SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-06


Sinar api menciptakan pemandangan yang menakjubkan. Sinar api itu terpantul oleh bongkahan es yang besar-besar itu, dan timbullah beraneka warna gemilang seperti pelangi di mana-mana. Mereka merasa aneh, seolah-olah mereka berada di dalam dunia lain, atau dalam dunia mimpi anak-anak yang amat luar biasa. Seperti berada di dalam ruangan penuh dengan cermin. Bayangan mereka berdua nampak di mana-mana, akan tetapi bayangan-bayangan itu menjadi aneh bentuknya seperti ada ratusan buah cermin palsu mengelilingi mereka, ada yang membuat mereka menjadi berbentuk gemuk sekali, ada yang membuat mereka menjadi tinggi kurus dengan muka pletat-pletot lucu sekali. Dua ekor burung panggang sudah mereka makan habis, akan tetapi boneka itu masih tetap utuh!

“Hentikan saja, Paman. Engkau sudah membakarnya sejak tadi. Kakek itu memang agaknya sengaja mempermainkan kita. Lebih baik kita mengaso, sebentar lagi akan gelap. Tadi aku melihat di sebelah sana terdapat sebuah goa yang cukup besar untuk kita berlindung dari angin dan beritirahat.”

Kam Hong mengerutkan alisnya. Walau pun nampaknya benar ucapan Ci Sian itu, akan tetapi dia tidak percaya bahwa orang seperti locianpwe itu sengaja mempermainkan orang dengan bonekanya. “Ci Sian, biarlah engkau pergi istirahat dulu di sana. Aku akan melanjutkan membakar boneka ini.”

Dengan marah Ci Siang bangkit berdiri, lalu dia menuding-nuding ke arah mayat yang sekarang rebah di atas tanah tertutup salju itu sambil berkata. “Awas kau, kalau kau yang menyiksa Paman Kam ini kemudian tidak memberi sesuatu kepadanya sebagai balasan, engkau tentu akan kukutuk habis-habisan!”

“Ci Sian....!” Kam Hong mencela, akan tetapi gadis cilik itu sudah meloncat dan lari meninggalkannya.

Kam Hong merasa penasaran sekali dan menghabiskan kayu yang disediakannya tadi untuk membakar boneka itu. Akan tetapi sampai api padam kehabisan bahan bakar, boneka itu tetap utuh saja sedangkan cuaca mulai gelap sekarang.

“Maaf, Locianpwe. Bukan maksud teecu tidak mau mentaati perintah Locianpwe, akan tetapi agaknya boneka ini memang tidak dapat terbakar,” katanya.

Dia mengambil boneka yang sudah telanjang karena pakaiannya sudah hancur menjadi abu itu, dan yang gosong kehitaman, meletakkannya kembali ke dalam tangan jenazah yang masih rebah telentang, kemudian sambil berloncatan dengan satu kaki Kam Hong pergi menyusul Ci Sian. Dia harus bersama gadis cilik itu untuk tetap dapat melindungi dan menjaganya. Kam Hong mendapatkan Ci Sian meringkuk di dalam goa, agaknya merasa kedinginan.

Melihat bayangan yang dipantulkan oleh sinar terakhir dari matahari yang sedikit demi sedikit mulai bersembunyi di balik bukit salju, bayangan Kam Hong berdiri di depan goa, Ci Sian segera menyambutnya dengan pertanyaan. “Sudah hancurkah dia?”

“Belum, sampai apinya padam boneka itu masih tetap utuh.”

“Huh! Lalu kau apakan dia?”

“Kukembalikan kepada Locianpwe itu.”

“Sudah kukatakan, Paman. Jenazah itu adalah mayat seorang badut dulunya, atau orang yang memang jahat dan suka mempermainkan orang lain.”

“Biar besok akan kubakar kembali jenazah itu bersama bonekanya.”

Tidak ada jawaban, akan tetapi Kam Hong mendengar suara Ci Sian kedinginan. Dia lalu memasuki goa dan duduk di dekat gadis yang merebahkan diri miring itu. Dia melihat Ci Sian meringkuk bulat menarik kaki tangannya dan agak menggigil.

“Kau merasa kedinginan?”

“Tentu saja.... uhhh.... Paman, bagaimana kalau kita tidak dapat keluar dari sini? Kalau begini terus aku akan menjadi seperti badut itu!” Ci Sian menggigil. “Sayang aku tidak dapat memikirkan sesuatu yang baik untuk meninggalkan permainan seperti dia untuk mempermainkan orang!”

“Hushh, jangan bicara seperti itu, Ci Sian. Nah, duduklah bersila, aku akan membuat tubuhmu menjadi hangat. Mulai sekarang engkau harus menuruti petunjukku, aku akan mengajarmu bagaimana untuk mengerahkan hawa murni di dalam tubuh agar kau dapat melawan dingin.”

Ci Sian menjadi girang sekali dan dengan taat dia lalu bangkit duduk dan bersila. Kam Hong juga duduk bersila, dengan hati-hati menggerakkan kakinya yang patah tulangnya, kemudian dia menempelkan telapak tangan kanannya di atas punggung gadis cilik itu.

“Dengarkan baik-baik,” bisiknya. “Engkau sudah diajari mendiang Kakekmu tentang jalan darah, nah, kalau aku menyebutkan jalan darah tertentu, engkau harus mencoba untuk membuka jalan darah itu dengan mengerahkan tenaga dari hawa murni dalam tubuhmu. Aku akan mendorongnya dengan tenagaku....”

Tak lama kemudian Ci Sian merasa ada hawa yang amat kuat dan hangat masuk melalui punggungnya. Dia menjadi girang sekali dan dengan tekun dia mulai mempelajari ilmu ini, mendengarkan petunjuk-petunjuk dari Kam Hong dan akhirnya dia dapat membuat tubuhnya menjadi hangat, sama sekali tidak lagi menderita oleh serangan hawa dingin dari luar tubuhnya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ci Sian sudah keluar dari goa. Kam Hong masih duduk bersemedhi setengah tidur. Pendekar itu tidak tahu berapa lama Ci Sian pergi, akan tetapi ketika dia sudah bangun, dia melihat Ci Sian sudah membuat api unggun dan dara itu sedang membakar atau memanggang sesuatu yang sedap baunya. Kiranya Ci Sian sudah pandai membuat api dengan batu api dan bahan bakarnya, dan ketika Kam Hong mendekat, ternyata gadis cilik itu sedang memanggang daging, entah daging apa!

“Heii, dari mana engkau memperoleh daging itu? Daging apakah itu?”

Ci Sian tertawa dan mengangkat kulit yang berbulu putih ke atas. “Entah binatang apa, macamnya seperti kelinci, gemuk sekali, Paman, dan baunya sedap, ya?”

Melihat kulit berbulu putih itu Kam Hong menahan ketawanya dan tidak mau memberi tahu kepada Ci Sian bahwa yang sedang dipanggangnya itu adalah daging tikus salju! Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, daging tikus pun baik saja untuk pengisi perut, dari pada kelaparan.

“Paman, aneh sekali. Ketika tadi aku lewat di dekat jenazah itu dan melihat boneka hangus itu, ternyata pada tubuh boneka itu pun ada huruf-hurufnya.”

“Ehhh....? Apa bunyinya?”

“Entah aku tidak membacanya. Aku tahu pasti huruf-huruf itu merupakan siasat baru dari badut itu untuk mempermainkan kita. Aku lebih tertarik mengejar kelinci ini dari pada membaca tulisan tiada gunanya itu.”

Malam tadi Kam Hong memang sudah sangat tertarik untuk mencari tahu rahasia dari jenazah itu. Dia tidak percaya akan kelakar Ci Sian bahwa jenazah itu dahulunya adalah seorang badut yang sengaja hendak meninggalkan lelucon untuk mempermainkan orang lain. Tentu ada rahasia yang tersembunyi dan terkandung di dalam semua pesan yang ditinggalkan oleh jenazah itu. Apakah dia yang keliru mengartikan pesan itu? Ah, tidak mungkin. Kalimat-kalimat pada dahi boneka itu tidak bisa diartikan lain.

Mungkin orang lain akan merasa sayang kepada boneka itu. Ci Sian tidak rela boneka itu dibakar, akan tetapi anak perempuan itu hanya menyayangkan keindahan boneka itu saja, merasa sayang bahwa benda mainan yang demikian bagusnya dibakar! Akan tetapi orang lain, terutama orang-orang kang-ouw, setelah melihat tulisan yang menyebutkan bahwa boneka itu merupakan benda keramat yang mengandung pelajaran dahsyat, pasti akan menyimpannya dan berusaha untuk mencari rahasia pelajaran dahsyat itu.

Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal seperti itu. Dia adalah keturunan Suling Emas, dan dia sendiri sudah memiliki kepandaian peninggalan nenek moyangnya yang tinggi dan hebat, perlu apa dia menginginkan kepandaian lain? Juga, dia tidak sudi melanggar pesan orang yang sudah mati.

Kini, mendengar bahwa boneka yang dibakar sekian lamanya tetap utuh itu ada huruf hurufnya, Kam Hong menjadi tertarik sekali. Tanpa berkata apa pun dia kemudian meninggalkan Ci Sian yang masih sibuk memanggang daging ‘kelinci’ sambil mengomel karena di situ tidak terdapat bumbu masak, dan sambil berloncatan dengan sebelah kaki, Kam Hong menuju ke tempat jenazah itu. Dia melihat jenazah itu masih rebah telentang seperti malam tadi, boneka itu masih terletak di atas dadanya, di antara tangannya seperti yang dia letakkan semalam, lalu dia mengamati boneka yang gosong itu.

Benar! Ada huruf-huruf pada tubuh boneka itu! Agaknya huruf-huruf itu timbul setelah boneka itu terbakar! Sungguh aneh akan tetapi nyata! Dia tahu benar bahwa ketika dia membakar boneka itu, tidak terdapat huruf apa pun pada tubuh boneka, kecuali pada dahinya itu. Cepat dia mengambil boneka gosong itu dan membersihkan angus dari tubuh boneka yang masih utuh.

Bukan main girang hatinya ketika melihat bahwa huruf-huruf yang timbul setelah boneka dibakar itu merupakan kalimat yang urut dan dapat dibaca dengan mudah. Dia bersihkan seluruh tubuh boneka, kemudian mulai membaca dengan jantung berdebar tegang dan tertarik sekali. Makin lama, sepasang matanya makin terbelalak, mukanya pucat dan tangan yang memegang boneka itu menggigil. Lalu dia menggoyang-goyang kepala dan mengejap-ngejapkan kedua matanya seolah-olah tak percaya akan apa yang dibacanya, lalu dibacanya lagi huruf-huruf yang tersusun rapi dari atas ke bawah di tubuh boneka itu.

Mau membakar boneka pertanda jujur dan tidak tamak akan pusaka orang lain. Berarti berjodoh untuk mewarisi ilmu-ilmuku. Fa Sian sendiri pun tidak berhasil membujukku menyerahkan ilmu ini, kecuali hanya suling emas buatanku. Akan tetapi suling itu tanpa ilmu sejati, apa artinya? Muridku, rendamlah boneka itu dalam air, dan pergunakan airnya untuk memandikan jenazahku. Kemudian, pelajari semua ilmu yang ada padaku dengan hati yang besih. Tunggui aku selama tiga hari tiga malam, baru boleh engkau menguburku. Mulai saat ini engkaulah muridku dan ahli warisku.

SULING EMAS

Dapat dibayangkan mengapa Kam Hong menjadi terbelalak lalu bengong seperti orang kehilangan ingatan saking bengong, heran dan kagetnya. Jenazah yang meninggalkan pesan itu menamakan dirinya sendiri Suling Emas! Padahal, bukankah Suling Emas itu adalah Pendekar Suling Emas yang bernama Kam Bu Song dan juga merupakan nenek moyangnya? Apakah.... apakah jenazah ini jenazah nenek moyangnya itu, jenazah Suling Emas Kam Bu Song?

Ah, tidak bisa jadi! Nenek moyangnya itu meninggal dunia di utara, bukan di Pegunungan Himalaya. Dan lagi pula, tulisan itu menyebutkan bahwa penulisnya yang bernama Suling Emas itu hidup di jaman Pendeta Fa Sian yang amat sakti itu hidup pada jaman sesudah Dinasti Cin atau pada kurang lebih tahun empat ratus, jadi sudah seribu empat ratus tahun kurang lebih. Sedangkan nenek moyangnya itu, Pendekar Suling Emas Kam Bu Song hidup dalam tahun sembilan ratus lebih. Jadi ada selislh lima ratus tahunan antara penulis surat ini dan nenek moyangnya yang berjuluk Suling Emas itu. Penulis atau jenazah ini jauh lebih tua.

Tetapi, jenazah ini menyebut-nyebut tentang suling emas. Suling emas yang dikatakan buatannya itu diberikan kepada Pendeta Fa Sian yang masyhur itu, pendeta yang amat sakti dan yang terkenal menjelajah sampai jauh ke luar Cina. Pendeta Fa Sian ini terkenal di seluruh dunia karena dia telah mencatat semua perjalanannya sehingga catatannya itu merupakan catatan sejarah yang amat penting. Ada hubungan apakah antara jenazah ini dengan nenek moyangnya, Kam Bu Song? Dan ada hubungan apakah antara suling emas buatan jenazah ini yang diberikan kepada Pendeta Fa Sian itu dengan suling emas peninggalan nenek moyangnya yang sekarang terselip di ikat pinggangnya?

Sampai bagaimana pun juga, Kam Hong tidak mungkin dapat menyelidiki pesoalan itu tanpa bahan-bahan. Tak ada hal yang lebih ajaib dari pada hal yang telah terjadi secara ‘kebetulan’. Dia tidak tahu bahwa memang suling emas yang berada di pinggangnya itu adalah buatan jenazah inilah! Kurang lebih seribu empat ratus tahun yang lalu! Dan memang pencipta ilmu-ilmu suling emas yang sejati adalah kakek yang kini membujur di depannya sebagai jenazah ini. Entah sudah berpindah tangan berapa puluh kali ketika suling emas itu terjatuh ke dalam tangan pendekar Kam Bu Song.

Seperti dapat dibaca dalam cerita SULING EMAS, pendekar Kam Bu Song memperoleh suling itu di Pulau Pek-coa-to, dari tangan sastrawan terkenal Ciu Bun. Dan dia juga memperoleh kitab terisi sajak-sajak yang menjadi pelengkap suling emas itu dari tangan sastrawan besar Ciu Gwan Liong, adik sastrawan Ciu Bun itu. Kedua orang sastrawan besar she Ciu ini menerima kitab sajak dan suling emas itu dari seorang tokoh manusia sakti yang dianggap dewa, yaitu Bu Kek Siansu! Mungkin saja Bu Kek Siansu menerima suling emas itu dari orang lain, ataukah dari Pendeta Fa Sian sendiri?

Tidak ada yang mengetahui karena memang apa pun boleh saja dan mungkin saja terjadi pada dua orang tokoh yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia itu, yaitu Pendeta Fa Sian dan Bu Kek Siansu! Kakek pembuat suling emas itu telah lenyap dari dunia selama seribu empat ratus tahun, dan kini secara kebetulan yang amat aneh sekali, kakek itu, dengan jasad yang masih utuh, telah berhadapan dengan ahli waris suling emas buatannya itu, ahli waris yang terakhir dan yang memegang suling emas itu!

Bagaikan orang yang kehilangan ingatan Kam Hong masih memegangi boneka itu dan entah sudah berapa kall dia membaca tulisan itu, ketika Ci Sian datang membawa panggang daging ‘kelinci’nya dengan wajah berseri.

“Paman, sarapan dulu! Ehh, mengapa engkau melamun? Lelucon apa lagi yang ditulis oleh badut kuno itu?”

Suara bening merdu ini menyeret Kam Hong kembali ke alam kenyataan. Dia menoleh, tersenyum dan menaruh kembali boneka gosong itu ke atas dada jenazah, kemudian menghampiri Ci Sian sambil berkata. “Ada perintah baru dari Locianpwe ini. Baiklah kita sarapan, dan nanti akan kuceritakan kepadamu suatu keanehan yang benar-benar ajaib sekali, Ci Sian.”

Mereka lalu makan panggang daging tikus salju itu yang terasa sedap karena memang di situ tidak ada apa-apa lagi untuk dijadikan perbandingan. Setelah makan dan minum air cairan es, dan mencuci tangan, barulah Kam Hong menceritakan tentang tulisan pada boneka gosong itu. Ci Sian mendengarkan dengan ragu-ragu karena dia sudah curiga saja kalau-kalau pamannya ini akan menjadi korban lelucon permainan yang ditinggalkan oleh jenazah badut itu! Akan tetapi ketika dia mendengar tentang suling emas, membuat dia mengerutkan alisnya dan terheran-heran.

“Suling Emas? Paman Kam, bukankah engkau juga memiliki suling emas itu?”

Kam Hong mengangguk dan mencabut sulingnya. Nampak sinar keemasan berkilat dan pendekar ini mengangkat sulingnya ke atas. “Bukan hanya memiliki suling pusaka ini, Ci Sian, bahkan kepadamu aku tidak perlu merahasiakan bahwa aku adalah keturunan terakhir dari Pendekar Sakti Suling Emas.”

“Ahhh....!”

“Kenapa?”

“Aku pernah mendengar dari mendiang Kongkong, kiraku hanya nama dalam dongeng saja....“

“Bukan dongeng, Ci Sian. Pendekar Suling Emas bernama Kam Bu Song dan menjadi nenek moyangku. Maka dapat kau mengerti betapa anehnya penemuan ini! Locianpwe ini, seperti dapat kita baca pada pesanannya, memakai nama Suling Emas dan bahkan mengaku dialah pembuat suling emas! Membuat aku berpikir-pikir apakah hubungan Locianpwe ini dengan nenek moyangku? Dan apakah suling emas buatannya yang dimaksudkan ini adalah suling yang kini menjadi milikku ini?”

Ci Sian yang merasa tertarik sekali ikut pula membaca huruf-huruf pada tubuh boneka itu, yang kembali dibaca oleh Kam Hong untuk ke sekian kalinya. Setelah ikut membaca, Ci Sian berkata dengan nada suara bersungguh-sungguh, tidak lagi memandang rendah kepada jenazah itu.

“Paman, mengapa tidak kau taati perintahnya? Ternyata dia tidak main-main! Mungkin suling emas yang diberikan olehnya kepada Pendeta Fa Sian itulah yang terjatuh ke tangan nenek moyangmu dan sekarang menjadi milikmu. Akan tetapi ilmu yang disebut sebutnya itu, sepatutnya kau pelajari. Kini engkau telah menjadi murid dari Locianpwe ini, Paman! Engkau memang berjodoh dengan dia. Buktinya, engkaulah yang berkeras ingin membakar boneka itu. Kalau aku, aku tadinya merasa sayang, dan kalau menurut aku tentu boneka itu tidak akan pernah kubakar.”

Kam Hong mengangguk. “Memang benar ucapanmu, Ci Sian. Aku juga hendak mentaati perintahnya.”

Kam Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan jenazah yang rebah telentang itu, kemudian berkata, “Teecu Kam Hong, hendak melaksanakan perintah Locianpwe, harap Locianpwe memberi berkah.”

Setelah memberi hormat, dia lalu merendam boneka gosong itu dalam air. Kemudian, air rendaman itu dipergunakan untuk memandikan jenazah. Ci Sian yang merasa agak ngeri dan jijik, menjauh. Apalagi karena dia mengerti bahwa dia adalah ‘orang luar’ dan tidak berhak ikut-ikut.

Setelah memandikan jenazah itu dan membereskan kembali pakaian jenazah itu, Kam Hong berpendapat bahwa tidak baik membiarkan jenazah itu di tempat terbuka, maka dia lalu memondong jenazah itu dan dibawanya masuk ke dalam goa lebih kecil yang berada di sebelah kanan goa tempat dia dan Ci Sian bermalam. Goa ini juga diliputi es dan salju, jadi merupakan ‘peti es’ yang lebih besar lagi.

“Ci Sian, aku harus mentaati perintah Locianpwe ini yang aku percaya adalah pembuat suling emas ini, sehingga dengan demikian agaknya beliau ini justru merupakan pencipta suling emas dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan pusaka itu. Maka beliau ini masih terhitung nenek moyang perguruanku yang pertama! Maka, harap kau tidak mengganggu selama tiga hari tiga malam ini, karena aku hendak menjaganya seperti yang sudah diperintahkannya itu.”

Ci Sian mengerutkan alisnya, agak cemberut karena dia merasa betapa beratnya kalau dia selama tiga hari tiga malam harus sendirian saja, tetapi dia pun sudah membaca sendiri pesan itu maka dia mengangguk dan berkata, “Baiklah, Paman. Itu urusan keluargamu. Aku akan menangkap burung, kelinci dan mencoba-coba untuk mencari jalan keluar dari tempat ini.”

“Akan tetapi hati-hatilah, Ci Sian. Dan engkau berteriaklah kalau terjadi sesuatu. Biar pun aku sedang menjaga jenazah, kalau engkau terancam sesuatu tentu aku akan datang menolongmu.”

Lenyaplah rasa tidak enak di dalam hati Ci Sian. Dia kini tidak cemberut lagi, bahkan tersenyum manis sekali. Baru dari ucapan itu saja dia sudah maklum bahwa sebetulnya, pada dasarnya, Kam Hong masih lebih sayang kepadanya dari pada kepada mayat itu!

“Bagaimana dengan makan dan minummu selama tiga hari itu, Paman?”

Kam Hong tersenyum. “Kalau engkau memperoleh sesuatu, kau taruh saja bagianku di dekatku tanpa bicara. Kalau aku lapar atau haus tentu akan kumakan dan kuminum.”

“Baik, Paman,” kata Ci Sian lalu dia pergi meninggalkan Kam Hong yang duduk bersila seorang diri di dekat jenazah.

Setelah dia memandikan mayat itu, dia tadinya mengira tentu akan timbul petunjuk baru, namun ternyata tidak terjadi apa-apa sehingga dia merasa heran. Pikirannya dikerahkan untuk menduga-duga, di mana kiranya mayat ini menyimpan ilmunya yang katanya dalam pesan terakhir itu agar dipelajarinya dengan hati bersih. Apakah tersembunyi di dalam tubuhnya? Akan tetapi, ketika memandikan tubuh itu, dia tidak melihat sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk.

Kini, untuk menggeledah badan mayat itu, dia merasa tidak berani karena betapa pun juga, dia mempunyai perasaan menghormat terhadap jenazah orang yang selain telah mengangkatnya sebagai murid, juga diduganya merupakan nenek moyang perguruan Suling Emas itu. Dia tahu bahwa keadaan jenazah ini memang penuh rahasia, dan agaknya pengasuhnya sendiri, Sin-siauw Sengjin, yang merupakan keturunan pengasuh kepercayaan nenek moyangnya dan bahkan yang menyimpan dan mewarisi ilmu-ilmu nenek moyangnya yang kemudian diturunkan kepadanya, agaknya juga tidak akan dapat memecahkan rahasia jenazah ini.

Sampai tiga hari tiga malam lamanya Kam Hong menjaga jenazah itu, tepat seperti yang diperintahkan oleh tulisan jenazah itu pada boneka. Selama tiga hari tiga malam itu, dia sama sekali tidak pernah makan panggang daging yang setiap hari dihidangkan oleh Ci Sian. Bukankah jenazah itu memesan agar dia mempelajari ilmu-ilmunya dengan hati yang bersih? Dan untuk menjaga agar Ci Sian tidak kecewa atau menyesal, Kam Hong mengubur panggang daging itu di bawah salju, seolah-olah dia telah menghabiskan semua hidangan gadis itu.

Pada hari ke empat, dia sudah merasa sangat yakin bahwa jenazah itu memang tidak meninggalkan suatu petunjuk apa pun, maka dia pun mengambil keputusan untuk menguburnya. Pagi hari ia berlutut didekat tubuh yang rebah telentang itu sambil berkata. “Locianpwe, teecu telah memenuhi perintah Locianpwe, maka perkenankan hari ini teecu mengubur jenazah....“

Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya karena dia melihat sesuatu pada kuku-kuku jari tangan yang terletak di atas dada memegang boneka gosong itu. Pada kuku-kuku itu nampak ada huruf-hurufnya! Padahal pada hari-hari sebelumnya huruf-huruf itu belum ada! Hal ini dia ketahui benar karena dia sudah memeriksa seluruh bagian tubuh yang nampak, dan ketika dia memandikan jenazah itu pun dia melihat bahwa pada kuku yang panjang terpelihara itu tidak ada apa-apanya. Bagaimana kini dapat timbul huruf-huruf itu? Akan tetapi pikirannya yang cerdas itu segera dapat menangkap rahasianya. Tentu huruf-huruf itu ditulis oleh tinta istimewa yang bara timbul setelah tiga hari sesudah dicuci dengan air rendaman boneka gosong itu! Cepat diteliti dan dibacanya huruf-huruf itu dari kuku ibu jari sampai kuku kelingking.

Muridku, salurkan tenaga ‘Yang’ ke badanku agar aku tidak kedinginan.

Sungguh aneh, pikir Kam Hong. Mana mungkin jenazah merasa kedinginan? Memang aneh-aneh saja pesan dari jenazah ini, dan pantaslah kalau Ci Sian menganggapnya seorang badut yang suka mempermainkan orang, biar telah mati sekali pun. Akan tetapi, karena ada rasa hormat yang mendalam terhadap jenazah itu, Kam Hong tidak merasa ragu-ragu lagi. Dia meletakkan kedua tangannya ke atas dada jenazah itu, kemudian dia mengerahkan tenaga ‘Yang’ yaitu tenaga sinkang yang mendatangkan hawa panas dan disalurkannya ke dalam tubuh itu melalui dada. Tubuh jenazah yang tadinya dingin itu perlahan-lahan menjadi hangat, makin lama menjadi semakin panas.

Pada saat itu, seperti biasanya Ci Sian datang membawa hidangan panggang daging burung. Karena sekarang sudah hari keempat, maka Ci Sian pun berani memasuki goa mendekati Kam Hong, terheran-heran melihat betapa Kam Hong mengerahkan sinkang disalurkan kepada tubuh jenazah itu. Apa yang hendak dilakukan oleh pendekar ini? Dia merasa heran dan juga ngeri. Bagaimana kalau mayat itu tiba-tiba dapat bangkit dan hidup kembali? Meremang bulu tengkuknya memikirkan kemungkinan yang tak masuk akal ini. Akan tetapi mengapa Kam Hong mengerahkan sinkang ke dalam tubuh mayat itu sampai tubuhnya gemetaran. Tiba-tiba dia melihat sesuatu yang membuat menjerit.

“Heiii! Ada huruf-huruf timbul di punggung tangannya!”

Kam Hong juga melihat hal itu dan dia menjadi terkejut. Tentu saja dia menghentikan pengerahan sinkang-nya dan sempat membaca sedikit tulisan pada punggung lengan tangan itu yang ternyata berisi catatan-catatan pelajaran ilmu yang aneh. Akan tetapi, baru sedikit dia membaca, huruf-huruf itu sudah memudar dan lenyap kembali. Padahal tadi amat jelas, yaitu ketika dia masih mengerahkan sinkang-nya. Maka dicobanya lagi. Begitu dia mengerahkan tenaga ‘Yang’, huruf-huruf itu timbul kembali dengan jelasnya.

Sekarang mengertilah Kam Hong. Dia lalu membuka jubah jenazah itu setelah memberi hormat, dan begitu ia mengerahkan tenaga sinkang, maka pada dada, perut, dan lengan jenazah itu terdapat huruf-huruf yang disusun rapi, dimulai dari dada dekat leher terus menurun. Akan tetapi, untuk mengerahkan sinkang sambil mempelajari huruf-huruf itu sungguh merupakan hal yang tidak mungkin. Maka dia lalu mencari akal.

“Ci Sian, kini engkau harus membantuku. Tanpa bekerja sama, tidak mungkin aku dapat mempelajari ilmu yang diwariskan oleh Locianpwe ini. Memang sesungguhnya beliau ini adalah nenek moyang perguruanku, pembuat suling emas ini.”

“Bagaimana engkau bisa tahu, Paman?”

“Lihat, sedikit tulisan yang sampai kubaca tadi menyebutkan tentang pelajaran meniup suling!”

“Wah, untuk apa pelajaran meniup suling, Paman?”

“Aku ingin mempelajarinya. Maukah engkau membantuku, Ci Sian?”

“Tentu saja. Akan tetapi bagaimana aku dapat membantumu?”

“Aku akan mengerahkan sinkang dan ketika huruf-huruf itu timbul, engkau mencatatnya dari permulaan dekat leher ke bawah.”

“Hemm, dengan apa aku harus menulis? Tidak ada alat tulis....“

Akan tetapi Ci Sian menghentikan kata-katanya karena dari balik jubahnya Kam Hong mengeluarkan alat tulis berikut tinta keringnya.

“Kau kira aku berpakaian sastrawan ini hanya untuk aksi saja? Aku selalu membawa alat tulis ke mana pun aku pergi. Dan engkau dapat menuliskannya di sini.” Kam Hong merobek sebagian dari baju dalamnya dan menyerahkan baju dalam berwarna kuning muda itu kepada Ci Sian.

Ci Sian menggosok tinta bak (tinta kering) dan mempersiapkan alat tulisnya. Kemudian mulailah mereka bekerja sama, Kam Hong menyalurkan sinkang-nya ke dalam tubuh jenazah itu dan Ci Sian lalu mencatat semua huruf yang timbul. Ternyata huruf-huruf itu memang aneh sekali. Makin kuat Kam Hong mengerahkan sinkang-nya, makin jelas pula huruf-huruf itu timbul, akan tetapi begitu Kam Hong mengurangi tenaganya, maka huruf huruf itu pun menyuram!

Mereka bekerja sama dengan tekun. Akan tetapi, sering kali mereka terpaksa harus berhenti karena Kam Hong harus beristirahat dahulu untuk mengumpulkan tenaga yang terus-menerus dikerahkan itu. Sampai selama tiga hari barulah habis semua tulisan yang terdapat pada dada, perut dan lengan itu ditulis Ci Sian. Ternyata di bagian punggung tidak terdapat tulisan, dan tulisan itu terus menurun sampai ke pusar dan bawah pusar! Akan tetapi, ketika mereka sudah mengutip tulisan itu sampai ke pusar, Kam Hong mau pun Ci Sian tidak melanjutkan lebih ke bawah lagi.

“Paman, kalau engkau hendak membuka celana itu aku tidak mau melanjutkan dan biar kau tulis saja sendiri!” katanya.

“Ahhh, aku pun tidak mau melakukan hal itu, Ci Sian. Aku menghormati Guruku, tidak mungkin akan melakukan hal tidak sopan terhadap beliau, biar diupah pelajaran yang bagaimana hebat sekali pun.”

Maka berhentilah mereka. Kam Hong yang kelelahan itu lalu bersemedhi mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaga sinkang-nya yang selama tiga hari ini terus menerus dikerahkannya itu, sedangkan Ci Sian lalu menyusun tulisannya itu agar teratur. Kalau saja keduanya tahu bahwa sikap mereka yang sopan terhadap jenazah itu ternyata malah menyelamatkan mereka, atau setidaknya menyelamatkan Kam Hong! Kiranya, locianpwe yang luar biasa saktinya itu, memang sebelum mati telah memperhitungkan segala-galanya.

Di dalam tempat-tempat terlarang itu memang ada dibuatnya tulisan-tulisan, akan tetapi tulisan-tulisan di tempat terlarang ini mengandung pelajaran-pelajaran menyesatkan yang hanya dapat menyeret orang yang mempelajarinya ke jurang kesesatan! Jadi locianpwe itu telah memperhitungkan dengan cermat sekali, memberi ganjaran kepada penemu mayatnya yang berwatak baik, sebaliknya memberi hukuman kepada penemu mayatnya yang berwatak buruk! Hanya orang-orang kurang menghormat, tidak sopan dan serakah akan ilmu sajalah yang akan membuka celana untuk menuliskan huruf-huruf di bagian tubuh yang terlarang itu!

Setelah tenaga sinkang-nya pulih kembali, mulailah Kam Hong membaca catatan-catatan yang dibuat oleh Ci Sian itu. Memang kurang tersusun baik, akan tetapi akhirnya Kam Hong dapat menyusunnya kembali dan dia menjadi girang sekali. Ternyata catatan catatan itu mengandung dua macam pelajaran.

Pelajaran pertama adalah pelajaran cara meniup suling! Akan tetapi bukan sembarangan meniup suling, melainkan meniup suling dengan mempergunakan khikang dan sinkang yang amat aneh dan tinggi. Menurut catatan itu, kalau orang berhasil mempelajari cara meniup suling menurut pelajaran ini, maka dia akan dapat meniup suling yang semua lubangnya ditutup, dimulai satu demi satu, sampai akhirnya bahkan dia akan mampu meniup suling tanpa suling! Memang aneh dan gila! Akan tetapi bukan tidak mungkin.

Kalau tingkat khikang dan sinkang yang dimiliki sudah setinggi itu, dia akan mampu mengeluarkan hawa tiupan melalui tenggorokkannya sendiri tanpa suling dan akan dapat mengeluarkan bunyi seindah suara suling yang berlagu! Dan kalau sudah setinggi ini tingkatnya, kiranya di dunia ini akan jarang sekali terdapat orang yang akan mampu menandingi sinkang dan khikang-nya sehingga pantaslah disebut Pendekar Suling Emas yang sejati!

Pelajaran ke dua mengandung pelajaran gerakan ilmu pedang yang hanya terdiri dari delapan belas jurus. Ilmu pedang ini tidak begitu baik kalau dimainkan dengan pedang, melainkan baru tepat kalau dimainkan dengan suling emas! Dan nama ilmu ini adalah Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas)!

Giranglah hati Kam Hong dan sambil menanti sembuhnya tulang kakinya yang patah, mulailah dia berlatih meniup suling! Kadang-kadang Ci Sian mentertawakan pendekar ini. Kalau meniup suling dengan cara biasa, pendekar ini mampu meniup lagu-lagu indah yang mempesona. Bahkan Ci Sian sendiri menjadi kagum mendengarnya. Akan tetapi sekarang dia belajar meniup bagai seorang anak kecil yang belum pandai meniup suling. Suaranya tidak karuan.

Tentu saja demikian karena dia meniup dengan menurut pelajaran dalam catatan itu, yaitu setiap lubang harus dapat dipergunakan untuk meniupkan suara bermacam-macam not! Dan untuk menguasai ini tidaklah mudah, karena dia harus dapat mengatur tenaga khikang sedemikian rupa sehingga sesuai benar dengan tenaga yang dibutuhkan untuk menciptakan not itu. Mulailah Kam Hong belajar dengan amat tekunnya, Ci Sian sendiri yang menjadi pencatat dari ilmu-ilmu itu sama sekali tidak mengerti, karena dasar ilmu silatnya masih terlampau rendah kalau harus mengerti ilmu-ilmu yang amat tinggi itu.

Ci Sian, kadang-kadang dibantu oleh Kam Hong yang sudah mulai dapat menggunakan kakinya yang patah tulangnya, akan tetapi terpincang-pincang, sering kali mencari-cari jalan keluar, namun mereka terpaksa harus melihat kenyataan bahwa tempat itu benar benar dikurung oleh jurang-jurang yang amat curam sekali sehingga seolah-olah tidak mungkin lagi bagi mereka untuk keluar dari tempat itu. Ci Sian hampir menangis melihat kenyataan ini.

“Haruskah kita hidup terus di sini, sampai mati menjadi orang-orang terasing di tempat dingin ini?” keluhnya.

“Sabarlah, Ci Sian. Tunggu sampai kakiku sembuh sama sekali. Aku akan mencari jalan keluar dan aku akan menuruni jurang itu untuk memeriksa kemungkinan keluar dari tempat ini. Jangan khawatir. Sementara ini, untungnya di sini engkau bisa mendapatkan burung dan.... ehh, kelinci itu untuk makan, bukan?”

“Aih, bosan aku! Setiap hari makan daging burung dan kelinci tanpa bumbu! Lama-lama kita bisa berubah menjadi binatang buas!”

Betapa pun juga, Ci Sian bukanlah seorang anak perempuan cengeng yang hanya suka mengeluh. Dia sudah menjadi lincah gembira kembali dan dia pun membuang waktu luangnya untuk berlatih ilmu silat atas petunjuk dari Kam Hong sehingga dalam waktu beberapa hari saja dia sudah memperoleh kemajuan pesat…..

********************

Kita tinggalkan dulu dua orang anak manusia yang terpencil di tempat sunyi dan dingin itu dan mari kita mengikuti perjalanan Sim Hong Bu dan pamannya Sim Tek. Seperti telah kita ketahui, dua orang paman dan keponakan yang merupakan pemburu-pemburu yang gagah perkasa ini telah menolong Ci Sian akan tetapi sebaliknya mereka malah terancam bahaya maut dan baru selamat setelah Kam Hong turun tangan. Mereka berdua kagum bukan main menyaksikan kelihaian pendekar yang memegang kipas dan suling emas itu. Diam-diam Sim Hong Bu merasa kecewa bahwa ia tak dapat berkenalan lebih jauh dengan gadis cilik yang pemberani dan dengan pendekar yang begitu perkasa.

Dua orang pemburu ini melanjutkan perjalanan. Ketika mereka melihat adanya banyak mayat berserakan di mana-mana dalam keadaan terluka parah dan mengerikan, timbul keraguan dalam hati Sim Hong Bu yang biasanya tabah itu.

“Paman, di mana-mana selalu terdapat bekas amukan binatang buas seperti yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Kalau benar ini semua adalah perbuatan Yeti seperti yang dikabarkan orang selama ini, sungguh amat berbahaya sekali kalau kita bertemu dengan dia. Apakah perlu perjalanan ini kita lanjutkan?” tanyanya sambil membantu pamannya mengubur setiap mayat yang mereka temukan di jalan.

“Hong Bu, engkau tentu mengerti dan dapat merasakan desir darah dan tuntutan hati seorang pemburu! Setelah melihat seekor binatang yang begini buasnya, yang bukan hanya amat menarik akan tetapi juga telah membunuh banyak manusia, bagaimana mungkin kita dapat kembali sebelum berusaha menangkap atau membunuhnya!”

“Aku mengerti, Paman, akan tetapi yang kita buru sekali ini adalah makhluk yang luar biasa kuat dan kejamnya melebihi setan! Apa mungkin kita akan mampu menangkapnya apalagi membunuhnya kalau sekian banyaknya orang kang-ouw saja juga tidak mampu, bahkan menjadi korban dan mati konyol di bawah kebuasannya?”

“Kalau pun tidak mungkin menangkap atau membunuh, baru melihatnya saja pun sudah merupakan suatu kebanggaan besar bagi seorang pemburu sejati! Pemburu manakah di dunia ini yang sudah dapat melihat, bertemu dan berhadapan muka dengan Yeti? Belum ada, dan aku mengharapkan untuk menjadi pemburu pertama yang mengalaminya!”

Hong Bu tidak membantah lagi. Dia dapat merasakan hasrat itu di dalam hatinya, hasrat seorang pemburu yang seperti juga setiap orang pemburu atau penangkap ikan, selalu rindu akan kebanggaan bercerita tentang keanehan binatang yang diburunya. Semakin ganas binatang itu, semakin buas dan semakin berbahaya, akan makin banggalah untuk menceritakan pengalamannya! Ia pun terus mengikuti pamannya tanpa membantah lagi, bertekad untuk menghadapi segala kemungkinan bersama pamannya tanpa mengenal takut.

Paman dan keponakan ini tidak tahu bahwa di balik puncak yang menjulang di depan mereka, yang akan mereka lewati siang hari itu, sedang terjadi hal yang lebih hebat dan mengerikan lagi. Di antara para orang kang-ouw yang ramai-ramai mendatangi Himalaya, tertarik akan berita tentang pedang pusaka yang diperebutkan itu, terdapat lima orang murid-murid Kun-lun-pai. Mereka berlima ini tidak ada hubungannya dengan tiga orang tokoh Kun-lun yang pernah diceritakan dalam awal cerita ini, yaitu Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu yang sudah tewas oleh Yeti, dan Hui-siang-kiam Ciok Kam yang terluka, biar pun tiga orang tosu itu pun datang dari Pegunungan Kun-lun-san. Sama sekali tidak ada hubungannya, karena lima orang ini adalah murid dari partai persilatan besar Kun-lun-pai yang berpusat di pegunungan Kun-lun-san.

Mereka adalah murid-murid kelas atau tingkat dua, yang bagi dunia kang-ouw sudah merupakan tingkat yang lumayan dan mereka telah memiliki ilmu silat yang cukup kuat. Mereka terdiri dua orang pemuda dan tiga orang gadis yang kesemuanya memiliki sikap yang gagah perkasa. Yang pertama bernama Tan Coan, merupakan orang pertama dan tertua, usianya dua puluh lima tahun dan merupakan pemimpin rombongan mereka itu. Orang ke dua adalah seorang pria pula, bernama Lim Sun berusia dua puluh tiga tahun. Orang ke tiga adalah adiknya yang bernama Lim Siang, seorang gadis berusia dua puluh tahun. Yang ke empat dan ke lima juga wanita, kakak beradik bernama Tio Gin Bwee berusia delapan belas tahun dan Tio Ang Bwee berusia enam belas tahun.

Lima orang murid Kun-lun-pai ini pun tertarik oleh berita tentang pedang pusaka yang dilarikan pencuri dari istana dan kabarnya dibawa ke daerah Himalaya. Kebetulan mereka berada di Pegunungan Kun-lun-san, maka mereka minta perkenan dari para pimpinan Kun-lun-pai untuk pergi ke Himalaya, sekedar untuk meluaskan pandangan, menambah pengetahuan dan kalau mungkin mendapatkan kembali pedang pusaka kerajaan itu untuk berbakti kepada negara. Para pimpinan Kun-lun-pai merasa khawatir, akan tetapi karena lima orang muda itu mendesak, akhirnya para tosu Kun-lun-pai memberi ijin dengan pesan agar mereka tidak melayani orang-orang kang-ouw dan tidak menimbulkan perkelahian dan permusuhan, melainkan hanya sekedar untuk menambah pengalaman belaka.

Demikianlah, ketika lima orang murid Kun-lun-pai ini tiba di daerah bersalju, tiba-tiba mereka bertemu dengan tiga orang tua aneh yang memandang kepada tiga orang gadis muda itu sambil tertawa-tawa. Lima orang murid Kun-lun-pai itu tidak mengenal mereka ini, tidak tahu bahwa mereka itu adalah tiga orang tokoh kaum sesat yang amat terkenal dan lihai sekali. Mereka itu adalah bekas para pembantu dari tokoh sesat Hwa-i-kongcu Tang Hun, Ketua Liong-sim-pang yang kemudian bergabung dengan pemberontak Pangeran Nepal dan kemudian tewas di tangan pendekar yang terkenal Suma Kian Bu atau lebih terkenal lagi dengan julukan Pendekar Siluman Kecil.

Tiga orang aneh ini adalah orang-orang yang sudah biasa berkecimpung dalam dunia kejahatan. Yang pertama berpakaian seperti seorang tosu, usianya kurang lebih enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus berwajah bengis. Orang kedua adalah Ban-kin-kwi Kwan Kok, usianya sebaya dengan tosu tadi, tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam. Kalau Hak Im Cu terkenal dengan ginkang-nya yang hebat, orang ke dua ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-kin-kwi (Setan Selaksa Kati), tenaganya sebesar gajah dan dia adalah seorang yang memiliki sinkang kuat sekali dan kedua kepalan tangannya merupakan senjata ampuh. Orang ketiga adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To, usianya juga sebaya, kepalanya gundul tetapi dia bukanlah seorang hwesio. Tubuhnya pendek gemuk, tidak sesuai dengan keahliannya, yaitu ahli bermain dalam air dan memiliki tenaga dalam yang kuat pula. Orang ketiga ini suka tertawa-tawa, dan tangannya memegang sebatang dayung yang kini dipergunakan sebagai tongkat.

Sesungguhnya, sebelum mereka bertiga ini menghambakan diri kepada ketua Liong-sim-pang, walau pun mereka itu termasuk tokoh-tokoh kaum sesat, namun mereka bertiga tidak atau jarang sekali menggoda wanita. Akan tetapi, semenjak mereka menjadi pembantu-pembantu Hwa-i-kongcu yang selalu menghibur mereka dengan wanita-wanita cantik, ketiga kakek ini berubah menjadi orang-orang yang haus akan pemuasan nafsu berahi mereka yang bangkit karena kebiasaan di Liong-sim-pang itu.

Maka, kini ketika mereka melihat ada tiga orang gadis muda yang manis-manis, bertemu dengan mereka di tempat sunyi, tentu saja mereka menjadi tertarik karena pikiran mereka sudah membayangkan pengalaman-pengalaman lalu dengan wanita-wanita muda dan membayangkan betapa akan senangnya kalau mereka mendapatkan teman seorang satu di tempat yang sunyi dan berhawa dingin itu!

Demikianlah timbulnya nafsu berahi atau nafsu apa pun juga yang menguasai hati dan pikiran, menguasai batin kita setiap saat dan yang kemudian menjadi pendorong dari setiap perbuatan kita dalam hidup ini. Pikiranlah sumbernya. Pikiran yang bekerja mengenangkan segala kesenangan yang pernah dialami. Pikiran yang merupakan gudang dari pengalaman dan ingatan.

Kalau mata kita tertarik dan suka melihat segala sesuatu yang indah, setangkai bunga yang indah warnanya, awan berarak di langit, tamasya alam terbentang luas di depan kita, matahari senja yang menakjubkan, wajah seorang wanita yang cantik manis, semua rasa suka memandang itu adalah wajar, karena mata kita sudah dibentuk sejak kecil untuk menilai apa yang dinamakan indah dan apa yang buruk itu.

Kalau yang ada hanya memandang saja, maka hal itu wajar dan tidak terjadi konflik. Akan tetapi sayang, setiap kali kita memandang, pikiran yang penuh dengan ingatan ini selalu campur tangan. Pikiran yang mendambakan kesenangan ini lalu membayangkan kembali segala kesenangan yang pernah dialami atau pernah didengarnya, kemudian membayangkan hal-hal yang menimbulkan nafsu. Mata melihat wanita cantik jelita dan terjadi daya tarik, timbul semacam dorongan untuk memandang keindahan yang terdapat pada wajah itu. Kalau yang ada hanya memandang saja, maka setelah wanita itu lewat dan lenyap, habislah saja sampai di situ. Tetapi kalau pikiran memasukinya, kemudian membayangkan betapa akan senangnya kalau dapat bercinta dengannya dan sebagainya, maka timbullah nafsu berahi!

Pikiran adalah sumber segala konflik. Pikiran menjadi tempat bertumpuknya kenangan akan hal-hal yang telah lalu, yang pernah kita alami dan selalu pikiran mengejar kesenangan atau lebih tepat lagi, mengejar pengulangan kesenangan yang lalu dengan menciptakan kesenangan yang ingin dialami di masa mendatang, dan selalu karenanya menolak dan menghindarkan ketidak senangan. Oleh karena keinginan untuk mengejar kesenangan inilah maka kemudian timbul perbuatan-perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran, perbuatan-perbuatan jahat yang merugikan orang lain dan diri sendiri.

Setelah melihat semua ini, dapatkah kita membebaskan diri dari pencampur tanganan pikiran? Bisakah kita memandang atau mendengar saja penuh perhatian, tanpa adanya pikiran yang membandingkan, mempertimbangkan lalu memutuskan baik buruknya atau senang susahnya? Dapatkah pikiran berhenti mengoceh dan menghidupkan kembali hal-hal yang telah lalu?

Tentu saja bukan berarti bahwa kita hidup tanpa pikiran! Hal itu sama sekali tidaklah mungkin! Pikiran adalah alat yang amat dibutuhkan untuk hidup, atau untuk melengkapi hidup ini. Tanpa pikiran, tanpa ingatan tentu saja kita tidak akan dapat pulang ke rumah, tidak akan dapat melakukan pekerjaan, tidak akan dapat menghitung, membaca dan sebagainya lagi. Pikiran amatlah penting bagi kita, yaitu dalam soal-soal teknis saja. Dalam soal-soal keperluan lahiriah saja.

Akan tetapi begitu pikiran penuh ingatan memasuki batin, mengusik hubungan antara kita dengan manusia lain, akan terjadilah konflik. Dalam komunikasi antara kita dengan manusia lain, dengan benda, dengan batin, sebenarnya tidak dibutuhkan pikiran yang menilai berdasarkan ingatan masa lalu

.

Melihat sikap tiga orang kakek yang jelas membayangkan bahwa mereka itu adalah tokoh-tokoh berilmu, sebagai orang-orang muda yang tahu aturan kang-ouw, lima orang murid Kun-lun-pai itu lalu berhenti melangkah dan menjura kepada tiga orang kakek itu dengan sikap hormat. Tan Coan sebagai yang tertua dan pemimpin rombongan, lalu melangkah maju.

“Sam-wi Locianpwe (Tiga Orang Gagah), selamat berjumpa dan silakan Sam-wi lewat.” Mereka lalu berdiri di tepi jalan untuk membiarkan mereka lewat lebih dulu.

Tiga orang kakek itu saling pandang dan Hai-liong-ong Ciok Gu To yang biasanya terus menyeringai dan tertawa-tawa itu berkata. “Aha, kalian adalah orang-orang muda yang tahu aturan dan menyenangkan sekali. Siapakah kalian?”

“Kami berlima adalah murid-murid Kun-lun-pai....“

“Wah-wah-wah, murid-murid Kun-lun-pai juga berkeliaran sampai ke sini? Apakah kalian juga ingin pula memperebutkan pedang keramat Koai-liong-po-kiam?” berkata Hak Im Cu dengan nada suara mengejek.

Diam-diam Tan Coan terkejut dan tidak senang melihat sikap mereka dan mendengar ucapan-ucapan yang nadanya mengejek itu. Sikap mereka tidak menghormat Kun-lun-pai itu saja sudah dapat menimbulkan dugaan bahwa mereka ini adalah orang-orang dari golongan hitam! Kaum bersih, di mana juga dia berada, tentu akan menghormati Kun-lun-pai yang merupakan sebuah di antara partai-partai persilatan besar. Akan tetapi dia menahan kesabaran dan menjura sambil berkata, suaranya tetap tenang dan halus.

“Kami mendengar tentang pokiam itu, akan tetapi kami hanya datang untuk melihat dan mendengar, meluaskan pengalaman kami yang dangkal. Harap Sam-wi Locianpwe tidak mentertawakan kami yang bodoh.”

“Huhh, orang-orang Kun-lun-pai selamanya sombong dan tinggi hati!” Tiba-tiba Ban-kin-kwi Kwan Ok mencela, suaranya berat dan memang dia pernah menaruh dendam karena pernah dia dikalahkan oleh seorang tosu Kun-lun-pai beberapa tahun yang lalu.

Akan tetapi Hai-liong-ong Ciok Gu To yang masih tersenyum sambil memandangi tiga orang gadis itu, masih bicara dengan ramah. “Orang-orang muda, ketahuilah bahwa tempat ini amat berbahaya! Ada Yeti mengamuk dan sudah banyak sekali orang kang-ouw yang tewas.”

“Oleh karena itu...” sambung Hak Im Cu, “tidak baik bagi nona-nona ini untuk melakukan perjalanan sendiri! Kalian dua orang pemuda boleh saja berjalan sendiri, akan tetapi biarlah tiga orang nona ini melanjutkan perjalanan bersama dengan kami. Kami akan menjaga dan melindungi keselamatan kalian, Nona-nona manis!”

“Bagus! Seorang satu, itu baru adil namanya,” kata pula Ciok Gu Tosu sambil tertawa bergelak. “Marilah, Nona-nona, kalian akan melakukan perjalanan yang menyenangkan, selain akan aman juga tidak akan kedinginan lagi, ha-ha-ha!”

Lima orang murid Kun-lun-pai itu terkejut bukan main. Muka mereka sudah berubah merah sekali dan sinar mata mereka bernyala karena marah. Mereka memang telah diperingatkan oleh guru mereka agar tidak bermusuhan dan agar jangan berkelahi, akan tetapi kalau berhadapan dengan tiga orang kurang ajar semacam tiga orang kakek ini, apakah mereka juga harus bersahabat? Bagaimana pun juga, mereka adalah orang-orang muda gemblengan, maka Tan Coan bisa menyabarkan adik-adik seperguruannya dengan pandang matanya, kemudian dia menjura lagi dan berkata kepada tiga orang kakek itu, nada suaranya masih halus namun penuh ketegasan.

“Kiranya Sam-wi adalah orang-orang yang merupakan tokoh besar di dunia kang-ouw, maka agaknya sengaja Sam-wi hendak menggoda kami orang-orang muda dari Kun-lun-pai! Akan tetapi para pemimpin dan guru-guru kami telah berpesan kepada kami agar kami tidak berlaku kurang ajar dan tidak mencari permusuhan dengan siapa pun juga. Oleh karena itu, harap Sam-wi menaruh kasihan kepada kami dan membiarkan kami pergi melanjutkan perjalanan kami.”

“Heh, bocah yang bermulut manis! Kalau engkau mau pergi bersama temanmu pemuda yang satunya lagi itu, lekaslah minggat dan menggelinding pergi! Akan tetapi tinggalkan tiga orang gadis manis itu untuk menemani kami!” bentak Ban-kin-kwi Kwan Ok dengan bentakan keras.

Tak mungkin kini mereka berlima dapat menahan kemarahan mereka yang memuncak oleh ucapan yang amat menghina ini. Sekarang jelaslah bagi mereka bahwa mereka berhadapan dengan tokoh-tokoh golongan hitam yang jahat sekali. Lim Sun yang lebih muda dan lebih berdarah panas itu lalu maju membentak. “Siapakah kalian bertiga yang bersikap seperti memusuhi Kun-lun-pai?” bentaknya dengan melotot.

Hak Im Cu tertawa menyambut pertanyaan ini. “Ha-ha-ha, memang sebaiknya kami memperkenalkan diri agar kalian berdua tidak mati penasaran dan agar ketiga orang gadis itu akan merasa lebih senang karena telah kami pilih sebagai teman-teman seperjalanan di tempat dingin ini. Dengarlah baik-baik, Pinto adalah Hak Im Cu, dia itu adalah Ban-kin-kwi Kwan Kok, sedangkan Si Gundul itu adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To! Nah, sudah jelaskah?”

Lima orang muda Kun-lun-pai itu memang belum banyak pengalaman di dalam dunia kang-ouw, apalagi dunia penjahat, maka tentu saja nama-nama itu asing bagi mereka.

“Sekali lagi kami harap Sam-wi tidak menanam permusuhan dengan kami orang-orang muda yang tidak ingin berkelahi dengan siapa pun juga dan membiarkan kami pergi,” Tan Coan berkata lagi, sungguh pun nada suaranya tidak sehormat tadi, akan tetapi juga tidak kasar dan dia sudah memberi tanda kepada adik-adik seperguruannya untuk meninggalkan tempat itu.

“Haiiiit, tahan dulu!” bentak Hai-liong-ong Ciok Gu To yang biar pun tubuhnya pendek gemuk akan tetapi dapat bergerak gesit sekali karena tahu-tahu dia sudah berkelebat dan menghadang di depan mereka berlima. “Tulikah kalian? Yang dua laki-laki boleh minggat, akan tetapi yang tiga wanita harus tinggal!”

“Manusia jahat!” bentak Tio Ang Bwee, murid perempuan Kun-lun-pai yang baru berusia enam belas tahun itu dan dia sudah menyerang dengan menggunakan pedangnya yang dicabut secepatnya.

“Ha-ha-ha, engkau memilih aku sayang? Aha, engkau tidak salah pilih!” Si Pendek Gendut yang berkepala gundul ini tertawa dan dengan tenang saja dia mengelak dari sambaran pedang Tio Ang Bwee. Sementara itu, empat orang murid Kun-lun-pai yang lain sudah mencabut pedang dan mereka pun menerjang maju.

Hak Im Cu dan Ban-kin-kwi Kwan Ok menyambut mereka dengan tertawa mengejek. Dan memang sesungguhnya tingkat kepandaian murid-murid kelas dua dari Kun-lun-pai ini masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian tiga orang tokoh sesat itu. Tanpa mengerahkan banyak tenaga, lewat belasan jurus saja lima orang muda itu sudah terdesak hebat dan akhirnya Tan Coan dan Lim Sun roboh oleh pedang Hak Im Cu dan senjata dayung di tangan Hai-liong-ong Ciok Gu To, sedangkan tiga orang gadis itu telah roboh tertotok!

Sambil tertawa-tawa tiga orang kakek yang kejam seperti binatang buas itu telah memilih masing-masing seorang gadis, mengangkat dan memondong mereka itu sambil terkekeh dan hendak membawa mereka pergi. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan yang cepat sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang lain. Melihat dua orang ini, tiga orang kakek itu terkejut bukan main dan wajah mereka berubah pucat.

Yang baru muncul ini adalah dua orang kakek lain yang amat luar biasa. Yang seorang amat pendek, jauh lebih pendek gendut dibandingkan dengan Hai-liong-ong Ciok Gu To, karena Si Pendek yang berkepala gundul dan berpakaian seperti hwesio ini tingginya tidak lebih dari satu seperempat meter! Dia berdiri di situ sambil tertawa ha-ha-ha-ha seperti orang gendeng akan tetapi sepasang matanya mencorong menyeramkan. Orang kedua tidak kalah anehnya. Sebagai kebalikan dari Si Gendut Pendek, orang kedua ini berpakaian tosu, kurus sekali dan tingginya sampai dua setengah meter, dua kali lebih tinggi dari pada Si Pendek. Kalau Si Gendut Pendek itu berwajah riang gembira, Si Tinggi Kurus ini mukanya sedih seperti orang menangis, sepasang matanya sipit seperti terpejam.

Tentu saja tiga orang kakek jahat itu terkejut seperti melihat setan, karena memang dua orang di depan mereka itu seperti manusia-manusia setan yang terkenal sebagai manusia-manusia yang paling jahat di kolong langit! Mereka itu adalah orang ke empat dan ke lima dari sekelompok orang-orang sakti jahat yang terkenal dengan julukan Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat). Si Pendek itu adalah Su-ok (Jahat ke Empat) Siauw-siang-cu, sedangkan Si Jangkung itu adalah Ngo-ok (Jahat ke Lima) Toat-beng Sian-su! Para pembaca cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI tentu sudah mengenal mereka ini karena mereka adalah tokoh-tokoh utama yang memimpin pemberontakan Pangeran Nepal terhadap Kerajaan Ceng beberapa tahun yang lampau. Dan karena tiga orang kakek jahat itu tadinya menjadi pembantu-pembantu Hwa-i-kongcu yang juga bersekutu dengan pemberontak tentu saja mereka bertiga mengenal siapa adanya dua orang aneh ini.

Hak Im Cu dan dua orang kawannya cepat melepaskan tubuh tiga orang gadis Kun-lun-pai itu dan menjura dengan sikap hormat sekali kepada Su-ok dan Ngo-ok. “Sungguh tidak mengira akan bertemu dengan Ji-wi Locianpwe di sini!” kata Hak Im Cu. Orang seperti Hak Im Cu sampai menyebut Locianpwe terhadap mereka berdua, sungguh merupakan penghormatan yang amat besar.

“Selamat berjumpa, apakah selama ini Ji-wi Locianpwe baik-baik saja?” Ban-kin-kwi Kwan Ok juga menyapa dengan ramah.

“Kami menghaturkan hormat kepada Ji-wi Locianpwe!” kata pula Hai-liong-ong Ciok Gu To.

Akan tetapi Su-ok dan Ngo-ok tidak menjawab. Su-ok hanya tetap ha-ha-he-he menyeramkan, sedangkan Ngo-ok yang cemberut itu memandang kepada tubuh tiga orang gadis muda yang tak dapat bergerak karena tertotok itu.

Akhirnya Su-ok menoleh kepada Ngo-ok dan melihat betapa mata yang sipit itu ditujukan ke arah tiga orang gadis Kun-lun-pai itu, Su-ok tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kalau engkau menghendaki mereka, tiga ekor anjing tua ini harus dibunuh dulu.”

Ngo-ok mengangguk. “Untuk apa kalau tidak dibunuh!” katanya.

Hak Im Cu dan dua orang kawannya terkejut bukan main. “Ji-wi Locianpwe mengapa berkata demikian? Kalau Locianpwe menghendaki mereka, biarlah kami mengalah dan menghaturkan mereka kepada Locianpwe dengan senang hati.”

“Ha-ha, anjing-anjing tua pengecut. Sudah berani naik ke sini mengapa takut mati? Hayo majulah, bagaimana pun juga kami harus membunuh kalian.”

Tiga orang tokoh sesat itu makin ketakutan sampai wajah mereka berubah pucat. “Locianpwe sungguh tidak adil!” Ban-kim-kwi Kwan Ok berkata. “Kami bertiga adalah sahabat-sahabat yang tidak pernah mengganggu Locianpwe, bahkan dengan hormat kami mempersembahkan tiga orang gadis ini kalau Locianpwe menghendaki. Mengapa hendak membunuh kami?”

“Siapa bilang kita bersahabat?” Ngo-ok mendengus dan matanya terbuka sedikit, sikapnya sungguh mengerikan.

“Locianpwe, bukankah kita pernah bersama-sama membantu Pangeran Nepal? Bukankah kita adalah orang-orang sendiri dan karena itu bersahabat?” Hak Im Cu berkata.

“Ha-ha-ha!” Si Pendek Gendut Suok tertawa mengejek. “Memang ketika itu kalian menguntungkan, maka bersahabat. Sekarang, kalian merupakan saingan kami dalam mencari dan memperebutkan Koai-liong-pokiam, maka kalian adalah saingan kami atau musuh dan harus dibunuh. Lain dulu lain pula sekarang! Dulu menguntungkan maka sahabat, sekarang merugikan maka musuh!”

Sungguh pendapat yang sama sekali mau enak sendiri saja! Akan tetapi, benarkah sikap Su-ok dan Ngo-ok itu aneh dan jahat? Lupakah kita bahwa kita sendiri pun dengan diselubungi oleh segala sopan santun dan kebudayaan, pada hakekatnya mempunyai perhitungan dan pandangan yang tidak jauh bedanya dengan sikap dua orang manusia iblis itu?

Sebaiknya kalau kita meneliti dan memandang diri sendiri, mengenal diri sendiri. Coba kita renungkan dan pandang dengan sejujurnya, mengapa kita mempunyai sahabat-sahabat dan mengapa pula kita mempunyai musuh-musuh? Bukankah orang yang kita anggap sahabat itu adalah orang yang kita pandang akan menguntungkan kita, baik keuntungan lahir mau pun batin? Dan sebaliknya bukankah orang yang kita anggap musuh itu adalah orang yang kita pandang merugikan lahir mau pun batin? Dan orang yang sekarang kita anggap sahabat, kalau pada suatu hari dia itu merugikan kita lahir atau batin, apakah dia masih kita anggap sahabat, ataukah lalu kita anggap sebagai musuh? Berapa banyaknya orang yang kini kita anggap musuh itu dahulu pernah menjadi sahabat kita?

Ahhh, kehidupan kita penuh dengan penilaian yang didasarkan untung rugi bagi kita sendiri, oleh karena itulah maka kita memisah-misahkan orang-orang lain sebagai yang disuka dan yang tidak disuka, sebagai sahabat atau musuh. Bukankah pada dasarnya kita, yang masih mempunyai sahabat dan musuh, tidak jauh beda pandangan kita dengan Su-ok dan Ngo-ok?

Tiga orang kakek itu sendiri adalah tokoh-tokoh jahat dan kejam. Baru saja mereka memperlihatkan watak mereka yang kejam, dengan membunuh dua orang pemuda Kun-lun-pai yang tidak berdosa dan hendak memaksa tiga orang gadis Kun-lun-pai untuk melayani mereka. Maka, kini melihat sikap Su-ok dan Ngo-ok, maklumlah mereka bahwa tidak ada jalan lain bagi mereka selain membela diri mati-matian. Dan karena mereka sudah tahu akan kelihaian Su-ok dan Ngo-ok, maka mereka pun tidak mau mengalah dan tidak segan melakukan kecurangan demi untuk menyelamatkan diri…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman