SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-26


Setelah perahu berlayar, hati Komandan Souw Kee An merasa lega sekali. Setidaknya, pangeran yang dikawalnya sudah aman sekarang sampai tiba di pulau itu. Akan tetapi, kalau sudah tiba di pulau itu berarti pihak majikan pulau yang bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu dan mengingat akan kelihaian pemilik pulau yang berjuluk Bu-eng-kwi itu, dan betapa tentu akan banyak berkumpul orang-orang pandai, kiranya tidak akan ada yang berani mengganggu pangeran di pulau itu. Sekarang Souw Kee An dapat duduk dengan hati lega, melihat betapa pangeran itu memandang ke arah air laut yang bergelombang dan berkilauan tertimpa sinar matahari yang sudah agar miring ke barat.

Dia melihat ada dua buah perahu nelayan terlalu mendekati perahu besar akan tetapi tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan. Tiba-tiba saja, terdengar teriakan-teriakan di dalam perahu dan perahu besar itu mulai oleng! Kiranya ada air masuk dari dasar perahu yang tiba-tiba saja bocor!

“Ada orang melubangi dasar perahu!” terdengar para anak buah perahu berteriak-teriak dan sibuklah mereka.

Perahu itu terguncang dan oleng, dan pada saat itu, dari perahu-perahu nelayan tadi berloncatanlah ke atas perahu besar itu orang-orang berpakaian ringkas dengan muka bertopeng lagi! Tentu saja Souw Kee An cepat-cepat menyambut dan dengan sebuah tendangan kilat dia menjatuhkan seorang di antara mereka kembali ke bawah perahu, ke dalam air. Akan tetapi anak buah perahu besar itu bukanlah lawan orang-orang yang berloncatan ke atas perahu.

“Hai, apa yang kau lakukan ini? Lepaskan aku!” terdengar Sang Pangeran membentak.

Souw Kee An menoleh dan kaget melihat Sang Pangeran sudah diringkus oleh seorang bertopeng. Dia meloncat untuk menolong, akan tetapi perahunya miring tiba-tiba dan dia pun terguling, untung ke dalam perahu, tidak keluar! Dan pada saat itu, pangeran sudah dibawa loncat oleh penangkapnya tadi ke atas perahu nelayan kecil itu. Lalu terdengar suitan-suitan dan semua orang bertopeng berloncatan ke atas dua perahu nelayan kecil itu yang segera di dayung pergi dan terbawa oleh layar mereka yang berkembang.

“Kejar....!” Souw Kee An meloncat ke arah perahu yang ditumpangi oleh anak buahnya yang tadi hanya menonton dengan bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

Loncatan yang barusan dilakukan oleh Souw Kee An adalah loncatan yang jauh dan berbahaya, oleh karena kurang jauh semeter saja dia tentu akan terjatuh ke air yang bergelombang. Juga anak buah perahu besar sudah cepat dapat menggunakan alat untuk membuang semua air yang masuk ke dalam perahu dan menambal dasar perahu yang bocor, dan ternyata dibor dari bawah perahu itu.

Akan tetapi pada saat itu, para penjahat yang menculik pangeran itu melepaskan anak panah berapi ke arah perahu yang ditumpangi para pengawal yang mengejar dua perahu nelayan, juga layar dari perahu besar menjadi sasaran. Dalam beberapa menit saja layar-layar itu terbakar dan perahunya tentu saja tidak dapat maju cepat kalau hanya dengan kekuatan dayung pada saat air berombak besar seperti itu. Souw Kee An membanting-banting kakinya melihat betapa dua perahu nelayan kecil itu dengan cepatnya berlayar kembali ke daratan, membawa pangeran yang dikawalnya.

“Celaka, hayo lekas kembali ke darat!” bentaknya berkali-kali dan dia sendiri ikut bantu mendayung. Peristiwa ini menggegerkan keadaan di situ. Bahkan perahu-perahu lain menjadi ketakutan, ada yang melanjutkan perjalanannya ke Kim-coa-to, ada pula yang ikut kembali ke darat!

Dua buah perahu nelayan kecil itu dapat berlayar amat cepatnya, sedangkan perahu-perahu lainnya hanya maju perlahan-lahan. Ada dua perahu layar lain yang mencoba mengejar, tetapi mereka ini pun dilumpuhkan oleh anak panah berapi yang mambakar layar mereka.

Setelah tiba di daratan, Souw Kee An yang wajahnya menjadi pucat itu hanya dapat menemukan dua perahu nelayan tadi sedangkan semua penjahat itu lenyap, membawa pangeran bersama mereka. Dapat dibayangkan betapa bingung hati Souw Kee An. Dia cepat mengatur pasukannya untuk mencari-cari Sang Pangeran, bahkan dia kemudian mengutus seorang anak buah untuk minta bantuan pasukan dari kepala daerah di kota Tung-king untuk membantu mencari pangeran yang terculik orang. Betapa pun dia hendak merahasiakan lenyapnya pangeran yang terculik ini, namun karena peristiwa itu disaksikan oleh banyak orang luar, sebentar saja berita itu tersiar ke mana-mana dan tentu saja sekeliling daerah Tung-ting menjadi gempar.

********************

Biar pun dia tidak ditotok dan tidak dibelenggu, dan dilarikan naik kuda, Pangeran Kian Liong tak pernah berteriak minta tolong sama sekali, dan dia pun tidak pernah merasa takut. Ketika dia dilarikan dibawa loncat ke dalam perahu nelayan, dia kagum sekali melihat keringanan tubuh orang yang menangkapnya itu. Dan dia pun amat kagum melihat betapa orang-orang berkedok itu dengan cerdiknya membakar layar-layar dari perahu yang mengejar.

“Kalian sungguh cerdik!” dia malah memuji dan diam-diam dia mencatat ini sebagai akal yang baik sekali dipergunakan dalam perang lautan, sungguh pun anak panah berapi itu tentu saja belum dapat disamakan dengan meriam-meriam kapal-kapal asing dari dunia barat. Dia tertarik sekali menyaksikan kejar-kejaran itu dan dia tidak pernah membantah ketika dia dibawa mendarat, kemudian pelarian itu dilanjutkan dengan naik kuda. Dia bahkan tidak mau dibonceng.

“Biarkan aku menunggang kuda sendiri!” katanya.

Para penculik itu pun tidak membantahnya, memberinya seekor kuda dan pangeran itu meloncat ke atas punggung kuda dan segera ikut pula membalapkan kuda dengan hati gembira. Dia benar-benar mengalami peristiwa yang amat menegangkan hatinya, sebab belum pernah dia merasakan diculik orang! Dan dia sama sekali tidak merasa takut, bahkan dia yakin bahwa dirinya tidak mungkin dibunuh.

Penjahat-penjahat ini tidak akan membunuhnya, karena kalau itu tujuan mereka, tidak mungkin diculik dengan segala susah payah itu. Alangkah akan mudahnya membunuh dia di perahu tadi! Kalau para penjahat itu dengan segala jerih payah menculiknya, hal itu berarti bahwa mereka membutuhkan dirinya hidup-hidup! Inilah yang membuat dia bersikap tenang-tenang saja, bahkan ikut membalapkan kuda seolah-olah membantu atau memperlancar usaha mereka membawanya lari.

Yang melarikan pangeran itu adalah lima orang laki-laki yang kini berani membuka kedok mereka, bahkan mereka semua berganti pakaian, tidak berpakaian hitam lagi melainkan berpakaian sebagai orang-orang biasa. Mereka berwajah biasa saja, dan Pangeran Kian Liong tidak mengenal mereka. Akan tetapi orang yang bermata juling, yang menjadi pimpinan dari kelompok yang yang bertugas melarikan pangeran itu, berkata dengan suara hormat akan tetapi mengandung ancaman yang sungguh-sungguh, “Pangeran, kami hanya melakukan tugas saja untuk membawa Paduka ke sebuah dusun di utara. Kami harus sampai ke sana besok pagi-pagi. Kalau Paduka menurut saja tanpa banyak membantah, tentu kami pun tidak akan berbuat keluar dari apa yang ditugaskan kepada kami. Akan tetapi, kalau Paduka di tengah jalan berteriak dan mengaku pangeran, tentu kami tidak akan segan-segan membunuh Paduka guna menyelamatkan diri kami sendiri.”

Pangeran Kian Liong tersenyum dan mengangguk. Dia sudah tahu akan hal itu dan pula, perlu apa dia berteriak-teriak minta tolong seperti wanita cengeng? Dia diam-diam juga memuji cara mereka ini melarikannya, karena rombongan yang tadinya berjumlah belasan orang itu dibagi-bagi. Rombongannya membawanya ke utara sedangkan ada kelompok-kelompok lain yang melarikan diri berkuda dan ke segala jurusan dengan meninggalkan bekas yang jelas di atas tanah. Tentu untuk menyesatkan para pengejar. Sungguh cerdik. Dia pun menurut saja ketika dia diberi pakaian biasa seperti seorang penduduk biasa, sedangkan pakaiannya yang mewah itu diminta oleh Si Mata Juling.

Malam itu mereka terus melakukan perjalanan, kadang-kadang cepat, kadang-kadang kalau jalannya sukar dan gelap, perjalanan dilakukan perlahan-lahan. Pada keesokan harinya, dalam keadaan yang cukup lelah akan tetapi tidak melenyapkan semangatnya yang masih gembira mengikuti perkembangan pengalamannya ini, Pangeran Kian Liong dan para penculiknya itu tiba di sebuah dusun di kaki sebuah bukit. Dusun ini cukup besar dan tidak ada seorang pun di antara penghuni dusun yang dapat menduga bahwa di antara keenam penunggang kuda itu, yang termuda dan tampan, adalah pangeran mahkota! Dengan berpakaian seperti ini, Kian Liong merasa lebih leluasa dan senang hatinya, sungguh pun saat ini dia tidak sedang melakukan perjalanan sendirian dengan bebas, melainkan sebagai seorang tawanan.

Rombongan itu memasuki pekarangan sebuah rumah besar dan di tempat itu telah menanti Su-bi Mo-li dan dua orang di antara Im-kan Ngo-ok, yaitu Su-ok dan Ngo-ok! Sang Pangeran disambut oleh dua orang wanita cantik yang bersikap manis. Mereka memberi hormat dan menggandeng tangan pangeran itu ke dalam sebuah kamar di mana Sang Pangeran dilayani, disediakan air hangat untuk mencuci muka dan badan, diberi pakaian pengganti dan disuguhi makanan dan minuman.

Pangeran Kian Liong tidak menolak semua ini, dia mandi, berganti pakaian, makan dan minum, lalu beristirahat sampai tertidur. Akan tetapi ketika dia terbangun, dia terkejut sekali melihat dirinya sedang dikelilingi tujuh orang gadis-gadis muda yang cantik-cantik, dengan pakaian dalam yang sangat tipis sehingga nampak jelas tubuh mereka yang menggairahkan membayang di balik pakaian tipis itu. Mereka itu bersikap manis dan mulai merayunya, memijatinya dan mengeluarkan kerling mata, senyum, bisikan-bisikan yang memikat dan mencumbu.

Akan tetapi Pangeran Kian Liong mendorong wanita yang terdekat dan dia bangkit duduk kemudian berteriak, “Apa artinya semua ini? Aku tak membutuhkan perempuan-perempuan ini! Hayo kalian pergi dari sini!”

Tujuh orang wanita muda itu saling pandang dan mereka agaknya terkejut karena betapa pun juga, selain mereka sudah tahu dengan siapa mereka berhadapan, juga pandang mata dan suara pangeran itu amat berwibawa. Mereka masih mencoba untuk merayu, mencumbu dan merangkul pangeran itu dengan tubuh lemah gemulai dan berbau minyak harum. Akan tetapi Sang Pangeran menjadi marah dan membentak, “Kalau tidak lekas enyah dari sini, aku yang akan pergi dari sini!”

Akhirnya tujuh orang wanita muda yang cantik-cantik itu mengundurkan diri, hanya meninggalkan bau harum semerbak di dalam kamar itu. Tak lama kemudian, Si Mata Juling yang memimpin pelarian semalam, masuk dan menjura di depan pangeran itu.

“Hei, Mata Juling!” Pangeran Kian Liong menegur, “Apa artinya menyuruh perempuan-perempuan itu menggodaku?” bentakan ini membuat Si Mata Juling sejenak tak mampu bicara, akan tetapi lalu menjura dengan hormat.

“Harap Paduka maafkan. Maksud kami hanya ingin menghibur Paduka, tidak tahunya Paduka tidak mau menerima kebaikan dari kami.”

“Hemm, jadi menyuguhkan wanita-wanita itu kau anggap kebaikan? Begitukah kiranya kebaikan yang biasa diberikan kepada para pembesar? Hei, Mata Juling! Katakan, apa maksud kalian dengan susah-payah menculik dan membawaku ke sini? Apakah benar seperti yang dikatakan para perampok teman-temanmu di hutan itu bahwa tujuan kalian hendak minta uang tebusan?”

“Maaf.... kami.... kami hanya melaksanakan tugas. Harap Paduka tenang dan sabar saja menanti di kamar ini.... kami tidak akan menggunakan kekerasan kalau tidak terpaksa sekali, harap Paduka tenang.” Si Mata Juling itu mundur dan tidak lama kemudian kembali dihidangkan makanan dan minuman.

Jengkel juga hati Pangeran Kian Liong. Dia memang ingin melihat apa yang hendak mereka lakukan terhadap dirinya. Akan tetapi kalau dia hanya dikurung di dalam kamar ini, dan dicoba untuk digoda oleh wanita-wanita cantik, sungguh dia merasa penasaran sekali. Mengapa mereka masih menyembunyikan kehendak mereka yang sebenarnya?

Dia tidak khawatir, karena dia percaya bahwa Souw Kee An pasti dapat menemukan dia, dan tidak akan tinggal diam saja. Apalagi kalau diingat betapa sudah sering kali dia diselamatkan oleh orang-orang pandai. Diam-diam dia teringat kepada pengemis sakti itu dan mengharapkan pula agar pengemis itu yang akan menyelamatkannya, karena dia ingin bertemu dan berkenalan dengan pengemis yang dia tahu adalah seorang manusia yang sedang menderita tekanan batin amat hebat itu. Karena kejengkelannya itu, maka ketika datang makanan dan minuman, dia lalu banyak-banyak minum arak. Dia sama sekali tidak tahu bahwa arak itu telah dicampuri obat sehingga dia yang biasa minum arak itu kini menjadi mabok dan pusing, sehingga dia setengah tertidur di atas meja makan!

“Nah, inilah satu-satunya cara!” kata Su-ok sambil tertawa-tawa ketika dia memasuki kamar itu bersama Ngo-ok dan Si Mata Juling. “Biarkan dia mabok lalu lepaskan dia di rumah pelacuran. Kita suruh pelacur-pelacur itu melayaninya, menelanjanginya dan kita bawa orang-orang ke tempat itu untuk menyaksikan pangeran mereka mabok-mabok dan main-main dengan para pelacur! Tentu hebat!” Su-ok tertawa-tawa dan berkata kepada Ngo-ok, “Ngo-te, kau bawa dia. Akan tetapi biarkan dia berjalan seperti orang mabok dan kita sama-sama pergi ke tempat pelacuran. Apakah di sana sudah siap?” tanyanya kepada Si Mata Juling.

“Sudah, tujuh orang pelacur yang tadi telah disiapkan di sana,” jawab Si Mata Juling.

Su-ok tertawa. Tadinya dia kecewa karena setelah susah payah membawa tujuh orang pelacur kota yang termahal ke tempat itu, pangeran itu ternyata tidak dapat tergoda. Maka setelah berunding dengan Ngo-ok dan Su-bi Mo-li, dia memperoleh akal untuk membuat pangeran itu setengah tidak sadar karena mabok, dan membiarkan para pelacur itu menelanjanginya dan melayaninya untuk kemudian membiarkan orang-orang penting melihat serta ‘menangkap basah’ pangeran itu sebagai seorang pemabok dan pemuda hidung belang yang suka bermain-main dengan para pelacur! Sungguh hal ini merupakan siasat yang amat keji, yang sudah diatur oleh Im-kan Ngo-ok.

Demikianlah, dalam keadaan setengah mabok dan setengah sadar itu Pangeran Kian Liong digandeng, setengah diseret oleh Si Mata Juling dan teman-temannya, lalu diikuti oleh Su-ok dan Ngo-ok menuju ke daerah pelacuran yang terkenal di dusun itu. Daerah pelacuran ini bahkan menjadi tempat pelesir yang sering dikunjungi kaum hidung belang dari kota-kota di sekitarnya!

Akan tetapi mendadak terdengar bentakan-bentakan nyaring, “Manusia-manusia jahat, lepaskan Pangeran!”

Si Mata Juling dan teman-temannya terkejut melihat munculnya tiga orang yang bukan lain adalah Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan dua orang saudara Ciong yang pernah menolong pangeran dari perampokan di dalam hutan! Seperti kita ketahui, setelah pangeran berhasil diselamatkan di waktu dirampok di dalam hutan, tiga orang pendekar ini kemudian menyingkirkan diri dan membayangi dari jauh. Mereka mengintai ketika Pangeran naik perahu jemputan dari Pulau Kim-coa-to itu dan merasa lega.

Ketika mereka sedang mencari-cari perahu nelayan untuk menyeberang pula ke pulau itu, mereka melihat Pangeran telah ditawan orang dan dilarikan dengan kuda. Mereka mencoba mengejar, namun karena yang dikejar itu menunggang kuda semalam suntuk, maka mereka tertinggal jauh dan baru pada keesokan harinya mereka menemukan jejak mereka memasuki dusun itu. Ketika melihat Pangeran digandeng oleh banyak orang di tengah jalan raya di dusun itu, dan pakaiannya sudah berganti pakaian biasa, mereka menjadi marah dan segera menyerang tanpa mempedulikan bahaya bagi diri sendiri.

Si Mata Juling dan empat orang temannya mengeroyok tiga orang pendekar itu, akan tetapi mereka berlima bukanlah tandingan tiga orang pendekar itu. Melihat ini, Ngo-ok menjadi marah dan dengan kakinya yang panjang dia sudah maju hendak menandingi mereka. Akan tetapi pada saat itu, empat orang Su-bi Mo-li yang juga muncul segera berkata, “Ngo-suhu dan Su-suhu, lebih baik bawa dia pergi, biar kami berempat yang menghajar tikus-tikus ini!”

“Hayolah, Ngo-sute, jangan mencampuri!” kata Su-ok dan dia pun lalu menggandeng tangan Pangeran dan menariknya pergi.

“Ehh, ehhh.... hemm, biarkan aku menonton pertandingan ini....,” Sang Pangeran yang setengah mabok itu berkata dan berusaha untuk berhenti, akan tetapi Su-ok terus menariknya berjalan maju.

Sementara itu, begitu Su-bi Mo-li maju, Liong Bouw terkejut dan dia pun segera mengenal gerakan pedang dari wanita ini yang bukan lain adalah seorang di antara wanita-wanita perampok yang amat lihai itu.

“Ah, kiranya kalian yang menjadi perampok!” bentaknya dan dia pun memutar goloknya menyerang wanita baju kuning yang tadi bicara, tetapi hatinya penuh penasaran serta gelisah melihat Pangeran dibawa pergi, padahal kini dia dapat menduga siapa adanya hwesio pendek dan tosu jangkung itu.

Meski dia belum pernah bertemu dengan Im-kan Ngo-ok, tetapi nama besar datuk-datuk kaum sesat itu pernah didengarnya dan melihat keadaan tubuh mereka, dan cara wanita cantik ini menyebut Ngo-suhu dan Su-suhu, dia menduga bahwa itu tentulah dua orang di antara Im-kan Ngo-ok dan kalau benar demikian, sungguh berbahayalah keselamatan Pangeran, terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat! Akan tetapi, kini dua orang di antara Su-bi Mo-li, yaitu A-hui yang berbaju kuning dan A-kiauw yang berbaju merah, telah mengeroyoknya dan sebentar saja Si Mata Satu ini sudah terdesak dengan hebat.

Sementara itu, dua orang murid Siauw-lim-pai itu pun terdesak oleh dua orang wanita lain, yaitu A-bwee yang berbaju biru dan A-ciu yang berbaju hijau. Empat orang wanita ini adalah murid-murid terkasih dari Im-kan Ngo-ok, maka tentu saja ilmu kepandaian mereka sudah tinggi dan dua orang murid Siauw-lim-pai pertengahan itu tidak mampu menandinginya! Juga Liong Bouw terdesak hebat dan lewat dua puluh jurus kemudian, kedua orang saudara Ciong itu roboh dan dia sendiri pun terkena tusukan pada pundak kanannya sehingga berdarah.

Tahu bahwa dia tidak akan menang, Liong Bouw memutar goloknya dengan nekat, lalu membentak keras dan serangannya itu membuat dua orang wanita itu berhati-hati dan melangkah mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong Bouw untuk meloncat dan lari mengejar ke arah Pangeran yang digandeng oleh dua orang kakek itu. Bagaimana pun juga, dia harus melindungi Pangeran, tidak peduli betapa pandai pun orang yang menawan Pangeran itu. Dia berlari cepat, dikejar oleh empat orang wanita itu.

Untung baginya, yang dikejar, yaitu pangeran itu, hanya berjalan digandeng oleh Su-ok dan Ngo-ok, berjalan terhuyung-huyung bagaikan orang mabok dengan Su-ok sengaja tertawa-tawa untuk memberi kesan bahwa pemuda yang digandeng memang sedang benar-benar mabok keras! Mereka berdua seolah-olah tidak peduli kepada Liong Bouw yang mengejar dari belakang dengan golok di tangan dan pundak kanan bercucuran darah.

“Heii, berhenti! Lepaskan dia!” bentak Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan dia menubruk dari belakang.

Akan tetapi Ngo-ok tanpa menoleh menendangkan kakinya yang amat panjang itu ke belakang dan memang Si Jangkung ini lihai sekali kakinya, maka tanpa dapat dicegah lagi, kakinya yang menyepak seperti kaki kuda itu tepat mengenai dada Liong Bouw.

“Dess....!” Liong Bouw terjengkang akan tetapi dia sudah meloncat bangun lagi, tidak peduli akan pundaknya yang berdarah dan dadanya yang terasa nyeri. Dia menangkis dua batang pedang dari dua orang wanita yang mengejarnya, lalu dia lari mengejar lagi ke depan.

Pada saat itu, Liong Bouw melihat segerombolan orang berjalan dari depan. Melihat rombongan yang terdiri dari seorang pria setengah tua yang kelihatan gagah perkasa dan tampan bersama beberapa orang wanita yang cantik-cantik, dia dapat menduga bahwa mereka itu pasti bukan penghuni dusun, dan tentu datang dari kota. Maka timbul harapannya, setidaknya agar diketahui orang kota bahwa pemuda di depan itu adalah pangeran, maka dia lalu berteriak nyaring, “Tolooooonggg....! Tolong Pangeran Mahkota yang ditangkap penjahat itu!”

Pada saat itu, tusukan pedang dari belakang menyambar. Liong Bouw memutar tubuh dan mengelak sambil menangkis, akan tetapi pedang ke dua membacok dari samping dan biar pun dia sudah mengelak, tetap saja pahanya kena disambar dan dia pun roboh dengan paha terluka. Dengan gemas sekali A-hui Si Baju Kuning menggerakkan pedangnya untuk memberi tusukan terakhir ke dada Liong Bouw, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan pedang itu telah ditangkis oleh seuntai tasbeh.

“Cringgg....!”

Pedang di tangan A-hui itu terpental dan hampir terlepas dari pegangannya. A-hui dan tiga orang adiknya cepat memandang dan ternyata yang menangkis itu adalah seorang wanita cantik berusia tiga puluh lima tahun, berpakaian seperti nikouw tetapi kepalanya berambut hitam digelung, dan tangannya memegang tasbeh yang terbuat dari gading.

“Omitohud, di tengah hari ada orang mau bunuh orang lain begitu saja, betapa kejinya!”

Su-bi Mo-li segera memandang ke depan. Rombongan itu terdiri dari seorang laki-laki setengah tua, tiga orang wanita cantik dan seorang gadis yang manis. Kini dua orang wanita yang lain dan gadis itu datang menghampiri, sedangkan laki-laki setengah tua itu hanya tersenyum-senyum saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa yang aneh.

A-hui marah sekali. “Nikouw dari mana berani datang mencampuri urusan orang? Pergi kau dari sini atau mampus di ujung pedangku!”

Nikouw itu tersenyum sehingga nampak giginya yang rata dan putih. “Amithaba, kalau engkau dapat membunuhku, itu baik sekali! Pinni ingin merasakan bagaimana mati di ujung pedang!”

A-hui berteriak nyaring dan menyerang. Nikouw itu bergerak lincah mengelak sambil tersenyum dan terdengar pria setengah tua itu berkata, “Hati-hati, sebagai nikouw engkau tidak boleh membunuh orang!” Ucapan ini seperti kelakar saja dan nikouw itu pun hanya tersenyum mendengarnya.

A-kiauw yang berbaju merah maju hendak membantu saudaranya, akan tetapi wanita cantik ke dua yang kelihatannya seperti berdarah asing karena matanya lebar dan kulitnya putih kemerahan agak gelap sudah menghadang dengan pedang terhunus.

“Main keroyokan adalah perbuatan pengecut. Kalau berani, kau lawanlah aku, Iblis betina!” wanita itu memaki sembarangan saja, namun hal ini sangat menusuk perasaan A-kiauw oleh karena memang mereka berempat dijuluki Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik).

“Mampuslah!” dia membentak dan menyerang, ditangkis dengan mudahnya oleh wanita itu.

Melihat betapa dua orang wanita cantik itu ternyata amat lihai, A-bwee dan A-ciu segera melompat ke depan, akan tetapi wanita ke tiga yang cantik jelita sudah menghadang sambil tersenyum mengejek, sambil mengerling ke arah Su-ok dan Ngo-ok yang masih memegangi pangeran sambil menonton perkelahian itu. Dan dengan alis berkerut, dia berkata, “Kiranya Su-ok dan Ngo-ok yang main gila di sini!”

Su-ok dan Ngo-ok memandang kepada wanita cantik itu dan sampai beberapa lamanya mereka tidak mengenal wanita itu. “Hemm, lupakah kalian ketika berjumpa denganku di Lembah Suling Emas?”

Wajah Su-ok dan Ngo-ok berubah ketika mereka mengenal kembali wanita itu. Kini mereka teringat. Itulah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, Toaso dari keluarga Lembah Suling Emas yang sakti itu! Tapi mereka tidak mengenal yang lain-lain, tidak mengenal laki-laki yang berdiri sambil tersenyum itu, agak lega karena tidak nampak keluarga Cu yang sakti di situ.

Ada pun A-bwee dan A-ciu sudah menerjang sambil menusukkan pedang mereka ke arah wanita cantik yang berani menghina guru-guru mereka itu. Su-ok dan Ngo-ok hendak memperingatkan dua orang murid itu, akan tetapi terlambat. Tang Cun Ciu sudah menggerakkan kaki tangannya dan nampak dua batang pedang terlempar disusul terlemparnya dua tubuh wanita cantik itu yang terkena tamparan pada pundak mereka.

Baru saja A-bwee dan A-ciu merangkak bangun, terdengar suara mengaduh dan tubuh A-hui bersama A-kiauw juga terpelanting dan pedang mereka terlempar jauh. Mereka juga roboh dalam beberapa gebrakan saja melawan dua orang wanita cantik tadi. Hal ini tidak mengherankan karena wanita yang seperti nikouw itu bukan lain adalah Gu Cui Bi, sedangkan wanita yang berdarah asing itu adalah Nandini, bekas panglima perang Nepal! Dan memang di antara mereka bertiga yang menjadi isteri-isteri dari Bu Seng Kin, Tang Cun Ciu yang paling lihai maka wanita ini dengan mudah dapat merobohkan A-bwee dan A-ciu terlebih dahulu!

Si Mata Juling dan empat orang temannya sudah di situ, disambut oleh gadis cantik yang bukan lain adalah Bu Siok Lan. Namun melihat betapa Su-bi Mo-li roboh dengan demikian mudahnya, Si Mata Juling dan empat orang temannya sudah membalikkan tubuh dan mengambil langkah seribu!

Kini tinggal Su-ok dan Ngo-ok yang memandang dengan mata terbelalak melihat empat orang murid mereka itu roboh semua. Karena di situ tidak nampak adanya keluarga Cu, maka tentu saja dua orang datuk ini sama sekali tidak takut menghadapi Tang Cun Ciu. Akan tetapi sikap pria di depan mereka yang tersenyum itu amat mencurigakan dan membuat mereka memandang dengan hati kecut.

“Siapakah engkau?” Tanya Ngo-ok tanpa melepas pergelangan tangan kiri pangeran, sedangkan Su-ok juga tetap memegang pergelangan tangan kanan pangeran itu.

Pria itu tentu saja Bu Seng Kin atau Bu-taihiap. Walau pun dia pernah menjadi seorang pendekar yang namanya menjulang tinggi di dunia barat sana, akan tetapi karena belum pernah bertemu atau bentrok dengan Im-kan Ngo-ok, maka dua orang kakek itu tidak mengenalnya.

“Siapa adanya aku tidak penting, yang penting kalian cepat lepaskan pemuda yang kalian pegang itu,” kata Bu-taihiap dengan suara tenang.

Su-ok tertawa. Dia lebih tenang dari pada saudaranya. “Ehhh, Sobat, tahukah engkau siapa dia ini?”

Bu-taihiap menggeleng kepala. “Siapa pun adanya dia, jelas bahwa dia kalian tangkap, oleh karena itu, harap kalian sudi melepaskan dia.”

Tok-gan Sin-ciang masih berdiri tak jauh dari situ menahan sakit. Dia terlalu kagum dan heran melihat betapa rombongan itu ternyata merupakan rombongan orang yang memiliki kepandaian hebat luar biasa, demikian hebatnya sehingga empat orang wanita cantik yang amat lihai itu pun roboh dalam beberapa gebrakan saja oleh wanita-wanita itu!

Dan dia kini memandang penuh ketegangan melihat kepala rombongan, seorang pria sederhana, berhadapan dengan dua orang yang ternyata benar-benar adalah Su-ok dan Ngo-ok seperti yang dikatakan oleh seorang di antara wanita-wanita itu. Dan dia pun belum pernah mendengar tentang Lembah Suling Emas, maka sekarang dia tak berani sembarangan bicara, hanya mendengarkan dengan penuh harapan bahwa pangeran akan dapat lolos dari bencana itu. Dia tidak berani lancang karena pangeran masih berada di tangan dua orang kakek iblis itu!

Su-ok adalah seorang yang cerdik sekali. Di situ tidak terdapat saudara-saudaranya yang lain, karena untuk tugas ini Toa-ok mempercayakan kepada dia dan Ngo-ok dan memang sebetulnya mereka berdua pun sudah cukup kalau hanya untuk menawan Pangeran saja. Akan tetapi tak mereka kira bahwa di sini akan muncul Cui-beng Sian-li dan rombongannya yang lihai-lihai ini.

Tiga orang wanita itu jelas lihai dan pria di depannya ini belum dia ketahui sampai di mana kelihaiannya, tetapi agaknya pun bukan merupakan lawan yang boleh dipandang ringan. Kalau di situ ada Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok, tentu saja dia sama sekali tidak takut. Sekarang pun dia tidak takut, hanya dia harus bersikap cerdik agar tidak sampai gagal. Dia telah mempunyai pangeran di tangannya dan ini merupakan modal yang baik sekali!

“He, sobat, engkau tak mau memperkenalkan namamu pun tidak mengapa. Akan tetapi sebaiknya engkau mengenal dulu siapa pemuda ini. Dia adalah Pangeran Mahkota Kian Liong!”

Tentu saja Bu-taihiap terkejut bukan main, tetapi sedikit pun tidak nampak perubahan pada wajahnya yang tampan itu. Bahkan dia tersenyum. “Sudah kukatakan, siapa pun adanya dia ini, aku tetap minta agar kalian suka melepaskan dia.”

“Kalau kami tidak mau melepaskan dia?” tanya Su-ok juga tersenyum.

Bu-taihiap tertawa. “Terpaksa aku tidak membolehkan kalian lewat.”

“Ha, sobat, bagaimana jadinya kalau kami bunuh Pangeran ini? Ya, kalau engkau dan rombonganmu ini hendak menghalangi kami, terpaksa kami akan membunuh Pangeran Mahkota Kian Liong!” Su-ok kini menggunakan gertakan.

Sementara itu, Pangeran Kian Liong memang telah dilolohi arak yang mengandung obat pemabok dan dia hanya setengah sadar, akan tetapi dia masih dapat mengikuti seluruh percakapan itu dan kini dia tertawa sambil berkata. “Hidup atau mati, hanya itu soalnya dan sungguh soal yang biasa saja. Apa artinya hidup dan apa bedanya dengan mati? Hidup pun akhirnya akan mati juga! Heiii, kau hwesio cebol dan tosu jangkung, apa kau kira hidup lebih enak dari pada mati? Kalau kalian membunuhku, maka sudah beres dan habislah bagiku, tidak ada apa-apa lagi. Akan tetapi kalian yang masih hidup akan dikejar-kejar orang gagah sedunia, belum lagi pasukan yang takkan berhenti sebelum kalian ditangkap, kemudian dihukum siksa. Ha-ha-ha-ha, aku lebih enak dibandingkan dengan kalian!”

Bu-taihiap tiba-tiba merasa heran dan juga kagum. Mengapa putera mahkota yang kelak akan menggantikan kaisar menjadi pemabok seperti itu? Akan tetapi sikap yang berani dan kata-kata yang begitu mengandung kebenaran yang pedas masih dapat diucapkan di waktu mabok, maka di waktu sadar tentu pangeran ini memiliki kebijaksanaan yang luar blasa.

“Ha-ha-ha, kalian sudah mendengar sendiri! Nah, lepaskan dia, ataukah sebaiknya kita menggunakan dia sebagai taruhan?” kata Bu-taihiap.

“Taruhan?” Sekarang Ngo-ok yang berkata, matanya yang sipit makin terkatup ketika dari ‘atas’ dia memandang Bu-taihiap. Bu-taihiap harus berdongak untuk menatap wajah Si Jangkung itu.

“Ya, mari kita bertanding dan karena yang menangkap dia ini adalah kalian berdua dan yang minta agar dilepaskan hanya aku seorang, maka biarlah aku melawan kalian berdua. Kalau aku kalah, tentu saja kalian boleh membawa dia. Akan tetapi kalau kalian kalah, dia harus kalian tinggalkan. Bagaimana. Beranikah kalian?”

Ucapan itu, terutama kata terakhir, memanaskan perut Su-ok dan Ngo-ok. Orang itu agaknya miring otaknya, pikir mereka. Menantang dikeroyok dua? Siapa sih orang ini yang berani menantang mereka padahal tadi Cui-beng Sian-li sudah jelas mengatakan bahwa mereka adalah Su-ok dan Ngo-ok?

“Hemmm, kalau kami menang, bukan hanya dia ini yang kami bawa, melainkan juga kepalamu!” kata Ngo-ok marah.

“Ha-ha-ha, boleh, boleh! Kalau memang kalian menang, aku pun sudah tidak bisa lagi mempertahankan kepalaku. Dan kalau kalian yang kalah, aku hanya menghendaki dia dibebaskan dan aku tidak butuh kepalamu yang buruk, hanya aku akan mengambil daun telingamu saja, Jangkung!”

Sementara itu, tiga isteri Bu-taihiap sudah mendekat dan berdiri menonton dengan sikap tenang, demikian pula gadis puteri pendekar itu. Mereka berempat ini yakin benar akan kemampuan Bu-taihiap, maka mereka hanya memandang dengan penuh perhatian. Sedangkan Su-bi Mo-li yang maklum bahwa mereka bukan tandingan rombongan itu, memandang dari jarak agak jauh dan dengan hati gelisah. Bukan hanya rahasia mereka ketahuan sebagai penculik-penculik pangeran mahkota, bahkan agaknya usaha mereka juga mengalami kegagalan setelah bertemu dengan rombongan yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka akan muncul ini.

Su-ok dan Ngo-ok bukanlah orang bodoh. Melihat, sikap orang ini mereka pun sudah menduga bahwa tentu orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Su-ok lalu memberi tanda kepada Ngo-ok sambil berkata, “Ngo-te, manusia sombong ini sendiri yang menantang. Marilah kita layani dia.”

Mereka kemudian mendorong Sang Pangeran ke pinggir karena mereka tahu bahwa orang aneh di depan mereka itu agaknya sama sekali tidak peduli apakah mereka akan membunuh Sang Pangeran atau tidak. Menghadapi orang yang tidak mempedulikan Sang Pangeran sama sekali, maka tiada gunanya untuk mengancam dan menjadikan pangeran itu sebagai sandera.

Dan memang mereka telah menerima peringatan keras dari Toa-ok agar jangan sampai membunuh Sang Pangeran. Apalagi, ucapan Pangeran tentang hidup dan mati amat berkesan di hati mereka dan mereka tahu betul bahwa sekali mereka membunuh Sang Pangeran, hidup ini hanya menjadi sumber ketakutan saja bagi mereka yang takkan lagi dapat aman di dunia, dikejar-kejar dan akhirnya akan tertangkap dan tersiksa hebat. Maka dari itu mereka mendorong Sang Pangeran ke pinggir, dengan harapan akan mampu menang dalam pertandingan itu sehingga mereka akan bisa melanjutkan siasat mereka merusak nama baik pangeran.

Tentu saja Bu-taihiap pernah mendengar nama besar Im-kan Ngo-ok sebagai datuk besar kaum sesat yang memiliki ilmu kepandaian hebat, maka biar pun pada lahirnya dia nampak tenang dan tersenyum-senyum saja, namun sesungguhnya dia sama sekali tidak memandang rendah dan selalu dalam keadaan siap siaga. Kini melihat dua orang itu telah melepaskan pangeran, dia merasa lega dan cepat-cepat dia melangkah maju menghampiri dua orang lawannya. “Nah, kalian mulailah!” tantangnya sambil tersenyum.

Melihat sikap orang yang begini memandang ringan, Su-ok dan Ngo-ok menjadi marah. Biasanya lawan yang menghadapi mereka tentu kalau tidak gentar juga sangat berhati hati, tidak seperti orang ini yang begini memandang rendah sambil tersenyum-senyum saja.

“Kami tidak pernah membunuh orang tanpa nama,” medadak Su-ok berkata untuk membalas pandangan ringan itu. “Kalau engkau bukan seorang pengecut yang suka menyembunyikan nama, katakan siapa engkau agar kami tahu siapa yang akan kami habisi nyawanya!”

Bu-taihiap tertawa dan wajahnya yang tampan itu nampak berseri dan muda ketika dia tertawa itu. “Ha-ha-ha, yang nama julukannya Su-ok ini selain pendek kurang ukuran juga ternyata tidaklah sejahat namanya. Bagaimana dengan Ngo-ok yang jangkung kelebihan ukuran itu? Apakah benar kalian hendak mengetahui nama orang yang akan menjatuhkan kalian? Aih, sudah bertahun-tahun untuk tidak mempergunakan namaku, sampai lupa. Hanya she-ku saja yang masih kuingat. Aku she Bu.”

Nama ini saja sudah cukup. She Bu dan logat bicaranya jelas menunjukkan dari barat, maka siapa lagikah orang ini kalau bukan pendekar yang pernah menggegerkan dunia barat dan hanya terkenal dengan sebutan Bu-taihiap itu?

“Jadi engkau ini orang she Bu itu yang sudah puluhan tahun tidak pernah muncul itu? Ha-ha, kami kira tadinya yang disebut Bu-taihiap itu sudah mampus di Secuan dicakar garuda!”

Bu-taihiap merasa disindir. Permusuhannya dengan Eng-jiauw-pang yang membuatnya terluka itu agaknya telah tersiar di dunia kang-ouw, akan tetapi karena sesungguhnya dia tidak kalah, hanya dikeroyok terlalu banyak orang pandai saja maka terpaksa dia melarikan diri, dia tidak merasa malu disindir demikian.

“Bagus, kau sudah tahu namaku dan tidak lekas-lekas menggelinding pergi?” bentaknya dan sikapnya kini penuh wibawa, tidak senyum-senyum seperti tadi.

Dua orang lawannya itu tidak menjawab, melainkan segera menyerang dengan dahsyat.
Karena maklum bahwa yang namanya Bu-taihiap itu adalah seorang lawan tangguh, maka begitu menyerang, Su-ok sudah menggunakan ilmunya yang diandalkan, yaitu Pukulan Katak Buduk yang dilakukan dengan tubuh setengah berjongkok rendah, dan dua tangannya mendorong dari bawah. Hawa pukulan yang amat dahsyat menyambar diikuti sepasang lengan pendek itu dan dari telapak tangannya menyambar pukulan yang mengandung hawa beracun. Jahat sekali pukulan ini dan lawan yang kurang kuat akan mati seketika kalau terkena pukulan ini, baru terkena hawa pukulannya saja sudah cukup membuat orang yang terkena menjadi lumpuh, apalagi kalau sampai terkena hantaman telapak tangan itu!

Biar pun Bu-taihiap baru mendengar namanya saja tentang Im-kan Ngo-ok dan belum mengenal keistimewaan mereka, dia sudah dapat menduga-duga bahwa pukulan yang mendatangkan angin dahsyat ini merupakan pukulan yang berbahaya, maka dia pun bersikap waspada dan hanya mengelak dari pukulan itu. Akan tetapi Ngo-ok juga telah berjungkir balik, langsung mempergunakan ilmunya yang aneh dan kini dari lain jurusan dia menyambut Bu-taihiap yang mengelak itu dengan tendangan kakinya dari atas!

Kembali Bu-taihiap mengelak dengan sigap sambil tertawa. Melihat betapa dua orang lawan ini memiliki ilmu yang aneh-aneh, dia tak dapat menahan ketawanya. Memang pada dasarnya pendekar ini memiliki watak gembira, dan mungkin watak inilah yang membuat dia mudah meruntuhkan hati kaum wanita.

“Ha-ha-ha, kalian ini ahli-ahli silat ataukah badut-badut sirkus? Yang pendek menjadi semakin pendek mau merubah diri menjadi katak, dan yang jangkung berjungkir balik seolah-olah masih kurang jangkung.... heeiiitt.... bahaya, tapi luput!” Dia mengelak lagi ketika Su-ok mengirim pukulan ke arah pusarnya dari bawah.

Tadi dia mengelak sambil kini melayangkan tangannya, menampar ke arah ubun-ubun kepala Su-ok yang berjongkok itu. Tamparan biasa saja, akan tetapi didahului angin menyambar dahsyat. Su-ok terkejut. Kiranya pendekar ini benar-benar amat lihai karena kalau pukulan tadi tepat mengenai ubun-ubun kepalanya, kiranya sukar bagi dia untuk menyelamatkan nyawanya. Dia sudah menggelundung dan sambil bergulingan begini dia mengejar lawan, terus bangkit berjongkok dan menghantamkan lagi pukulan Ilmu Katak Buduknya yang lihai. Sementara itu, dari atas, kedua batang kaki panjang dari Ngo-ok juga telah mengirim serangan bertubi-tubi, dibantu oleh kedua lengannya yang panjang!

Bu-taihiap cepat bersilat dengan gaya ilmu silat dari Go-bi-pai, tetapi sudah berbeda dari aslinya, mirip pula ilmu silat Kun-lun-pai, namun juga tak sama. Ilmu silat ini adalah ilmu silat ciptaannya sendiri yang tentu saja dipengaruhi oleh ilmu-ilmu silat dari Go-bi-pai dan Kun-lun-pai yang merupakan dua partai persilatan terbesar di dunia barat. Akan tetapi, dalam ilmu silatnya ini juga terdapat dasar-dasar dari gerakan ilmu silat India dan Nepal.

Namun harus diakui bahwa ilmu silat itu aneh dan juga tangguh sekali, karena dengan gerakan-gerakan itu dia selalu dapat menempatkan dirinya dalam posisi yang baik. Dan selain ilmu silatnya yang tangguh, juga Bu-taihiap memiliki sinkang yang amat kuat namun bersifat halus sehingga dia berani menangkis pukulan Katak Buduk dengan telapak tangannya tanpa terluka, bahkan hawa pukulan lawan itu seperti batu dilempar ke dalam air saja, tenggelam dan lenyap.

Selama dua puluh jurus, Bu-taihiap hanya mengelak dan menangkis sampai dia tahu benar akan sifat-stfat ilmu silat dua orang lawannya. Setelah dia betul-betul mengenal, Bu-taihiap tiba-tiba berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak dan berkata sambil tertawa, “Apakah kalian hendak terus melawak di sini?”

Melihat lawannya berhenti bergerak itu, Su-ok dan Ngo-ok terheran, akan tetapi juga girang. Su-ok cepat meloncat ke depan dan memukul dengan ilmunya dari jarak dekat. Dua buah lengannya yang pendek itu bergerak mendorong ke arah dada lawan, sambil mengerahkan tenaganya. Akan tetapi, lawannya itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan menyambut pukulan dorongan kedua tangan itu dengan sambaran lengan dari kanan dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram tengkuk Su-ok!

Su-ok merasa girang karena kedua pukulannya tidak dielakkan dan dua tangannya yang terbuka itu dengan cepatnya meluncur ke depan. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan suara.

“Kekkk!” dan tengkuknya sudah dicekik kuat.

Karena tenaga ilmu katak buduk itu digerakkan oleh tulang punggung dan sekarang tengkuknya dicekik, maka seketika tenaganya banyak berkurang dan biar pun kedua tangannya masih mengenai dada lawan, namun tenaganya tinggal seperempatnya dan agaknya pendekar itu tidak merasakan apa-apa dan sebaliknya Su-ok merasa kedua tangannya seperti menghantam karet saja dan tengkuknya terasa nyeri bukan main seolah-olah tulang lehernya akan patah!

Pada saat itu Ngo-ok sudah menerjang dengan dua kakinya, yang sebelah kiri menotok ke arah jalan darah di pundak dan yang kanan menyambar ke arah ubun-ubun kepala Bu-taihiap. Akan tetapi pendekar ini meloncat ke belakang dan sekali melontarkan tangannya, tubuh pendek bulat dari Su-ok itu seperti peluru meluncur ke arah kepala dan dada Ngo-ok yang masih berjungkir balik.

“Heii, hati-hati....!” Su-ok berteriak, tanpa dapat menahan lajunya tubuhnya.

“Heii, apa ini....?” Ngo-ok juga terkejut dan cepat dia sudah menggunakan kepala untuk menahan tubuh di atas tanah sedangkan dua lengannya yang panjang sudah bergerak menyambut tubuh kawannya.

“Plakkk!” Kedua tangannya seperti kiper menangkap bola, berhasil menangkap tubuh Su-ok, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya sendiri melayang bersama-sama tubuh Su-ok yang dipeluknya.

“Brukkk....!” Ngo-ok dan Su-ok terbanting kepada sebatang pohon dan keduanya roboh tunggang langgang dan tumpang tindih.

Kiranya saat Ngo-ok menerima tubuh Su-ok tadi, dalam keadaan lengah, kedua kakinya sudah ditangkap oleh Bu-taihiap yang mempergunakan ilmu gulat Nepal, kemudian dia melemparkan tubuh yang tinggi itu tanpa dapat dicegah oleh Ngo-ok yang tidak berdaya karena dia ‘berdiri’ di atas kepala saja. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terlempar dan terbanting pada pohon dan jatuh tumpang tindih seperti itu. Ketika mereka bangkit dengan kepala pening dan tubuh babak belur, mereka melihat Bu-taihiap berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa.

“Wah, kalian masih belum patut bermain di sirkus, baru main begitu saja sudah jatuh tunggang-langgang, akan tetapi kalau untuk menjadi pelawak sudah lumayan karena memang cukup lucu!”

“Bedebah!” bentak Su-ok.

“Keparat sombong!” Ngo-ok juga berseru dan keduanya lalu menyerang lagi dengan lebih ganas dari pada tadi.

Bu-taihiap sudah meloncat ke sana-sini dan melayani mereka. Akan tetapi, serangan-serangan kedua kaki Ngo-ok yang tinggi itu membuat dia merasa payah juga, maka tiba-tiba Bu-taihiap lalu duduk bersila di atas tanah!

Tentu saja kedua orang lawannya menjadi bingung. Bagaimana pula ini? Lawan mereka duduk bersila. Mana ada orang berkelahi dengan cara duduk bersila seperti arca? Akan tetapi mereka tidak peduli dan menganggap bahwa perbuatan Bu-taihiap ini seperti orang bunuh diri dan mereka memperoleh kesempatan baik untuk membunuhnya.

Dan tentu saja Ngo-ok tidak lagi dapat menggunakan ilmunya berjungkir balik, bahkan sukar pula bagi Su-ok untuk menggunakan ilmunya Katak Buduk, oleh karena ilmu ini dipergunakan untuk memukul dengan tubuh merendah, lantas dipukulkan ke arah atas, barulah terdapat tenaga mukjijat dari bawah itu. Kalau lawan duduk bersila, tentu saja tidak dapat dipukulnya karena terlalu rendah.

Demikian pula bagi Ngo-ok yang mengandalkan kedua kaki kalau dia mainkan ilmunya berjungkir-balik, menghadapi orang bersila tentu saja kedua kakinya itu mati kutu dan tidak mampu menyerang. Maka dia pun lalu berloncatan membalik dan berdiri di atas kedua kaki seperti biasa.

Tanpa berkata apa-apa, keduanya menubruk ke depan, Ngo-ok dari kanan dan Su-ok dari kiri. Mereka merasa yakin bahwa biar pun tidak mempergunakan ilmu-ilmu mereka yang istimewa, sekali ini mereka akan mampu membunuh lawan yang duduk bersila itu.

Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Bu-taihiap memiliki banyak sekali ilmu silat yang aneh, di antaranya adalah ilmu yang dinamakannya Ngo-lian-hud (Buddha Lima Teratai) ini! Ilmu ini menurut dongeng berasal dari seorang pertapa yang selama puluhan tahun bertapa sambil memuja Buddha dengan duduk dalam bentuk Teratai, yaitu bersila dengan dua kaki bersilang di atas paha. Kabarnya, pertapa yang puluhan tahun bertapa dalam keadaan bersila seperti itu, kedua kakinya sampai tidak dapat dilepaskan lagi, seperti sudah mati! Akan tetapi dia memperoleh tenaga yang dahsyat bukan main, dan dengan duduk bersila seperti itu tanpa pindah dari tempatnya, dengan kedua lengannya dia mampu menolak lawan yang bagaimana tangguh pun, bahkan kalau diserang oleh binatang buas, dia dapat menundukkan binatang buas itu dengan kedua lengannya tanpa bergerak pindah dari tempatnya.

Bu-taihiap juga mempelajari ilmu ini dan tadi ketika melihat keistimewaan ilmu pukulan Su-ok yang mendapatkan tenaga memukul dari bawah ke atas, sedangkan Ngo-ok amat lihai menyerang dengan kedua kakinya dari atas ke bawah, maka dia mendapatkan akal untuk menghadapi mereka dengan ilmu Ngo-lian-hud ini.

Ketika kedua orang lawannya itu menubruk dan menyerang dengan dahsyat, mengirim pukulan-pukulan maut ke arah kepalanya, tiba-tiba saja Bu-taihiap menggerakkan kedua lengannya yang tadinya ditaruh di atas pangkuan. Dia mengerahkan tenaga dari pusar yang ketika duduk seperti itu terkumpul menjadi kekuatan dahsyat. Dari perutnya keluar bunyi dan melalui mulutnya dia mengeluarkan suara melengking.

“Hiiaaaattt....!” Dan kedua lengan itu berkembang ke atas, ke kanan kiri menyambut dua orang lawannya.

“Dessss! Dessss!”

Akibatnya hebat luar biasa. Ngo-ok dan Su-ok mengeluarkan teriakan panjang. Mereka merasa seperti disambar geledek saja yang tiba-tiba keluar dari tubuh Bu-taihiap dan biar pun mereka telah menggerakkan tangan menangkis, tetap saja tenaga dahsyat itu menyambar mereka dan membuat mereka terjengkang serta terlempar sampai lima meter! Mereka terbanting roboh dan ketika mereka bangkit, dari ujung mulut mereka mengalir darah! Itu menandakan bahwa mereka telah terluka di sebelah dalam tubuh mereka!

Sekarang tahulah Su-ok dan Ngo-ok bahwa mereka tidak akan menang. Maka, setelah memandang kepada Bu-taihiap dengan sinar mata penuh kebencian, Su-ok berkata, “Lain kali kita bertemu lagi, orang she Bu!”

Dan dia bersama Ngo-ok lalu ngeloyor pergi tanpa banyak kata lagi. Melihat ini, Su-bi Mo-li juga diam-diam telah melarikan diri dengan hati gentar dan menganggap hari itu sebagai hari sial karena mereka bertemu dengan rombongan Bu-taihiap yang demikian lihainya!

“Ha-ha-ha, bagus! Lanjutkan.... lanjutkan pibu....!” Pangeran Kian Liong bertepuk tangan dan tubuhnya bergoyang-goyang tanda bahwa dia masih mabok dan hanya setengah sadar.

Melihat ini, Bu-taihiap segera menghampiri dan setelah mengurut tengkuk dan dada, memijit kepala bagian belakang, lalu memberi dua butir pel merah kepada pangeran itu untuk ditelan, Sang Pangeran memejamkan mata seperti orang pening dan memegangi kepalanya, terhuyung-huyung. Bu-taihiap lalu merangkulnya dan membantunya duduk di atas tanah. Setelah duduk sambil memejamkan mata sampai kurang lebih sepuluh menit lamanya, pangeran itu mengeluh lalu muntah-muntah. Bu-taihiap membantunya dan setelah memuntahkan sebagian besar minuman bercampur obat yang diminumnya tadi, Sang Pangeran segera menjadi sembuh. Dia bangkit dan memandang heran ketika melihat seorang pria setengah tua sedang membersihkan bibir dan dagunya dengan sapu tangan.

“Paduka sudah pulih kembali sekarang, Pangeran.”

Pangeran Kian Liong memandang penuh perhatian, lalu menoleh ke kanan kiri, melihat empat orang wanita itu dan mengerutkan alisnya. “Ahh, apa yang terjadi? Bukankah tadi terjadi pibu di sini? Mana mereka yang telah menculikku tadi?”

“Mereka telah kami usir pergi, Pangeran. Paduka telah selamat.”

Sang Pangeran teringat dan mengangguk-angguk. “Benar, kulihat engkau mengalahkan dua orang tinggi dan pendek itu. Aihhh, engkau hebat sekali, dan mereka ini.... adalah wanita-wanita yang perkasa. Siapakah Paman yang perkasa ini?”

Bu-taihiap menjura dengan dalam, dan tiga orang isterinya ikut pula menjura, termasuk pula Siok Lan. “Kami sekeluarga menghaturkan selamat bahwa Paduka telah lolos dari bencana, Pangeran. Hamba adalah Bu Seng Kin dan semua mereka ini adalah keluarga hamba....“ Bu-taihiap merasa sungkan sekali, akan tetapi melanjutkan juga. “Mereka ini adalah isteri-isteri hamba dan ini adalah puteri hamba.” Dia lalu memperkenalkan nama isteri-isterinya dan juga nama puterinya. Bu Siok Lan dan tiga orang wanita itu memberi hormat.

“Hebat, sebuah keluarga yang hebat, ayah ibu-ibu dan anak memiliki kepandaian silat yang tangguh....“ Sang Pangeran memuji.

Pada saat itu, datanglah rombongan pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw Kee An sendiri. Ketika melihat Sang Pangeran berada dalam keadaan selamat, komandan pengawal itu tentu saja merasa girang sekali dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut. “Hamba mohon maaf telah gagal dan terlambat menyelamatkan Paduka, akan tetapi terima kasih kepada Thian bahwa Paduka dalam keadaan selamat.”

Pangeran Kian Liong tersenyum dan dengan tangannya dia memberi isyarat kepada komandan itu untuk bangun. “Souw-ciangkun, kalau kita perlu mengucapkan terima kasih, maka kita harus berterima kasih kepada keluarga Paman Bu Seng Kin ini, karena mereka inilah yang telah menyelamatkan aku dari tangan para penculik itu!”

Souw Kee An terkejut sekali dan memandang kepada pendekar itu dan keluarganya, kemudian dia bangkit menjura kepada Bu Seng Kin. “Bu-taihiap, terimalah hormat dan terima kasih kami atas budi pertolongan Bu-taihiap yang sudah menyelamatkan Sang Pangeran.”

Souw Kee An mengucapkan pernyataan terima kasih itu dengan setulusnya, karena pertolongan itu sama artinya dengan menyelamatkan dirinya sendiri, oleh karena kalau pangeran mahkota yang sedang dikawalnya itu sampai celaka, sama saja dengan dia sendiri yang celaka. Sebagai komandan pengawal, maka dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan Sang Pangeran.

Akan tetapi Bu-taihiap hanya tersenyum dan balas menjura kepada komandan itu, lalu Bu-taihiap berkata kepada Pangeran Kian Liong, “Pangeran, hamba kira sangat tepat ucapan Souw-ciangkun ini, yaitu bahwa kita harus berterima kasih kepada Thian saja. Betapa pun juga, tanpa adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya, tak mungkin hamba dapat menyelamatkan Paduka.”

Sang Pangeran tersenyum dan tidak menjawab kata-kata ini, hanya lalu mempersilakan Bu-taihiap dan keluarganya untuk ikut bersama dia ke tempat pemberhentian di pantai, di mana Souw-ciangkun telah menyediakan tempat bagi Pangeran untuk beristirahat sebelum melanjutkan pelayaran, setelah terjadi peristiwa yang cukup mengkhawatirkan itu. Kini, tanpa pengawalan ketat tentu saja dia tidak berani membiarkan Sang Pangeran berlayar ke Kim-coa-to. Bu-taihiap tak dapat menolak dan bersama keluarganya mereka pun ikut dengan rombongan itu, kembali ke pantai laut tempat penyeberangan ke Pulau Kim-coa-to.

Ucapan dari Bu Seng Kin dan juga Souw Kee An itu seolah-olah menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang rendah hati dan selalu ingat akan Tuhan, maka dalam segala hal mereka berterima kasih dan mengucap syukur atas kemurahan Tuhan. Hal ini amat menarik sekali karena hampir setiap manusia di dunia ini menyebut-nyebut nama Tuhan dalam bahasa masing-masing, ditujukan kepada Sesuatu yang Maha Kuasa.

Manusia agaknya merupakan satu-satunya makhluk yang memiliki otak yang mampu dipergunakan untuk memikirkan hal-hal yang jauh lebih mendalam dari pada apa yang dapat ditangkap oleh panca indera, memiliki akal budi dan daya ingatan yang luar biasa. Dengan kemampuan ini agaknya, manusia menyadari bahwa ada terdapat kemujizatan, keajaiban, kekuasaan yang teramat tinggi dan luas, yang tak dapat terjangkau oleh alam pikirannya. Kekuasaan yang menggerakkan matahari dan bulan, bintang-bintang, dan dunia, yang memberi kehidupan kepada segala benda, baik yang bergerak mau pun yang tidak.

Manusia dengan akal budi dan pikirannya menyadari bahwa memang sungguh ADA SESUATU yang lebih berkuasa dari pada diri-nya, yang berkuasa atas mati hidupnya, atas segala benda. Inilah agaknya yang mengawali pemujaan terhadap sesuatu itu, dengan segala macam sebutan menurut bahasa dan jalan pikiran masing-masing, yang kemudian menjadi kepercayaan turun-temurun, menjadi agama. Yang Sesuatu itu masih tetap ada dan menjadi pusat kepercayaan, disebut dengan berbagai nama, Tuhan, Thian dan sebagainya menurut bahasa dan adat istiadat atau pun tradisi atau agama masing-masing.

Sebutan Tuhan inilah yang membuat manusia merasa bahwa dia ber-Tuhan! Akan tetapi, apakah artinya ber-Tuhan itu? Apakah kalau kita sudah selalu mempersiapkan di bibir sebutan Tuhan itu, apakah kalau kita sudah MENGAKU bahwa kita percaya, lalu kita sudah boleh ber-Tuhan?

Nama dan sebutan itu hanyalah permainan bibir belaka. Nama dan sebutan itu jelas BUKAN yang dinamakan atau disebutkan itu. Akan tetapi pada kenyataannya, kita lebih mementingkan nama dan sebutan ini! Kita selalu lebih mementingkan gerak bibir yang menyebut atau menamakan itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING EMAS NAGA SILUMAN (BAGIAN KE-10 SERIAL BU KEK SIANSU)

SERIAL BU KEK SIANSU Suling Emas Naga Siluman