SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-46
“Berhenti! Hentikan pertempuran gila ini! Di sini Pangeran Mahkota Kian Liong yang bicara!” Pangeran itu berteriak sambil berdiri di tempat tinggi setelah dibawa oleh Ci Sian ke tempat itu.
Para prajurit dan perwira yang mengepung delapan orang pendekar itu berhenti menyerang dan melompat mundur, lalu menoleh. Mereka mengenal pemuda yang sederhana itu, lalu mereka memberi hormat. “Hidup Sang Pangeran!” mereka berseru.
Delapan orang pendekar itu pun berdiri memandang. Mereka semua tidak memakai baju, hanya bercelana panjang saja. Tubuh mereka berkilat oleh keringat dan darah, dan tubuh-tubuh itu membayangkan kekuatan luar biasa. Tubuh pemuda-pemuda yang tidak begitu besar, namun jelas membayangkan kekuatan yang membaja. Celana mereka pun penuh percikan darah dan lengan tangan serta senjata mereka berlepotan darah pula.
Sejenak Sang Pangeran memejamkan kedua matanya, penuh kengerian. Bahkan Ci Sian sendiri, seorang pendekar yang memiliki kesaktian, merasa ngeri. Belum pernah selamanya dia melihat pemandangan seperti ini, walau pun ia pernah menyaksikan peperangan di lereng Himalaya dahulu. Yang mendatangkan kengerian adalah melihat mayat para pendekar yang tewas dalam pengeroyokan yang berat sebelah ini. Dan suasana di situ panas sekali, panas oleh keadaan perkelahian dan panas oleh api yang bernyala-nyala membakar biara. Panas luar dalam.
“Aku, Pangeran Mahkota Kian Liong, memerintahkan agar semua pasukan berkumpul dan mengundurkan diri dari kuil ini, dan membiarkan sisa orang Siauw-lim-pai untuk pergi dari sini tanpa diganggu!”
Mendengar perintah ini, para sisa pasukan itu tidak ada yang berani membantah. Apalagi mereka sendiri pun sudah merasa lelah, dan gentar melihat banyaknya teman mereka yang tewas, gentar menghadapi delapan orang pendekar Siauw-lim-pai yang amat tangguh itu, turun semangat mereka melihat betapa dua orang jenderal dan pangeran yang memimpin pasukan telah roboh dan tewas pula. Maka, mendengar perintah ini, mereka lalu mundur dan para perwira lalu mulai meneriakkan perintah-perintah, ada yang menolong teman yang terluka, ada yang merawat luka masing-masing.
Delapan orang pendekar Siauw-lim-pai itu sejenak memandang kepada Sang Pangeran dan dara yang menemaninya itu, pandang mata mereka tajam penuh kebencian, penuh permusuhan, penuh dendam, akan tetapi juga penuh pengertian bahwa Pangeran ini lain dari pada yang lain, dan mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah gagah, sedikit pun tidak menengok lagi kepada Sang Pangeran, apa pula menghaturkan terima kasih, biar mereka tahu benar bahwa Sang Pangeran baru saja menyelamatkan nyawa mereka.
“Uh, manusia tak tahu diri! Tidak mengenal budi!” Ci Sian marah-marah, mengepal tinju memandang kepada delapan orang pemuda gagah perkasa yang pergi itu.
Sang Pangeran tersenyum. “Hemm, tenanglah, Nona Bu. Apakah engkau tidak dapat membayangkan keadaan hati mereka? Baru saja terjadi pembantaian besar-besaran. Saudara-saudara mereka, ratusan jumlahnya, dibunuh, dibakar hidup-hidup dan juga Siauw-lim-pai yang merupakan perguruan mereka dibasmi, dibakar. Lalu, setelah tinggal delapan orang, aku menyelamatkan mereka. Apa artinya itu bagi mereka?”
“Tapi, bukan Paduka yang menyuruh dilakukannya pembantaian ini!”
“Apa bedanya bagi mereka? Yang melakukan pembantaian ialah pasukan pemerintah, dan aku adalah Pangeran Mahkota, calon kaisar, jadi pemerintah juga. Tentu saja mereka tidak berterima kasih, bahkan mungkin menganggap bahwa pengampunan atau penyelamatan ini sebagai suatu pukulan dan penghinaan bagi kehormatan mereka.”
“Aihh....!” Ci Sian terkejut sekali. “Dan Paduka sengaja menyelamatkan mereka, padahal Paduka tahu bahwa akan makin mendendam kepada Paduka?”
Pangeran itu menarik napas panjang. “Terserah. Yang penting, aku tidak bermaksud menghina mereka. Engkau tentu masih ingat ketika kukatakan kepada pemuda perkasa Kun-lun-pai itu bahwa aku tidak berdaya. Bukan kehendakku aku dilahirkan sebagai putera Kaisar dan kini menjadi pangeran mahkota. Hanya yang kutahu, aku akan berdaya sekuat tenagaku lahir batin untuk menjadi seorang manusia yang benar. Kalau toh tindakanku dinilai salah, terserah, akan tetapi yang penting, aku tahu bahwa apa yang kulakukan adalah benar dan bukan demi kepentinganku sendiri.”
Ci Sian mendengarkan dengan penuh takjub, lalu menarik napas panjang. “Pangeran, mendengar semua kata-kata Paduka tadi, saya menjadi semakin bingung dan makin merindukan Suheng, karena kiranya kalau Suheng berada di sini, Suheng akan dapat menerangkan dengan jelas tentang semua ini kepada saya.”
“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan,” kata Sang Pangeran yang lalu menemui para perwira yang kini bertugas memimpin sisa pasukan itu untuk selain mengubur jenazah-jenazah para anggota pasukan, juga mengubur jenazah orang-orang Siauw-lim-pai sepantasnya.
“Ini merupakan perintah kami, kalau tidak dipenuhi sebagaimana mestinya akan kami hukum!” Demikian Sang Pageran menutup kata-katanya, diterima oleh para perwira itu dengan taat akan tetapi juga dengan terheran-heran.
Ci Sian melanjutkan perjalanannya bersama Pangeran Kian Liong, menuju ke kota raja. Kini pandangan Ci Sian terhadap Sang Pangeran semakin berubah. Ia seakan-akan melihat seorang yang sudah matang dalam segala hal, sudah jauh lebih matang dan lebih tua dari pada Kam Hong sekali pun. Padahal Pangeran ini masih amat muda! Dan hubungan antara mereka menjadi makin akrab.
Ketika mereka berhenti dan bermalam di sebuah dusun, sebelum memasuki kamar masing-masing, mereka bercakap-cakap di pekarangan belakang rumah penginapan kecil yang sepi tamu itu. Bulan sedang purnama dan enak sekali duduk di ruangan belakang itu, di mana terdapat banyak pohon bunga mawar yang semerbak harum.
Melihat bunga-bunga, pohon-pohon yang bermandikan cahaya bulan purnama, Sang Pangeran terpesona. Kemudian, setelah menarik napas panjang berulang kali, dia berkata, suaranya halus, “Nona Bu, pernahkah engkau melihat keindahan seperti ini selama hidupmu?”
Ci Sian terheran mendengar ini. Ia memandang kepada pohon-pohon dan bunga-bunga di bawah cahaya bulan purnama yang mengandung sinar kuning dan biru itu, lalu mengangguk, melihat pula ke atas, ke arah bulan purnama yang nampaknya melayang-layang di antara awan-awan tipis bagaikan wajah puteri jelita yang kadang-kadang bersembunyi di balik tirai sutera putih.
“Tentu saja, Pangeran. Sudah sering sekali!”
“Benarkah itu? Ataukah engkau hanya memandang gambaran saja tentang bulan purnama dan segala keindahannya? Coba pandanglah lagi, Nona, dan pandang tanpa adanya gambaran tentang bulan purnama yang menjadi tirai penghalang bagi kedua matamu. Pandanglah tanpa kenangan pengalaman lalu.”
Ci Sian tersenyum dan merasa heran, akan tetapi ia mentaati permintaan ini dan ia mulai memandang bulan, awan, pohon-pohon dan bunga-bunga, memandang semua itu dengan mata terbuka, seperti memandang sesuatu yang baru, tanpa membanding-bandingkan dengan keadaan bulan purnama yang lalu dan sudah pernah dilihatnya. Pandangannya tanpa menilai, tanpa membandingkan dan.... sejenak terjadi keharuan yang luar biasa, sukar dia mengatakan apakah itu. Ada SESUATU yang ajaib.... yang membawanya bagaikan hanyut dan tertelan ke dalam keindahan itu, keindahan baru, keadaan baru.... bahkan keheningan itu menghanyutkan, menelannya.... akhirnya ia sadar dan semua itu pun lenyap lagi, mendatangkan rasa aneh seperti rasa ngeri yang membuat bulu tengkuknya meremang.
“Aihhh.... Pangeran....,” keluhnya.
“Ehhh? Apa yang kau lihat? Apa yang kau rasakan?”
“Saya.... saya.... merasa seolah-olah dijatuhkan dari tempat yang amat tinggi, seolah-olah saya melayang jatuh dari bulan itu.... melalui sinar-sinarnya.... ihh, mentakjubkan, indah dan mengerikan!”
Sang Pangeran tersenyum, “Mengapa harus takut menghadapi semua kebesaran dan keindahan ini, Nona? Mengapa takut menghadapi kesendirian dan persatuan dengan segala sesuatu? Tanpa melepaskan diri, tanpa berkeadaan sendirian mana mungkin dapat bersatu dengan segala-galanya?” Ucapan Pangeran itu makin membingungkan, sama sekali tidak dimengerti oleh Ci Sian. Dan dalam kesempatan ini, timbullah ingatan Ci Sian untuk bertanya tentang hal-hal yang selama ini membuatnya ragu-ragu dan bingung mencari jawabnya.
“Pangeran, maukah Paduka menerangkan kepada saya tentang apa artinya bahagia itu?”
Sang Pangeran nampak terkejut dan memandang kepada dara itu dengan sinar mata tajam. Lalu dia tersenyum. “Bahagia? Apakah bahagia itu? Ha-ha, engkau menanyakan sesuatu yang ribuan tahun menjadi bahan penyelidikan kaum cendekiawan dan yang hingga kini hanya ada pendapat-pendapat yang bersimpang-siur dan kadang-kadang berlawanan, Nona.”
Kemudian Pangeran itu menengadah, memandang bulan purnama yang tersenyum di balik tirai sutera putih, mengembangkan kedua lengannya dan bernyanyi lirih.
Kebahagiaan....
semua manusia merindukan!
siapakah gerangan Anda?
di mana gerangan Anda?
Seakan tampak dalam cahaya bulan
tersenyum di antara kelopak mawar
rupawan menyelinap di antara bayang-bayang
beterbangan di antara hembusan angin.
Kuraih dan kupeluk mesra hanya untuk sadar
kecewa bahwa semua itu
hanya bayangan hampa
dan sama sekali bukan Anda!
Seperti nampak Anda menggapai
menunggang cahaya matahari pagi
seperti nampak Anda mengintai
di balik senyum kekasih jelita
di antara gelak tawa sahabat
di dalam sorak-sorai kanak-kanak!
Sunyi sekali setelah Sang Pangeran menyanyikan sajak itu. Sunyi di luar, dan sunyi di dalam batin Ci Sian. Nyanyian Pangeran itu terasa menyentuh hatinya, dan ia melihat kebenaran di dalamnya. Memang demikianlah. Semua manusia, juga ia sendiri, rindu akan kebahagiaan, tetapi, tidak pernah mau menyelidiki, apakah gerangan kebahagiaan itu? Dan di manakah adanya? Manusia mencari-cari kebahagiaan, melalui segala hal yang disangkanya menyembunyikan bahagia. Mencari ke dalam harta, kedudukan dan segala hal. Namun, tidak pernah ada yang menemukan bahagia pada akhir pencarian itu!
“Ah, Pangeran. Sajak Paduka memang indah, akan tetapi itu belum dapat menjawab pertanyaan saya. Itu hanya menggambarkan keadaan kita yang mencari-cari tanpa tahu siapa dan di mana yang kita cari,” kata Ci Sian.
“Nah, itulah jawabannya, Nona. Tidak mengertikah, Nona? Itulah justru jawabannya yang tepat! Kita mencari-cari sesuatu tanpa kita ketahui siapa dan di mana yang kita cari-cari itu! Mungkinkah ini? Siapakah yang pernah mengenal bahagia? Yang kita kenal bukan kebahagiaan melainkan kesenangan. Dan kesenangan itu hanya selewat saja, seperti angin lalu. Kita tidak mengenal kebahagiaan, bagaimana mungkin kita hendak mencarinya?”
“Habis, bagaimana orang yang berbahagia itu, Pangeran?”
“Berbahagialah orang yang sudah tidak mencari kebahagiaan lagi! Berbahagialah orang yang sudah tidak membutuhkan kebahagiaan lagi!”
“Mana mungkin? Karena hidup ini banyak sengsara maka kita rindu dan mencari kebahagiaan!”
“Nona Bu, dalam keadaan batin sengsara, mana mungkin berbahagia? Dalam keadaan tidak berbahagia, maka kita butuh kebahagiaan. Kita mengejar-ngejar bahagia seperti mengejar bayangan sendiri. Mana mungkin memisahkan bayangan dari diri kita? Mana mungkin mengejar dan mencari sesuatu yang tidak kita kenal? Yang penting adalah menyelidiki. MENGAPA batin kita sengara, MENGAPA kita tidak berbahagia! Itulah penyakitnya yang harus disembuhkan! Kalau sudah sembuh, yaitu kalau kita TIDAK sengsara lagi, perlukah kita mencari kebahagiaan lagi? Camkan ini baik-baik, Nona. Kebahagiaan tidak ada karena kita kecewa, karena kita sengsara, karena kita marah, benci, dendam, iri, takut. Kalau semua itu sudah lenyap, nah, barulah kita bisa bicara tentang kebahagiaan. Mengertikah engkau, Nona Bu?”
Ci Sian mengangguk akan tetapi ia belum mengerti! “Jadi, apakah kebahagiaan itu sesungguhnya?”
Sang Pangeran menarik napas panjang, maklum bahwa nona itu belum mengerti. Akan tetapi dia pun tidak mendesak lagi. Tidak mungkin memaksakan pengertian kepada seseorang. “Apakah kebahagiaan itu sesungguhnya? Sayang, saya sendiri pun tidak tahu, Nona Bu.”
“Kalau begitu, harap Paduka terangkan kepada saya, apa yang dimaksudkan dengan cinta itu, Pangeran.”
Pangeran muda itu tiba-tiba tertawa dan wajah Ci Sian berubah merah sekali. Kemudian Sang Pangeran menarik napas panjang. “Memang, suasana malam ini demikian indah dan romantis, maka tidak mengherankan kalau dalam hatimu timbul pertanyaan-pertanyaan tentang kebahagiaan dan cinta kasih. Pertanyaanmu tentang cinta kasih itu menyentuh suatu rahasia yang hampir tiada bedanya dengan kebahagiaan, Nona. Ngomong-ngomong, apakah engkau pernah mengenal apa yang dinamakan cinta kasih itu, Nona?”
“Mana aku tahu, Pangeran? Arti dari kata itu sendiri pun aku belum tahu, lalu bagai mana aku bisa tahu bahwa itu adalah cinta kasih jika sekali waktu aku merasakannya?”
“Itu adalah jawaban yang jujur dari orang yang masih polos batinnya, mengagumkan sekali! Kata cinta kasih telah banyak diartikan orang sehingga merupakan sebuah kata yang sarat dengan arti yang bermacam-macam. Seperti juga dengan kebahagiaan, kalau aku ditanya apa artinya cinta kasih, maka jawabku adalah tidak tahu. Akan tetapi, mengenai arti seperti yang dianggap orang melalui bermacam pendapat, tentu saja aku mengetahuinya. Nah, sekarang dengarkanlah nyanyian ini, Nona Bu.” Seperti juga tadi, Sang Pangeran memandang ke arah bulan purnama dan mulailah dia bernyanyi.
Cinta,
kata keramat penuh rahasia
bahan renungan para seniman dan pujangga.
Antara anak dan orang tua ada kebaktian
antara warga dan negara ada kesetiaan
antara pria dan wanita ada kemesraan
antara manusia dan Tuhannya ada penyembahan.
Itukah cinta?
Namun,
semua itu mengandung keinginan
menguasai, memiliki, menikmati,
keselamatan, kebahagiaan, kepuasan,
sekali gagal yang diinginkan
timbullah kedurhakaan, pengkhianatan, kebencian dan kemuraman!
Itukah cinta?
Seperti juga tadi, hening sekali setelah Sang Pangeran menghentikan nyanyiannya. Suara belalang dan jengkerik tidak mengganggu keheningan karena suara itu tercakup ke dalam keheningan yang menyeluruh itu. Keheningan ini timbul dalam batin yang tidak menemukan jawaban, karena tidak dapat memikirkan apa-apa lagi, maka untuk beberapa saat lamanya batin menjadi kosong dan hening.
“Wah, jika begitu, apakah yang dimaksudkan dengan cinta kasih, Pangeran?” Akhirnya Ci Sian bertanya.
Akan tetapi Sang Pangeran hanya menggeleng kepala saja sambil tersenyum. “Aku pun tidak tahu, Nona Bu.”
Nyanyian Pangeran Kian Liong itu memberi bahan kepada kita untuk merenungkan dan menyelidiki apakah yang dimaksudkan dengan cinta kasih. Kita sudah terlalu mengobral arti pada kata itu, akan tetapi benarkah apa yang kita artikan terhadap cinta kasih itu?
Begitu mudahnya mulut kita mengobral kata cinta. Sebagai anak kita mengaku cinta kepada orang tua. Sebagai orang tua kita mengaku cinta kepada anak. Cintakah kita kepada orang tua kita kalau kita hanya ingin disenangkan saja, dituruti kehendak kita saja oleh orang tua, kemudian sekali waktu orang tua tidak bisa atau tidak mau menuruti, kita lalu berbalik marah dan membencinya? Cintakah kita kepada anak kita kalau kita ingin anak menyenangkan hati kita saja, menurut dan patuh, mendatangkan kebanggaan, kemudian jika sekali waktu si anak tidak menurut dan tak menyenangkan hati kita, lalu kita marah dan membencinya? Begitukah yang dinamakan cinta?
Sebagai seorang suami dan isteri kita mengaku dengan mulut saling mencinta. Akan tetapi, suami dan isteri ingin saling menguasai, saling mengikat, dan saling dilayani, disenangkan, yang kita sebut cinta antara suami isteri sungguh mengandung syarat dan ikatan sekotak banyaknya. Sekali saja syarat dan ikatan itu dilanggar, sekali saja suami atau isteri tidak mau melayani, tidak menyenangkan, mengerling dan senyum kepada orang lain, maka yang kita sebut-sebut cinta dengan mulut itu pun akan berubah bentuk menjadi cemburu dan marah dan kebencian! Begitukah yang dinamakan cinta kasih?
Kita dengan mudah saja, dengan mulut mau pun dengan pikiran, mengatakan dan mengaku bahwa kita mencinta tanah air, bahwa kita mencinta sahabat, bahwa kita mencinta Tuhan! Akan tetapi, kalau kita mau jujur, mau membuka mata dan menjenguk isi hati kita, akan nampaklah dengan jelas bahwa cinta kita itu semua berpamrih! Kita mencinta karena kita INGIN MEMPEROLEH SESUATU, kita mencinta karena kita ingin senang, baik kesenangan itu kita dapat dari tanah air, dari sahabat, ataukah dari Tuhan. Dan kalau keinginan itu tidak kita peroleh, maka cinta kita itu pun lenyap tak berbekas lagi. Begitukah yang dinamakan cinta?”
Kalau kita mau menyelidiki lalu mengerti benar, bukan mengerti setelah membaca ini melainkan mengerti setelah menyelidiki sendiri, mengerti dengan penuh kewaspadaan bahwa yang begitu itu semua bukanlah cinta, maka kita harus berani menanggalkan semua cinta palsu itu! Setelah kita bersih dari pada semua yang bukan cinta itu, nah, barulah kita boleh bertindak lebih jauh lagi, yaitu menyelidiki apakah sesungguhnya cinta kasih itu!
Bumi terbentang luas. Betapa indahnya! Sinar matahari di pagi hari, kabut dan embun, kesegaran, tanaman-tanaman, pohon-pohon, bunga-bunga, buah-buah, gunung dan jurang, sawah ladang, lembah, sungai, awan, matahari tenggelam, bintang selangit, bulan cemerlang.... takkan ada habisnya kalau disebut satu demi satu. Semua begitu indah...., keindahan untuk siapa saja yang mau menerima, bukan pemberian yang minta imbalan.... tanpa pamrih.... sinar matahari yang menghidupkan, untuk siapa saja dari jembel sampai raja.... keharuman bunga yang semerbak untuk siapa saja yang mau menciumnya, dari si bodoh sampai si cendekiawan, air, hawa udara.... semua.... semua ini.... ah, tidak dapatkah kita membuka mata dengan waspada? Begitu terangnya sinar cinta kasih....! Bukan dari siapa untuk siapa. Bukan dari aku untuk kamu, bukan dari dia untuk dia. Di mana ada ‘aku’, cinta kasih pun tiada!
Pada keesokan harinya, setelah mengalami malam bulan purnama indah penuh rahasia itu, setelah bersama Pangeran Mahkota menelusuri ikan-ikan hidup dan menyentuh dengan hati-hati tentang kebahagiaan dan cinta kasih, Ci Sian dan Pangeran Kian Liong melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja.
Ketika mereka menuruni sebuah bukit di pagi hari, menghadap matahari yang muncul karena jalan itu menuju ke timur sehingga nampak pemandangan yang amat indah, bukan hanya di bumi melainkan juga di langit yang penuh dengan warna jingga, biru, kuning dan bermacam warna lagi, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan munculnya tiga orang.
Ci Sian mengerutkan alisnya dan cepat mengeluarkan sulingnya. Jantungnya berdebar tegang karena ia mengenal tiga orang itu yang bukan lain adalah Toa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok! Tiga orang yang terlihai dari Im-kan Ngo-ok, dan dari sinar mata mereka, tiga orang ini mengandung dendam kebencian yang hebat kepada Ci Sian karena dara inilah yang telah membunuh Su-ok dan Ngo-ok bersama pemuda Kun-lun-pai itu.
Biar pun tiga orang datuk sesat itu telah melarikan diri, akan tetapi dendam membuat mereka tak jauh meninggalkan Ci Sian dan Sang Pangeran. Setelah mengubur jenazah kedua orang adik mereka dengan hati penuh dendam, diam-diam mereka kemudian membayangi Sang Pangeran. Mereka tidak berani sembarangan turun tangan karena Pangeran dilindungi oleh dara perkasa itu. Akan tetapi mereka menanti saat baik.
Setelah melihat Ci Sian dan Sang Pangeran tiba di tempat sunyi ini, mereka lalu keluar menghadang. Mereka bertiga maklum bahwa dara itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, tetapi mereka tidak takut dan merasa yakin akan dapat mengalahkannya dengan pengeroyokan, dan terutama sekali, Sang Pangeran berada di situ. Maka apa sukarnya bagi mereka untuk menundukkan wanita itu? Tangkap saja Sang Pangeran terlebih dulu, maka akan mudah membuat wanita itu tidak berdaya, pikir mereka.
Tetapi, ketiga manusia iblis itu terlalu memandang rendah kepada Ci Sian. Dara yang masih muda ini memiliki ketahanan hebat dan juga kecerdasan yang mengagumkan. Ia pun maklum bahwa melawan tiga orang datuk itu bukanlah hal yang ringan, apalagi jika di sana terdapat Sang Pangeran yang harus dilindunginya. Maka, cepat dia mengajak Sang Pangeran turun dari atas punggung kuda mereka, lalu tanpa mempedulikan dua ekor kuda itu, Ci Sian sudah menggandeng tangan Sang Pangeran dan mengajaknya lari ke sebuah dinding bukit yang merupakan dinding tinggi.
“Paduka cepat berlindung di balik dinding itu!” kata Ci Sian.
Pangeran Kian Liong makin kagum kepada Ci Sian dan tanpa banyak cakap dia pun menurut. Dia cepat lari ke dinding itu dan Ci Sian lalu berdiri menghadang di depannya, melindungi Pangeran sambil melintangkan suling emasnya di depan dada. Dengan adanya dinding bukit itu di belakang Pangeran, ia dapat lebih mudah melindungi Sang Pangeran terhadap serangan dari depan, tidak perlu khawatir kalau-kalau Pangeran itu dilarikan orang dari belakang.
Tiga orang datuk itu kini sudah berdiri di depannya. “Iblis cilik, sekarang tiba saatnya engkau akan mampus di tangan kami dan menebus dosa yang kau lakukan ketika kau membunuh Su-ok dan Ngo-ok,” kata Ji-ok dengan suara mengandung kemarahan.
“Hemm, mereka berdua tewas karena kejahatan mereka, dan agaknya kalian bertiga pun tak lama lagi akan menyusul mereka. Iblis-iblis tua macam kalian ini kalau tidak cepat disingkirkan ke neraka, di dunia hanya akan mendatangkan mala petaka bagi manusia lain saja!” kata Ci Sian sambil menggerakkan sulingnya.
Ia sengaja mengerahkan khikang-nya dan suling itu mengeluarkan suara melengking seperti ditiup saja. Pada saat itu, tingkat khikang Ci Sian sudah mencapai tempat tinggi sekali karena ia memperoleh latihan Swat-im Sinkang dan Hwi-yang Sinkang dari Pendekar Siluman Kecil. Maka, biar pun sesungguhnya ia belum mencapai tingkat untuk dapat membunyikan sulingnya tanpa ditiup seperti yang dapat dilakukan suheng-nya, Kam Hong, ketika bersama suheng-nya mempelajari Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas), namun berkat latihan tenaga sinkang yang luar biasa dari Pulau Es, ia dapat memperoleh kemajuan sedemikian pesatnya sehingga kini ia mampu juga melakukan hal luar biasa itu.
Tiga orang datuk itu kagum bukan main. Mereka tahu bahwa untuk bisa menggerakkan suling sampai mengeluarkan suara seperti ditiup, dengan nada naik turun, sungguh bukan hal mudah. Tanpa khikang dan sinkang tingkat tinggi jangan harap akan dapat melakukan hal itu. Toa-ok Su Lo Ti sekali ini tidak mau kepalang tanggung. Mereka bertiga harus mampu merobohkan gadis ini kemudian merampas Putera Mahkota untuk menebus kekalahan-kekalahan mereka yang berturut-turut terhadap para pendekar sakti.
“Ji-moi dan kau Sam-te, kalian tahan gadis ini dan aku akan menangkap Pangeran!” kata orang pertama dari Im-kan Ngo-ok.
Ucapan itu saja sudah meyakinkan hati Ci Sian bahwa munculnya tiga orang datuk sesat ini bukan semata-mata untuk membalas kematian Su-ok dan Ngo-ok, melainkan juga untuk menangkap Sang Pangeran.
Mungkin ini merupakan tujuan utama mereka dan ia pun merasa agak lapang dadanya. Betapa pun juga, kalau tiga orang datuk sesat ini ingin menangkap Sang Pangeran, hal itu berarti bahwa Sang Pangeran tak akan dibunuh, tetapi ditangkap untuk kepentingan lain yang tentu saja akan menguntungkan tiga orang datuk sesat itu.
Hal ini menguntungkan dirinya, karena kalau tiga orang itu berusaha membunuh Sang Pangeran, tentu saja amat sukar baginya untuk melindunginya. Serangan jarak jauh saja tentu akan mampu membinasakan Pangeran itu. Akan tetapi ia membentak sambil memutar sulingnya lebih keras lagi sehingga suara lengkingan nyaring terdengar makin meninggi.
“Hemm, maut sudah menanti kalian, masih banyak lagak!” Dara itu menerjang ke depan dan langsung ia menyerang Toa-ok.
Sulingnya berubah menjadi gulungan sinar emas yang mengeluarkan bunyi melengking-lengking nyaring. Toa-ok tentu saja maklum akan kedahsyatan serangan ini, maka dia pun cepat mengelak. Namun, sebelum dia sempat membalas, atau sempat menjauhkan diri untuk menangkap Sang Pangeran, dara itu sudah memburu dan mendesaknya terus sehingga tubuh kakek ini telah terkurung oleh gulungan sinar emas!
Memang Ci Sian seorang dara yang cerdas. Ia tahu bahwa kalau ia sudah terkurung oleh Ji-ok dan Sam-ok, akan sukarlah baginya untuk menghalangi datuk pertama ini yang hendak menangkap Pangeran. Karena itu, begitu menyerang ia sudah mendesak Toa-ok!
Melihat betapa Toa-ok sudah terkurung gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara yang melengking-lengking itu, Ji-ok dan Sam-ok segera menerjang maju dan mengeroyok. Akan tetapi Ci Sian tidak menjadi gentar. Sinar sulingnya makin panjang dan tebal, membuat gulungan besar yang menyambar-nyambar dan seolah-olah membelit tiga orang lawannya. Akan tetapi tetap saja yang menjadi sasaran utama serangan sulingnya adalah Toa-ok.
Siasat Ci Sian ini memang berhasil baik. Toa-ok menjadi bingung karena dia sama sekali tidak mampu keluar dari kurungan sinar emas itu, betapa pun dicobanya. Selalu jalan keluarnya tertutup oleh serangan yang amat hebat dan biar pun Toa-ok telah memiliki sinkang amat kuat yang dapat membuat tubuhnya kebal, namun menghadapi serangan suling ini dia sama sekali tidak berani mengandalkan kekebalannya. Dia telah cukup mengenal keampuhan suling itu dalam pertempuran pertama menghadapi dara yang lihai ini. Sedangkan Ji-ok dan Sam-ok yang telah diberi tugas untuk mengeroyok Ci Sian, kini mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk mengeroyok dara itu tanpa sedikit pun peduli kepada Sang Pangeran. Dengan demikian, untuk sementara waktu, Ci Sian tidak perlu khawatir bahwa Pangeran akan dilarikan musuh.
Betapa pun juga, tiga orang lawan yang mengeroyoknya adalah datuk-datuk kaum sesat yang berilmu tinggi sekali. Mereka bertiga itu masing-masing memiliki ilmu yang luar biasa. Toa-ok yang merupakan tokoh pertama itu memiliki kedua lengan yang selain penuh dengan tenaga sinkang amat kuatnya, juga dapat mulur memanjang sampai dua meter, dan gerak-geriknya juga amat aneh. Bahkan kedua lengan kakek yang seperti lengan gorila penuh bulu ini berani menangkis melawan suling emas tanpa terluka. Kalau saja senjata di tangan Ci Sian itu tidak sehebat itu, mengeluarkan sinar gemilang dan mengandung getaran suara dahsyat, agaknya akan sukarlah bagi dara itu untuk melindungi dirinya dari ancaman kedua tangan Toa-ok.
Ada pun Ji-ok, wanita bertopeng tengkorak itu, memlliki Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang). Jari jarinya yang berkuku panjang itu mengeluarkan hawa pukulan yang tajam dan berhawa dingin. Jangankan sampai jari tangan itu mengenai kulit lawan, baru hawa pukulannya saja sudah dapat melukai tubuh lawan. Untung bahwa Ci Sian telah digembleng oleh Suma Kian Bu, mempelajari sinkang dari Pulau Es sehingga sama sekali ia tidak repot menghadapi Kiam-ci yang berhawa dingin itu.
Sedangkan orang ke tiga yang mengeroyoknya, Sam-ok biar pun tingkat kepandaiannya tidak melebihi Ji-ok, namun kakek ini amat licik, cerdik dan banyak akal. Juga ilmu silatnya Thian-te Hong-i (Angin Hujan Bumi Langit) amat luar biasa, membuat tubuhnya seperti gasing berputaran dan dari putaran itu kadang-kadang mencuat pukulan-pukulan maut.
Ci Sian harus menghadapi serangan tiga orang yang sifatnya berbeda-beda ini, namun kesemuanya amat berbahaya. Memang harus diakui bahwa dara itu telah mewarisi suatu ilmu yang dalam jenisnya tiada keduanya di dunia. Ilmu Pedang Suling Emas asli yang mengandung semua segi kekuatan ilmu silat yang dahsyat, juga dibantu dengan tenaga khikang yang dilatihnya bersama Kam Hong. Semua ini ditambah lagi dengan ilmu sinkang yang diterimanya dari Suma Kian Bu membuat ia menjadi seorang ahli silat yang sukar dicari tandingannya.
Akan tetapi, betapa pun juga, Ci Sian hanyalah seorang dara yang baru berusia delapan belas tahun lebih, masih muda remaja dan pengalamannya dalam hal mengadu ilmu silat, dibandingkan dengan tiga orang lawannya, tentu saja kalah jauh sekali. Maka, ketika tiga orang pengeroyoknya itu mulai memperlebar jarak, Ci Sian menjadi repot sekali. Ia harus pontang-panting ke sana-sini, melalui jarak yang agak lebar itu, untuk mencegah mereka agar jangan sampai salah seorang di antara mereka menggunakan kesempatan untuk menculik Sang Pangeran.
Dan karena itu, mulailah Ci Sian merasa kewalahan. Ia tak mungkin dapat mengerahkan semua tenaga dan kepandaian untuk dipusatkan menyerang kepada seorang lawan saja karena dua orang lawan lainnya selalu akan mencegahnya dan terpaksa ia harus membagi-bagi serangannya itu. Hal ini tentu saja membuat serangannya menjadi kurang kuat dan tidak cukup kuat untuk merobohkan lawan. Kalau hanya bertanding satu lawan satu, ia merasa yakin akan dapat merobohkan lawan dalam waktu yang tidak lama. Sayang keadaan tidak menguntungkan dan ia mulai terhimpit.
Tiba-tiba terdengar suara lengkingan tinggi dari jauh. Suara itu makin lama makin keras dan nadanya naik turun seperti mengimbangi lengkingan suara yang keluar dari suling di tangan Ci Sian.
“Suheng....” Seruan ini hanya keluar dari hati Ci Sian, akan tetapi hampir saja ia celaka.
Mendengar lengking suara suling itu, hatinya dipenuhi perasaan yang mengguncangkan batinnya. Ada rasa gembira, girang, terharu bercampur-aduk menjadi satu, membuat gerakan sulingnya menjadi kacau dan ketika itu, pukulan Kiam-ci yang dilakukan Ji-ok menuju ke arah lehernya! Untunglah pada detik terakhir Ci Sian dapat mencurahkan perhatiannya lagi, menjadi waspada dan cepat ia miringkan tubuhnya.
“Bretttt!” Ujung leher bajunya terobek.
Ci Sian terkejut dan maklum bahwa menghadapi pengeroyokan tiga orang ini ia sama sekali tidak boleh lengah, maka ia pun kembali mencurahkan perhatiannya. Sementara itu, suara melengking dari jauh itu makin lama semakin nyaring dan akhirnya tiga orang pengeroyok Ci Sian itu menjadi kacau gerakan-gerakannya. Kiranya suara melengking-lengking itu merupakan suara yang nengandung daya serang luar biasa terhadap batin mereka! Tiga orang itu merasa seolah-olah telinga mereka ditusuk-tusuk oleh suara itu, jantung mereka ditarik-tarik dan sukar sekali bagi mereka untuk dapat mengumpulkan perhatian.
Ci Sian maklum siapa yang telah membantunya. Suara suling itu tidak meragukan lagi. Maka timbullah semangatnya dan membayangkan betapa ia kini dapat bertemu dengan suheng-nya, mendatangkan kegembiraan demikian besarnya bercampur keharuan yang mendalam sehingga ketika dia menggerakkan sulingnya dengan kekuatan yang lebih besar karena timbul semangatnya, kedua matanya basah dan di atas kedua pipinya nampak air mata, akan tetapi gerakan sulingnya semakin hebat sehingga berturut-turut ia dapat menotok pundak Sam-ok dan paha Ji-ok!
Dua orang datuk itu terkejut dan juga terheran-heran bagaimana kini dara ini bertambah lihai. Juga mereka bingung oleh suara melengking itu yang tanpa mereka sadari telah banyak mengurangi kelihaian gerakan mereka yang menjadi kacau.
Toa-ok maklum bahwa dara itu dibantu oleh orang pandai, apalagi kakek ini melihat betapa ada bayangan beberapa orang berkelebatan disusul dengan lenyapnya Sang Pangeran, maka dia pun lalu mengeluarkan suara bersuit nyaring dan tiga orang datuk itu kemudian melompat jauh dan melarikan diri. Ci Sian tidak mengejar, bahkan tidak mempedulikan mereka lagi. Ia menyimpan sulingnya, lalu menoleh ke kiri.
“Suheng....!” serunya memanggil karena tadi datangnya suara suling melengking itu dari kiri. Dan muncullah Kam Hong!
Mereka berdiri saling berhadapan, dalam jarak kurang lebih sepuluh meter. Sejenak mereka hanya saling pandang saja dan air mata menetes turun membasahi pipi Ci Sian semakin deras.
“Sumoi....!”
“Suheng....!”
Ci Sian lari dan Kam Hong juga melangkah maju, kedua lengan mereka berkembang.
“Suheng.... ahhh, Suheng....!”
Mereka saling tubruk dan saling peluk. Ci Sian menangis terisak-isak ketika didekap oleh kedua lengan itu. Terasa benar oleh mereka berdua betapa amat rindu hati mereka terhadap diri masing-masing. Terasa benar oleh mereka betapa pertemuan ini seperti tetesan air jernih kepada tanah kering merekah yang kehausan akan cinta kasih, yang penuh kerinduan. Terasa benar oleh mereka bahwa mereka itu sesungguhnya saling mencinta. Terasa dalam dekapan itu.
“Suheng...., Suheng...., kenapa kau tinggalkan aku begini lama....?” Ci Sian mengeluh dengan suara diselingi isak tangisnya.
“Sumoi, kau maafkan aku....”
Keduanya tak bicara lagi. Apa perlunya bicara? Getaran yang keluar dari seluruh tubuh mereka sudah mengucapkan beribu-ribu kata yang dapat dimengerti dengan jelas oleh masing-masing. Mereka saling mencinta. Mereka merasa sengsara jika saling berpisah. Mereka berbahagia kalau saling berdekatan. Cukuplah ini.
“Suheng...., berjanjilah, engkau takkan meninggalkan aku lagi.... selamanya....,” Ci Sian berbisik, merasa betapa tangan suheng-nya mengelus rambut kepalanya sehingga ia memperketat dekapannya, seolah-olah ia ingin menyatukan dirinya dengan suheng-nya agar tidak sampai saling terpisah lagi.
“Tidak, Sumoi, tidak lagi....”
Ci Sian mengangkat muka. Mereka saling berpandangan, penuh rindu. Kasih sayang terbayang jelas di mata mereka. Melihat muka yang basah itu, ingin sekali Kam Hong menunduk untuk mencium, untuk menghisap air mata yang membasahi muka itu. Akan tetapi pendekar ini menahan hasrat hatinya dan hanya menggunakan jari-jari tangan untuk mengusap air mata itu, jari-jari tangannya gemetar dan hatinya terharu sekali.
Sudah lama ia sengaja menjauhkan diri dari sumoi-nya ini, karena kesadarannya tidak mau menerima kalau dia telah jatuh cinta kepada sumoi-nya yang sepatutnya menjadi keponakannya ini. Akan tetapi, sekarang dia tahu benar bahwa dia sungguh sangat mencinta dara ini! Padahal, Ci Sian baru berusia delapan belas tahun, dan dia.... sudah tiga puluh satu tahun! Ahhh, ini tidak boleh terjadi, pikirnya dan dengan halus dia lalu melepaskan rangkulannya.
“Sumoi, bagaimanakah engkau bisa berada di sini dan dikeroyok oleh tiga orang Im-kan Ngo-ok itu?”
“Karena mereka itu hendak membalas dendam atas kematian Su-ok dan Ngo-ok.”
“Ahhh, engkau telah membunuh dua orang manusia iblis itu?”
“Ya, bersama dengan seorang pendekar dari Kun-lun-pai. Dan selain itu, mereka juga hendak menangkap Pangeran.... ehhh, mana dia....?” Ci Sian baru sekarang teringat kepada Pangeran itu dan menengok, melepaskan dekapannya dan kelihatan bingung melihat betapa tempat itu sunyi dan tidak nampak Sang Pangeran di situ.
“Siapa yang kau cari?”
“Pangeran Mahkota! Dia tadi di sana, di dekat dinding gunung itu.... ah, ke mana dia?” Ci Sian lalu berteriak memanggil Pangeran Kian Liong. Akan tetapi tidak terdengar jawaban.
“Ketika aku tiba di sini sudah tidak ada Pangeran di situ, Sumoi.”
“Ahhh, celaka…. celaka! Tentu ada yang telah melarikannya! Begitu banyak orang sakti memperebutkan Sang Pangeran. Kita harus mengejar si penculik!” Ci Sian berloncatan ke atas tebing dan memandang ke kanan kiri, namun sunyi saja tidak nampak bayangan Pangeran atau penculiknya.
“Sumoi, orang yang sudah mampu melarikan Pangeran dari depanmu dan depan para datuk Im-kan Ngo-ok tanpa kau ketahui dan juga tanpa mereka ketahui, tentulah bukan orang sembarangan dan sukar untuk dikejar begitu saja tanpa kita ketahui ke mana larinya. Sekarang lebih baik kau ceritakan dahulu semuanya, Sumoi. Nanti kita akan mencarinya bersama.”
Ci Sian yang masih terlalu girang oleh pertemuan ini segera melupakan Sang Pangeran dan mereka lalu duduk di atas rumput yang tebal di bawah pohon yang rindang. Dan mulailah Ci Sian menceritakan semua pengalamannya semenjak Kam Hong pergi meninggalkannya. Tidak ada yang dilewatinya dan memang pengalamannya aneh-aneh dan amat menarik sehingga Kam Hong mendengarkan dengan kagum dan tertarik sekali. Tentang pertemuannya dengan Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu dan isterinya dan pengalaman mereka bersama yang aneh-aneh ketika berlomba kuda dan ketika menghadapi ular hijau raksasa.
Mendengar penuturan tentang Suma Kian Bu, Kam Hong lalu menarik napas panjang. “Semenjak dahulu, aku kagum sekali kepada Suma-taihiap dan beruntung engkau dapat bertemu dengannya, bahkan kemudian menerima latihan sinkang dari Pulau Es. Engkau sungguh beruntung, Sumoi. Pantas tadi kulihat engkau demikian hebat dan memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu Kiam-sut, terutama sekali penggunaan sinkang-nya. Tidak tahunya engkau telah mewarisi ilmu sinkang dari Pulau Es. Hebat, hebat.... dan aku kagum sekali.”
Ci Sian melanjutkan ceritanya. Tentang pengalamannya di Kun-lun-pai, tentang jago muda Kun-lun-pai Cia Han Beng yang berjiwa patriot. Kemudian betapa ia bertemu dan melindungi Pangeran Kian Liong sampai di tempat itu, juga tentang pembakaran kuil Siauw-lim-pai dan lain-lain.
Kam Hong menarik napas panjang. “Aku girang sekali mendengar betapa engkau telah memperoleh banyak pengalaman berharga, Sumoi. Aku pun sudah mendengar tentang pembakaran Kuil Siaw-lim-pai itu, sungguh hal yang amat patut disesalkan.”
“Memang tindakan kaisar itu amat sewenang-wenang, akan tetapi Pangeran Mahkota lain lagi dengan Kaisar, Suheng. Dia benar-benar seorang pangeran yang bijaksana sekali.”
Lalu Ci Sian menceritakan tentang tindakan Pangeran yang menentang Kaisar, bahkan sudah membebaskan delapan orang pendekar Siauw-lim-pai yang telah terkurung dan terancam maut.
Mendengar kisah ini, Kam Hong mengangguk-angguk dan memandang pada sumoi-nya dengan sinar mata penuh kagum. Sumoi-nya itu kini bukan seperti sebelum mereka berpisah. Dia teringat betapa sumoi-nya ditinggalkannya sebagai seorang dara yang lebih pantas disebut seorang anak-anak, masih amat kekanak-kanakan. Akan tetapi sekarang, yang duduk di depannya adalah seorang wanita dewasa, sudah matang, dan dari sepasang mata yang jeli dan indah itu mengandung sinar yang cerdas dan tabah, membuatnya terpesona dan memandang penuh kagum.
Melihat keadaan suheng-nya ini, hati Ci Sian berdebar dan mukanya berubah merah, naluri kewanitaannya merasa betapa mata suheng-nya itu memandang dengan penuh kekaguman.
“Aih, Suheng, apa sih yang kau pandang?” tanyanya manja, ingin mengembalikan sifat kekanak-kanakannya yang selalu manja kepada Kam Hong untuk menutupi rasa malunya.
Dan Kam Hong pun tersadar. Dia menunduk, mukanya sama merahnya dengan wajah Ci Sian, dan dia menarik napas berulang kali, lalu mengangkat mukanya memandang. Dengan jujur dia berkata, “Aku sungguh terpesona olehmu, Sumoi. Sungguh kagum, betapa dalam waktu tidak terlalu lama saja engkau kini telah menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, yang bersemangat dan berani membela kebenaran, dan yang telah dewasa, telah masak sebagai seorang wanita yang.... ehhh, cantiknya luar biasa!”
Dapat dibayangkan betapa jantung Ci Sian terasa seperti melompat-lompat saking gembiranya, akan tetapi juga ia tenggelam dalam perasaan jengah, malu. Senyumnya dikulum dan pandang matanya hanya melalui kerling.
“Ihhh, Suheng.... jangan memperolokku....!”
“Tidak, Sumoi, sungguh aku kagum kepadamu dan aku girang sekali. Tidak percuma engkau juga ikut mewarisi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut.”
“Sudahlah, Suheng, jangan terlalu memuji. Semua pengalamanku telah kuceritakan, sekarang aku ingin mendengar ceritamu semenjak kita saling berpisah. Kemana saja engkau pergi, Suheng, dan kenapa engkau meninggalkan aku sendirian?”
“Aku merantau dan menjaga guruku, Sai-cu Kai-ong yang sakit sampai beliau meninggal di puncak Bukit Nelayan.”
Lalu dia bercerita betapa ketika dia mengunjungi kakek yang hidup sendirian itu, Sai-cu Kai-ong menderita sakit. Tentu saja penyakitnya disebabkan karena kekecewaannya melihat cucunya, Yu Hwi telah menikah dengan orang lain, bukan dengan keturunan Kam. Kekecewaannya membuat kakek ini bosan hidup dan ketika dia sakit, dia tidak mau minum obat. Padahal, dia adalah seorang ahli pengobatan yang lihai. Maka, ketika Kam Hong menjaganya sampai berbulan-bulan, kakek itu kemudian menyerahkan kitab ilmu pengobatan peninggalan dari mendiang Yok-Sian-jin (Manusia Dewa Obat) kepada pendekar ini. Sampai tiba saat dia meninggal dunia.
Kam Hong tidak pernah meninggalkannya dan dengan bantuan penduduk dusun di pegunungan itu, Kam Hong lalu mengubur jenazah kakek yang menjadi gurunya yang pertama kali itu. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa Yu Hwi, cucu tunggal kakek ini, tidak pernah datang sehingga tidak tahu akan sakit dan matinya kakek itu.
“Setelah guruku meninggal, baru aku turun gunung dan kebetulan sekali aku berjumpa dengan Yu Hwi dan suaminya.”
Lalu ia menceritakan tentang peristiwa lucu itu, di mana ia mendengar bahwa Pangeran dijadikan perebutan dan dia ingin menyelamatkan Pangeran, tanpa mengetahui bahwa Pangeran yang diselamatkannya itu adalah Yu Hwi yang menyamar. Betapa kemudian Yu Hwi marah-marah, dan suaminya malah sempat digoda cemburu, tetapi akhirnya mereka berdua itu insyaf dan minta maaf.
Ci Sian tertawa geli mendengar penuturan itu. “Dan engkau ceritakan tentang kematian kakeknya, Suheng?”
Kam Hong menggeleng kepala. “Tidak, aku tidak menceritakan hal itu. Aku tidak ingin menegurnya dan biarlah kelak ia akan mengerti dan menyesali kelalaiannya sendiri. Apalagi ketika itu aku mendengar bahwa Sang Pangeran telah lenyap lagi, maka aku meninggalkan mereka untuk mencari Pangeran. Dan hari ini, tanpa kusangka-sangka, aku bertemu dengan engkau di sini. Kalau tidak mendengar suara sulingmu, belum tentu kita dapat saling bertemu, Sumoi.”
“Aku girang sekali kita dapat bertemu di sini, Suheng. Aku sangat rindu padamu.”
“Aku pun girang dapat bertemu denganmu, Sumoi.”
“Juga rindu....?”
“Juga rindu....“
Girang sekali rasa hati Ci Sian, dan kembali jantungnya berdebar aneh, mukanya terasa panas.
“Akan tetapi, Suheng.... kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi.”
“Pertanyaan yang mana?”
“Dulu itu.... setelah kita berhasil membasmi Hek-i-mo...., kenapa Suheng lalu tiba-tiba saja meninggalkan aku sendiri?” Sepasang mata yang jeli itu memandang tajam penuh selidik, juga penuh dengan teguran dan penyesalan.
Mendengar pertanyaan ini, berubah wajah Kam Hong dan dia merasa jantungnya amat terguncang. Dia bangkit berdiri, lalu berjalan perlahan agak menjauh, berdiri termangu-mangu membelakangi batu di mana Ci Sian duduk memandangnya.
Dara ini mengerutkan alisnya, penuh kekhawatiran, lalu ia pun turun dari atas batu, menghampiri suheng-nya itu dan bertanya dengan suara lirih, akan tetapi dengan hati penuh ingin tahu, “Suheng, mengapakah?”
Ketika Kam Hong membalik dan memandang sumoi-nya, wajahnya berubah agak pucat sehingga mengejutkan hati Ci Sian. Kam Hong lalu memegang kedua tangan sumoi-nya itu dan sejenak mereka berdiri berhadapan, dengan kedua tangan saling pegang, kedua mata saling pandang, tanpa berkata-kata. Dan akhirnya Kam Hong berkata, suaranya mengandung getaran aneh.
“Sumoi, lihat baik-baik, pria macam apakah suheng-mu ini?”
Dan Ci Sian memandang. Seorang pria yang gagah perkasa dan ganteng menurut penglihatannya, tenang dan berwibawa, dengan sepasang mata yang mencorong tajam namun mengandung kelembutan.
“Suheng-ku seorang pendekar yang gagah perkasa! Kenapa?”
“Ingatkah engkau bahwa dulu, sebelum engkau menjadi sumoi-ku, engkau menyebutku paman?”
“Habis, mengapa?”
“Tahukah engkau berapa usiamu sekarang, Sumoi?”
“Usiaku?” Ci Sian tersenyum, merasa bahwa suheng-nya ini menanyakan hal yang aneh-aneh saja. “Kalau tidak salah, tahun ini usiaku hampir sembilan belas tahun. Mengapa?”
“Dan aku sudah hampir tiga puluh dua tahun!” kata Kam Hong, suaranya mengandung kesedihan.
“Habis, mengapa?”
“Usia kita selisih tiga belas tahun!”
“Lalu, mengapa?”
Kam Hong meremas-remas jari tangan itu tanpa disadarinya karena hatinya terguncang, “Sumoi, Sumoi.... tidak sadarkah engkau bahwa aku adalah seorang pria yang sudah tua?”
Dan Ci Sian tertawa, tertawa geli sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya masih dipegang suheng-nya. “Wah, dengarlah ini, kakek tua renta mengeluh tentang usianya! Aduh kasihan....!”
“Harap jangan memperolokku, Sumoi.”
“Siapa mengolokmu? Engkau sendiri yang aneh-aneh, Suheng. Siapa bilang engkau sudah tua? Aku sama sekali tidak melihat engkau sebagai seorang pria yang tua.”
“Dan engkau baru sembilan belas tahun, masih anak-anak!”
“Suheng!” Ci Sian kini menarik semua tangannya dan memandang dengan alis berkerut. “Sekarang engkau yang memperolokku! Aku seorang kanak-kanak? Siapa bilang aku masih kanak-kanak? Aku sudah berani melindungi Pangeran dari bahaya, aku berani menghadapi Im-kan Ngo-ok dengan taruhan nyawa, dan engkau mengatakan aku masih kanak-kanak? Suheng, apakah engkau hendak menghinaku?”
“Maaf, Sumoi....!” Kam Hong berkata sambil menundukkan mukanya. “Bukan begitu maksudku, akan tetapi aku hendak mengatakan bahwa melihat perbedaan usia antara kita, aku.... terlalu tua untukmu, dan karena itulah.... tempo hari itu.... melihat bahwa engkau lebih tepat kalau berdekatan dengan Sim Hong Bu, dia sebaya denganmu, maka aku tidak mau menjadi batu penghalang, aku lalu menjauhkan diri....“
Ci Sian memandang bengong. “Tapi.... tapi.... ah, sungguh aku tak mengerti, Suheng.... Mengapa demikian? Mengapa engkau lalu meninggalkan aku dan apa artinya engkau mengatakan bahwa aku lebih tepat berdekatan dengan Sim Hong Bu? Memang dia mencintaku, dia menyatakan bahwa dia jatuh cinta padaku, akan tetapi apakah hal itu mengharuskan aku mendekatkan diri dengannya? Aku tidak mencintanya Suheng. Aku.... lebih senang berada di sampingmu dari pada di samping siapa pun juga di dunia ini! Karena itu, jangan engkau bertega hati, jangan engkau menyiksaku, jangan lagi tinggalkan aku seorang diri.”
“Ci Sian, tidak ada pertemuan yang tidak berakhir dengan perpisahan.”
“Aku tidak ingin berpisah darimu, Suheng. Untuk selamanya!”
“Tidak mungkin, pada suatu waktu engkau harus menikah dan saat itu kita harus saling berpisah.”
“Aku tidak akan menikah dengan siapa pun juga! Dan engkau jangan menikah, Suheng, kita takkan pernah berpisah lagi....“
Kam Hong memegang kedua tangan itu lagi dan sampai lama keduanya hanya berdiri saling pandang, dengan hati yang tergetar aneh. Kam Hong lalu menggandeng tangan itu dan berkata, “Mari kita cari Sang Pangeran, jangan sampai beliau tertimpa mala petaka....”
“Tapi kau berjanji dulu tidak akan meninggalkan aku, Suheng.”
“Aku berjanji.”
“Sumpah?”
“Sumpah!”
Keduanya kemudian melanjutkan perjalanan dengan menunggang dua ekor kuda yang tadi ditunggangi oleh Ci Sian dan Pangeran Mahkota. Suara derap kaki kuda mereka memecahkan kesunyian lereng bukit itu…..
Betapa anehnya asmara! Membuat dua orang manusia, seorang wanita dan seorang pria, merasa saling tertarik dan saling terikat oleh sesuatu yang tidak mereka ketahui apa. Yang terasa hanyalah bahwa mereka itu ingin selalu saling berdekatan, saling bermesraan, dan merasa sengsara kalau berpisah. Cinta asmara antara pria dan wanita adalah sesuatu yang penuh rahasia, dan di dalam cinta asmara ini, mereka berdua hanyalah manusia-manusia, pria dan wanita, yang saling tertarik dan saling mengasihi.
Cinta tidak mengenal perbedaan usia, tidak mengenal perbedaan suku atau kedudukan, tidak mengenal agama atau paham kepercayaan yang berbeda. Pendeknya, cinta itu meniadakan semua perbedaan di antara mereka, yang paling penting bagi cinta adalah manusianya. Sedangkan semua yang lain hanyalah embel-embel saja.
Kebijaksanaanlah yang membuat Kam Hong meragu, melihat perbedaan usia di antara mereka. Namun, mampukah kebijaksanaan menandingi cinta? Cinta membuat segala hal mungkin saja terjadi. Bukan usia, bukan harta, bukan agama yang menentukan, melainkan manusianya. Dan dua insan yang saling mencinta itu pun tertarik oleh manusianya, bukan embel-embelnya karena kalau tertarik oleh embel-embelnya, maka itu bukan cinta namanya! Bukan…..
********************
Komentar
Posting Komentar