jenderal muda itu. Dia itu adalah cucu Jenderal Kao Liang, ini saja sudah merupakan suatu jaminan. Apalagi diingat bahwa dia putera Naga Sakti Gurun Pasir, itu lebih lagi. Pula, kita sudah melihat betapa lihainya dia mengatur siasat perang, dan aku yakin bahwa ilmu silatnya pun amat tinggi. Maka, mana mungkin engkau, hanya anak seorang Panglima Nepal yang telah kalah....“
“Ibu, bukankah Ibu pernah mengatakan bahwa aku juga seorang anak kandung dari pendekar yang sakti?”
“Ayahmu....?” Wajah wanita yang masih cantik itu berubah merah, kemudian menjadi pucat kembali.
Dia memejamkan matanya dan terbayanglah dia ketika dia belum berangkat memimpin pasukan, pernah ada seorang pengembara datang membawa surat dari pendekar bekas kekasihnya itu, ayah kandung Siok Lan. Surat itu seperti juga watak orangnya, penuh rayuan dan ternyata pendekar itu sudah mendengar bahwa dia telah menjadi seorang janda dan pendekar itu merayunya dalam surat, menyatakan rindunya, menyatakan bahwa pendekar itu kini hidup seorang diri, kesepian dan menanggung rindu, dan membujuknya agar suka datang ke tempatnya, menikmati hidup bersama! Surat itu telah dirobek-robeknya dan dia berangkat memimpin pasukan menyerbu ke Tibet. Akan tetapi kini, ketika puterinya merengek, teringatlah dia akan isi surat.
“Hemmm, memang hanya ada satu jalan. Dan Ayah kandungmu itu, yang selama hidupnya belum pernah menderita jerih payah merawat dan mendidikmu, sekarang dia harus bertanggung jawab! Ya, dia harus membuktikan bahwa dia seorang ayah yang patut dan yang sudah sepantasnya kalau menjodohkan puterinya! Mari kita pergi kepadanya, Siok Lan, dan kita serahkan urusan jodoh ini kepadanya!”
Siok Lan merasa girang sekali dan kedukaannya segera terhapus dari wajahnya dan pada wajah yang cantik itu terbayang penuh harapan ketika dia pun berlari mengikuti ibunya…..
********************
Komentar
Posting Komentar