SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-09
Anak cucunya hidup terus di lembah itu, ada pula yang pergi merantau, akan tetapi lembah itu tetap dipelihara, bahkan sekarang, keturunan terakhir yang tinggal di situ terdapat tiga orang laki-kaki. Yang pertama bernama Cu Han Bu, pria sederhana berusia empat puluh tahun, ayah dari pemuda tampan yang menyambut para tamu tadi. Yang ke dua bernama Cu Seng Bu, pria berusia tiga puluh lima dan yang ke tiga bernama Cu Kang Bu, pria berusia tiga puluh tahun. Kedua orang ini belum menikah. Tiga orang inilah merupakan keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas she Cu itu.
Cu Han Bu baru mempunyai seorang anak saja, yaitu ‘pemuda’ yang menyambut para tamu tadi. Akan tetapi anak itu sebetulnya bukan seorang laki-laki, melainkan seorang anak perempuan. Karena ingin sekali mempunyai anak laki-laki, maka untuk menutupi kekecewaannya, Cu Han Bu dan isterinya memperlakukan anak mereka seperti anak laki-laki, bahkan sejak kecil anak itu memakai pakaian laki-laki, sungguh pun dia sadar sepenuhnya bahwa dia seorang perempuan. Sebagai seorang anak yang berbakti, Cu Pek In, demikian nama anak itu, dia ingin menyenangkan hati orang tuanya dan selalu berpakaian pria sehingga dia menjadi seorang pemuda cilik sekarang! Sebagai keturunan dari kakek sakti pembuat suling emas itu, sudah tentu saja keluarga Cu ini mewarisi ilmu-ilmu yang mukjijat dan tinggi sekali.
Sudah belasan tahun semenjak ayah mereka meninggal, keluarga yang terdiri dari tiga orang pria perkasa ini tidak lagi berhubungan dengan Nepal. Mereka melihat betapa Nepal mulai melakukan penyelewengan, mulai mencampuri urusan kaisar di Tiongkok, maka mereka tidak mau mencampuri. Apalagi ketika mereka mendengar bahwa Raja Nepal yang baru mempunyai seorang Koksu yang kabarnya merupakan orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, keluarga Cu ini makin mengundurkan diri dan tidak pernah berhubungan. Oleh karena itu, maka mereka tidak mengenal Sam-ok Ban-hwa Sengjin, sungguh pun mereka mendengar namanya, dan mungkin juga Koksu Nepal itu pernah mendengar tentang nama mereka.
Dan memang demikianlah kenyataannya. Ketika pemuda tampan yang sesungguhnya adalah Cu Pek In itu bersama rombongan dayangnya menyambut dan menyebut nama Lembah Gunung Suling Emas, berdebar rasa jantung Sam-ok. Dia sudah mendengar tentang keluarga di Himalaya ini, yang menurut berita di Nepal merupakan keluarga yang turun temurun bersahabat dengan keluarga Raja Nepal, tetapi yang semenjak raja yang sekarang, yaitu raja yang mengangkat dirinya sebagai koksu, tidak pernah lagi terdengar beritanya dan agaknya putus hubungan antara keluarga Cu itu dengan keluarga Kerajaan Nepal.
Sam-ok tidak peduli akan hal itu ketika dia masih menjadi koksu, apalagi mendengar bahwa tempat tinggal keluarga itu merupakan rahasia besar dan tidak ada seorang pun tahu persis di mana letak tempat tinggal mereka. Yang diketahui umum hanyalah bahwa tempat itu berada di Pegunungan Himalaya. Dan kini, tanpa disangka-sangkanya, dia telah ikut rombongan orang kang-ouw memasuki daerah itu, tempat tinggal keluarga Cu yang menjadi sahabat keluarga raja sejak ratusan tahun yang lalu! Dengan demikian, maka ada dua orang dalam rombongan itu yang berdebar-debar hatinya, yaitu Sai-cu Kai-ong dan Sam-ok Ban-hwa Sengjin.
Ketika para tamu yang mengikuti Cu Pek In dan rombongan dayang itu sudah tiba di ruangan depan yang luas dan terhias gambar-gambar dan tulisan-tulisan indah, Cu Pek In mempersilakan mereka menanti di situ dan para dayang lalu masuk ke dalam melalui pintu besar di depan dan di tengah ruangan itu. Tidak lama kemudian, para tamu yang masih berdiri karena belum dipersilakan duduk itu melihat pintu itu terbuka dari dalam dan keluarlah tiga orang laki-laki. Semua orang memandang dengan penuh perhatian.
Akan tetapi tidak ada sesuatu yang mengesankan pada diri tiga orang pria itu. Mereka itu berpakaian biasa saja, dengan sikap yang sederhana pula, akan tetapi wajah dan pandang mata mereka serius dan penuh wibawa, sedangkan sinar mata mereka yang mencorong itu mengejutkan orang karena hal itu menunjukkan bahwa mereka itu memiliki kekuatan dalam yang hebat!
“Ayah, inilah mereka yang membikin ribut di puncak datar. Semua, kecuali yang tewas dalam keributan antara mereka, telah kuundang datang sebagai tamu sesuai dengan perintah Ayah,” kata Cu Pek In sambil menyelipkan sulingnya di ikat pinggangnya.
Tentu saja Sai-cu Kai-ong dan Ban-hwa Sengjin, lebih-lebih dari para tamu lainnya, memandang dengan penuh perhatian dan dengan hati tertarik sekali. Tiga pasang mata dari pihak tuan rumah itu dengan tajamnya memandang para tamunya seorang demi seorang, dan paling lama mereka memperhatikan Sam-ok Ban-hwa Sengjin yang menjadi tidak enak hati, kemudian mereka juga memandang Yeti sampai lama, terutama ke arah pedang yang berada di tangan Yeti.
“Tidak salah lagi, itulah Koai-liong-pokiam keluarga kami!” Tiba-tiba orang termuda di antara mereka, Cu Kang Bu berseru. Orang ke tiga ini bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan selain sikapnya gagah, juga dia kasar dan jujur. “Dan inilah Yeti seperti yang diceritakan Toaso (Kakak Ipar Perempuan Tertua)!”
Tiba-tiba terdengar suara merdu, “Tidak salah, dialah binatang itu!”
Semua orang menengok karena terkejut. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi, akan tetapi tiada yang mendengar datangnya seorang wanita di tempat itu, tahu-tahu wanita itu telah muncul saja di situ, entah sejak kapan. Wanita itu usianya kurang lebih tiga puluh tahun, cantik sekali, dengan pinggang ramping dan gerak geriknya luwes dan lemah gemulai seperti gerakan seorang penari pandai atau gerakan tubuh seekor ular saja, dan pakaiannya juga mentereng dan mewah, rambutnya yang hitam gemuk digelung ke atas seperti gelung rambut puteri-puteri istana!
“Dialah binatang itu, dan itulah pedang kami! Kalian harus merampasnya dari tangan Yeti keparat itu!” bentak lagi wanita ini.
Akan tetapi tiba-tiba Cu Pek In berkata, “Pek-bo, Ayah, Yeti itu adalah milik pemuda itu. Sebaiknya pedang itu diminta kepadanya.”
Mendengar ini, Cu Han Bu memandang kepada Hong Bu dengan penuh perhatian, seolah-olah tidak percaya pada omongan puterinya. Mana mungkin Yeti, makhluk yang selama ini menjadi dongeng dan ditakuti semua orang, yang amat sakti sehingga Toaso-nya sendiri kewalahan menghadapinya, menjadi milik bocah ini?
“Siapakah namamu, orang muda?” tanyanya hati-hati. Memang tokoh ini selalu bersikap hati-hati, tidak seperti Kang Bu.
Sim Hong Bu maklum bahwa dia berhadapan dengan keluarga yang berilmu tinggi, dan juga mereka adalah tuan rumah, maka sebagai tamu yang tahu diri dan mengenal kesopanan, dia lalu melangkah maju, memberi hormat dan menjawab, “Nama saya Sim Hong Bu, Locianpwe.”
Sikap dan ucapan Hong Bu ini menyenangkan hati Han Bu yang mengangguk-angguk. Bocah ini sungguh mengagumkan dan jarang pada jaman itu menemukan bocah yang begini matang, begini tabah dan berani berdiri di atas kakinya sendiri seperti orang yang sudah dewasa benar. Juga, sekali pandang saja dia dapat mengukur bahwa bocah ini memiliki bakat yang baik sekali, sinar matanya begitu tajam, gerak-geriknya begitu tenang.
“Benarkah bahwa Yeti ini adalah milikmu, peliharaanmu?”
Hong Bu melirik ke arah pemuda tampan itu, lalu menjawab lantang. “Harap jangan ada yang menghina Yeti! Dia ini sama sekali bukan binatang peliharaan, bukan binatang liar yang jahat, harap semua mengetahui betul hal ini!”
“Huh, omongan apa itu! Kami semua sudah merasakan kebuasannya!” Tiba-tiba Ngo-ok mendengus marah, tangannya meraba daun telinganya yang pecah-pecah ketika dia berkelahi melawan Yeti itu.
“Benar!” Su-ok berteriak, “Yeti itu makhluk buas seperti iblis!”
Sepasang alis tuan rumah ini berkerut dan sinar matanya seperti kilat menyambar ke arah dua orang itu. “Tuan-tuan berada di tempat sopan, harap Tuan-tuan menjaga kesopanan dan bicara menanti giliran!” kata Cu Han Bu, suaranya berwibawa. Su-ok dan Ngo-ok berdiam diri dan wajah mereka agak merah.
“Bagaimana jawabanmu, Sim Hong Bu? Banyak orang kang-ouw mengabarkan bahwa Yeti ini jahat, kejam dan telah membunuh dan melukai banyak orang,” kata pula Cu Han Bu. Mereka semua masih berdiri dan semua orang kini memandang kepada Hong Bu.
“Yang mengatakan bahwa Yeti jahat dan kejam, suka menyerang atau membunuh orang adalah bohong, Locianpwe!” kata Hong Bu. “Yeti ini bukan binatang buas, bukan peliharaan saya, melainkan sahabat saya yang paling baik. Manusialah yang jahat, yang mengganggunya, menyerangnya sehingga dia membela diri dan untuk membela diri, tentu saja ia harus mengalahkan lawannya, jika perlu mungkin membunuhnya. Pahanya dilukai orang ditusuk pedang, tentu saja dia menjadi marah. Semua orang agaknya hendak membunuhnya untuk merampas pedang yang ditusukkan di pahanya. Siapa yang tidak akan menjadi marah dan membela diri?”
“Toaso,” tiba-tiba Cu Han Bu menoleh kepada wanita cantik tadi, “Apakah dia tidak menyerangmu dan apakah Toaso yang mendahului menyerangnya?”
Wanita cantik itu berjebi, bibirnya yang penuh dan merah itu bermain sebentar, kemudian dia berkata, “Memang aku yang menyerangnya lebih dulu, akan tetapi siapa yang tidak menjadi kaget melihat dia tiba-tiba muncul dan kelihatan begitu buas? Aku menyerangnya dan dia melawan, ternyata dia lihai sekali dan walau pun aku berhasil menusuk pahanya, pedang itu tertinggal di pahanya, dia menjadi buas dan aku terpaksa melarikan diri. Lalu dia menghilang....“
Cu Han Bu mengangguk-angguk, lalu menghadapi semua orang kang-ouw yang berdiri di hadapannya. “Apakah Cu-wi sengaja berdatangan ke Himalaya untuk mencari pedang Koai-liong-pokiam itu?” Dia menuding ke arah pedang yang masih dipegang oleh Yeti.
“Hemm, terus terang saja, siapakah yang tidak ingin mendapatkan pedang itu?” jawab Toa-ok dengan suara halus.
“Ketahuilah, Cu-wi. Pedang pusaka itu adalah milik keluarga kami sejak turun menurun. Nenek moyang kami yang membuatnya dan menciptakannya. Pada suatu hari pedang itu hilang dan setelah kami mendengar pedang itu berada di istana kaisar, Toaso-ku ini pergi ke sana dan mengambilnya kembali. Akan tetapi malang baginya, di tengah jalan bertemu dengan Yeti dan pedang itu tertinggal di paha Yeti. Pedang itu adalah hak kami dan hendaknya Cu-wi tidak memperebutkan lagi. Untuk itu kami dapat menjelaskannya, dan untuk jeri payah Cu-wi kami bersedia mengganti sekedar ongkos perjalanan yang telah dikeluarkan.”
“Ah, mana ada aturan seperti itu?” Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring, suara Si Ulat Seribu. Wajahnya yang buruk menjadi semakin buruk karena marahnya. Dialah yang merasa paling dirugikan dalam perebutan pedang itu, karena selain empat orang pemikul tandu yang menjadi pembantu-pembantunya itu tewas oleh ulat-ulatnya sendiri, juga sebagian ulatnya telah mati dan lenyap pula. “Bagaimana bisa enak saja mengakui pedang tanpa bukti-bukti yang jelas? Kalau hanya penjelasan saja, setiap orang pun mampu mengisap jempol!”
Wanita cantik kakak ipar keluarga Cu itu melangkah maju dan suaranya lantang ketika dia berseru, “Perempuan buruk! Apakah kini Si Ulat Seribu sudah mempunyai nyawa rangkap berani berkata seperti itu di sini?” Dia sudah melangkah maju, akan tetapi Cu Han Bu lalu melerai dan berkata dengan suara berwibawa.
“Harap Toaso suka memaafkan bicaranya. Ingat, siapa dia dan sudah patutlah kalau orang seperti dia bicara demikian.” Agaknya Sang Toaso itu cukup segan terhadap adik iparnya ini maka dia mundur lagi dengan mulut cemberut.
Cu Han Bu lalu berkata kepada Sim Hong Bu, suaranya ramah dan halus. “Orang muda, apakah engkau percaya kepada kami keluarga dari Lembah Gunung Suling Emas? Kalau percaya, serahkan pedang itu kepadaku untuk dipergunakan sebagai bukti bahwa memang kami yang berhak atas pedang itu.”
Sim Hong Bu cepat berkata. “Tentu saja, Locianpwe. Saya kira, Yeti pun tidak akan serakah mengukuhi pedang bukan miliknya, apalagi saya. Hanya kami mohon agar pedang benar-benar dikembalikan kepada yang berhak.” Setelah berkata demikian, dia menoleh kepada Yeti dan berkata halus. “Sahabatku Yeti, tolong pinjamkan sebentar pedang itu.”
Aneh sekali, sejak tadi Yeti diam saja seperti termenung, dan mendengar ucapan Hong Bu itu dia segera menurunkan tangannya yang memegang pedang dan menyerahkan pedang itu kepada Sim Hong Bu. Hong Bu mengambil pedang itu dan menyerahkannya dengan sikap hormat kepada Cu Han Bu.
Tuan rumah ini mengangkat pedang tinggi-tinggi di atas kepalanya. “Pedang Koai-liong-pokiam ini adalah pedang pusaka buatan nenek moyang kami, oleh karena itu kami tahu segala hal-ihwalnya, riwayatnya dan rahasia-rahasianya. Ada rahasia pada pedang ini. Cu-wi sekalian boleh mencoba dan mencarinya. Kalau tidak ada yang tahu, barulah kami akan menunjukkan rahasianya sebagai bukti bahwa pedang itu adalah milik dan pusaka keluarga kami.”
Kemudian tanpa ragu-ragu lagi, Cu Han Bu menyerahkan pedang pusaka itu kepada orang yang berdiri paling dekat dengannya, yaitu Si Ulat Seribu tadi. Wanita bermuka buruk itu menerima pedang itu. Semua mata memandang dan tidak ada seorang pun yang mempunyai pikiran untuk melarikan pedang itu, bahkan Im-kan Ngo-ok pun tidak berani. Karena siapa yang melarikan pedang itu tentu akan berhadapan dengan mereka semua, ditambah lagi pihak tuan rumah! Dan jalan keluar dari tempat itu hanya melalui tambang. Tidak mungkin melarikan diri dengan pedang itu!
Maka kini Si Ulat Seribu meneliti pedang itu, digerak-gerakkan, ditekan sana-sini, akan tetapi karena dia memang tidak tahu rahasianya, dia tidak menemukan sesuatu yang aneh pada pedang itu, kecuali bahwa pedang itu benar-benar amat hebat, sebatang pedang yang terbuat dari pada logam yang aneh sekali, agak kemerahan dan ada sinar-sinar kehijauan, amat ringannya namun membayangkan kekerasan yang tak terlawan oleh apa pun!
“Sebatang pedang yang luar biasa!” katanya kemudian dan dia pun mengembalikannya kepada tuan rumah. “Akan tetapi aku tidak melihat apa-apa yang aneh padanya.”
“Nah, jelas bahwa Si Ulat Seribu tidak dapat menunjukkan rahasianya, maka sekarang giliran orang berikutnya.” Dan dia lalu menyerahkan pedang itu kepada tokoh lain.
Pedang itu terus berpindah-pindah tangan setelah setiap orang meneliti dengan penuh kecermatan, namun biar Im-kan Ngo-ok sendiri yang terkenal sebagai orang-orang licik dan cerdik, tidak dapat menemukan rahasia itu. Orang terakhir adalah Sam-ok Ban-hwa Sengjin yang memegang pedang itu, menerimanya dari Cu Han Bu sambil berkata.
“Sudah lama sekali kami mengenal nama penghuni Lembah Gunung Suling Emas sebagai orang-orang terhormat dan gagah perkasa, maka kini kami percaya bahwa dalam urusan pedang ini penghuni Lembah Gunung Suling Emas tidak akan berlaku curang.”
Cu Han Bu tersenyum tenang. “Sam-ok Ban-hwa Sengjin, kami pun mendengar akan namamu sebagai bekas Koksu Nepal yang pandai. Cobalah pergunakan kepandaianmu untuk mengetahui rahasia pedang yang menjadi milik nenek moyang kami ini. Bahkan Kaisar Ceng sendiri yang menyimpan pedang ini sejak dua keturunan, tidak tahu akan rahasianya. Hanya kami, pemilik sah dari pedang ini yang akan dapat menunjukkan rahasianya.”
Sam-ok memeriksa dengan teliti sekali, dari ujung pedang sampai ke gagangnya. Akan tetapi dia pun tidak dapat menemukan rahasia pedang itu. Akhirnya dia mengembalikan kepada tuan rumah sambil berkata, “Kami tidak melihat ada rahasia apa pun pada pedang ini.”
Cu Han Bu menarik napas panjang, lalu berkata. “Nah, Cu-wi sekalian melihat sendiri bahwa tidak ada seorang pun yang tahu akan rahasia pedang ini. Sekarang hendak kami perlihatkan.”
Tuan rumah memegang batang pedang itu dan mengacungkan pedang ke atas, ke arah udara. “Cu-wi, lihatlah baik-baik!”
Tiba-tiba pedang itu mengeluarkan bunyi dan tergetar, lalu nampaklah sinar berkilat keluar dari gagang pedang, melalui dua bagian meruncing yang mengapit pedang dan tak lama kemudian, jatuhlah dua ekor burung yang tadi beterbangan di atas, kemudian menggelepar-gelepar sekarat! Semua orang terkejut dan kagum. Kiranya pedang itu mengandung rahasia, dapat mengeluarkan senjata rahasia seperti itu!
“Bagus sekali!” Sim Hong Bu berteriak memuji. “Locianpwe, bagaimana hal itu dapat terjadi?”
Tuan rumah tersenyum, menjawab pertanyaan itu akan tetapi ditujukan kepada semua tamunya, “Cu-wi lihat, tanpa mengenal rahasia pedang ini mana mungkin melakukan hal tadi? Nenek moyang kami membuat pedang ini dengan menyimpan rahasia itu. Gagang pedang menyimpan jarum-jarum halus yang digerakkan oleh alat rahasia di dalam gagang, dan untuk menggerakkan alat rahasia itu kita harus mengerahkan tenaga sinkang yang mengandung hawa panas sampai suhu tertentu, barulah alat itu bergerak dan jarum-jarum itu dapat keluar dengan kecepatan yang mematikan.”
Semua orang merasa kagum sekali. Akan tetapi dengan terheran-heran mereka melihat betapa tuan rumah itu menyerahkan pedang itu kembali kepada Sim Hong Bu sambil berkata, “Nah, terimalah kembali pedang yang kami pinjam tadi. Pedang ini telah terjatuh ke tangan Yeti dan hal ini terus terang saja terjadi karena kelengahan pihak kami sendiri.” Dia tidak terang-terangan menyalahkan Toaso-nya sungguh pun semua tamu maklum wanita itulah yang lengah sehingga pedang menancap di paha Yeti. “Oleh karena itu, kalau Yeti tidak ingin mengembalikan, kami tidak menyalahkan dia dan kelak kami akan mempergunakan kepandaian untuk merampasnya kembali dari tangannya.”
Sim Hong Bu juga terkejut sekali melihat pedang dikembalikan kepadanya. Akan tetapi dia mengerti dan makin kagumlah hatinya terhadap tuan rumah yang ternyata selain gagah perkasa, juga jujur dan budiman. Maka dia kemudian menerima pedang itu, dan menyerahkan kepada Yeti sambil berkata, “Yeti, kalau engkau telah menganggap aku sahabatmu, aku minta keikhlasanmu agar engkau mengembalikan pedang ini kepada yang berhak, yaitu kepada Locianpwe majikan dari Lembah Suling Emas ini. Akan tetapi kalau engkau tidak rela, aku pun tidak berani memaksa, hanya aku akan kecewa.”
Yeti itu mengeluarkan suara aneh, nampak ragu-ragu, sebentar memandang kepada pedang itu, kepada wajah Hong Bu, kemudian menoleh ke arah wanita cantik yang telah melukai pahanya, dan akhirnya pedang yang telah diterimanya itu dikembalikannya kepada Hong Bu dan dia menunduk, sikapnya tak acuh!
“Yeti, engkau merelakan pedang ini dikembalikan kepada pemiliknya yang sah?” tanya Hong Bu dengan suara girang sekali. Yeti itu tidak menjawab, hanya mengangguk dan tetap diam saja.
Girang dan legalah hati Hong Bu. “Bagus, engkau sahabatku yang sejati, Yeti, jauh lebih budiman dari pada manusia-manusia yang jahat di dunia ini!” Maka Hong Bu tidak ragu-ragu lagi menyerahkan pedang itu dengan kedua tangannya kepada Cu Han Bu sambil berkata, “Inilah pedang itu, Locianpwe. Yeti mengembalikannya kepada Locianpwe sebagai pemilik yang sah. Seorang gagah tidak akan menginginkan barang orang lain, dan Yeti, biar pun bukan termasuk manusia, namun berjiwa tidak kalah gagahnya dengan para pendekar.”
Cu Han Bu memandang dengan kagum kepada Hong Bu, lalu menarik napas panjang, “Amat sukar menemukan makhluk seperti Yeti, namun lebih sukar lagi menemukan seorang anak seperti engkau, Sim Hong Bu.” Kemudian dia menerima pedang itu dan menyerahkannya kepada Cu Kang Bu untuk disimpan. Cu Kang Bu menerima pedang itu dengan sikap hormat, lalu membawanya masuk ke dalam.
Dengan wajah cerah kini Cu Han Bu mempersilakan semua tamunya duduk. “Silakan Cu-wi sekalian duduk untuk menerima hidangan penghormatan kami dan untuk mendengarkan kisah tentang pedang itu sekadarnya dari kami.”
Semua orang diam-diam merasa kecewa sekali karena pedang itu telah kembali kepada majikan Lembah Suling Emas ini dan akan sukarlah bagi mereka untuk mengharapkan memperoleh pedang keramat itu. Akan tetapi terdapat hiburan bahwa mereka berhasil memasuki daerah terlarang dan rahasia ini. Hal ini sudah merupakan pengalaman yang luar biasa bagi mereka. Maka mereka pun tanpa malu-malu lagi lalu mengambil tempat duduk dan berkelompok memilih teman masing-masing. Sim Hong Bu mengambil tempat duduk di sudut bersama Yeti yang tidak mau duduk di atas kursi, melainkan mendeprok di atas lantai. Sejak tadi Yeti nampak seperti orang yang lemas dan kesal, lebih banyak menunduk seperti orang termenung.
Hidangan pun dikeluarkan oleh para dayang yang muda dan cantik dan berbau harum itu. Dan semua orang semakin kagum karena arak yang dihidangkan adalah arak yang amat baik, masakan-masakan mengepulkan uap itu pun bukan masakan sembarangan dan terbuat dari bahan dan bumbu yang mahal-mahal! Tentu saja di tempat itu terdapat ruangan es yang dingin dan yang dapat dipakai menyimpan daging atau apa saja sehingga berbulan-bulan dalam keadaan masih segar!
Setelah semua tamu dipersilakan makan minum, semua orang merasa puas kecuali Yeti yang tidak mau makan apa-apa sehingga Hong Bu pun merasa tidak begitu lezat makan sendirian saja, dan dayang-dayang sudah menyingkirkan mangkok piring meninggalkan cawan dan guci arak berikut penganan, tuan rumah kemudian bercerita tentang pedang keramat itu. Semua orang mendengarkan dengan asyik karena memang cerita itu agak aneh.
Kakek buyut dari ketiga orang saudara Cu itu, yang bernama Cu Hak, mewarisi kepandaian nenek moyangnya dalam hal kesenian memasak dan membentuk logam, pendeknya kepandaian seorang pandai besi yang luar biasa. Akan tetapi, kalau di antara nenek moyangnya itu ahli dalam hal pembuatan benda dari logam emas, ada yang ahli perak, dan ada pula yang ahli ukir-ukir batu atau kayu, Cu Hak ini adalah seorang ahli pembuat pedang yang amat baik.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Cu Hak yang sudah berusia lanjut itu bangun dalam keadaan lemah dan agaknya penyakit jantungnya kumat. Dia mengeluh panjang pendek dan tidak bangkit dari tempat tidurnya. Anak cucunya datang menjaganya, akan tetapi kakek itu tetap gelisah dan akhirnya berkata bahwa malam tadi dia bermimpi melihat seekor naga terbang melayang turun dan kemudian menghilang ke belakang rumahnya, masuk ke bawah sebuah batu sebesar rumah yang berada di belakang rumah mereka.
“Cari di bawah batu itu.... carilah.... tentu ada apa-apa di situ,” pintanya berkali-kali.
Karena melihat kakek itu keadaannya payah, maka anak cucunya lalu beramai-ramai mencari. Dengan kekuatan yang disatukan, keluarga yang memang lihai dan berilmu tinggi ini mendorong batu sehingga menggelinding beberapa meter dari tempat semula, lalu digalilah tanah di bawah batu itu. Dan mereka menemukan sebongkah batu yang berwarna hijau kemerahan. Mereka membawa batu itu kepada kakek Cu Hak.
Kakek yang sedang sakit itu seketika bangkit dari tidurnya, memegang batu itu dan berseru girang. “Hebat....! Ini adalah logam mulia! Ini adalah logam pusaka keramat. Ah, pantas saja bersemangat naga.”
Kakek itu seperti sembuh seketika dan dia pun menyibukkan dirinya di dalam dapur perapian tempat dia membuat pedang itu. Bongkahan batu yang ternyata merupakan logam mulia itu dibakar dan digemblengnya menjadi sebatang pedang yang diberi nama Koai-liong-pokiam. Diberi nama Pedang Naga Siluman karena ternyata ‘naga’ itu ternyata tidak mendatangkan berkah. Semenjak membuat pedang itu, Kakek Cu Hak menderita sakit. Akan tetapi dia memaksa diri menyelesaikan pedang itu, dan kemudian pedang itu selesai dan sempurna, dia pun meninggal dunia setelah meninggalkan pesan tentang rahasia yang terkandung dalam gagang pedang.
“Nah, demikianlah riwayat pedang kami itu,” Cu Han Bu melanjutkan. “Akan tetapi, hanya beberapa bulan setelah pedang itu jadi, pedang itu pun lenyap dari sini. Kami tahu siapa yang mengambilnya, akan tetapi itu merupakan rahasia keluarga kami dan tidak dapat kami ceritakan kepada siapa pun juga. Karena itu kami tak pernah ribut-ribut dan menganggap bahwa pedang itu telah lenyap begitu saja. Sampai kemudian setelah kami bertiga saudara menjadi dewasa, kami mendengar bahwa pedang itu tahu-tahu sudah berada di gudang pusaka istana Kaisar! Setelah mengetahui akan pedang kami itu, Toaso kami lalu turun tangan, datang ke kota raja dan mengambil kembali pedang pusaka kami itu. Akan tetapi, dia bertemu dengan Yeti dan selanjutnya Cu-wi telah mengetahui. Demikianlah riwayat pedang itu, yang berada di tangan kaisar selama puluhan tahun tanpa kami ketahui dan sekarang pedang pusaka itu telah kembali ke dalam lingkungan keluarga kami. Maka harap Cu-wi maklumi dan tidak menjadi penasaran. Tentu saja untuk jerih payah Cu-wi, kami tidak akan tinggal diam dan kami hendak membekali Cu-wi dengan hadiah sekadarnya.”
“Nanti dulu....!” Tiba-tiba Si Ulat Seribu, wanita muda bermuka mengerikan itu berkata dan dia sudah bangkit dari kursinya. Mukanya yang bopeng dan pletat-pletot kelihatan merah, tanda bahwa arak tua telah mulai mempengaruhinya. Semua orang memandang kepadanya dan pihak tuan rumah juga memandangnya dengan penuh perhatian.
“Kami berterima kasih kepada keluarga Cu yang telah menerima kami sebagai tamu. Tetapi kami, terutama aku sendiri, bukanlah sebangsa pengemis yang datang untuk minta-minta sedekah!” Dia melirik ke arah Sai-cu Kai-ong yang tadi telah merugikannya. Kemudian, melihat betapa kakek ini tidak mempedulikannya, dia melanjutkan. “Tetapi kami adalah orang-orang gagah yang terus terang saja tertarik untuk memperebutkan pedang pusaka yang dicuri dari istana kaisar. Kini ternyata pedang itu adalah milik keluarga Cu di sini. Biar pun kami melihat buktinya, namun tentu saja sebagai orang-orang yang biasa memandang kepada kegagahan, kami merasa ragu-ragu apakah pedang pusaka itu patut dimiliki oleh keluarga Cu. Oleh karena itu, ingin sekali aku melihat apakah sudah selayaknya dan sepantasnya keluarga Cu menjadi majikan pedang itu.” Setelah berkata demikian, tanpa nampak dia bergerak, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke tengah ruangan itu. Memang Si Ulat Seribu ini adalah seorang ahli ginkang yang luar biasa. Tubuhnya dapat bergerak sedemikian ringannya seolah-olah dia pandai terbang saja!
Bagi para tokoh yang hadir, ucapan itu sudah cukup jelas. Wanita bermuka aneh mengerikan ini jelas menantang pihak tuan rumah itu untuk mengadu ilmu! Memang ada semacam ‘penyakit’ yang hinggap di dalam batin hampir semua tokoh kang-ouw, yaitu mereka ini haus sekali akan ilmu silat dan adu kepandaian. Mereka belum merasa puas kalau belum menguji ilmu orang lain yang terkenal pandai, bahkan untuk kesenangan mengadu ilmu ini mereka tidak akan menyesal andai kata harus kehilangan nyawa dalam pi-bu (adu kepandaian silat) itu!
Sebelum Cu Han Bu menjawab, terdengar suara tertawa merdu dan Tang Cun Ciu, wanita yang cantik dan berpakaian mewah berlagak genit itu, yang disebut toanio oleh pihak tuan rumah, telah bangkit dari duduknya.
“Hi-hi-hik, Si Ulat Seribu boleh berlagak di luar tempat ini, akan tetapi di sini tidak akan laku lagakmu. Akulah yang mencuri pedang dan kalau ada yang tidak terima dan meragukan kemampuan kami, boleh menguji kepandaiannya dengan aku. Toa-cek (Paman Terbesar), biarkan aku menandingi Si Ulat Seribu!” kata-kata terakhir ini ditujukan kepada Cu Han Bu.
Wanita ini adalah isteri dari kakak angkat Cu Han Bu, maka dia memanggil Han Bu dengan sebutan toa-cek, kemudian kepada Seng Bu dia menyebut ji-cek (paman ke dua) dan kepada Kang Bu menyebut sam-cek (paman ke tiga), yaitu sebutan lazim dari seorang kakak ipar untuk menyebut adik-adik suaminya, yang menyebutnya untuk anaknya, sungguh pun Tang Cun Ciu ini tidak mempunyai anak dalam pernikahannya dengan mendiang suaminya, yaitu Cu San Bu, anak angkat dari ayah keluarga Cu itu.
Si Ulat Seribu sudah menghadapi Tang Cun Ciu dan memandang tajam sekali. Dia tahu bahwa orang yang mampu mencuri pedang dari dalam gedung pusaka istana tanpa diketahui orang, tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Akan tetapi anehnya, dia belum pernah mendengar nama wanita ini atau bertemu dengannya, padahal hampir semua nama orang-orang kang-ouw yang terkenal telah dikenalnya.
“Orang menamakan aku Si Ulat Seribu, dan aku tidak pernah melakukan pi-bu (adu ilmu silat) dengan orang yang tidak kukenal namanya,” kata Si Ulat Seribu dengan sikapnya yang kereng.
Tang Cun Ciu tertawa dan semua orang harus mengakui bahwa di samping gesit, wanita ini memang cantik dan mempunyai daya tarik atau daya pikat yang amat kuat. Apalagi kalau tertawa nampak deretan giginya yang seperti mutiara, biar pun usianya sudah tiga puluh tahun akan tetapi dia nampak masih seorang gadis remaja saja!
“Hi-hi-hik, Ulat Seribu! Sungguh julukan yang menjijikkan. Aku Tang Cun Ciu memang tidak suka memamerkan nama di dunia kang-ouw, akan tetapi orang-orang menyebutku dahulu Cui-beng Sian-li. Nah, kalau engkau ada kepandaian, majulah.”
Diam-diam Si Ulat Seribu terkejut. Ternyata dia pernah mendengar nama Cui-beng Sian-li (Dewi Pengejar Arwah)! Akan tetapi sudah lama sekali, sedikitnya sepuluh tahun yang lalu, di perbatasan Sin-kiang muncul nama ini yang amat menggemparkan, lalu nama itu lenyap bersama orangnya. Kiranya orangnya telah berada di Lembah Suling Emas!
“Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu! Bagus, ternyata aku melakukan pi-bu dengan orang yang telah bernama besar dan memiliki kepandaian yang pantas untuk bertanding melawanku. Nah, mari kita mencoba ilmu silat masing-masing! Awas serangan!” Baru saja ucapan itu berhenti, orangnya sudah mencelat ke depan dan mengirim serangan dengan kecepatan yang mengejutkan sekali.
Akan tetapi, hanya terdengar Tang Cun Ciu tertawa merdu dan tubuh wanita cantik ini pun sudah mencelat dan lenyap, tahu-tahu dia sudah berada di tempat tinggi dan kini tubuhnya sedang melayang turun dan melakukan serangan balasan dengan tendangan dahsyat!
“Bagus....!” Si Ulat Seribu memuji.
Selain terkejut Si Ulat Seribu juga gembira sekali karena ternyata lawannya ini pun merupakan seorang ahli ginkang yang hebat. Dia cepat mengelak dan kini kedua orang wanita yang wajahnya sungguh amat berlawanan itu, yang seorang amat buruk dan yang seorang lagi amat cantik, mulai serang-menyerang dengan gerakan-gerakan yang cepat sekali. Bukan hanya cepat, akan tetapi juga dari setiap serangan mereka itu menyambar hawa pukulan yang kadang-kadang mengeluarkan suara bercuitan saking kuatnya!
Berbeda dengan tadi ketika berkelahi untuk memperebutkan pedang pusaka, Si Ulat Seribu tidak menggunakan ulat-ulatnya. Dia tahu bahwa dia berada di tempat musuh, di tempat berbahaya dan bahwa pertandingan ini hanya merupakan adu ilmu silat belaka, untuk menguji siapa yang lebih pandai. Maka dia hanya mengandalkan ilmu silatnya yang aneh dan ginkang-nya yang tinggi. Ilmu silat dari wanita bermuka buruk ini memang luar biasa sekali. Tubuhnya melejit-lejit ke atas dengan tubuh melengkung-lengkung, seperti loncatan semacam ulat. Dan gerakannya amat gesitnya sehingga beberapa kali Tang Cun Ciu sendiri sampai terkejut.
Akan tetapi, ternyata bahwa tingkat kepandaian silat Dewi Pengejar Arwah ini masih lebih unggul, dan dasar ilmu silatnya lebih asli dan lebih tinggi. Bahkan dalam gerakan yang mengandalkan ginkang yang lihai, ternyata Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu juga lebih tinggi dan matang. Si Ulat Seribu hanya menang aneh saja, namun intinya kalah kuat.
Itulah sebabnya maka setelah lewat lima puluh jurus, Si Ulat Seribu mulai terdesak hebat dan tidak mampu balas menyerang lagi karena dia sibuk harus menghindarkan diri dari serangan yang amat cepat, bertubi-tubi dan teratur baik, kuat dan indah. Dan akhirnya, Cui-beng Sian-li mengeluarkan lengking panjang yang menggetarkan jantung, tubuhnya mencelat ke atas menukik turun dan seperti garuda menyambar ular dia menyerang dari atas. Si Ulat Seribu berusaha menghindar, namun dia kalah cepat dan pundaknya kena didorong oleh Cui-beng Sian-li. Tidak dapat dihindarkan lagi, Si Ulat Seribu terpelanting roboh bergulingan. Lawannya meloncat dan hendak menyusulkan tamparan berikutnya, akan tetapi terdengar bentakan Cu Han Bu, ”Cukup, Toaso!”
Aneh sekali, biar pun dia amat dihormat dan disebut kakak ipar, wanita itu agaknya taat kepada adik mendiang suaminya ini, karena dia pun menahan serangannya dan berdiri memandang kepada Si Ulat Seribu dengan senyum mengejek. Si Ulat Seribu maklum bahwa kalau tadi pihak tuan rumah tidak menahan dan dia diserang lagi, tentu dia akan celaka, maka dia hanya melangkah mundur dan duduk kembali di atas kursinya tanpa mengeluarkan sepatah kata. Wajahnya yang buruk itu nampak semakin buruk.
“Siapa lagi di antara para tamu yang masih meragukan kepandaian kami? Boleh maju!” Karena kemenangannya, Cui-beng Sian-li menantang.
Para tamu itu terdiri dari orang-orang pandai, Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek melihat benar betapa lihainya wanita itu, memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi sehingga dia sendiri pun tidak berani sembrono untuk maju dalam pi-bu dan mencari penyakit seperti Si Ulat Seribu tadi. Akan tetapi di antara mereka terdapat Im-kan Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat yang merasa bahwa merekalah yang merupakan orang-orang paling pandai di dunia persilatan.
Lima orang kakek sakti ini sudah saling pandang. Tentu saja diam-diam mereka pun merasa tidak puas bahwa perjalanan susah payah mereka untuk merebut pedang pusaka itu berakhir seperti ini, hanya menjadi tamu di Lembah Suling Emas dan melihat pedang pusaka yang diinginkan itu kembali kepada pemiliknya. Tentu saja diam-diam mereka mencari akal untuk dapat merampas pedang itu, bahkan begitu mereka tahu bahwa tempat itu adalah Lembah Suling Emas yang tentu menyimpan banyak macam pusaka, diam-diam mereka merasa girang dan timbul keinginan mereka untuk dapat merampas pusaka-pusaka yang berada di tempat tersembunyi itu.
Akan tetapi mereka pun bukan orang-orang bodoh yang sembrono. Mereka maklum bahwa mereka berada di tempat berbahaya, tempat yang hanya mempunyai hubungan dengan dunia melalui jembatan terbang itu, dan bahwa pihak tuan rumah terdiri dari orang-orang yang lihai, maka semenjak mereka datang, mereka belum melihat cara yang baik untuk dapat memetik keuntungan dari kunjungan ini. Ketika melihat Si Ulat Seribu beraksi, diam-diam mereka menjadi girang. Mungkin inilah kesempatan itu, ialah dengan cara berpibu! Dalam pi-bu itu, kalau mereka berlima dapat mengalahkan pihak tuan rumah, bukankah mereka memperoleh kekuasaan? Dan menguji kepandaian pihak tuan rumah melalui pi-bu adalah cara yang halus dan tidak kentara!
Betapa pun juga, kegirangan mereka itu dikejutkan dan disapu pergi ketika mereka menyaksikan sepak terjang wanita cantik yang berjuluk Cui-beng Sian-li itu. Wanita itu saja sudah demikian lihainya! Dari gerakan Cui-beng Sian-li ketika melayani Si Ulat Seribu, Im-kan Ngo-ok maklum bahwa tingkat kepandaian wanita itu saja sudah mampu mengimbangi tingkat Su-ok atau Ngo-ok! Dan hal ini berarti bahwa yang agaknya dapat dipastikan untuk dapat menghadapi Cui-beng Sian-li hanya Sam-ok, Ji-ok atau Toa-ok sendiri. Dan di pihak tuan rumah masih ada tiga orang saudara Cu itu yang mereka belum dapat mengukur sampai di mana kelihaian mereka.
Sam-ok Ban-hwa Sengjin adalah orang yang cerdik, paling cerdik di antara lima Im-kan Ngo-ok. Karena kecerdikannya itulah maka dia pernah diangkat menjadi Kok-su dari Negara Nepal. Dan di antara lima orang Im-kan Ngo-ok itu, dialah yang dianggap sebagai pengatur siasat, bahkan Toa-ok sendiri mengakui kecerdikan adik ke tiga ini. Maka kini empat pasang mata itu pun memandang kepada Sam-ok seolah-olah mereka menyerahkan tindakan selanjutnya kepada Si Jahat Nomor tiga ini untuk mengaturnya.
Sam-ok lalu bangkit dan sambil tersenyum dia menjura dan memuji. “Hebat.... hebat sekali. Sudah lama kami mendengar kebesaran nama majikan Lembah Suling Emas dan ternyata nama besar itu bukan kosong belaka. Si Ulat Seribu sungguh tak tahu diri sehingga membentur batu karang! Karena itu kami Im-kan Ngo-ok amat kagum sekali. Dan kami percaya bahwa tidak ada seorang pun di antara para tamu yang akan berani menganggap pihak tuan rumah kurang patut memiliki pedang pusaka itu.”
Cui-beng Sian-li yang masih berdiri itu tersenyum. Dia paling tidak suka mendengar orang bicara bertele-tele dan berputar-putar, maka dia lalu tertawa dan berkata dengan suara mengejek. “Kalau Im-kan Ngo-ok hendak menguji kepandaian kami pun boleh saja! Perlu apa banyak bicara memuji-muji kosong? Kami tidak butuh pujian.”
Tiba-tiba terdengar suara tertawa merdu dan nyaring, disusul suara melengking tinggi. “Cui-beng Sian-li bicara besar! Apa dikiranya Im-kan Ngo-ok terdiri dari bocah-bocah penakut? Biar aku mencobanya, Sam-te!” Dan Ji-ok Kui Bin Nio-nio sudah berada di depan Cui-beng Sian-li.
Sungguh mereka merupakan dua orang wanita yang amat berlawanan. Yang seorang bertubuh ramping dan berwajah cantik, yang ke dua juga bertubuh ramping seperti tubuh wanita muda, akan tetapi karena mukanya ditutup topeng tengkorak, maka amat menyeramkan, bahkan lebih menakutkan dari pada wajah Si Ulat Seribu yang buruk itu. Dari balik topeng tengkorak itu mengintai sepasang mata yang mengeluarkan sinar mencorong dan liar seperti mata setan, dan rambut di kepala itu telah putih semua.
Melihat Ji-ok telah maju, Sam-ok tersenyum dan mengundurkan diri. Dia sendiri merasa bahwa dia akan dapat menundukkan wanita cantik itu, akan tetapi karena Ji-ok juga wanita dan lebih tepat untuk menguji lawannya yang juga perempuan, maka dia pun mengalah dan mengundurkan diri tanpa berkata apa pun.
Suara Ji-ok yang melengking nyaring itu membayangkan adanya khikang dan sinkang yang amat kuat, maka Cu Han Bu memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Cu Kang Bu. Pria tinggi besar dan gagah perkasa yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun ini lalu bangkit berdiri dan segera ia menghampiri Cui-beng Sian-li yang agaknya sudah bersiap untuk menandingi Ji-ok.
“Harap Toaso yang sudah capek melayani lawan suka mengaso, biar aku saja yang menghadapi Ji-ok.”
Melihat munculnya adik iparnya ini, Cui-beng Sian-li mengangguk dan dia kembali ke tempat duduknya, lalu menyambar cawan araknya, mengisinya dengan arak dari guci dan meminumnya. Sementara itu, pemuda yang tinggi besar dan gagah perkasa itu kini sudah menghadapi Ji-ok. Suaranya lantang dan kasar ketika dia berkata dengan sikap gagah.
“Aku Ban-kin-sian Cu Kang Bu sudah lama mendengar nama Ji-ok Kui-bin Nio-nio yang tersohor kejam, jahat dan lihai! Maka sekarang dapat memperoleh kesempatan untuk bertanding, sungguh aku merasa girang!”
Semua orang terkejut. Betapa besar bedanya sikap Cu Han Bu dan adiknya yang bernama Cu Kang Bu ini. Orang ini memiliki watak yang sama dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar dan gagah. Wataknya kasar, jujur dan tidak menyimpan rahasia dalam hatinya. Maka begitu bertemu, dengan jujur dan dengan suara yang tidak mengandung ejekan melainkan sewajarnya, dia telah mengatakan Ji-ok kejam dan jahat! Julukannya adalah Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati) yang juga merupakan julukan yang terang-terangan, tanda bahwa dia memiliki tenaga yang besar.
Seperti semua tokoh di Lembah Suling Emas itu, nama Cu Kang Bu juga tidak terkenal sama sekali, bahkan kalah terkenal dibandingkan dengan Cui-beng Sian-li yang menjadi Toaso-nya itu. Oleh karena itu, Ji-ok belum pernah mendengarnya dan tentu saja orang nomor dua dari Im-kan Ngo-ok ini memandang rendah.
Akan tetapi watak Im-kan Ngo-ok memang aneh. Mereka sudah menggunakan julukan Ngo-ok (Lima Jahat) dan ini bukan nama kosong belaka. Kejahatan bagi mereka ini bukan merupakan suatu hal buruk yang patut membuat mereka malu, sebaliknya malah, mereka itu seperti mengagungkan kejahatan dan malah merasa bangga kalau disebut jahat dan kejam! Oleh karena itu, ketika Cu Kang Bu secara jujur menyebutnya kejam dan jahat, Ji-ok tersenyum di balik kedoknya dan sepasang mata di balik kedok itu berseri-seri!
“Hi-hi-hi-hik, bagus sekali! Aku girang sekali mendengar bahwa namaku sampai dikenal di tempat yang tersembunyi ini. Ban-kin-sian Cu Kang Bu, engkau hendak mewakili pihak tuan rumah menguji kepandaianku? Bagaimana kalau sampai engkau terluka parah atau mati? Ketahuilah, Ji-ok sekali turun tangan tentu ada yang mati!”
Cu Kang Bu tertawa dan wajahnya nampak tampan kalau dia tertawa. “Ha-ha-ha-ha, bicaramu lucu sekali, Ji-ok! Pi-bu, kalah, menang, luka dan mati adalah hal-hal yang merupakan rangkaian tak terpisahkan. Sudah berani pi-bu tentu berani kalah, luka atau mati. Akan tetapi ingat, hal itu berlaku untuk kedua pihak. Bukan hanya aku yang mungkin luka atau mati, akan tetapi engkau juga.”
“Hi-hik, bagus! Kalau begitu bersiaplah engkau untuk mati, orang she Cu!” Baru saja dia berkata demikian, tahu-tahu Ji-ok sudah menubruk maju, kedua tangannya membentuk cakar-cakar setan dan gerakannya cepat bukan main, tahu-tahu tangan kirinya sudah mencengkeram ke arah kedua mata lawan sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah kemaluan! Bukan main bahayanya serangan ini, semacam serangan yang amat curang dan kotor, yang tidak akan dilakukan oleh ahli silat tinggi.
“Duk! Desss!”
Serangan maut itu sama sekali tidak dielakkan oleh Cu Kang Bu, melainkan ditangkis dengan kekerasan! Kedua lengannya yang kuat itu menangkis dengan pengerahan tenaga dan adu lengan itu membuat Ji-ok meringis di balik kedoknya karena kedua lengannya yang kecil itu seolah-olah bertemu dengan dua batang baja besar yang amat kuat!
Ji-ok bukan seorang ahli silat sembarangan. Tangkisan yang amat kuat itu biar pun membuat kulitnya terasa nyeri, akan tetapi tidak sampai melukai lengannya dan dia yakin akan kekuatan lawan yang berjuluk Dewa Bertenaga Selaksa Kati itu, maka dia pun mengandalkan kecepatan gerakannya dan mulailah dia menghujani lawan dengan serangan-serangannya. Setiap serangan merupakan serangan maut yang mengerikan, dan sekali saja tangan Ji-ok mengenai sasaran, akan celakalah lawannya.
Pihak tuan rumah memandang dengan alis berkerut, maklum betapa kejinya serangan-serangan yang dilakukan oleh Ji-ok itu. Sama sekali tidak pantas dinamakan pi-bu atau mengadu ilmu silat untuk mengukur kepandaian masing-masing, lebih patut dinamakan serangan-serangan yang mengarah nyawa lawan!
Akan tetapi, betapa terkejut hati Ji-ok ketika dia melihat bahwa semua serangannya itu, betapa cepat dan kuatnya karena dia mengerahkan segenap tenaganya, tidak ada satu pun yang mampu membobol pertahanan orang muda itu! Cu Kang Bu bergerak dengan tenang sekali, mantap dan tubuhnya seolah-olah dilindungi oleh benteng baja yang tercipta dari gerakan tubuhnya, setiap serangan dapat ditangkisnya dengan sangat mudah dan sekali-kali dia membalas dengan tamparan atau dorongan tangan yang mengandung kekuatan dahsyat!
Ji-ok bukan seorang bodoh. Setelah melakukan penyerangan hampir lima puluh jurus lamanya, dia sudah tahu bahwa tingkat kepandaian lawannya itu ternyata luar biasa tingginya dan sukarlah baginya untuk mencapai kemenangan! Maka dia pun kemudian mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia sudah mempergunakan ilmunya yang terbaru, ilmu dahsyat sekali yang merupakan andalannya, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang)! Jari telunjuknya bergerak dan hawa yang seperti kilat cepatnya, amat dingin dan tajamnya seperti pedang pusaka, menyambar ke arah dada Cu Kang Bu! Hawa pukulan jari mukjijat ini mengeluarkan suara bercuitan amat mengerikan.
Cu Kang Bu maklum akan hebatnya pukulan itu, dia mengenal ilmu mukjijat. Cepat dia menangkis dengan dorongan telapak tangannya dari samping dan memutar lengan.
“Bretttt....!” Tetap saja lengan bajunya dekat pangkal lengan terobek oleh hawa pukulan dari Kiam-ci! Karena dia tidak menyangka, maka kulit pangkal lengannya ikut terobek dan mengeluarkan sedikit darah, seperti bekas dicakar kucing!
“Hi-hi-hik!” Ji-ok tertawa mengejek di balik kedoknya, akan tetapi suara tertawanya itu segera terhenti karena Cu Kang Bu kini sudah menyerangnya dengan hebat, kedua lengan yang besar kuat itu bergerak-gerak bergantian ke depan, kedua kakinya juga menggeser maju. Dari kedua telapak tangan itu menyambar hawa pukulan dahsyat sekali ke arah lawan! Ji-ok tidak berani menghadapi dengan kekerasan, maklum akan kekuatan lawan, maka dia sibuk menghindarkan diri dan mengelak ke sana-sini, terus didesak oleh lawan.
Ji-ok menjadi marah sekali. Dia harus menang, demikian pikirnya. Di depan begitu banyak orang kang-ouw, akan rusaklah nama besarnya kalau sampai dia kalah oleh seorang lawan yang sama sekali tidak memiliki nama besar di dunia persilatan, walau pun sungguh harus diakui bahwa tingkat kepandaian lawannya ini benar-benar amat tinggi. Dia mengeluarkan bentakan yang menggetarkan seluruh tempat itu dan tiba-tiba, dalam keadaan terdesak itu dia mengirim serangan balasan, kedua jari telunjuknya mencuat ke depan seperti sepasang pedang dan ada hawa pukulan yang amat dingin menyambar dahsyat ke arah lawan!
Diam-diam Cu Kang Bu terkejut. Serangan ini adalah serangan mengadu nyawa, karena wanita berkedok tengkorak itu menyerang dengan sepenuh tenaga tanpa mempedulikan penjagaan diri lagi, pendeknya ingin membunuh lawan dengan taruhan nyawa sendiri! Tentu saja dia tidak sudi untuk mengorbankan nyawa dan mati bersama lawan yang amat keji dan jahat ini. Dia pun mengeluarkan seruan panjang dan kedua tangannya dibuka menyambut terjangan ganas itu.
“Bressss....!”
Dua tenaga sakti bertemu amat hebatnya dan akibatnya, tubuh Ji-ok terpelanting dan terbanting ke belakang sampai bergulingan! Tubuh Cu Kang Bu tetap berdiri, akan tetapi kedua lengannya berdarah karena kulitnya tergores seperti tergores pedang. Dia menderita luka tergores kulitnya dan mengeluarkan darah sedangkan Ji-ok terbanting keras, maka dalam adu tenaga ini pihak tuan rumah yang menang, sungguh pun mengenai ilmu pukulan, sungguh Ji-ok memiliki Kiam-ci yang amat ganas dan dahsyat!
Ji-ok sudah meloncat bangun kembali, dan sebelum dia sempat menyerang lagi, tiba-tiba terdengar gerengan keras, nampak bayangan besar berkelebat dan tahu-tahu Yeti, makhluk raksasa itu telah berdiri di depannya dengan sikap beringas dan mengancam! Yeti mengembangkan kedua lengannya yang panjang dan besar, menggereng dan memukul-mukul dada dengan tangan kiri seolah-olah menantang lawan, dan kemudian tangan kanannya menunjuk-nunjuk keluar sambil menggereng. Jelas sekali gerakannya ini, yaitu dia menantang Ji-ok kalau mau berkelahi, dan mengusir semua orang agar pergi meninggalkan tempat itu!
“Cuuuttt....!” Kiam-ci dari tangan kiri Ji-ok, yaitu telunjuk kirinya telah mengirim serangan ke arah Yeti. Makhluk itu menggereng saja, seolah-olah kurang cepat mengelak dan hawa pukulan dari telunjuk kiri itu mengenai dadanya, disusul telunjuk itu menotok dadanya.
“Dukkkk!”
Ji-ok berteriak dan meloncat ke belakang. Hampir patah telunjuknya ketika mengenai dada Yeti. Kiranya Yeti memiliki kekebalan yang amat luar biasa sehingga ilmu pukulan itu tidak mempan. Dan pada saat itu Yeti menggerakkan lengannya. Hampir saja kepala wanita berkedok itu kena dicengkeram kalau saja dia tidak cepat membuang tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali.
Melihat makhluk itu menyerang Ji-ok, Toa-ok sudah cepat bergerak ke depan, kedua tangannya membuat gerakan memutar dan ada angin dahsyat menyambar ke arah Yeti! Tubuh Yeti yang tinggi besar itu terbawa oleh angin dahsyat ini sampai terhuyung, akan tetapi ketika Toa-ok menampar dengan tangan kiri, Yeti juga menggerakkan tangannya dan tak dapat dicegah lagi dua dengan itu saling beradu.
“Dessss....!”
Dan akibatnya, mereka berdua terpental ke belakang! Bukan main kagetnya hati Toa-ok. Dia tadi telah mengerahkan tenaga sinkang-nya yang paling kuat, namun Yeti itu dapat menangkisnya dan ternyata tenaga mereka seimbang! Dan dia tahu benar bahwa Yeti itu juga memiliki tenaga sinkang, bukan hanya tenaga otot seperti layaknya binatang buas! Benar-benar dia tidak mengerti dan terheran-heran.
Seperti juga tadi, Yeti memukul-mukul dada sendiri dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menunjuk keluar seperti orang mengusir. Ngo-ok berlima kini sudah mengepung Yeti dengan sikap mengancam. Melihat ini, Cu Han Bu bangkit berdiri dan berkata, suaranya berwibawa dan tegas, “Harap Im-kan Ngo-ok suka mundur dan tidak membikin ribut di tempat kami!”
Lima orang datuk kaum sesat itu melirik ke arah Cu Han Bu. Ji-ok mengeluarkan suara ketawa mengejek, Su-ok dan Ngo-ok juga tersenyum menyeringai. Tentu saja di dalam hati mereka tidak sudi mentaati permintaan orang yang dianggap masih muda itu. Akan tetapi berbeda dengan saudara-saudaranya, Toa-ok dan Sam-ok yang cerdik melihat betapa selain Cu Han Bu, juga Cu Seng Bu yang bermuka pucat dan Cu Kang Bu sudah bangkit berdiri, juga Tang Cun Ciu wanita lihai itu. Yeti itu lihai sekali, dan keluarga Cu itu pun tak boleh dipandang ringan, maka kalau mereka nekat, tentu mereka berlima akan mengalami rugi.
Toa-ok lalu tersenyum ramah dan menjura ke arah Cu Han Bu sambil berkata, “Maaf.... maaf.... kami hanya main-main saja melihat Yeti menantang.”
Cu Han Bu memandang kepada Sim Hong Bu dan berkata, “Bujuklah dia agar jangan membikin ribut.”
Hong Bu lalu menghampiri Yeti, dipegangnya tangan Yeti itu sambil berkata. “Mari kita duduk kembali dan tidak perlu membikin ribut di tempat ini....”
Yeti masih menggereng-gereng, akan tetapi dia menurut saja dituntun oleh Hong Bu ke pinggir.
“Pek In, kau bagi-bagikan pek-giok (batu kumala putih) itu kepada para tamu, masing-masing sebutir!” tiba-tiba Cu Han Bu berkata kepada pemuda tanggung tampan yang sejak tadi hanya menonton dengan anteng itu.
“Baik, Ayah,” jawab Cu Pek In. Pemuda tampan ini mengeluarkan sebuah kantung kuning, membuka tali mulut kantung dan merogoh dengan tangan kanan.
“Cu-wi, harap suka menerima pemberian hadiah dari Kim-siauw-san-kok!” katanya nyaring dan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebutir batu berwarna putih bening sebesar gundu dan dia melemparkan gundu itu ke arah Si Ulat Seribu. Bukan sembarang lemparan karena gundu itu berubah menjadi sinar putih menyambar ke arah mata kanan Si Ulat Seribu! Tetapi wanita berwajah buruk ini dengan mudah menyambut dan menerima batu itu, memeriksanya penuh perhatian.
Cu Pek In sudah melempar-lemparkan batu-batu putih itu, satu demi satu ke arah para tamu, setiap lemparan dilakukan dengan gaya yang indah namun batu itu meluncur dengan cepatnya ke arah sasaran. Karena mereka yang menjadi tamu adalah orang-orang kang-ouw yang rata-rata berilmu tinggi, tentu saja mereka semua dapat menerima lontaran batu itu dengan mudah, tetapi diam-diam mereka pun terkejut karena mereka dapat merasakan betapa tenaga lontaran pemuda tanggung itu sudah mengandung tenaga sinkang yang cukup kuat!
Hanya Hong Bu yang tidak diberi batu itu, demikian pula Yeti. Kepada Hong Bu, pemuda tanggung yang tampan itu berkata halus. “Karena engkau dan Yeti telah mengembalikan pedang pusaka kami, maka Ayahku sendiri yang akan memberi hadiah kepada kalian.”
Hong Bu tidak menjadi kecewa. Dia tidak mengharapkan dan membutuhkan hadiah. Dikembalikannya pedang pusaka kepada keluarga Cu itu adalah hal yang wajar dan bahkan sudah sepatutnya, maka dia tidak mengharapkan upah apa pun.
“Harap Cu-wi tidak memandang rendah batu kecil itu,” terdengar Cu Han Bu berkata kepada para tamu yang masih meneliti batu sebesar gundu di tangan mereka. “Itu adalah pek-giok tulen yang terdapat dalam tempat rahasia di Pegunungan Himalaya, dan sebagai orang-orang kang-ouw, tentu Cu-wi tahu akan khasiat pek-giok yang tulen. Apabila terkena racun apa pun, dia akan berubah menjadi hijau. Dengan pek-giok di tangan, Cu-wi takkan sampai terjebak oleh makanan beracun.”
Semua orang tahu akan kegunaan pek-giok itu, maka mereka lalu menyimpan batu kecil itu ke dalam saku baju masing-masing.
“Sekarang kami persilakan Cu-wi untuk meninggalkan tempat kami. Jite dan Sam-te, kalian antar mereka keluar lembah. Sim Hong Bu, engkau dan Yeti tinggal dulu di sini, kami akan bicara dengan kalian.”
Sebetulnya penahanan tuan rumah terhadap Sim Hong Bu ini ada maksudnya. Melihat betapa pemuda tanggung itu tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, sedangkan para orang kang-ouw itu selain lihai juga di antara mereka banyak terdapat orang-orang jahat seperti Im-kan Ngo-ok, maka melepas pemuda itu bersama mereka merupakan hal yang amat berbahaya bagi pemuda itu. itu. Apalagi kalau pemuda itu membawa hadiah pusaka yang berharga, tentu akan dirampas oleh mereka. Biar pun ada Yeti yang agaknya melindungi pemuda itu, namun Yeti berada dalam keadaan terluka dan hal ini diketahui benar oleh pihak tuan rumah yang bermata tajam itu. Oleh karena itulah maka Cu Han Bu sengaja menahan Hong Bu agar keluarnya dari tempat itu tidak berbareng dengan rombongan itu.
Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu lalu mengantar rombongan itu yang berjumlah delapan belas orang, diikuti pula oleh Tang Cun Ciu dari belakang. Seperti ketika mereka memasuki lembah, kini mereka pun harus menggunakan satu-satunya jalan keluar, yaitu melalui jembatan tambang yang berbahaya di atas jurang yang amat lebar dan dalam itu. Setelah mereka semua menyeberang sampai ke seberang sana, tiba-tiba tali yang menjadi jembatan itu dikendurkan dan tali itu turun ke bawah sampai lenyap di balik kabut yang memenuhi jurang di bawah itu.
Ketika Cu Seng Bu, Cu Kang Bu dan Tan Cun Ciu kembali ke rumah yang disebut Istana Lembah Suling Emas itu, terjadi keributan di situ. Kiranya, setelah rombongan orang-orang kang-ouw itu pergi, tiba-tiba Yeti mengeluh dan roboh terpelanting. Sim Hong Bu terkejut sekali dan cepat dia berlutut di dekat tubuh Yeti. Ternyata Yeti itu telah roboh pingsan dan dari mulutnya keluar darah menetes-netes!
“Yeti....! Yeti....! Ah, Locianpwe, tolonglah....!” Hong Bu berteriak dan Cu Han Bu cepat menghampiri dan memeriksa keadaan Yeti dengan meraba dada, memeriksa urat nadi dan lain-lain. Dan tuan rumah ini terkejut bukan main. Kiranya Yeti ini telah parah sekali keadaannya, bukan hanya terluka di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi juga jalan darahnya kacau-balau dan ada tanda-tanda bahwa darahnya keracunan hebat!
“Mari kita membawanya ke dalam untuk dirawat,” katanya singkat dan dengan bantuan Hong Bu, mereka menggotong tubuh Yeti itu ke sebelah dalam dan merebahkannya ke atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar kosong.
Cu Han Bu lalu meninggalkan kamar itu untuk mencari obat-obat yang kiranya dapat menolong Yeti. Ketika itulah dua orang adiknya dan twako-nya kembali dari mengantar para tamu dan mereka pun terkejut mendengar bahwa Yeti telah pingsan dengan tiba-tiba dan keadaannya payah sekali…..
Komentar
Posting Komentar