SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-05


“Kalian sudah melihat suling emas, nah, cukup dan pergilah!” kata Kam Hong dan sekali menggerakkan kedua tangannya, suling emas dan kipas sudah lenyap di balik bajunya.

“Suling Emas....?” Kembali A-hui tergagap dan kemudian dia memberi isyarat, mengajak teman-temannya pergi dari situ setelah menjura ke arah Kam Hong.

“Enaknya pergi begitu saja!” Siauw Goat berteriak dan dia sudah mengepal salju dan dilontarkannya bola salju itu ke arah A-hui.

A-hui menoleh, kebetulan dia bertemu pandang mata dengan Kam Hong dan dia tidak berani mengelak.

“Plokkk!”

Bola salju mengenai mukanya sehingga berlepotan salju. Dia hanya mengusap salju itu dan membalikkan tubuh, pergi bersama teman-temannya dengan muka menunduk.

“Paman, kenapa engkau tidak membunuh mereka?” Siauw Goat menegur Kam Hong.

Tetapi Kam Hong tidak menjawab, melainkan balas bertanya, “Apa maksudmu dengan menyebut-nyebut Pendekar Siluman Kecil tadi?”

“Aku tidak mengenalnya! Dia itulah yang menyombong, mengatakan bahwa di dunia ini Pendekar Siluman Kecil merupakan jagoan nomor satu! Panas perutku mendengarnya maka aku menantang Pendekar Siluman Kecil untuk diadu denganmu!”

Kam Hong memandang kepada Sim Hong Bu, pemuda cilik yang bermata tajam dan bertubuh kekar kuat itu. Melihat sinar mata yang demikian tajam penuh kejujuran dan keterbukaan, diam-diam Kam Hong merasa kagum dan suka. “Saudara cilik, apakah engkau mengenal Pendekar Siluman Kecil?”

Sim Hong Bu mengangguk bangga. “Dia adalah bintang penolong kami semua di daerah perbatasan Ho-nam.”

Sim Tek yang maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar besar, lalu melangkah maju dan memberi hormat. “Harap Taihiap sudi memaafkan kami. Saya adalah Sim Tek dan ini keponakan saya Sim Hong Bu. Kalau dia memuji-muji Pendekar Siluman Kecil, bukan maksudnya untuk merendahkan Taihiap. Kalau tidak ada Taihiap datang menolong, tentu kami dan Nona cilik ini sudah mati di tangan mereka, oleh karena itu, terimalah hormat dan terima kasih kami, Taihiap.”

Kam Hong menggerakkan tangan seperti menangkis sesuatu, seakan-akan pernyataan terima kasih orang membuat dia merasa terpukul dan tidak enak sekali, “Sudahlah! Siauw Goat, mari kita memeriksa para piauwsu itu.”

Mendengar ini Siauw Goat teringat akan nasib para piauwsu, maka dia lalu mengangguk dan dengan cepat Kam Hong menyambar dan memondongnya karena Siauw Goat telah merasa lelah sekali dan sukar untuk menggerakkan tubuh saking lelah dan dingin dan juga laparnya. Dengan beberapa lompatan saja lenyaplah Kam Hong dari depan kedua orang pemburu itu yang memandang dengan melongo penuh kagum.

“Paman, dia itu lihai sekali. Entah siapa lebih lihai antara dia dan Pendekar Siluman Kecil,” kata pula Sim Hong Bu penuh kagum.

Pamannya menghela napas panjang. “Hong Bu, lain kali harap jangan engkau lancang menyebutkan nama Pendekar Siluman Kecil. Untung bahwa pendekar sastrawan itu agaknya mengenal baik Pendekar Siluman Kecil. Kalau kita bertemu dengan seorang di antara musuh-musuhnya, tentu kita akan mendapatkan kesusahan.”

Akan tetapi Hong Bu yang selalu merasa kagum kepada orang-orang yang berilmu tinggi seperti tidak mendengar teguran pamannya, dan dia berkata dengan pandang mata melamun, “Sayang kita tidak mengetahui nama dan julukannya.”

“Melihat senjata suling yang luar biasa itu, sepatutnya dia dikenal dengan julukan Suling Emas. Buktinya wanita-wanita lihai itu pun terkejut melihat suling emas dari tangannya, sungguh pun kipasnya itu juga luar biasa sekali. Sudahlah, mari kita pergi dari tempat berbahaya ini. Kita pergi ke sini untuk menyelidiki tentang Yeti, bukan untuk mencari permusuhan dengan siapa pun.”

Keduanya lalu pergi, melangkah lebar-lebar dan meninggalkan tapak kaki di atas tanah yang tertutup salju tebal. Sementara itu, Siauw Goat berdiri memandang dengan wajah pucat kepada mayat-mayat yang berserakan di tempat itu. Mayat-mayat para piauwsu. Akan tetapi dia dan Kam Hong tidak dapat menemukan mayat Lauw Sek sehingga mereka merasa heran sekali.

“Ke mana perginya Lauw-pek?” Siauw Goat bertanya dengan suara khawatir.

“Aneh sekali.... tidak mungkin dia dapat terhindar dari tangan maut iblis-iblis betina itu. Akan tetapi, jelas dia tidak terdapat di antara mayat-mayat ini. Biar kukubur mereka ini....“

Kam Hong lalu menggali lubang dan mengubur semua mayat itu dalam beberapa buah lubang yang dibuatnya di tempat itu. Setelah selesai, hari pun sudah menjelang senja dan dia mengajak Siauw Goat pergi dari situ.

“Ke mana kita hendak pergi, Paman Kam?”

“Hemmm, aku sendiri tidak tahu. Aku pergi tanpa tujuan tertentu dan engkau.... ke manakah rombongan piauwsu itu hendak membawamu?”

“Menurut kata Lauw-pek, aku akan diantarkannya ke puncak Ginung Kongmaa La....”

“Hemm, ada keperluan apa pergi ke gunung itu?”

Gadis cilik itu memandang tajam, kemudian menarik napas panjang. “Lauw-pek tadinya memesan kepadaku agar tidak membicarakan hal ini kepada siapa pun juga, akan tetapi aku percaya kepadamu, Paman. Aku hendak diajaknya ke sana untuk mencari orang tuaku, sesuai dengan pesanan mendiang Kongkong kepada Lauw-piauwsu.”

Diam-diam Kam Hong amat terkejut. Sungguh mengherankan mendengar bahwa orang tua gadis cilik ini berada di tempat seperti itu, di sebuah gunung yang amat sunyi dan berbahaya! Dan sikap mendiang Kakek Kun sungguh penuh rahasia.

“Siapakah nama orang tuamu, Siauw Goat?”

Kembali sepasang mata yang bening itu menatap tajam, seperti orang yang meragu, tetapi akhirnya dia menjawab juga. “Engkau sudah menceritakan nama dan rahasiamu kepadaku, Paman, biarlah aku menceritakan rahasiaku juga. Akan tetapi yang kuketahui hanya sedikit. Agaknya Lauw-piauwsu lebih tahu dari pada aku karena dialah yang menerima pesanan terakhir dari mendiang Kakekku. Semenjak aku dapat ingat, aku sudah hidup bersama Kongkong, aku tidak ingat lagi bagaimana rupanya Ayah Bundaku. Kongkong dan aku hidup di sebuah dusun kecil di Pegunungan Kao-li-kung-san sebagai petani. Kongkong melatih ilmu baca tulis dan silat kepadaku. Pada suatu hari, datang dua orang kakek aneh yang kemudian berkelahi dengan kongkong. Kongkong lalu berhasil mengusir mereka, akan tetapi ternyata Kongkong menderita luka dalam yang hebat. Dengan tergesa-gesa Kongkong pada hari itu juga mengajakku pergi, katanya hendak mencari orang tuaku di Gunung Kongmaa La di daerah Himalaya Aku tahu bahwa dia masih menderita luka hebat dan akhirnya....“ Gadis cilik itu berhenti, menunduk dan mengerutkan alisnya. Dua butir air mata berlinang turun, akan tetapi dia tidak terisak atau menangis sama sekali.

Kam Hong juga mengerti, maka dia tidak mau bertanya lagi tentang kakek itu. “Jangan khawatir, Siauw Goat. Karena engkau sekarang sebatang kara, juga aku melakukan perjalanan sendirian saja, biarlah aku yang menggantikan Lauw-piauwsu mengantarmu sampai di Kongmaa La mencari orang tuamu. Akan tetapi siapakah nama orang tuamu?”

Gadis cilik itu menggeleng kepala. “Kongkong tidak memberitahukan kepadaku. Kalau aku mendesaknya, dia hanya bilang bahwa kalau aku sudah bertemu dengan mereka aku akan mengerti dan mendengar semua itu. Aku hanya tahu bahwa Ayahku seorang she Bu....” Gadis cilik itu memejamkan mata dan nampak berduka karena betapa pun juga hatinya merasa perih bahwa dia tak mengenal orang tuanya, baik nama lengkapnya mau pun wajahnya.

“Hemm, kalau begitu engkau she Bu?”

“Ya, namaku sebenarnya adalah Bu Ci Sian! Aku disebut Goat oleh Kongkong hanya untuk menggunakan nama sebutan palsu saja. Kata Kongkong wajahku mengingatkan dia akan bulan purnama, maka aku disebutnya Goat (Bulan)....“

“Ah, Kongkong-mu sungguh seorang yang amat aneh, dan engkau.... memang wajahmu seperti bulan purnama.... akan tetapi Kakekmu menyebut dirinya Kakek Kun, siapakah namanya yang lengkap?”

“Namanya.... biarlah kulanggar pantangannya karena dia sudah meninggal adalah Bu Thai Kun....”

“Ahhh! Kau maksudkan Kiu-bwe Sin-eng (Garuda Sakti Ekor Sembilan) Bu Thai Kun?” Kam Hong bertanya dengan kaget karena dia pernah mendengar nama besar ini yang pernah menggemparkan dunia selatan.

“Hemm, kau mengenal Kakekku!” Siauw Goat atau lebih tepat mulai sekarang kita sebut nama aslinya saja, Ci Sian, berseru girang dan bangga.

“Hanya mengenal nama julukannya saja, pantas dia lihai.”

“Ayahku lebih lihai! Begitu kata mendiang Kongkong. Biar pun dia tidak memberitahukan kepadaku, akan tetapi melihat betapa Kongkong terluka oleh dua orang kakek aneh itu lalu mengajakku mencari Ayah Ibu, tentu agaknya Kongkong hendak minta orang tuaku turun tangan menghajar dua orang kakek aneh itu.”

Kam Hong teringat bahwa kakek itu pernah mengatakan kepadanya bahwa dia hendak pergi mencari musuhnya! Dia tidak dapat menduga siapa gerangan ayah dari anak ini, dan karena Ci Sian sendiri pun tidak tahu, maka dia bertanya apakah Ci Sian mengenal nama dua orang kakek aneh yang melukai kongkong-nya.

“Namanya? Aku tidak diberitahu oleh Kongkong, akan tetapi ketika Kongkong bertengkar dengan mereka, kudengar Kongkong menyebut mereka itu Sam-ok dan Ngo-ok.”

Bukan main kagetnya hati Kam Hong mendengar ini. Tentu saja dia tahu persis siapa itu Sam-ok dan Ngo-ok, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat Dari Akhirat), lima orang yang terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat yang ilmu kepandaiannya amat tinggi! Kini dia dapat menduga bahwa tentu dua orang kakek jahat itu sengaja melukai kakek gadis cilik ini dan setelah dia merasa yakin bahwa Kiu-bwe Sin-eng telah menderita luka parah, mereka sengaja meninggalkannya agar kelak kakek itu pergi memanggil putera dan mantunya yang agaknya bersembunyi di Pegunungan Himalaya itu! Ahhh, dia mulai dapat mengerti.

Karena dia sendiri sudah melihat tingkat kepandaian Kiu-bwe Sin-eng dan agaknya kalau dibandingkan dengan Sam-ok dan Ngo-ok, apalagi kalau harus dikeroyok dua, betapa pun lihainya, Bu Thai Kun masih belum dapat menandingi mereka! Kalau dua orang datuk sesat itu menghendaki, tentu mereka dapat membunuhnya, tidak perlu pergi seperti yang dikatakan oleh Ci Sian tadi, yaitu terusir oleh kakeknya biar pun kakeknya menderita luka parah. Memang sudah pasti ada rahasia terselubung di balik semua ini yang tidak diketahui oleh Ci Sian. Namun mendengar bahwa keluarga anak ini dimusuhi oleh Sam-ok dan Ngo-ok saja sudah cukup bagi Kam Hong untuk berpihak kepadanya dan melindunginya.

“Baiklah, Siauw.... ehh, Ci Sian. Setelah kita saling mengenal keadaan masing-masing, marilah engkau kuantar mencari orang tuamu, aku juga ingin mencari jejak isteriku, kalau-kalau dapat kutemukan di daerah ini. Sekarang malam hampir tiba, kita sebaiknya beristirahat dan makan. Engkau nampak lelah dan lapar.”

Ci Sian menurut saja. Mereka lalu menemukan sebuah goa di mana mereka melewatkan malam dan Ci Sian bersama Kam Hong makan roti kering yang mereka kumpulkan dari bekal para piauwsu yang banyak terdapat di tempat perkelahian itu dan yang mereka bawa sekadarnya untuk bekal.

Sudah tiga hari tiga malam Kam Hong dan Ci Sian melakukan perjalanan yang amat sukar, menempuh bukit-bukit salju dan jurang-jurang yang amat curam. Malam itu pun mereka telah tiba di dekat Kongmaa La, di Lembah Arun yang luas.

Mereka melewatkan malam di dataran tinggi dan malam demikian indahnya sehingga Kam Hong terpesona, meninggalkan goa di mana dia telah membuat api unggun, keluar dan duduk di dataran tinggi sambil meniup sulingnya. Suara suling emas itu menembus kesunyian malam, melengking naik turun akan tetapi sama sekali tidak mengganggu keheningan. Bahkan sebaliknya, suara suling beralun naik turun itu bahkan membuat keheningan menjadi semakin syahdu, semakin terasa keheningan itu, semakin indah dan penuh rahasia.

Setelah berhenti menyuling, Kam Hong menoleh. Dia sudah mendengar langkah kaki ringan dari Ci Sian. Gadis cilik ini sudah semakin akrab dengannya. Selama dalam perjalanan, Kam Hong merasakan benar kehadiran gadis cilik itu dan mengertilah dia mengapa Kakek Bu Thai Kun menyebutnya Bulan! Memang dara cilik seperti bulan purnama yang selain cantik jelita juga mendatangkan kegembiraan dalam hati siapa pun karena dia lincah, gembira dan berseri-seri.

“Paman Kam, suara sulingmu indah sekali....” Ci Sian berkata sambil duduk di dekat Kam Hong, di atas rumput.

“Ah, hanya untuk iseng saja, Ci Sian.” kata Kam Hong sederhana, akan tetapi dia sendiri merasa heran mengapa pujian yang keluar dari mulut gadis cilik ini dapat membuat hatinya terasa begitu enak dan nyaman!

“Mainkan lagi, Paman....“ Ci Sian meminta dan gadis itu duduknya mendekat, bahkan bersandar ke bahu Kam Hong.

Memang sudah biasa dia bersikap kadang-kadang manja seperti itu, dan tidak jarang pula Kam Hong menggandengnya kalau melewati tempat sukar, bahkan memondongnya kalau harus berloncatan lewat jurang-jurang yang curam. Oleh karena itu, gadis cilik ini seperti menganggap Kam Hong sebagai pamannya sendiri, dan dia tidak ragu-ragu untuk merangkul atau memegang lengan pemuda itu.

“Baik, kumainkan lagu yang paling kusukai, dengarlah baik-baik,” kata Kam Hong dan pemuda itu lalu meniup lagi sulingnya.

Ci Sian lalu merebahkan kepalanya di atas pangkuan Kam Hong yang duduk bersila. Suasana kembali menjadi penuh pesona yang mukjijat dalam keheningan yang terisi suara suling yang merdu itu. Setelah Kam Hong akhirnya menghentikan tiupan sulingnya, seolah-olah suara suling itu masih bergema dan mengalun di udara.

“Paman, engkau pantas benar berjuluk Suling Emas, tidak hanya sulingmu merupakan senjata ampuh, akan tetapi juga dapat mengeluarkan bunyi yang demikian indahnya.”

Kam Hong tidak menjawab, jantungnya berdebar tidak karuan, seluruh tubuhnya seperti kemasukan kilat yang membuatnya gemetar. Terjadi perang hebat di dalam batinnya, terdapat dorongan aneh yang membuat dia ingin merangkul gadis cilik itu, ingin memeluk dan mendekapnya, akan tetapi kesadarannya melawan dan menolak.

“Paman.... kau.... kau kenapa....?” Ci Sian bangkit duduk dan memandang wajah yang matanya dipejamkan itu. Di bawah sinar bulan remang-remang wajah itu nampak putih pucat.

Kam Hong cepat sadar kembali, lalu memegang tangan Ci Sian dan menariknya bangkit berdiri. “Tidak apa-apa, hayo kita mengaso, kembali ke goa.”

Malam itu Kam Hong gelisah dan tidak dapat memejamkan matanya. Alisnya berkerut dan berkali-kali bibirnya bergerak memanggil nama yang selalu menjadi kenangannya, “Hwi-moi.... Hwi-moi....”

Pada keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka kini mulai mendaki lereng Kongmaa La. Salju turun dengan cukup deras, membuat tanah penuh dengan salju tebal sehingga langkah-langkah kaki mereka amat berat dan meninggalkan tapak yang dalam. Tiba-tiba Kam Hong memegang tangan Ci Sian dan berhenti. Gadis cilik itu memandang dan bergidik. Di depan mereka terdapat mayat seorang laki-laki dalam keadaan mengerikan. Kaki tangannya terpisah, dan tubuh itu seperti dicabik-cabik. Darah berceceran di atas salju yang putih.

“Bukankah itu korban Yeti lagi, Paman....?” Ci Sian bertanya dengan suara lirih dan agak gemetar.

Tiba-tiba, seperti menjawab pertanyaan itu, dari atas sana, dari puncak yang bersalju itu terdengar lengkingan yang dahsyat sekali. Lengkingan itu seperti menggetarkan seluruh lembah. Kam Hong menarik tangan Ci Sian untuk melanjutkan perjalanan. Gadis cilik itu merasa semakin dingin karena kengerian. Dua tangannya yang sudah memakai sarung tangan tebal itu menutupkan kain bulu tebal untuk melindungi mukanya. Jalan semakin sukar dan tiba-tiba Kam Hong memondongnya. Pendekar ini lalu berloncatan ke depan, mendaki gunung itu dengan cepat sekali.

Setelah melewati sebuah puncak kecil dan jalan agak menurun, kembali mereka berhenti dan kini Ci Sian memeluk pinggang Kam Hong, menggigil ketakutan. Apa yang mereka lihat memang amat mengerikan. Dataran puncak yang putih bersih itu dibasahi oleh genangan darah merah yang berceceran dari belasan mayat-mayat yang sudah tidak karuan lagi macamnya. Bukan hanya bagian tubuh yang putus-putus dan robek-robek, juga usus-usus berhamburan keluar, seperti habis dikoyak-koyak!

Kam Hong melihat di antara hujan salju itu sesosok bayangan berkelebatan di sebelah depan. Dia lalu menggandeng tangan Ci Sian dan melangkah maju terus dengan hati hati. Angin semakin kencang dan salju beterbangan dan berhamburan memukul muka mereka, membuat mereka agak sukar bernapas.

Tiba-tiba terdengar jeritan yang menyayat hati disertai geraman-geraman yang menggetarkan tanah yang mereka injak. Di sebelah depan nampak belasan orang berlari-lari turun dari puncak di depan. Belasan orang itu tentu orang-orang pandai, hal ini dapat dilihat dari gerakan mereka yang lincah dan ringan, akan tetapi ketika berpapasan dengan Kam Hong, jelas kelihatan mereka itu sedang dilanda ketakutan yang amat hebat. Mereka itu lari tunggang langgang dan agaknya kepanikan membuat mereka sama sekali tidak peduli atau mungkin juga tidak melihat kepada Kam Hong dan Ci Sian. Ada di antara mereka yang luka-luka dan pakaian mereka itu merah oleh darah mereka.

Kam Hong bersikap waspada. Dengan hati-hati dia menggandeng tangan Ci Sian, terus melangkah maju di antara pohon-pohon yang sudah tidak berdaun lagi, yang sudah menjadi pohon putih karena tertutup salju. Tiba-tiba terdengar lengkingan dahsyat seperti tadi dan ada angin menyambar, salju berhamburan dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seekor makhluk yang amat menakutkan, Ci Sian menjerit dan gadis cilik yang biasanya tidak pernah mengenal takut itu sekali ini terhuyung ke belakang dan akhirnya dia menumbuk sebatang pohon, setengah lumpuh dia memeluk pohon itu sambil menengok dan memandang kepada makhluk itu dengan muka pucat ketakutan.

Namun Kam Hong menghadapi makhluk itu dengan sikap tenang dan penuh perhatian. Dia melihat bahwa makhluk itu tinggi besar, tingginya tentu dua meter lebih, kedua lengan tangannya yang tertutup bulu itu besar-besar dan nampak amat kuatnya. Bulu bulu yang menutupi tubuh itu pendek kasar, berwarna merah coklat kehitaman, dengan totol-totol putih di bagian dada. Rambut di kedua pundak paling tebal dan panjang. Mukanya tidak berambut seperti muka monyet atau muka beruang atau juga mirip muka manusia, hidungnya pesek, mulutnya lebar dengan gigi besar-besar. Kepalanya seperti kerucut agak meruncing ke atas. Kedua lengan yang amat kuat dan besar itu panjang sampai ke lutut. Dan makhluk ini tidak berekor. Anehnya, pada paha kanannya nampak sebatang pedang yang menancap dan menembus, pedang yang berkilauan.

Makhluk itu juga memandang Kam Hong dengan sepasang matanya yang mencorong. Mulutnya bergerak sedikit dan dari kerongkongannya keluarlah suara geraman yang dahsyat. Kedua tangannya bergerak-gerak, jari-jari tangan yang besar dengan kuku panjang kuat dan agak melengkung seperti kuku harimau itu juga bergerak-gerak seperti hendak mencengkeram.

Kam Hong mengukur dengan pandang matanya. Dia tahu bahwa makhluk ini tentu memiliki kekuatan yang luar biasa dahsyatnya. Buktinya banyak sudah orang yang dibunuhnya dengan ganas, dicabik-cabik, dan bahkan orang-orang yang melarikan diri tadi dia lihat rata-rata memiliki ginkang yang cukup tinggi, namun mereka itu lari ketakutan, tanda bahwa mereka tidak kuat menanggulangi amukan makhluk ini.

Makhluk ini ganas sekali, lebih baik mendahuluinya dari pada harus mempertahankan diri diserang oleh makhluk buas ini. Dia tahu bahwa serangan-serangan seorang ahli silat adalah teratur dan karenanya dapat dihadapinya dengan baik karena dia memiliki dasar ilmu silat tinggi. Akan tetapi serangan makhluk buas seperti ini tentu ganas dan tidak teratur, mengandalkan kekuatan yang luar biasa dan naluri yang amat peka. Aku harus mendahuluinya, pikirnya dan tiba-tiba Kam Hong meloncat ke depan dengan cepatnya. Baju bulunya yang lebar itu berkibar dan dia sudah mengirim pukulan ke arah dada makhluk itu dengan pengerahan tenaganya.

“Dukkk!”

Pukulan itu sedemikian kuatnya sehingga tubuh makhluk itu tergetar dan terdorong ke belakang, akan tetapi anehnya, makhluk itu tidak roboh terjengkang, sebaliknya Kam Hong merasa betapa pukulannya itu seperti bertemu dengan gunung baja yang amat kuat!

Tiba-tiba makhluk itu mengeluarkan gerengan dahsyat dan secepat kilat tangan kirinya menyambar ke arah muka Kam Hong! Pemuda ini sejenak tadi tertegun, akan tetapi tidak kehilangan kecepatannya untuk menarik tubuh ke belakang sehingga tamparan kuku kuku tajam itu hanya mengenai angin belaka. Diam-diam Kam Hong merasa terheran heran.

Kalau makhluk ini merupakan seekor binatang buas, tentu hanya memiliki tenaga otot kasar saja. Akan tetapi bagaimana mungkin dapat menahan pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan sinkang amat kuat yang akan membobolkan semua pertahanan tenaga kasar? Hanya lawan yang memiliki tenaga sinkang kuat saja yang akan mampu bertahan. Apakah makhluk ini memiliki tenaga sakti pula?

Akan tetapi lawannya tidak memberi banyak kesempatan kepadanya untuk memikirkan hal aneh itu karena kini dengan gerengan-gerengan buas, agaknya marah, makhluk itu sudah menerjang lagi. Dan kembali Kam Hong yang berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan kuku-kuku tajam itu terkejut dan heran. Makhluk itu mampu bergerak dengan luar biasa ringannya! Ini hanya gerakan dari ilmu ginkang yang sudah masak, pikirnya. Mungkinkah makhluk yang seperti binatang ini selain memiliki sinkang yang kuat juga memiliki ilmu meringankan diri? Bergidik rasa hati Kam Hong saking ngerinya. Apakah dia bertemu siluman? Ataukah semacam makhluk sakti seperti Kauw Cee Thian atau Sun Go Kong itu raja kera di dalam dongeng See-yu? Jangan-jangan makhluk ini, seperti Sun Go Kong, dapat menghilang pula, pikirnya ngeri.

Akan tetapi, hampir saja dadanya kena dicengkeram saat Kam Hong dalam lamunannya menjadi agak kurang cepat mengelak.

“Brettt!” Sedikit bajunya robek oleh cengkeraman itu!

Cepat Kam Hong mencabut suling emasnya! Dia tidak mau mempergunakan kipasnya. Makhluk itu terlalu kuat untuk dihadapi dengan kipasnya, dan dia khawatir selain tidak ada gunanya juga kipasnya akan rusak. Maka kini dia membalas dengan totokan-totokan yang dilakukan dengan sulingnya.

Akan tetapi makhluk itu pandai sekali mengelak. Nalurinya demikian tajamnya sehingga mengatasi semua kesigapan gerak seorang ahli silat mana pun. Setiap totokan suling itu dapat dielakkan, dan kalau sekali dua kali suling itu mengenai sasaran, maka kenanya itu meleset karena gerakan makhluk itu terlalu cepat, dan agaknya makhluk itu memiliki kekebalan luar biasa sehingga tusukan suling yang dapat menghancurkan batu karang itu baginya seperti tubuh yang dipijit tangan dengan jari halus saja! Sedikit pun tidak terasa agaknya!

Kam Hong merasa penasaran. Dikerahkan seluruh tenaganya, dan dia mengeluarkan gerakan-gerakan yang terhebat dari ilmu-ilmu simpanannya. Bahkan ilmu-ilmu yang telah diwarisinya dari nenek moyangnya, yaitu keluarga Suling Emas, dimainkannya untuk menundukkan makhluk ini. Akan tetapi, makhluk itu benar-benar selain kebal kulitnya, juga memiliki tenaga dahsyat dan kecepatan yang membingungkan pendekar ini. Kaki makhluk itu sudah tertancap pedang, namun gerakan-gerakannya masih secepat itu.

Suling di tangan Kam Hong sampai mengeluarkan suara seperti ditiup saja ketika dia mainkan dengan cepatnya, dan makhluk itu agaknya menjadi semakin marah.

“Singgg....!”

Suling Kam Hong bergerak meluncur ke arah mata makhluk itu. Makhluk yang disebut Yeti itu menundukkan kepala sehingga meluncur di atas kepalanya.

“Wuuuttt.... dessss!”

Tangan kiri Kam Hong dengan miring dan amat kerasnya memenggal ke arah leher. Akan tetapi tangan itu meleset dan mengenai pundak, dan makhluk itu hanya bergoyang sedikit saja! Bahkan tangan kanannya meraih ke depan dan pada waktu Kam Hong menangkisnya dengan suling, dia terjengkang karena dorongan tenaga yang amat kuat! Kakinya menginjak salju yang longsor dan jatuhlah pemuda itu terjengkang di atas salju.

Sambil menggereng makhluk itu menubruk dengan seluruh bobot tubuhnya yang berat, kedua tangan dan kedua kakinya ditekuk mencengkeram, agaknya dia hendak langsung mencengkeram dan merobek-robek tubuh lawan. Tetapi Kam Hong telah menggulingkan tubuhnya cepat sekali ke kiri dan sulingnya bergerak ke depan, menusuk mata. Makhluk itu luput menubruk, akan tetapi masih dapat menggunakan lengannya yang panjang menyampok suling. Kam Hong meloncat dengan cepat sekali sebelum makhluk itu sempat bangun dan sulingnya diayun sekuat tenaga.

“Takkkk!!” Suling itu menghantam kepala akan tetapi.... ternyata kepala itu pun terlindung kekebalan dan suling itu membalik seperti mengenai kepala baja, terpental dan Kam Hong merasakan telapak tangannya panas.

Akan tetapi senjata suling emas itu adalah sebuah senjata pusaka yang ampuh, maka walau pun di luarnya tidak nampak bahwa pukulan itu mendatangkan akibat yang hebat bagi Yeti, akan tetapi ternyata makhluk itu terhuyung juga ke belakang. Hal ini agaknya membuat Yeti menjadi marah dan setelah dia dapat mengatur lagi keseimbangan tubuhnya, dia memandang Kam Hong dengan mata merah, kemudian dari mulutnya terdengar teriakan yang menggetarkan jantung, kemudian dia pun bergerak maju lebih cepat dan lebih dahsyat lagi dari pada tadi!

Kam Hong menjadi semakin repot. Bukan hanya kecepatan dan kekuatan makhluk itu yang membuatnya kewalahan, akan tetapi juga hujan salju yang mendatangkan rasa dingin dan menghalangi pandangan matanya dan juga pernapasannya. Akan tetapi sebaliknya, makhluk itu nampaknya sama sekali tidak terganggu oleh salju, bahkan makin deras salju turun, membuat dia agaknya menjadi semakin lincah!

Terjangan dahsyat dari Yeti itu kini bukan merupakan cengkeraman seperti tadi akan tetapi merupakan hantaman dengan kedua tangannya yang besar dan lengan yang panjang itu menghantam seperti tongkat besar, menyambar dari kanan kiri. Bukan seperti gerakan silat akan tetapi karena didorong oleh tenaga yang amat besar maka berbahaya bukan main!

Kam Hong meloncat ke belakang, akan tetapi Yeti menubruk lebih cepat lagi dan tangan kanannya menyambar dari sebelah kiri Kam Hong, sedangkan tangan kiri makhluk itu mencengkeram ke arah perut! Kam Hong tidak sempat mengelak lagi, maka dia lalu menangkis dengan sulingnya ke arah tangan kiri yang mencengkeram, sedangkan hantaman tangan kanan Yeti itu ditangkisnya dengan lengan kirinya yang diangkat ke atas.

“Desss! Dukkk!”

Akibat dari adu tenaga ini, tubuh Yeti terhuyung kembali ke belakang akan tetapi tubuh Kam Hong terpental dan terguling-guling! Ini saja sudah menjadi bukti bahwa Kam Hong benar-benar kalah kuat dalam hal tenaga. Celakanya, pada saat itu, kembali kaki Kam Hong menginjak tumpukan salju yang lunak sehingga dia tergelincir dan bergulingan jatuh dari lereng salju.

Yeti itu menggeram dan meloncat begitu saja dari atas untuk mengejar Kam Hong yang masih bergulingan! Melihat ini, Ci Sian menjerit penuh kengerian dan dia pun menjadi nekat, berlari dan meloncat turun pula untuk mengejar Kam Hong dan kalau perlu membela pemuda itu! Akan tetapi, karena tempat itu tinggi sekali, maka dia tidak dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan gadis cilik ini pun jatuh dan terguling-guling di sepanjang lereng salju, seperti Kam Hong!

Yeti itu telah tiba lebih dulu dan cepat sekali dia menubruk dan tahu-tahu dia telah menggunakan kedua tangannya yang kuat untuk memegang kedua lengan Kam Hong! Pendekar ini merasa betapa pergelangan tangannya seperti dijepit oleh baja-baja yang amat kuat, dan betapa pun dia berusaha untuk melepaskan diri, namun sia-sia belaka. Sulingnya terlepas dan dia sudah hampir putus harapan. Dengan tenaganya yang dahsyat tentu Yeti itu akan mencabik-cabik tubuhnya pula. Kekalahan dan putus asa membuat Kam Hong tidak melawan lagi, hanya dia mengerahkan tenaga untuk menahan jika makhluk itu hendak menarik putus kedua lengannya.

Tiba-tiba pada saat yang amat genting dan berbahaya bagi nyawa Kam Hong itu, angin bertiup kencang sekali dan terdengarlah suara bergemuruh dari atas. Tanah bersalju yang berada di bawah kaki Kam Hong itu tergetar dan bergoyang-goyang. Yeti dan Kam Hong menoleh dan melihat ke arah suara gemuruh itu. Mendadak Yeti mengeluarkan suara melengking dahsyat dan dia melemparkan Kam Hong ke samping, lalu dengan sikap amat ketakutan dia meloncat ke kanan, terus berloncatan dengan kecepatan seperti terbang meninggalkan tempat itu!

Kam Hong terpelanting, akan tetapi dia tidak mempedulikan hal ini karena dia terus memandang ke arah puncak gunung penuh salju itu. Suara makin bergemuruh dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa sebagian dari puncak itu longsor dan kini salju menimpa turun seperti air bah, diikuti batu-batu es yang amat besar menggelundung ke bawah, ke arah tempat itu!

“Ci Sian....!” teriaknya dan dia melihat gadis cilik itu merangkak-rangkak karena Ci Sian juga baru saja dapat mengatasi kepeningannya karena bergulingan dari atas tadi.

Dengan jantung berdebar tegang dan tubuh agak gemetar karena cemas Kam Hong meloncat, menghampiri Ci Sian, menyambar tubuh gadis cilik itu, dipondongnya dan dia pun cepat meloncat ke kanan karena untuk lari sudah kekurangan waktu. Kedua kakinya berhasil mencapai lereng bukit, akan tetapi ketika kedua kakinya menginjak salju, yang diinjaknya runtuh ke bawah dan ternyata bukit itu pun ikut bergerak longsor terbawa dari atas! Kam Hong tak dapat menguasai dirinya. Dengan Ci Sian masih dipondongnya dia melayang turun bersama salju dan potongan-potongan es, merasa tubuhnya terpukul dari sana sini, dan dia masih mencoba untuk melindungi Ci Sian yang menjerit-jerit ketakutan itu dengan kedua lengan dan badannya. Mereka terbanting dan Kam Hong tidak ingat apa-apa lagi…..

********************

Runtuhnya sebagian tumpukan es dan salju di puncak gunung itu selain mendatangkan suara gemuruh yang hiruk-pikuk seolah-olah dunia hendak kiamat, juga menimbulkan debu salju yang mengebul sampai tinggi dan turun seperti embun. Banyak batu-batu dan pohon-pohon gundul yang tertutup salju dilanda arus salju dan batu-batu es ke bawah kemudian memasuki dan memenuhi jurang-jurang yang curam di bawah kaki gunung.

Mati hidup manusia merupakan hal yang wajar. Dan seperti segala sesuatu di alam maya pada ini, di dalam kewajaran terkandung rahasia-rahasia kegaiban yang amat luar biasa dan mentakjubkan. Kegaiban yang sama sekali tak dapat terselami oleh pikiran. Segala sesuatu yang terjadi di dalam alam raya ini, dari beraraknya awan, berputaran dunia, tumbuhnya pohon-pohon, kehidupan segala makhluk, semua adalah berjalan dengan wajar dan oleh karenanya mengandung ketertiban yang amat indah. Di dalam segala kewajaran yang penuh kegaiban itu termasuk juga kehidupan dan kematian. Wajar, karenanya gaib.

Menurut jalan pikiran, orang yang sudah terlanda berton-ton salju dan es yang runtuh ke bawah, seperti yang dialami oleh Kam Hong dan Ci Sian, tentu tidak mungkin dapat terluput dari kematian. Namun kenyataannya tidaklah demikian! Secara ‘kebetulan’ mereka itu berada di lereng, bukan di dasar kaki gunung, sehingga salju yang longsor itu hanya lewat saja di atas mereka. Dan ‘kebetulan’ pula Kam Hong dan Ci Sian lebih dulu teruruk oleh bukit kecil yang runtuh sehingga mereka seperti terlindung dan biar pun keduanya pingsan karena dilalui oleh longsoran salju dan balok-balok es sebesar itu, namun mereka tidak sampai tewas. Lebih ‘kebetulan’ lagi bahwa kepala mereka tidak sampai terpendam salju, karena kalau hal ini terjadi, dalam keadaan pingsan itu tentu mereka takkan mampu bernapas dan akan tewas juga.

Lama setelah salju yang longsor itu sudah lewat dan keadaan menjadi sunyi kembali, angin yang tadi bertiup kencang itu agaknya sudah lewat dan tidak ada sedikit pun angin bergerak, Kam Hong siuman dari pingsannya. Dia mendapatkan dirinya rebah miring, dari pinggang ke bawah terpendam salju. Ada bongkahan-bongkahan es sebesar kerbau bunting di sekitar tempat itu, dan dia merasa heran mengapa dia masih dapat hidup, padahal tertimpa satu saja di antara batu-batu es besar itu, tentu tubuhnya akan remuk. Kepalanya masih pening dan ketika dia membuka matanya, dia melihat sekelilingnya seperti berputaran. Tetapi dia dapat melihat Ci Sian menggeletak di dekatnya, telentang dan juga dalam keadaan pingsan. Muka yang manis itu kini kelihatan pucat, matanya terpejam dan kulit antara kedua alisnya masih berkerut tanda bahwa dara itu mengalami ketakutan hebat.

Kam Hong melihat pakaiannya koyak-koyak dan tubuhnya luka-luka ringan, akan tetapi yang jelas, dia masih hidup! Hawanya dingin sekali. Mereka berdua terbujur di antara batu-batu es yang bening dan berkilauan amat aneh dan indahnya, memantulkan cahaya matahari tertutup halimun. Kalau dia membayangkan betapa dia telah hampir dikoyak koyak Yeti, kemudian dijatuhi puncak yang longsor seperti itu dan kini masih hidup, juga Ci Sian masih hidup, sungguh hampir tak dapat dia mempercayainya.

Sejenak seluruh perasaannya membubung ke atas atau ke mana saja di mana Tuhan berada dan batinnya membisikkan puji syukur yang mendalam. Kemudian ia membuka matanya dan menoleh ke arah Ci Sian. Timbul kekhawatirannya. Jangan-jangan anak itu telah mati. Pikiran ini mendatangkan tenaga di tubuhnya yang terasa lemah dan dia menarik kedua kakinya dari urukan salju. Akan tetapi ketika dia bangkit, dia berteriak kesakitan dan terduduk kembali, tangannya memegangi paha kirinya. Dia memandang dan melihat celana kirinya robek dan penuh darah. Ternyata di dekat pergelangan kaki kirinya telah patah tulangnya!

Agaknya teriakan kesakitan dari Kam Hong tadi membantu Ci Sian memperoleh kembali kesadarannya. Gadis cilik ini membuka mata dan dia mengeluh kagum melihat betapa dunia di sekelilingnya sedemikian indahnya. Seperti dalam mimpi! Dia terpesona dan terheran-heran, mengucek kedua matanya dengan punggung tangannya di mana sarung tangannya robek. Pandang matanya silau oleh kilatan balok-balok es di sekitar tempat itu. Sudah matikah aku? Inikah alam baka? Demikian hatinya berbisik karena dia teringat akan dongeng tentang alam baka. Memang melihat sekitarnya dikelilingi benda-benda yang berkilauan itu dia merasa seperti berada di alam lain.

Akan tetapi suara keluhan membuat dia menengok dan barulah dia sadar ketika melihat Kam Hong duduk sambil memegangi kaki kirinya, wajahnya menyeringai kesakitan. Dia merangkak bangkit dan ternyata gadis cilik ini tidak terluka apa-apa, kecuali pakaiannya yang robek di sana-sini dan kulit tubuhnya ada yang lecet-lecet sedikit. Dia terhuyung menghampiri Kam Hong dan.... tiba-tiba dia menjerit, mukanya menjadi pucat sekali, matanya terbelalak lebar.

Kam Hong terkejut, sedetik lupa akan rasa nyeri di kakinya. “Eh, ada apakah, Ci Sian?” tanyanya khawatir.

Gadis cilik itu tak menjawab, mulutnya bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan suara, hanya telunjuk kanannya yang menuding, telunjuk yang menggigil. Kam Hong menoleh ke arah kirinya dan baru sekarang dia memandang ke kiri karena tadi Ci Sian berada di sebelah kanannya sehingga semua perhatiannya tertuju ke sebelah kanannya. Ketika dia menoleh dan melihat apa yang ditunjuk oleh gadis cilik itu, hampir saja dia pun menjerit seperti Ci Sian. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga.

Tidak jauh di sebelah kirinya, agak ke belakangnya di mana terdapat sebuah batu es, sebongkah balok es yang besarnya seperti gajah, ternyata di sebelah dalam bongkahan batu es yang amat bening ini terdapat sesosok tubuh manusia yang masih utuh, lengkap dengan pakaiannya, nampaknya seperti sedang tidur saja di dalam bongkahan es itu, terbungkus es bening yang seolah-olah menjadi petinya!

“Jangan takut, dia.... dia.... hanya sepotong jenazah....,“ kata Kam Hong, namun biar pun mulutnya menghibur seperti itu, suaranya sendiri gemetar, setengah karena rasa nyeri di kakinya, setengah lagi karena memang dia sendiri merasa seram!

Ci Sian menghampiri peti es itu. Dengan terbelalak dia memperhatikan tubuh manusia dalam es itu. Sungguh mengerikan. Wajah laki-laki setengah tua itu seperti masih hidup saja. Matanya setengah terbuka, bola matanya masih berkilau karena dilapisi es yang berkilauan. Mukanya masih agak kemerahan. Muka yang tampan dan gagah, akan tetapi mulutnya itu ditarik seperti orang yang merasa berduka. Pakaiannya aneh, dan Ci Sian teringat akan gambar-gambar manusia jaman dahulu. Pakaian yang amat kuno sekali, mungkin sudah ribuan tahun usianya! Akan tetapi pakaian itu, seperti juga tubuh itu, masih utuh dan sama sekali tidak kelihatan lapuk atau rusak.

Yang menarik hati Ci Sian adalah pada saat dia melihat kedua tangan mayat itu yang dirangkap di depan dada dan kedua tangan itu dengan jari-jari tangan yang kelihatannya memegang dengan hati-hati dan erat-erat, memegang sebuah boneka kecil, yang kurang lebih dua puluh senti panjangnya. Boneka itu telanjang, dan di tubuh boneka yang putih itu nampak guratan-guratan dan huruf-huruf kecil yang terukir secara aneh.

Karena tertariknya dan keadaan mayat dalam es ini, Ci Sian seperti melupakan Kam Hong. Baru setelah dia mendengar pemuda itu mengeluh, dia menengok dan melihat Kam Hong merobek celana kirinya dan membuka kaki yang berdarah itu, dia terkejut dan cepat menghampiri.

“Ehh, kakimu kenapa, Paman?” tanyanya sambil berlutut dan memandang khawatir.

“Agaknya tulangnya patah, Ci Sian. Biar kubersihkan darahnya.... auhhh....“ Pemuda itu menggigit bibir menahan nyeri.

“Biar aku yang membersihkannya, Paman. Engkau canggung benar dan dua tanganmu takkan mencapai kakimu yang dilonjorkan.”

Ci Sian lalu membersihkan luka itu, menggunakan sapu tangannya. Darahnya sudah membeku, dan dengan hati ngeri dia melihat bahwa di atas pergelangan kaki kiri itu kulitnya pecah dan melihat bentuk kaki itu mudah diduga bahwa memang tulangnya patah.

“Ah, agaknya memang patah tulangnya. Habis bagaimana baiknya, Paman?”

Kam Hong mengeluarkan buntalan dari balik jubahnya yang robek-robek, membuka buntalan dan mengeluarkan sebuah botol kecil terisi obat bubuk hijau.

“Ci Sian, aku sendiri tak mungkin menarik kakiku, maka kau bantulah aku menarik kakiku agar tulangnya yang patah itu dapat bertemu kembali. Kemudian kau pergunakan obat penyambung tulang ini, campur dengan salju dan paramkan di sekitar kaki yang patah, kemudian balut dengan kuat-kuat.”

“Baik, Paman.”

Ci Sian, atas petunjuk Kam Hong, lalu mencari enam batang kayu, sepanjang lima belas senti, kayu dari ranting yang cukup kuat, kemudian dia mencampur isi botol itu dengan salju cair dan dia membuat balut dari lapisan baju bulunya yang tebal, kain pembalut yang cukup panjang.

“Sekarang kau duduklah di depan kakiku, pegang kakiku dengan kedua tangan dan kerahkan tenagamu untuk menarik sekuatnya. Jangan lepaskan sebelum aku beri tanda, dan kalau aku sudah memberi tanda, engkau lepaskan perlahan-lahan agar tulang itu dapat bertemu kembali dengan bagian atas. Mengerti?”

Ci Sian merasa ngeri, maklum bahwa sastrawan itu sedang menderita nyeri yang amat hebat, maka dia mengangguk dengan yakin sambil menelan ludah. Lalu dia duduk di depan kaki kiri yang patah tulangnya itu, mempergunakan kedua tumit kakinya untuk mencari tempat menahan tubuhnya, kemudian dia memegang kaki sastrawan itu di bawah pergelangan kaki.

“Nah, mulai tarik!” kata Kam Hong yang sudah mengerahkan tenaga untuk menahan kakinya.

Ci Sian menarik sekuatnya, sedikit demi sedikit. Dia melakukan ini sambil memandang kaki itu, kemudian dia mengangkat muka memandang wajah Kam Hong. Hampir saja dia melepaskan kaki itu ketika melihat betapa wajah sastrawan itu jelas memperlihatkan penderitaan hebat! Sastrawan itu menggigit bibirnya, kedua tangan memegangi paha kaki kiri bertahan, matanya setengah terpejam dan di dahinya timbul keringat, padahal hawanya demikian dingin! Ci Sian mengerahkan tenaga menarik terus sampai terasa olehnya pergelangan kaki yang ditariknya itu mengeluarkan bunyi krek-krek!

“Le.... pas.... perlahan.... lahan....“ terdengar Kam Hong berkata dengan terengah-engah. Ci Sian mengendurkan tenaganya sedikit demi sedikit dan tulang yang patah itu pun dapat bertemu kembali.

“Lekas, beri obat itu.... dan pasang kayu-kayu itu di seputar kaki dan balut!”

Ci Sian melakukan semua itu dengan cekatan, terdorong oleh rasa khawatirnya dan rasa kasihan kepada sastrawan ini. Semua obat bubuk hijau yang sudah dicampur dengan salju cair itu diparamkan di seputar luka, lalu dia memasang kayu-kayu itu di seputar kaki dan mulai membalut. Atas petunjuk Kam Hong, dia membalut dengan pengerahan tenaga sehingga kaki itu terjepit dan tidak akan berubah lagi letak tulangnya. Setelah selesai, Kam Hong menarik napas lega dan mengusap keringat di dahi dengan ujung jubahnya.

“Terima kasih.... Ci Sian.... kaki itu akan tersambung kembali tulangnya dalam waktu beberapa hari saja.”

Ci Sian memandang wajah itu. Mereka saling pandang dan Ci Sian melihat wajah itu agak pucat, akan tetapi tersenyum! Baru sekarang dia melihat sastrawan yang biasanya muram itu tersenyum, senyum yang bebas dan wajar, tidak seperti biasanya kalau sastrawan itu tersenyum maka senyumnya itu senyum masam!

“Paman Kam, kalau mau bicara tentang terima kasih, akulah yang harus berterima kasih kepadamu! Engkau telah menumpuk budi, dan kalau tidak ada engkau, agaknya sudah berkali-kali aku mati!”

“Mana mungkin orang mati berkali-kali? Dia itu sekali mati sampai seribu tahun tak dapat bangun lagi untuk mati kembali!” Kam Hong menuding kepada mayat dalam es itu.

Ci Sian cepat menoleh. Baru dia teringat akan mayat yang aneh itu sekarang setelah Kam Hong bicara tentang itu. Segera dia mendekatinya lagi dan memeriksa dengan teliti dari segala jurusan.

“Dia seperti masih hidup saja, Paman!” teriaknya penuh gairah dan kegembiraan. “Sungguh ajaib! Bagaimana mendadak di tempat seperti ini muncul mayat yang kuno ini dalam balok es? Dan boneka di tangannya itu.... sungguh indah sekali....!”

Kam Hong menjadi tertarik sekali melihat sikap Ci Sian. Dengan menggunakan kekuatan kedua tangannya bertopang pada batu menonjol tertutup salju, dia bangkit berdiri di atas satu kaki. Kebetulan dia berdiri di tempat yang agak tinggi dan sebelum dia menghampiri Ci Sian, tanpa disengajanya dia melihat ke sekeliling tempat itu. Matanya terbelalak dan dia mengeluarkan seruan kaget yang membuat Ci Sian melompat dan menghampirinya, karena gadis ini mengira tentu pendekar itu melihat hal yang lebih aneh lagi dari pada mayat dalam balok es itu.

“Ada apakah, Paman?” tanyanya dengan cemas dan dia sudah memegang lengan Kam Hong sambil melihat pula ke sekeliling. Dan ia pun melihat apa yang membuat pendekar sakti itu terkejut, dan dia sendiri terbelalak.

“Wah, tempat ini dikelilingi jurang....!” Dan gadis tanggung itu lalu melepaskan lengan Kam Hong, berlari-lari untuk memeriksa sekeliling tempat mereka itu.

“Hati-hati, Ci Sian, jangan sampai jatuh. Awas salju longsor!” Kam Hong memperingatkan dan sambil berloncatan dengan sebelah kaki saja dia pun mengejar untuk melindungi dara itu.

Mereka memeriksa sekeliling tempat itu dan memang tempat itu kini merupakan tempat yang terpencil. Akibat longsor hebat itu, tempat ini menjadi terkurung oleh jurang-jurang yang amat curam dan agaknya tidak mungkin dapat dituruni, apalagi dengan sebelah kaki patah tulangnya seperti Kam Hong. Mereka terjebak dalam tempat yang agaknya tidak ada jalan keluarnya!

“Wah, bagaimana kita dapat melanjutkan perjalanan, Paman?”

“Tenanglah, Ci Sian. Andai kata tempat ini tidak terkurung, tetap saja kita tidak dapat melanjutkan perjalanan sebelum tulang kakiku tersambung dan sembuh kembali. Lebih baik kita mencari tempat untuk tinggal selama beberapa hari ini di sekitar sini.”

“Aku mau melihat mayat aneh itu dan bonekanya!” kata Ci Sian yang dalam waktu singkat sudah dapat melupakan kembali kecemasan dan berlari-larian dia kembali ke tempat di mana mereka menemukan jenazah itu.

Mau tidak mau Kam Hong tersenyum. Melakukan perjalanan dengan seorang anak perempuan yang tidak cengeng seperti Ci Sian memang menyenangkan. Anak itu tabah dan tidak mudah putus asa, berbakat untuk menjadi seorang pendekar wanita. Maka dia pun segera mengejarnya, karena dia pun tertarik sekali untuk menyelidiki keadaan mayat yang memakai pakaian kuno sekali itu.

Sekarang baru teringat dia akan suling emasnya. Hatinya gelisah sekali dan dia tidak jadi menghampiri Ci Sian, melainkan mencari-cari sambil berloncatan. Tentu sulingnya itu terlepas ketika dia tertimpa salju dan es-es balokan besar yang longsor dari atas. Tiba tiba dia melihat sinar menyilaukan di tepi jurang. Cepat dia berloncatan ke sana dan giranglah hatinya karena sinar itu ternyata adalah ujung sulingnya yang tersembul keluar dari timbunan salju! Cepat diambilnya pusaka itu, diperiksanya dan ternyata tidak rusak sama sekali. Dengan hati lapang dan girang diselipkannya suling itu ditempat semula, yaitu di balik jubahnya, di ikat pinggang dekat kipasnya. Baru dia menghampiri Ci Sian yang agaknya sedang terpesona oleh jenazah dalam bongkahan es besar itu.

Memang jenazah itu aneh sekali. Wajah jenazah itu seperti wajah orang hidup saja, pakaiannya yang masih rapi dan seperti baru. Juga boneka yang dipegang oleh jenazah itu merupakan boneka anak kecil yang montok dan sehat, tersenyum lebar seperti muka yang ramah dan suci dari arca Ji-lai-hud. Melihat jenazah terlantar seperti itu, dan melihat keadaan pakaiannya, model pakaian itu, Kam Hong menaksir bahwa jenazah itu tentu sudah terlantar dan terbungkus es selama sedikitnya seribu tahun, timbul rasa kasihan dalam hati Kam Hong.

“Kita harus mengubur jenazah itu dengan baik, Ci Sian. Kasihan dia dibiarkan terlantar seperti itu.”

Akan tetapi Ci Sian seolah-olah tidak mendengar ucapan Kam Hong itu. Begitu asyiknya dia mengamati boneka di tangan mayat itu sehingga dia mendekatkan mukanya sampai hidungnya yang mancung kecil itu menyentuh balok es yang menjadi peti mayat itu. Tiba tiba dia berseru dan matanya dilebar-lebarkan untuk dapat memandang lebih jelas lagi, “Paman, lihat....! Ada tulisannya pada dahi boneka itu!”

“Ahh, benarkah?” Kam Hong bertanya dan dia pun mendekat, lalu memandang dengan cermat ke arah boneka. Akhirnya dia berkata, “Benar, itu tentu huruf-huruf yang ditulis, akan tetapi terlampau kecil untuk dapat dibaca melalui es ini. Es membuat huruf-huruf itu kabur dan tak dapat dibaca dari luar.”

“Kalau begitu, apakah Paman tidak dapat memecahkan balok es ini?”

“Ahh, untuk apa, Ci Sian? Kita tidak boleh mengganggu jenazah manusia!”

“Untuk dapat membaca tulisan itu, Paman. Siapa tahu tulisan itu merupakan pesan untuk kita atau siapa saja yang menemukan jenazah ini!”

Kam Hong tertarik. Bukan tidak mungkin apa yang diucapkan gadis cilik itu. Kalau tidak mengandung maksud tertentu, mengapa dahi boneka diberi tulisan huruf-huruf amat kecilnya? Dia memandang kembali wajah dan pakaian mayat itu, kemudian dia seperti memperoleh firasat bahwa mayat itu adalah jenazah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Maka dia lalu berkata kepada jenazah itu, “Locianpwe, harap maafkan teecu yang berani lancang memecahkan balok es. Teecu berjanji akan mengubur jenazah Locianpwe baik-baik.”

Setelah berkata demikian, dengan hati-hati Kam Hong menaruh telapak tangannya pada balok es itu, mula-mula di atas kedua kaki jenazah. Dia mengerahkan sinkangnya menekan.

“Krekk… krekk…,” terdengar suara dan balok itu pun pecah di bagian bawah!

Ci Sian hampir bersorak. “Engkau hebat sekali, Paman!”

Siauw Hong atau Kam Hong hanya tersenyum, lalu memecah balok es di bagian atas. Terdengar suara agak keras dan balok es itu kini terbelah menjadi dua dan mayat itu pun nampak! Sungguh aneh, tidak ada bau busuk keluar dari mayat itu! Kalau mayat itu tidak sampai rusak selama ribuan atau ratusan tahun, hal itu tidaklah aneh karena mayat itu terbungkus es dan selalu terbenam dalam tempat yang suhunya teramat dinginnya. Akan tetapi kalau kulit itu sama sekali tidak rusak dan tidak mengeluarkan bau busuk, hal ini adalah suatu keanehan dan tentu ada rahasia tertentu tersembunyi di balik kenyataan ini, pikir Kam Hong. Dia menduga bahwa tentu sesudah mati mayat ini diberi semacam obat yang luar biasa, yang membuat selain mayat itu tidak rusak selamanya, juga tidak mengeluarkan bau busuk.

Setelah peti es itu terbuka dan kini mayat tidak lagi tertutup es, tulisan huruf-huruf kecil di atas dahi boneka itu dapat dibaca, sungguh pun untuk itu Kam Hong dan Ci Sian terpaksa harus mendekatkan mata mereka kepada boneka itu. Tulisan itu bergaya kuno, baik coretannya mau pun susunan kalimatnya, akan tetapi agaknya Ci Sian terdidik baik sekali dalam hal sastra, karena ternyata dia mampu juga membaca dan mengerti artinya, membuat Kam Hong merasa kagum juga.

Aku mohon agar boneka ini dibakar agar pusaka keramat yang mengandung pelajaran dahsyat ini tidak terjatuh ke dalam tangan orang jahat.’

“Aihh, sungguh sayang sekali jika boneka ini dibakar!” Ci Sian berseru dan memandang kepada wajah jenazah itu seolah-olah jenazah itu seorang yang masih hidup. “Kenapa engkau meninggalkan pesan yang demikian aneh dan gila? Kalau memang ingin melenyapkan boneka indah ini, kenapa tidak dulu-dulu kau bakar sendiri?”

Biar pun ucapan Ci Sian itu keluar dari sifatnya yang keras, bengal dan tidak mau tunduk kepada siapa pun juga, akan tetapi Kam Hong seperti disadarkan akan sesuatu yang memang aneh sekali. Memang ucapan Ci Sian itu benar belaka. Mengapa bersusah payah menulis huruf-huruf kecil di dahi boneka itu kalau memang hendak melenyapkan boneka itu? Kenapa tidak langsung saja dibakar dari pada menanti sampai ribuan tahun agar ditemukan orang dan dibakar oleh orang itu? Bukankah langsung saja dibakar jauh lebih mudah dari pada membuat tulisaan huruf kecil-kecil itu? Tentu ada rahasianya di balik semua ini.

“Ci Sian, siapa pun adanya Locianpwe ini, beliau tidak minta kita menemukannya. Meski kita juga tidak sengaja mencarinya, tetapi kita toh telah bertemu dengan beliau. Maka ini namanya jodoh. Dan pesanan orang yang sudah mati merupakan perintah keramat yang harus dipenuhi, apalagi Locianpwe ini sampai memohon dan permintaannya itu pun tidak sukar. Mari kita bakar boneka ini seperti yang dipesankan.”

Ci Sian mengerutkan alisnya. “Terlalu! Itu namanya mempermainkan perasaan orang! Kenapa boneka yang indah ini dibawa mati, dibiarkan terlihat orang? Membiarkan orang merasa suka lalu menyuruh orang itu membakarnya, sungguh merupakan perbuatan yang kejam sekali. Wah, jenazah orang ini dahulu di waktu hidupnya tentu membuat banyak dosa, Paman. Sampai sudah ribuan tahun menjadi mayat pun masih melakukan perbuatan kejam! Jangan dibakar saja, Paman, aku ingin melihat dia bisa apa!”

“Hemmm, tidak boleh begitu, Ci Sian. Pesan Locianpwe ini tentu mengandung maksud yang amat penting. Siapa tahu boneka ini yang disebutnya benda keramat benar-benar mengandung pelajaran yang mukjijat dan kalau sampai terjatuh ke tangan orang jahat, bukankah dunia ini akan menjadi semakin kacau?”

“Akan tetapi aku tahu benar bahwa engkau bukanlah orang jahat, Paman! Mungkin aku masih layak disebut orang jahat, akan tetapi engkau sama sekali bukan orang jahat! Engkau seorang pendekar yang budiman. Kalau memang boneka ini mengandung pelajaran tinggi, bukankah akan berguna sekali kalau dipelajari olehmu? Memang orang ini mempermainkan dan memperolok orang saja! Pantas dia tersiksa, sampai sudah mati pun tidak dapat sempurna.”

“Hushhh, sudahlah Ci Sian. Engkau tidak tahu. Seorang Locianpwe melakukan hal-hal yang aneh bukan tidak mengandung maksud yang tersembunyi. Siapa tahu ilmu yang terkandung dalam boneka itu mempunyai pengaruh dan daya yang aneh sehingga siapa pun yang mempelajarinya akan berubah menjadi tersesat dan jahat. Biarkan aku yang membakarnya.”

“Sesukamulah!” kata Ci Sian agak marah. “Kau bakarlah boneka tak berguna itu. Aku sendiri lebih senang membakar sesuatu yang lebih berguna bagi perutku yang lapar ini.” Setelah berkata demikian, gadis cilik ini meninggalkan Kam Hong karena dia melihat banyak sekali burung-burung yang berbulu putih dengan kepala hitam beterbangan dan ada yang hinggap di tepi jurang dari tempat yang kini seolah-olah menjadi semacam pulau kecil itu. Pulau yang dikelilingi jurang curam, bukan dikelilingi laut.

Matahari telah condong ke barat ketika Kam Hong akhirnya berhasil membuat api. Tidak mudah membuat api di tempat dingin itu. Akan tetapi pendekar ini memang menyimpan batu api, bahan bakar dan dengan mengumpulkan kayu-kayu ranting yang terbawa longsor dan membersihkannya, akhirnya dengan susah payah dapat juga dia membuat api dan membakar boneka itu.

Selagi dia membakar boneka itu, Ci Sian datang membawa dua ekor burung yang gemuk. Burung itu bentuknya seperti bebek, besarnya mirip ayam dan setelah dibubuti semua bulunya, tiada bedanya dengan bebek.

“Seorang seekor, Paman. Paman tentu lapar, bukan?” katanya sambil memandang ke arah boneka yang dibakar itu dengan mulut cemberut. “Bukankah jauh lebih berguna membakar bebek-bebek ini?”

Kam Hong tersenyum. “Engkau pandai sekali, Ci Sian. Di tempat seperti ini engkau bisa mencari makanan.”

Kam Hong membakar boneka dan Ci Sian membakar dua ekor burung. Daging burung sudah matang, akan tetapi boneka itu tidak juga hancur! Hanya gosong saja! Padahal pakaian yang dipakai boneka itu sudah hancur sama sekali. Boneka kecil itu sekarang telanjang, akan tetapi tubuhnya masih utuh…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman