SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-04
Rombongan Lauw-piauwsu yang mengantarkan barang-barang kawalan sampai ke perbatasan Nepal telah kembali dengan selamat ke Lhagat. Tugas mereka telah selesai. Dua orang piauwsu yang luka-luka oleh dua orang perampok Eng-jiauw-pang itu pun sudah-sembuh kembali.
Oleh karena itu, Lauw-piauwsu juga ikut berkemas dan setelah membuat persiapan yang cukup lengkap, membekali setiap anggota rombongan dengan baju-baju bulu yang amat tebal karena mereka akan melalui daerah yang dingin dan diliputi salju, berangkatlah rombongan ini.
Anak buah Pek-i-piauw-kiok itu sebetulnya sudah harus kembali ke Ceng-tu, akan tetapi karena Lauw-piauwsu telah berjanji kepada mendiang Kakek Kun untuk mengantarkan Siauw Goat mencari orang tuanya, maka Lauw-piauwsu mengerahkan anak buahnya untuk membantunya mengawal anak perempuan itu melakukan perjalanan yang amat sukar ini. Selain untuk membalas budi Kakek Kun yang telah menyelamatkan para piauwsu dari serangan perampok Eng-jiauw-pang, juga Lauw-piauwsu telah menerima sebutir batu permata yang amat mahal harganya, dan memang kalau benda itu diuangkan, maka jumlahnya sudah lebih dari cukup untuk membayar biaya pengawalan yang bagaimana sukar dan jauh sekali pun!
Lauw-piauwsu membelikan baju bulu yang mahal dan tebal untuk Siauw Goat, dan dia pun tadinya hendak membeli tandu untuk Siauw Goat. Akan tetapi mungkin karena teringat kepada wanita-wanita naik tandu yang dibencinya itu, Siauw Goat menolak keras.
“Lauw-pek aku bukan orang lumpuh, dan aku masih kuat berjalan sendiri. Aku tidak sudi naik tandu seperti penderita cacad, atau seperti.... seperti.... pengantin!” Semua piauwsu tertawa mendengar penolakan ini dan demikianlah, ketika rombongan itu berangkat, Siauw Goat ikut berjalan bersama mereka.
Anak perempuan ini, seperti mungkin semua anak remaja di seluruh dunia ini, merasa gembira sekali begitu melakukan perjalanan ke alam bebas itu. Kegembiraannya muncul kembali. Kadang-kadang dia mendahului rombongan, kadang-kadang agak ketinggalan karena dia mengagumi pemandangan alam yang amat indah di sepanjang perjalanan. Lauw-piauwsu menjadi sibuk mengikutinya terus karena piauwsu ini tidak ingin kalau sampai terjadi sesuatu kepada gadis cilik yang dikawalnya itu.
Jalan pendakian pada gunung pertama yang puncaknya tertutup salju itu mulai ramai dengan orang-orang yang juga melakukan pendakian. Orang-orang kang-ouw yang berpakaian macam-macam dan yang hanya dikenal oleh Lauw-piauwsu dari sikap, sinar mata dan gerak-gerik mereka yang gesit, mulai melakukan perjalanan cepat seolah-olah mereka berlomba dalam mengejar sesuatu. Sering kali ada rombongan yang mendahului rombongan Lauw-piauwsu yang berjalan seenaknya itu. Lauw-piauwsu serombongan tidak hendak mencari apa-apa, tidak tergesa-gesa dan biar pun Lauw-piauwsu juga mendengar tentang pedang pusaka yang lenyap dari istana kerajaan dan yang kabarnya dilarikan pencurinya ke daerah Himalaya ini, namun dia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk memperoleh pedang pusaka itu.
Setelah melakukan perjalanan setengah hari lebih, rombongan piauwsu yang mengawal Siauw Goat ini tiba di lereng gunung. Hawa semakin dingin dan mulai banyak terdapat salju. Sisa-sisa badai salju masih nampak jelas. Banyak pohon yang tidak berdaun lagi tumbang, ada bagian di mana salju menumpuk seperti bukit, ada pula bagian yang bercelah seperti jurang. Semuanya ini dibuat oleh badai yang mengamuk selama berhari hari itu.
Menjelang senja, rombongan ini melihat seorang pengemis atau orang yang berpakaian pengemis rebah dan tidur begitu saja di atas tanah tertutup salju, dengan pakaian tipis yang sudah robek di sana-sini pula! Dapat dibayangkan dinginnya! Sedangkan Siauw Goat yang sudah memakai baju bulu tebal saja masih merasa dingin, apalagi harus tidur di atas salju dengan pakaian tipis. Bisa beku kiranya! Orang itu mungkin gila, atau sudah sekarat? Semenjak pertemuannya dengan pengemis tua Koai-tung Sin-kai, terdapat perasaan kurang senang dalam hati Siauw Goat terhadap orang yang memakai pakaian rombeng seperti pengemis.
“Jembel lagi! Menjemukan!” Tiba-tiba Siauw Goat berkata dengan suara bernada kesal.
“Ssttt, Siauw Goat....!” Lauw-piauwsu menegur dengan alis berkerut.
Ketua piauwkiok ini maklum bahwa di tempat itu banyak terdapat orang-orang kang-ouw dan dia dapat menduga bahwa pengemis yang tidur begitu saja dengan pakaian tipis di atas salju tentulah seorang tokoh kang-ouw yang lihai pula. Mendengar teguran ini, Siauw Goat hanya cemberut akan tetapi tidak membantah dan diam saja.
Pengemis itu menggeliat kemudian terbangun agaknya, menoleh. Rombongan itu melihat bahwa wajah pengemis itu masih muda dan mereka terkejut melihat sepasang mata yang mencorong amat tajamnya. Akan tetapi wajah muda itu penuh kumis dan jenggot yang tidak terpelihara, muka yang hitam terbakar matahari dan sepasang mata yang mencorong itu kadang-kadang menjadi liar dan mulut di balik kumis dan jenggot lebat itu tersenyum-senyum aneh.
Semua ini membuat Lauw-piauwsu mengerutkan alisnya karena dia melihat tanda-tanda bahwa pengemis muda ini menderita penyakit gila, atau setidaknya agak miring otaknya! Setelah mengeluarkan suara tertawa ditahan seperti orang merasa geli, pengemis muda itu lalu membalikkan tubuhnya dan berlari naik mendaki lereng itu, menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak lalu menghilang.
“Ihh, dia seperti iblis saja!” kata Siauw Goat.
“Siauw Goat, lain kali harap engkau suka menahan diri dan jangan terlalu sembrono. Ingat, di sini banyak terdapat tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh dan lihai, sekali kita kesalahan bicara dapat menimbulkan hal-hal yang hebat,” kata Lauw Sek menegur Siauw Goat.
“Ah, Lauw-pek, aku pun melihat orangnya sebelum bicara. Dia itu hanya seorang jembel lagi, tidak urung dia pun tentu jahat seperti jembel tua itu. Atau setidaknya, dia itu bukan orang baik-baik. Apakah Pek-pek tidak melihat mukanya yang menyeramkan seperti iblis itu? Dan matanya, ihhh....“
Terpaksa Lauw-piauwsu tidak membantah lagi. Dia tahu bahwa watak anak perempuan ini keras dan pemberani bukan main, dan kalau dia mempergunakan sikap keras, mungkin akan menjadi makin berabe keadaannya. “Mari kita melanjutkan cepat-cepat. Sebelum matahari kehilangan sinarnya di balik puncak itu, kita harus sudah tiba di balik puncak, melalui lereng dengan jalan memutar. Di sana ada daerah berbatu di mana terdapat banyak goa untuk tempat bermalam dan berlindung dari salju.”
Mereka melanjutkan pendakian. Kadang-kadang mereka masih disusul oleh rombongan lain, bahkan juga menyusul rombongan lain yang sedang melepas lelah di tepi jalan. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu, dan pengemis gila tadi pun tidak nampak lagi. Tepat seperti apa yang dikatakan oleh Lauw Sek, sebelum gelap mereka tiba di lereng yang penuh dengan batu-batu besar dan goa-goa. Akan tetapi ternyata banyak juga orang yang sudah berada di situ. Untung tempat itu luas sekali sehingga tidak sukar bagi rombongan piauwsu ini untuk menemukan sebuah goa kosong yang cukup besar untuk menampung mereka semua.
“Ihhh, engkau lagi di sini!” Tiba-tiba Siauw Goat berseru dengan nada suara marah.
Kiranya ketika mereka memasuki goa, Siauw Goat yang masuk lebih dulu itu melihat ada sesosok tubuh manusia rebah di sudut goa dan ketika dia mendekati untuk melihat lebih jelas karena cuaca sudah remang-remang, ternyata yang tidur di situ adalah Si Pengemis muda tadi!
Pengemis itu menggosok-gosok kedua matanya, seolah-olah baru bangun tidur nyenyak dan diam-diam Lauw Sek terkejut dan merasa heran. Pengemis itu kelihatan lemah, bahkan tidak memakai pakaian tebal, akan tetapi ternyata dapat bergerak cepat sekali sehingga mereka yang juga melakukan perjalanan cepat itu kalah jauh dan pengemis itu agaknya sudah lama tidur di situ ketika mereka tiba!
“Siauw Goat, tempat ini cukup lebar, jangan ganggu orang!” Lauw Sek memperingatkan gadis cilik itu.
Akan tetapi Siauw Goat melihat mata yang mencorong itu bermain-main, kadang-kadang dipejamkan yang kanan kadang-kadang yang kiri, dan mulut di balik kumis itu seperti mentertawakan, maka dia menjadi semakin gemas.
“Ehhh, jembel busuk, apakah engkau teman si Koai-tung Sin-kai? Kalau kau temannya, akan kuhajar! Kalau bukan, lekas kau keluar dari goa ini karena engkau menjemukan dan menjijikkan!”
Semua piauwsu terkejut mendengar ini. Gadis cilik itu sudah amat keterlaluan menghina orang. Lauw Sek sendiri sudah menjadi pucat mukanya. Akan tetapi pengemis itu seolah olah tidak mendengar maki-makian Siauw Goat, hanya tersenyum-senyum. Sikapnya seperti orang yang tidak perduli atau memandang rendah. Dia duduk sambil menggaruk garuk lehernya.
Lauw Sek memegang tangan Siauw Goat dan ditariknya mundur menjauhi pengemis itu. Kemudian para piauwsu itu mengeluarkan roti kering dan air minum. Mereka makan dengan diam saja, kadang-kadang mata mereka mengerling ke arah pengemis muda yang duduk membelakangi mereka di sudut goa. Tiba-tiba pengemis itu tertawa bergelak, suara ketawanya bergema di dalam goa itu, amat menyeramkan seolah-olah di sebelah dalam dari goa itu terdapat iblis-iblis yang ikut tertawa bersamanya. Kemudian pengemis itu bernyanyi! Suaranya parau dan kasar, kata-katanya tidak karuan!
Cinta itu gila
gagah itu lemah
pintar itu tolol!
Mulut semanis-manisnya
membohong sebesar-besarnya
tapi sampai mati aku tidak bisa lupa....!
Suara nyanyian itu pun bergema di dalam goa seperti para iblis ikut pula bernyanyi, lalu pengemis itu tertawa-tawa lagi. Tetapi suara ketawanya yang bergelak itu mendadak berhenti, seperti jangkerik terpijak dan suasana menjadi hening sekali, hening yang menyeramkan. Lalu terdengar isak perlahan-lahan. Pengemis itu menangis!
Para piauwsu saling pandang. Jelaslah bahwa memang pengemis itu gila!
“Celaka, bermalam dengan orang gila!” Siauw Goat mengomel dan Lauw Sek menyentuh tangannya, menyuruhnya diam.
Seorang piauwsu yang merasa kasihan kemudian bangkit dan menghampiri pengemis itu, memberinya sepotong besar roti kering. “Sobat kau terimalah roti ini dan makanlah bersama kami,” katanya.
Pengemis itu menengok, menyeringai, menerima roti itu dan menciumnya beberapa kali, terkekeh dan kemudian dia membuang roti itu seperti orang merasa jijik! Dan dia lalu mengomel tanpa menoleh, masih menghadap ke arah dinding batu, seolah-olah dia mengomel kepada dinding itu. “Memberi roti berisi racun! Mulut manis menyembunyikan hati yang pahit. Huh, manusia adalah makhluk palsu, jahat dan keji, makhluk paling kotor di dunia ini, ha-ha-ha....!”
Piauwsu yang tadi memberi roti masih berdiri di belakang pengemis itu. Tentu saja dia menjadi marah bukan main. Dia memberi roti karena terdorong oleh rasa kasihan kepada pengemis muda ini, akan tetapi pemberiannya itu dibuang, bahkan disertai ucapan yang seolah-olah mengejek bahwa pemberiannya itu adalah palsu, roti itu beracun! Apalagi peristiwa itu terjadi di depan kawan-kawannya. Dia merasa terhina dan marah, maka dia ingin menakut-nakuti pengemis itu. Segera dicabutnya goloknya yang besar dan tajam berkilauan itu.
“Jembel gila!” bentaknya. “Engkau ditolong malah balas menghina orang! Engkau amat menjemukan. Hayo keluar dari goa ini dan jangan mengganggu kami, kalau tidak, akan kupotong daun telingamu!” Untuk menakut-nakuti, piauwsu itu menempelkan goloknya ke dekat telinga orang!
Lauw-piauwsu memandang dengan alis berkerut, tetapi dia tahu bahwa anak buahnya itu hanya menggertak saja. Memang sebaiknya kalau pengemis itu keluar dari dalam goa dan mencari tempat bermalam lainnya karena dengan adanya pengemis gila itu memang membuat hati menjadi tidak enak. Lagi pula, melihat betapa pengemis gila itu menghina pemberiannya dengan membuang roti tadi, menandakan bahwa di balik kegilaannya, memang ada watak tidak baik pada Si Pengemis.
Pengemis itu perlahan-lahan bangkit berdiri, seperti orang ketakutan memandang ke arah golok yang menempel di telinganya, kini dia memutar tubuh menghadapi piauwsu yang masih menodongnya dengan golok. Piauwsu itu bersikap garang untuk menakut nakuti, dan pengemis muda itu juga mundur-mundur sampai dekat dengan mulut goa.
“Hayo keluar, pergi dari sini!” kembali piauwsu itu membentak.
Tiba-tiba tangan kiri pengemis itu bergerak dan tahu-tahu dia telah menangkap dan menggenggam golok itu! Si Piauwsu terkejut dan khawatir sekali. Goloknya amat tajam dan pengemis itu tentu akan melukai tangannya sendiri. Dia tak berani menarik goloknya yang dicengkeram oleh karena takut kalau-kalau goloknya akan membikin putus tangan pengemis itu. Akan tetapi, segera terjadi hal yang membuat semua orang terbelalak.
“Krakkkkk....!” Tangan itu mencengkeram dan golok itu menjadi patah-patah dalam cengkeraman tangan kiri pengemis muda itu. Dengan suara ketawa tertahan, pengemis itu kemudian melemparkan pecahan golok, menepuk-nepuk tangan seolah-olah hendak membersihkan telapak tangannya dari debu kotor, kemudian melangkah lebar keluar dari goa dan tak lama kemudian terdengar suara tangisnya, sesenggukan yang makin lama makin jauh sampai tidak terdengar lagi.
Semua orang, termasuk Siauw Goat dan Lauw-piauwsu, masih tertegun menahan napas seperti patung tidak bergerak. Mereka terlampau heran dan kagum. Peristiwa yang terjadi itu seolah-olah merupakan mimpi atau dongeng yang sukar dipercaya. Golok piauwsu itu terdiri dari baja yang baik, hal ini diketahui benar oleh Lauw Sek. Juga amat tebal dan amat tajam. Bagaimana mungkin hanya sekali cengkeram saja golok itu patah patah, dan bahkan pecah-pecah seolah-olah golok itu hanya sehelai daun kering saja? Piauwsu pemilik golok itu sendiri masih berdiri dengan muka pucat dan matanya terbelalak memandang sisa goloknya yang masih dipegangnya, yaitu tinggal gagang dan sedikit sisa golok yang sudah buntung!
“Ahhh.... kiranya dia.... seorang manusia sakti....,” terdengar Lauw Sek akhirnya berkata dengan suara agak gemetar. “Mulai sekarang kita harus berhati-hati, jangan sekali-kali mengganggu orang....”
Biar pun pengemis gila itu sudah pergi, suasana menjadi sangat menyeramkan setelah terjadinya peristiwa itu. Lauw Sek menduga-duga siapa gerangan pengemis gila itu! Dia banyak mengenal orang-orang kang-ouw, akan tetapi belum pernah dia mendengar tentang pengemis ini. Seorang pengemis yang dia lihat masih muda, belum ada tiga puluh tahun usianya, dan dia belum pernah mendengar di dunia kang-ouw seorang tokoh pengemis yang memiliki kepandaian sehebat itu.
Tentu saja Lauw Sek tidak mengenal pengemis itu karena sebenarnya orang gila itu bukan tokoh pengemis, bukan seorang tokoh kai-pang (perkumpulan pengemis) yang terkenal. Pakaiannya bagai pengemis sebab memang dia tak mempedulikan pakaiannya sehingga compang-camping seperti pakaian pengemis. Akan tetapi dia tidak pernah mengemis! Kalau orang gila itu menyebutkan nama julukannya sebelum dia berkeadaan seperti sekarang ini, tentu Lauw-piauwsu dan para anak buahnya akan mengenalnya. Pengemis muda itu sesungguhnya berjuluk Si Jari Maut!
Para pembaca cerita KISAH JODOH RAJAWALI yang sudah mengenal Si Jari Maut tentu tidak akan merasa heran lagi kalau dengan sekali cengkeram saja dia telah mampu mematahkan golok! Pengemis ini adalah Ang Tek Hoat atau Si Jari Maut yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Di dalam KISAH JODOH SEPASANG RAJAWALI diceritakan bahwa Ang Tek Hoat adalah seorang calon mantu Raja Bhutan, lalu mengapa kini dia menjadi seorang pengemis gila yang terlunta-lunta seperti itu?
Pemuda gagah perkasa ini memang bernasib buruk. Dinamakan nasib sebagai hiburan saja, padahal segala sesuatu terjadi sebagai akibat dari pada perbuatannya sendiri. Ketika masih amat muda, Ang Tek Hoat melakukan banyak penyelewengan, melakukan banyak kejahatan. Oleh karena itu, perbuatannya sendiri inilah yang menyeret dia ke dalam keadaan yang amat sengsara.
Dia saling mencinta dengan Puteri Syanti Dewi, puteri tunggal Raja Bhutan, akan tetapi ikatan jodoh yang akhirnya disetujui pula oleh Raja Bhutan itu selalu gagal dan kedua orang muda yang saling mencinta itu selalu terpisah oleh berbagai persoalan yang timbul. Yang terakhir sekali, Puteri Syanti Dewi pergi dari Bhutan dan tidak pernah kembali lagi. Padahal, Ang Tek Hoat yang telah berjasa menyelamatkan Kerajaan Bhutan dari pemberontakan, telah diangkat menjadi panglima muda oleh Raja Bhutan dan pertunangannya dengan Sang Puteri telah disahkan oleh Sang Raja!
Biar pun dia menikmati kehidupan mulia dan terhormat di Kerajaan Bhutan, namun Tek Hoat menderita karena puteri yang dicintanya itu tidak berada di sampingnya. Oleh karena itu, dia tidak mau tinggal berenang dalam lautan kemewahan di Bhutan, sebaliknya dia lalu pergi dan merantau untuk mencari kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi yang amat dicintanya. Bertahun-tahun dia merantau dan dia tidak pernah berhasil menemukan Sang Puteri dan akhirnya, kekecewaan dan kedukaan membuat dia menjadi terganggu jiwanya dan membuat dia menjadi seperti seorang pengemis gila!
Dan agaknya, walau pun pikirannya sudah terganggu, dalam kegilaannya itu Tek Hoat mendengar pula akan peristiwa yang akan menggegerkan dunia kang-ouw dan yang membuat banyak tokoh kang-ouw berbondong-bondong pergi ke Pegunungan Himalaya. Dan dia pun terseret oleh arus ini dan pergi ke Pegunungan Himalaya, sungguh pun selama bertahun-tahun dan sampai saat itu yang menjadi tujuan semua perjalanannya hanya satu, yaitu mencari Puteri Syanti Dewi!
Tentu saja sekali mencengkeram Tek Hoat mampu mematahkan golok piauwsu itu karena pemuda ini memang memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dia pernah mendapat gemblengan dari Sai-cu Lo-mo dan mewarisi ilmu silat gabungan dari Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun. Kemudian sekali, yang membuat dia menjadi sedemikian lihainya adalah karena dia mewarisi kitab-kitab dari dua orang datuk Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Kui-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Dari kitab-kitab ini dia dapat menghimpun tenaga sakti yang dinamakan Tenaga Inti Bumi, dan semua ini dimatangkan oleh pengalaman pengalamannya menghadapi banyak sekali pertempuran melawan orang-orang pandai. Kini usianya sudah sekitar dua puluh delapan tahun, akan tetapi keadaan hidupnya menjadi sedemikian rusak sehingga tidak ada orang yang mengenalnya kecuali sebagai seorang pengemis muda yang gila!
Malam itu lewat tanpa ada peristiwa apa-apa di dalam goa besar yang dijadikan tempat bermalam para piauwsu. Hati mereka merasa lega dan pada keesokan harinya mereka keluar dari goa untuk melanjutkan perjalanan, setelah cuaca tidak begitu gelap lagi tanda bahwa matahari telah naik tinggi. Akan tetapi matahari tidak nampak, hanya sinarnya saja yang membuat cuaca tidak gelap. Hawa dingin sekali karena kabut memenuhi udara. Mereka hendak menuju ke Gunung Kongmaa La karena menurut pesan Kakek Kun, di situlah kiranya orang tua Siauw Goat dapat ditemukan.
Pada waktu mereka melewati goa-goa yang kemarin sore penuh dengan orang-orang kang-ouw yang melakukan perjalanan dan mengaso di situ, ternyata goa-goa itu telah kosong semua, tanda bahwa mereka itu pagi-pagi benar telah melanjutkan perjalanan seperti orang tergesa-gesa. Lauw-piauwsu maklum bahwa mereka itu adalah orang orang kang-ouw yang agaknya mencari pedang pusaka yang hilang dan juga berlomba untuk mendapatkannya. Dia tidak peduli karena dia mempunyai tugas lain dan sama sekali tidak ingin untuk ikut berlomba memperebutkan. Oleh karena itu, dia memimpln rombongannya jalan seenaknya karena perjalanan mendaki itu amat sukar sehingga kalau tergesa-gesa akan cepat kehabisan tenaga.
Biar pun badai salju telah mereda, namun salju masih turun dan memenuhl permukaan bumi, menaburi batang-batang pohon tanpa daun sehingga menciptakan pohon-pohon putih. Seluruh permukaan bumi menjadi putih dan pemandangan amat luar biasa, seolah-olah dunia dilapisi dengan perak, membuat orang merasa seperti dalam dunia mimpi.
Lewat tengah hari mereka tiba di sebuah puncak bukit yang datar dan begitu mereka tiba di situ, mereka melihat bahwa di tempat itu sedang terjadi pertempuran yang amat hebat. Lauw Sek cepat menyuruh rombongannya berhenti dan mereka melihat dari jarak yang cukup jauh agar tidak terlibat dalam pertempuran itu.
“Ahh, bukankah mereka itu tosu-tosu dari Go-bi-pai?” tiba-tiba Lauw-piauwsu berkata lirih dengan nada suara khawatir.
“Benar, Lauw-twako, yang bersenjata rantai baja itu jelas adalah Liang Tosu tokoh Go-bi-pai!” sambung seorang piauwsu.
Kini semua piauwsu merasa yakin bahwa lima orang tosu tua yang sedang bertempur melawan empat orang wanita itu adalah tosu-tosu Go-bi-pai. Mereka tidak mengenal empat orang wanita yang amat lihai itu, maka tentu saja diam-diam mereka berpihak kepada para tosu Go-bi-pai yang mereka kenal sebagai tosu-tosu gagah perkasa yang menentang kejahatan.
Kini para tosu itu tampak terdesak hebat oleh pedang-pedang yang dimainkan oleh empat orang wanita cantik itu. Para wanita itu memang hebat sekali. Pedang di tangan mereka lenyap berubah menjadi gulungan sinar-sinar yang menyilaukan mata. Lima orang tosu Go-bi-pai itu melawan mati-matian dengan senjata mereka yang bermacam macam, ada rantai baja, ada toya, ada pula yang menggunakan pedang. Namun semua perlawanan mereka sia-sia belaka karena mereka terdesak dan terkurung oleh sinar sinar pedang yang berkilauan itu.
Akhirnya, dua orang di antara para tosu itu kelihatan terpental dan jatuh bergulingan. Tiga orang temannya lalu berloncatan ke belakang, menyambar tubuh dua orang kawan yang terluka dan larilah lima orang tosu itu dengan cepat menuruni puncak, tidak dikejar oleh empat orang wanita itu.
Tiba-tiba Siauw Goat berteriak. “Itu adalah empat siluman rase yang jahat!” Dan anak perempuan ini membawa busurnya lari cepat menuju ke arah empat orang wanita itu.
Melihat ini, Lauw-piauwsu cepat meloncat dan mengejar. “Siauw Goat, kembali kau....!” bentaknya.
Empat orang wanita itu menoleh dan mereka segera mengenali Siauw Goat, anak perempuan yang pernah menghina dan memaki wanita baju hijau dari rombongan itu di depan rumah makan. Melihat ini, dan mendengar anak perempuan itu memaki mereka empat siluman rase jahat, wanita baju hijau itu terkejut dan marah bukan main. Bagaikan terbang cepatnya dia berlari menghampiri sambil membawa pedangnya.
“Bocah setan engkau mengantar nyawa!” teriaknya.
Melihat ini, Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Dia mempercepat larinya dan karena jarak antara dia lebih dekat dengan Siauw Goat dibandingkan dengan wanita baju hijau itu, biar pun baju hijau berlari seperti terbang cepatnya, maka dia lebih dulu dapat menyusul Siauw Goat. Akan tetapi saat itu, Siauw Goat telah memasang dua batang anak panah dan melepaskan anak panah dari busurnya, dibidikkan ke arah wanita baju hijau tadi. Lauw Sek datang terlambat. Dia memegang lengan Siauw Goat akan tetapi dua batang anak panah itu telah meluncur ke arah wanita baju hijau yang menjadi semakin marah menghadapi serangan ini. Sekali memutar pedang, dua batang anak panah itu patah-patah dan runtuh, dan dia terus berlari menghampiri.
Akan tetapi Lauw Sek telah berdiri melindungi Siauw Goat dan wanita baju hijau itu berhenti menghadapinya dengan sinar mata tajam penuh kemarahan.
“Hayo cepat kau serahkan budak itu, kalau tidak engkau pun akan kubunuh sekalian!” hardiknya.
Lauw Sek sudah maklum bahwa wanita itu lihai sekali, buktinya para tosu Go-bi-pai sendiri pun tidak mampu mengalahkan dia dan kawan-kawannya, maka dia cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil berkata. “Toanio, harap sudi memaafkan keponakanku ini dengan memandang mukaku. Harap Toanio ketahui bahwa aku adalah Lauw Sek, pengawal Pek-i-piauw-kiok dari Ceng-tu dan....”
“Tidak peduli engkau pengawal nyawa dari neraka sekali pun, engkau tetap harus menyerahkan bocah setan itu kepadaku kalau engkau ingin hidup lebih lama lagi!”
Lauw Sek mengerutkan alisnya. Wanita ini ternyata galak dan kejam, juga sombong sekali, pikirnya. Akan tetapi dia bersikap tenang dan sabar sambil melirik ke arah anak buahnya yang sudah mendekati tempat itu. Betapa pun juga, dia bersama anak buahnya berjumlah dua belas orang dan wanita itu hanya empat orang. Tentu enam belas orang pemanggul tandu itu tidak masuk hitungan, pikirnya.
“Toanio, aku bicara dengan baik-baik, harap Toanio suka menghabiskan urusan dengan seorang anak kecil yang belum tahu apa-apa....“
“Cerewet!” Wanita baju hijau itu membentak, sama sekali tidak mempedulikan bahwa rombongan piauwsu yang berpakaian seragam putih itu kini sudah berada di depannya semua, seolah-olah dia tidak memandang sebelah mata kepada mereka. “Berikan anak itu atau berikan nyawamu!”
“Terlalu!” membentak beberapa orang piauwsu dan Lauw Sek yang juga menjadi marah melihat sikap wanita itu, maklum bahwa tiada jalan damai. Maka dia pun lalu mendorong Siauw Goat ke belakang dan mencabut sepasang goloknya, melintangkan sepasang golok itu di depan dadanya.
“Toanio, engkau sungguh amat mendesak orang!”
“Peduli amat!” Wanita baju hijau itu membentak dan dia telah menggerakkan pedangnya menyerang. Lauw Sek cepat menggerakkan sepasang goloknya menangkis.
“Tranggg....!”
Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Kedua tangannya yang memegang golok tergetar hebat ketika menangkis pedang itu dan pedang yang ditangkisnya itu tidak terpental melainkan terus meluncur ke arah lehernya! Untung dia cepat membuang tubuh ke belakang sehingga serangan dahsyat itu luput dan beberapa orang temannya sudah menerjang maju pula sehingga dalam waktu singkat wanita baju hijau itu sudah terkurung!
Akan tetapi, tiga orang wanita cantik lainnya telah datang seperti terbang cepatnya, masing-masing memegang sebatang pedang dan mereka itu langsung menyerbu ke dalam pertempuran. Bukan main hebatnya gerakan mereka. Terutama wanita yang mengenakan baju warna kuning, yang tercantik di antara keempat wanita itu, pedangnya berkelebatan seperti kilat dan dalam beberapa gebrakan saja dua orang piauwsu telah terluka lengannya, mengucurkan darah sehingga senjata mereka terlepas dari pegangan.
Lauw Sek terkejut dan dia cepat menerjang wanita baju kuning ini, disambut oleh wanita itu dengan senyum dingin dan begitu golok kirinya bertemu dengan pedang wanita itu, hampir saja goloknya terlepas dari pegangan karena tangannya tergetar hampir lumpuh! Lauw Sek maklum bahwa wanita baju kuning ini ternyata yang paling lihai di antara mereka, maka dia pun cepat menyambitkan hui-to ke arah wanita itu. Biar pun sekaligus ia menyambitkan enam batang pisau terbang dari jarak dekat, namun sinar pedang wanita itu meruntuhkan semua hui-to itu dan membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang membuat Lauw Sek terhuyung mundur.
Akan tetapi, betapa pun Lauw Sek dan anak buahnya melakukan perlawanan mati matian, mereka dua belas orang laki-laki gagah perkasa ini ternyata sama sekali bukan lawan empat orang wanita cantik itu! Seorang demi seorang roboh, dan hebatnya, empat orang wanita itu sama sekali tidak mau memberi ampun, terus mengejar yang terluka dan mengirim tusukan maut sehingga mereka yang berjatuhan itu semua tewas oleh tusukan tusukan pedang!
Melihat ini Lauw Sek menjadi gelisah sekali dan dia berteriak kepada Siauw Goat, “Siauw Goat kau larilah.... cepat....!”
Lauw Sek sendiri dengan nekat bersama sisa teman-temannya menahan empat orang wanita itu. Siauw Goat adalah seorang anak yang cerdik. Biar pun dia pemberani, namun dia dapat melihat betapa sia-sianya melawan empat orang wanita yang lihai itu. Maka dia pun lalu melarikan diri dengan cepat sambil membuang busur dan anak panahnya yang tidak dapat dipergunakan lagi menghadapi empat orang wanita yang amat sakti itu. Tubuhnya ringan dan gerakannya cepat, dia berloncatan di atas salju dan sebentar saja sudah menghilang di balik tumpukan salju yang membukit. Akan tetapi gerakannya ini dapat dilihat oleh wanita baju hijau dan dia cepat meninggalkan gelanggang pertempuran dan lari mengejar.
“Iblis cilik, mau lari ke mana kau?”
Lauw Sek terkejut dan hendak mengejar untuk melindungi Siauw Goat, akan tetapi hal ini membuat dia lengah sehingga sambaran ujung pedang wanita baju kuning mengenai pundaknya, membuat pundak itu terluka parah. Dan ketika sebuah tendangan menyusul mengenai pinggangnya, maka robohlah Lauw-piauwsu! Teman-temannya masih nekat melawan, akan tetapi seorang demi seorang robohlah para piauwsu itu, semua tewas kecuali Lauw Sek yang memang agaknya tidak dibunuh oleh para wanita itu!
Lauw Sek membuka mata dan pertempuran itu ternyata telah berhenti. Dia siuman dari pingsannya, melihat bahwa di situ kini hanya tinggal wanita baju kuning, sedangkan tiga orang wanita lain telah pergi, agaknya mereka semua mengejar Siauw Goat!
“Kami membiarkan engkau hidup agar engkau tahu bahwa kami tidak boleh dibuat permainan oleh serombongan piauwsu yang lancang!” kata wanita baju kuning itu.
“Siapa.... siapa kalian....?” Lauw Sek bertanya lemah, hatinya penuh duka melihat bahwa sebelas orang anak buahnya ternyata telah tewas semua dalam keadaan menyedihkan sekali. Dia bangkit duduk dan pundak kirinya terasa nyeri, akan tetapi darah sudah berhenti mengucur, agaknya membeku di luar karena hawa dingin dan salju yang turun ke atas luka besar itu.
Wanita baju kuning itu tersenyum. Manis sekali memang, akan tetapi bagi Lauw Sek di saat itu, senyum ini seperti senyum iblis dari neraka! “Memang kami sengaja membiarkan kamu hidup agar mengenal siapa kami. Kami adalah utusan dari Sam-thaihouw! Nah, ingatlah baik-baik!”
Wanita baju kuning itu menggerakkan kakinya. Ujung sepatunya menendang dan tepat mengenai dada Lauw Sek membuat piauwsu ini terjengkang dan roboh pingsan lagi! Sambil tersenyum wanita baju kuning itu lalu melompat dan lari dari situ untuk menyusul teman-temannya, sedangkan enam belas orang penggotong tandu itu duduk seenaknya saja semenjak tadi menonton pertempuran di dekat tandu-tandu kosong mereka, seolah olah mereka sedang menjadi penonton pertunjukan yang menarik!
Sementara itu, Siauw Goat lari pontang-panting di antara hujan salju. Dia melarikan diri secepatnya tanpa arah tertentu dan dia memasuki daerah bersalju yang turun naik. Dia melihat adanya tiga orang yang mengejarnya. Untung baginya bahwa hujan salju makin deras sehingga pandang mata menjadi kabur dan para pengejarnya kadang-kadang kehilangan bayangannya. Juga jejak-jejak kakinya segera tertutup oleh salju sehingga tiga orang wanita itu seperti orang meraba-raba ketika mengejar dan mencarinya.
Dia mendengar lengkingan panjang di sebelah belakang, yang segera disambut oleh lengkingan lain yang lebih dekat di sebelah belakangnya. Dia tidak tahu bahwa lengking pertama itu adalah suara wanita pertama yang dijawab oleh wanita ke empat sehingga tak lama kemudian wanita pertama itu sudah bergabung dengan tiga orang temannya dan kini mereka berempat semua mencari-carinya.
Beberapa kali Siauw Goat roboh terguling. Napasnya terengah-engah, seluruh tubuhnya terasa lemah dan hawa dingin yang luar biasa membuat dia makin menderita. Jubah bulu tebal itu dikerudungkan di tubuh dan kepalanya, kedua tepinya dipeganginya erat-erat dan dia melanjutkan larinya biar pun napasnya seperti akan putus rasanya. Dia memaksa diri mendaki bukit kecil di depan, bukit yang terbuat dari tumpukan salju dan setelah tiba di puncaknya, mendadak salju yang diinjaknya itu runtuh ke bawah sehingga tubuhnya bergulingan ke bawah. Kiranya ‘bukit’ itu adalah sebatang pohon yang tertutup salju sehingga bergunduk menjadi semacam bukit. Tentu saja ketika kena injak, salju yang menutupi pohon itu menjadi runtuh.
Perutnya terasa lapar bukan main, akan tetapi terutama sekali yang amat menyiksa adalah hawa dingin, kelelahan dan pernapasannya yang makin terengah, Akhlrnya tubuh yang berguling-guling itu berhenti, akan tetapi tidak bangun kembali karena Siauw Goat merasa malas untuk bangun! Terasa nikmat sekali rebah miring di atas salju, dan biar pun hawa amat dinginnya, akan tetapi tubuh yang lelah, napas yang sesak, dan perut yang lapar itu seperti tidak terasa lagi, yang terasa hanya, dingin dan ingin tidur!
Akan tetapi dia teringat akan nasehat-nasehat Lauw-piauwsu bahwa amat berbahaya kalau sampai orang tertidur di atas salju. Percakapan ini terjadi ketika mereka habis berjumpa dengan pengemis muda lihai yang tidur di atas salju dengan pakaian tipis.
“Pengemis itu tentu seorang kang-ouw yang sakti,” demikian kata piauwsu itu. “Padahal, tidur di atas salju amatlah berbahaya. Bagi orang biasa, kadang-kadang kelelahan dan hawa dingin membuat dia ingin sekali untuk tidur, rasa kantuk menyerang dan kalau sampai orang itu tertidur di atas salju, itu merupakan tanda bahwa dia tidak akan bangun kembali karena tentu dia terus mati dalam keadaan membeku darahnya!”
Siauw Goat bergidik. Mati! Mati tanpa dirasakannya! Dan dia masih muda! Dan dia masih harus membalas kematian kakeknya, dan dia harus bertemu dengan orang tuanya. Tidak, dia tidak boleh mati! Maka dengan sisa tenaga seadanya dia lalu bangkit lagi, merangkak bangun dan melihat betapa kaki tangannya lecet-lecet, agaknya terjadi ketika dia jatuh bergulingan tadi. Dipaksanya badan yang telah hampir mogok itu untuk bangun berdiri dan dia lalu melangkah lagi, bermaksud hendak lari.
Akan tetapi baru saja melangkah beberapa belas tindak, dia mengeluh, terguling dan pingsan! Akan tetapi, sebelum pingsan dia melihat bayangan dua orang, bukan wanita wanita yang mengejarnya, melainkan bayangan dua orang pria. Bayangan inilah yang menghabiskan semangatnya untuk pantang menyerah kepada kelelahannya. Ada orang, tentu dia akan tertolong, demikian jalan pikirannya yang terakhir sebelum membiarkan dirinya hanyut ke dalam ketidak-sadaran.
Dua orang itu pun melihat Siauw Goat. Tadinya mereka memandang heran sekali melihat seorang gadis cilik berlari-lari seorang diri di tempat yang amat sunyi dan liar itu, dan terkejutlah mereka saat melihat gadis itu berguling-guling di atas onggokan salju, bangkit lari lagi dan berguling lagi, kini diam tak bergerak di atas salju.
“Ahh, mungkin dia sesat jalan dan sakit, mari kita menolongnya, Paman!” Seorang di antara mereka berkata dan terus lari menghampiri tempat Siauw Goat terguling. Orang kedua tidak menjawab akan tetapi ikut berlari.
Mereka adalah dua orang laki-laki yang memegang busur dan membawa banyak anak panah, sikap mereka gagah perkasa dan gerakan mereka tangkas, dengan pakaian seperti biasa dipakai para pemburu. Yang bicara tadi masih remaja, kurang lebih lima belas tahun usianya, akan tetapi wajahnya membayangkan kegagahan, kejujuran dan ketabahan sedangkan sepasang matanya tajam dan membayangkan kecerdasan. Pria kedua berusia sekitar tiga puluh lima tahun, di balik wajahnya yang gagah membayang kesabaran.
Memang mereka itu adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman. Mereka adalah keluarga pemburu turun-temurun menjadi pemburu binatang buas yang ahli dan berpengalaman. Mereka berasal dari Lok-yang di mana sekeluarga mereka bekerja sebagai pemburu-pemburu, dan kini mereka berada di Pegunungan Himalaya juga untuk berburu, dan terutama sekali sebagai pemburu-pemburu ahli mereka itu tertarik akan berita tentang makhluk yang dinamakan manusia salju atau Yeti. Sebagai pemburu permburu berpengalaman tentu saja berita ini amat menarik dan mereka ingin sekali dapat menangkap makhluk itu yang menurut pendapat mereka tentulah semacam binatang liar yang belum pernah dilihat manusia. Akan tetapi biar pun mereka sudah sering kali menemukan jejak Yeti, mereka sampai sekarang belum juga berhasil berjumpa dengan makhluk itu sendiri.
Pemuda remaja yang sudah memiliki bentuk tubuh seorang dewasa karena semenjak kecilnya sudah sering ikut berburu dan menghadapi kekerasan dan kesukaran itu bernama Sim Hong Bu. Ada pun pamannya yang bertubuh sedang dan sikapnya agak terlalu halus untuk seorang pemburu itu bernama Sim Tek, adik dari ayah Hong Bu.
Dahulu mereka semua ada empat orang, yaitu ayah Hong Bu yang bernama Sim Hoat, kemudian adik-adiknya Sim Tek dan Sim Kun, dan Hong Bu sendiri. Akan tetapi, tiga tahun yang lalu, ketika Sim Hoat dan Sim Kun sedang berburu beruang di utara, mereka berdua diserang oleh dua ular yang sangat beracun dan nyawa mereka tidak tertolong lagi. Maka tinggallah mereka berdua saja, Sim Hong Bu dan Sim Tek pamannya, dan untuk sekedar menghibur hati Sim Hong Bu yang penuh duka, Sim Tek yang hidup sebatang kara, tidak mempunyai anak isteri itu lalu mengajaknya merantau ke daerah daerah liar untuk berburu. Akhirnya, dua bulan yang lalu mereka sampai di Pegunungan Himalaya karena tertarik oleh cerita tentang Yeti.
Di dalam kisah JODOH SEPASANG RAJAWALI ada diceritakan tentang Sim Hong Bu ini. Para pembaca kisah tersebut tentu masih ingat akan anak laki-laki pemburu yang pernah menyelamatkan Phang Chui Lan, dayang dari Gubernur Ho-nan yang dikejar kejar pasukan, kemudian bersama keluarga Sim dan kawan-kawan pemburu yang lain, mereka beramai-ramai menyelamatkan pendekar Suma Kian Lee.
Sim Hong Bu dan Sim Tek kini berlutut di dekat tubuh Siauw Goat, dan Sim Tek segera memeriksa gadis cilik itu.
“Hemm, dia pingsan dan tidak terluka, tidak pula sakit. Agaknya hanya kedinginan dan kelaparan,” kata Sim Tek. “Hong Bu, lekas kau ambil arak dan obat penghangat perut dan juga pel penambah darah itu.”
Sim Hong Bu cepat-cepat membuka buntalan bekal mereka dan melaksanakan perintah pamannya. Setelah diberi makan obat dan minum arak, digosok-gosok pula kaki dan tangannya dengan obat pemanas kulit, akhirnya Siauw Goat siuman. Begitu siuman, dia meloncat berdiri, terhuyung, akan tetapi dengan nekat dia siap untuk melawan.
“Siapa kalian....?!” bentaknya.
Hong Bu tersenyum, memandang kagum kepada gadis cilik itu. Sungguh seorang gadis yang gagah dan sama sekali tidak cengeng, pikirnya, dan melihat gerakan gadis itu saat meloncat dan mengepal kedua tangannya, dia dapat menduga bahwa gadis itu pernah mempelajari ilmu silat.
“Nona, kami menemukan engkau rebah pingsan di sini, dan kami hanya menolong dan menyadarkanmu. Kami adalah pemburu-pemburu....”
“Ahh, maaf....!” Tiba-tiba sikap dara itu berubah. “Dan terima kasih atas kebaikan kalian. Mana.... mana mereka itu?”
“Mereka siapa?” tanya Hong Bu.
“Mereka yang mengejarku! Empat orang iblis betina itu....!” Siauw Goat lalu memandang ke sekeliling dengan sikap khawatir karena dia teringat akan keadaan Lauw-piauwsu dan anak buahnya yang terdesak dan bahkan banyak yang sudah roboh.
“Tidak ada siapa-siapa di sini selain kita bertiga,” kata Sim Tek heran.
“Jangan khawatir, Nona. Kalau ada yang hendak mengganggumu, tentu akan kuhajar dengan anak panah dan busurku ini!” Sim Hong Bu berkata menghibur sambil tangannya mengangkat busurnya yang besar ke atas kepala.
Pada saat itu terdengar suara melengking susul-menyusul, suara yang mendatangkan gema dan getaran panjang.
“Itu mereka....!” Siauw Goat berkata dengan wajah berubah agak pucat. “Pinjamkan pedangmu, aku harus melawan mereka mati-matian!” katanya.
Hong Bu dan pamannya bangkit berdiri. Hong Bu mencabut pedangnya dan kemudian menyerahkan pedang itu kepada Siauw Goat sambil berkata, “Jangan khawatir, aku dan Paman akan menjagamu dan menghadapi mereka!” Belum nampak adanya orang lain di situ dan suara melengking tadi agaknya dikeluarkan dari tempat jauh.
“Siapakah mereka, Nona? Dan mengapa mereka mengejar-ngejarmu?” Sim Tek yang lebih berhati-hati itu bertanya kepada Siauw Goat.
Dia maklum bahwa orang-orang yang dapat mengeluarkan suara melengking panjang menggetarkan seperti tadi pasti bukan orang sembarangan. Juga dia bersikap hati-hati, tidak seperti keponakannya yang begitu mudahnya menjanjikan bantuan kepada gadis cilik ini tanpa lebih dulu mengetahui apa yang menjadi persoalannya maka gadis itu dikejar-kejar orang. Bagaimana kalau gadis ini yang berada di pihak salah? Bukan tidak mungkin itu!
“Aku tidak tahu siapa iblis-iblis betina itu! Akan tetapi mereka.... mereka membunuhi para piauwsu yang mengawalku dan mengejar-ngejarku untuk dibunuh!”
“Jahat mereka itu!” Hong Bu berseru marah.
Mendadak terdengar suara melengking nyaring dan keempat orang wanita itu kini telah muncul dari balik bukit salju dan gerakan mereka sangat cepatnya ketika mereka lari menghampiri. Tetapi Sim Tek dan Sim Hong Bu telah berdiri dengan tegak melindungi Siauw Goat. Sim Tek memegang sebatang pedang dan Hong Bu siap dengan busur dan anak panahnya. Juga Siauw Goat sudah memegang pedang yang diterimanya dari Hong Bu tadi.
Melihat betapa gadis cilik yang mereka kejar-kejar itu kini dilindungi dua orang pria yang kelihatan gagah, empat orang wanita cantik itu berhenti dan Si Baju Hijau yang merasa paling marah dan sakit hati terhadap Siauw Goat, melangkah maju sambil berkata kepada teman-temannya. “Biar kuhadapi anjing-anjing ini!”
Mendengar ucapan itu, diam-diam Sim Tek menjadi tidak senang. Wanita-wanita ini benar amat sombong sekali, pikirnya dan kalau dipikir, tidak mungkin seorang gadis cilik seperti anak yang pingsan tadi berada di pihak salah.
“Harap Nona sabar sedikit,” katanya sambil melangkah maju. “Tidak baik menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis cilik, kalau ada urusan sebaiknya dibicarakan dengan tenang.”
“Heh, pemburu babi yang busuk, jangan engkau mencampuri urusan orang lain! Pergilah sebelum terpaksa kubunuh engkau!” bentak wanita baju hijau yang oleh tiga temannya disebut A-ciu itu.
“Paman, Nona cilik ini benar, mereka adalah iblis-iblis betina jahat, biar kuhajar mereka!”
Tiba-tiba Sim Hong Bu berteriak marah dan dengan gerakan cepat sekali pemuda remaja ini telah menggerakkan tali busurnya empat kali. Terdengar suara menjepret empat kali dan berturut-turut, empat batang anak panah menyambar seperti kilat ke arah empat orang wanita cantik itu! Akan tetapi, anak-anak panah itu semua menyambar ke arah betis kaki, maka jelaslah bahwa Hong Bu bukan bermaksud membunuh, hanya ingin melukai empat orang yang dianggapnya jahat itu.
Akan tetapi, betapa terkejut rasa hati Hong Bu dan Sim Tek ketika mereka berdua melihat empat orang wanita itu mengangkat kaki, dengan enak dan mudah saja mereka menendang ke arah anak panah yang menyambar itu dan.... anak-anak panah itu semua meluncur kembali ke arah Sim Hong Bu!
Tentu saja pemuda remaja ini menjadi sibuk mengelak ke sana-sini. Dia selamat akan tetapi hampir saja menjadi korban anak panahnya sendiri, maka dia memandang dengan mata terbelalak, kemudian dengan suara menggeram seperti seekor singa muda dia menyerang ke depan, menggerakkan busurnya yang dihantamkan ke arah kepala A-ciu.
“Plakkk!” Tubuh Hong Bu terhuyung ke belakang ketika busurnya ditangkis oleh lengan tangan A-ciu.
Melihat itu Sim Tek sudah menyerang pula dengan pedangnya, juga Siauw Goat sudah menggerakkan pedangnya dan maju menerjang dengan nekat. A-ciu dikeroyok tiga, tapi wanita cantik baju hijau ini hanya tersenyum dan mendengus dengan sikap mengejek, mengelak dengan mudah dari sambaran-sambaran senjata ketiga orang pengeroyoknya, dan dua kali kakinya menendang, merobohkan Hong Bu dan Siauw Goat! Akan tetapi, dua orang anak tanggung ini meloncat bangun dan menyerang lagi.
“Plakk! Aughhhh....!” Sim Tek mengeluh dan terdorong ke belakang. Pundak kirinya kena disambar jari tangan wanita itu dan dia merasa seolah-olah pundaknya lumpuh, sakitnya sampai menusuk ke ulu hati. Mukanya menjadi pucat, akan tetapi dia sudah siap untuk menerjang lagi.
Kembali wanita itu menggerakkan kaki dan untuk kedua kalinya tubuh Siauw Goat dan Hong Bu terlempar, kini lebih jauh lagi.
“Huh, kalau aku menghendaki, apa kalian kira sekarang ini kalian masih bernapas? Tadi aku hanya hendak menguji, dan kiranya kalian adalah orang-orang tak berguna sama sekali. Hayo segera menggelinding pergi dan serahkan setan cilik itu kepadaku!” A-ciu membentak dengan sikap angkuh, berdiri tegak dan bertolak pinggang.
“Kami adalah lelaki sejati, tak mungkin membiarkan seorang anak perempuan terancam tanpa melindunginya!” kata Sim Tek dengan sikap yang gagah. Pemburu yang sudah biasa menghadapi bahaya ini tidak takut mati, apalagi dia tahu bahwa keempat orang wanita ini sangat kejam dan agaknya akan membunuh anak perempuan itu, maka dia sebagai seorang gagah tentu saja tidak mungkin tinggal diam.
“Lebih baik mati dari pada membiarkan dia kalian bunuh!” Hong Bu juga membentak dan dengan nekat anak ini sudah menyerang lagi dengan busurnya. Sim Tek juga sudah menyerang lagi dengan pedangnya, menahan rasa nyeri di pundaknya.
“Hemm, kalian benar-benar bosan hidup!” A-ciu membentak dan kini dia menyambut serangan itu dengan terjangan ke depan. Dua kali tangannya bergerak, dengan tepat dia menampar ke arah lengan tangan dua orang penyerangnya itu. Hong Bu dan Sim Tek berteriak kaget dan senjata busur dan pedang mereka terlempar.
“Mampuslah!” A-ciu membentak dan menerjang tubuh dua orang yang sudah terhuyung itu.
“Hemm, sungguh ganas!” Bentakan halus ini disusul berkelebatnya bayangan orang dan tiba-tiba tubuh A-ciu terdorong ke belakang.
Wanita berbaju hijau ini terkejut, memandang orang yang baru datang dan yang serta merta menangkis serangannya yang ditujukan kepada dua orang pemburu itu.
“Ahhh, kiranya engkau lagi!” bentaknya dengan marah bukan main ketika mengenal penangkis itu ternyata adalah pemuda sastrawan yang tampan, yang pernah melindungi anak perempuan bengal itu di depan restoran tempo hari!
“Sayang, aku terpaksa meninggalkan kalian karena tertarik jejak Yeti, kalau tidak, tak mungkin engkau sampai dapat membunuhi para piauwsu itu,” Kam Hong menarik napas panjang dan suaranya yang tenang itu terdengar bercampur nada marah. “Kalian ini empat orang wanita sungguh kejam seperti iblis!”
“Apa?” Siauw Goat menjerit. “Kalian iblis-iblis betina telah membunuh semua Paman piauwsu?” Anak perempuan ini menjadi marah sekali dan dengan nekat dia lalu meloncat ke depan.
Pedang pinjaman tadi telah terlempar dan sekarang dia menyerang A-ciu dengan kedua tangan kosong saja, dengan penuh kenekatan karena sakit hati dan marah mendengar betapa semua piauwsu telah tewas oleh empat orang wanita ini.
Melihat dia diserang oleh Siauw Goat, tentu saja A-ciu juga marah. “Huh, engkau setan cilik menjadi gara-gara! Mampuslah!” bentaknya.
Dan dia memapaki serangan Siauw Goat ini dengan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang. Kalau tamparan ini mengenai tubuh Siauw Goat, tentu anak perempuan ini akan tewas seketika. Akan tetapi tiba-tiba A-ciu terbelalak.
“Hahh....?!” Dia terkejut karena tiba-tiba saja tangannya yang menampar itu terhenti di tengah-tengah, tak dapat digerakkan lagi!
“Plakkk!” Tangan Siauw Goat yang menamparnya telah tiba dan tamparan itu dengan kerasnya mengenai pipi kiri A-ciu!
Melihat tamparannya berhasil, Siauw Goat menjadi girang. Kiranya ‘tidak seberapa’ wanita iblis ini, pikirnya dan dia pun menyerang terus dengan pukulan kepalan tangannya ke arah perut orang. Melihat ini, A-ciu yang masih terkejut merasakan keanehan tadi, cepat menggerakkan kakinya untuk mengelak dan dilanjutkan dengan tendangan. Akan tetapi kembali dia terpekik karena tiba-tiba saja kakinya tak dapat digerakkan, sedangkan pukulan Siauw Goat telah tiba.
“Ngekkk!” perutnya kena dihantam dan walau pun tidak membahayakan, namun cukup membuat perutnya mulas karena ketika dia hendak mengerahkan tenaga sinkang menyambut pukulan, ternyata seperti juga kaki tangannya, tiba-tiba saja dia tidak mampu! Seolah-olah pusat penggerak tenaga di dalam tubuhnya telah dilumpuhkan orang.
Siauw Goat makin bersemangat, memukul, menendang, menampar sampai tubuh A-ciu terhuyung-huyung dihujani pukulan oleh dara cilik itu. Tiga orang perempuan lain yang melihat ini terbelalak, akan tetapi mereka segera tahu mengapa terjadi hal sedemikian anehnya ketika mereka melihat Kam Hong yang berdiri tegak itu menggerak-gerakkan tangannya ke arah A-ciu. Kiranya pemuda sastrawan itulah yang mempergunakan ilmu aneh, agaknya dengan kekuatan sinkang jarak jauh yang amat dahsyat, membuat A-ciu tidak berdaya dan menjadi bulan-bulan penyerangan Siauw Goat!
“Desss!!”
Sebuah pukulan Siauw Goat tepat mengenai mulut A-ciu, merobek bibir sehingga bibir itu berdarah, tetapi Siauw Goat juga menyeringai kesakitan karena punggung tangannya bertemu dengan gigi A-ciu yang menjadi goyang, akan tetapi sedikit melukai kulit tangan Siauw Goat.
“Cukuplah, Siauw Goat.” kata Kam Hong sambil melangkah maju dan menarik lengan gadis cilik itu.
Pada saat itu, tiga orang wanita lainnya sudah berloncatan mendekat. Wanita berbaju kuning, yang tertua dan tercantik, dan yang agaknya menjadi pimpinan mereka, sudah mencabut pedangnya, diikuti pula oleh dua orang temannya dan juga oleh A-ciu yang mukanya menjadi merah sekali, bukan hanya merah karena marah akan tetapi juga merah karena bekas pukulan-pukulan Siauw Goat tadi.
“A-kiauw, engkau di sebelah kanannya!” perintahnya dan wanita baju merah sekali meloncat sudah berada di sebelah kanan Kam Hong.
“A-bwee, engkau di sebelah kirinya!” perintahnya lagi dan wanita baju biru meloncat ke sebelah kiri Kam Hong.
“A-ciu, engkau di belakangnya! Kita membentuk Barisan Segi Empat, kalian tahu apa yang harus dimainkan!” bentak lagi A-hui, wanita baju kuning yang menjadi pimpinan itu.
Kam Hong hanya berdiri dengan tenang, diam tidak bergerak, agak menunduk dan lebih menggunakan ketajaman pendengarannya untuk mengikuti gerak-gerik mereka dari pada menggunakan matanya. Suasana menjadi menegangkan sekali. Sim Tek dan Sim Hong Bu memandang dengan mata terbelalak penuh perhatian, juga Siauw Goat amat tertarik.
Anak ini mulai dapat menduga bahwa kalau tadi dia berhasil memukuli wanita baju hijau seenaknya dan semau hatinya, hal itu tentu karena bantuan sastrawan itu! Dia adalah anak yang semenjak kecil mempelajari ilmu silat, maka dia dapat mengerti akan hal itu dan kini dia memandang penuh harap kepada Kam Hong karena dia dapat menduga bahwa empat orang wanita itu memang lihai sekali. Apalagi kalau diingat betapa semua piauwsu telah tewas oleh mereka ini, hatinya menjadi sakit bukan main.
Tiba-tiba terdengar lengking dahsyat dan A-ciu telah mulai menyerang dengan tusukan pedangnya ke arah punggung Kam Hong, disusul lengkingan-lengkingan lain berturut turut karena A-hui, A-kiauw, dan A-bwee juga sudah menggerakkan pedang mereka melakukan serangan kilat.
Hebatnya, serangan mereka itu berbeda-beda sifat dan sasarannya. A-hui memutar pedang menyerang dari depan seperti gelombang mengamuk, A-kiauw menyerang dengan loncatan ke atas seperti petir menyambar-nyambar, A-bwee menyerang dari bawah seperti serangan ular sakti, dan A-ciu menyerang dengan gerakan lurus dan bertubi-tubi ke arah tubuh bagian tengah.
Tiba-tiba dengan gerakan cepat sekali dengan tangan kirinya walau pun seluruh tubuh masih nampak tenang sekali, Kam Hong telah mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya. Ketika tangan kirinya bergerak, seperti bermain sulap saja nampak sinar putih yang lebar berkelebat dan sinar ini digerakkan oleh tangan kirinya ke belakang, kiri, kanan dan depan. Dan gerakan-gerakan itu ternyata dapat menangkis semua serangan empat pedang lawan!
Ketika empat orang wanita itu merasa betapa pedang mereka membalik oleh tenaga yang amat kuat, mereka melangkah mundur untuk mengatur posisi sambil memandang. Kiranya sinar putih lebar tadi adalah gerakan sebuah kipas putih yang kini dipegang oleh tangan kiri Kam Hong dan dibeberkan lalu dipakai untuk mengipasi lehernya seolah-olah pemuda sastrawan ini merasa kegerahan! Padahal, berdiri tegak dengan kipas terpentang lalu dikipas-kipaskan di leher itu merupakan pasangan pembukaan dari ilmu silat kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan)! Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu-ilmu warisan keluarga Suling Emas, satu di antara ilmu-ilmu yang amat diandalkan dan yang dahulu pernah mengangkat tinggi nama Pendekar Sakti Suling Emas! Ketika sejenak kipas itu berhenti mengebut, empat orang wanita yang kini bergerak melangkah perlahan mengelilinginya itu dapat membaca huruf-huruf indah yang tertulis di permukaan kipas putih itu.
Hanya yang kosong dapat menerima tanpa meluap
Hanya yang lembut mampu menerobos yang kasar
Yang merasa cukup adalah yang sesungguhnya kaya raya!
Huruf-huruf indah yang membentuk kata-kata itu ditulis oleh Kam Hong dan kalimat kalimat itu adalah kalimat yang sering dipergunakan oleh gurunya, yaitu Sai-cu Kai-ong, keturunan dari para tokoh Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Isinya membayangkan sifat dari perkumpulan pengemis itu dan mengandung pelajaran atau pesan bahwa untuk dapat belajar dan menerima pengertian-pengertian baru, hati dan pikiran haruslah kosong. Mata dan telinga yang memandang atau mendengar secara kosong, yaitu tanpa adanya pendapat yang muncul dari pengetahuan-pengetahuan yang bertumpuk dalam pikiran, dapat melakukan penelitian dan penyelidikan, dapat waspada dan mempelajari sampai sedalam-dalamnya segala persoalan yang dihadapinya. Orang yang merasa dirinya penuh dengan pengetahuan dan kepintaran adalah seperti katak dalam tempurung, seperti gentong kosong yang hanya nyaring suaranya saja. Demikian pula kekasaran dan ketakutan mudah bertemu lawan, mudah patah dan menimbulkan kekerasan, sebaliknya kelembutan mampu menerobos segala sesuatu.
Kalimat terakhir menggambarkan keadaan pengemis Khong-sim Kai-pang. Meski disebut pengemis, orang yang semiskin-miskinnya di antara semua tingkat kehidupan, namun karena tidak pernah mengeluh, tak pernah membandingkan, tidak pernah merasa kurang maka tidak menimbulkan iri hati dan oleh karena merasa cukup itulah maka dia tidak menginginkan apa-apa lagi sehingga orang beginilah yang patut disebut kaya raya. Sebaliknya, betapa pun kaya-rayanya seseorang, kalau dia itu masih selalu merasa tidak cukup, maka dia akan berusaha memperbesar kekayaannya itu tanpa mempedulikan jalan kotor apa yang ditempuhnya!
A-hui mengeluarkan bentakan nyaring secara tiba-tiba dan empat orang wanita yang tadinya berjalan mengelilingi Kam Hong itu tiba-tiba melakukan penyerangan. Serangan mereka cukup dahsyat dan teratur rapi, oleh karena memang mereka mempergunakan Barisan Segi Empat yang amat teratur. Pedang mereka gemerlapan dan menyambar nyambar seperti halilintar, mengeluarkan suara berdesing dan angin serangan yang membuat rambut dan ujung pita rambut Kam Hong dan ujung kuncir Kam Hong berkibar itu membuktikan betapa kuatnya sinkang dari empat orang wanita itu.
Akan tetapi Kam Hong menghadapi mereka dengan tenang. Tubuhnya tidak banyak berloncatan, hanya berputaran ke sana-sini dengan langkah-langkah kaki yang sangat tegap. Kipasnya bergerak cepat, kadang-kadang menjadi sinar yang membentuk perisai atau benteng melindungi tubuhnya sehingga semua serangan pedang itu gagal karena tertangkis dan membalik. Kadang-kadang kipas itu tertutup dan dipergunakan untuk membalas serangan lawan dengan totokan-totokan ujung kipas ke arah jalan darah yang penting, kadang-kadang dibuka dan dalam keadaan terbuka ini pun dapat dipergunakan untuk mengebut ke arah muka lawan sehingga beberapa kali empat orang wanita itu gelagapan sukar bernapas karena tiupan angin keras dari kipas itu ke arah muka mereka!
Pertempuran itu berlangsung dengan amat serunya dan gerakan empat orang wanita itu makin lama makin cepat, mereka bertukar-tukar tempat dan posisi sehingga seolah-olah mereka itu beterbangan mengelilingi Kam Hong yang masih bergerak dengan tenang. Menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini, berkali-kali Sim Tek menarik napas panjang saking kagumnya.
“Paman, sastrawan itu hebat sekali, ya?”
Pamannya mengangguk tanpa melepaskan pandangan matanya dari pertarungan itu. “Bukan main lihainya, hanya dengan kipas.... padahal empat orang wanita itu amat tangguhnya....”
“Mana lebih lihai antara dia dan Pendekar Siluman Kecil, Paman?”
Pamannya menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak tahu.... tidak tahu....“ katanya penuh kagum karena kini gerakan kipas makin menghebat dan membuat empat orang wanita itu terdesak dan gerakan mereka terpaksa makin melebar.
“Siapa Siluman Kecil itu? Apa sih kehebatannya?” Tiba-tiba Siauw Goat yang berdiri tidak jauh dari Hong Bu, bertanya sambil mendekat, akan tetapi seperti yang lain, dia juga masih terus menonton pertempuran itu.
Sejenak Hong Bu menoleh kepada Siauw Goat, alisnya berkerut seperti orang marah mendengar betapa Siluman Kecil, pendekar yang dijunjung tinggi dan dikaguminya sejak kecil itu kini dipandang rendah orang.
“Pendekar Siluman Kecil adalah pendekar nomor satu di kolong langit, kepandaiannya tidak ada yang mampu melawannya!” demikian dia berkata dan kembali dia memandang ke arah pertempuran yang menjadi semakin seru itu.
“Tidak mungkin!” Siauw Goat membantah. “Pendekar nomor satu di kolong langit adalah mendiang Kongkong-ku, kemudian nomor dua adalah dia itu!” Dia menunjuk kepada bayangan Kam Hong, lalu tiba-tiba ia mendapatkan suatu pikiran yang dianggapnya amat baik dan berteriaklah gadis cilik itu, “Heii, Paman Kam, lekas selesaikan pertandingan itu agar engkau dapat diadu dengan Pendekar Siluman Kecil!”
Bukan hanya Kam Hong yang terkejut sekali mendengar kata-kata dan disebutnya nama Pendekar Siluman Kecil itu, bahkan empat orang lawannya yang sudah terdesak juga amat terkejut dan mereka itu berloncatan mundur.
“Tahan!” seru A-hui sambil melintangkan pedang di depan dada. Keringatnya bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, demikian pula dengan tiga orang temannya. Kam Hong berhenti bergerak dan pemuda sastrawan ini tidak kelihatan lelah sama sekali.
“Pernah apakah engkau dengan Pendekar Siluman Kecil?”
Kam Hong tersenyum dan menggeleng kepala. “Bukan apa-apa.”
“Tapi setan cilik itu tadi hendak mengadumu dengan Siluman Kecil. Apakah engkau adalah musuhnya?”
“Hemmm, perempuan kejam, jangan kau bicara sembarangan! Pendekar Siluman Kecil adalah seorang pendekar kenamaan yang budiman, mana mungkin aku memusuhinya? Sudahlah, kalian lekas pergi dan jangan mengganggu siapa pun. Kalau tidak, mengingat bahwa engkau sudah membunuh banyak orang dalam rombongan piauwsu itu, kalian harus dihukum....“
“Paman Kam, bunuh saja mereka iblis-iblis betina itu!” Siauw Goat berteriak lagi.
Empat orang wanita itu menjadi marah dan serentak mereka menyerang lagi.
“Katakan dahulu siapa engkau baru kami mau sudah!” teriak A-hui sambil menggerakkan pedang diikuti oleh tiga orang temannya.
“Pergilah....!” Tiba-tiba Kam Hong membentak dan nampak sinar kuning keemasan yang berkeredepan menyilaukan mata, disusul bunyi nyaring empat kali dan empat orang wanita itu terjengkang ke belakang, pedang mereka terlepas dan terjatuh ke atas salju!
Mereka terbelalak memandang kepada pemuda sastrawan itu yang kini berdiri dengan gagahnya, tangan kiri masih memegang sebatang kipas yang dikembangkan, dan tangan kanan tahu-tahu telah memegang sebatang suling terbuat dari pada emas yang sinarnya berkilauan.
“Suling Emas....?!” A-hui merangkak bangun dan memandang kepada suling di tangan sastrawan muda itu dengan mata terbelalak.
Nama Pendekar Suling Emas pada waktu itu hanya sebagai dongeng pahlawan kuno belaka, dan biar pun pernah dihebohkan oleh dunia kang-ouw bahwa Pendekar Suling Emas meninggalkan pusaka-pusaka, namun karena tidak ada yang berhasil mencarinya maka lambat laun berita itu lenyap ditelan waktu. Dan kini muncul seorang sastrawan muda yang bersenjata suling dan kipas secara lihai sekali, mirip dengan tokoh pendekar kuno itu! Empat orang wanita itu sekarang sudah bangkit, menyeringai kesakitan dan mengambll pedang masing-masing, tidak berani banyak lagak lagi…..
Komentar
Posting Komentar