SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-02
“Ahh.... kami telah lelah sekali.... apakah sebaiknya tidak mengaso dulu, Lauw-piauwsu?” seorang di antara mereka mengeluh.
“Paman dari tadi minum terus sih, maka banyak keringat dan badan menjadi semakin berat saja!” tiba-tiba Siauw Goat mencela sambil tersenyum menggoda.
Pedagang gendut itu pura-pura melotot. “Ah, kau Siauw Goat, aksi benar! Seolah-olah kau sendiri tidak lelah!”
Siauw Goat mencibirkan bibirnya yang mungil, kemudian mengangkat dada dan bertolak pinggang. “Aku tidak selelah Paman! Buktinya, hayolah kita berlomba lari!” tantangnya.
Tentu saja yang ditantang hanya menyeringai. Jalan biasa di tempat pendakian itu sudah payah, apalagi diajak berlomba lari. Dan memang anak perempuan itu masih nampak gesit.
“Sedikit lagi,” kata Lauw-piauwsu. “Kita mengaso di hutan depan sana itu.” Dia menuding ke depan dan memang di sebelah depan, masih agak jauh, nampak gerombolan pohon hijau lebat.
Matahari sudah naik tinggi, panasnya memang tidak seberapa karena hawa di situ sejuk dan sinar matahari masih terlapis kabut, akan tetapi berjalan mendaki terus-menerus sejak tadi memang amat melelahkan dan pohon-pohon di depan itu seperti melambai lambai membuat orang ingin lekas-lekas mencapai tempat itu untuk melempar diri di bawah pohon yang rindang.
Agaknya karena ingin memamerkan dan membuktikan bahwa dia tidak selelah pedagang gendut itu, Siauw Goat sudah berjalan cepat setengah berlarian menuju ke depan, sebab dara ini pun senang sekali melihat hutan di depan itu setelah semenjak kemarin mereka melalui daratan tinggi berpasir yang membuat langkah-langkah terasa berat karena kedua kaki selalu terpeleset di pasir yang lunak, apalagi karena jalannya terus mendaki. Selama sehari semalam sejak kemarin, mereka hanya melihat pasir saja, dengan beberapa tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon yang kurus dan setengah kering. Maka tentu saja sebuah hutan akan merupakan pemandangan baru yang amat menyegarkan.
“Hati-hatilah, Goat!” Kakek Kun berkata, tetapi tidak melarang cucunya yang setengah berlari mendahului semua rombongan itu.
Siauw Goat menoleh, tertawa manis kepada kakeknya.
“Jangan khawatir, Kongkong!” katanya melambaikan tangan lalu melanjutkan larinya ke depan.
Kebetulan sekali Kakek Kun berjalan di dekat sastrawan muda itu. Sejak tadi sastrawan itu memandang ke arah gadis cilik yang berlarian ke depan, alisnya berkerut dan akhirnya, tanpa terdengar orang lain, dia berkata kepada kakek di sebelahnya itu dengan suara tenang dan halus, “Lopek salah sekali membawa cucu yang demikian muda dalam perjalanan yang sukar ini!” Suara itu tenang dan halus, juga lirih, akan tetapi penuh nada teguran sehingga kakek itu menoleh, sejenak menentang pandang mata sastrawan muda itu.
Dua pasang mata bertemu pandang dan keduanya diam-diam terkejut. Sastrawan muda itu melihat sinar mata yang mencorong keluar dari sepasang mata kakek yang biasanya bermuram durja dan termenung saja itu, dan sebaliknya, kakek itu pun melihat sinar mata yang amat tajam menusuk dari mata pemuda sastrawan itu, jelas membayangkan pandang mata seorang yang ‘berisi’. Memang keduanya, dalam sikap mereka yang pendiam dan tidak acuh, sudah saling mencurigai dan menduga bahwa masing-masing adalah orang yang diliputi rahasia dan bukan orang sembarangan, sungguh pun keduanya kelihatan seperti orang sastrawan muda dan seorang kakek yang keduanya lemah.
Sastrawan itu tiba-tiba merasa mukanya panas dan tahulah dia bahwa mukanya menjadi merah karena malu. Karena merasa seolah-olah sinar mata kakek yang mencorong itu menjawabnya dengan teguran. “Kau peduli apa?”
Akan tetapi karena merasa penasaran dan juga mengkhawatirkan keselamatan Siauw Goat yang mungil dan masih kecil itu, dan merasa bahwa dia sudah terlanjur mengajukan pertanyaan yang nadanya menegur, dia merasa kepalang tanggung dan sastrawan itu melanjutkan kata-katanya dengan lirih tanpa terdengar orang lain, kini dengan sebuah pertanyaan. “Sesungguhnya, ke manakah Lopek hendak membawa cucu Lopek yang kecil itu? Tentu saja kalau boleh aku bertanya?”
Kembali mereka berpandangan dan beberapa lamanya kakek itu tidak mejawab, hanya melanjutkan langkahnya satu-satu dan perlahan-lahan, akan tetapi pandang matanya tak pernah meninggalkan wajah pemuda sastrawan itu. Kemudian terdengar dia menjawab, atau lebih tepat lagi berbalik dengan pertanyaan pula. “Dan ke mana engkau hendak pergi, orang muda?”
Sastrawan muda itu tersenyum. Selama dalam perjalanan ini, dia merahasiakan diri dengan angkuhnya, karena memang dia tidak ingin dikenal orang. Akan tetapi siapa kira, dia sekarang bertemu ‘batu’ dan kakek ini ternyata tidak kalah angkuh olehnya! Buktinya, sebelum menjawab pertanyaannya, kakek ini bertanya lebih dulu, tanda bahwa kakek itu tidak akan menjawab sebelum dia menjawab lebih dulu!
“Baiklah,” katanya lirih. “Jangan kau kira bahwa aku datang ke sini untuk mencari pedang kerajaan. Sama sekali bukan. Aku mendaki pegunungan ini untuk mencari isteriku yang pergi!”
Sepasang mata yang tadinya mencorong tajam itu tiba-tiba melunak, seolah-olah merasa kasihan mendengar ucapan ini, akan tetapi hanya sebentar dan kembali sinar mata kakek itu menjadi acuh tak acuh. Kemudian, dengan nada suara sama tak acuhnya, dia berkata sebagai jawaban dari pertanyaan sastrawan muda tadi. “Aku membawa cucuku karena dia tidak dapat kutinggalkan, dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi selain aku!”
Sekarang sastrawan itu yang merasa kasihan, bukan kepada Si kakek melainkan kepada anak perempuan itu. Ia menoleh dan melihat anak itu masih berlari-lari dengan gembira, hampir tiba di hutan.
“Mengapa diajak ke tempat seperti ini?” Dia mendesak.
“Untuk mencari musuh kami!” Jawaban itu singkat saja dan kini kakek itu mempercepat langkahnya, sengaja menjauh.
Sastrawan itu kembali terkejut. Dia semakin merasa yakin bahwa kakek itu tentu bukan orang sembarangan, biar pun sama sekali tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya.
Siauw Goat sudah tiba lebih dulu di tepi hutan. Melihat pohon-pohon raksasa yang berdaun lebat, hijau segar itu, dia gembira sekali dan terus berloncatan memasukinya. Tiba-tiba dia berhenti dan memandang ke depan. Di bawah sebatang pohon raksasa nampak seorang kakek rebah telentang di atas rumput tebal.
Kakek ini seorang pengemis, itu sudah jelas. Pakaiannya penuh tambalan dan robek robek di sana-sini. Di dekatnya, bersandar di sebatang pohon, nampak sebatang tongkat bambu butut dan di bawahnya terdapat sebuah ciu-ouw (guci arak) kuningan butut, dan sebuah mangkok kosong yang sudah retak-retak pinggirnya. Jelas dia adalah seorang pengemis tua yang sedang tidur.
Melihat seorang kakek pengemis tidur di tepi hutan, di bawah pohon, di tempat yang liar dan sunyi tiada orangnya itu, tentu saja Siauw Goat menjadi terheran-heran. Biasanya, para jembel tentu berkeliaran di kota-kota di mana terdapat banyak orang kaya yang dapat memberi derma kepada mereka. Akan tetapi mengapa jembel tua ini berada di tempat sunyi seperti ini? Mau mengemis kepada siapa?
Siauw Goat adalah seorang anak perempuan yang hatinya perasa dan peka sekali, mudah tertawa, mudah marah, mudah kasihan, pendeknya segala macam perasaan mudah sekali menguasai hatinya. Melihat kakek jembel yang bertubuh kurus itu, segera timbul perasaan kasihan. Maka dia lalu menghampiri, dengan maksud memberi sekedar sumbangan karena dia mempunyai uang kecil di saku bajunya. Dia ingin memberi beberapa potong uang kecil kepada pengemis itu, lupa bahwa di tempat seperti itu, apakah gunanya uang? Dia sendiri pernah mengomel kepada kakeknya karena sama sekali tidak diberi kesempatan untuk jajan karena di sepanjang jalan tidak ada orang berjualan apa pun.
“Kakek tua, bangunlah, kuberi derma padamu!” katanya lirih.
Dia melihat betapa wajah yang telentang itu membuka mata, hanya sebentar dan dara cilik itu melihat sepasang mata yang mengeluarkan sinar tajam seperti mata kakeknya, akan tetapi hanya sebentar mata itu terbuka, menatapnya, lalu terpejam kembali! Siauw Goat merasa penasaran. Jelas bahwa kakek ini tidak tidur, akan tetapi hanya tidak mempedulikan dia saja dan pura-pura tidur!
“Hei, Lo-kai....!” teriak Siauw Goat sambil mengguncang-guncang pundak kakek itu untuk membangunkannya. Akan tetapi yang diguncang-guncang tetap tidur, bahkan sekarang terdengar dia mendengkur!
“Lo-kai (Pengemis Tua), kau tidak tidur, jangan bohongi aku!” Siauw Goat mencela dan terus mengguncangnya, namun tidak ada hasilnya.
“Hemm, kau sengaja mempermainkan aku, ya?” Siauw Goat meloncat berdiri, sepasang matanya yang jernih dan jeli itu bergerak-gerak mencari akal, deretan giginya yang putih menggigit bibir bawah. Rasa kasihan yang timbul melihat keadaan kakek pengemis itu sudah lenyap sama sekali, terganti oleh perasaan gemas dan marah karena merasa dia dipermainkan oleh pengemis tua itu! Dan kini Si Bengal ini sudah memutar-mutar otak untuk mencari akal, untuk membalas kakek yang mempermainkannya.
Dia tersenyum kecil dan menutup mulut dengan jari tangan kiri untuk menahan ketawa, kemudian dia mencabut sebatang rumput alang-alang yang tumbuh di bawah pohon itu. Dengan berjingkat-jingkat dia menghampiri lagi kakek pengemis yang kelihatan masih tidur mendengkur itu. Dengan menggunakan rumput ilalang yang panjang itu dia lalu mengkilik hidung kakek itu dengan ujung rumput yang runcing. Siauw Goat merasa yakin bahwa siapa pun juga, kalau dikilik seperti itu, tentu akan merasa geli dan pasti akan terbangun, apalagi kakek yang hanya pura-pura tidur ini.
“Ehhh....?” Dia berbisik dengan hati kesal dan kedua alisnya berkerut.
Sampai lelah tangannya, kakek itu tetap saja tidur mendengkur, seolah-olah sama sekali tidak merasakan kilikan ujung ilalang di sekitar hidungnya itu. Bahkan ketika ujung rumput itu memasuki lubang hidungnya, dia tetap tidak bergerak sedikit pun! Padahal, orang lain kalau dlkllik lubang hidungnya seperti itu, tentu tidak hanya akan bangun, akan tetapi juga dapat bersin.
Makin kesallah hati anak perempuan itu. “Ihhh, tidurnya seperti babi mati! Hanya akan terbangun kalau disiram air!”
Teringat air, dara cilik itu bangkit berdiri dari jongkoknya dan memandang ke kanan kiri. Dia melihat rombongan itu sudah makin dekat. Dia harus cepat-cepat memaksa kakek ini bangun sebelum kongkong-nya dekat karena tentu kongkong-nya akan memarahinya. Dilihatnya ciu-ouw (guci arak) di dekat batang pohon itu lalu diambilnya. Dibukanya tutup guci dan hatinya girang melihat bahwa didalam guci masih ada araknya. Kalau tidak ada air, arak pun jadilah untuk memaksa Si Tua malas itu bangun, pikirnya. Maka dia lalu mendekati kakek jembel itu dan menuangkan arak dari guci ke arah muka Si Pengemis tua!
Tiba-tiba terjadi keanehan yang membuat Siauw Goat menahan seruannya. Dia merasa seperti ada tenaga yang menahan tangannya, dan ketika arak itu tertumpah keluar guci, arak itu secara aneh meluncur tepat ke dalam mulut Si Kakek jembel yang sudah terbuka dan terdengar suara celegukan ketika kakek itu minum arak yang memasuki mulutnya. Padahal, mulut itu tidak berada tepat di bawah guci sehingga arak itu meluncur miring! Seolah-olah arak itu tersedot oleh tenaga aneh sehingga dapat langsung memasuki mulut!
“Wah, kau habiskan arakku, bocah setan!” Tiba-tiba guci arak itu berpindah tangan dan kakek pengemis yang sudah bangun duduk itu mengincar-incar ke dalam guci araknya yang sudah kosong karena memang araknya tinggal tidak banyak lagi dan semua telah diminumnya secara aneh tadi.
Siauw Goat menjadi marah. “Apa?! Aku yang menghabiskan arakmu? Kakek jembel, jangan kau menuduh orang sembarangan, ya? Tidak tahu malu, engkau sendirilah yang minum habis arak itu, sekarang menuduh aku yang menghabiskan. Hihh!”
“Guci itu berada di sana, apa bisa bergerak sendiri ke mulutku kalau tidak engkau setan cilik ini yang mengambilnya? Arak tinggal sedikit kuhemat-hemat, tahu-tahu sekarang kau habiskan!” Kakek jembel itu marah-marah dan bersikap seperti anak kecil.
“Ihh, kau galak dan tak tahu malu! Arak itu kau sendiri yang minum habis, mau marah kepadaku. Sudahlah, tadinya aku mau memberi derma uang, sekarang jangan harap ya? Aku tidak suka padamu!” Siauw Goat kemudian membalikkan tubuh hendak pergi meninggalkan kakek pengemis itu. Tetapi baru kira-kira tiga meter melangkah, tiba-tiba tubuhnya tertahan sesuatu, seolah-olah ada dinding tak tampak yang menghalangnya untuk melangkah maju terus.
“Aha, kau hendak lari ke mana, bocah setan? Enak saja, sudah menghabiskan arak orang lalu mau pergi begitu saja. Engkau harus mengganti arakku!”
Siauw Goat tidak tahu bagaimana dia tidak mampu bergerak maju lagi. Akan tetapi anak ini semenjak kecil sudah banyak melihat keanehan-keanehan yang diperbuat oleh orang orang pandai ilmu silat, oleh karena itu dia tidak merasa heran dan dia dapat menduga bahwa tentu kakek jembel ini seorang yang pandai dan yang sengaja mempergunakan kepandaian yang aneh untuk menahannya.
“Idihhh! Tak tahu malu! Mulut sendiri yang minum, perut sendiri yang menampung, orang lain yang disuruh bertanggung jawab. Mana bisa aku disuruh mengganti, pula mana aku punya arak? Aku tidak pernah minum arak!” teriaknya sambil membalikkan tubuh dan memandang kakek itu dengan sepasang matanya yang jernih tajam.
“Ha, kulihat engkau tidak datang sendirian. Rombonganmu tentu membawa arak untuk mengganti arakku!”
“Tidak! Biar mereka punya arak sekali pun, aku tidak sudi mengganti arak yang kau minum sendiri!” Siauw Goat yang mulai timbul kemarahan, dan kekerasan hatinya itu membentak.
“Huh, kalau begitu, harus kau ganti dengan darahmu sebanyak arakku tadi!” pengemis itu berkata.
Akan tetapi kelirulah dia kalau dia mengira dapat menakut-nakuti anak perempuan itu. Mendengar ucapan ini, sepasang mata itu makin terbelalak dan makin marah. “Aihhh! Kiranya engkau seorang jahat! Engkau tentu sebangsa siluman yang tidak hanya jahat akan tetapi juga kejam sekali dan suka minum darah manusia! Kongkong tentu akan membasmi siluman macam engkau!”
Kembali Siauw Goat hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi tetap saja dia tidak mampu menggerakkan kakinya, padahal pengemis itu hanya meluruskan tangan kiri saja ke arahnya dalam jarak tiga meter!
Pada saat itu, rombongan telah tiba di situ dan yang paling depan adalah para piauwsu. Empat orang piauwsu yang berada paling depan terkejut melihat Siauw Goat berdiri seperti patung dan meronta-ronta seperti tertahan sesuatu itu dan seorang kakek jembel yang duduk di bawah pohon menjulurkan tangan ke arah anak itu. Mereka adalah piauwsu-piauwsu yang berpengalaman dan mereka dapat menduga bahwa tentu anak perempuan itu berada di bawah kekuasaan Si Kakek Jembel sungguh pun mereka tidak tahu secara bagaimana dan mengapa. Mereka, seperti yang lain-lain, juga amat sayang dan suka kepada Siauw Goat, maka serentak empat orang ini meloncat ke dekat Siauw Goat.
“Kau kenapakah, Siauw Goat?”
“Kakek jembel itu.... dan aku.... aku tidak dapat bergerak maju!” kata Siauw Goat yang meronta-ronta, seperti melawan tangan tak nampak yang memeganginya.
Empat orang itu lalu memegang kedua tangan Siauw Goat dengan maksud hendak melepaskannya, akan tetapi tiba-tiba ada tenaga luar biasa yang mendorong mereka dan betapa pun empat orang piauwsu itu mempertahankannya, tetap saja mereka terdorong dan jatuh tunggang-langgang seperti daun-daun kering tertiup angin keras.
Melihat ini, terkejutlah Lauw-piauwsu. Dia tadi melihat betapa kakek pengemis itu hanya mendorong tangan kirinya ke depan dan empat orang anak buahnya telah terpelanting, tanda bahwa kakek itu telah melakukan pukulan jarak jauh dan ternyata tenaga sakti itu amatlah kuatnya. Di tempat seperti itu melihat orang menyerang anak buahnya, apalagi mereka telah mendengar bahwa di pegunungan ini sekarang banyak datang orang-orang dari kaum sesat, maka tentu saja Lauw-piauwsu segera menduga bahwa tentu kakek itu merupakan seorang tokoh kaum sesat yang sengaja menghadang dengan niat tidak baik. Apalagi melihat betapa Siauw Goat masih juga belum mampu bergerak, maka secepat kilat kedua tangannya itu masing-masing telah melontarkan masing-masing tiga batang pisau terbang sehingga secara berturut-turut ada enam buah pisau terbang menyambar nyambar ke arah enam bagian tubuh yang berbahaya dari kakek jembel itu!
Sepasang mata kakek pengemis itu terbelalak dan ternyata dia memiliki mata yang lebar sekali. Tangannya telah menangkap tongkat bambunya yang tersandar pada batang pohon di belakangnya dan begitu dia menggerakkan tongkat, nampak gulungan sinar menangkis cahaya-cahaya pisau terbang yang menyambar. Terdengar suara nyaring dan pisau-pisau terbang itu meluncur kembali sehingga menyerang pemiliknya dengan kecepatan yang luar biasa!
Tentu saja Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Akan tetapi sebagai seorang ahli pisau terbang, tentu saja dia dapat menghindarkan diri dari sambaran pisau-pisaunya sendiri. Tangan kanannya sudah mencabut sepasang siang-to (golok sepasang) yang kemudian dibagi dua dengan tangan kirinya dan dua gulungan sinar golok itu menyampok pisaunya yang runtuh ke atas tanah, lalu diambilnya dan disimpannya kembali ke pinggangnya.
Tiba-tiba terdengar suara Kakek Kun yang tenang namun berwibawa, “Tahan semua, jangan mencampuri urusan cucuku!” Seruan ini ditujukan kepada Lauw-piauwsu dan anak buahnya yang tentu saja sudah menjadi marah dan siap untuk mengeroyok.
Mendengar seruan ini, Lauw-piauwsu lalu meloncat mundur dan memberi isyarat kepada semua anak buahnya untuk mundur. Dia sendiri diam-diam merasa kaget dan kagum karena ketika dia menangkis pisau-pisau terbangnya tadi, ketika golok-goloknya bertemu dengan pisau-pisau kecil itu, dia merasa betapa kedua tangannya kesemutan, tanda bahwa tenaga yang melontarkan pisau-pisaunya itu amatlah kuatnya. Padahal kakek itu hanya menangkis saja pisau-pisau itu dengan tongkat bambunya. Maka dapatlah, dibayangkan betapa lihainya jembel tua itu!
Kakek Kun kini melangkah maju, masih dalam jarak tiga meter dari cucunya. Dengan sepasang matanya yang mencorong, dia menatap ke arah kakek jembel yang masih duduk sambil tersenyum itu. Kemudian Kakek Kun mengangguk dan berkata kepada pengemis itu, “Sobat, kalau cucuku mempunyai kesalahan terhadapmu, anggaplah saja itu kelancangan anak-anak, perlukah engkau menanggapinya dengan serius? Kalau hendak berurusan, baiklah engkau berurusan dengan aku sebagai kakeknya yang bertanggung jawab!”
Lauw-piauwsu dan orang-orangnya memandang dengan hati tegang dan juga dengan penuh keheranan. Baru sekarang mereka mendengar Kakek Kun bicara banyak dan begitu kakek ini mengeluarkan suara, mereka dapat mengenal ciri-ciri kegagahan seorang kang-ouw yang menghadapi segala bahaya dan ancaman dengan tenang dan dingin. Kakek Kun memang dapat melihat betapa cucunya berada dalam kekuasaan tenaga sakti dari pengemis tua itu, maka dia tidak mau menggunakan kekerasan dan melarang orang-orang lain menyerang pengemis itu karena hal ini dapat membahayakan cucunya.
Pengemis itu membalas pandang mata Kakek Kun, lalu mencorat-coret tanah di depannya dengan tangan kanan yang memegang tongkat, sedangkan tangan kirinya masih tetap diluruskan ke arah Siauw Goat yang masih berdiri tak mampu pergi. Kemudian dia berkata dengan suara bernada mengejek. “Kalau berada di dunia bawah sana, tentu saja aku Si Jembel Tua tidak akan sudi ribut-ribut dengan seorang anak kecil. Akan tetapi di sini, arak merupakan sebagian nyawaku. Arakku tinggal sedikit dihabiskan oleh anak lancang ini, maka sebelum arakku diganti, takkan kubebaskan dia!” Suaranya penuh tantangan ditujukan kepada semua orang yang berdiri di depannya.
“Bohong! Dia bohong, Kongkong! Sisa arak dalam gucinya itu dia minum sendiri sampai habis!” teriak Siauw Goat dengan marah.
Kakek Kun mengerutkan alisnya yang sudah putih semua dan matanya yang mencorong menyambar kepada wajah pengemis itu. “Cucuku tidak pernah membohong!” bentaknya.
Pengemis tua itu memandang kepada Siauw Goat. “Setan cilik, hayo kau katakan siapa yang mengambil guci arakku dan menuangkan sisa araknya sampai habis!”
“Memang aku yang mengambil, aku pula yang menuangkan sisa araknya, akan tetapi kutuangkan semua ke dalam mulutmu! Hayo kau sangkal kalau berani!” bentak Siauw Goat dengan sikap menantang.
“Tetap saja perbuatanmu itu membuat arakku habis, baik masuk perut atau pun masuk tanah. Engkau atau orang lain harus mengganti arakku!” kakek jembel itu bersikeras dengan sikap kukuh.
Tiba-tiba terdengar suara yang halus tenang. “Locianpwe, semua omongan baru benar kalau ada buktinya. Apakah Locianpwe dapat membuktikan bahwa guci arakmu itu telah kosong?” Semua orang menoleh, juga pengemis tua itu dan yang bicara dengan tenang itu bukan lain adalah Si Sastrawan muda tadi, yang sudah berdiri dengan sikap tenang menghadapi pengemis tua itu.
“Tentu saja!” Pengemis tua itu berteriak. “Lihat, ini guci arakku kosong sama sekali!” Dia mengangkat guci arak yang kosong itu, mengarahkan mulut guci ke depan.
Tiba-tiba nampak sinar kuning emas meluncur dari tangan sastrawan itu dan tercium bau arak wangi. Semua orang terbelalak ketika melihat bahwa sinar kuning emas itu adalah arak yang muncrat keluar dari dalam guci arak yang dipegang oleh tangan kanan sastrawan itu dan arak itu terus meluncur ke depan, tepat sekali memasuki guci arak kosongnya yang dipegang oleh Si Pengemis tua! Demikian cepatnya peristiwa ini terjadi dan demikian kagum dan herannya semua orang sehingga suasana menjadi sunyi dan yang terdengar hanyalah percikan arak yang masuk ke dalam guci kakek jembel. Kakek itu pun terbelalak dan tersenyum lebar. Gucinya pun terisi arak dan kini sastrawan itu sudah menyimpan kembali gucinya dan sinar kuning emas itu pun lenyap.
“Saya telah mengganti arakmu, Locianpwe!” katanya tenang.
Kakek jembel itu mendekatkan mulut guci ke depan hidungnya, menyedot-nyedot dan terkekeh girang. “Wah, arak wangi dari Pao-teng kiranya! Hemm, wangi.... wangi!” Dan dia pun meneguk sekali, mengecap-ngecap bibirnya. “Hebat, arak tua yang lezat. Ha-ha-ha, anak baik, kau boleh pergi sekarang.” Dia menurunkan tangan kirinya dan Siauw Goat pun dapat bergerak.
Anak ini lalu berlari mendekati kongkong-nya. “Kongkong, kau bunuhlah siluman jahat ini!” katanya merengek, menarik tangan kakeknya mendekati pengemis itu. Akan tetapi pengemis itu sudah merebahkan diri lagi, meringkuk miring seperti orang hendak tidur lagi, tanpa mempedulikan mereka semua!
Tentu saja Kakek Kun menjadi bingung dan ragu. Sebagai seorang yang berpandangan luas, dia tahu bahwa kakek jembel itu adalah seorang kang-ouw yang pandai, dan kesalahannya terhadap cucunya tidaklah sedemikian hebatnya sehingga perlu dibunuh seperti diminta oleh cucunya. Maka dia menarik tangan Siauw Goat menjauhi pengemis itu.
Siauw Goat yang bertolak pinggang dengan tangan kiri memandang kepada pengemis itu penuh kemarahan, tertarik pergi menjauh.
“Kongkong, katamu kita harus bersikap gagah, kalau bertemu orang jahat atau siluman harus menentangnya. Jembel tua bangka ini jelas orang jahat atau siluman, mengapa Kongkong tidak menghajarnya? Dia akan menjadi semakin besar kepala!”
Kembali Kakek Kun mengerutkan alisnya karena bingung. Dia tak ingin mencari perkara dengan kakek jembel itu, akan tetapi kalau dia diam saja, tentu kakek pengemis itu akan memandang rendah kepadanya, dan dia akan menjadi buah tertawaan orang-orang lain.
“Sudahlah, perlu apa layani dia?” Akhirnya dia berkata.
Ucapan ini membuat Si Kakek pengemis bangkit lalu dia tertawa bergelak, jenggotnya yang tidak teratur itu bergerak-gerak.
“Ha-ha-ha-ha!” Kakek jembel itulah yang tertawa mendengar permintaan cucu kepada kakeknya itu. “Apakah aku ini dianggap lalat saja yang mudah dibunuh? Eh, engkau yang mempunyai cucu bengal itu, coba kau ambil daun ini apakah dapat sebelum bicara tentang bunuh-membunuh!” Sambil berkata demikian, jembel tua itu mengambil sehelai daun pohon yang gugur.
Daun yang sudah mulai menguning itu lalu dilontarkannya ke atas dan daun itu melayang naik. Akan tetapi kakek jembel itu tidak menurunkan tangannya, dan tangan itu seperti ketika dia ‘menahan’ Siauw Goat tadi, diangkat dengan telapak tangan ke arah daun itu dan.... daun itu tidak dapat melayang turun, mengambang di udara seperti tertahan oleh suatu tenaga yang tidak nampak, kemudian daun itu melayang ke arah Kakek Kun!
Kakek Kun sejak tadi memandang tajam dan mengertilah dia bahwa kakek jembel itu memamerkan tenaga sinkang yang dipergunakan untuk menyerangnya dengan daun itu, sungguh pun penyerangan itu hanya merupakan suatu ujian belaka.
“Hemm, cucuku memang masih kecil, akan tetapi engkau tak lain hanyalah seorang anak kecil pula yang bertubuh tua bangka!” kata Kakek Kun dan dia pun lalu meluruskan tangannya ke depan, ke arah daun yang melayang-layang ke arah dirinya itu.
Daun itu berhenti ditengah-tengah, tidak meluncur maju lagi, seolah-olah tertahan oleh tenaga lain yang datang dari kakek itu, bahkan terdorong mundur kembali ke arah kakek pengemis. Akan tetapi kakek pengemis itu menggetarkan tangannya dan kini daun itu berhenti di tengah-tengah di antara dua orang kakek. Mereka tidak bicara lagi, dan mata mereka ditujukan ke arah daun yang diam saja di udara seperti terjepit di antara dua kekuatan dahsyat!
Makin lama dua orang kakek itu makin diam dan lengan mereka yang diluruskan tergetar, makin lama makin menggigil dan dari kepala mereka mulai nampaklah uap putih! Inilah tanda bahwa keduanya saling mengerahkan tenaga untuk mencapai kemenangan dalam adu tenaga dalam yang amat dahsyat itu!
Semua piauwsu yang dipimpin oleh Lauw-piauwsu memandang dengan mata terbelalak dan muka penuh ketegangan. Tingkat kepandaian mereka, bahkan tingkat kepandaian Lauw-piauwsu sendiri, tidaklah mencapai setinggi itu, tetapi mereka semua mengerti apa artinya pertandingan antara dua orang kakek ini. Baru sekarang Lauw-piauwsu dan semua anak buahnya sadar bahwa dua orang kakek itu benar-benar merupakan orang orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali!
Diam-diam sastrawan muda itu memandang pertandingan itu dengan kedua alis berkerut dan pandang mata penuh kekhawatiran. Hanya dialah yang tahu, di antara para anggota rombongan itu, di samping dua orang kakek yang saling bertanding tenaga sinkang, bahwa pertandingan itu mengandung bahaya yang amat hebat antara dua orang itu, keduanya terancam bahaya besar yang dapat menyeret nyawa mereka ke alam baka!
Pertandingan itu sudah terlanjur, tenaga sinkang mereka sudah terlanjur saling melekat dan sukar untuk ditarik kembali karena siapa yang menariknya kembali lebih dulu akan terancam bahaya dorongan hawa sinkang lawan. Melanjutkannya pun berbahaya karena mereka memiliki tingkat tenaga sinkang yang berimbang, dan kalau dilanjutkan maka keduanya akhirnya tentu akan kehabisan tenaga dan dapat terluka sendiri. Kalau keduanya mau menarik kembali tenaga dalam waktu yang bersamaan, agaknya mereka masih dapat tertolong, akan tetapi agaknya kedua orang kakek ini sama-sama memiliki kekerasan hati dan tidak ada yang mau mengalah!
“Ji-wi seperti dua orang anak kecil sedang berebutan sehelai daun!” Tiba-tiba terdengar sastrawan itu berseru. Dari samping dia lalu menggerakkan tangan kanannya ke depan, mengarah tengah-tengah antara kedua orang kakek itu, yaitu ke arah daun yang masih mengambang di udara.
Dua orang kakek itu berseru kaget dan daun itu hancur-lebur, rontok berhamburan melayang ke bawah. Dua orang kakek itu sudah menarik tenaga masing-masing pada saat yang sama ketika keduanya merasa terdorong oleh tenaga yang luar biasa kuatnya dan mereka terhindar dari mala petaka. Kini mereka dengan mata terbelalak memandang kepada sastrawan itu yang berdiri dengan sikap tenang saja. Bahkan Kakek Kun sendiri tidak pernah menyangka bahwa sastrawan itu ternyata memiliki tenaga sinkang yang demikian dahsyatnya, sungguh pun dia sudah tahu bahwa sastrawan itu bukan orang sembarangan.
Kakek pengemis itu kini bangkit berdiri, tubuhnya kurus sekali dan tingginya sedang saja, tangan kanan memegang tongkat bambu dan tangan kiri memegang guci arak. Ujung tongkat bambunya kini menyentuh mangkok retak di bawah pohon dan mangkok itu melayang naik, lalu seperti seekor burung hidup saja mangkok itu menyambar turun dan menyusup ke dalam karung butut di atas punggungnya.
Tiba-tiba sastrawan itu berkata, suaranya seperti orang bernyanyi perlahan akan tetapi pandang matanya yang tajam ditujukan kepada kakek pengemis itu.
“Arak untuk menghibur hati yang duka, mangkok untuk minta derma, dan tongkat untuk memukul anjing. Kalau arak untuk mabok-mabokan, mangkok untuk memaksa orang memberi makanan dan tongkat digunakan untuk memukul orang baik-baik, itu namanya menyeleweng dan tidak pantas menjadi pengemis!”
Mendengar ucapan itu, kakek pengemis terbelalak dan memandang penuh keheranan kepada Si Sastrawan dari kepala sampai ke kaki. Kemudian dia mengangguk-angguk, lalu berkata, “Bukankah itu ajaran terkenal dari Khong-sim Kai-pang?”
“Khong-sim Kai-pang sekarang sudah tidak ada lagi,” jawab sastrawan itu.
Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) adalah sebuah perkumpulan yang paling terkenal di jaman dahulu, merupakan perkumpulan yang paling terkenal di antara perkumpulan pengemis lain, dan ketuanya, yaitu keturunan orang she Yu yang amat lihai, dianggap sebagai tokoh besar dunia pengemis.
“Siapa tidak tahu akan hal itu? Akan tetapi, bukankah masih ada ketuanya yang terakhir, yaitu Sai-cu Kai-ong? Orang muda yang perkasa, apakah hubunganmu dengan Sai-cu Kai-ong?”
“Beliau pernah menjadi guruku.”
Mendengar jawaban ini, pengemis tua itu kelihatan terkejut dan cepat menjura. Jawaban itu menunjukkan bahwa pemuda ini bukan hanya menjadi murid tokoh pengemis besar itu, akan tetapi juga tentu telah mempelajari ilmu dari orang lain, maka jawabannya adalah ‘pernah menjadi guruku’.
“Aihh, kiranya begitu! Sungguh lama sekali aku tidak berjumpa dengan Sai-cu Kai-ong yang amat kukagumi, dan kini bertemu dengan seorang muridnya yang perkasa, benar benar merupakan pertemuan yang menggembirakan. Jangan khawatir, orang muda, aku Koai-tung Sin-kai selamanya tidak pernah meninggalkan kedudukan pengemis untuk berubah menjadi perampok, dan tongkat bututku ini tidak pernah salah memukul orang!” Kakek kurus itu tertawa.
Sastrawan itu memandang tajam. Tentu saja ia juga pernah mendengar nama Koai-tung Sin-kai Bhok Sun, seorang tokoh dunia pengemis yang amat terkenal, sebagai datuk kaum pengemis di dunia selatan di samping beberapa orang lagi tokoh-tokoh pengemis di daerah timur dan selatan. Maka dia pun menjura dengan hormat.
“Kiranya Locianpwe adalah Koai-tung Sin-kai yang terkenal. Saya percaya bahwa Locianpwe tidak pernah salah memukul orang, akan tetapi tadi hampir saja terjadi hal yang tidak menyenangkan antara teman segolongan sendiri.” Sastrawan muda itu berani menggunakan sebutan segolongan karena dia mengenal nama kakek pengemis itu sebagai seorang tokoh kang-ouw yang bersih, sedangkan Kakek Kun ini, biar pun belum diketahuinya benar, dia percaya bukanlah seorang penjahat.
Koai-tung Sin-kai tertawa gembira. “Ha-ha-ha, semua gara-gara kekerasan hati, dan dibandingkan dengan kami dua orang tua yang keras hati, anak perempuan itu memiliki kekerasan hati yang jauh lebih hebat lagi!” Dia lalu menjura kepada Kakek Kun sambil berkata, “Sahabat, maafkan kesalah fahaman tadi. Engkau sungguh hebat dan membuat aku Koai-tung Sin-kai merasa takluk. Tidak tahu siapakah julukanmu?”
Kakek Kun mengerutkan alisnya, agaknya sukar untuk menjawab. Sementara itu, tiba tiba Siauw Goat berkata dengan suaranya yang merdu dan nyaring. “Kongkong, hati-hati, di balik air tenang ada ikan buasnya, di balik kulit halus ada ulatnya!”
Semua orang tentu saja mengerti apa yang dimaksudkan oleh gadis cilik ini, yang hendak memperingatkan kakeknya agar tidak tertipu oleh sikap manis pengemis tua itu karena dia masih saja merasa penasaran dan menganggapnya jahat. Akan tetapi kakek pengemis itu tertawa gembira mendengar ucapan itu.
“Hei, anak nakal, engkau pendendam benar, akan tetapi engkau pun membantuku untuk berkenalan dengan orang-orang gagah seperti murid Sai-cu Kai-ong dan kakekmu ini, tentu saja kalau dia tidak merasa terlalu tinggi untuk berkenalan dengan seorang jembel tua bangka seperti aku!”
Ucapan dan sikap kakek pengemis itu membayangkan ketinggian hatinya, sungguh tidak sesuai sama sekali dengan keadaan pakaiannya seperti seorang pengemis! Dan Kakek Kun sejenak memandang dengan sinar mata tajam dan mukanya berubah pucat, akan tetapi hal ini hanya dapat ditangkap oleh pandang mata sastrawan itu yang mengerutkan alisnya karena sastrawan ini dapat melihat bahwa kakek ini seperti merasa terpukul dan agaknya kakek ini menderita sekali. Padahal dia tahu bahwa dalam adu tenaga tadi, Kakek Kun tidak kalah kuat, maka tidak mungkin kalau terluka oleh adu tenaga tadi. Akan tetapi sekarang kakek itu menunjukkan gejala-gejala seperti orang yang menderita luka dalam yang amat hebat, sungguh pun hal itu agaknya hendak disembunyikan. Akan tetapi mengingat akan keangkuhan kakek ini, Si Sastrawan juga mengambil sikap tidak peduli.
Akhirnya terdengar kakek itu menggumam, “Orang-orang menyebutku Kakek Kun, dan aku tidak ingin mencari musuh baru atau sahabat baru.” Setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya membelakangi pengemis itu dan terdengar dia batuk-batuk kecil lalu menggandeng tangan cucunya dan pergi dari situ.
Sejenak kakek pengemis itu memandang dengan mata terbelalak, mukanya lalu menjadi merah dan dia tertawa. “Ha-ha-ha, aku pun tidak ingin berdekatan dengan rombongan orang-orang tinggi hati dan besar kepala. Huhhh!” Kakek pengemis itu berkelebat dan sekali meloncat dia pun lenyap dari situ.
Semua orang terkejut, termasuk Lauw Sek. Kepala piauwsu ini sudah banyak melakukan perjalanan dan bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh, maka mengertilah dia bahwa pengemis tua itu benar-benar seorang yang pandai sekali dan untunglah bahwa orang pandai itu tidak bermaksud mengganggu barang-barang kawalannya. Juga dia merasa beruntung bahwa ada orang-orang sakti seperti Kakek Kun dan juga sastrawan muda itu dalam rombongannya.
“Kita mengaso di sini dulu,” katanya, lebih banyak ditujukan kepada tiga orang saudagar gendut itu. “Malam nanti kita dapat melewatkan malam di dalam hutan bambu, dan besok pagi-pagi kita menuruni lembah di depan itu dan tiba di dusun Lhagat, dari mana kita akan melanjutkan pendakian ke Pegunungan Himalaya.”
Sambil mengeluarkan napas lega tiga orang saudagar itu mencari tempat teduh di bawah pohon, melepaskan beberapa kancing baju bagian atas lalu mengebut-ngebutkan kipas yang mereka bawa untuk mengeringkan peluh yang membasahi leher dan dada. Para pemikul barang kawalan rombongan piauwsu itu pun menurunkan pikulan mereka dan para piauwsu membuka buntalan mengeluarkan bekal makanan dan minuman.
Sastrawan itu menyendiri agak jauh, duduk melamun dengan wajah seperti biasanya, agak sayu dan muram. Demikian pula Kakek Kun membawa cucunya menjauh sedikit, duduk bersila dan seperti orang bersemedhi, sedangkan cucunya nampak makan bekal mereka roti kering sambil minum air jernih dari guci. Agaknya kakek itu mengomeli cucunya, sebab tidak seperti biasa, Siauw Goat juga menjadi pendiam dan agak murung, duduk saja dekat kakeknya, tidak seperti biasa lincah dan tak pernah mau diam.
Setelah peristiwa yang baru saja terjadi, di mana sastrawan itu dan Kakek Kun terpaksa memperlihatkan ilmu mereka yang tinggi, rombongan piauwsu itu menjadi jeri dan sungkan, tidak berani sembarangan menegur, apalagi bersikap sebagai sahabat-sahabat yang setingkat! Mereka bahkan mempunyai perasaan segan dan takut-takut. Agaknya Kakek Kun dan sastrawan itu juga merasa lebih senang kalau didiamkan saja, lebih senang tenggelam dalam lamunan mereka sendiri!
Setelah makan minum dan beristirahat, Lauw-piauwsu lalu menggerakkan lagi rombongannya. “Kita tidak boleh terlambat, sebelum gelap harus dapat tiba di hutan bambu di lembah itu karena sekeliling daerah ini hanya hutan bambu itulah tempat yang paling baik untuk melewatkan malam,” katanya dan semua orang tidak ada yang membantah, biar pun dari wajah mereka, tiga orang saudagar gendut itu mengeluh. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahan menderita, hal itu karena mereka mengharapkan keuntungan berlipat ganda dari batu-batu permata di saku-saku baju mereka, yang akan mereka jual di Nepal atau Bhutan.
Memang amat luar biasa. Betapa manusia dapat menahan segala kesukaran, segala derita kalau dia sedang mengejar sesuatu yang dianggapnya akan mendatangkan kesenangan! Perjalanan itu amat melelahkan, jalannya naik turun dan kadang-kadang melalui daerah yang berbatu dan batu-batu yang runcing itu seperti hendak menembus sepatu, terasa oleh kulit telapak kaki. Akan tetapi menjelang senja, akhirnya dengan tubuh yang amat letih bagi tiga orang saudagar itu, tibalah mereka di hutan bambu yang dirmaksudkan oleh Lauw-piauwsu. Para piauwsu juga letih. Apalagi orang-orang yang memikul barang bawaan mereka itu, mereka mandi keringat ketika menurunkan barang barang itu, menumpuknya di dekat rumpun bambu yang tinggi melengkung.
Tanah di hutan itu penuh dengan daun bambu kering sehingga enak diduduki, seperti duduk di atas kasur saja.
“Hati-hati kalau malam nanti membuat api unggun,” kata Lauw-piauwsu. “Sekitar api unggun harus dibersihkan dari daun kering agar tidak menjalar dan menimbulkan kebakaran dalam hutan, walau pun hal itu agaknya tidak mungkin karena kurasa malam ini hawanya akan dingin dan lembab. Sebaiknya membuat satu api unggun besar dan kita duduk di sekelilingnya, agar lebih hangat dan lebih aman, dapat saling menjaga.”
Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang mengejutkan dan seorang di antara para piauwsu yang tadi mencari ranting-ranting kering agak jauh dari situ berlari mendatangi dengan muka pucat dan napas yang memburu, kelihatan ketakutan sekali, kemudian terdengar dia berteriak dengan suara gagap. “Ada.... ada mayat....!”
Semua orang lalu memburu ke arah piauwsu itu menudingkan telunjuknya yang gemetar dan setelah tiba di tempat itu barulah mereka tahu mengapa piauwsu itu, seorang yang biasa dalam pertempuran dan sudah sering kali melihat orang terbunuh, kelihatan begitu gugup dan ketakutan. Memang amat mengerikan sekali apa yang mereka lihat itu. Mayat-mayat berserakan, dalam keadaan menyedihkan karena tidak ada tubuh mereka yang utuh! Tubuh itu seperti ‘dirobek-robek’, bahkan ada yang kaki tangannya putus atau terlepas dari badan! Dan melihat betapa tempat itu masih berceceran darah yang mulai membeku dapat diduga bahwa pembunuhan itu terjadi di hari tadi. Ada lima mayat di tempat itu.
Tentu saja para piauwsu menjadi ribut, dan tiga orang saudagar gendut itu hampir saja pingsan, lari menjauhi dan muntah-muntah. Hanya sastrawan itu dan Kakek Kun yang tetap tenang, walau pun kakek itu melarang cucunya mendekat, kemudian membawa cucunya kembali dan menjauh dari tempat yang menyeramkan itu.
Lauw-piauwsu lalu mengajak anak buahnya untuk menggali sebuah lubang besar dan menguburkan lima mayat itu menjadi satu. Melihat ini, ada sinar mata kagum pada mata Kakek Kun yang mencorong itu dan dia mulai merasa suka kepada kepala piauwsu itu yang ternyata, dalam keadaan seperti itu, meski dia seorang yang biasa menggunakan kekerasan dan menghadapi tantangan hidup dengan golok di tangan, namun masih memiliki peri kemanusiaan dan suka mengurus dan mengubur mayat orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya.
Dengan adanya lima mayat di dekat tempat itu, tentu saja suasana menjadi seram dan semua orang merasa amat tidak enak hatinya. Sastrawan muda yang sejak tadi termenung, kini bangkit berdiri dan melangkah pergi.
“Taihiap, engkau hendak ke manakah?” Lauw-piauwsu tidak dapat menahan hatinya dan bertanya sambil menghampiri sastrawan yang agaknya hendak pergi itu. Dia menyebut taihiap karena dia maklum bahwa sastrawan itu adalah seorang pendekar yang amat tinggi ilmunya. Sebelum peristiwa dengan kakek pengemis itu, dia selalu menyebutnya kongcu (tuan muda). Sastrawan muda itu berhenti melangkah dan menoleh.
“Pembunuh kejam itu tentu berada di sekitar sini, aku hendak menyelidiki.” katanya, lalu melanjutkan langkahnya.
Lauw-piauwsu tidak berani bertanya lebih banyak lagi, bahkan hatinya merasa lega karena memang tadi pun dia sudah merasa curiga. Pembunuhan kejam itu belum lama terjadi dan memang kemungkinan besar pembunuhnya, siapa pun orangnya atau apa pun makhluknya, masih bersembunyi di sekitar hutan bambu ini. Dia bergidik mengingat ini dan setelah anak buahnya membuat sebuah api unggun yang besar dan semua orang mulai mengaso tanpa makan malam karena tidak ada yang dapat menelan makanan setelah melihat keadaan mayat-mayat itu, Lauw-piauwsu lalu mengatur para anak buahnya untuk melakukan penjagaan secara bergilir.
Malam itu suasananya sunyi sekali, sunyi yang amat menyeramkan. Suasana ini bukan hanya diciptakan oleh keadaan di dalam hutan bambu itu, yang memang terasa amat menyeramkan, dengan bunyi daun-daun bambu terhembus angin, bergesekan dan diseling suara berdesirnya batang-batang bambu yang saling bergosokan, seperti tangis setan dan iblis tersiksa dalam neraka dongeng, melainkan terutama sekali disebabkan oleh perasaan ngeri dan takut yang menyelubungi hati rombongan itu.
Lewat tengah malam, di waktu keadaan amat sunyinya karena sebagian dari anggota rombongan sudah tidur, sedangkan angin pun berhenti bertiup sehingga keadaannya amat sunyi melengang, tiba-tiba terdengar pekik-pekik kesakitan. Tentu saja pekik yang merobek kesunyian itu mengejutkan semua orang. Bahkan mereka yang sudah tidur, tentu saja tidur dalam keadaan gelisah dan diburu ketakutan, serentak terbangun dan keadaan menjadi panik. Apalagi ketika mereka melihat dua di antara empat orang pemikul barang itu telah roboh mandi darah dan tak bergerak lagi, sedangkan dua orang piauwsu sudah luka-luka namun masih mempertahankan diri melawan dua orang laki-laki tinggi besar yang amat lihai!
Ketika semua orang terbangun dan memandang, ternyata dua orang piauwsu itu pun tak sanggup mempertahankan diri lebih lama lagi. Mereka berdua ini bersenjata golok besar, akan tetapi mereka terdesak hebat oleh dua orang tinggi besar yang tidak memegang senjata, akan tetapi kedua tangan mereka memakai semacam sarung tangan yang mengerikan karena sarung tangan itu dipasangi lima buah jari tangan yang melengkung dan berkuku tajam kuat terbuat dari pada baja! Tubuh dua orang piauwsu itu sudah luka luka dan mandi darah dan pada saat Lauw-piauwsu meloncat, dua orang piauwsu itu roboh dengan perut terbuka karena dicengkeram dan dikoyak oleh kuku-kuku baja itu. Mereka pun menjerit dan berkelojotan!
Toat-beng Hui-to Lauw Sek marah sekali dan kedua tangannya diayun. Nampak sinar sinar berkilauan menyambar ke arah dua orang tinggi besar itu.
“Tring-tring-cring....!”
Dua orang itu tidak mengelak, akan tetapi menggerakkan kedua tangan mereka dan enam batang hui-to yang menyambar mereka itu dapat mereka sampok runtuh semua! Pada saat itu, seorang piauwsu cepat menambah kayu pada api unggun sehingga keadaan menjadi terang.
“Kalian....!?” Lauw-piauwsu berteriak dengan mata terbelalak ketika dia kini mengenal wajah dua orang tinggi besar itu yang tertimpa sinar api unggun.
Semua orang pun menjadi terkejut dan terheran-heran karena dua orang tinggi besar itu bukan lain adalah dua di antara empat orang pemikul barang-barang dalam rombongan mereka! Dua di antara para pemikul barang-barang yang mereka tadinya hanya anggap sebagai orang--orang kasar yang mengandalkan tenaga kasar untuk menjadi kuli angkut dan memperoleh hasil nafkah sekedarnya itu!
“Kalian anggota Eng-jiauw-pang...?” Kembali Lauw-piauwsu berseru dengan keheranan masih mencekam hatinya.
“Ha-ha-ha!” Seorang di antara dua orang ‘kuli’ itu tertawa. “Lauw-piauwsu, kami hanya menghendaki satu peti ini saja!” katanya sambil menepuk peti hitam yang sudah diikat di punggungnya. Peti kecil itu justru merupakan benda yang paling berharga di antara semua yang dikawalnya karena peti itu berisi batu-batu intan besar.
“Pek-i-piauw-kiok tidak pernah bermusuhan dengan Eng-jiauw-pang, harap kalian suka memandang persahabatan antara dunia liok-lim (rimba hijau) kangouw (sungai telaga) dan tidak mengganggu. Pada suatu hari tentu aku sendiri yang akan datang mengunjungi Eng-jiauw-pang untuk menghaturkan terima kasih,” kata Lauw Sek dengan tenang akan tetapi dengan kemarahan yang sudah mulai naik ke kepalanya.
Diam-diam ketua Pek-i-piauw-kiok ini merasa menyesal sekali mengapa bisa sampai ‘kebobolan’ dan tidak tahu bahwa ada perampok dari perkumpulan perampok yang paling ganas di Se-cuan menyamar sebagai dua orang kuli angkut barang! Memang dua orang kuli angkut ini baru pertama kali dipekerjakan, namun dengan perantaraan dua orang kuli lain yang kini telah tewas itu, dibunuh oleh dua orang anggota Eng-jiauw-pang.
Dia segera mengenal dua orang anggota Eng-jiauw-pang begitu melihat cakar garuda di kedua tangan itu, yang merupakan sarung tangan dan senjata andalan dari para anggota Eng-jiauw-pang yang tidak banyak jumlahnya akan tetapi rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu. Selama ini dia tidak pernah mau berurusan dengan fihak Eng-jiauw-pang dan perampok-perampok ini pun bukan perampok biasa, tidak pernah merampok barang barang yang tidak berharga.
“Ha-ha-ha, antara perampok dan piauwsu, mana ada kerja sama yang adil? Kalau kalian berani main sogok seribu tail, tentu karena kalian ada untung sepuluh ribu tail! Sudahlah, kami sudah bersusah payah memangguli barang-barang ini, dan peti ini adalah upah kami!”
“Tidak mungkin kalian dapat melarikan peti itu tanpa melalui mayatku!” Lauw-piauwsu membentak dan dia sudah menerjang maju dengan sepasang goloknya, diikuti anak buahnya yang hanya tinggal sembilan orang saja karena yang dua orang sudah terluka parah.
Terjadilah perkelahian yang amat hebat di bawah sinar api unggun yang kadang-kadang membesar kadang-kadang mengecil itu. Bayangan-bayangan yang dibuat oleh sinar api ini sungguh menambah seramnya keadaan karena seolah-olah banyak iblis dan setan ikut pula berkelahi, atau menari-nari kegirangan di antara mereka yang bertempur mati matian.
Dua orang En-jiauw-pang itu memang lihai bukan main. Sepasang senjata mereka yang merupakan sarung tangan berkuku baja itu amat berbahaya dan biar pun mereka berdua dikeroyok oleh sepuluh orang piauwsu yang bersenjata tajam, namun mereka berhasil melukai pula empat orang! Namun, Lauw-piauwsu memutar sepasang goloknya secara cepat dan dibantu oleh sisa teman-temannya, dia berhasil mendesak dan mengepung ketat sehingga dua orang Eng-jiauw-pang itu kewalahan juga. Tiba-tiba seorang di antara mereka membentak keras, terdengar ledakan dan nampak asap kehijauan mengepul tebal.
“Awas asap beracun!” Lauw-piauwsu berseru dan anak buahnya berlompatan mundur.
Dengan sendirinya kepungan itu menjadi berantakan dan dua orang Eng-jiauw-pang itu menggunakan kesempatan ini untuk melompat jauh ke belakang. Akan tetapi, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan mereka melihat seorang kakek tua sudah berdiri di depan mereka! Kakek ini bukan lain adalah Kakek Kun yang berdiri dengan wajah bengis.
“Tinggalkan peti itu!” bentaknya.
“Kun-locianpwe, harap engkau jangan mencampuri urusan antara Eng-jiauw-pang dan Pek-i-piauw-kiok!” seorang di antara mereka berseru marah.
“Hemm, aku tak peduli apa itu Eng-jiauw-pang dan apa itu Pek-i-piauw-kiok. Aku melihat kalian melakukan kejahatan, maka dari mana pun kalian datang pasti akan kutentang!”
Dua orang itu membentak keras dan mereka menubruk dari kanan kiri. Kakek Kun cepat menangkis dan balas menyerang dengan pukulan dan tamparan yang juga dapat dielakkan dan ditangkis oleh dua orang Eng-jiauw-pang itu. Terjadilah pertempuran amat serunya dan kini keadaan menjadi terbalik. Kalau tadi dua orang Eng-jiauw-pang yang dikeroyok banyak itu mampu mendesak para pengepungnya, sebaliknya kini mereka mengeroyok seorang kakek dan merekalah yang terdesak hebat. Setiap tamparan yang keluar dari tangan kakek itu demikian ampuhnya sehingga kalau mereka tidak mampu mengelak dan terpaksa menangkisnya, mereka tentu terdorong dan terhuyung-huyung!
Betapa pun juga, dua orang perampok itu menjadi nekat oleh karena tempat itu sudah dikepung lagi oleh Lauw-piauwsu dan teman-temannya, siap untuk menerjang kalau mereka berdua hendak melarikan diri. Pertempuran dilanjutkan dengan mati-matian. Namun setelah lewat lima puluh jurus lebih, setelah berkali-kali mengadu tenaga mereka dengan sinking, akhirnya dengan tamparan-tamparannya yang mengandung tenaga sinkang amat kuat itu Kakek Kun berhasil membuat mereka terpelanting dan mengaduh aduh, sukar untuk bangkit kembali!
Lauw-piauwsu merampas kembali peti hitam itu dan dia sudah mengangkat golok untuk membunuh. Akan tetapi Kakek Kun berseru, “Jangan bunuh mereka yang sudah kalah!”
Dua orang perampok itu merangkak dan bangkit berdiri, memandang kepada Kakek Kun, tidak tahu harus marah ataukah harus berterima kasih! Mereka merasa digagalkan oleh kakek ini, akan tetapi sebaliknya, nyawa mereka pun tertolong olehnya! Mereka tadinya jeri terhadap Si Sastrawan, maka mereka selalu mencari kesempatan. Kini sastrawan itu pergi menyelidiki pembunuh orang-orang dalam hutan itu, dan mereka turun tangan. Tak mereka sangka bahwa kakek yang pendiam dan tak acuh itu turun tangan mencampuri dan menggagalkan usaha mereka!
Melihat sinar mata dua orang itu, Kakek Kun menggerakkan tangan dan menarik napas panjang, suaranya terdengar lirih sekali. “Pergilah.... pergilah....!”
Kedua orang itu kemudian mengangguk dan berjalan pergi menghilang ke dalam gelap. Lauw-piauwsu yang dapat merampas kembali peti hitam itu, cepat menghampiri Kakek Kun dan memberi hormat, “Kun-locianpwe telah menolong kami, sungguh besar budi Locianpwe dan kami menghaturkan banyak terima kasih....”
“Kongkong....!” Siauw Goat berseru dan Lauw-piauwsu bersama para piauwsu lainnya terkejut melihat kakek itu terhuyung-huyung, kemudian dari mulut kakek itu tersembur darah segar.
“Kun-locianpwe....!” Lauw-piauwsu mendekat hendak menolong, akan tetapi kakek itu menggerakkan tangan, lalu menuntun cucunya mendekati api unggun di mana dia duduk bersila sebentar. Wajahnya pucat sekali, napasnya terengah-engah, akan tetapi makin lama pernapasannya makin baik dan normal kembali, sungguh pun wajahnya masih amat pucat.
“Kongkong, kenapa melayani segala macam maling dan rampok? Kongkong telah terluka parah, masih melayani segala jembel dan perampok busuk!” terdengar Siauw Goat mengomel.
“Kongkong....!” Gadis cilik itu memegangi lengan kakeknya. Dia lebih mengenal kakeknya dan tahu bahwa kakeknya amat menderita.
Lauw-piauwsu kembali mendekat dan dia melihat kakek yang disangkanya sudah sembuh itu kini merebahkan diri telentang di atas tanah bertilam daun-daun bambu, dekat api unggun. Siauw Goat berlutut didekatnya, nampak berduka dan alisnya berkerut seperti menunjukkan ketidak senangan hatinya.
“Kun-Locianpwe, dapatkah saya membantu Locianpwe?” Lauw-piauwsu mendekati dan bertanya, sedangkan para anak buahnya sibuk mengurus mereka yang terluka dalam pertandingan melawan dua orang perampok Eng-jiauw-pang tadi, sedangkan dua orang kuli angkut itu telah tewas.
Kakek itu tidak menjawab dan Siauw Goat menunduk, memegangi tangan kakeknya dengan sikap amat berduka. Lauw-piauwsu makin mendekat, memperhatikan dan akhirnya dia memegang pergelangan tangan kakek itu. Denyut nadinya lemah sekali dan tahulah dia bahwa kakek ini telah pingsan! Maka dia lalu mengeluarkan obat gosok, membuka kancing baju kakek itu dan perlahan-lahan menggosok dadanya dengan obat gosok panas itu.
Menjelang pagi Kakek Kun siuman dari pingsannya, menggerakkan pelupuk mata, lalu membuka, dan menatap sejenak kepada Siauw Goat yang masih duduk di dekatnya, kemudian menoleh serta memandang kepada Lauw-piauwsu yang juga tidak pernah meninggalkannya.
“Lauw-piauwsu....,” katanya lemah.
“Bagaimana, Locianpwe? Apakah Locianpwe membutuhkan sesuatu?”
“Dekatkan telingamu....,“ katanya semakin lemah.
Ketika Lauw-piauwsu mendekatkan telinganya pada mulut tua itu, Kakek Kun berbisik bisik menceritakan riwayatnya secara singkat. Bisikan-bisikan itu makan waktu lama juga, dan Lauw-piauwsu mendengarkan sambil mengangguk-angguk tanda mengerti, kadang-kadang matanya terbelalak seperti orang heran dan terkejut.
Setelah menceritakan semua riwayatnya kepada piauwsu itu, tiba-tiba tangan kanan kakek itu bergerak dan tahu-tahu tengkuk piauwsu itu telah dicengkeramnya. Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Jari-jari tangan kakek yang sudah terluka parah dan amat berat dan gawat keadaannya itu ternyata amat kuat dan dia tahu bahwa kakek itu masih dapat membunuhnya dengan sekali terkam!
“Lauw-piauwsu, bersumpahlah bahwa semua itu tidak akan kau beritahukan orang lain, bahwa engkau akan merahasiakan keadaan kami. Bersumpahlah, kalau tidak terpaksa aku akan membawamu bersama untuk mengubur rahasia itu!”
Lauw Sek terkejut bukan main. Kakek ini sungguh orang luar biasa sekali, bukan hanya berilmu tinggi, memiliki riwayat yang aneh akan tetapi wataknya juga aneh, keras dan dapat bersikap ganas sekali. Cepat dia lalu membisikkan sumpahnya. “Saya, Lauw Sek, bersumpah untuk merahasiakan segala yang saya dengar dari Kun-locianpwe saat ini.”
Jari-jari tangan itu mengendur dan melepaskan tengkuk Lauw Sek yang dapat menarik napas lega kembali.
“Dan benarkah engkau bersedia menolong cucuku ini seperti yang kau janjikan tadi?”
“Tentu saja, Locianpwe. Locianpwe telah menyelamatkan nyawa saya, maka sudah tentu saya akan suka membalas budi kebaikan Locianpwe dengan melakukan perintah apa pun juga.” ,
“Hemm.... aku.... aku tidak pernah minta tolong orang.... hanya engkau yang kupercaya. Maka, kuserahkan Siauw Goat kepadamu, biarlah kau menyebut Siauw Goat saja karena namanya termasuk rahasia itu.... dan kau harus membantunya sampai dia dapat bertemu dengan orang tuanya....“
“Baik, Locianpwe, akan saya kerjakan hal itu, betapa pun akan sukarnya.”
“Aku tidak minta tolong secara cuma-cuma.... ini.... coba tolong keluarkan benda dari saku bajuku, Goat-ji (Anak Goat)....”
Siauw Goat sejak tadi tidak bicara, hanya memandang saja ketika kakeknya berbisik bisik dekat telinga Lauw Sek tanpa dia dapat mendengarkan jelas. Sekarang dia lalu memenuhi permintaan kakeknya merogoh saku dan mengeluarkan sebuah kantong kain hitam.
“Lauw-piauwsu.... inilah biayanya engkau mengantar cucuku.... kukira lebih dari cukup....“ Dia menyerahkan kantung kain hitam itu.
“Kun-locianpwe! Saya sama sekali tidak mengharapkan upah!”
“Terimalah.... dan bukalah....” Suara kakek itu semakin melemah dan pandang matanya membuat Lauw Sek tidak berani membantah lagi.
Dibukanya kantung kain hitam itu dan ternyata isinya hanya sebutir benda sebesar telur burung merpati. Akan tetapi ketika Lauw Sek memandang benda yang kini berada di atas telapak tangannya itu, dia terbelalak.
“Ini.... ini.... mutiara berharga sekali.... saya.... mana berani menerimanya....?” katanya gagap, terpesona oleh benda yang berkilauan biru itu.
“Kau.... mengenalnya....?”
Lauw Sek mengangguk. “Bukankah ini mutiara biru India yang hanya....”
“Sudahlah.... laksanakan permintaanku....” Kakek itu lalu dengan susah payah bangkit duduk bersila.
Tangannya masih mampu menangkis saat Lauw-piauwsu mencoba untuk membantunya. Akhirnya dia dapat duduk bersila, duduk dengan bentuk Bunga Teratai, yaitu duduk bersila dengan kedua kaki bersilang, kaki kiri telentang di atas paha kanan dan kaki kanan telentang di atas paha kiri. Ini adalah cara duduk terbaik untuk orang yang suka melakukan meditasi menghimpun kekuatan dan kini kakek itu duduk seperti ini sambil memejamkan kedua mata atau lebih tepat menundukkan pandang mata dengan pelupuk atas menutup, kedua tangannya terletak di atas kedua lutut, telentang…..
Komentar
Posting Komentar