SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-10
Mereka berempat lalu pergi ke kamar itu dan Cu Han Bu sudah membawa obat-obat yang diperlukan. Namun ketika mereka tiba di depan kamar, mereka terkejut mendengar suara Hong Bu yang memanggil-manggil sambil meratap sedih. “Ouwyang-locianpwe....! Ouwyang-Locianpwe, kau.... sadarlah.”
Cu Pek In yang diam-diam datang pula di belakang ayahnya dan paman-pamannya, mendengar suara Hong Bu itu segera berkata heran. “Ah, bocah itu pun telah menjadi gila!”
Akan tetapi ayahnya dan dua orang pamannya tidak mempedulikannya dan segera meloncat masuk kamar. Mereka melihat Hong Bu berlutut dan mengguncang-guncang tubuh Yeti sambil menangis! Kiranya Hong Bu yang melihat keadaan Yeti yang terus mengeluarkan darah dari mulut itu menjadi sedemikian khawatir dan kasihan sehingga dia memanggil-manggil dengan nama itu karena dia yakin bahwa sesungguhnya Yeti adalah penyamaran Ouwyang Kwan seperti yang riwayatnya dia baca dalam goa es. Apalagi ketika tadi dia mendengar bisikan Yeti dalam keadaan tidak sadar, “Loan Si.... Loan Si....,“ maka dia tidak ragu-ragu lagi.
Melihat masuknya keluarga Cu, Hong Bu sadar dan terkejut bahwa dia telah membuka rahasia itu, maka untuk menutupinya dia berkata, “Locianpwe, harap Locianpwe sudi menolong Yeti....“
Akan tetapi Cu Kang Bu yang kasar itu telah menangkap bahunya dan menariknya bangun. “Kau tadi menyebut-nyebut Ouwyang-locianpwe! Siapa dia?!” Pertanyaan itu amat keras dan agak membentak.
Akan tetapi Hong Bu adalah seorang anak yang luar biasa tabah dan tidak pernah mengenal takut. Makin diperlakukan dengan kasar, dia akan semakin melawan. Maka dengan mata melotot dia menatap orang yang mencengkeram bahunya itu tanpa menjawab! Melihat ini, Cu Kang Bu yang paling menghargai keberanian diam-diam merasa kagum sekali. Dan Cu Han Bu segera berkata halus, “Sim Hong Bu, engkau tadi menyebut-nyebut Ouwyang-locianpwe, ada hubungan apakah nama itu dengan Yeti ini?”
Ditanya secara halus, kemarahannya Hong Bu yang sudah dilepaskan bahunya itu menjadi cair, dan dengan muka menunduk dan halus dia berkata, “Maaf, Locianpwe. Saya tidak berani bicara tentang itu....“
“Sim Hong Bu, engkau menyebut nama Ouwyang-locianpwe, apakah engkau hendak maksudkan bahwa Yeti ini adalah seorang yang bernama Ouwyang Kwan....?”
Diam-diam Hong Bu terkejut dan menyesal sekali bahwa dalam kekhawatirannya akan keselamatan Yeti itu tadi dia telah lupa diri dan menyebut-nyebut nama itu, Ouwyang Kwan telah bersusah payah menyembunyikan diri dan menyamar sebagai Yeti, tentu ada sebabnya, maka jika dia sekarang membuka rahasia sungguh dia merasa bersalah besar terhadap Yeti yang sudah menjadi penolong jiwanya berkali-kali itu.
“Tidak.... tidak tahu.... saya tidak berani bicara....,” ratapnya.
“Ahhh, tidak mungkin!” kata Cu Kang Bu keras.
“Dia ini.... Ouwyang Kwan....? Mana mungkin....!” kata pula Cu Seng Bu.
Tiba-tiba Yeti yang tadi tidak bergerak-gerak itu mengeluarkan suara gerengan, Hong Bu meloncat bangun dan menubruk dengan girang. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut mendengaar Yeti itu bicara, suaranya kaku dan aneh, seperti suara orang yang sudah hampir lupa akan bahasanya. “Dia.... anak ini.... benar.... aku adalah.... Ouwyang.... Kwan....“
Mendengar ini, tiga orang pria itu terkejut dan cepat menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan sambil menyebut, “Twa-supek....!” Melihat ini, Tang Cun Ciu juga ikut menjatuhkan diri dan juga Cu Pek In lalu berlutut sambil memandang dengan mata terbelalak.
Tentu saja Sim Hong Bu menjadi terkejut, heran dan juga girang! Kiranya Ouwyang Kwan benar adalah Yeti ini dan ternyata masih keluarga orang-orang gagah ini! Malah mereka menyebut Twa-pek, berarti bahwa Ouwyang Kwan yang menyamar sebagai Yeti adalah kakak dari ayah tiga orang she Cu itu.
“Ouwyang Twa-pek.... kenapa Twapek menjadi begini....?” Cu Han Bu bertanya dengan suara halus penuh penghormatan.
“Kretttt....!”
Mendadak Yeti itu menggunakan kedua tangannya merobek bibirnya yang tebal dan terobeklah muka Yeti menjadi dua, dan nampak kini wajah seorang laki-laki yang tua, sedikitnya ada tujuh puluh tahun usianya, rambut, alis dan jenggotnya sudah putih semua, dan sepasang matanya kelihatan penuh kedukaan. Kiranya Yeti itu hanya merupakan kedok saja, kedok yang amat bagus dan agaknya sudah menempel pada muka pria itu karena ketika dirobek, ada sebagian leher dan pipi kakek itu yang lecet-lecet dan berdarah! Kedua mata tua itu berlinang air mata dan dari ujung mulutnya masih menetes-netes darah segar.
Dengan suara yang amat kaku karena puluhan tahun tidak pernah bicara, kakek itu lalu berkata lirih dan didengarkan oleh semua orang dengan penuh perhatian. “Aku.... aku seperti baru sadar dari mimpi buruk.... dalam saat terakhir ini baru aku sadar bahwa aku telah berubah menjadi makhluk ganas....“
“Harap Twa-pek jangan berkata demikian. Twa-pek terlampau lelah dan terluka, biarlah kami merawat Twa-pek sampai sembuh. Sementara ini sebaiknya Twa-pek mengaso...,“ kata Cu Han Bu dengan lembut.
Akan tetapi kakek itu mengangkat tangan kanannya yang besar dan masih merupakan tangan Yeti. “Tidak ada gunanya.... aku akan mati.... akan tetapi aku harus lebih dahulu menceritakan semuanya kepada kalian keponakan-keponakanku.... dan meninggalkan pesan untuk.... bocah ini....“ Tangan yang besar itu mengelus kepala Sim Hong Bu yang masih berlutut di dekatnya dengan penuh kasih sayang.
Kakek yang menyamar sebagai Yeti selama puluhan tahun itu lalu bercerita. Dia bernama Ouwyang Kwan, dan di dalam keluarga Cu, sebenarnya dia adalah keturunan luar. Ibunya she Cu yang menikah dengan seorang luar she Ouwyang. Akan tetapi karena dia memiliki bakat yang amat baik dalam ilmu silat, maka oleh keluarga Cu dia diberi hak untuk mewarisi ilmu-ilmu keluarga itu yang amat tinggi. Bahkan kakeknya, yaitu Cu Hak pembuat pedang pusaka Koai-liong-pokiam itu amat sayang kepada cucu luar yang berbakat ini.
Akan tetapi ketika Ouwyang Kwan telah menjadi seorang pemuda gagah perkasa, terjadilah mala petaka itu. Di Lembah Gunung Suling Emas datang sepasang suami isteri yang masih pengantin baru, yaitu pendekar silat dan sastrawan yang bernama Kam Lok dan berjuluk Sin-ciang Eng-hiong bersama isterinya yang bernama Loan Si, seorang wanita yang amat cantik. Hati Ouwyang Kwan yang masih muda dan belum berpengalaman itu seketika jatuh dan tergila-gila kepada isteri orang itu!
Karena dia bersikap menggoda terhadap Loan Si, maka terjadilah kesalah-pahaman dan terjadilah perkelahian antara Sin-ciang Eng-hiong Kam Lok dan Ouwyang Kwan. Dalam pertandingan ini, Ouwyang Kwan harus mengakui kelihaian lawannya dan dia tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, dia tidak akan menang. Sesuai dengan julukannya, yaitu Sin-ciang Eng-hiong (Pendekar Bertangan Sakti), Kam Lok memiliki ilmu silat yang hebat dan kekuatan tangannya mengejutkan. Akan tetapi, keluarga Cu lalu melerai dan melihat bahwa keluarga pihak mereka yang bersalah, keluarga Cu lalu menegur Ouwyang Kwan dan minta maaf kepada suami isteri yang menjadi tamu itu.
Kam Lok dan isterinya lalu berpamit dan meninggalkan Lembah Suling Emas. Namun, Ouwyang Kwan yang sudah tergila-gila itu lalu mencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam peninggalan kakeknya Cu Hak, lalu minggat dari Lembah Suling Emas!
“Aku.... aku berdosa kepada keluarga Lembah Suling Emas....,” demikian kakek yang menyamar sebagai Yeti itu berkata, menghentikan ceritanya sebentar.
Semua orang mendengarkan dengan hati amat tertarik, dan Sim Hong Bu kini mengerti mengapa keluarga Cu merahasiakan kehilangan pedang pusaka keluarga itu kepada para tokoh kang-ouw. Kiranya pedang itu hilang dari keluarga Lembah Suling Emas karena dicuri dan dilarikan oleh seorang anggota keluarga mereka sendiri!
Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya dengan suara lirih dan terputus-putus. Melihat keadaan kakek itu yang payah, beberapa kali para anggota keluarga Cu itu hendak menghentikan ceritanya, akan tetapi Ouwyang Kwan memaksa, bahkan mengatakan bahwa ceritanya itu merupakan pesan terakhir!
Dengan pedang pusaka keluarganya sendiri di tangan, Ouwyang Kwan mengejar Sin-ciang Eng-hiong Kam Lok dan dengan terang-terangan dia minta agar Loan Si diberikan kepadanya! Tentu saja Kam Lok menjadi marah. Mana mungkin isteri diminta orang begitu saja? Dan tentu saja pertemuan itu disusul dengan perkelahian yang lebih seru dan dahsyat lagi. Tetapi kini Ouwyang Kwan memegang Koai-liong-pokiam, sebatang pedang pusaka yang amat ampuh. Dan dengan pedang di tangan ini, Ouwyang Kwan membuat lawannya terdesak hingga akhirnya Sin-ciang Eng-hiong tidak kuat melawan terus dan melarikan diri bersama isterinya.
Maka terjadilah kejar-kejaran. Setiap kali terkejar, Kam Lok melawan hanya untuk mengakui keunggulan Ouwyang Kwan, atau lebih tepat, kehebatan Koai-liong-pokiam karena sesungguhnya pedang pusaka itulah yang membuat Ouwyang Kwan dapat membuat lawannya repot. Tanpa adanya pedang itu Ouwyang Kwan tak akan mampu menandingi Kam Lok.
Dan akhirnya, Kam Lok dan isterinya berputar-putar di daerah Pegunungan Himalaya dan bersembunyi di dalam goa batu dan es. Akan tetapi, Ouwyang Kwan yang sudah tergila-gila kepada Loan Si, yang sudah bersumpah tidak akan berhenti mengejar sebelum dia dapat memiliki wanita yang membuat dia jatuh hati itu, terus mencari dan bertemulah kedua orang musuh besar ini di dalam goa! Terjadilah perkelahian mati-matian yang amat seru, akan tetapi akhirnya, pedang Koai-liong-pokiam bersarang di dada Kam Lok dan pendekar itu pun tewaslah!
Akan tetapi, kenyataan tidaklah sama indahnya dengan apa yang dicita-citakan dan diharapkan. Biar pun Ouwyang Kwan berhasil membunuh Kam Lok, namun dia tidak berhasil menundukkan hati Loan Si. Wanita ini tidak mau diperisteri olehnya. Loan Si hanya mencinta seuaminya seorang, dan tentu saja terhadap Ouwyang Kwan, dia tidak hanya bersikap tidak peduli dan tidak mau membalas cintanya, bahkan timbul rasa bencinya karena pendekar gagah perkasa ini telah membunuh suaminya!
Segala bujuk rayu Owyang Kwan tidak menarik hatinya dan tidak ada hasilnya. Untuk menggunakan kekerasan, Ouwyang Kwan tidak mau. Dia bukan seorang pria yang begitu rendahnya untuk memperkosa wanita, dan pula, wanita itu amat dicintanya sehingga dia tak tega untuk menghinanya. Dia menghendaki agar Loan Si menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela! Ternyata hal itu sama sekali tidak mungkin sehingga akibatnya ia sendiri yang merana dan mulailah dia menyalahkan perbuatannya terhadap Kam Lok yang sama sekali tidak bersalah kepadanya itu.
Betapa pun juga, gairah cintanya terhadap Loan Si makin menghebat dan inilah yang membuat dia makin merana. Api birahi berkobar-kobar di dalam dirinya dan dia seperti orang terbakar dari sebelah dalam. Ketika pada suatu hari dia melihat betapa takutnya Loan Si melihat seekor beruang besar di luar goa, Ouwyang Kwan lalu mendapat akal. Diam-diam ia membunuh beruang salju itu, mengulitinya dan dia lalu memakai kulit beruang salju itu sebagai kedok, dengan sedikit merubah muka atau kulit muka beruang itu. Maka terciptalah Yeti, manusia salju mengerikan. Dengan penyamaran ini, dia hendak menakut-nakuti Loan Si dengan harapan agar dalam keadaan takut itu Loan Si mau menoleh kepadanya, minta tolong kepadanya, dan menyerahkan diri dengan suka rela kepadanya!
Namun, apa yang terjadi sungguh di luar dugaannya. Memang tadinya Loan Si ketakutan setengah mati. Munculnya beruang setengah monyet setengah manusia itu amat mengejutkan hatinya dan hampir membuat dia pingsan. Akan tetapi, pada saat dia ketakutan dan hampir memanggil musuh besarnya, Ouwyang Kwan, untuk menolong dan melindunginya, dia teringat akan kebenciannya terhadap Ouwyang Kwan dan mengurungkan niatnya itu. Lebih baik dia dibunuh makhluk ini dari pada minta tolong kepada Ouwyang Kwan!
Dan terjadilah hal yang sama sekali tidak diduga-duga oleh Ouwyang Kwan! Loan Si bukan menjadi takut kepada Yeti dan bukan minta tolong kepadanya, bahkan Loan Si menyerahkan dirinya kepada Yeti! Wanita cantik jelita itu, yang membuatnya tergila-gila, menolaknya mati-matian dan sekarang justru menyerahkan diri kepada Yeti yang begitu mengerikan, menjijikkan dan menakutkan!
Akan tetapi, oleh karena yang menjadi Yeti itu adalah Ouwyang Kwan, maka melihat penyerahan diri wanita yang membuatnya tergila-gila itu, dia lupa diri dan terjadilah cinta semalam suntuk di depan mayat Kam Lok yang dibiarkan membeku dalam tumpukan salju dan es di dalam goa itu! Walau pun dia masih menyamar sebagai Yeti, namun Ouwyang Kwan mencurahkan seluruh cinta kasihnya malam itu kepada Loan Si, tak pernah mengenal puas. Di lain pihak, Loan Si juga merasa betapa dia jatuh cinta kepada makhluk buas itu! Maka terjadilah hal yang luar biasa itu, saling memberi dan saling mengambil, dengan sepenuh hati, dengan mesra dan juga dengan buas dan liar! Akhirnya, Ouwyang Kwan tidur kelelahan sambil memeluk tubuh wanita yang dicintanya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Loan Si terbangun lebih dulu dan mendapat kenyataan bahwa semalam suntuk tadi dia telah menyerahkan diri dengan suka rela, bahkan dengan panas, kepada Ouwyang Kwan! Ada rasa bahagia dalam hatinya, karena memang dia mulai tertarik dan jatuh cinta kepada pria ini, akan tetapi perasaan malu terhadap jenazah suaminya yang semalam suntuk telah ‘menonton’ perbuatannya yang berjinah itu, jauh lebih besar dari pada rasa senangnya. Dia malu, dan dia merasa telah mengkhianati suaminya yang tercinta. Dan dia melihat pedang pusaka Koai-liong-pokiam menggeletak di dekat tubuh Ouwyang Kwan. Maka disambarnya pedang itu dan di lain saat pedang itu telah menembus jantungnya!
Bercerita sampai di sini, kedua mata tua Ouwyang Kwan menitikkan air mata. “Aku manusia berdosa.... aku telah menjadi Yeti, makhluk buas....!” demikian keluhnya.
Semua pendengarnya memandangnya dengan muka pucat, kecuali Hong Bu yang memang sudah tahu akan cerita itu, sudah dibacanya catatan dari suami isteri yang mati di dalam goa itu. Kemudian Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya.
“Melihat wanita yang kucinta sepenuh nyawaku itu roboh tak bernyawa di sampingku, bergelimang darah yang keluar dari dadanya karena tusukan pedang Koai-liong-pokiam, aku menjadi seperti gila. Dan memang aku telah gila.... aku telah gila....!” Kembali Ouwyang Kwan menghentikan ceritanya dan menangislah kakek itu!
Kemudian, dengan suara yang semakin payah, dengan napas satu-satu yang menyesak dada, Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya. Dia pun lalu mendudukkan wanita yang tercinta itu di samping Kam Lok, membiarkan tubuh Loan Si membeku terbungkus es seperti keadaan mayat Kam Lok. Kedukaannya membuat dia seperti linglung, apalagi ketika ditemukannya buku catatan Kam Lok yang kemudian disambung dengan catatan Loan Si yang menyatakan betapa wanita itu mulai meragu, mulai jatuh cinta kepadanya, akan tetapi munculnya Yeti itu menggagalkan segalanya! Kiranya sebelum membunuh diri, Loan Si masih sempat melanjutkan tulisannya dalam buku catatan itu. Makin hancur rasa hati Ouwyang Kwan dan dia tidak lagi mau menanggalkan penyamarannya sebagai Yeti! Dia merasa dirinya bukan manusia, lebih patut menjadi makhluk buas Yeti!
“Pedang pusaka itu yang telah membunuh Kam Lok dan Loan Si, membuat aku benci melihatnya dan kubuang jauh-jauh ke dalam jurang yang curam,” demikian katanya. “Dan aku tidak ingat apa-apa lagi, tidak ingat bahwa aku adalah manusia. Aku merasa bahwa aku adalah Yeti, makhluk buas!” Dia berhenti dan memejamkan mata, seolah-olah merasa ngeri setelah dia kini teringat akan semua itu.
“Kemudian, pada suatu hari, aku melihat seorang wanita yang membawa pedang itu. Aku masih mengenali pedang itu dan timbul kemarahanku. Apalagi ketika wanita itu menyerangku. Agaknya selama aku lupa segalanya itu, hanya ilmu silat yang tak pernah kulupakan, bahkan aku memperdalam ilmu silat selama puluhan tahun itu....!”
“Maafkan saya, Ouwyang Twa-pek...,” terdengar Cui-beng Sian-li Tang, Cun Ciu berkata ketika mendengar penuturan itu.
“Ya, engkaulah wanita itu. Dan aku mulai teringat segalanya ketika Sim Hong Bu ini membawaku ke lembah ini. Ketika aku melarikan diri, kalian belum ada di dunia ini, akan tetapi mendengar semuanya, aku teringat kembali dan aku mulai mengerti. Tubuhku telah kulatih sehingga kebal terhadap segala macam senjata, namun agaknya tidak cukup kebal menghadapi Koai-liong-pokiam.... ahhh, pedang yang kupakai membunuh Kam Lok dan telah menembus jantung Loan Si kekasihku itu, kini ternyata mengantar pula nyawaku ke alam baka menyusul mereka. Aku tidak penasaran....”
Sampai di sini Ouwyang Kwan mengeluh panjang dan roboh pingsan. Tentu saja tiga orang kakak beradik Cu itu menjadi sibuk dan berusaha menolong. Kini semua orang mengerti atau dapat menduga apa yang terjadi. Agaknya pedang pusaka itu setelah dibuang oleh Ouwyang Kwan ke dalam jurang, kemudian ditemukan oleh seseorang dan akhirnya pedang pusaka itu, entah bagaimana, mungkin melalui jual beli yang mahal, terjatuh ke tangan Kaisar dan menjadi pengisi kamar pusaka istana. Ketika hal ini diketahui oleh keluarga di Lembah Suling Emas, Tang Cun Ciu lalu menerima tugas untuk mengambilnya kembali. Pencurian atau lebih tepat pengambilan kembali pedang ini menggegerkan dunia kang-ouw.
Seperti diketahui, Tang Cun Ciu yang sedang membawa pulang pedang itu, di tengah perjalanan bertemu dengan Yeti dan karena kaget dan takut, dia menyerang makhluk itu. Terjadi perkelahian dan ternyata makhluk itu terlalu tangguh bagi Tang Cun Ciu sehingga ketika pedang pusaka itu berhasil menusuk paha Yeti, wanita ini melarikan diri. Dan terjadilah peristiwa-peristiwa yang menggegerkan itu di daerah Pegunungan Himalaya.
Pada malam hari itu, Ouwyang Kwan siuman dari pingsannya. Tiga orang kakak beradik Cu itu yang merupakan ahli-ahli pula dalam urusan kesehatan, maklum bahwa keadaan Twa-pek mereka tidak mungkin dapat tertolong lagi. Seluruh darah telah keracunan dan luka di dalam tubuh Twa-pek itu pun amat hebat.
Dengan napas terengah-engah Ouwyang Kwan yang tubuhnya amat panas itu memberi isyarat kepada Hong Bu untuk mendekat. Pemuda tanggung ini maju berlutut dan Ouwyang Kwan membelai kepalanya. Kemudian kakek itu memandang kepada kakak beradik Cu yang berkumpul di dalam kamar itu, lalu berkata lemah sekali.
“Dia ini sudah kupilih menjadi muridku.... jadi terhitung saudara kalian sendiri.... Aku ada mencatatkan ilmu pedang yang kuciptakan di balik kulit Yeti ini.... baru kalian boleh buka setelah aku mati.... dan kupesan agar supaya kalian menuntun Sim Hong Bu ini untuk mempelajarinya dan sampai berhasil menguasainya.... dan karena ilmu ini kuciptakan untuk pedang Koai-liong-pokiam.... maka kuminta.... kelak kalau dia sudah menguasai ilmunya.... kalian serahkan pedang itu kepadanya....” Mulut itu masih bergerak-gerak, akan tetapi tidak ada suaranya lagi dan kepalanya lalu terkulai, maka tamatlah riwayat Ouwyang Kwan yang hidup merana karena asmara gagal itu.
Sim Hong Bu seorang yang menangisi kematian kakek itu. Dia merasa suka, sayang dan kasihan kepada ‘Yeti’ ini, dan kematiannya amat menyedihkan. Tiga orang kakak beradik Cu lalu mengurus jenazah twa-pek mereka, dengan hati-hati membuka kulit beruang yang sudah melekat pada kulit twa-pek mereka itu sehingga di sana-sini kulit Twa-pek itu ikut terobek dan lecet-lecet. Dan ternyata bahwa di sebelah dalam kulit ini terdapat coretan-coretan ilmu yang dimaksudkan itu. Dengan hati-hati Cu Han Bu lalu menyimpan kulit itu dan dengan penuh khidmat jenazah Ouwyang Kwan itu lalu dibersihkan, kemudian dilakukan pembakaran jenazah itu dalam keadaan berkabung.
“Mulai sekarang, Sim Hong Bu, engkau sudah murid kami! Ingat, murid Lembah Suling Emas harus bersumpah untuk melaksanakan semua peraturan yang ada pada keluarga kami. Pertama, engkau tidak boleh meninggalkan tempat ini tanpa ijin dari kami. Ke dua, engkau tak boleh mengajarkan ilmu-ilmu dari kami kepada orang lain tanpa persetujuan dari keluarga kami. Ke tiga, engkau harus menjunjung tinggi nama Lembah Gunung Suling Emas dan tidak menyeret nama baiknya dengan perbuatan-perbuatan jahat. Masih ada peraturan-peraturan tambahan yang kelak akan diberitahukan kepadamu, dan kalau engkau melakukan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan kami, maka engkau akan dianggap musuh oleh Lembah Suling Emas.”
Sim Hong Bu menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang laki-laki gagah perkasa itu, disaksikan Tang Cun Ciu dan Cu Pek In yang tersenyum-senyum melihat ini semua.
“Bagimu aku adalah Twa-suhu, Cu Seng Bu adalah Ji-suhu, dan Cu Kang Bu adalah Sam-suhu. Akan tetapi karena aku telah dan sedang mengajarkan ilmu-ilmu kepada anakku sendiri, maka Ji-suhu dan Sam-suhu-mu yang akan membimbingmu.”
Sim Hong Bu yang sudah yatim piatu itu merasa girang dan cepat memberi hormat dan menyatakan sumpahnya. Demikianlah, mulai saat itu Sim Hong Bu diterima sebagai ‘anggota keluarga’ Lembah Suling Emas, suatu hal yang amat beruntung baginya, dan hal itu hanya mungkin terjadi karena pertemuannya dengan Yeti…..
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kam Hong bersama Bu Ci Sian yang terasing dari dunia sekitarnya karena terdampar ke ‘pulau’ yang merupakan gunung diselimuti es yang terkurung jurang-jurang yang amat curam sehingga tidak memungkinkan mereka keluar dari ‘pulau’ itu!
Biar pun dia terkurung di tempat itu, namun Kam Hong tidak merasa kesal. Pertama, kakinya yang patah tulangnya itu memerlukan waktu untuk sembuh sehingga andai kata tidak terkurung dan terasing pun, dia toh tidak dapat pergi ke mana pun dan perlu berisirahat dan menghimpun kekuatan untuk mempercepat pertumbuhan tulangnya yang patah. Selain itu, semenjak dia menemukan ilmu dari catatan di tubuh jenazah kakek kuno itu, Kam Hong dengan amat tekunnya melatih diri. Setiap hari dia berlatih meniup suling!
Memang sungguh luar biasa kalau dipikir betapa sejak kecil Kam Hong sudah pandai sekali meniup suling. Akan tetapi dia meniup suling untuk berlagu merdu dan sekali ini dia belajar meniup suling dengan cara yang lain sama sekali! Kini dia belajar meniup suling sebagai cara untuk berlatih agar dia bisa mencapai tingkat yang amat tinggi dalam ilmu sinkang dan khikang!
Dia berlatih menurut petunjuk dalam catatan yang dibuat oleh Ci Sian itu, dan karena catatan itu merupakan huruf-huruf kuno yang ditiru oleh Ci Sian yang kadang-kadang hanya mencontoh saja tanpa tahu artinya, maka sebelum melatih diri dia harus lebih dulu meneliti apa yang menjadi isi dan maksud dari catatan-catatan itu. Dan setelah dia melatih diri, barulah dia tahu bahwa ilmu itu bukanlah ilmu sembarangan dan amat sukar untuk dapat meniup suling seperti yang dimaksudkan oleh nenek moyang Suling Emas yang asli itu!
Ketika terjadi pertempuran antara Yeti dan para orang kang-ouw di puncak yang berada di seberang sana, dari jauh Kam Hong dapat melihat peristiwa itu. Tentu saja hatinya ingin sekali untuk menghampiri dan menonton pertempuran dahsyat itu, akan tetapi kakinya dan tempat di mana dia berada tidak memungkinkan hal itu, maka dia hanya dapat melihat dari jauh dan tidak tahu siapa yang bertempur itu dan apa yang terjadi kemudian karena tak lama setelah pertempuran itu, orang-orang yang nampak di atas puncak di seberang itu pun menghilang. Tentu saja dia tidak melihat betapa orang-orang kang-ouw itu disambut oleh penghuni Lembah Suling Emas.
Dengan tekun sekali sehingga lupa akan keadaan dirinya yang berada di tempat terasing itu, Kam Hong terus belajar menyuling. Hal ini tentu saja jauh bedanya dengan keadaan Bu Ci Sian. Dara cilik ini setiap hari murung saja karena merasa kesal! Bagaimana dia tidak menjadi kesal? Berada di tempat terasing itu, setiap hari hanya makan panggang daging burung dan hanya kadang-kadang saja dia dapat menangkap binatang kelinci yang sebenarnya adalah tikus salju. Siapa tidak akan menjadi bosan?
Akan tetapi kekesalannya itu segera berubah ketika dia mulai menerima petunjuk dari Kam Hong yang mulai mengajarnya dengan ilmu-ilmu silat atau dasar-dasar ilmu silat tinggi dan ternyata Ci Sian merupakan seorang murid yang cerdas dan juga berbakat. Demikianlah, dua orang itu melewatkan waktu dan mengusir kekesalan dengan berlatih ilmu. Hanya suara suling yang itu-itu saja, tanpa melagu, hanya tuat-tuit kadang-kadang panjang kadang-kadang pendek itu kadang-kadang menimbulkan kebosanan pada Ci Sian dan kalau sudah begitu dia lalu murung dan tidak mau berlatih, kadang-kadang marah. Baru setelah Kam Hong menghiburnya dengan kata-kata manis kemarahannya berkurang kemudian lenyap lagi.
“Paman Kam Hong, aku pernah mendengar engkau meniup suling itu dengan lagu yang amat merdu dan indah menyenangkan, mengapa sekarang setelah engkau mempelajari catatan-catatan dari kakek pelawak itu engkau sekarang belajar menyuling seburuk itu? Hanya tuat-tuit menulikan telinga saja!” Pernah Ci Sian menegur Kam Hong yang lagi meniup suling emasnya.
Kam Hong tersenyum. “Ahh, engkau tidak tahu, Ci Sian, Kelihatannya saja aku belajar meniup suling, akan tetapi sesungguhnya ini merupakan pelajaran latihan sinkang dan khikang yang paling tinggi tingkatnya!”
“Aihhh....!” Anak perempuan itu memandang dengan mata terbelalak dan diam-diam Kam Hong harus mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat mata seindah itu! “Kalau begitu, kau ajarilah aku meniup suling seperti itu, Paman! Ingat, aku pun membantumu mencatat pelajaran itu, aku berhak mempelajarinya!”
Kam Hong tersenyum dan mengangguk. “Jangan khawatir Ci Sian. Memang kita berdua yang menemukan jenazah dan pelajaran itu. Akan tetapi ketahuilah, pelajaran meniup suling ini sama sekali tidaklah mudah, tetapi merupakan latihan sinkang dan khikang tingkat tinggi. Engkau tidak akan mungkin dapat melatihnya sebelum memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat. Maka, biarlah kini kuajarkan engkau latihan sinkang melalui siulian dan kelak, kalau engkau sudah kuat, aku mau memberimu pelajaran dari catatan ini.”
Dan Ci Sian mulai melatih dengan menghimpun tenaga sinkang seperti yang diajarkan oleh Kam Hong. Dengan latihan-latihan ini setiap hari maka sang waktu lewat tanpa terlalu menimbulkan kejemuan biar pun mereka setiap hari harus makan daging burung dan tikus!
Tiga bulan lewat dengan cepatnya dan setelah tiga bulan, Kam Hong yang sudah memiliki tenaga sinkang yang amat kuat itu, yang sukar dicari bandingnya, ternyata baru mampu berlatih meniup suling dengan satu lubang saja. Baru tingkat permulaan dari latihan menurut catatan itu! Betapa pun juga, giranglah hati Kam Hong karena biar pun baru mencapai tingkat permulaan, ternyata kini sinkang-nya sudah bertambah kuat, jauh lebih maju dibandingkan dengan sebelum dia berlatih meniup suling.
Pada suatu pagi, selagi dia asyik berlatih meniup suling, dia mendengar jerit panjang yang mendirikan bulu romanya, karena dia mengenal suara itu adalah suara Ci Sian! Suara jerit mengerikan seolah-olah dara itu berada dalam ancaman bahaya besar dan dalam keadaan ketakutan. Dengan hati penuh kekhawatiran, sekali menggerakkan tubuh, Kam Hong telah meloncat jauh dari tempat duduknya ke arah suara itu dan berlarilah dia secepatnya.
Kini kakinya telah sembuh dan tulang yang patah telah tersambung kembali. Biar pun telah sembuh selama beberapa hari, namun biasanya dia masih amat berhati-hati kalau berjalan. Akan tetapi pada saat itu, begitu mendengar jerit suara Ci Sian, dia lupa akan kakinya dan berlari secepatnya dan ternyata bahwa kakinya yang patah tulangnya itu kini telah benar-benar sembuh sama sekali.
Akan tetapi, ke mana pun Kam Hong lari dan mencari, dia tidak melihat dara itu! Padahal tadi jeritnya terdengar jelas di tepi sebelah barat dari bukit atau pulau terpencil terkurung jurang itu! Berlarilah Kam Hong ke sana ke mari, mengelilingi sepanjang tepi jurang. Dan mulailah dia merasa gelisah sekali.
“Ci Sian....!” Dia memanggil dan terkejutlah dia karena di dalam suaranya itu terkandung tenaga khikang yang amat hebat sehingga suaranya menggetarkan seluruh permukaan bukit es itu. Tak disangkanya bahwa latihan selama tiga bulan meniup suling itu telah mendatangkan tenaga yang demikian kuatnya, padahal dia baru saja dapat menutup sebuah lubang dari suling itu yang berlubang enam buah. Akan tetapi kenyataan yang menggirangkan ini tak terasa oleh hatinya yang penuh dengan kekhawatiran tentang Ci Sian.
“Ci Sian, di mana engkau....?!” Dia berlari-lari lagi, kini sambil berteriak-teriak memanggil nama dara itu. Namun hasilnya sia-sia belaka. Ci Sian lenyap dari tempat itu, seolah-olah ditelan bumi.
Mengingat hal ini, tersirap darah Kam Hong dan wajahnya berubah pucat. Ditelan bumi ataukah ditelan jurang yang mengerikan itu? Jantungnya bagai ditusuk rasanya. Apakah Ci Sian tergelincir dan jatuh ke dalam jurang yang sedemikian curamnya sehingga tidak nampak dasarnya dari atas itu? Kalau begitu halnya, tidak mungkin gadis cilik itu tertolong nyawanya!
“Ci Sian....!” Dia mengeluh dan memejamkan mata, hendak mengusir bayangan yang demikian mengerikan, bayangan Ci Sian terjungkal ke dalam jurang dan mengalami kematian menyedihkan jauh di bawah sana. Dan dia pun bertekad untuk menyelidiki dan mencarinya. Kakinya sudah sembuh benar, dia hendak mencoba untuk mencari jalan, kalau perlu menuruni jurang yang curam sekali itu!
Ke manakah perginya Ci Sian?
Kekhawatiran dalam hati Kam Hong memang benar, dan mala petaka menimpa dara itu seperti yang dibayangkannya. Ketika Kam Hong sedang berlatih meniup suling, seperti biasa Ci Sian mencari burung untuk ditangkap dan dijadikan sarapan pagi mereka. Ketika dia melihat seekor burung putih seperti burung dara di antara kelompok burung yang biasa, timbul keinginannya untuk menangkap burung itu. Tentu rasa dagingnya lain, pikirnya. Akan tetapi burung putih itu gesit sekali. Beberapa kali disambitnya burung itu dapat mengelak dan berpindah-pindah tempat.
Ci Sian terus mengejarnya dan akhirnya, ketika burung itu melayang turun di tepi jurang, dia menyambitnya dengan batu dan berhasil! Ci Sian bersorak girang dan berlari-lari menghampiri, akan tetapi alangkah kecewa hatinya melihat burung itu tergelincir dari atas tebing. Dia menjenguk dan melihat bangkai burung itu kurang lebih dua meter dari tebing, tertahan oleh batu besar di dinding tebing. Burung itu telah mati, angin gunung membuat bulu dada burung itu bergerak-gerak tersingkap memperlihatkan kulit dada yang putih dan mulus, montok dan berdaging menimbulkan selera Ci Sian.
Hanya dua meter dan di situ ada batu besar menahan, pikirnya. Batu itu tentu akan cukup kuat menahanku, pikirnya dan dengan nekad karena dia terangsang oleh daging burung itu, Ci Sian lalu merayap turun dari tepi tebing yang amat curam itu. Dia merosot dan berhasil menginjak batu besar itu, lalu mengambil burung yang gemuk itu dengan girang. Burung itu masih hangat dan enak sekali terasa di telapak tangan.
Akan tetapi, tiba-tiba batu besar yang menahan tubuhnya itu bergerak. Ci Sian terkejut bukan main dan sebelum dia dapat memanjat naik, batu itu telah runtuh dan membawa tubuhnya bersama-sama melayang ke bawah! Ci Sian mengeluarkan jerit melengking yang terdengar oleh Kam Hong tadi, akan tetapi sebentar saja tubuhnya sudah ditelan oleh udara yang tertutup kabut tebal, terus melayang ke bawah menyusul batu di bawahnya. Batu itu menimpa dinding tebing dan terlempar jauh ke kiri, akan tetapi tubuh Ci Sian untung sekali tidak melanggar tebing dan terus meluncur ke bawah. Dara itu pingsan!
Ketika Ci Sian siuman dan membuka matanya dia segera teringat akan peristiwa tadi. Dia masih memejamkan mata dan menggerakkan kedua tangan meraba-raba tubuhnya yang terbungkus mantel tebal. Ahh, masih utuh! Kiranya semua itu tadi hanya mimpi, pikirnya dengan girang dan juga geli. Dia telah bermimpi jatuh ke dalam jurang!
Ci Sian membuka kedua matanya dan seketika dia terloncat bangun saking heran dan kagetnya. Dia tidak lagi berada di dalam goa di mana biasa dia tidur! Dia berada di tempat lain! Tempat yang seperti sebuah istana es! Banyak terdapat batu-batu runcing tergantung dari atas dan juga batu-batu runcing terbungkus es, putih berkilauan seperti jamur-jamur aneh tumbuh dari tanah yang tertutup salju. Dia berada di sebuah goa yang lain, di mulut goa yang aneh sekali.
Ci Sian bangkit berdiri dan ketika dia memutar tubuh ke arah goa, hampir dia berteriak saking kagetnya. Di mulut goa itu, yang tadi seperti kosong, kini sudah nampak seorang kakek duduk di atas batu bulat. Kakek yang tubuhnya telanjang, hanya bercawat saja. Hawa begitu dinginnya namun kakek itu telanjang dari kepalanya yang gundul kelimis sampai ke kakinya yang mekar seperti kaki bebek! Dan dari kepala gundul yang besar itu nampak uap mengepul! Lebih mengerikan lagi, seluruh tubuh kakek itu, dari leher sampai ke pinggang, lengan dan kaki, dibelit-belit oleh seekor ular yang amat panjang dan besar, perutnya sebesar paha kakek itu!
Ci Sian makin mengkirik kegelian melihat ular yang panjang besar itu, dan dia merasa gentar dan ngeri saat melihat kakek yang kurus tinggi dengan hidung besar mancung melengkung itu. Pasti seorang kakek bangsa asing, melihat bentuk mukanya yang kurus dengan alis yang sangat lebat, mata lebar tajam sekali, hidung seperti paruh burung kakatua, telinga lebar yang dihias anting-anting, dan kumis jenggot yang tak terpelihara, kulit mukanya yang kehitaman mengkilap.
Melihat dara remaja itu ketakutan, tiba-tiba kakek itu berkata, suaranya lembut akan tetapi dengan logat yang aneh dan asing. “Jangan takut, anak baik, ular inilah yang menyelamatkan engkau ketika jatuh dari sana tadi.”
“Jatuh....? Dari atas....?” Ci Sian berkata dengan mata terbelalak memandang ke atas, ke arah tebing tinggi yang puncaknya tak nampak dari bawah, tertutup awan atau kabut.
“Ya, engkau jatuh dari atas sana.”
Jadi, kalau begitu ini bukan mimpi! Dia benar-benar sudah jatuh dari atas. Dia lalu memandang ke kanan kiri dan mencari-cari. Ketika dia melihat bangkai burung putih menggeletak tak jauh dari situ, dia meloncat dan diambilnya bangkai burung itu. Benar! Inilah bangkai burung yang menjadi biang keladi sampai dia terjatuh ke dalam jurang! Ci Sian membuang burung itu, lalu dia melangkah maju mendekati kakek aneh itu, kini tidak takut lagi.
“Aku hendak menangkap burung itu dan tergelincir jatuh ke dalam jurang. Jadi ular itukah yang menyelamatkan aku? Bagaimana mungkin?” Dia berkata, tidak percaya bahwa seekor ular, betapa pun panjang dan besarnya, mampu menyelamatkannya yang terjatuh dari tempat sedemikian tingginya.
“Anak baik, engkau tidak tahu lihainya ular salju kembang ini! Dia bergantung pada batu di dinding tebing dengan membelitkan ekornya, kemudian dengan seluruh tubuhnya dia menerima tubuhmu dan membelitmu sehingga dengan demikian engkau terhindar dari bencana maut! Lihat, kulit-kulit pada ekornya masih rusak dan luka-luka karena tertarik oleh tenaga luncurannya ketika dia menahanmu.”
Ci Sian mendekat dan benar saja. Kulit pada sekitar ekor ke atas itu lecet-lecet dan berdarah, tetapi telah diberi obat oleh kakek itu dan mengering. Ular itu ketika melihat Ci Sian mendekat lalu menjilat-jilatkan lidahnya seperti seekor anjing yang jinak. Lenyaplah rasa takut dan jijik dari Ci Sian ketika mendengar betapa ular itu telah menolongnya dan melihat betapa ular itu jinak sekali.
“Ah, kalau begitu aku berhutang budi kepada ular ini dan kepadamu, Kek!” katanya dan wajahnya berseri.
Kakek itu menggeleng kepala. “Tidak ada hutang-piutang budi. Semua terjadi secara kebetulan. Semua ada yang menggerakkan dan kita hanyalah pelaku-pelaku belaka! Kalau tidak begitu mengapa kebetulan sekali ular ini melingkar di tempat engkau akan jatuh lewat, dan kebetulan sekali dapat menangkapmu dengan tepat, dan kebetulan sekali ular itu adalah ular sahabatku sehingga kebetulan pula engkau dapat bertemu dengan aku dan menggugahku dari semedhiku? Bukankah semua kebetulan ini sudah diatur? Hanya kita yang bermata ini selamanya seperti orang buta saja.”
Ci Sian tidak begitu mengerti akan kata-kata itu yang selain terlalu tinggi untuknya juga dikeluarkan dengan logat yang kaku dan asing. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang duduk bersila di atas batu itu sambil berkata, “Aku menghaturkan terima kasih kepada ularmu itu dan kepadamu, Kakek yang baik.”
Kakek itu tersenyum dan nampak mulutnya yang ompong tidak ada giginya sepotong pun. “Siapakah engkau, Nona dan apa sebabnya engkau sampai terjatuh dari atas sana?”
“Namaku Bu Ci Sian, Kek, dan sudah kukatakan tadi, aku tergelincir dari atas sana ketika hendak menangkap burung putih keparat itu!”
“Ho-ho, engkau sudah mewarisi kekejaman manusia Bu Ci Sian. Engkau membunuh burung itu untuk kau makan dagingnya, kemudian setelah membunuhnya kau hendak mengambil bangkainya lalu terjatuh, dan engkau memaki-maki burung yang sudah kau bunuh itu!”
Akan tetapi Ci Sian tidak mempedulikan celaan ini dan dia berkata. “Di atas sana masih ada Pamanku, Kek. Bagaimana aku dapat naik ke sana, kembali kepada Pamanku?”
“Ahhh, yang suka meniup suling itu?”
“Hei, bagaimana engkau bisa tahu, Kek?”
“Aku dapat mendengar getaran suara sulingnya dalam semedhiku. Dia berkepandaian hebat!”
“Benar dia, Kek! Dia adalah Paman Kam, dan aku ingin kembali ke sana.”
Kakek itu menggeleng kepala. “Tak mungkin naik ke sana. Sama sukarnya seperti naik ke langit saja. Salju dan es longsor telah membuat bukit itu terasing, terkurung jurang. Dan Pamanmu itu, betapa pun lihainya dia, jika dia tidak memiliki sayap untuk terbang, selamanya dia pun tidak akan dapat turun.”
“Ahh.... kalau begitu tolonglah dia, Kakek yang baik. Tolonglah dia agar dapat turun ke sini.”
“Menolong dia? Ci Sian, engkau mengkhayal yang bukan-bukan. Dia yang begitu lihai saja tidak mampu turun, bagaimana pula aku dapat menolongnya?”
“Akan tetapi, engkau tentu seorang Locianpwe berilmu tinggi.”
“Ahhh, sama sekali bukan. Aku hanya seorang tua bangka sahabat para ular yang telah kalah bertaruh melawan seorang wanita. Hemm.... sampai sekarang aku telah terhukum selama tiga tahun di goa ini.... gara-gara kebodohanku yang kalah bertaruh melawan seorang wanita.”
“Apa? Ada wanita yang dapat mengalahkanmu, Kek? Tentu dia itu hebat sekali ilmu silatnya!”
“Bukan kalah dalam ilmu silat....”
“Habis, kalah dalam hal apakah?”
“Kalah dalam menebak teka-teki.”
“Eh?” Ci Sian terbelalak dan merasa geli. Seperti anak-anak kecil saja, main tebak teka-teki. Dia tertarik sekali.
“Kek, ceritakanlah padaku, teka-teki apa yang membuatmu kalah. Barangkali saja aku dapat membantumu!” Memang Ci Sian adalah seorang anak yang suka akan teka-teki dan dahulu ketika dia tinggal bersama Kongkong-nya, setiap kali berkumpul dengan anak dusun sebaya, dia selalu bermain teka-teki dan dialah yang selalu menang karena kecerdasannya menebak segala macam teka-teki yang sulit-sulit.
Wajah kakek yang hitam itu tiba-tiba menjadi berseri. “Ah, siapa tahu engkau yang akan dapat membantuku. Nah, dengarlah, Ci Sian. Akan kuceritakan kisahku secara singkat agar engkau tahu akan duduknya perkara.”
Kakek itu adalah seorang saniyasi atau seorang pertapa bangsa Nepal yang bernama Nilagangga. Semenjak masih muda kesukaannya hanyalah merantau di sekitar daerah Pegunungan Himalaya, bahkan dia pernah merantau sampai jauh ke timur, ke Tiongkok dan akhirnya setelah tua dia pulang kembali ke Pegunungan Himalaya. Selama dalam perantauannya itu, dia telah memperoleh banyak ilmu dan terutama sekali dia menjadi ahli dalam ilmu pawang ular sehingga dia memperoleh julukan See-thian Coa-ong (Raja Ular dari Barat) di dunia kang-ouw. Tentu saja dia pun memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi, seperti juga mereka yang telah ‘menjauhkan’ diri dari dunia ramai, ada semacam penyakit menghinggapi diri kakek ini, yaitu dia suka sekali untuk mengadu ilmu dan di samping itu, dia gemar pula untuk berdebat tentang ilmu kebatinan dan suka pula bermain teka-teki!
Demikianlah memang keadaan manusia pada umumnya. Di dalam batin sebagian besar dari kita manusia terdapat gairah atau hasrat ingin menonjolkan diri, ingin memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan dan agar dapat membuat kita dipandang oleh manusia lain, baik sesuatu itu merupakan harta kekayaan, kedudukan tinggi, kepintaran luar biasa, kekuatan yang dahsyat, kemampuan-kemampuan lain lagi, pendeknya yang dapat membuat kita menonjol dan menjadi lebih tinggi dari pada orang-orang lain!
Kebanggaan diri ini telah menjadi ‘kebudayaan’ kita manusia, sejak kecil ditanamkan pada batin kita oleh orang tua, oleh nenek moyang, oleh kitab-kitab dan oleh guru-guru dalam pendidikan kita. Betapa sampai kini pun kita selalu menganjurkan anak-anak kita agar tidak kalah oleh orang lain! Agar menjadi paling menonjol, paling pintar, paling rajin dan segala macam ‘paling’ lagi. Bukankah pendidikan semacam ini yang menanam sifat tidak mau kalah, sifat ingin menonjol dalam batin anak-anak kita?
Kemudian, setelah kita menjadi dewasa, setelah sifat ingin menang dan ingin menonjol, ingin dipuji ini membawa kita bertemu dan bertumbuk dengan segala konflik, kita sadar bahwa sifat inilah yang menimbulkan pertentangan antara manusia, sifat inilah yang mendatangkan permusuhan dan bentrokan. Kemudian, sebagian dari kita lalu melarikan diri!
Seperti halnya Nilagangga itu, dia melarikan diri dari kenyataan itu, kemudian menyepi, dan menjauhkan diri dari tempat ramai. Namun, apakah gunanya pelarian ini? Sifat itu berada di dalam batin, kita bawa ke mana pun juga kita pergi. Sifat ingin menonjol itu tidak terpisah dari kita, maka tidaklah mungkin kita melarikan diri darinya, yang berarti kita melarikan diri dari kita sendiri. Sungguh tidak mungkin ini!
Maka, tidaklah mengherankan kalau sifat ingin menang ini muncul dalam bentuk lain, seperti halnya Nilagangga itu sifat ingin menang itu muncul dalam adu ilmu silat, ilmu batin, teka-teki dan sebagainya lagi.
Kita sudah biasa melarikan diri dari kenyataan pahit. Kita pemarah, kemudian kita lari ke dalam kesabaran! Kita berduka, lalu lari ke dalam hiburan. Dan selanjutnya lagi. Kita lupa bahwa yang marah, yang duka, adalah kita dan kemarahan atau kedukaan itu tidak pernah terpisah dari kita, berada di dalam batin kita, oleh karena itu, kalau kita lari ke dalam kesabaran dan hiburan, maka kita hanya akan terlupa atau terbius sebentar saja. Kemarahan dan kedukaan itu MASIH ADA di dalam batin kita, seperti api dalam sekam, dan sewaktu-waktu dapat meletus dan berkobar lagi!
“Pada suatu hari, ketika merantau di daerah Himalaya, aku memasuki daerah Lembah Gunung Suling Emas tanpa aku sengaja. Akan tetapi pihak penghuni itu melarangku memasuki lembah. Karena aku menganggap bahwa seluruh Himalaya adalah daerah bebas, maka terjadilah perbantahan dan dilanjutkan dengan pertandingan silat. Wanita itu, seorang wanita muda dan cantik yang menjadi anggota keluarga penghuni lembah itu, ternyata lihai sekali dan sampai kami berdua kehabisan tenaga, kami ternyata seimbang. Maka aku mengusulkan untuk bertanding dalam teka-teki dan ternyata aku kalah!” demikian kata kakek itu melanjutkan ceritanya.
“Bagaimana teka-tekinya, Kek?” Ci Sian yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu bertanya, hatinya tertarik sekali.
Kakek itu melanjutkan ceritanya. Lawannya itu menerima tantangannya untuk masing-masing mengeluarkan sebuah teka-teki. Dan mereka berdua berjanji, janji orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan dan menganggap janji lebih berharga dari pada nyawa, bahwa siapa yang tidak dapat menjawab teka-teki harus bertapa dalam goa itu dan sampai lima tahun tidak boleh meninggalkan goa sebelum dapat menjawab teka-teki itu!
“Aku mengajukan teka-teki, tetapi dia sungguh hebat, teka-tekiku dapat dijawabnya dengan mudah. Dan dia juga mengeluarkan teka-tekinya, dan.... sungguh sial aku, sampai sekarang sudah tiga tahun aku bertapa di dalam goa ini, tetap saja aku belum dapat menemukan jawabannya. Kalau tidak ada yang menolongku, agaknya aku terpaksa harus bertahan sampai dua tahun lagi di tempat ini.”
Tentu saja Ci Sian merasa geli dan panasaran. Mana ada aturan seperti itu? Mengapa orang memegang janji sampai mati-matian begitu? Andai kata kakek itu meninggalkan goa, tentu lawannya itu pun tidak akan tahu!
“Apa sih teka-tekinya yang begitu hebat? Coba kau beritahukan, Kek, siapa tahu aku akan-dapat menebaknya untukmu.”
“Begini teka-tekinya, dan mustahil engkau yang masih kanak-kanak ini akan dapat menebaknya!”
“Teruskanlah!” Ci Sian menjadi tidak sabar.
“Apakah perbedaan pokok antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?” Kakek itu berhenti sebentar setelah mengucapkan pertanyaan yang agaknya sudah begitu hafal olehnya itu, yang agaknya sudah ribuan kali diulanginya tanpa dia dapat memberi jawaban. “Nah, itulah pertanyaan atau teka-tekinya. Aku tak mampu menjawab. Bagiku, cinta ya cinta, mana ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan? Akan tetapi dia membantah, mengatakan bahwa ada bedanya. Kami berdebat, dia bilang bahwa dia adalah wanita maka dia tahu akan perbedaan itu. Dan aku.... wah, aku yang sialan ini, aku tidak tahu, apalagi bedanya, bahkan aku tidak pernah mencinta seorang wanita, aku tidak tahu bagaimana rasanya cinta itu.... wah, aku kalah.”
Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia pun pusing memikirkan teka-teki itu. Dia juga tidak tahu apa-apa tentang cinta! Dalam urusan cinta, dia sama ‘buta hurufnya’ dengan kakek tua renta itu.
“Bagaimana, Ci Sian? Dapatkah engkau membantuku dan memberikan jawabannya?”
Memang tentu saja Ci Sian, sebagai seorang dara yang baru remaja, baru menanjak dewasa, belum pernah jatuh cinta kepada seorang pria. Akan tetapi dia adalah seorang anak yang amat cerdik. Dia lalu membayangkan tentang Kam Hong, satu-satunya pria yang pernah mendatangkan rasa kagum dalam hatinya dan dia lalu membayangkan dirinya sendiri, bagaimana seandainya dia jatuh cinta kepada pendekar sakti itu! Setelah mengerutkan kedua alisnya agak lama, sambil memejamkan kedua matanya sehingga kakek itu memandang penuh harapan, tiba-tiba dia membuka mata memandang kakek itu, sepasang mata yang indah itu bersinar-sinar.
“Coa-ong, engkau sebagai seorang pria, coba kau beritahukan bagaimana perasaanmu, apa yang kau inginkan andai kata engkau jatuh cinta kepada seorang wanita,” Ci Sian menyebut Coa-ong (Raja Ular) kepada orang asing itu, mengingat bahwa julukannya adalah Raja Ular dari Barat!
Dan kakek itu agaknya malah senang disebut demikian. Hanya karena pertanyaan itu justru merupakan pertanyaan yang dianggapnya amat sulit, dia mengerutkan alisnya.
“Wahhh.... engkau tanya yang bukan-bukan. Mana aku tahu?”
“Coa-ong, engkau harus ingat bahwa teka-teki yang diajukan oleh lawanmu itu baru dapat dijawab kalau aku tahu bagaimana perasaan seorang pria yang mencinta seorang wanita. Tanpa mengetahui perasaan pria, bagaimana mungkin aku dapat tahu akan perbedaan antara cinta seorang pria dan seorang wanita? Dan tanpa diberi tahu oleh seorang pria, bagaimana aku dapat tahu bagaimana cinta seorang pria itu? Ayo pikirlah, Coa-ong. Aku pun belum pernah jatuh cinta, tetapi setidaknya kita sama-sama dapat membayangkan bagaimana perasaan kita dan apa keinginan kita kalau kita masing-masing jatuh cinta kepada seseorang.”
“Wah-wah.... ini tugas yang paling berat yang pernah kuhadapi....,” kakek itu mengomel.
Akan tetapi dia pun segera mengerutkan alis dan memejamkan mata, seperti yang dilakukan oleh Ci Sian tadi untuk membayangkan tentang bagaimana seandainya dia jatuh cinta! Juga Ci Sian sudah memejamkan mata membayangkan keadaannya sendiri. Demikianlah, dua orang ini, seorang kakek tua renta dan seorang dara menjelang dewasa, duduk bersila dan memejamkan mata, mengerutkan alis, membayangkan jika mereka jatuh cinta!
Cinta adalah suatu hal yang amat lembut, amat halus, amat rumit, dan amat banyak lika-likunya sehingga menjadi bahan percakapan, bahan tulisan dari bahan perdebatan para sastrawan, para cerdik pandai, dari jaman dahulu sampai sekarang, tanpa ada yang mampu melukiskannya atau memperincinya dengan tepat! Apalagi bagi dua orang ini, yang selama hidupnya belum pernah jatuh cinta, kini keduanya membayangkan bagaimana seandainya mereka itu jatuh cinta! Padahal cinta antara pria dan wanita adalah sedemikian ruwetnya dan banyak sekali kaitan-kaitan dan lika-likunya!
Betapa pun juga, Ci Sian yang cerdik itu dengan naluri kewanitaannya seperti dapat meraba apa yang dimaksudkan dengan teka-teki yang diajukan oleh seorang wanita pula itu! Maka dia langsung menuju kepada sasaran pokok, yaitu tentang perasaan seorang pria dan seorang wanita yang jatuh cinta, apa yang paling dikehendakinya dari orang yang dicinta.
Ada satu jam lamanya kakek itu duduk diam seperti itu! Dan biar pun hawa udara amat dinginnya, namun kakek yang tubuhnya tidak terlindung pakaian ini mulai berkeringat! Keringatnya besar-besar menempel di seluruh tubuhnya, dan uap yang mengepul di atas kepalanya semakin tebal. Tiba-tiba dia menarik napas panjang, membuka matanya dan mata itu berseri-seri memandang kepada Ci Sian yang sudah sejak tadi membuka matanya. Kakek itu mengguncang tubuhnya seperti seekor anjing kalau mengusir air yang membasahi tubuhnya. Terdengar suara berketrikan ketika keringat yang telah membeku itu berjatuhan rontok dari tubuhnya, merupakan butiran-butiran es kecil!
“Wah, memenuhi permintaanmu membayangkan tentang cinta itu malah mendatangkan bayangan yang amat mengerikan dan menakutkan!” katanya.
Diam-diam Ci Sian merasa geli juga. Bagaimana mungkin bayangan mencinta orang bisa begitu mengerikan dan menakutkan?
“Yang penting, apakah engkau kini sudah mampu menceritakan atau menggambarkan bagaimana perasaan seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita?”
“Aku sudah membayangkan.... aku sudah membayangkan dan.... hiihhh....“ Kakek itu menggigil, bukan karena kedinginan, melainkan karena geli dan takut! “Yang terbayang adalah cerewetnya, manjanya, dan betapa dia merongrong hidupku sehingga hidupku tidak lagi mengenal ketenteraman dan ketenangan, betapa dia ingin menguasai seluruh diriku dan hidupku. Ihhhh....!”
Kembali Ci Sian tertawa dalam hatinya, akan tetapi mulutnya hanya tersenyum saja. Betapa anehnya kakek ini! “Bukan itu maksudku, Kek. Tetapi bagaimana perasaanmu dan apa yang paling kau inginkan andai kata engkau jatuh cinta pada seorang wanita?”
Kakek itu mengingat-ingat. “Keinginanku hanya ingin menyenangkan dia, memanjakan dia, membahagiakan dia,” akhirnya dia berkata dengan alis berkerut, seolah-olah dia harus menjawab sesuatu persoalan yang amat rumit!
“Nah, itulah!” Ci Sian bersorak dan wajahnya berseri-seri. “Ketemu sekarang! Biar pun hanya hasil bayangan kita berdua, akan tetapi agaknya tidak salah lagi, Coa-ong!”
“Sudah kau temui jawaban teka-teki itu?”
Ci Sian mengangguk. “Agaknya tidak akan keliru lagi.”
“Bagaimana itu?” Wajah hitam itu pun berseri dan penuh harap. “Coba jawab, apakah perbedaan antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?”
“Seperti keteranganmu tadi, Coa-ong. Cinta pria adalah ingin selalu menyenangkan dan memanjakan, sedangkan cinta seorang wanita adalah sebaliknya, yaitu menurut hasil khayalan dan bayanganku tadi, cinta seorang wanita justru menjadi kebalikannya, yaitu dalam cintanya, wanita ingin selalu disenangkan, dimanjakan oleh pria yang dicintanya.”
Kakek itu melompat bangun dan baru nampak oleh Ci Sian betapa jangkungnya kakek itu. Jangkung kurus sehingga potongan tubuhnya tidak menarik sama sekali! See-thian Coa-ong Nilagangga kini bertepuk tangan dan mengeluarkan suara melengking seperti suara suling.
Dan tiba-tiba Ci Sian terbelalak dan merasa jijik dan ketakutan ketika mendengar suara mendesis dan berdatanganlah ular-ular dari empat penjuru serta mengurung tempat itu! Heran dia bagaimana di tempat bersalju bisa terdapat begitu banyak ular!
“Coa-ong, aku takut....!” katanya dan dia bersembunyi di belakang tubuh kakek itu. Dia bukan takut, melainkan jijik.
“Kenapa takut? Engkau akan kujadikan puteri ular, mengapa takut?”
“Jadi puteri ular? Aku.... aku tidak mau!”
“Ehh, bocah bodoh. Jika engkau menjadi puteri ular, siapa lagi berani mengganggumu? Sahabatmu ular-ular itu berada di mana-mana dan jika saja engkau terancam bahaya, engkau dapat sewaktu-waktu memanggil mereka! Kini engkau telah berjasa kepadaku, maka aku ingin menurunkan ilmuku kepadamu. Apakah kau tidak mau?”
Ci Sian menelan ludah, kini hatinya tertarik juga. “Kalau... kalau begitu, aku mau, kukira tadi.... aku hendak kau jadikan ular....”
“Ha-ha-ha, bagus! Nah, coba kau dekati mereka dan kau pegang-pegang mereka. Ke sinikan dulu kedua telapak tanganmu!”
Ci Sian menghampiri ke depan kakek itu, kemudian mengulurkan kedua tangannya, ditelentangkan. Tiba-tiba tangan kanan kakek itu bergerak cepat ke depan.
“Plak! Plak!”
“Aduhhhh....!” Ci Sian berteriak ketika kedua telapak tangannya terasa panas sekali ditampar oleh tangan kakek itu dan dia memandang terbelalak marah.
“Ha-ha-ha, sekarang semua ular akan tunduk kalau tersentuh tanganmu, Ci Sian,” kata kakek itu.
Ci Sian menelan kembali kemarahannya begitu tahu bahwa tamparan itu merupakan semacam pemindahan ilmu untuk menalukkan ular! Dia lalu menghampiri ular-ular itu yang nampak diam tidak bergerak di atas tanah, hanya lidah mereka yang bergerak keluar masuk di mulut masing-masing. Biar pun hatinya merasa jijik dan takut-takut, akan tetapi Ci Sian segera meraba kepala ular-ular itu dan sungguh aneh, ular-ular itu nampak takut dan jinak sekali! Giranglah dia dan di lain saat dia sudah mengangkat seekor ular kemerahan sebesar jari kakinya, membelainya dan mempermainkannya. Ular itu sama sekali tidak berani berkutik!
“Ha-ha-ha, tahukah engkau betapa satu gigitan ular itu akan dapat membunuh seorang manusia seketika juga?”
“Ihhh!” Mendengar ini, Ci Sian melemparkan ular merah itu.
“Anak bodoh, kepadamu dia tidak akan berani berbuat apa-apa!” See-thian Coa-ong lalu mengeluarkan suara melengking tiga kali dan.... ular-ular itu lalu membalikkan tubuh dan merayap pergi dengan cepat dari tempat itu, seperti sekumpulan anjing yang ketakutan diusir pergi oleh majikan mereka.
“Ha-ha-ha, ternyata aku yang bodoh sekali, Ci Sian. Tentu saja jawabanmu tadi tepat, ha-ha-ha, begitu mudahnya! Mengapa aku tidak ingat akan hukum alam? Wanita adalah Im dan pria adalah Yang. Wanita adalah Bumi dan pria adalah Matahari! Sinar matahari menembus apa pun juga untuk mencari bumi, untuk menyinari bumi, untuk membuat bumi hidup dan subur, untuk memberikan semangat dan kekuatan kepada bumi. Sebaliknya, bumi menanti-nanti untuk disinari, untuk dibelai, untuk disuburkan, untuk menerima. Ha-ha-ha, benar sekali. Pria ingin mencinta, ingin menyenangkan, ingin memiliki. Sedangkan wanita ingin dicinta, ingin dimanjakan, ingin dimiliki dan untuk itu dia menyerahkan jiwa raganya kepada pria untuk dimiliki dan dicinta dan dipuja! Ha-ha, betapa bodohnya tidak mampu menjawab teka-teki yang amat sederhana itu!”
Melihat sikap kakek itu yang kegirangan, Ci Sian lalu memperingatkan. “Jangan anggap sederhana dan mudah, Coa-ong. Tanpa bantuan seorang wanita, tidak mungkin engkau dapat menjawab teka-teki itu.”
“Ha-ha-ha-ha, benar sekali. Oleh karena itulah maka aku akan menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu.”
“Aku ingin kembali kepada Paman Kam Hong.”
“Ahhh, tidak mungkin, Ci Sian. Tidak mungkin bagimu untuk naik ke bukit itu dan tidak mungkin pula bagi Pamanmu untuk turun dari sana. Longsoran bukit itu telah merubah keadaan dan kita hanya bisa mengharapkan terjadi longsoran lain sehingga tempat di mana Pamanmu terkurung itu akan dapat dihubungkan dengan tempat lain. Sementara ini, marilah kau ikut denganku untuk menjumpai musuhku itu.”
Hati Ci Sian menjadi tertarik. “Wanita yang memberimu teka-teki itu?”
“Ya, dan kuharap engkau suka membantuku, Ci Sian. Dia pandai bicara dan pandai berdebat, dan engkau pun agaknya tidak kalah pandai. Maka bantuanmu kuharapkan. Mari kau temanilah aku menghadapinya, dan kelak aku akan membantumu mencari Pamanmu itu.”
Ci Sian berpikir sejenak. Omongan kakek ini tidak bohong. Memang dia tahu bahwa tidak terdapat jalan yang bisa membawanya kembali pada Kam Hong. Dia memerlukan bantuan Kam Hong untuk mencari orang tuanya, setelah kini dia terpisah dari Kam Hong dan agaknya tidak mungkin dapat berkumpul kembali, apa salahnya kalau kini Coa-ong ini yang membantunya mencari orang tuanya? Namun dia belum mengenal betul kakek asing ini, oleh karena itu dia pun tidak perlu menceritakan tentang orang tuanya dan mendiang kakeknya. Sementara ini, dari pada sendirian saja di daerah liar dan berbahaya dari Pegunungan Himalaya ini, lebih baik dia berteman dengan seorang pandai seperti See-thian Coa-ong. Apalagi akan diajari ilmu-ilmu yang tinggi, tentu saja dia merasa girang…..
Komentar
Posting Komentar